Вы находитесь на странице: 1из 2

Latar Belakang

Ada 500-600 juta penduduk di seluruh dunia yang diperkirakan hidup dengan
disabilitas (penyandang cacat). Kemudian mengacu pada estimasi WHO, diperkirakan 10%
dari jumlah tersebut atau sekitar 200 juta anak-anak dan remaja hidup dengan disabilitas baik
alat panca inderanya, intelektualitasnya maupun fisiknya. Dari jumlah tersebut sekitar 80%
hidup di negara berkembang. Selanjutnya, data menunjukkan bahwa terdapat 98% anak
dengan disabilitas hidup di negara berkembang tidak dapat masuk sekolah dan 30% anak-
anak jalanan di dunia hidup dengan disabilitas (Andrew Byrnes, et.al, 2007).
Dalam konteks Indonesia, menurut Menteri Sosial, Salim Segaf Al Jufri pada tahun
2013 jumlah penyandang cacat (disabilitas) mencapai 2,8 juta dari jumlah penduduk
Indonesia. Al Jufri menyatakan penyandang disabilitas berat diperkitakan di Indonesia
mencapai 163.000 orang, namun yang telah tertangani sekitar 20.000 hingga 30.000 orang.
Di Bekasi sendiri, jumlah anak dengan disabilitas tidak terdata dengan baik, namun data BPS
tahun 2003-2004 menunjukkan jumlah penduduk dengan disabilitas mencapai 36.000 jiwa
dari total jumlah penduduk Bekasi.
Disabilitas sendiri bisa diartikan sebagai kondisi di mana adanya keterbatasan pada
seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungannya karena kondisi tubuh maupun
intelektualnya yang berbeda atau secara umum dikatakan tidak berfungsi secara wajar (cacat),
serta lingkungan kehidupannya tidak menunjang kesetaraan dalam mengakses kebutuhan.


Permasalahan
Mayoritas orang dengan disabilitas mengalami kesulitan menjalani kehidupan
kesehariannya karena fasilitas publik, transportasi, dan informasi tidak dirancang sesuai
dengan kebutuhannya. Hak Asasi Manusia (HAM) masih menjadi masalah dalam
implementasinya. Pelanggaran HAM sering sekali dirasakan oleh para penyandang cacat atau
disabilitas. Kebebasan yang dirasakan oleh penyandang cacat masih saja belum memberikan
ruang sepenuhnya. Dalam potret sosial, penyandang disabilitas ini masih saja di pandang
sebelah mata. Terutama berkenaan dengan masalah pelayanan publik. Hal ini bisa dilihat dari
beberapa fasilitas umum. Contohnya toilet yang belum disediakan untuk penyandang cacat.
Minimnya industri media yang memberitahukan para penyandang disabilitas, padahal peran
media sangat penting dalam membentuk opini publik untuk membantu dan mengadvokasi
para penyandang cacat yang kerap mendapat perlakuan diskriminasi. Sampai saat ini
penyandang disabilitas belum diberi kesempatan untuk hidup layak sebagaimana warga
negara lainnya yang formal, selain tidak difasilitasi secara fisik, penyandang disabilitas juga
belum diterima secara total dalam pergaulan sosial dan politik.
Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Bekasi menilai hampir sebagian
besar fasilitas umum yang ada di Kota Bekasi belum mengakomodir kebutuhan penyandang
disabilitas khususnya tunanetra dan pengguna kursi roda.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, sebagian besar trotoar tidak ramah bagi
penyandang disabilitas serta belum tersedianya fasilitas yang memadai di gedung perkantoran
dan tempat-tempat umum. Berdasarkan temuan, trotoar di Bekasi banyak yang tidak rata dan
berlobang sehingga menyulitkan pengguna kursi roda. Selain itu, di trotoar banyak ditemukan
hambatan seperti pohon yang terlalu rindang, bak sampah, pedagang kaki lima, tiang listrik
hingga pos polisi.
Kemudian, pada perkantoran umum tidak ada akses bagi penyandang disabilitas
seperti pintu masuk yang menggunakan tangga menyebabkan pengguna kursi roda sulit untuk
masuk. Begitu juga pada perkantoran yang memiliki lantai lebih dari satu, berdasarkan
pantauan ada yang tidak menyediakan lift dan pegangan pada pinggir tangga sebagai
pemandu bagi penyandang cacat. Padahal dalam Undang-undang no 19 tahun 2011 tentang
hak penyandang disabilitas diwajibkan penyediaan fasilitas umum mengakomodir kebutuhan
disabilitas.

Вам также может понравиться