Вы находитесь на странице: 1из 8

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BERAS ketan yang dikukus hingga menjadi pulut yang disebut bulukat, memiliki
arti penting dalam tradisi masyakat Desa Keunaloi. Bahkan, hampir di setiap acara yang
diselenggarakan dikampung saya, tak pernah luput dengan sajian menu bulukat.
Masyarakat Aceh menyebutnya Khanduri Bulukat (kenduri ketan).
Kenduri bulukat (kenduri ketan) adalah sebuah tradisi yang masih berkembang
di Aceh, khususnya kampung saya yakni Desa Keunaloi, Kecamatan Seulimum,
Kabupaten Aceh Besar. Pada intinya kenduri bulukat (kenduri ketan) adalah merupakan
mekanisme sosial dan Kenduri bulukat (kenduri ketan) juga menjadi alat kontrol sosial
untuk menjaga gerak dan arah dari cita-cita yang telah diperjuangkan bersama itu.
Dalam kerangka mekanisme sosial itulah, kenduri ketan ini menampung dan
mepresentasikan banyak kepentingan. Dari sekian banyak kepentingan itu, semua
dilebur menjadi satu tujuan. Kenduri ketan juga mampu mempersatukan, bahkan
semakin mempererat kesatuan itu. Bukan hanya kesatuan kepentingan, kesatuan cita-
cita, namun juga kesatuan masing-masing individu yang terlibat didalamnya. Dalam
kenduri ketan akan terlihat jelas bagaimana kebersamaan dan keutuhan tercipta,
suasana penuh kerukunan, sendau gurau antar sesama, bagi-bagi berkat dari nasi
tumpeng yang baru didoakan, atau ketika bersalam-salaman dengan tulus.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka
yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa manfaat dan tujuan mengadakan kenduri bulukat kenduri ketan?
2. Bagaimana sistem kekerabatan yang dibangun saat kenduri ketan?
3. Bagaimana kaitannya dengan konsep Ferdinad Tonnies?



2

1.3 Tujuan dan Manfaat
Untuk mengingat kembali prosesi-prosesi adat yang ada di Aceh, dengan adanya
kenduri ketan kekerabatan akan menjadi lebih kedap.





























3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Khanduri Bulukat (Kenduri Ketan)
Daerah Aceh, khususnya di kampung saya, yakni Desa Keunaloi, Kecamatan
Seulimum, Kabupaten Aceh Besar terkenal dengan tempat tempat pengajian yang
merata disetiap dusun. Tempat pengajian ini biasa disebut balee seumeubeut (tempat
pengajian). Setiap anak berumur 7 tahun diantarkan orang tuanya ke tempat pengajian,
biasanya diadakan di Meunasah atau dirumah seorang Teungku di sebuah dusun.
Meunasah, berasal dari bahasa Arab; Madrasah artinya tempat belajar. Meunasah
(nama Langgar di Aceh), berfungsi sebagai mengantarkan anaknya, baik laki-laki maupun
perempuan pasti menjinjing (tijik) piring ketan kerumah Teungku (guru ngaji). Bulukat
yang dibawa itu lebih sering orang pakai talam (tafsi). Ini karena; ketan bukan hanya
sebagai buah tangan bagi Teungku seorang, melainkan untuk semua murid yang sedang
mengaji disitu. Setiap murid, pasti sangat gembira, bila suatu hari ada seorang anak
baru, yang diantarkan ketempat pengajiannya. Betapa tidak, selain dapat teman baru,
kesempatan makan bulukat adalah suatu kejadian yang selalu dinantikan.
Secara simbolis membawa ketan bila mengantar anak mengaji, supaya semua
pelajaran melekat di otak, ingatan kuat, karena ketan itu banyak getah, perekat. Anak
diantar pada hari Rabu. Ketan yang dibawa biasanya bulukat u tuwot (ketan pakai
kelapa yang diaduk gula pasir atau manisan). Kalau diaduk manisan, warna kukuran
kelapa memerah. Hingga disebut bulukat u merah. Ketika si orang tua menyerahkan
anaknya pada Teungku, ia mengucapkan: Aneuk Ion, Ion jak jok keu droe neuh
neupeubeut. Neupoh, meubek capiek ngon buta, laen bak nyan hukom Teungku (Anak
saya, saya serahkan pada anda, ajarlah dia; boleh dipukul asal jangan sampai pincang
dan buta; lain dari itu terserah sama Teungku). Sejak itu, anak menjadi murid sah dari
seorang guru ngaji.
Setelah seorang aneuk miet beuet (anak pengajian) dapat menyelesaikan belajar
setengah dari Kitab Al Quran, sekali lagi anak anak di pengajian datang kesempatan
4

melahap bulukat. Setengah dari Al Quran adalah Juz Subhanal-lazi atau Juz yang ke 15
dari Al Quran yang 30 Juzu itu. Tepatnya sampal pada kalimat Walya Thalaththaf, yang
sering dicetak tebal pada Al Quran. Ketan kali ini disebut Bulukat Juz teungoh (ketan Juz
tengah). Seterusnya, bila seorang anak telah menamatkan AlQuran, lagi lagi diadakan
khanduri bulukat. Namanya bulukat peutamat Quruan (ketan khatam Al-Quran).
Sebelum seseorang anak diajarkan Kitab kibab Fiqah (Hukum Islam), terlebih dulu ia
mengulang belajar Al Quran beberapa kali khatam (tammat) lagi.
Hubungan pribadi para murid di sebuah pengajian cukup harmonis dan akrab (di
Jawa antara para Santri). Kalau di Aceh, besar kemungkinan karena tradisi khanduri
bulukat di setiap pengajian, hampir setiap hari seorang murid dapat menikmati bulukat.
Kalau tidak dibawa oleh orang tua yang mengantar ngaji anaknya, dibawa oleh mereka
yang belajar setengah Al Quran (bulukat Juz teungoh) ataupun oleh seorang anak yang
sudah khatam Al Quran. Lihat, betapa harmoninya hubungan antara mereka. Inilah
faktor pendukung kekuatan masyarakat Aceh menahan intervensi Belanda dulu, hingga
mereka terpaksa melawan gerilyawan Muslimin selama 70 tahun (1873-1910 perang
total, 1910-1942). Setiap syuhada Aceh berasal dari Dayah (Pesantren) atau paling
kurang pernah belajar di balee seumeubeut (tempat pengajian). Namun sayang, dewasa
ini jumlah tempat pengajian semakin menciut.
Tak hanya ketempat pengajian saja di Desa saya mengadakan kenduri ketan,
Kenduri Selamatan sepanjang tahun, banyak diadakan masyarakat Desa Keunaloi ini.
Hingga kalau ditinjau dari segi ekonomi merugikan. Namun, sudah berabad-abad,
masyarakat tidak pernah menilai dari untung rugi, tapi mengharapkan rasa aman,
tenteram, bahagia dengan keberkatan, yang dianugerahkan Allah SWT. Diantara jenis
jenis selamatan, ialah Selamatan Tahunan (Khanduri Thon), naik rumah baru (ek u
rumoh baro), Kenduri orang mati (Nujoh), Selamatan khitan (Khanduri koh boh aneuk)
dan lain lain. Semua jenis selamatan ini bila orang mampu, biasanya menyembelih
kambing, biri biri, lembu ataupun kerbau.
Sehari sebelum acara, seluruh penduduk desa di undang untuk datang. Pagi pagi
sekali warga desa khususnya laki laki telah berkumpul di bawah rumah atau di balai balai
5

orang yang punya hajat atau yang mau kenduri. Sebagai santapan pagi, para tamu
disuguhi segelas kopi dan seceper ketan (saboh cupe bulukat). Bulukat yang dihidangkan
itu , disebut bulukat u teuprue. Karena kukuran kelapa tidak dimasak dulu, tapi hanya
ditaburi gula. Setelah makan bulukat serta menikmati kopi para penduduk desa
melaksanakan tugas masing masing, sesuai dengan keahliannya. Bagi yang berbakat
menguliti kambing, ia mengikuti Teungku (Imam desa) yang menyembelih ternak.
Sebagian lagi mengupas buah nangka, pisang, kates muda sebagai gulai (lauk).
Sedangkan sebagian lainnya membuat dapur besar. Selain untuk dimakan sendiri,
penduduk desa juga melayani para tamu dari desa lain yang di undang oleh tuan rumah.
Acara tepung tawar (peusijuek) cukup membudaya di desa saya. Setiap
mendirikan rumah baru, pengantin baru (Dara Baro & Linto Baro), mendirikan
Meunasah, menyukat padi disawah, membuka jalan baru desa, menggali saluran air,
membikin empangan sungai (peugot neulop baro) dan lainnya, dimulai dengan acara
tepung tawar. Pada acara acara seperti itu satu baki besar (tafsi rayek) bulukat telah siap
dihadapan yang hadir ketika itu. Selesai acara peusijuek (arti litterlyk; mendinginkan),
bulukat tersebut dimakan bersama sama.
Saat rakyat desa paling sering makan bulukat adalah ketika mereka mulai turun
kesawah sampai selesai panen. Waktu hari pertama membajak, kenduri ketan
disediakan/bagi orang yang lalu lalang disekitar sawah. Bulukat peu phon meu ue (ketan
mulai membajak) namanya. Waktu menanam padi (seumula), juga diadakan khanduri
bulukat. Anak-anak yang rajin pergi ke sawah tentu kenyang perutnya. Mengirik padi
(ceumeulho) sering diadakan secara gotong royong. Selesai bekerja, oleh tuan rumah
disuguhi bulukat ceumeulho. Kuah bulukat dibuat dari santan campur pisang, nangka,
yang dimasak. Jika pisang, disebut bulukat kuah tuhe, sedang bila pisang tidak dimasak
disebut bulukat pisang thok (ketan pisang digiling). Namun dari semuanya yang paling
enak adalah bulukat boh drien (ketan durian).


6

2.2 Kaitannya konsep Ferdinand Tonnies dengan sistes kekerabatan yang
dibangun di Desa Keunaloi
Masyarakat pedesaan sering disebut sebagai masyarakat yang mempunyai ciri
kehidupan yang bersifat Gemeinschaft. Gemeinschaft berasal dari tulisan seorang ahli
sosiologi Jerman bernama Ferdinand Tonnies yang menggambarkan kehidupan
masyarakat pedesaan yang kontras dengan kehidupan masyarakat perkotaan yang
disebutnya masyarakat yang Gesselchaft. Menurut F. Tonnies kehidupan masyarakat
yang bersifat gemeinschaft mencirikan suatu kehidupan yang saling kenal mengenal,
hidup tenteram, berjiwa gotong-royong dan kuatnya tradisi yang berlaku dalam
masyarakatnya.
Masyarakat pedesaan yang tradisional (masyarakat pedesaan sampai saat ini
masih banyak yang tetap terikat pada tradisi-tradisi yang tetap dipertahankan).
Masyarakat tradisional masih diliputi norma- norma kebiasaan dan adat yang mengatur
cara hidup seorang sebagai anggota masyarakat. Norma-norma yang di anut oleh
masyarakat pedesaan seiring terlalu mengikat sehingga mereka sulit untuk mengadakan
perubahan-perubahan yang cukup drastis. Dengan terlalu mengikatnya norma tersebut
mereka tidak sanggup untuk melahirkan penemuan-penemuan baru dan melaksanakan
perubahan-perubahan secara teratur.
Suatu yang baru itu dapat diterima apabila persetujuan dari masyarakatlah yang
menetapkan tingkah laku yang di anggap wajar bagi seorang untuk bertindak dalam
masyarakat. Oleh karena itu, setiap warga akan mengatur tingkah lakunya dalam segala
hal untuk menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan peraturan-peraturan yang
berlaku di desa tersebut. Setiap warga desa akan mengetahui bagaimana ia harus
bertindak. Setiap warga desa akan menolak bilamana ada penemuan baru, karena hal
yang baru itu di anggap sebagai hal yang akan mengubah atau merusak norma-norma
yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat sejak dahulu secara turun-menurun. Oleh
karena itu pula, sering orang-orang asing atau orang luar desa itu akan di hadapi dengan
rasa curiga oleh masyarakat setempat.
7

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
BERAS ketan yang dikukus hingga menjadi pulut yang disebut bulukat, memiliki
arti penting dalam tradisi masyakat Aceh. Bahkan, hampir di setiap upacara yang
diselenggarakan di Aceh, tak pernah luput dengan sajian menu bulukat. Masyarakat
Aceh menyebutnya Khanduri Bulukat (kenduri ketan).
bulukat mempunyai arti simbolis. Selain sebagai makanan enak, juga makanan
berkah, keramat, dan memiliki unsur magis. Tentu saja keberkahan yang diharapkan itu
datangnya dari sang khalik. Dulu, saat orang tua mengantar anaknya ke tempat
pengajian, si anak diharuskan menjinjing talam berisi bulukat ke tempat pengajian.
Bulukat ini bukan hanya sebagai simbol buah tangan bagi guru ngaji dan seluruh santri
yang menimba ilmu di sana. Akan tetapi, sebagai simbolis agar pelajaran yang akan
diterima oleh si anak, melekat di otaknya. Simbol itu didasari lantaran bulukat banyak
getah yang berfungsi sebagai perekat.
Untuk jenis bulukat pun disesuaikan dengan hari si anak masuk ke pengajian.
Bila anak diantar pada hari Rabu, yang dibawa biasanya bulukat u teuwot (ketan pakai
kelapa yang diaduk gula pasir atau manisan). Andai menggunakan manisan dan bulukat
memerah, disebut bulukat u merah.
Selain itu ada juga bulukat juz teungoh (ketan juz tengah). Biasanya, bulukat ini
diantarkan saat si anak telah belajar setengah dari Alquran. Tepatnya sampal pada
kalimat Walya Thalaththaf yang sering dicetak tebal pada Alquran,
Selanjutnya bila anak telah khatam Alquran, orang tua kembali membawa
bulukat peutamat Quruan (ketan khatam Alquran). Antaran bulukat dimaksud di balai
pengajian dimaksud melambangkan kebersamaan antara sesama satri dan guru mengaji.
Inilah faktor pendukung kekuatan masyarakat Aceh menahan intervensi Belanda dulu,
hingga terpaksa melawan gerilyawan muslimin selama 70 tahun.
Selain itu, ada juga persembahan bulukat untuk nazar. Biasanya, yang dibagikan
untuk melepas nazar adalah bulukat u tuwot. Tak hanya itu, bulukat juga disimbolkan
dengan rasa aman, tenteram, bahagia, dan keberkatan. Bulukat dengan simbol ini
biasanya disajikan pada acara selamatan, seperti khanduri thon (selamatan tahunan), ek
8

u rumoh baro (naik rumah baru), Seunujoh (kenduri tujuh hari setelah orang meninggal,
khanduri koh boh (selamatan khitan), dan sebagainya.
Ada juga yang disebut bulukat u teuprue (ketan dengan kukuran kelapa yang
hanya ditaburi gula). Bulukat ini dihidangkan kepada penduduk desa atau kerabat yang
hendak bekerja membantu kenduri. Sebagai santapan pagi, para tamu disuguhi segelas
kopi dan satu piring bulukat.
Bulukat paling sering ditemukan pada acara tepung tawar atau di Aceh disebut
peusijuek. Pada acara-acara besar dan bermuatan acara peusijuek, biasanya disiapkan
satu baki besar bulukat. Usai ritual peusijuek, bulukat dimakan bersama.
Tradisi lainnya yang sering disuguhi bulukat ketika masyarakat mulai turunke sawah
sampai selesai panen. Hari pertama membajak, bulukat peuphon meuue (ketan mulai
membajak) disediakan bagi orang yang lalu-lalang di sekitar sawah. Khanduri bulukat
lainnya dilaksanakan saat menanam padi (seumula) dan mengirik padi (ceumeulho).
Selesai bekerja, tuan rumah menyuguhi bulukat ceumeulho.
Untuk memakan bulukat ini bisa ditambahi kuah. Kuah bulukat yang terbuat dari
santan campur pisang, nangka, yang dimasak. Jika menggunakan pisang, disebut bulukat
kuah tuhe. Sedang bila pisang tidak dimasak disebut bulukat pisang thok (ketan pisang
digiling). Tapi, bisa juga menggunakan durian. Nah... untuk jenis ini, disebut bulukat boh
drien atau ketan durian.

Вам также может понравиться