Вы находитесь на странице: 1из 25

BAB I

PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG MASALAH


Lord Acton mengemukakan bahwa ada dua tokoh humanis besar yang
berperan dalam masa Renaisans ini yaitu Fransesco Guicciardini dan Niccolo
Machiavelli.
1
Menurut Hurbert Butterfield, Machiavelli menjadi lebih penting
karena selama pembuangannya dari pemerintahan, ia membuat tulisan yang
cukup banyak.
2
Sementara tulisan Guicciardini sendiri baru dikenal pada abad 18
dan selama masa hidupnya tulisannya tidak pernah dipublikasikan.
3
Tetapi dari
kedua tokoh itu, nama Machiavelli disebut-sebut sebagai tokoh penting dalam
pemikiran negara modern.
4
Machiavelli dikatakan sebagai tokoh yang mengawali
pemikiran mengenai negara modern. Ronald H. Chilcote menyebutkan
sumbangan Machiavelli dalam pemikiran negara modern adalah bahwa
kekuasaan negara harus mengatasi segala kekuasaan yang ada, kekuasaan itu
secara moral bersifat netral.
5
Chilcote lebih lanjut mengatakan bahwa menurut
Machiavelli, negara yang memiliki kekuasaan yang besar itu digunakan oleh
mereka yang mengendalikan negara untuk mencapai tujuan apa pun yang
nampaknya baik bagi mereka. Machiavelli lebih teguh pandangannya mengenai
netralitas politik ketimbang Guicciardini. Ketika Machiavelli menjunjung tinggi nilai
persekongkolan antar kelompok demi terjaganya kepentingan umum,
Guicciardini menolak pendapat Machiavelli itu dengan mengatakan bahwa
memuji perpecahan sama seperti memuji penyakit orang sakit karena keutamaan

1
Lord Acton, Renaissance to Revolution (New York: Schocken Books ,1961), hal.80.
2
Herbert Butterfield, The Statecraft of Machiavelli (London: 1967), hal.20.
3
Lih. The Invasions of Italy 1494-1527 Machiavelli and Guicciardini, http : // vlib . iue . it / carrie /
texts / carrie _ books / gilbert / 04.html, diakses 10 Oktober 2006.
4
Bdk. David Held, , Political Theory and Modern State Essays on State, Power, and Democracy
(California: Stanford University Press, 1989), hal.12. Bdk. juga Joseph Losco, Political Theory
Kajian Klasik dan Kontemporer, terj. Haris Munandar (Jakarta: Rajawali Press, 2005), hal.14. J. R.
Hale, Machiavelli and Renaissance Italy (New York: Collier Books, 1960), hal.19.
5
Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Political Economy (Oxford: Westview Press, 1980),
hal.134. Lih. John Plamenatz, Man and Society A Critical Examination of Some Important Social
and Political Theories From Machiavelli to Marx (London: Longmans, 1963), hal.18-19. Bdk. juga
Bruce D. Porter, War and State Rise of The State (New York: The Free Press, 1994), hal.30-40.
2
(virtues) perpecahan dipakai sebagai obat untuk mengatasi perpecahan
masyarakat.
6
McCormick dalam komentarnya atas pemikiran John Pocock
mengenai Machiavelli menolak gagasan Pocock dalam tulisannya yang berjudul
The Machiavellian Moment. Dalam tulisan itu Pocock mengatakan bahwa
Machiavelli menjadi pencetus teori yang mau menggabungkan antara pemikiran
mengenai republik klasik dengan dunia kekristenan dan sejarah baru yang
dihadapinya. Bagi McCormick, pandangan semacam itu bukan pandangan
Machiavelli tetapi lebih merupakan pandangan Guicciardini sehingga McCormick
menyarankan agar judul tulisan Pocock diganti dengan judul The Guicciardinian
Moment.
7
Dalam pandangan McCormick, Guicciardini masih cenderung bersifat
aristokrat ketimbang Machiavelli. Dalam perbandingannya mengenai bagaimana
pengadilan harus dilakukan terhadap mereka yang memberontak atau
melakukan tindakan subversi dan korupsi, Machiavelli mengatakan bahwa
pengadilan terhadap mereka harus melibatkan sebanyak mungkin rakyat
sedangkan Guicciardini lebih cenderung mengatakan bahwa pengadilan seperti
yang diusulkan Machiavelli tidak efektif dan sebaiknya pengadilan dilakukan oleh
golongan bangsawan.
8
Keberpihakan Guicciardini terhadap golongan
bangsawan membuat Martin van Creveld berkesimpulan bahwa Guicciardini
masih memandang negara sebagai milik perseorangan.
9
Creveld menunjukkan
bahwa ketika Guicciardini berbicara mengenai negara, Guicciardini selalu
mengatakan "negara Medici" atau negara milik bangsawan tertentu lainnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Machiavelli pun masih menyisakan pemikiran
mengenai negara yang bercorak milik pribadi tertentu.
10
Creveld mengungkapkan
bahwa dalam bukunya The Prince, jejak pemikiran Machiavelli mengenai negara
sebagai milik raja masih bisa dilacak. Akan tetapi Hrnqvist menolak anggapan

6
Lih. Quentin Skinner, Machiavelli (Oxford: Oxford University Press, 1981), hal.61. Skinner
menempatkan perbandingan itu dalam kerangka perbedaan pendapat mengenai bagaimana
menyeimbangkan kekuatan yang saling berseberangan dalam masyarakat.
7
Lih. John P. McCormick, Machiavelli Against Republicanism On The Cabridge Schools
Guicciardinian Moments , Political Theory, V (Oktober, 2003), hal.619-620
8
Lih. John. P. McCormick, Machiavelli and Guicciardini on Political Trials and "The Free and Civic
Way of Live" , http://www.gov.harvard.edu/uploads/McCormick%20-%20Harvard%20Paper.pdf,
diakses 3 April 2007.
9
Lih. . Martin van Creveld, The Rise and Decline of The State (Cambridge : Cambridge University
Press, 1999), hal. 126.
10
Lih. Ibid. Bdk. Lord Acton, Op.Cit, hal.80.
3
itu dengan mengatakan bahwa Machiavelli lebih menyukai negara yang bercorak
kerakyatan.
11
Menurut Hrnqvist, ada perbedaan penekanan antara tulisan
Machiavelli dalam The Discourse dan dalam The Prince. Dalam The Discourse,
Machiavelli berbicara mengenai kemungkinan didirikannya bentuk pemerintahan
republik di Florence. Sementara itu dalam The Prince, Machiavelli memberikan
nasihat secara umum bagaimana mendirikan kepangeran baru. Kerajaan atau
kepangeranan merupakan langkah awal menuju pada negara kerakyatan
(republik).
Dengan menekankan pada negara kerakyatan, Machiavelli tidak hanya
menolak anggapan bahwa negara sebagai milik pribadi raja tetapi juga menolak
segala bentuk feodalisme.
12
Dalam pandangan Machiavelli, bentuk ideal dari
negara Florence adalah tidak berkuasanya para tuan-tuan feodal dan adanya
kesetaraan di antara warga negara sehingga kebebasan mudah diperoleh.
Jadi, tidaklah keliru bila David Held dan Ronald H. Chilcote memasukkan
Machiavelli dalam jajaran tokoh pemikir negara modern. Disamping karena
sikapnya yang netral terhadap agama, bahkan dalam banyak hal ia menentang
kekuasaan Gereja, Machiavelli juga tidak suka dengan feodalisme.
Sebagai seorang birokrat yang menangani urusan luar negeri dan militer
serta sekaligus sebagai seorang yang banyak mempelajari ilmu humaniora
terutama dari Cicero, Machiavelli memiliki perhatian yang besar kepada
negaranya, Florence, agar menjadi negara yang kuat dan bersatu baik di dalam
negara Florence sendiri maupun di antara negara kota di Italia. Kuatnya negara
Florence dan kesatuan Italia dapat terwujud bila Florence memiliki kekuasaan
politik yang kuat dengan didukung oleh kekuatan militer untuk mewujudkan
gagasan kesatuan Italia melalui ekspansi militer oleh Florence ke negara-negara
kota di wilayah Italia.

11
Lih. Mikael Hrnqvist, Machiavelli and Empire (Cambridge: Cambridge University Press, 2004),
hal.264-285. Lih. juga Quentin Skinner, Op.Cit, hal.50-51. Bdk. Eleana Fasano Guarini, Machiavelli
and the Crisis of the Italian Republics, Machiavelli and Republicanism. eds. Gisela Bock et al
(Cambridge: Cambridge University Press, 1993), hal.19-20.
12
Lih. Hrnqvist, Machiavelli, hal.269.
4
B. STUDI PEMIKIRAN MACHIAVELLI MENGENAI KEKUASAAN POLITIK
DAN EKSPANSI MILITER


Penelitian-penelitian atas gagasan Machiavelli telah dilakukan oleh
beberapa peneliti. Quentin Skinner, dalam bukunya yang berjudul Machiavelli,
melihat bahwa gagasan Machiavelli yang ada dalam tulisan The Discourse, The
Prince, The Legations dan The History of Florence meletakkan bidang
kepemimpinan negara sebagai syarat utama dalam negara yang kuat. Negara
yang kuat adalah negara yang memiliki pemimpin yang berkuasa berdasarkan
keutamaan (virt), yang selalu terarah pada kejayaan pribadi dan negara. Oleh
karena itu seorang pemimpin harus cerdik, mampu menyembunyikan keburukan
dan menampilkan diri sebagai pribadi yang baik, mampu berbuat kejam dan
penuh belas kasih. Kebesaran suatu negara diperoleh bila pemimpin negara
mampu menjamin adanya kebebasan yaitu bebas dari penjajahan negara asing
dan bebas dari pemerintahan yang kejam. Hukum dan ajaran agama merupakan
sarana untuk memaksakan keutamaan (virt) kebebasan itu. Melakukan
serangan terhadap negara lain merupakan jalan terbaik untuk mempertahankan
kebebasan dalam negeri.
Dalam pembahasannya, Skinner tidak mengungkapkan hubungan antara
pemimpin yang lemah dan militer yang lemah dalam kejatuhan Florence tahun
1494. Ia hanya mengatakan bahwa kejatuhan Florence pada tahun 1494
disebabkan oleh militer yang lemah dan para pemimpin negara Florence yang
mengedepankan kepentingan pribadi, tetapi tidak mengungkapkan hubungan
antara pemimpin sebagai pemegang kekuasaan politik dengan militer yang
menjadi alat kekuasaan politik.
Skinner juga tidak menjelaskan bagaimana militer harus dikelola agar
mampu mewujudkan negara yang kuat. Padahal, Machiavelli memiliki
pengalaman buruk dicemooh oleh para diplomat lain sebagai "Tuan yang tidak
memiliki apa pun" karena tidak memiliki militer untuk merebut Pisa dan negara
kota lain di Italia. Skinner juga tidak melihat keprihatinan Machiavelli untuk
5
mempersatukan Italia sebagai titik pangkal pemikirannya mengenai militer dan
kekuasaan politik.
Penelitian ini akan membahas arti penting ekspansi militer bagi
kekuasaan politik yang bersumber dari keprihatinan utamanya untuk
mempersatukan Italia. Penelitian ini juga mau melihat bahwa usaha
mempersatukan Italia dengan militer dan nasehat-nasehat kepada penguasa
serta bentuk-bentuk negara ideal Florence merupakan satu kesatuan tema
karena kesemuanya itu berbicara mengenai kekuasaan politik yang harus dimiliki
oleh negara kota Florence.
Penelitian lain dikemukakan oleh Herbert Butterfield dalam bukunya The
Statecraft of Machiavelli. Ia mengemukakan bahwa Machiavelli bertolak dari
gagasan negara yang sakit, sisi buruk kebijakan, jalannya pemerintahan dalam
kondisi darurat. Dengan melihat sejarah Romawi, negara yang sakit ini bisa
disembuhkan yaitu negara harus dikelola secara cerdik dan pintar. Bagi
Machiavelli, politik bukanlah persoalan moralitas tetapi persoalan
mempertahankan dan memperbesar kekuasaan.
Dalam uraiannya, Butterfield tidak memaparkan pemikiran Machiavelli
tentang kekuasaan politik dan usaha mempersatukan Italia dengan kekuatan
militer sebagai bagian dari usaha memperoleh kekuasaan politik di kawasan
Italia. Butterfield hanya memaparkan metode pemikiran Machiavelli tetapi tidak
memberikan bukti bagaimana metode itu bisa digunakan untuk menguraikan
pemikiran Machiavelli mengenai ekspansi militer dan kekuasaan politik sebagai
bentuk usaha memperoleh kekuasaan politik di kawasan Italia.
Penelitian yang dilakukan di sini tidak bertolak dari gagasan Machiavelli
mengenai negara Florence yang sakit karena titik tolak demikian disamping tidak
sesuai dengan minat utama Machiavelli juga tidak akan bisa memberi kerangka
pemahaman menyeluruh atas gagasan Machiavelli yang rumit itu. Tetapi
penelitian ini akan bertolak dari keprihatinan Machiavelli mengenai ekspansi
militer sebagai kunci untuk memahami seluruh pemikiran Machiavelli. Penelitian
6
ini akan mengkonstruksi pemikiran Machiavelli sejauh terdapat dalam buku The
Prince, The Discourse dan The Art of War mengenai kekuasaan politik dan
ekspansi militer sebagai dua tema yang tak bisa dipisahkan.
Penelitian lain dikemukakan oleh Mikael Hrnqvist. Dalam bukunya yang
berjudul Machiavelli and Empire, Hrnqvist memusatkan penelitiannya pada
tulisan Machiavelli yang berjudul The Prince. Pada karya ini, menurut Hrnqvist,
gagasan yang ada di dalamnya sangat erat terkait dengan gagasan-gagasan
ideologis yang hidup pada masa itu dan sangat erat terkait dengan maksud
Machiavelli untuk menjawab kebutuhan saat itu.
Gagasan ideologis yang paling berpengaruh pada Machiavelli adalah
gagasan mengenai kejayaan Republik Romawi. Dari contoh Republik Romawi,
Machiavelli melihat bahwa antara kebebasan dalam negeri dengan ekspansi
militer bukanlah dua hal yang saling bertentangan. Ekspansi yang dilakukan
Romawi merupakan pembebasan terhadap negara lain yang diperintah oleh
tirani dan sekaligus ekspansi digunakan untuk melindungi kebebasan dalam
negeri. Dalam melakukan ekspansi, republik Romawi melakukan strategi
ekspansi secara bertahap yaitu strategi persahabatan dalam bentuk liga dan
strategi penghancuran. Strategi persahabatan dilakukan dengan tipuan saat
Romawi masih lemah, sedangkan strategi penghancuran dilakukan dengan
kekerasan saat Romawi kuat. Dalam kerangka ekspansi ini, republik Romawi
mengadakan upacara parade kemenangan perang. Dalam upacara itu, pemimpin
militer yang berasal dari rakyat jelata menerima penghormatan tertinggi dari
negara dan para dewa. Upacara itu sekaligus menjadi sarana untuk
menyerahkan barang rampasan perang kepada negara. Dampak dari upacara itu
bagi rakyat adalah munculnya persaingan di antara warga negaranya agar bisa
memperoleh penghargaan tertinggi itu dan sekaligus rakyat merasa puas secara
mental terhadap anugerah itu sehingga tidak memikirkan kepentingan pribadi
atau berkeinginan memperkaya diri melalui harta rampasan perang.
Berdasarkan idealisme republik Romawi itu, Machiavelli mendesak pada
Medici untuk melakukan ekspansi. Agar Florence bisa melakukan ekspansi,
7
Machiavelli mendesak agar Medici membentuk pemerintahan campuran antara
monarki dengan republik. Alasannya, dengan bentuk republik, masyarakat
didorong untuk bersaing satu sama lain seperti yang terjadi pada republik
Romawi. Machiavelli juga mengatakan, dengan republik dimungkinkan untuk
mempertahankan keberuntungan (fortune) yang selalu berubah. Ia
mencontohkan bertahannya keberuntungan (fortune) dalam republik Romawi
sebagai akibat dari gaya kepemimpinan Fabius yang hati-hati dan Scipio sang
Panglima perang yang berwatak terburu-buru.
Akhirnya dalam bab terakhir, Machiavelli memakai gaya retoris yang
mendesak agar Medici mau melakukan ekspansi dalam rangka mempersatukan
Italia. Dengan menggunakan ramalan yang hidup pada masyarakat Italia akan
hadirnya seorang pahlawan pemersatu Italia, Machiavelli mengatakan bahwa
keluarga Medici adalah pahlawan yang dinantikan itu
Karena memusatkan seluruh gagasan Machiavelli pada ekspansi militer,
Hrnqvist tidak berbicara mengenai kekuasaan politik dan hubungan antara
kekuasaan politik dengan ekspansi militer. The Prince yang dipersembahkan
Machiavelli untuk Medici, bukan hanya berisi desakan agar Medici melakukan
ekspansi dalam rangka mempersatukan Italia dengan Florence sebagai pusatnya
tetapi juga memberikan nasehat mengenai bagaimana kekuasaan politik harus
dijalankan dan dipertahankan. Desakan itu bertujuan agar tercapai kebesaran
dan keagungan Florence. Kebesaran negara Florence dalam The Prince sangat
tergantung pada kekuasaan politik Florence.
Karena kekuasaan politik yang menjadi penekanan dalam The Prince
dianggap kurang penting, Hrnqvist membahas 2 tema yaitu stabilitas kekuasaan
politik dan ekspansi militer sebagai dua hal yang terpisah, bukan dua hal yang
saling berhubungan karena dipersatukan oleh satu tema besar yaitu kebesaran
kekuasaan politik Florence di Italia.
Penelitian ini akan melihat tema ekspansi militer dan kekuasaan politik
sebagai satu kesatuan tema besar dalam pemikiran Machiavelli. Penelitian ini
8
akan menggunakan sumber utama bukan hanya dari buku The Prince tetapi juga
dari Discourse dan The Art of War. Penelitian ini tidak bertolak dari pengandaian
bahwa Machiavelli adalah seorang ahli retorika tetapi bertolak dari pengandaian
bahwa Machiavelli adalah seorang filsof yang memiliki kesatuan gagasan dari
tulisan-tulisannya dan bercorak universal.


C. POKOK PERMASALAHAN


Gagasan Machiavelli dalam The Prince sekilas terkesan bahwa
gagasannya didominasi oleh tema kekuasaan. Kesan ini kelihatan dalam The
Prince 15 yang berbicara mengenai bagaimana seorang penguasa boleh
bertindak jahat demi keselamatan negara daripada berbuat baik tetapi
menghancurkan keselamatan negara. Demikian juga dalam The Prince 17,
dikatakan bahwa seorang penguasa harus bisa bertindak dengan cara manusia
atau binatang. Dalam cara binatang, penguasa harus bisa bertindak dalam cara
singa dan serigala. Tetapi kesan bahwa gagasan Machiavelli didominasi oleh
tema kekuasaan menjadi sulit ditemukan bila melihat tulisannya yang berjudul
The Discourse sebab dalam tulisan ini, Machiavelli berbicara secara seimbang
antara tema kekuasaan politik dan tema ekspansi militer. Tema kekuasaan politik
menjadi lebih sulit ditemukan dalam tulisannya The Art of War. Dalam The
Discourse gagasan kekuasaan politik dan gagasan ekspansi militer tercampur
menjadi satu. Tetapi dalam The Art of War, gagasan Machiavelli mengenai
kekuasaan politik sama sekali tidak bisa ditemukan dan justru sebaliknya
gagasan mengenai reformasi militer dan ekspansi militer mendominasi tema
dalam buku itu.
Bila menilik tulisannya dalam The Discourse I.6, Machiavelli secara
eksplisit mengatakan bahwa setiap negara harus melakukan ekspansi. Jika
negara tidak mau melakukan ekspansi maka negara itu akan hancur. Bahkan
dalam analisisnya, Machiavelli menafsirkan kehancuran Republik Romawi yang
menjadi pandangan idealnya disebabkan oleh berhentinya kebijakan untuk
melakukan ekspansi. Dalam The Discourse II. 4, Machiavelli juga mengatakan
9
secara eksplisit bahwa ekspansi militer merupakan sebuah reputasi atau
kebesaran nama sebuah negara. Dalam buku II The Discourse, seluruh tema
didominasi oleh gagasan mengenai ekspansi militer.
Secara ringkas, gagasan dari ketiga buku itu bisa digambarkan dalam
skema berikut ini:
THE PRINCE THE DISCOURSE THE ART OF WAR
Tema kekuasaan politik. Tema kekuasaan
politik dan ekspansi
militer
Tema reformasi militer
untuk ekspansi militer
Bentuk negara monarki Bentuk negara
campuran: republik dan
monarki
Bentuk negara
campuran: republik dan
monarki
Gagasannya merupakan
ringkasan dari The
Discourse
Gagasannya menjadi
gagasan induk
Machiavelli
Gagasannya
meneruskan gagasan
The Discourse dan The
Prince mengenai
pentingnya tentara rakyat
Bentuk tulisan: esai /
makalah
Bentuk tulisan: esai /
makalah
Bentuk tulisan:
percakapan (seperti
naskah drama)

Machiavelli hidup dalam lingkungan yang diwarnai oleh konflik-konflik
kepentingan. Di lingkungan dalam negeri, Machiavelli berada dalam lingkungan
yang dipenuhi dengan masyarakat yang memperjuangkan kepentingannya
sendiri. Lingkungan pedagang yang dihadapi Machiavelli menumbuhsuburkan
perjuangan kepentingan pribadi di dalam masyarakatnya. Dalam lingkungan
internasional, Florence yang menjadi tempat hidup Machiavelli berada dalam
ancaman terus menerus diekspansi oleh negara lain terutama dari dua negara
besar Perancis dan Spanyol.
13
Ketika ia menjadi birokrat, ia mengalami sendiri

13
Bruce D. Porter, Op.Cit., hal.30. Bdk. Martin van Creveld, Op.Cit, hal. 164-170.
10
sulitnya menangkal keinginan negara lain yang ingin mengekspansi Florence. Ia
juga mengalami betapa pahitnya diekspansi Perancis pada tahun 1494.
14

Bila dikaitkan dengan lingkungan yang melingkupi Machiavelli pada waktu
itu dan karir birokratnya pada masa pemerintahan Soderini, ekspansi militer
seharusnya merupakan pintu masuk untuk memahami seluruh pemikiran
Machiavelli. Namun demikian, di pihak lain, tidak bisa dipungkiri bahwa
Machiavelli juga berbicara mengenai mengenai kekuasaan politik. Tampilnya
kedua tema tersebut dalam tulisan-tulisan Machiavelli itu menimbulkan
kebingungan tersendiri mengenai inti dari pemikiran Machiavelli dan hubungan
dari keduanya. Akan tetapi bila menilik tulisannya dalam Pendahuluan buku The
Art of War, kebingungan antara kedua tema itu bisa dijembatani. Dalam
Pendahuluan buku The Art of War itu, ia mengatakan secara eksplisit mengenai
hubungan antara politik dan militer, hubungan antara kekuasaan politik dan
perang. Jadi, Machiavelli berbicara mengenai kekuasaan politik dalam kaitannya
dengan ekspansi militer, bukan tema kekuasaan politik yang berdiri sendiri atau
tema ekspansi militer yang berdiri sendiri.
15

Machiavelli adalah anak jamannya. Ia hidup pada masa renaisans yang
dipenuhi gagasan-gagasan Yunani dan Romawi klasik. Ketertarikannya pada
sejarah republik Romawi membuat ia menaruh minat yang besar pada
permasalahan militer terutama ekspansi militer. Sejarah klasik yang dipelajarinya
saat ia kecil hingga dewasa menjadi semakin meningkat ketika Soderini
menunjuknya untuk menjadi birokrat yang mengurusi masalah militer dan
hubungan luar negeri. Dari pengalamannya sebagai seorang birokrat, ia tahu
bahwa ancaman yang ada terhadap Florence hanya bisa diselesaikan bila
Florence melakukan ekspansi. Tulisannya bukanlah sesuatu yang berbeda
dengan pengalamannya. Tulisannya merupakan ungkapan keprihatinan atas

14
Lih. Paul Strathern, 90 Menit Bersama Machiavelli, Terj. Frans Kowa, (Jakarta:2001), hal. 20. Lih
juga Niccol Machiavelli, The Art of War, terj. Neal Wood (Cambridge: Da Capo Press, 2001),
hal.208-209. Herbert Butterfield, Op.Cit, hal.16-18.
15
The Art of War, hal.3-4.
11
situasi buruk yang melanda negaranya.
16
Maka wajarlah bila Machiavelli
berbicara dalam Pendahuluan The Art of War bahwa ada hubungan antara
kekuasaan politik dan perang. Wajar juga jika ia berbicara secara panjang lebar
mengenai ekspansi militer dalam The Discourse karena senyatanya negaranya
sedang terancam dari serangan negara lain. Bila kekuasaan politik dan ekspansi
militer merupakan wujud nyata keprihatinan Machiavelli terhadap negaranya
yang sedang dalam keadaan terancam, maka penelitian ini ingin menelusuri
pemikiran Machiavelli mengenai kekuasaan politik dan ekspansi militer.
Penelusuran dalam penelitian ini diperinci dalam tiga persoalan yaitu :
1. Menurut Machiavelli, bagaimanakah ekspansi militer dipersiapkan dan
dilakukan?
2. Bagaimanakah menurut Machiavelli arti penting ekspansi militer bagi
kekuasaan politik?
3. Menurut Machiavelli, kekuasaan politik yang bagaimanakah yang
mendukung kebesaran negara Florence?


D. KERANGKA TEORI


Mengenai tema kekuasaan politik dalam pemikiran Machiavelli, St.
Sularto mengatakan bahwa Machiavelli tidak merumuskan definisi mengenai
kekuasaan politik tetapi Ia hanya membuat anatomi kekuasaan.
17
Menurut St.
Sularto, Machiavelli mengatakan bahwa penguasa politik harus memiliki
kekuasaan yang besar di tangannya. Kekuasaan semacam ini diperlukan dalam
rangka menjaga ketertiban dan kesatuan negara. Pandangan Machiavelli ini
didasarkan pada pandangannya bahwa Italia terpecah belah karena Italia berada
dalam keadaan korup. Keadaan korup dirumuskan St. Sularto sebagai

16
Bdk. J. R. Hale, Op.Cit., hal.51. John Plamenatz, Op.Cit., hal.11. Herbert Butterfield, Op.Cit.,
hal.15.
17
St. Sularto, Niccolo Machiavelli Penguasa Arsitek Masyarakat (Jakarta: Kompas, 2003), hal.21.
12
berlangsungnya segala tindakan liar dan kekerasan, jurang antara yang
kaya dan miskin, terusaknya (sic!) perdamaian dan keadilan dan
berkembang-biaknya nafsu liar.
18

Masih menurut St. Sularto, keadaan korup itu diakibatkan oleh kodrat
manusia yang buruk. Dengan kodrat manusia yang buruk itu, menurut St.
Sularto, Machiavelli cenderung memilih kekuasaan dipegang oleh seorang tiran
yang mampu menertibkan masyarakatnya. Tujuannya hanya satu yaitu demi
keuntungan penguasa.
19
Logika yang dipakai oleh St. Sularto dalam menafsirkan
pendapat Machiavelli ini mendasarkan diri pada sebuah pengandaian bahwa,
berhadapan dengan manusia yang tamak dan loba itu, penguasa hanya bisa
mempertahankan kekuasaan politiknya bila ia bertindak keras dan kejam. Ia
mengandaikan bahwa tujuan politik adalah memperoleh dan memperbesar
kekuasaan politik.
20

Dengan tujuan politik seperti ini, menurut St. Sularto, Machiavelli
mengatakan bahwa penguasa politik memerlukan militer dan hukum.
21
Hukum
digunakan untuk mempertahankan kekuasaan politik yang dimiliki oleh penguasa
sedangkan militer selain digunakan untuk mempertahankan kekuasaan politik,
juga bisa digunakan untuk merebut atau meraih kekuasaan politik. Tetapi dari
segala cara yang digunakan itu, St. Sularto mengatakan bahwa kekuasaan politik
akan menjadi kuat bila penguasa politik mendapat dukungan dari rakyat.
22
Maka
seorang penguasa sedapat mungkin dicintai dan ditakuti oleh rakyatnya, tetapi
bila tidak bisa mengambil sikap kedua-duanya, penguasa politik lebih baik
memilih untuk ditakuti. Ia harus bisa bertindak sebagai singa yang ganas dan
serigala yang licik. Menurut St. Sularto, Machiavelli mengandaikan bahwa
penguasa politik akan mendapat dukungan legitimasi dari rakyatnya bila
penguasa politik bisa melindungi kepentingan rakyatnya.
23
Untuk itu, penguasa
politik haruslah cerdik seperti serigala dan sekaligus ganas seperti singa. Ia bisa

18
Ibid. hal.24.
19
Ibid. hal.22.
20
Ibid.
21
Ibid, hal. 25-26.
22
Ibid, hal.31-33.
23
Ibid, hal.29-30.
13
menggunakan kekuasaan politik dengan kekerasan, kekejaman dan tipu muslihat
untuk memperbesar kekuasaannya berhadapan dengan masyarakat yang korup.
Dengan dimilikinya militer, hukum dan kualitas diri penguasa yang licik
dan ganas, penguasa politik bisa mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya.
Penguasa politik tidak bisa mengandalkan diri hanya pada keberuntungan
(fortune) dalam usaha mempertahankan kekuasaan politik. Penguasa politik
harus mengandalkan baik keberuntungan (fortune) maupun kebajikan (virt)
untuk mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya.
24

Mengenai tema ekspansi militer, St. Sularto tidak melakukan
pembahasan tentang tema ini. Ia hanya mengatakan bahwa dalam hubungan
dengan negara lain, Machiavelli berpandangan bahwa negara-negara lain
haruslah diperlemah kekuasaannya melalui tiga cara yaitu dengan memindahkan
penduduk ke daerah koloni, menutup pengaruh negara-negara yang dikuasainya
dari pengaruh asing dan menjadi pembela dari negara-negara lain sehingga
negara-negara lain mau bersekutu dengan negara sang penguasa.
25
Dengan
demikian, St. Sularto sebenarnya sudah dengan sendirinya mengandaikan
bahwa dalam pemikiran politik Machiavelli tersirat sebuah gagasan mengenai
ekspansi militer tetapi pengandaian itu tidak diolahnya lebih lanjut.
Berbeda dengan pendapat St. Sularto, Mikael Hrnqvist mengatakan
bahwa tema ekspansi militer secara jelas nampak dalam pemikiran Machiavelli.
Hrnqvist bertolak dari pengaruh gagasan republik pada masa renaisans yang
sangat mempengaruhi pemikiran masyarakat pada waktu itu, termasuk terhadap
Machiavelli. Gagasan ini mengatakan bahwa republik memiliki dua tujuan yaitu
terwujudnya kebebasan di dalam negeri dan diperolehnya wilayah jajahan, harta
kekayaan dan kebesaran serta kemuliaan negara dalam hubungan luar negeri.
26

Kebebasan dalam negeri, bila diartikan secara negatif, berarti tidak dijajah oleh
negara lain atau tidak dipimpin oleh penguasa tiran. Secara positif berarti, ada

24
Ibid, hal.28.
25
Ibid, hal.30-31. Dari uraiannya, nampak bahwa St. Sularto cenderung melihat virt sebagai
kualitas pribadi dan ketrampilan yang berguna untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan
politik.
26
Mikael Hrnqvist, Op.Cit, hal.38-39.
14
kemerdekaan politik dan pemerintahan yang dilakukan oleh bangsa sendiri. Ada
pun tujuan kebesaran negara dicapai dengan melakukan ekspansi. Gagasan
semacam ini merupakan kombinasi antara warisan pemikiran tradisi Aristotelian
dan sejarah Republik Romawi yang menjadi arus pemikiran utama pada masa
renaisans.
27

Berdasarkan warisan tradisi pemikiran tersebut, menurut Hrnqvist,
Machiavelli berpandangan bahwa Florence bisa menjadi besar bila Florence
melakukan ekspansi militer seperti yang dilakukan oleh Republik Romawi.
28

Ekspansi militer yang berhasil hanya akan terjadi di dalam sebuah negara
republik. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa akan ada begitu banyak
orang yang memiliki aneka macam virt sehingga akan ada begitu banyak
persediaan ketrampilan berperang (virt) yang cocok dengan keberuntungan
(fortune) yang selalu berubah. Hrnqvist sependapat dengan Skinner bahwa virt
adalah kemampuan untuk menjadi fleksibel atau bisa menyesuaikan diri dengan
situasi yang berubah.
29
Kebesaran negara tercapai bila virt cocok dengan
kondisi fortune saat itu. Guna menumbuhkan aneka virt, Machiavelli
memberikan nasehat agar penguasa memberikan rangsangan (stimulus) yang
bisa membangkitkan hasrat orang untuk tampil berprestasi di dalam setiap
pertempuran yang dilakukan oleh negara.
Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa ada kemiripan penafsiran
virt yang dilakukan oleh Hrnqvist, Skinner dan St. Sularto. Mereka sama-sama
cenderung menafsirkan virt sebagai ketrampilan atau kemampuan. Hanya saja
penafsiran St. Sularto terpusat pada kemampuan untuk meraih dan
mempertahankan kekuasaan politik sedangkan Hrnqvist dan Skinner lebih luas
penafsirannya, tidak hanya berhenti pada ketrampilan dan kemampuan dalam
menjalankan kekuasaan politik saja tetapi juga pada ketrampilan dan
kemampuan dalam berperang.

27
Ibid, hal.39-66.
28
Ibid, hal.264-266.
29
Ibid, hal.241. Quentin Skinner,Op.Cit., hal.39-41.
15
Skinner, Hrnqvist dan St. Sularto melihat ketrampilan atau kebajikan
(virt) Machiavelli dalam satu tataran saja. Adalah Joseph Bien yang mulai
melihat adanya perbedaan tataran virt antara rakyat dengan penguasa.
30
Bien
mengatakan bahwa virt yang dimiliki penguasa atau pemimpin harus lebih tinggi
daripada virt yang dimiliki oleh rakyatnya atau pengikutnya. Bien merumuskan
virt penguasa sebagai virt lebih. Selanjutnya, Bien menafsirkan virt sebagai
sebuah sikap kesiapsediaan untuk membaktikan diri pada kebaikan bersama
(common good). Kebaikan bersama ditafsirkan oleh Bien dari pemikiran
Machiavelli sebagai kedaulatan negara. Maka, virt lebih yang harus dimiliki oleh
penguasa politik adalah demi menjaga kedaulatan negara. Namun Bien tidak
memerinci lebih lanjut apa makna secara mendalam virtu rakyat. Ia hanya
mengatakan bahwa virt rakyat adalah partisipasi rakyat dalam menjaga
kestabilan pemerintahan. Pandangan Bien mengenai kekuasaan politik sama
dengan logika yang dipakai oleh St. Sularto yaitu kekuasaan politik harus dijaga
dan dipelihara. Akan tetapi Bien menambahkan sebuah gagasan yang tidak
terdapat dalam pemikiran St. Sularto yaitu kestabilan pemerintahan akan
memperkuat kedaulatan negara dan memperpanjang hidup negara. Bagi Bien,
kebaikan bersama (common good) memerlukan usaha untuk menjaga dan
memelihara kekuasaan politik. Sikap penguasa sebagai singa yang ganas dan
serigala yang cerdik, menurut Bien, harus ditafsirkan dalam kerangka
pencapaian kebaikan bersama (common good). Namun Bien tidak mengaitkan
virt tersebut dengan ekspansi militer yang juga menjadi keprihatinan
Machiavelli. Virt dipandang Bien sebagai sesuatu yang berguna secara internal
tanpa kaitan dengan segi eksternal negara.
Berkenaan dengan keberuntungan (fortune), Hrnqvist, Skinner dan
Sularto memiliki kesamaan dalam penafsiran mengenai keberuntungan (fortune).
Mereka sama-sama cenderung menafsirkan gagasan Machiavelli mengenai
keberuntungan (fortune) sebagai Dewi Fortuna yang selalu berubah-ubah tanpa
dipahami oleh manusia. Akan tetapi St. Sularto memakai istilah keberuntungan
(fortune) dan ketrampilan (virt) dalam konteks usaha meraih dan

30
Joseph Bien, Politics of the Present: Machiavellian Humanis, Philosophy Phenomenological
Research, XLII (September, 1981-Juni, 1982), hal.201.
16
mempertahankan kekuasan politik sedangkan Skinner dan Hrnqvist
memakainya dalam konteks kekuasaan politik dan ekspansi militer. Hanya saja,
ada satu kategori lagi yang tidak dijelaskan oleh St. Sularto tetapi dijelaskan oleh
Hrnqvist dan Skinner yaitu istilah waktu atau saat (times). Bagi Skinner, istilah
itu disamaartikan dengan keberuntungan (fortune).
31
Hrnqvist menafsirkan
waktu atau saat (times) sebagai waktu yang berubah sesuai dengan hukum alam
yang tak mungkin dimengerti oleh manusia dalam cara apa pun sehingga
perubahan waktu itu membuat setiap bagian waktu hanya cocok dengan suatu
kualitas atau sifat pribadi tertentu.
32

Hrnqvist dan Skinner sama-sama melihat ekspansi militer sebagai
keprihatinan utama Machiavelli. Hrnqvist dan Skinner mengemukakan bahwa
menurut Machiavelli, ekspansi militer merupakan jalan keluar terbaik bagi
Florence bila ingin mempertahankan dirinya dari serangan negara lain dan
sekaligus dalam rangka memperoleh kebesaran negara.
33
Penafsiran ini
merupakan sebuah penafsiran yang memiliki titik pijak sejarah yang kokoh
meskipun kedua sarjana itu tidak mengungkapkannya secara eksplisit. Mengenai
konteks sejarah abad pertengahan yang menjadi konteks pemikiran Machiavelli,
Martin van Creveld dan Bruce D. Porter melaporkan bahwa kondisi Eropa abad
pertengahan diwarnai oleh pertarungan kekuasaan antar negara. Negara yang
satu berusaha menguasa negara lainnya dalam rangka mewujudkan impian
mereka menjadi penguasa dunia.
34
Creveld dan Porter sama-sama melihat
bahwa pertarungan kekuasaan tidak hanya terjadi dalam hubungan antar negara
tetapi juga terjadi di dalam komunitas politik masing-masing yaitu pertarungan
rakyat melawan hegemoni Gereja, pertarungan rakyat jelata melawan kaum
bangsawan dan pertarungan rakyat jelata melawan feodalisme. Creveld dan
Porter mengistilahkan kondisi sosial politik Eropa abad pertengahan sebagai
pertarungan pemusatan kekuasaan baik di dalam komunitas politik itu sendiri

31
Quentin Skinner, Op.Cit, hal.39.
32
Mikael Hrnqvist, Op.Cit, hal.236.
33
Quentin Skinner, Op.Cit, hal. 73-74. Mikael Hrnqvist, Machiavelli, hal.272.
34
Bruce D. Porter, Op.Cit, hal. 23-61. Martin van Creveld, Op.Cit, hal.59-125.
17
maupun antar komunitas politik. Keduanya juga menempatkan pemikiran politik
Machiavelli dalam konteks yang demikian.
Pendapat Creveld dan Porter yang menempatkan konteks politik Eropa
abad pertengahan bagi pemikiran Machiavelli diteguhkan oleh Paul Strathern.
Strathern mengatakan bahwa Machiavelli mengalami invasi Perancis atas
Florence pada tahun 1494. Invasi itu, menurut Strathern, merupakan sebuah
peristiwa yang sangat menyakitkan hati Machiavelli. Invasi itu telah membuat
Machiavelli merasa malu dan sangat terhina.
35
Florence yang lebih maju
peradabannya baik secara intelektual maupun dari sudut ekonomi harus tunduk
kepada negara lain yang dalam pandangan warga Florence sebagai negara yang
dipenuhi dengan suasana irasional, barbar atau tidak berbudaya. Strathern
sendiri mengatakan bahwa peristiwa invasi Perancis pada tahun 1494 begitu
membekas di dalam lubuk hati Machiavelli sehingga seluruh pemikiran
Machiavelli tidak bisa dilepaskan dari peristiwa itu. Dengan perkataan lain, invasi
Perancis meninggalkan luka batin mendalam dalam pemikiran Machiavelli
sehingga sangat mempengaruhi pandangan-pandangan politik Machiavelli.
Maka, bisa dikatakan bahwa pemikiran Creveld dan Porter mengenai proses
pemusatan kekuasaan di Eropa abad pertengahan harus menjadi faktor
terpenting dalam penafsiran pemikiran Machiavelli.
Konteks sejarah seperti yang dikemukakan Creveld dan Porter tersebut
tidak terlalu nampak dalam tulisan-tulisan Skinner, Hrnqvist dan St. Sularto
meskipun mereka semua mengakui bahwa pemikiran Machiavelli diwarnai oleh
adanya pertarungan semacam itu, baik secara internal maupun eksternal, yang
dalam pertarungan eksternal, St. Sularto tidak memasukkannya sebagai latar
belakang sejarah pemikiran Machiavelli. Dengan demikian, Creveld dan Porter
memperjelas konteks sejarah pemikiran politik Machiavelli, yang sangat kabur di
dalam pembahasan Skinner, Hrnqvist dan St. Sularto.

35
Paul Strathern, 90 Menit Bersama Machiavelli, terj. Frans Kowa (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2001), hal.21.
18
Meskipun Skinner dan Hrnqvist sama-sama melihat tema ekspansi
militer sebagai keprihatinan Machiavelli, tetapi kedua sarjana itu memiliki titik
pijak penafsiran yang berbeda. Skinner cenderung melihat pemikiran Machiavelli
sebagai sebuah pemikiran filosofis
36
sedangkan Hrnqvist melihat pemikiran
Machiavelli sebagai sebuah retorika.
37
Akibatnya terjadi perbedaan sumber
pembahasan atas pemikiran Machiavelli. Skinner melakukan pembahasan atas
pemikiran politik Machiavelli berdasarkan tulisan-tulisan Machiavelli yang
terdapat di dalam buku The Prince, The Discourse, The Art of War dan The
History of Florence. Ada pun Hrnqvist menafsirkan pemikiran Machiavelli hanya
dari buku The Prince saja. Namun demikian Skinner dan Hrnqvist sama-sama
sepakat bahwa tulisan The Prince tidak bisa dilepaskan dari tulisan The
Discourse. Hrnqvist dan Skinner juga sepakat bahwa dalam menafsirkan
pemikiran Machiavelli mengenai negara yang kuat, The Prince dan The
Discourse harus dibaca secara bersama-sama, atau harus dilihat sebagai dua
karya yang menjadi satu.
38
Itulah sebabnya, meskipun Hrnqvist membatasi
pembahasan atas pemikiran Machiavelli hanya pada buku The Prince saja,
Hrnqvist pada akhirnya menafsirkan tulisan The Prince dengan kacamata
pemikiran The Discourse.
Pendapat Hrnqvist mengenai karya Machiavelli yang bercorak retoris
merupakan cerminan dari adanya perbedaan sudut pandang dari para sarjana
terhadap pemikiran politik Machiavelli. Kubu yang membela gagasan Machiavelli
sebagai sebuah pemikiran filosofis memberi sebutan yang berbeda-beda.
Skinner menyebut pemikiran Machiavelli sebagai sebuah filsafat kebebasan.
Plamenatz mengemukakan pemikiran Machiavelli sebagai sebuah filsafat yang

36
Quentin Skinner, Op.Cit, hal.50-72.
37
Mikael Hrnqvist, Op.Cit, hal.1-37.
38
Quentin Skinner, Op.Cit, hal.50-51. Mikael Hrnqvist, Op.Cit, hal.283-284. Bdk. St. Sularto,
Op.Cit, hal.48-50. St. Sularto hanya mengatakan bahwa The Prince dan The Discourse
merupakan dua tulisan yang saling berhubungan dan tidak bisa dilepaskan satu dari yang lain,
tetapi ia tidak mengemukakan hubungan antara penggabungan kedua tulisan itu dengan tema
negara yang kuat. Bdk. juga John Plamenatz, Op.Cit, hal.13-16. Plamenatz menjelaskan secara
panjang lebar hubungan erat antara The Prince dan The Discourse itu. Ia juga mengemukakan
bahwa The Prince merupakan ringkasan dari The Discourse yang waktu itu sedang ditulisnya untuk
maksud tertentu bagi keluarga Medici. Konsistensi gagasan tulisan-tulisan Machiavelli juga
dikemukakan oleh Harvey C. Mansfield. Lih. Harvey C. Mansfield, Machiavellis Virtue (Chicago:
The University of Chicago Press, 1998), hal.125-126.
19
hidup atau filsafat yang praktis.
39
Pemikiran Hrnqvist merupakan sebuah karya
yang unik dari sekian banyak tulisan yang membahas pemikiran politik
Machiavelli. Sampai saat ini, baru tulisan Hrnqvist saja yang mengatakan
bahwa pemikiran Machiavelli merupakan sebuah pemikiran yang bercorak
retoris. Dengan gaya berpikir semacam ini, Hrnqvist menghidupkan kembali
perdebatan mengenai sudut pandang pemikiran Machiavelli yang selama ini
hampir tidak pernah dipermasalahkan di antara para sarjana.


E. METODE PENELITIAN


1. TIPE PENELITIAN


Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif yang
bercorak deskriptif analisis. Metode kualitatif digunakan karena penelitian
ini ingin memahami pemikiran politik Machiavelli berdasarkan penafsiran
atas sumber-sumber tertulis baik yang ditulis oleh Machiavelli maupun
sumber-sumber lain yang berkaitan dengan konteks pemikiran
Machiavelli.
40

Corak deskriptif digunakan karena penelitian ini bertujuan
menerangkan pemikiran Machiavelli berdasarkan pertanyaan
bagaimana sehingga diperoleh sebuah gambaran yang detil atas
pemikiran Machiavelli mengenai ekspansi militer dan kekuasaan politik.
41

Ada pun segi analisis dimaksudkan bahwa penelitian ini akan
menguji teori-teori yang membahas pemikiran Machiavelli. Ada tiga teori
yang akan diuji dalam penelitian ini yaitu teori dari St. Sularto, Mikael
Hrnqvist dan Quentin Skinner. Ketiga teori itu akan diuji mengenai empat

39
John Plamenatz, Op.Cit, hal. xix-xx.
40
Bdk. W. Lawrence Neuman, Social Research Methods Qualitative and Quantitative Approaches
(fourth edition, London: Allyn and Bacon, 2005), hal.70-71.
41
Lih. Ibid, hal.21-22.
20
hal yaitu pertama, penafsiran atas virt, fortune dan times yang menjadi
kategori-kategori inti dalam pemikiran Machiavelli; kedua, pengertian
akan kebesaran negara yang menjadi tujuan dari kekuasaan politik dari
pemikiran Machiavelli; ketiga, apa yang sesungguhnya menjadi
pengertian Machiavelli mengenai kekuasaan politik serta keempat bentuk
negara yang kuat dalam pemikiran Machiavelli.


2. PENDEKATAN PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan pendekatan interpretatif. Pendekatan
interpretatif mempelajari alasan atau motif seseorang, yang membentuk
perasaan dan kemudian membawanya pada keputusan, untuk melakukan
sesuatu dengan cara yang khusus.
42
Dengan pendekatan ini, latar
belakang sosial dan budaya serta pendapat umum (common sense) yang
melingkungi seseorang memiliki peranan yang penting sebab latar
belakang sosial dan budaya serta pendapat umum ikut menentukan
maksud tindakan seseorang. Pendekatan ini mendasarkan diri pada
sebuah pengandaian bahwa tiap-tiap orang memaknai secara berbeda
atas kenyataan sosial. Perbedaan pemaknaan itu mengakibatkan setiap
orang bertindak berdasarkan alasan masing-masing. Dengan pendekatan
ini, penelitian harus melihat latar belakang sosial, budaya, pendapat
umum yang beredar serta pemaknaan orang akan kenyataan sosial untuk
memahami motif atau alasan tindakan seseorang. Dalam penelitian
seperti ini, Neuman menganalogikan peneliti ibarat seseorang yang
bukan penjudi menggambarkan secara detil mengenai judi sehingga, bila
seseorang lain yang bukan penjudi membaca penggambaran itu, ia bisa
bercerita seakan-akan dirinya adalah penjudi.
43

Dengan menggunakan pendekatan interpretatif, penelitian akan
pemikiran Machiavelli memusatkan diri pada latar belakang sosial historis

42
Ibid, hal.70-75.
43
Ibid, hal.74
21
yang melingkupinya untuk memahami maksud dari tulisan-tulisannya.
Hubungan timbal balik antara teks dengan kondisi nyata dan pendapat
umum atau pandangan ideologis yang beredar pada abad pertengahan
yang dihadapi Machiavelli telah diutarakan oleh Skinner.
44
Hrnqvist
mempertajam corak retoris yang tidak terlalu kelihatan pada Skinner.
45

Penelitian ini menambahkan pendekatan konteks sosial historis Eropa
abad pertengahan seperti dikemukakan oleh Martin van Creveld dan
Bruce D. Porter. Martin van Creveld memasukkan Machiavelli dalam
bagian sejarah Eropa abad pertengahan dalam proses pembentukan
negara modern. Menurutnya, proses pembentukan negara modern pada
abad pertengahan itu terjadi karena ada pertarungan melawan hegemoni
Gereja, pertarungan melawan bangsawan dan kota-kota kecil dalam
rangka pemusatan kekuasaan serta pertarungan melawan kekaisaran
besar dalam rangka memperoleh kemerdekaan negara dan akhirnya
terjadi kemenangan dalam diri raja sebagai pusat kekuasaan.
46
Bruce D.
Porter mengatakan proses pembentukan negara modern terjadi pada
abad pertengahan karena ada proses pemusatan kekuasaan secara
internal melalui perlawanan terhadap feodalisme yaitu para bangsawan
dan ideologi feodal serta wilayah-wilayah yang dikuasai mereka dan
proses pemusatan kekuasaan secara eksternal melalui perang ekspansi
atau perluasan wilayah sebagai akibat dari ditemukannya tehnologi
senjata api dan artileri.
47

Fakta menunjukkan bahwa konteks Machiavelli tidak bisa
dilepaskan dari proses pembentukan negara modern yang melanda
Eropa pada abad pertengahan. Kerangka pemikiran Martin van Creveld
dan Bruce D. Porter justru menjadi kunci untuk memahami pemikiran
politik Machiavelli.

44
Lih. Mikael Hrnqvist, Op.Cit, hal.13-19.
45
Ibid, hal.18-19.
46
Lih. Martin van Creveld, Op.Cit, hal.59-125.
47
Lih. Bruce D. Porter, Op.Cit, hal. 23-61.
22
Dengan menempatkan pemikiran Machiavelli dalam konteks sosial
historis Eropa pada abad pertengahan, konstruksi atas pemikiran
Machiavelli bertolak dari keadaan nyata Machiavelli. Keadaan nyata itu
meliputi: Pertama, konteks Machiavelli hidup di Florence pada abad
pertengahan diwarnai oleh usaha-usaha pemusatan kekuasaan terhadap
negara-negara lain melalui ekspansi militer maupun pemusatan
kekuasaan secara internal baik melawan para bangsawan atau usaha
merebut simpati rakyat dalam rangka memperoleh kesetiaan dari
rakyatnya, serta perlawanan terhadap hegemoni Gereja beserta norma-
norma moral Skolastik yang menyertainya sebagai dampak dari
Renaisans. Konteks itu pula yang menjadi keprihatinan utama Machiavelli
dalam pemikirannya. Kedua, minat Machiavelli pada persoalan hubungan
luar negeri dan militer sebagai buah dari profesinya sebagai birokrat yang
mengurusi bidang luar negeri dan militer. Ketiga, kenyataan yang sedang
terjadi di negara-negara lain di Eropa diketahui oleh Machiavelli dari hasil
penugasannya ke luar negeri. Pengetahuan hasil dari penugasan itu
digunakan untuk membuat perbandingan antara keadaan politik negara-
negara lain dengan negaranya, Florence.


3. TEHNIK PENGUMPULAN DATA


Data dikumpulkan melalui studi pustaka atas tulisan-tulisan
Machiavelli dalam bukunya yang berjudul The Prince, The Discourse dan
The Art of War serta tulisan mengenai Machiavelli dan tulisan-tulisan lain
yang berhubungan dengan latar belakang pemikiran Machiavelli
mengenai ekspansi militer dan kekuasaan politik.
The Prince, The Discourse dan The Art of War dimasukkan dalam
kelompok data primer sedangkan tulisan-tulisan mengenai Machiavelli
dan tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan latar belakang
pemikiran Machiavelli mengenai ekspansi militer dan kekuasaan politik
dimasukkan dalam kelompok data sekunder.
23


F. TUJUAN PENELITIAN


Menjelaskan pemikiran Machiavelli mengenai politik dan militer serta
hubungan di antara keduanya dalam rangka membentuk negara yang
kuat.
Menjelaskan konsep Machiavelli mengenai kekuasaan politik dan
ekspansi militer.

G. SIGNIFIKANSI PENELITIAN


1. SIGNIFIKANSI AKADEMIS


Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka tabir yang selama
ini melingkupi pemikiran Machiavelli. Tabir itu seringkali mengakibatkan
terjadinya salah tafsir atas pemikiran Machiavelli sehingga terhadap
Machiavelli sikap yang kerap muncul adalah sebuah sikap negatif. Tidak
sedikit kalangan yang menilai Machiavelli sebagai pemikir politik yang
kejam, tidak manusiawi, bahkan dengan cepat dihubungkan dengan ateis,
tidak beragama, tidak bermoral. Tabir itu pula yang menjadi sumber dari
sebuah perdebatan mengenai inti dari pemikiran Machiavelli. Jika
perdebatan itu dilakukan secara ilmiah, perdebatan itu akan menjadi
sebuah diskusi yang menumbuhsuburkan wawasan ilmiah. Hasil
penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu peserta dalam
perdebatan ilmiah yang terjadi di muka bumi ini mengenai pemikiran
Machiavelli. Hasil penelitian ini tidak dirancang untuk menjadi sebuah
kajian ilmiah yang bercorak apologis atau bercorak pembelaan terhadap
Machiavelli, sebab usaha-usaha yang dilakukan dengan metode keilmuan
secara demikian tidak akan menghasilkan sebuah karya ilmiah. Kajian
ilmiah akan berhasil guna dan berdaya guna bila tidak disertai dengan
maksud apa pun selain maksud untuk memajukan khasanah ilmu
24
pengetahuan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini sejak awal dimaksudkan
untuk ikut serta memajukan ilmu pengetahuan di bidang pemikiran politik,
terutama pemikiran politik Machiavelli.


2. SIGNIFIKANSI PRAKTIS


Hasil penelitan ini diharapkan dapat menambah cakrawala bagi
mereka yang berminat pada pemikiran politik barat dan sejarah filsafat
abad pertengahan, terutama pemikiran politik Machiavelli. Di samping itu,
hasil penelitian ini bisa menjadi wawasan yang berguna untuk memajukan
pemahaman pemikiran politik Machiavelli di Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik Universitas Indonesia. Akhirnya, hasil penelitian ini bisa digunakan
dalam dunia militer untuk menjadi bahan dalam ilmu kemiliteran yang saat
ini sedang diwacanakan dalam lingkungan TNI.


H. SISTEMATIKA PENULISAN


Tulisan ini akan terdiri dari 5 bab. Bab I Pendahuluan yang berisi latar
belakang masalah, studi pemikiran Machiavelli mengenai kekuasaan politik dan
ekspansi militer, perumusan masalah, kerangka teori, metode penelitian, tujuan
penelitian, signifikansi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II, akan diuraikan Machiavelli dan Latar Belakangnya yang berisi
tentang Renaisans Italia sebagai latar belakang Machiavelli, riwayat hidup
Machiavelli, situasi sosial dan politik Florence, dan terakhir akan berbicara
mengenai Machiavelli sebagai seorang filsof modern.
Bab III akan berbicara mengenai Kekuasaan Politik Dalam Pemikiran
Machiavelli yang akan membahas mengenai antropologi sebagai titik tolak
kekuasaan politik, kekuasaan sebagai seni mempengaruhi, kebesaran negara
sebagai common good, kemudian akan dibicarakan mengenai makna Fortune,
25
Virt dan Times, dan terakhir akan dibahas mengenai bentuk kekuasaan politik
untuk kebesaran Florence.
Bab IV, akan dibahas mengenai Ekspansi Militer dalam Pemikiran
Machiavelli. Dalam bab ini dibicarakan metode dan kewajiban moral ekspansi,
perlunya pasukan sendiri, dan terakhir perlunya membangun virt sebagai
persiapan ekspansi.
Bab V diberikan Kesimpulan atas Pemikiran Machiavelli mengenai
ekpansi dan kekuasaan politik sebagai jawaban atas permasalahan yang
diuraikan dalam Bab I serta implikasi studi ini terhadap teori-teori dari St. Sularto,
Mikael Hrnqvist dan Quentin Skinner. Juga akan disampaikan sumbangan
teoritis studi ini terhadap ilmu politik.

Вам также может понравиться