Вы находитесь на странице: 1из 44

1

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi, Fisiologi dan Histologi Hepar
3.1.1 Anatomi Hepar
Hepar adalah kelenjar terbesar dalam tubuh dengan berat rata-rata 1.500 gr
atau 2% dari total berat badan orang dewasa normal. Letaknya tepat dibawah
diafragma kanan. Hati memiliki 2 lobus, yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang
dibatasi oleh ligamentum falsiformis. Pada bagian posterior hati terdapat porta
hepatica tempat dimana masuknya vena porta dan arteria hepatica dan keluarnya
duktus hepatica.
Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas
abdominlais tepat dibawah diafrgama. Sebagian besar hepar terletak di profunda
arcus costalis dextra, dan hemidiafrgma dextra memisahkan hepar dari pleura,
pulmo, pericardium dan cor. Hepar terbentang ke sebelah kiri untuk mencapai
hemidiafragma sinistra. Permukaan atas hepar yang cembung melengkung di
bawah kubah diafragma. Fascia viseralis membentuk cetakan visera tang letaknya
berdekatan sehingga bentuknya menjadi tidak beraturan. Permukaan ini
berhubungan dengan pars abdominalis oesofagus, gaster, duodenum, fleksura coli
dextra, ren extra dan glandula suprarenalis dextra, serta vesica biliaris. Secara
anatomis, organ hepar terletak di hipochondrium kanan dan epigastrium, melebar
ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh cavum toraks dan bahkan pada orang
normal tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti ada pembesaran hepar).
Hepar dibagi menjadi lobus hepatis dexter yang besar dan lobus hepatis
sinister yang kecil oleh perlekatan ligamentum peritoneale, ligamentum
falciforme. Lobus hepatis dexter terbagi lagi menjadi lobus quadrates, dan lobus
caudatus oleh adanya vesica biliaris, fissure ligament teretis, vena cava inferior,
dan fissure ligament venosi.Porta hepatis, atau hilus hepatis, terdapat pada fascies
viseralis, dan teletak diantara lobus caudatus dan lobus quadrates. Bagian atas
ujung bebas omentum minus melekat pada pinggir-pinggir porta hepatis. Pada
tempat ini terdpat duktus hepaticus sinister dan dexter, ramus dexter dan sinister
2

arteria hepatica, vena portae hepatis, serta serabut saraf simpatis dan parasimpatis.
Disisni terdapat beberapa kelenjar limfe hepar. Kelenjar-kelnjar ini menapung
cairan limf hepar dan vesica biliarus, dan mengirimkan serabut eferannya ke nodi
lymphoidei coeliaci. Seluruh hepar dikelilingi oleh capsula fibrosa, tetapi hanya
sebagian ditutupi oleh peritoneum. Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena
sentralis pada masing-masing lobules bermuara ke vena hepaticae. Di dalam
ruangan diantara lobules-lobulus terdapat canalis hepatis yang berisi cabang-
cabang arteria hepatica, vena portae hepatis, dan sebuah cabang duktus
choledochus (trias hepatis). Darah arteria dan vena berjalan diantara sel-sel hepar
melalui sinusoid dan dialirkan melalui vena sentralis.
Sirkulasi darah hepar :
Vasa darah yang member darah ke hepar adalah a.hepatica dan v.portae
hepatis. A.hepatica membawa darah yang kaya oksigen ke hepar, sedangkan
v.portae hepatis membawa darah vena yang kaya hasil pencernaan yang telah
diserap dari tractus gastrointestinal. Darah arteri dan vena masuk ke v.centralis
dari setiap lobules hepatis melalui sinusoid hepar.Vena centralis bermuara ke vena
hepatica dextra et sinistra, dan meninggalkan permukaan posterior hepar menuju
vena cava inferior.
Sistem Portal:
Sistem portal adalah semua sistem vena yang mengalirkan darah menuju
hati yang berasal dari saluran cerna di rongga abdomen, limpa, dan kantong
empedu. Vena portal masuk kehati melalui porta hepatic, yang membagi menjadi
2 bagian yang masing-masing membagi menuju tiap lobus.
Vena porta merupakan penyatuan dari vena mesentrika superior dan lienalis.Vena
portal terletak di anterior kaput pancreas setinggi vertebra lumbal 2,sedikit sebelah
kanan garis tengah, memanjang 5,5-8 cm dari porta hepatic. Didalam hati vena
portal membentuk cabang yang mengaliri hati yang berjalan seiring dengan
arteri hepatica.
Vena mesentrika superior merupakan muara dari aliran darah vena yang
berasal dari intestinal, kolon dan kaput pancreas dan kadang dari lambung melalui
vena gastroepiploika kanan. Sedangakan vena lienalis merupakan muara 5-15
3

cabang dari vena di hilus limpa., dan dari beberapa vena gastrika breves
yang bermuara di sepanjang vena lienalis yang terletak diekor dan badan
pancreas. Vena menampung darah dari caput pancreas dan vena gastroepiploika
kiri yang bermuara didekat limpa, dan darah dari mesentrika inferior yang berasal
dari kolon kiri dan rectum. Vena mesentrika biasanya bermuara dibagian sepertiga
tengah.
Kecepatan aliran vena portal mencapai 1000-12000 ml/menit dan
memasok 72% kebutuhan oksigen total. Perbedaan kandungan oksigen total
anterior-portal dalam keadaan puasa sebesar 1,9 volume persen. Perbedaan ini
akan meningkat saat proses digesti berlangsung. Dalam keadaan normal tekanan
vena portal berkisar 7 mmHg.
Sirkulasi Kolateral:
Apabila terdapat sumbatan aliran pada sistem portal, baik sumbatan intra
maupunekstra hepatik akan tampak sirkulasi kolateral. Sirkulasi kolateral merupak
an konsekuensi atas terjadinya sumbatan, sebagai upaya konsekuensi mengalihkan
aliran portal kedalam vena hepatik.

3.1.2 Fisiologi Hepar
Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber
energi tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20-25% oksigen darah. Ada
beberapa fungsi hati yaitu:
1. Metabolisme Karbohidrat
Pembentukan, perubahan dan pemecahan KH, lemak dan protein saling
berkaitan satu sama lain. Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari
usus halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen lalu
ditimbun di dalam hati kemudian hati akan memecahkan glikogen menjadi
glukosa. Proses pemecahan glikogen menjadi glukosa disebut glikoneogenesis.
Karena proses-proses ini, hati merupakan sumber utama glukosa dalam tubuh,
selanjutnya hati mengubah glukosa melalui heksosa monophosphat shunt dan
terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan
4

membentuk/biosintesis senyawa 3 karbon (3C), yaitu piruvic acid (asam piruvat
diperlukan dalam siklus Krebs).
2. Metabolisme Lemak
Hati tidak hanya membentuk/mensintesis lemak tapi sekaligus
mengadakan katabolisis asam lemak. Asam lemak dapat dipecah menjadi
beberapa komponen:
1. Senyawa 4 karbon keton bodies.
2. Senyawa 2 karbon active acetate (dipecah menjadi asam lemak dan
gliserol).
3. Pembentukan cholesterol.
4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid.
Hati merupakan pembentukan utama sintesis, esterifikasi, dan ekskresi
kolesterol di mana serum cholesterol menjadi standar pemeriksaan metabolisme
lipid.
3. Metabolisme Protein
Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. Dengan proses
deaminasi, hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino. Dengan
proses transaminasi, hati memproduksi asam amino dari bahan-bahan non
nitrogen. Hati merupakan satu-satunya organ yg membentuk plasma albumin dan
-globulin dan organ utama bagi produksi urea. Urea merupakan end product
metabolisme protein. -globulin selain dibentuk di dalam hati, juga dibentuk di
limpa dan sumsum tulang. -globulin hanya dibentuk di dalam hati. Albumin
mengandung 584 asam amino dengan BM 66.000.
4. Pembekuan Darah
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan
dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V,
VII, IX, X. Faktor ekstrinsi akan beraksi jika benda asing mengenai pembuluh
darah dan factor instrinsik akan beraksi jika berhubungan dengan katup
jantungvitamin K dibutuhkan untuk pembentukan protrombin dan beberapa faktor
koagulasi.
5. Metabolisme Vitamin
5

Semua vitamin disimpan di dalam hati, khususnya vitamin A, D, E, dan K.
6. Proses Detoksikasi
Hati adalah pusat detoksikasi tubuh. Proses detoksikasi terjadi pada proses
oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi, dan konjugasi terhadap berbagai macam
bahan seperti zat racun dan obat over dosis.
7. Fagositosis dan Imunitas
Sel Kupffer merupakan saringan penting bakteri, pigmen, dan berbagai
bahan melalui proses fagositosis. Selain itu, sel kupfer juga ikut memproduksi -
globulin sebagai immune livers mechanism.
8. Pengatur Hemodinamik
Hati merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah. Hati
menerima 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal 1500
cc/menit atau 1000-1800 cc/menit. Darah yang mengalir di dalam arteri hepatica
25% dan di dalam vena porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah
ke hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persyarafan, dan hormonal.
Aliran ini berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari, dan shock.

3.1.3 Histologi Hepar
Secara mikroskopis, hepar terbagi menjadi unit fungsional yang disebut
lobulus yang berbentuk heksagonal. Lobulus tersebut mengelilingi vena sentralis
dan lobulus tersebut dikelilingi oleh cabang-cabang arteri hepatica,vena porta, dan
saluran empedu.
Hepar terdiri atas bermacam-macam sel. Hepatosit meliputi kurana lebih
60% sel hepar, sedangkan sisanya terdiri dari sel-sel epithelial system empedu
dalam jumlah yang bermakna dan sel-sel parenkimal yang termasuk di dalamnya
endotolium, sel kuffer dan sel stellata yang berbentuk seperti bintang. Hepatosit
sendiri dipisahkan oleh sinusoid yang tersusun melingkari efferent vena hepatica
dan duktus hepatikus. Saat darah memasuki hati melalui arteri hepatica dan vena
porta serta menuju vena sentralis maka akan didapatkan pengurangan oksigen
secara bertahap. Sebagai konsekuensinya, akan didapatkan variasi penting
kerentanan jaringan terhadap kerusakan asinus. Membrane hepatosit berhadapan
6

langsung dengan sinusoid yang mempunyai banyak mikrofili. Mikrofili juga
tampak pada sisi lain sel yang membatasi saluran empedu dan merupakan
petunjuk tempat permulaan sekresi empedu. Permukaan lateral hepatosit memiliki
sambungan penghubung dan desmosom yang saling bertautan dengn sebelahnya.
Sinusoid hati memiliki lapisan endothelial endothelial berpori yang dipisahkan
dari hepatosit oleh ruang disse (ruang sinusoida). Sel-sel lain yang terdapat dalam
dinding inusoid adalah sel fagositik. Sel Kuffer yang merupakan bagian penting
sistem retikuloendothellial dan sel stellata disebut sel itu, limposit atau perisit.
Yang memiliki aktifitas miofibroblastik yang dapat membantu pengaturan aliran
darah. Sinosoidal disamping sebagai faktor penting dalam perbaikan kerusakan
hati. Peningkatan aktifitas sel-sel stellata tampaknya merupakan faktor kunci
dalam pembentukan jaringan fibrotik di dalam hati.
Sel Stellata
Sel hati mengalami cedera akibat proses penyakit kronis (hepatitis B).
cedera ini dapat menyebabkan kematian sel dan fibrosis. Fibrosis disebabkan
karena aktivasi sel stellate yang diinduksi oleh sitokin, active oxygen
intermediates, sinyal autokrin dan sinyal parakrin yang dikeluarkan oleh hepatosit
& sel Kupffer. Sel stellata menyebabkan fibrosis dengan cara terjadinya
pembengkakan, melonggarkan retinoid dan mengatur reseptor untuk
memproliferasikan sitokin (PDGF, TGF-1).
PDGF (Platelet-derived Growth Factor) : factor proliteratif yang paling
potensial dalam fibrosis hepar.
TGF-1 merupakan stimulus dominant terhadap produksi MES (matriks
ekstraseluler). TGF-1 meningkat pada fibrosis hepar.
MES mengandung kolagen pembentuk fibrin ( tipe I dan III ) yang dikenal
sebagai proteoglikan, fibronektin, asam hialuronat, dan matrik glikokonjugasi.
Pembentukan jaringan ikat merupakan resultan dari peningkatan pembentukan
dan penurunan penghancuran matrik ekstraselular. Pada proses peradangan sel
stellata akan berproliferasi dan akan menjadi sumber utama dari kolagen
fibriler yang menandai adanya fibrosis dan sirosis.

7

3.2. Sirosis Hepatis
3.2.1 Definisi
Sirosis hepatis dalah kemunduran fungsi liver yang permanen yang ditandai
dengan perubahan histopatologi, yaitu suatu keadaan patologis yang
menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatic yang berlangsung progresif yang
ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukkan nodulus
regenerative. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan
penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan
vascular, dan regenerasi nodularis parenkim paru.
Sirosis hepatis adalah penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi seluruh
pembuluh darah besar dan seluruh system arsitektur hati mengalami perubahan
menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan fibrosis disekitar parenkim hati
yang mengalami regenerasi. Perubahan histopatologi yang terjadi menyebabkan
peninggian tekanan pembuluh darah pada sistem vena porta. Sebagai akibat dari
peninggian tekanan vena porta, terjadi varises esophagus dan bila pecah terjadi
muntah darah warna hitam (hematemesis).

3.2.2 Epidemiologi
Penderita sirosis hepatic lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan
dengan wanita sekitar 1,6 : 1 dengan rata-rata umur terbanyak yan g mengalami
adalah usia 30 59 tahun. dengan puncaknya sekitar umur 40-49 tahun.
Lebih dari 40% pasien sirosis asimtomatis. Pada keadaan ini sirosis
ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsi. Di
Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan-laporan dari
beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien
sirosis hati berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat dibagian penyakit dalam dalam
kurun waktu 1 tahun (2004) (tidak dipublikasi). Di Medan dalam kurun waktu 4
tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) pasien dari seluruh pasien di
bagian penyakit dalam.


8

3.2.3 Etiologi
Sirosis terjadi di hati sebagai respon terhadap cedera sel berulang dan reaksi
peradangan yang di timbulkan. Penyebab sirosis antara lain adalah infeksi
misalnya hepatitis dan obstruksi saluran empedu yang menyebabkan penimbunan
empedu di kanalikulus dan ruptur kanalikulus, atau cedera hepatosit akibat toksin.
Penyebab lain dari sirosis hepatis, yaitu:
1. Alkohol, suatu penyebab yang paling umum dari sirosis, terutama di daerah
Barat. Perkembangan sirosi tergantung pada jumlah dan keteraturan
mengonsumsi alkohol. Mengonsumsi alkohol pada tingkat-tingkat yang
tinggi dan kronis dapat melukai sel-sel hati. Alkohol menyebabkan suatu
jajaran dari penyakit-penyakit hati, yaitu dari hati berlemak yang sederhana
dan tidak rumit (steatosis), ke hati berlemak yang lebih serius dengan
peradangan (steatohepatitis atau alcoholic hepatitis), ke sirosis. Sirosis
kriptogenik, disebabkan oleh (penyebab-penyebab yang tidak teridentifikasi,
misalnya untuk pencangkokan hati). Sirosis kriptogenik dapat menyebabkan
kerusakan hati yang progresif dan menjurus pada sirosis, dan dapat pula
menjurus pada kanker hati.
2. Kelainan-kelainan genetik yang diturunkan/diwariskan berakibat pada
akumulasi unsur-unsur beracun dalam hati yang menjurus pada kerusakan
jaringan dan sirosis. Contohnya akumulasi besi yang abnormal
(hemochromatosis) atau tembaga (penyakit Wilson). Pada
hemochromatosis, pasien mewarisi suatu kecenderungan untuk menyerap
suatu jumlah besi yang berlebihan dari makanan.
3. Primary Biliary Cirrhosis (PBC) adalah suatu penyakit hati yang
disebabkan oleh suatu kelainan dari sistem imun yang ditemukan pada
sebagian besar wanita. Kelainan imunitas pada PBC menyebabkan
peradangan dan kerusakan yang kronis dari pembuluh-pembuluh kecil
empedu dalam hati. Pembuluh-pembuluh empedu adalah jalan-jalan dalam
hati yang dilalui empedu menuju ke usus. Empedu adalah suatu cairan yang
dihasilkan oleh hati yang mengandung unsur-unsur yang diperlukan untuk
pencernaan dan penyerapan lemak dalam usus serta produk-produk sisa,
9

seperti pigmen bilirubin (bilirubin dihasilkan dengan mengurai/memecah
hemoglobin dari sel-sel darah merah yang tua).
4. Primary Sclerosing Cholangitis (PSC) adalah suatu penyakit yang tidak
umum yang seringkali ditemukan pada pasien dengan radang usus besar.
Pada PSC, pembuluh-pembuluh empedu yang besar diluar hati menjadi
meradang, menyempit, dan terhalangi. Rintangan pada aliran empedu
menjurus pada infeksi-infeksi pembuluh-pembuluh empedu dan jaundice
(kulit yang menguning) dan akhirnya menyebabkan sirosis.
5. Hepatitis autoimun adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh suatu
kelainan sistem imun yang ditemukan lebih umum pada wanita. Aktivitas
imun yang abnormal pada hepatitis autoimun menyebabkan peradangan dan
penghancuran sel-sel hati (hepatocytes) yang progresif dan akhirnya
menjurus pada sirosis.
6. Atresia Biliaris kekurangan enzim-enzim vital untuk mengontrol gula-gula
yang menjurus pada akumulasi gula-gula dan sirosis. Pada kejadian-
kejadian yang jarang, ketidakhadiran dari suatu enzim spesifik dapat
menyebabkan sirosis dan luka parut pada paru (kekurangan alpha-1
antitrypsin).
Penyebab-penyebab sirosis yang lebih tidak umum termasuk reaksi-reaksi
yang tidak umum pada beberapa obat-obatan dan paparan yang lama pada racun-
racun, dan juga gagal jantung kronis (cardiac cirrhosis). Pada bagian-bagian
tertentu dari dunia (terutama Afrika bagian utara), infeksi hati dengan suatu
parasit (schistosomiasis) adalah penyebab yang paling umum dari penyakit hati
dan sirosis.
di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil
penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan sirosis
sebesar 40-50% dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya
tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C (non B-non C).
Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali
karena belum ada datanya.
10

Tabel 1. Sebab-sebab Sirosis dan/atau Penyakit Hati Kronik
Penyakit Infeksi
Bruselosis
Ekinokokus
Skistosomiasis
Toksoplasmosis
Hepatitis virus (hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, sitomegalovirus)

Penyakit Keturunan dan Metabolik
Defisiensi 1 antitripsin
Sindrom Fanconi
Galaktosemia
Penyakit Gaucher
Penyakit simpanan glikogen
Hemokromatosis
Intleransi fluktosa herediter
Tirosinemia herediter
Penyakit Wilson

Obat dan Toksin
Alkohol
Amiodaron
Arsenik
Obstruksi bilier
Penyakit perlemakan hati non alkoholik
Sirosis bilier primer
Kolangitis sklerosis primer

Penyebab Lain atau Tidak Terbukti
Penyakit usus inflamasi kronik
Fibrosis kistik
Pintas jejunoileal
Sarkoidosis

3.2.4 Klasifikasi
Sirosis secara konvensional diklasifikasikan sebagai makronodular (besar
nodul lebih dari 3 mm) atau mikronodular (besar nodul kurang dari 3 mm) atau
campuran mikro dan makronodular.
Ada tiga tipe sirosis atau pembentukan parut dalam hati, yaitu:
1. Sirosis portal Laennec (alkoholik, nutrisional), di mana jaringan parut
secara khas mengelilingi daerah portal. Sirosis ini paling sering
disebabkan oleh alkoholisme kronis dan merupakan tipe sirosis yang
paling sering ditemukan di negara Barat.
2. Sirosis poscanekrotik, di mana terdapat pita jaringan parut yang lebar
sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
11

3. Sirosis bilier, di mana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di
sekitar saluran empedu. Tipe ini biasanya terjadi akibat obstruksi bilier
yang kronis dan infeksi (kolangitis), insidensnya lebih rendah dari pada
insidens sirosis Laennec dan sirosis poscanekrotik.
Secara klinis sirosis hati dibagi atas 2 jenis :
1. sirosis hati kompensata, dimana pada stadium ini belum terdapat gejala-
gejala yang nyata (asimptomatis). Biasanya stadium ini ditemukan secara
tidak sengaja pada pemeriksaan screening.
Gejala sirosis kompensata :
Perasaan mudah lelah dan lemas
Selera makan berkurang
Perasaan perut kembung
Mual
Berat badan menurun
Pada laki-laki timbul impotensi, testis mnegcil, buah dada membesar,
hilangnya dorongan seksual

2. sirosis hati dekompensata, pada stadium ini gejala-gejala sudah sangat
jelas, pasien merasa lemas, adanya asites, ikterus, dll.Pada stadium inilah
pasien dibawa ke tempat pelayanan kesehatan atau ke Rumah Sakit.
Gejala sirosis dekompensata:
Hilangnya rambut badan
Gangguan tidur
Demam yang tak begitu tinggi
Gangguan pembekuan darah
Perdarahan gusi
Epistaksis
Gangguan siklus haid
Ikterus dengan warna urin seperti the pekat
Munta darah dan/atau melena (BAB bewarna hitam)
Perubahan mental (mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, koma)
12


3.2.5 Patogenesis
Ada dua kemungkinan patogenesis dari sirosis hati, yaitu :
1. Teori mekanisme
Yaitu yang menerangkan proses kelanjutan hepatitis virus menjadi sirosis hati
dimana nekrosis conjuent, retikulum nodul menjadi collaps merupakan
kerangka terjadinya daerah parut yang luas. Proses kolagenesis kerangka
reticulum fibrosis hati disuga merupakan dasar proses sirosis. Dalam
kerangka jaringan ikat ini, bagian parenkim hati yang bertahan hidup,
berkembang menjadi nodul regenerasi. Istilah yang dipakai untuk sirosis hati
jenis ini adalah jenis pasca nektori. Istilah ini menunjukkan bahwa nekrosis
sel hati yang terjadi merupakan penyebab sirosis
2. Teori Imunologis
Walaupun hepatitis akut dengan nekrosis confluent dapat berkembang
menjadi sirosis hati tapi proses tersebut terus melalui timgkat hepatitis kronik.
hepatitis kronik berhibungan dengan hepatitis non B.


Klasifikasi Jenis
Etiologi Hepatitis virus B/C
Alkohol
Metabolik: DM, hemokromatosis idiopatik, penyakit
Wilson
Perlemakan hati (kolestasis hati)
Obstruksi aliran vena hepatik: Penyakit vena oklusif,
perikarditis konstriktiva, payah jantung kanan
Gangguan imunologi: Hepatitis lupoid, hepatitis kronik
aktif
Toksik dan obat: metotrexat (MTX), INH, metildopa
Malnutrisi
Infeksi seperti malaria, sistosomiasis
Morfologi Mikronoduler
Makronoduler
Campuran
Fungsional Kompensasi baik (laten, sirosis dini)
Dekompensasi (kegagalan hati, hipertensi portal)
13

Patologi anatomi sirosis hepatis:
Makroskopik : hati biasanya mengkerut, berbentuk tidak teratur, dan terdapat
nodul dari ukuran < 3 mm (mikronodul) sampai beberapa sentimeter
(makronodul). Hati bewarna kuning-orange sampai kehitaman.
Mikroskopis :
Bridging fibrous septa dalam bentuk pita halus atau jaringan parut lebar
yang menggantikan lobulus
Nodul parenkim yang terbentuk oleh regenerasi hepatosit, dengan ukuran
bervariasi dari sangat kecil (garis tengah < 3 mm, mikronodul) hingga
besar (garis tengah beberapa sentimeter, makronodul)
Kerusakan arsitektur hati secara keseluruhan



Gambaran makroskopis sirosis hepatis karena
infeksi hepatitis B kronis. Terdapat nodul-
nodul makroskopis.


Gambaran mikroskopis sirosis hepatis.
Terlihat bridging fibrous septa dan
serbukan limfosit akibat hepatitis kronis
persisten.


3.2.6 Manifestasi Klinis
Hepatomegali
Pada awal perjalanan sirosis, hati cendrung membesar dan sel-selnya
dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang
dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari
pembesaran hati yang cepat sehingga mengakibatkan regangan pada selubung
14

fibrosa hati (kaosukalisoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran
hati akan berkurang setelah jaringan parut sehingga menyebabkan pengerutan
jaringan hati.
Obstruksi Portal dan Asites
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang
kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-
organ digestif akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Cairan yang
kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal
ini ditujukan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan.
Jarring-jaring telangiektasis atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jarring
berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap
wajah dan seluruh tubuh.
Varises Esofagus
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik
yang mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem
gastrolintestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke dalam
pembulu darah dengan tekanan yang lebih rendah.
Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang
kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk
terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi
natrium serta air dan ekskresi kalium.
Defisiensi Vitamin dan Anemia
Kerena pembentukan, penggunaan, dan penyimpanan vitamin tertentu
yang tidak memadai (terutama vitamin A, C, dan K), maka tanda-tanda defisiensi
vitamin tersebut sering dijumpai khususnya sebagai fenomena hemoragi yang
berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi
gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan
fungsi hati akan menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis.
Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan
15

mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan
aktivitas rutin sehari-hari.
Tes Faal Hati
Karena faal hati dalam tubuh mempunyai multifungsi maka tes faal hati
pun beraneka ragam sesuai dengan apa yang hendak kita nilai. Untuk fungsi
sintesis seperti protein, zat pembekuan darah dan lemak biasanya diperiksa,
seperti albumin, masa protrombin dan cholesterol. Untuk memeriksa fungsi
ekskresi/transportasi, diperiksa bilirubin, alkali fosfatase dan -GT. Kerusakan sel
hati atau jaringan hati digambarkan oleh pemeriksaan nilai SGOT (AST), SGPT
(ALT). Adanya pertumbuhan sel hati yang muda (karsinoma sel hati), alfa feto
protein. Kontak dengan virus hepatitis B, yaitu: HBsAg, Anti-HBs, HBeAg, anti-
HBe, anti-HBc, HBV DNA, dan virus hepatitis C, yaitu: anti-HCV, HCV-RNA,
genotype HCV.

Diagnosis Sirosis Hepatis
Diagnosis Sirosis hepatis ditegakkan dengan Kriteria Soebandiri (bila memenuhi
kriteria 5 dari 7):
Spider navi
Venektasi/ vena kolateral
Ascites (dengan atau tanpa edema kaki)
Spleenomegali
Varises eosofagus (hematemesis/ melena)
Rasio albumin : globulin terbalik
Palmar eritema







16

3.2.7 Penatalaksanaan

Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :
1. Simptomatis
Penatalaksaan pasien sirosis biasanya didasarkan pada gejala yang ada.
Sebagai contoh, antasid diberikan untuk mengurangi distress lambung dan
meminimalkan kemungkinan perdarahan gastrointestinal. Vitamin dan suplemen
nutrisi akan meningkatkan proses kesembuhan pada sel-sel hati yang rusak dan
memperbaiki status gizi pasien. Pemberian preparat diuretik yang
mempertahankan kalium (spironolakton) mungkin diperlukan untuk mengurangi
asites dan meminimalkan perubahan cairan serta elektrolit yang umum terjadi
pada penggunaan jenis diuretik lainnya. Spironolakton merupakan diuretik pilihan
pertama dalam terapi dan berfungsi menghalangi reabsorbsi garam/Na pada
tubulus ginjal. Dosis spironolakton 25-200 mg/hari secara oral dan bila diperlukan
dapat dinaikkan secara bertahap dengan dosis maksimal 400mg/hari.
Penatalaksaan lainnya pada sirosis hepatis, yaitu:
1. Istirahat yang cukup sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.
2. Makanan tinggi kalori dan protein.
3. Mengatasi infeksi dengan antibiotik.
4. Memperbaiki keadaan gizi.
17

5. Roboransia. Vitamin B Kompleks yang cukup. Dilarang makan-makanan
yang mengandung alkohol.
6. Istirahat dan diet rendah garam.
7. Bila istirahat dan diet rendah garam tidak dapat diatasi, diberikan
pengobatan diuretik berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat
ditingkatkan sampai 300 mg/hari bila setelah 3-4 hari tidak terdapat
perubahan.
8. Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan
terapi medikamentosa yang intensif) lakukan terapi parasentesis.
9. Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1
kg/ 2 hari atau keseimbangan cairan negative 600-800 ml/hari. Hati-hati
bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam satu saat, dapat mencetus
ensefalopati hepatik.

2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang; misalnya : cukup kalori,
protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin
- Manajemen Nutrisi
a. Diet Garam Rendah I (DGR I)
Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema, asites dan atau atau
hipertensi berat. Pada pengolahan makanannya tidak menambahkan garam dapur.
Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya. Kadar Natrium pada Diet
garam rendah I ini adalah 200-400 mg Na.
b. Diet Hati I (DH I)
Diet Hati I diberikan bila pasien dala keadaan akut atau bila prekoma sudah dapat
diatasi dan pasien sudah mulai mempunyai nafsu makan. Melihat keadaan pasien,
makanan diberikan dalam bentuk cincang atau lunak. Pemberian protein dibatasi
(30 g/hari) dan lemak diberikan dalam bentuk mudah dicerna. Formula enteral
dengan asam amino rantai cabang (Branched Chain Amino Acid /BCAA) yaitu
leusin, isoleusin, dan valin dapat digunakan. Bila ada asites dan diuresis belum
18

sempurna, pemberian cairan maksimal 1 L/hari. Makanan ini rendah energi,
protein, kalsium, zat besi, dan tiamin; karena itu sebaiknya diberikan selama
beberapa hari saja. Menurut beratnya retensi garam atau air, makanan diberikan
sebagai Diet Hati I Garam rendah. Bila ada asites hebat dan tanda-tanda diuresis
belum membaik, diberikan Diet Garam Rendah I. Untuk menambah kandungan
energi, selain makanan per oral juga diberikan makanan parenteral berupa cairan
glukosa.
c. Diet Hati II (DH II)
Diet hati II diberikan sebagai makanan perpindahan dari diet hati II kepada pasien
dengan nafsu makannya cukup. Menurut keadaan pasien, makanan diberikan
dalam bentuk lunak / biasa. Protein diberikan 1 g/Kg berat badan dan lemak
sedang (20-25% dari kebutuhan energi total) dalam bentuk yang mudah dicerna.
Makanan ini cukup mengandung energi, zat besi, vitamin A & C, tetapi kurang
kalsium dan tiamin. Menurut beratnya retensi garam atau air, makanan diberikan
sebagai diet hati II rendah garam. Bila asites hebat dan diuresis belum baik, diet
mengikuti pola Diet Rendah garam I.
d. Diet Hati III (DH III)
Diet Hati III diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet Hati II atau kepada
pasien hepatitis akut (Hepatitis Infeksiosa/A dan Hepatitis Serum/B) dan sirosis
hati yang nafsu makannya telah baik, telah dapat menerima protein, lemak,
mi9neral dan vitamin tapi tinggi karbohidrat. Menurut beratnya tetensi garam atau
air, makanan diberikan sebagai Diet Hati III Garam Rendah I
c. Pengobatan berdasarkan etiologi
Misalnya pada sirosis hati akibat infeksi virus C dapat dicoba dengan interferon.
Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien dengan
hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan, pengobatan IFN seperti :
a) kombinasi IFN dengan ribavirin
b) terapi induksi IFN
c) terapi dosis IFN tiap hari
19

Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3 x seminggu
dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan(1000mg untuk berat badan
kurang dari 75kg) yang diberikan untukjangka waktu 24-48 minggu.
Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis yang lebih
tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang dilanjutkan dengan 3
juta unit 3 x seminggu selama 48 minggudengan atau tanpa kombinasiRIB
Terapi dosis interferon setiap hari. Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta
atau 5 juta unit tiap hari sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosishati akan diberikan jika telah terjadi
komplikasi seperti ;
1. Asites
Dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :
- istirahat
- diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet
rendah garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila gagal maka penderita
harus dirawat.
- Diuretik
Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam
dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg setelah
4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretic adalah
hipokalem dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatic, maka pilihan
utamadiuretic adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta dapat
dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal
diuresisnya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan dengan furosemid.
Terapi lain :
Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan konservatif.
Pada keadaandemikian pilihan kita adalah parasintesis. Mengenai parasintesis
cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari, dengan catatan harus dilakukan
infuse albumin sebanyak 6 8 gr/l cairan asites yang dikeluarkan. Prosedur ini
tidak dianjurkan pada Childs C protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10
20

mg/dl, trombosit < 40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10
mmol/24 jam.
2. Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP)
Infeksi cairan dapat terjadi secara spontan, atau setelah tindakan parasintese. Tipe
yang spontan terjadi 80% pada penderita sirosis hati dengan asites, sekitar 20%
kasus. Keadaan ini lebih sering terjadi pada sirosis hati stadium kompesata yang
berat. Pada kebanyakan kasus penyaki timbul selama masa perawatan. Infeksi
umumnya terjadi secara Blood Borne dan 90% Monomicroba. Pada sirosis hati
terjadi permiabilitas usus menurun dan mikroba ini beraasal dari usus. Pengobatan
SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III (Cefotaxime),secara
parental selama lima hari, atau Qinolon secara oral. Mengingat akan rekurennya
tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan Norfloxacin (400mg/hari)selama 2-3
minggu.
3. Hepatorenal Sindrome
Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian Diuretik yang berlebihan,
pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan elekterolit, perdarahan
dan infeksi. Penanganan secara konservatif dapat dilakukan berupa : Ritriksi
cairan,garam, potassium dan protein. Serta menghentikan obat-obatan yang
nefrotoxic.Pilihan terbaik adalah transplantasi hati yang diikuti dengan perbaikan
dan fungsi ginjal.
4. Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus
Prinsip penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi sampai keadaan pasien
stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan :
- Pasien diistirahatkan daan di puasakan
- Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi
- Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali kegunaannya
yaitu : untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es, pemberian obat-obatan,
evaluasi darah.
- Pemberian obat-obatan berupa antasida,ARH2,Antifibrinolitik,Vitamin K,
Vasopressin, Octriotide dan Somatostatin

21

5. Ensefalopati Hepatik
Penentuan diet pada penderita sirosis hati sering menimbulkan dilema. Di satu
sisi, diet tinggi protein untuk memperbaiki status nutrisi akan menyebabkan
hiperamonia yang berakibat terjadinya ensefalopati. Sedangkan bila asupan
protein rendah maka kadar albumin dalam darah akan menurun sehingga terjadi
malnutrisi yang akan memperburuk keadaan hati. Untuk itu, diperlukan suatu
solusi dengan nutrisi khusus hati, yaitu Aminoleban Oral. Aminoleban Oral
mengandung AARC kadar tinggi serta diperkaya dengan asam amino penting lain
seperti arginin, histidin, vitamin, dan mineral. Nutrisi khusus hati ini akan
menjaga kecukupan kebutuhan protein dan mempertahankan kadar albumin darah
tanpa meningkatkan risiko terjadinya hiperamonia. Pada penderita sirosis hati
yang dirawat di rumah sakit, pemberian nutrisi khusus ini terbukti mempercepat
masa perawatan dan mengurangi frekuensi perawatan.
Dengan nutrisi khusus ini diharapkan status nutrisi penderita akan terjaga,
mencegah memburuknya penyakit hati, dan mencegah terjadinya ensefalopati
hepatik sehingga kualitas serta harapan hidup penderita juga akan membaik.

Penanganan Sirosis Hati Berdasarkan Evidence Based (EBN)
1. Diet tempe pada sirosis hati sebagai upaya meningkatkan kadar albumin
dan perbaikan ensefalopati hepatic. Pada penelitian ini membandingkan antara
diet hati II dan III (diet konvensional) dengan diet tempe dalam meningkatkan
kadar albumin darah dan menurunkan derjat ensepalohetik selama 20 hari. Dan
hasilnya diet tempe dapat meningkatkan albumin darah, menurunkan ammonia
dalam darah, meningkatkan psikomotor dan menurunkan ensefalopatik hepatic.
2. Diet masukan protein pada pasien ensefalohepatik dan Sirosis hepatic yang
dilakukan oleh beberapa ahli gizi. Dari beberapa ahli gizi berbeda pendapat
mengenai batasan protein yang diberikan pada pasien sirosis hepatic, namun pada
pelaksaannya tetap mengacu pada konsesnsus ESPEN tentang nutrisi pada pasien
dengan penyakit hati yang kronik, yaitu :


22

Kondisi Klinis Energi/Non protein
(K.cal/Kg)
Protein (g/Kg)
Sirosis yang dapat
mengkompensasi
komplikasi.
25 35 1,0 1,2
Intake yang tidak adekuat
dan malnutrisi
35 40 1,5
Ensepalopathy I - II 25 35 Pada fase transisi 0,5
kemudian 1,0 1,5 , jika
ditoleransi : diberikan
protein nabati. Suplemen
BCAA
Ensepalopathy III -IV 25 35 0,5 1,2, Suplemen BCAA
Jika menggunakan nutrisi parenteral , kalori non protein yang didalamnya terkandung
lemak dan glukosa sekitar 35 50 %.

Adapun infus albumin telah dipakai sejak puluhan tahun yang lalu sebagai
salah satu pilihan terapi dalam praktek medis. Tujuannya adalah mengatasi
kondisi hipoalbuminemia pada berbagai penyakit. Menurunnya kadar albumin
dapat menjadi penyebab terjadinya kelainan tetapi lebih banyak merupakan
komplikasi penyakit yang diderita sebelumnya. Banyaknya data yang
membuktikan bahwa kadar albumin darah berkaitan dengan prognosis membuat
para ahli berkeyakinan untuk memperbaiki hipoalbuminemia dengan infus
albumin.
Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam tubuh manusia,
yaitu sekitar 55-60% dari protein serum yang terukur. Albumin terdiri dari rantai
polipeptida tunggal dengan berat molekul 66,4 kDa dan terdiri dari 585 asam
amino. Pada molekul albumin terdapat 17 ikatan disulfida yang menghubungkan
asam-asam amino yang mengandung sulfur. Molekul albumin berbentuk elips
sehingga bentuk molekul seperti itu tidak akan meningkatkan viskositas plasma
dan terlarut sempurna. Kadar albumin serum ditentukan oleh fungsi laju sintesis,
laju degradasi dan distribusi antara kompartemen intravaskular dan ektravaskular.
Cadangan total albumin sehat 70 kg) dimana 42% berada di kompartemen plasma
dan sisanya dalam kompartemen ektravaskular.
23

Sintesis albumin hanya terjadi di hepar dengan kecepatan pembentukan 12-25
gram/hari. Pada keadaan normal hanya 20-30% hepatosit yang memproduksi
albumin. Akan tetapi laju produksi ini bervariasi tergantung keadaan penyakit dan
laju nutrisi karena albumin hanya dibentuk pada lingkungan osmotik, hormonal
dan nutrisional yang cocok. Tekanan osmotik koloid cairan interstisial yang
membasahi hepatosit merupakan regulator sintesis albumin yang penting.
Degradasi albumin total pada dewasa dengan berat 70 kg adalah sekitar 14
gram/hari atau 5% dari pertukaran protein seluruh tubuh per hari. Albumin
dipecah di otot dan kulit sebesar 40-60%, di hati 15%, ginjal sekitar 10% dan 10%
sisanya merembes ke dalam saluran cerna lewat dinding lambung. Produk
degradasi akhir berupa asam amino bebas. Pada orang sehat kehilangan albumin
lewat urine biasanya minimal tidak melebihi 10-20 mg/hari karena hampir semua
yang melewati membran glomerolus akan diserap kembali.

Fungsi Albumin
Albumin merupakan protein plasma yang berfungsi sebagai berikut:
1. Mempertahankan tekanan onkotik plasma agar tidak terjadi asites.
2. Membantu metabolisme dan tranportasi berbagai obat-obatan dan senyawa
endogen dalam tubuh terutama substansi lipofilik (fungsi metabolit,
pengikatan zat dan transport carrier).
3. Anti-inflamasi.
4. Membantu keseimbangan asam basa karena banyak memiliki anoda
bermuatan listrik.
5. Antioksidan dengan cara menghambat produksi radikal bebas eksogen
oleh leukosit polimorfonuklear.
6. Mempertahankan integritas mikrovaskuler sehingga dapat mencegah
masuknya kuman-kuman usus ke dalam pembuluh darah, agar tidak terjadi
peritonitis bakterialis spontan.
7. Memiliki efek antikoagulan dalam kapasitas kecil melalui banyak gugus
bermuatan negatif yang dapat mengikat gugus bermuatan positif pada
24

antitrombin III (heparin like effect). Hal ini terlihat pada korelasi negatif
antara kadar albumin dan kebutuhan heparin pada pasien heemodialisis.
8. Inhibisi agregrasi trombosit.
Indikasi Pemberian Albumin pada Sirosis Hati
Terdapat berbagai indikasi untuk memberikan infus albumin bagi pasien
sirosis hati, seperti memperbaiki kondisi umum, mengatasi asites atau mengobati
sindroma hepatorenal. Dari sekian banyak alasan pemberian albumin ada empat
indikasi yang ditunjang oleh data uji klinis memadai, yaitu :
1. Peritonitis bakterialis spontan.
2. Sindroma hepatorenal tipe 1.
3. Sebagai pengembang plasma sesudah parasentesis volume besar (>5 liter).
4. Meningkatkan respons terapi diuretika.
Selain itu masih ada beberapa indikasi lain yang masih menjadi
kontradiksi, misalnya pada sirosis hati dengan hipoalbuminemia berat yang
disertai penyulit atau pasien sirosis hati yang akan menjalani operasi besar. Tidak
ditemukannya kesepakatan untuk memberikan infus albumin pada beberapa
indikasi klinis berkaitan dengan lemahnya data penelitian yang dapat dijadikan
bukti penunjang. Meskipun begitu sebagian klinisi tetap memberikannya dengan
berdasarkan laporan-laporan kasus, pendapat pakar maupun pengalaman pribadi.

Cara Pemberian Albumin
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian albumin :
1. Kecepatan infus
Pada infus albumin 20% kecepatan maksimal adalah 1 ml/menit.
Pada infus albumin 5% kecepatan maksimal adalah 2-4 ml/menit.
2. Pada tindakan parasentesis volume besar (>5 liter)
Dosis albumin yang diberikan adalah 6-8 gram per 1 liter cairan asites
yang dikeluarkan.
Cara pemberian adalah 50% albumin diberikan dalam 1 jam pertama
(maksimum 170 ml/jam) dan sisanya diberikan dalam waktu 6 jam
berikutnya.
25

3. Sindroma hepatorenal tipe 1
Pada keadaan ini albumin diberikan bersama-sama dengan obat-obat
vasoaktif seperti noradrenalin, oktreotid, terlipressin atau ornipressin.
Cara pemberiannya adalah: Hari pertama: 1 gram albumin/kg BB. Hari
kedua dan seterusnya: 20-40 gram/hari kemudian dihentikan bila CVP
(Central Venous Pressure) >18 cm H2O.
4. Peritonitis bakterialis spontan
Pada keadaan ini, infus albumin diberikan pada dosis 1,5 g/kgBB dengan
disertai pemberian antibiotik yang sesuai.
Cara pemberian : Infus albumin diberikan pada saat diagnosis PBS dibuat
dan diberikan dalam waktu 6 jam. Pada hari ke-3 infus albumin diberikan
dengan dosis 1 gram/kgBB.

3.2.8 Komplikasi
Edema dan Ascites
Pada sirosis hepatis yang makin lanjut aktifitas nuurohumoral meningkat,
sistem renin-angiotensin lebih meningkat, sensitifitas terhadap atrial peptide
natriuretik menurun sehingga lebih banyak air dan natrium yang diretensi. Terjadi
ekspansi volume darah yang menyebabkan overflow cairan ke dalam rongga
peritonium dan terbentuk asites lebih banyak. Pada pasien sirosis hepatis dengan
asites terjadi aktifitas sintesis NO lebih tinggi dibanding sirosis hepatis tanpa
asites. Menurut teori vasodilatasi bahwa teori underfilling prosesnya terjadi lebih
awal, sedangkan teori overflow bekerja belakangan setelah proses penyakit lebih
progresif. Beberapa faktor lain yang berperan dalam pembentukan asites adalah :
Hipoalbuminemia : walaupun hipertensi portal sangat berperan dalam
pembentukan asites dengan terjadinya peningkatan tekanan hidrostatik pada
pembuluh-pembuluh darah kapiler splanknik, maka hipoalbuminemia juga
mempunyai peran melalui tekanan onkotik plasma yang menurun sehingga terjadi
ekstravasasi cairan dari plasma ke dalam rongga peritoneum. Pada sirosis hepatis
asites tidak ditemukan kecuali telah terjadi hipertensi portal dan hipoalbuminemia.
Cairan limfe : akibat distensi dan sumbatan sinusoid dan pembuluh-pembuluh
26

limfe pada pasien sirosis hepatis maka terjadi hambatan aliran limfe dan menjadi
lebih banyak sehingga merembes dengan bebas melalui permukaan hati yang
sirotik masuk kedalam rongga peritoneum dan memberi konstribusi dalam
pembentukan asites. Berbeda dengan cairan transudat yang berasal dari cabang
vena porta, cairan limfe hepatik dapat merembes masuk ke dalam rongga
peritoneum walaupun hipoalbuminemia belum tampak nyata dengan melalui
lapisan sel-sel endotel sinusoid oyang hubungannnya satu sama lain tidak rapat.
Ginjal : berperan penting dalam mempertahankan pembentukan asites. Pasien
sirosis dengan asites, ginjal tidak dapat mengeluarkan cairan yang berlebihan
secara normal tetapi sebaliknya terjadi peningkatan absorbsi natrium baik pada
tubulus proksimal maupun tubulus distal, dimana yang terakhir terjadi akibat
peningkatan aktifitas renin plasma dan hiperaldosteronisme sekunder. Disamping
itu terjadi vasokontriksi renal yang mungkin disebabkan oleh peningkatan

Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
Peritonitis bakterial spontan (PBS) harus dipertimbangkan sebagai
diagnosis kerja bila ada penderita sirosis dengan gejala asites, demam, nyeri perut
dan penurunan keadaan klinis yang tidak dapat diterangkan sebabnya. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan jumlah sel leukosit cairan asites. Jumlah sel
polymorphonuclear neutrophil (PMN) lebih dari 250/ml merupakan inidkasi
pemberian antibiotika. Penderita sirosis dengan asites beresiko tinggi PBS
merupakan indikasi pengobatan profilaksis terhadap PBS.
Spontaneous bacterial peritonitis atau peritonitis bakterialis spontan (PBS)
didefiniskan sebagai infeksi bakteri akut yang terjadi pada cairan asites penderita
sirosis berat, tanpa sumber infeksi yang jelas dari luar atau di dalam rongga
abdomen. Meskipun kelainan tersebut telah lama dikenal, penyakit yang
berpotensi fatal ini menjadi lebih sering ditemukan setelah tahun 1975. Conn
menamai kelainan tersebut PBS. Pada penelitian retrospektif, diperkirakan sekitar
5-27% penderita sirosis dengan asites yang menjalani rawat inap di rumah sakit
didapati menderita PBS.

27

Perdarahan dari Varices Esofagus
Secara skematis perjalanan penyakit dan mekanisme perdarahan terlihat seperti.
Hematemesis merupakan kejadian yang paling sering ditemukan. Hal ini dapat
atau tanpa disertau koma hepatikum . Melena dapat terjadi tanpa disertai dengan
hematemesis. Tidak adanya dispepsi dan nyeri abdomen, dan gambaran normal
pemeriksaan barium enema atau endoskopi sebelumnya dapat membantu
menyingkirkan sebab perdarahan berasal dari tukak peptic.

Kolateral dinding abdomen
Dapat tampat gambaran kolateral di dinding abdomen yang berasal dari vena para-
umbilikalis yang menuju umbilicus. Bila sumbatan terjadi pada obstruksi vena
portal maka aliran darah akan menjauhi umbilicus, sedangkan bila terjadi
sumbatan pada hipertensi portal digantikan oleh varises submukosa yang
berhubungan dengan permukaan epitel melalui pembuluh supepitel atau
intraepitel yang disebut sebagai red color sign pada pemeriksaan endoskopi.

Varises esophagus
Perdarahan varises gastroesofageal merupakan penyulit utama portal hipertensi,
karena merupakan penyebab kematian utama pada penderita sirosis dan penyebab
kematian pada penderita tranplantasi hati. Walaupun terlah berkembang
pengobatan dan cara baru namun angka kematian karena perdarahan masih tetap
tinggi berkisar antara 15-35%. Perdaean varises sebenarnya merupakan hasil akhir
dari suatu proses yang berawal dari peninggian tekanan portal, didikuti
pembentukan dan dilatasi progresif dari varises dan berakhir dengan rupture dan
perdarahan. Pembentukan varises memerlukan waktu yang lambat. Insiden varises
pada penderita sirosis hepatis terkompensasi sebesar 40% sedang pada sirosis
dengan asites besar 60%. Diperkirakan insidens varises baru pertahun sebesar
50%.
Tabel 5 Klasifikasi varises esophagus menurut Dagradi
Grade 1 Varises berwarna biru atau merah berdiameter < 2 mm
Grade 2 Varises berwarna biru atau merah berdiameter 2-3 mm
28

Grade 3 Varises menonjol berdiameter 3-4 mm
Grade 4 Varises tortuous berdiameter > 4 mm, dan saling bersinggungan di
garis tengah
Grade 5 Varises grapelike menutup lumen, dengan cherry red spot
dipuncaknya

Pada pasien sirosis, jaringan ikat dalam hati menghambat aliran darah dari
usus yang kembali ke jantung. Kejadian ini dapat meningkatkan tekanan dalam
vena porta (hipertensi porta). Sebagai hasil peningkatan aliran darah dan
peningkatan tekanan vena porta ini, vena-vena di bagian bawah esofagus dan
bagian atas lambung akan melebar, sehingga timbul varises esofagus dan
lambung. Makin tinggi tekanan portalnya, makin besar varisesnya dan makin
besar kemungkinan pasien mengalami perdarahan varises.Perdarahan varises
biasanya dan tanpa pengobatan yang cepat, dapat berakibat fatal. Keluhan
perdarahan varises bisa berupa muntah darah atau hematemesis. Bahan muntahan
dapat berwarna merah bercampur bekuan darah atau seperti kopi (coffe grounds
appearance) akibat efek asam lambung terhadap darah. Buang air besar bewarna
hitam lembek (melena) dan keluhan lemah dan pusing pada saat posisi berubah
(orhostatic dizziness atau fainting), yang disebabkan penurunan tekanan darah
mendadak aat melakukan perubahan posisi berdiri dari berbaring. Perdarajan juga
dapat timbul dari varises maupun dalam usus. Misalnya dalam kolon, meskipun
ini jarang terjadi. Meskipun belum jelas mekanismenya, pasien yang masuk
rumah sakit dengan perdarahan aktif varises esofagus, beresikotinggi mengalami
PBS.

Hepatic Encephalopathy
Adalah suatu keadaan dimana unsur-unsur racun berakumulasi secara
cukup dalam darah sehingga fungsi dari otak menjadi terganggu. Tidur pada siang
hari daripada pada malam hari (berbanding terbalik dengan pola tidur yang
normal) merupakan gejala yang paling dini dari hepatic encephalopathy. Gejala-
gejala lainnya adalah cepat marah, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi atau
29

melakukan perhitungan, kehilangan memori, kebingungan atau tingkat kesadaran
yang tertekan (dapat mengakibatkan keparahan pada penyakit ini bahkan dapat
menimbulkan kematian).

Hepatorenal Syndrome
Vasodilatasi sistemik dalam derajat yang bervariasi adalah perubahan
hemodinamik yang paling dominan pada hipertensi portal atau gagal hati akut dan
bertanggung jawab terhadap beberapa komplikasi penting. Vasodilatasi
meningkatkan aliran darah regional ke sirkulasi splangnik dan peningkatan curah
jantung sebagai kompensasi. Hal ini akan mengakibatkan penurunan tekanan
rerata arterial dan reflex aktivasi system saraf simpatis. Beberapa studi telah
secara konsisten menunjukkan penurunana progresif rerata tekanan arterial pada
dekompensasi hari dengan nilai terendah (biasnya 60-65 mmHg) dijumpai pada
pasien dengan SHR. Penelitian prognosis pada pasien dengan sirosi menunjukkan
bahwa tekanan aterial adalah salah satu predictor terbaik ketahanan hidup pasien
sirosis dengan asites, dengan tekanan arterial terendah dihubungkan dengan
prognosis terburuk dan meningkatkan resiko terjadinya SHR. Autoregulasi ginjal
akan mencegah fluktuasi aliran darah ginjal RBF (Renal Blood flow) pada
penurunana tekanan darah sistemik. Akan tetapi mekanisme ini hanya
berlangsung apabila tekanan perfusi ginjak diatas 70-75 mmHg. Dibawah tekanan
ini, RBF secara langsung sesuai dengan proporsi tekanan perfusi ginjal. Pada
pasien yang mengalami SHR system saraf simpatis teraktivasi dan terdapat
peningktan sintesis beberapa vasokontriksor renal. Beberapa studi telah
membuktikan bahwa hal ini mengakibatkan terjadi pergeseran ke kanan pada
kurva autoregulasi ginjal, membuat RBF sangat tergantung pada tekanan.
Akibatnyam sedikit oenurunana pada rerata tekanan darah dapat mengakibatkan
penurunan nyata RBF. Pemahaman prinsip penting ini adalah sangat mendasar
untuk kepentingan terapi dnegan target tekanan. Sebagai akibatnya, terdapat
ketertarikan terhadap obat yang meningkatkan tekanan darah dan sepanjang tahun
telah dilaporkan semuanya meningkatkan produksi urin, eksresi natrium , laju
filtrasu glomerulus dengan keberhasilan yang bervariasi pada pasien penyakut hati
30

berat dan SHR. Telah diketahui bahwa pada penyakit hati beray ditandai
peningkatan curah jantung dan volume plasma, dan menurunya resistensi vascular
perifer yang diakibatkan oleh vasodilatasu perifer.
Secara umum telah dapat diterima bahwa reaktivitas vascular pada sirosis
mengalami gangguan. Beberapa mediator, baik secra tunggal amupun bersama-
sama, seperti nitric oxide (NO), prostasiklin, glucagon, atau perubahan aktivasi K
+

channel, mungkin bertanggung jawab terhadap reaktivasi vascular yang menurun
atau membukanya pintasan anatomi ini. Kadar plasma beberapa vasodilator
endogen, demikian juga vasokontriktor, meningkat pada gagal hati. Penelitian
dengan ultrasonografi Doppler dupleks membuktikan bahwa pada pasien sirosis
hepatis dengan asites telah terjadi vasokontriksi ginjal sebelum gejala klinik
gangguan fungsi ginjal atau SHR tampak nyata.
Gangguan perfusi ginjal memegang peranan penting terjadinya akumulasi
cairan dan natrium pada pasien penyakit hati. Konsekuensi sekunder akibat
vasodilatasi sistemik pada pasien sirosis adalah seperti tampak pada table 6.
Tabel 6. Konsekuensi dari vasodilatasi sistemik
Aktivasi system saraf simpatis
Aktivasi system rennin-angiotensin-aldosteron
Pelepasan vasopresin meningkatProduksi vasodilator prostanoid di ginjal
meningkat
Tujuan primer respons ini adalah untuk mempertahankan tekanan arterial.
Meskipun aktivasi mekanisme neurohumoral ini adalah untuk mempertahankan
tekanan darah, sebagian juga menginduksi vasokontriksi ginjal. Hal ini tidak
mengherankan oleh karena ginjal dalam keadaan normal menerima 25% dari
curah jantung dan merupakan satu pengendali penting tekanan darah. Perubahan
respons autoregulasi ginjal normal diperlukan sebagai kontribus penurunan ginjal
normal diperlukan sebagai konstribusi penurunan aliran darah ginjal seperti yang
dijumpai pada SHR.

PATOGENESIS SINDROMA HEPATORENAL
31

Menurunnya kemampuan ginjal untuk ekskresi natrium dan air, penurunan perfusi
ginjal serta laju filtrasi glomerulus merupakan 3 kelainan fungsi ginjal utama apda
pasien sirosis. Meskipun patogenesisnye belum diketahui dengan lengkap, diduga
beberapa mekanisme berikut ini berperan yaitu : gangguan hemodinamik sistemik,
aktivitas system vasokonstriktor meningkat, dan menurunnya aktivasi faktor
vasodilator. Ciri patofisiologi terpenting pada SHR adalah terjadinya
vasokontriksi sirkulasi ginjal. Pada sirosis stadium lanjut, vasodilatasi asterial
splangnik bertambah berat dan mengakibatkan penurunan nyata volume darah
arteri, serta penurunan tekanan arterial. Sebagai akibat, tekanan arteri
dipertahankan oleh aktivasi homeostatic vasokonstriktor dan faktor antinatriuretik,
sehingga terjadi resistensi cairan dan natrium. Kombinasi hipertensi portal dan
vasodilatasi arteri splangnik merubah permeabilitas dan tekanan kapiler intestinal,
sehingga mempermudah akumulasi cairan di kavum peritoni. Bila penyakitnya
bertambah parah, maka akan terjadi gangguan nyata ekskresi ginjal terhadap air
dan vasokontriksi ginjal perubahan yang masing-masing mengakibatkan
hiponatremia dilutional dan SHR. Ciri khas SHR adalah vasokontriksi ginjal
reversible dan hipotensi sistemik ringan. Ginjla secara structural normal dan
setidaknya pada awal sindrom, fungsi tubulus masih baik, yang digambarakan
sebagai kemampuan retensi natrium dan oliguria. Lebih lanjut dikatakan, ginjal
pasien SHR yang ditransplantasikan pada pasien gagal ginjal terminal dengan hati
masih baik menunjukkan fungsi normal.
Penyebab vasokontrikasi ginjal tidak diketahui tapi mungkin mencakup
baik meningkatnya vasokontriktor maupun menurunnya vasodilator yang
mengatur sirkulasi ginjal. Terdapat 3 faktor utama tercakup pathogenesis SHR
yaitu : 1. Perubahan hemodimik yang menurunkan tekanan perfusi ginjal . 2.
Sistem saraf simpatis ginjal yang terstimulasi dan 3.Peningkatan sintesis mediator
vaoaktif humoral dan renal.
Peranan masing-masing patogenesis ini pada setiap individu berbeda-beda.
Masing-masing patogenesis ini berhubungan satu sama lain dan bersifat
kompleks. Teori vasodilatasi arteri perifer pada penderita sirosis hepatis diawali
dengan dilatasi arteri splangnik diikuti stimulasi sistim saraf simpatik
32

(peningkatan noradrenalin) dan system rennin-angiotensin. Hal ini diakibatkan
oleh aktivasi reseptor volume yang memberi reaksi terhadap underfilling vascular.
Awalnya, meskipun terjadi perubahan vasokontriktor dan vasodilator, fungsi
ginjal masih dapat dipertahankan. Oleh karena alasan yang belum dapat
dipastikan, mekanisme kompensasi ginjal akhirnya gagal. Kemungkinan
penyebabnya adalah ketidakseimbangan antara mekanisme vasokonstriksi dan
vasodilatasi sistemik dan intra-renal. Beberapa bukti menyokong konsep ini
misalnya ketidakseimbangan derivate asam arachidonat, yaitu meningktanya
metabolit tromboksan B2 pada urin pasien sindrom hepatorenal, suatu metabolit
tromboksan A
2
, vasokostriktor poten. Sebaliknya ekskresi diyrin prostaglandin E
2
,
suatu vasodilator, menurun. Juga dilaporkan kadar endotelin (vasokontriktor)
plasma pada pasien sindrom hepatorenal meningkat.
Patogenesis SHR diduga disebabkan oleh vasokontriksi ginjal dan
gangguan perfusi glomerulus, keduanya mungkin diperantarai oleh ET-1.
Penelitian menunjukkan bahwa pada hati pasien sirosis terjadi peningkatan
ekspresi reseptor endhotelin yaitu ET
A
dan ET
B
, disamping itu dikemukakan juga
bahwa sintesi ET-1 pada pasien penyakit hati juga meningkat, meskipun
mekanismenya belum jelas diketahui

Hepatopulmonary Syndrome
Dilatasi vaskuler intrapulmonal (DVIP) adalah penyebab utama
hipoksemia berat pada sindrom hepatopulmonal (SHP). Dilatasi prekapiler dan
kapiler intrapulmonal antara 15 sampai 500 mikron mempengaruhi tekanan dan
saturasi oksigen di dalam darah. Mekanisme gangguan difusi-perfusi menjelaskan
terjadinya hipoksia pada SHP. Semua bentuk kegagalan hepatoseluler khususnya
sirosis dekompensata dihubungkan dengan ketidakseimbangan vasoaktif. Pasien
dapat mengalami kesulitan bernapas karena hormon-hormon tertentu yang dilepas
pada sirosis telah berlanjut dan menyebabkan paru-paru berfungsi secara
abnormal. Darah yang mengalir melalui paru-paru dilangsir sekitar alveoli dan
tidak dapat mengambil cukup oksigen dari udara didalam alveoli. Akibatnya
pasien mengalami sesak napas, terutama dengan pengerahan tenaga.
33


Hypersplenisme
Hypersplenism adalah istilah yang berhubungan dengan suatu jumlah sel
darah merah yang rendah (anemia), jumlah sel darah putih yang rendah
(leucopenia), dan/atau suatu jumlah platelet yang rendah (thrombocytopenia).
Anemia dapat menyebabkan kelemahan, leucopenia dapat menjurus pada infeksi-
infeksi, dan thrombocytopenia dapat mengganggu pembekuan darah dan berakibat
pada perdarahan yang berkepanjangan (lama).

Kanker Hati
Sirosis yang disebabkan oleh penyebab apa saja dapat meningkatkan risiko
kanker hati utama/primer (hepatocellular carcinoma). Utama (primer) merujuk
pada fakta bahwa tumor berasal dari hati. Suatu kanker hati sekunder adalah satu
yang berasal dari mana saja didalam tubuh dan menyebar (metastasis) ke hati.

3.2.9 Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah fakto, meliputi etiologi,
beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai.
Kompensataharapan hidup 10 tahun 47%
Dekompensataharapan hidup 5 tahun 16%.
Klasifikasi child-pugh :
Derajat kerusakan Minimal (1) Sedang (2) Berat (3)
Bilirubin serum (mg%) < 2,0 2,0-3,0 > 3
Albumin serum (mg%) > 3,5 3,0-3,5 < 3,0
Ascites (-) Mudah dikontrol Sukar dikontrol
Ensefalopati (-) Minimal Berat/ koma
Nutrisi Sempurna Baik Kurang/ kurus
protrombin >70% 40-70% <40%
Grade CHILD: A = 5 6
B = 7 9
C = 10 = 15
34

Interpretasi Hasil Perhitungan Skor Child-Pugh
Kelas Poin 1 year survival 2 year survival
A 5-6 100% 85%
B 7-9 81% 57%
C 10-15 45% 35%

3.3. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
3.3.1 Definisi
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi yang terjadi akibat
terbentuknya koloni kuman di saluran kemih atau adanya keberadaan
mikroorganisme dalam urin. Bakteriuria dinyatakan bermakna bila pada
pembiakan urin menunjukkan MO murni >10
5
colony forming units (cfu/ml)
Beberapa istilah penting yang sering dipergunakan dalam klinis mengenai ISK
adalah:
1. ISK sederhana, yaitu ISK pada pasien tanpa disertai kelainan anatomi
maupun kelainan struktur saluran kemih.
2. ISK kompleks, yaitu ISK yang terjadi pada pasien yang menderita kelainan
anatomis/ struktur saluran kemih, atau adanya penyakit sistemik. Kelainan ini
akan menyulitkan pemberantasan kuman oleh antibiotika.
3. First infection (infeksi pertama kali) atau isolated infection, yaitu ISK yang
baru pertama kali diderita atau infeksi yang didapat setelah
sekurangkurangnya 6 bulan bebas dari ISK.
4. Infeksi berulang, yaitu timbulnya kembali bakteriuria setelah sebelumnya
dapat dibasmi dengan pemberian antibiotika pada infeksi yang pertama.
Timbulnya infeksi berulang ini dapat berasal dari re-infeksi atau bakteriuria
persisten. Pada re-infeksi kuman berasal dari luar saluran kemih, sedangkan
bakteriuria persisten bakteri penyebab berasal dari dalam saluran kemih itu
sendiri.



35

3.3.2 Epidemiologi
Dari hasil epidemiologi klinik melaporkan hampir 25-35% semua
perempuan dewasa pernah mengalami ISK selama hidupnya. Selama periode usia
beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun perempuan cenderung menderita ISK
disbanding laki-laki. Prevaensi bakteriuria asimptomatik lebih sering ditemukan
pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah 1% meningkat menjadi 5%
selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimptomatik meningkat
mencapai 30%, baik pada laki-laki maupun perempuan pada kondisi: litiasis,
obtruksi saluran kemih, penyakit ginjal polikistik, nekrosis papilar, diabetes
mellitus pasca transplantasi ginjal, nefropati analgesic, penyakit sikle-cell,
senggama, kehamilan dan peserta KB dengan tablet progesterone dan kateterisasi.

3.3.3 Etiologi
Penyebab terbanyak adalah bakteri gram-negatif termasuk bakteri yang
biasanya menghuni usus kemudian naik ke sistem saluran kemih. Dari gram
negatif tersebut, ternyata Escherichia coli menduduki tempat teratas kemudian
diikuti oleh Proteus sp., Klebsiella sp., Enterobacter sp., dan Pseudomonas
sp.,Bermacam-macam mikro organisme dapat menyebabkan ISK, antara lain
dapat dilihat pada tabel berikut:

36

Jenis penyebab ISK non-bakterial adalah biasanya adenovirus yang dapat
menyebabkan sistitis hemoragik. Bakteri lain yang dapat menyebabkan ISK
melalui cara hematogen adalah brusella, nocardia, actinomises,
danMycobacterium tuberculosa . Candida sp merupakan jamur yang paling sering
menyebabkan ISK terutama pada pasien-pasien yang menggunakan kateter urin,
pasien dengan penyakit imunnocompromised, dan pasien yang mendapat
pengobatan antibiotik berspektrum luas. Jenis Candida yang paling sering
ditemukan adalah Candida albicans dan Candida tropicalis. Semua jamur
sistemik dapat menulari saluran kemih secara hematogen .
Faktor predisposisi yang mempermudah untuk terjadinya ISK, yaitu :
1. Bendungan aliran urin, terdiri atas :
a. Anomali kongenital
b. Batu saluran kemih
c. Oklusi ureter (sebagian atau total)
2. Refluks vesikoureter
3. Urin sisa dalam buli-buli karena :
a. Neurogenic bladder
b. Striktura uretra
5.Hygienitas
6. Instrumentasi
a. Kateter
b. Dilatasi uretra
c. Sitoskopi

3.3.4 Klasifikasi
Infeksi saluran kemih dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomi, yaitu:
a. Infeksi saluran kemih atas
1. Pielonefritis akut (PNA), adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang
disebabkan oleh infeksi bakteri.
2. Pielonefritis kronis (PNK), mungkin terjadi akibat lanjut dari infeksi bakteri
berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih serta
37

refluks vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti
pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis
kronik yang spesifik.
b. Infeksi saluran kemih bawah
1. Sistitis, adalah presentasi klinis infeksi saluran kemih disertai bakteriuria
bermakna.
2. Sindroma uretra akut (SUA), adalah presentasi klinis sistitis tanpa
ditemukan mikroorganisme (steril).

3.3.5 Patogenesis
Pada wanita, uretra atau saluran kencing bagian bawah yang berfungsi
untuk menyalurkan air kencing, lebih pendek dibandingkan pada pria. Hal ini
menyebabkan kuman dan bakteri lebih mudah memasuki kandung kemih. Oleh
karena itu, uretra pada wanita biasanya mengandung kuman seperti E. Coli,
streptokokus, stolilokokus, atau basilus, terutama pada kondisi yang menyebabkan
proses penyaluran urine sebagai pembersih saluran kemih terganggu. Padahal
seharusnya kandung kemih terbebas dari kuman (steril).

3.3.6 Manifestasi Klinis
1. Tanda dan gejala ISK pada bagian bawah adalah :Nyeri yang sering dan rasa
panas ketika berkemih, Spasme pada area kandung kemih dan suprapubis,
Hematuria, Nyeri punggung dapat terjadi
2. Tanda dan gejala ISK bagian atas adalah : Demam, Menggigil, Nyeri
panggul dan pinggang, Nyeri ketika berkemih, Malaise, Pusing, Mual dan
muntah
Berdasarkan bagian saluran kemih yang terinfeksi, tanda dan gejala sebagai
berikut:
Sistitis : piuria urgensi, frekuensi miksi meningkat perubahan warna dan
bau urine, nyeri suprapublik, demam biasanya tidak ada.
Uretritis : mungkin mirip dengan sistitis kecuali adanya discharge urethra
38

Prostatitis: serupa dengan sistitis kecuali gejala obstruksi orifisium uretra
(cont: hesitansi, aliran lemah).
Pielonefritis : demam, menggigil, nyeri punggung atau bokong, mual,
muntah, diare.
Abses ginjal (intrarenal atau perinefrik); serupa dengan pielonefritis
kecuali demam menetap meskipun diobati dengan antibiotik.
Diagnosis
Anamnesis : ISK bawah frekuensi, disuria terminal, polakisuria, nyeri
suprapubik. ISK atas: nyeri pinggang, demam, menggigil, mual dan muntah,
hematuria. Pemeriksaan fisik: febris, nyeri tekan suprapubik, nyeri ketok sudut
kostovertebra. Laboratorium: lekositosis, lekosituria, kultur urin (+):
bakteriuria > 10
5
/ml urin.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang
menegakkan diagnosis infeksi saluran kemih, antara lain :
Urinalisis
Untuk pengumpulan spesimen, dapat dipilih pengumpulan urin melalui urin
porsi tengah, pungsi suprapubik, dan kateter uretra. Secara umum, untuk anak
laki-laki dan perempuan yang sudah bisa berkemih sendiri, maka cara
pengumpulan spesimen yang dapat dipilih adalah dengan cara urin porsi
tengah.Urin yang dipergunakan adalah urin porsi tengah (midstream). Untuk
bayi dan anak kecil, spesimen didapat dengan memasang kantong steril pada
genitalia eksterna. Cara terbaik dalam pengumpulan spesimen adalah dengan
cara pungsi suprapubik, walaupun tingkat kesulitannya paling tinggi
dibanding cara yang lain karena harus dibantu dengan alat USG untuk
memvisualisasikan adanya urine dalam vesica urinaria.
Pada urinalisis, yang dinilai adalah sebagai berikut:
a. Eritrosit
39

Ditemukannya eritrosit dalam urin (hematuria) dapat merupakan penanda
bagi berbagai penyakit glomeruler maupun non-gromeruler, seperti batu
saluran kemih dan infeksi saluran kemih.
b. Piuria
Piuria atau sedimen leukosit dalam urin yang didefinisikan oleh Stamm,
bila ditemukan paling sedikit 8000 leukosit per ml urin yang tidak
disentrifus atau setara dengan 2-5 leukosit per lapangan pandang besar
pada urin yang di sentrifus. Infeksi saluran kemih dapat dipastikan bila
terdapat leukosit sebanyak > 10 per mikroliter urin atau > 10.000 per ml
urin .
Piuria yang steril dapat ditemukan pada keadaan :
1. infeksi tuberkulosis;
2. urin terkontaminasi dengan antiseptik;
3. urin terkontaminasi dengan leukosit vagina;
4. nefritis intersisial kronik (nefropati analgetik);
5. nefrolitiasis;
6. tumor uroepitelial
c. Silinder
Silinder dalam urin dapat memiliki arti dalam diagnosis penyakit ginjal,
antara lain:

1. silinder eritrosit, sangat diagnostik untuk glomerulonefritis atau
vaskulitis ginjal;
2. silinder leukosit bersama dengan hanya piuria, diagnostik untuk
pielonefritis;
3. silinder epitel, dapat ditemukan pada nekrosis tubuler akut atau pada
gromerulonefritis akut;
4. silinder lemak, merupakan penanda untuk sindroma nefrotik bila
ditemukan bersamaan dengan proteinuria nefrotik.
d. Kristal
Kristal dalam urin tidak diagnostik untuk penyakit ginjal.
40

e. Bakteri
Bakteri dalam urin yang ditemukan dalam urinalisis tidak identik dengan
infeksi saluran kemih, lebih sering hanya disebabkan oleh kontaminasi.

Bakteriologis
a. Mikroskopis, pada pemeriksaan mikroskopis dapat digunakan urin segar
tanpa diputar atau pewarnaan gram. Bakteri dinyatakan positif bila
dijumpai satu bakteri lapangan pandang minyak emersi.
b. Biakan bakteri, pembiakan bakteri sedimen urin dimaksudkan untuk
memastikan diagnosis ISK yaitu bila ditemukan bakteri dalam jumlah
bermakna, yaitu:


Dalam penelitian Zorc et al. menyatakan bahwa ISK pada anak-
anak sudah dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri lebih besar dari
10.000 cfu per ml urin yang diambil melalui kateter. Namun,
Hoberman et al.menyatakan bahwa ditemukannya jumlah koloni bakteri
antara 10.000 hingga 49.000 cfu per ml urin masih diragukan, karena
kemungkinan terjadi kontaminasi dari luar, sehingga masih diperlukan
biakan ulang, terutama bila anak belum diobati atau tidak menunjukkan
adanya gejala ISK.
Tes Kimiawi
Beberapa tes kimiawi dapat dipakai untuk penyaring adanya bakteriuria,
diantaranya yang paling sering dipakai adalah tes reduksi griess nitrate.
Dasarnya adalah sebagian besar mikroba kecuali enterococci mereduksi
nitrat
4
.
Tes Plat Celup (Dip-Slide)
41

Beberapa pabrik mengeluarkan biakan buatan yang berupa lempengan
plastik bertangkai dimana pada kedua sisi permukaannya dilapisi
pembenihan padat khusus. Lempengan tersebut dicelupkan ke dalam urin
pasien atau dengan digenangi urin. Setelah itu lempengan dimasukkan
kembali kedalam tabung plastik tempat penyimpanan semula, lalu
diletakkan pada suhu 37
o
C selama satu malam. Penentuan jumlah
kuman/mL dilakukan dengan membandingkan pola pertumbuhan kuman
yang terjadi dengan serangkaian gambar yang memperlihatkan pola
kepadatan koloni antara 1000 hingga 10.000.000 cfu per mL urin yang
diperiksa. Cara ini mudah dilakukan, murah dan cukup adekuat.
Kekurangannya adalah jenis kuman dan kepekaannya tidak dapat
diketahui .
Radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya
Pemeriksaan radiologis pada ISK dimaksudkan untuk mengetahui adanya
batu atau kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi ISK.
Pemeriksaan ini dapat berupa foto polos abdomen, pielografi intravena,
demikian pula dengan pemeriksaan lainnya, misalnya ultrasonografi dan
CT Scan.

3.3.7 Penatalaksanaan
Pada ISK yang tidak memberikan gejala klinis tidak perlu pemberian
terapi, namun bila sudah terjadi keluhan harus segera dapat diberikan
antibiotika.

Antibiotika yang diberikan berdasarkan atas kultur kuman dan tes
kepekaan antibiotika.
Banyak obat-obat antimikroba sistemik diekskresikan dalam konsentrasi
tinggi ke dalam urin. Karena itu dosis yang jauh dibawah dosis yang diperlukan
untuk mendapatkan efek sistemik dapat menjadi dosis terapi bagi infeksi saluran
kemih. Bermacam cara pengobatan yang dilakukan pada pasien ISK, antara lain:
pengobatan dosis tunggal
pengobatan jangka pendek (10-14 hari)
pengobatan jangka panjang (4-6 minggu)
42

pengobatan profilaksis dosis rendah
pengobatan supresif
(1)


Prinsip umum penatalaksanaan ISK adalah :
1. eradikasi bakteri penyebab dengan menggunakan antibiotik yang sesuai, dan
2. mengkoreksi kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi
Tujuan penatalaksanaan ISK adalah mencegah dan menghilangkan gejala,
mencegah dan mengobati bakteriemia dan bakteriuria, mencegah dan mengurangi
risiko kerusakan ginjal yang mungkin timbul dengan pemberian obat-obatan yang
sensitif, murah, aman dengan efek samping yang minimal. Oleh karena itu, pola
pengobatan ISK harus sesuai dengan bentuk ISK, keadaan anatomi saluran kemih,
serta faktor-faktor penyerta lainnya.
Pemilihan antibiotik sangat dipengaruhi oleh bentuk resistensi lokal suatu daerah.
Amoksisilin secara tradisional merupakan antibiotik lini pertama untuk ISK pada
anak-anak. Namun, peningkatan angka resistensi E.coliterhadap antibiotik ini
menjadikan angka kegagalan kesembuhan ISK yang diterapi dengan antibiotik ini
menjadi tinggi
3
. Uji sensitivitas antibiotik menjadi pilihan utama dalam penentuan
antibiotik yang dipergunakan. Antibiotik yang sering dipergunakan untuk terapi
ISK, yaitu:
1. Amoxicillin 20-40 mg/kg/hari dalam 3 dosis. Sekitar 50% bakteri penyebab
ISK resisten terhadap amoxicillin. Namun obat ini masih dapat diberikan pada
ISK dengan bakteri yang sensitif terhadapnya.
2. Kloramfenikol 50 mg/kg berat badan sehari dalam dosis terbagi 4, sedangkan
untuk bayi premature adalah 25 mg/kg berat badan sehari dalam dosis terbagi 4.
3. Co-trimoxazole atau trimethoprim 6-12 mg trimethoprim/kg/hari dalam 2 dosis.
Sebagian besar ISK akan menunjukkan perbaikan dengan cotrimoxazole.
Penelitian menunjukkan angka kesembuhan yang lebih besar pada pengobatan
dengan cotrimoxazole dibandingkan amoxicillin.
4. Cephalosporin seperti cefixime atau cephalexin 1-2 gr dalam dosis tunggal atau
dosis terbagi (2 kali sehari) untuk infeksi saluran kemih bagian bawah (sistitis)
sehari. Cephalexin kira-kira sama efektif dengan cotrimoxazole, namun lebih
43

mahal dan memiliki spectrum luas sehingga dapat mengganggu bakteri normal
usus atau menyebabkan berkembangnya jamur (Candida sp.) pada anak
perempuan.
Lama pemberian antibiotik pada ISK umumnya masih menjadi
kontroversi. Pada pasien dewasa, pemberian antibiotik selama 1-3 hari telah
menunjukkan perbaikan berarti, namun dari berbagai penelitian, lamanya
antibiotik diberikan pada anak adalah sebaiknya 7-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan dalam 2 hari setelah pengobatan, contoh urin
harus kembali diambil dan diperiksa ulang. Kultur ulang setelah 2 hari pengobatan
umumnya tidak diperlukan jika diperoleh perbaikan dan bakteri yang dikultur
sebelumnya sensitif terhadap antibiotik yang diberikan. Jika sensitivitas bakteri
terhadap antibiotik yang diberikan atau tidak dilakukan tes sensitivitas/resistensi
sebelumnya, maka kultur ulang dilakukan setelah 2 hari pengobatan.
Obat tepat digunakan untuk pasien ISK dengan kelainan fungsi ginjal
Ginjal merupakan organ yang sangat berperan dalam eliminasi berbagai
obat sehingga gangguan yang terjadi pada fungsi ginjal akan menyebabkan
gangguan eliminasi dan mempermudah terjadinya akumulasi dan intoksikasi obat.
Faktor penting dalam pemberian obat dengan kelainan fungsi ginjal adalah
menentukan dosis obat agar dosis terapeutik dicapai dan menghindari terjadinya
efek toksik. Pada gagal ginjal, farmakokinetik dan farmakodinamik obat akan
terganggu sehingga diperlukan penyesuaian dosis obat yang efektif dan aman bagi
tubuh. Bagi pasien gagal ginjal yang menjalani dialisis, beberapa obat dapat
mudah terdialisis, sehingga diperlukan dosis obat yang lebih tinggi untuk
mencapai dosis terapeutik. Gagal ginjal akan menurunkan absorpsi dan
menganggu kerja obat yang diberikan secara oral oleh karena waktu pengosongan
lambung yang memanjang, perubahan pH lambung, berkurangnya absorpsi usus
dan gangguan metabolisme di hati. Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan
berbagai upaya antara lain dengan mengganti cara pemberian, memberikan obat
yang merangsang motilitas lambung dan menghindari pemberian bersama dengan
obat yang menggangu absorpsi dan motilitas.

44

3.3.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada infeksi saluran kemih antara lain batu
saluran kemih, obstruksi saluran kemih, sepsis, infeksi kuman yang multisistem,
dan gangguan fungsi ginjal.
Komplikasi lain yang mungkin terjadi setelah terjadi ISK yang terjadi
jangka panjang adalah terjadinya renal scaryang berhubungan erat dengan
terjadinya hipertensi dan gagal ginjal kronik. ISK pada kehamilan dengan BAS
(Basiluria Asimtomatik) yang tidak diobati: pielonefritis, bayi prematur, anemia,
Pregnancy-induced hypertension
ISK pada kehamilan: retardasi mental, pertumbuhan bayi lambat, Cerebral
palsy, fetal death.
Sistitis emfisematosa : sering terjadi pada pasien DM.
Pielonefritis emfisematosa syok septik dan nefropati akut vasomotor.
Abses perinefrik

Вам также может понравиться