FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER 2014 RED BEANS ORAGNOLEPTIC TESTING AS THE EFFECT OF SUBSTITUSION OF MAKING TEMPE WRAPPERS USED
1 Student Departement Technology of Food and Agricultural Products, Faculty of Food and Agricultur Technology, Universitas of Jember, Kalimantan 1 No. 37, Jember 68121
ABSTRACT Usually, tempe is fermented food use soya beans as main ingredient. The limited amount of soy beans, is needed solutions other ingredient as subtitutor to reduce depedence. Subtitute one ingredient is red beaan.In study, use two kinds of tempe, they are 100% sot beans, and 80% soy beans and 20% red beans. Moreover, the wrap use two kind, they are plastic and banana leaf. It has purpose to tnow the best quality of tempe with organoleptic test an to know the resulting effect. As for the method of making tempe are, submersion, washing, boiling until 15 minutes, pelling rewashing, boiling untul 5 minutes to sterillitation, cooling, fermentation, wrapping, aging, so it wil observed that tempe produced using organoleptic qualities with some parameters, they are colour, flavor, apperarance and overall likking. From observation and organoleptic test can be seen that, sample 80% soy bean and 20% red beans wrapped with banana leaf has the best quality than other sampels, and the worst quality has sample 100% soy bean wrapped with plastuc. It caused by different treatment and kinds of wrap. Key words : soy bean, red bean, tempe, organoleptic tes, quality PENDAHULUAN Tempe merupakan sumber estrogen alami yaitu isoflavon, proses fermentasi mengakibatkan kedelai menjadi lebih mudah dicerna dalam bentuk tempe, sehingga dapat dikatakan tempe adalah makanan semua usia. Dibandingkan dengan bahan nabati lainnya, tempe merupakan bahan pangan yang kaya akan vitamin B 12 yang terbentuk dari aktifitas bakteri Klebsiella pneumonia. Selain itu hasil penelitian membuktikan tempe mengandung senyawa antibakteri (antibiotik) yang didapat dari hasil fermentasi (Wirakusumah, 2004). Kadar protein tempe tidak kalah dibanding daging. Oleh karena itu dapat dikatakan tempe merupakan pengganti daging yang baik. Pada saat ini, pembuatan tempe yang beredar di masyarakat hampir semua menggunakan bahan baku kedelai. Padahal produksi kedelai di Indonesia jumlahnya tidak cukup memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat sehingga pemerintah harus mengimpor kedelai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Sebagian besar kedelai di Indonesia diolah menjadi tempe yang merupakan makanan sehari-hari masyarakat Indonesia. Sehingga diperlukan subsitusi bahan lain yang dapat digunakan untuk pembuatan tempe agar konsumsi kedelai dapat dikurangi. Salah satu bahan yang dapat menjadi pensubsitusi kedelai dalam pembuatan tempe adalah kacang merah. Kacangkacangan mengandung banyak antioksidan, semakin tinggi kacang yang kita konsumsi, akan semakin banyak juga radikal bebas dalam tubuh yang berhasil dihancurkan. Selain itu, kacang-kacangan juga baik untuk menambah fungsi memori. Jenis kacang-kacangan yang direkomendasikan adalah kacang merah. Kacang jenis ini mengandung serat rendah kolesterol dan membantu menyuplai energi terus-menerus ke otak, asam folat dapat memperbaiki kesigapan, memori, dan mood. Zat besinya membantu meningkatkan kesadaran dengan membuat enzim esensial untuk fungsi neurotransmiter. Thiaminnya (vitamin B 1 ) membantu meningkatkan konsentrasi serta memori. Selain dapat menurunkan kolesterol, kacang merah juga baik untuk mencegah tingginya gula darah karena memiliki kandungan serat yang tinggi. Dalam 100 gram kacang merah kering, dapat menghasilkan 4 gram serat terdiri dari serat larut dalam air dan serat yang tidak larut air. Selain itu, pada umumnya dalam membuat tempe masyarakat menggunakan dua jenis pembungkus yang berbeda yakni daun pisang dan plastik. Kedua pembungkus ini memiliki keunggulan masing-masing, namun dalam pembuatan tempe, belum diketahui pengaruh yang signifikan terhadap kualitas yang dihasilkan. Oleh karena itu, praktikum ini mempunyai tujuan yaitu untuk mengetahui pengaruh penggunaan bahan pensubstitusi pada pembuatan tempe dan pengaruh perbedaan penggunaan bahan pembungkus pada pembuatan tempe. TINJAUAN PUSTAKA Ciri-ciri Fisiologi dan Morfologi Tempe Tempe merupakan makanan tradisional khas Indonesia yang berpotensi sebagai makanan fungsional karena mempunyai gizi tinggi yang diperlukan oleh tubuh. Beberapa khasiat tempe bagi kesehatan antara lain memberikan pengaruh hipokolesterolemik, antidiare, antioksidan, meningkatkan penyerapan kalsium dan zat besi, sebagai senyawa antitrombotik, menurunkan kolesterol dan sebagainya (Cahyadi, 2007). Menurut SNI No. 01-3144-2009 tempe adalah produk makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh kapang tertentu, berbentuk padatan kompak dan berbau khas serta berwarna putih atau sedikit keabu-abuan. Pembuatan Tempe dilakukan dengan proses fermentasi, yaitu dengan menumbuhkan kapang Rhizopus spp. pada kedelai matang yang telah dilepaskan kulit epidermisnya (Haryoko dan Nova, 2009). Tempe mengandung berbagai nutrisi yang diperlukan oleh tubuh seperti protein, lemak, karbohidrat, dan mineral. Tempe mengandung gizi yang cukup tinggi, mencakup 25% protein, 5% lemak, 4% karbohidrat serta kaya akan mineral dan vitamin B12. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan oleh tubuh dibandingkan dengan zat gizi kedelai yang dikonsumsi secara langsung (Dwinaningsih, 2010). Hal ini dikarenakan pada fermentasi tempe terjadi proses penguraian zat-zat makro molekul (seperti karbohidrat, protein dan lemak) dalam kedelai oleh aktivitas enzim-enzim jamur sehingga menghasilkan senyawa yang lebih sederhana dan lebih mudah dimanfaatkan oleh tubuh (Koswara, 1992). Tempe tergolong produk fermentasi kedelai yang keberhasilannya ditentukan oleh interaksi kegiatan mikroorganisme dan lingkungannya. Proses fermentasi menyebabkan terdegradasinya protein menjadi senyawa-senyawa dengan berat molekul yang lebih sederhana. Proses degradasi senyawa- senyawa yang terdapat dalam kotiledon kedelai pada saat fermentasi menyebabkan tempe mempunyai flavor yang spesifik (Koswara, 1997). Kelompok jamur yang paling berperan dalam pembuatan tempe adalah genus Rhizopus. Jamur Rhizopus sp telah diketahui sejak lama sebagai jamur yang memegang peranan utama pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe. Jamur Rhizopus sp akan membentuk padatan kompak berwarna putih yang disebut sebagai benang halus/biomasa. Benang halus/biomasa disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji kedelai dan menghubungkan biji-biji kedelai tersebut. Jenis Rhizopus sp sangat beragam sehingga perlu diisolasi serta diidentifikasi morfologi dan sifat-sifatnya. Identifikasi berdasarkan morfologi jamur yaitu dengan mengamati sporangiofor, sporangium dan sporangio-spora. Masyarakat umumnya menyebut inokulum jamur untuk membuat tempe dengan laru atau laru tempe. Jenis Rhizopus yang dapat digunakan sebagai inokulum dalam pembuatan tempe yaitu R. oligosporus, R. oryzae, R. stolonifer dan kombinasi dua jenis atau ketiga-tiganya (Kusuma, 2005). R. oligosporus dimanfaatkan dalam pembuatan tempe dari proses fermentasi kacang kedelai, karena R. oligosporus yang menghasilkan enzim fitase yang memecah fitat membuat komponen makro pada kedelai dipecah menjadi komponen mikro sehingga tempe lebih mudah dicerna dan zat gizinya lebih mudah terserap tubuh (Jennessen et al., 2008). Manfaat Tempe Bagi Kesehatan Tempe memiliki manfaat yang cukup banyak dalam bidang kesehatan, diantaranya sebagai berikut: 1. Mampu menyembuhkan diare. 2. Menurunkan tekanan darah. 3. Menurunkan kadar kolesterol yang ada di dalam tubuh kita. 4. Merupakan salah satu makanan antikanker. 5. Mampu mencegah osteoporosis. 6. Mencegah anemia. 7. Kaya antioksidan alami yang mampu meningkatkan kekebalan tubuh. 8. Kaya akan serat yang mampu melancarkan pencernaan. 9. Mampu mencegah timbulnya hipertensi. 10. Mencegah penyakit jantung. Kandungan Gizi Tempe Kandungan gizi tempe juga diperkaya dengan vitamin B kompleks yang terdiri dari B12 atau sianokobalamin, B1 atau tiamin, B2 atau riboflavin, B6 atau piridoksin dan lain-lain. Kandungan vitamin B12 tempe sangat tinggi dan mampu mencukupi kebutuhan vitamin tubuh. Selain vitamin B kompleks, pada dasarnya tempe juga kaya akan vitamin A, D, E dan juga K. Selain vitamin dan asam lemak, tempe juga diperkaya dengan mineral antara lain kalsium, Fe atau zat besi, mangan, zink, fosfor, inositol, magnesium dan lain-lain. Hal lain yang penting dari tempe adalah keberadaan zat anti- oksidan yang populer disebut isoflavon. Zat ini mampu melawan pengaruh radikal bebas yang merusak sel-sel tubuh (Rahayu, 1988). Syarat Mutu Tempe Seperti halnya produk yang lainnya, tempe juga memiliki syarat mutu agar aman dikonsumsi. Syarat mutu tempe yang digunakan merupakan syarat mutu yang berlaku secara umum di Indonesia berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3144-2009), seperti tercantum pada Tabel 1. berikut ini. Tabel 1. Syarat Mutu Tempe menurut SNI 01-3144- 2009 Parameter Syarat Mutu Bau, warna, rasa Normal (khas tempe) Kadar air, b/b Maks. 65% Kadar abu, b/b Maks. 1,5% Kadar protein (N x 6,25), b/b Min. 16% Kadar lemak, b/b Min. 10% Serat kasar, b/b Maks. 2,5% Cemaran mikroba : Escherichia coli Salmonella
METODOLOGI Waktu dan Tempat Praktikum Pangan Lokal diselenggarakan pada tanggal 12 Mei 2014 di laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember. Alat dan Bahan Peralatan yang dibutuhkan pada praktikum pembuatan tempe yaitu kompor, panci, baskom, loyang, sendok, tampah, lap kain, neraca analitik, jarum, pnetrometer, colorreader, siller dengan bahan yang digunakan yaitu kedelai, kacang merah, daun pisang, plastik, ragi tempe (PAPRIMA), air.
100% kedelai (kontrol) Pencucian Perebusan selama 15 menit Pengupasan kulit Pencucian Perebusan 5 menit Penirisan / pendinginan Inokulasi / peragian (1%) Pembungkusan Pemeraman 24, 48 dan 72 jam pada suhu ruang (dokumentasi 24 dan 48, jam, organoleptik 72 jam) Tempe Perendaman 48 jamkacang merah, 24 jamkedelai
Daun pisang Plastik 80% kedelai dan 20% kacang merah
Proses Pembuatan Pada proses pembuatan tempe yang pertama dilakukan yaitu menyiapkan kedelai dan kacang merah. Kedelai dan kacang merah yang telah disiapkan selanjutnya direndam selama 24 jam untuk kedelai dan 48 jam untuk kacang merah. Adanya perbedaan lama perendaman ini dikarenakan tekstur dari kacang merah lebih keras dibandingkan kedelai. Setelah dilakukan perendaman dilanjutkan dengan pencucian dan perebusan. Perebusan ini dilakukan selama 15 menit sebagai waktu optimal untuk pelunakan sel dan memudahkan dalam pengupasan kulit. Pengupasan kulit bertujuan untuk memudahkan mikroba dalam mendegradasi protein di dalam biji kedelai. Selanjutnya, setelah pengupasan dilanjutkan dengan perebusan selama 5 menit untuk proses sterilisasi. Setelah sterilisasi, dilanjutkan dengan pendinginan dan pemberian ragi sebanyak 1%. Proses pendinginan perlu dilakukan sebelum peragian karena untuk menghindari agar mikroba tidak mati kepanasan sehingga fermentasi dapat berjalan dengan maksimal dan pemberian ragi harus dilakukan secara merata. Proses akhir setelah peragian yaitu pengemasan. Jenis kemasan yang digunakan yaitu daun pisang dan plastik. Plastik yang akan digunakan sebelumnya dilubangi sebagai tempat masuknya oksigen agar terjadinya kondisi aerob fakultatif dan daun yang digunakan juga harus dalam keadaan bersih.
Uji Organoleptik Uji organoleptik kepada panelis ditujukan untuk mengetahui tingkat kesukaan suatu produk dengan parameter yang disesuaikan dengan sampel yang diuji, dalam hal ini adalah warna, aroma, kenampakan dan kesukaan secara keseluruhan. Uji organoleptik ini sangat cocok untuk menilai komoditi baru atau suatu produk yang akan dikembangkan. Menurut Kartika (1988) tujuan dari uji organoleptik adalah untuk mengetahui tingkat penerimaan pada produk tertentu. Uji kesukaan ditentukan dengan rentangan nilai 1-5, dimana 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (agak suka), 4 (suka), 5 (sangat suka suka). Sehingga dari uji kesukaan ini dapat diketahui sampel yang paling disukai panelis dengan merata-rata nilainya. Oleh karena itu dalam pembuatan tempe kedelai dengan substitusi dengan kacang merah dilakukan uji organoleptik. HASIL DAN PEMBAHASAN Warna
Gambar 1. Diagram Pengujian Warna Berdasarkan Gambar 1. Diagram Pengujian Warna dapat diketahui bahwa panelis lebih menyukai sampel dengan kode 341 (80% kedelai dan 20% kacang merah dibungkus daun pisang) dengan nilai 2,6. Nilai terkecil diperoleh pada sampel dengan kode 192 (100% kedelai dibungkus plastik). Panelis lebih menyukai sampel kode 341 karena warna yang dihasilkan pada tempe sedikit putih dan terlihat bagus. Sedangkan panelis tidak menyukai kode sampel 192 karena warna dari tempe yang dihasilkan hitam dan sedikit berair. Warna hitam dan adanya sedikit air pada tempe dikarenakan terdapat dua alasan yang mendasar yang pertama dari perlakuan bahan dan sifat pembungkus. Untuk perlakuan bahan, pada saat perebusan kedua, kedelai yang akan diberi ragi masih sedikit basah sehingga kondisi menjadi lembab yang menyebabkan mikroba tidak dapat memetabolisme dengan maksimal. Selain itu, hal ini juga dapat disebabkan oleh faktor penggunaan peralatan yang tidak steril, ragi yang digunakan, adanya kontaminasi yang terjadi pada proses perendaman atau fermentasi, serta dapat pula disebabkan kondisi lingkungan yang basa pada saat proses perendaman berlangsung. Kondisi basah dapat menyebabkan terjadinya penghambatan pertumbuhan atau kematian jamur tempe sehingga pertumbuhan miselia pada tempe tidak optimal. Namun untuk pengaruh bahan subtitusi yang digunakan tidak terlalu menyebabkan perbedaan yang signifikan, karena perbandingan yang dilakukan hanya sedikit. Walaupun kacang merah yang digunakan memiliki sifat sebagai antioksidan alam tertinggi sehingga dapat menghambat bakteri Streptococcus, tetapi dimungkinkan fungsi tersebut tidak berjalan optimal. Hal tersebut juga berlaku pada parameter yang lain, seperti kenampakan, dan aroma. Faktor kedua, yang menjadi faktor penentu utama adalah pengaruh pembungkus yang digunakan, dimana menurut literatur tempe yang menggunakan pembungkus plastik lebih mudah busuk daripada menggunakan daun pisang. Hal tersebut dikarenakan plastik memiliki molekul yang kecil dan padat sehingga sirkulasi udara pada saat proses fermentasi tidak dapat berjalan lancar. Sirkulasi udara yang lancar diperlukan untuk memaksimalkan fermentasi, karena mikroba yang digunakan bersifat aerob obligat, yakni membutuhkan sedikit oksigen untuk proses pertumbuhannya. Walaupun dalam proses pembuatan tempe plastik ditusuk jarum, namun ketersediaan oksigen yang kurang dibanding dengan pembungkus daun pisang menyebabkan fermentasi berjalan lebih cepat dan banyaknya mikroba yang mati sehingga tidak dapat memetabolisme dengan baik dan meryebabkan warna hitam dari tempe yang dihasilkan. Sedangkan untuk pembungkus daun pisang proses fermentasi dapat berjalan maksimal. Hal tersebut dikarenakan kandungan polifenol yang berperan sebagai antioksidan dalam daun pisang juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus dan akan lebih memaksimalkan proses fermentasi pada tempe karena kapang tumbuh dengan baik, sehingga kualitas tempe yang dihasilkan lebih baik, dalam hal ini adalah warna yang cerah dibanding dengan plastik dalam waktu pemeraman yang sama. Selain itu, dengan lamanya proses fermentasi yaitu 72 jam, maka suhu didalam ruang pemeraman akan semakin meningkat karena ditutup oleh kain dan tampah, sehingga menyebabkan panas yang berlebih dan panas tersebut dapat mempercepat proses pembentukan spora kapang. Spora kapang memiliki karakteristik warna hitam, sehingga tempe yang dihasilkan juga berwarna serupa. Dari perubahan tersebut dapat diketahui bahwa mutu tempe yang dilakukan semakin menurun.
Aroma Gambar 2. Diagram Pengujian Aroma Berdasarkan Gambar 2. Diagram Pengujian Aroma, dapat diketahui bahwa panelis lebih menyukai sampel dengan kode 341 (80% kedelai dan 20% kacang merah dibungkus daun pisang) dengan nilai 1,8. Nilai terkecil diperoleh pada sampel dengan kode 192 (100% kedelai dibungkus plastic) yaitu sebesar 1,1. Pada saat pengujian aroma secara organoleptik, untuk keseluruhan tempe memiliki aroma busuk yang menyengat, dengan intensitas tergantung pembungkusnya. Timbulnya bau busuk pada pengujian aroma ini dikarenakan waktu fermentasi yang terlalu lama, sehingga berakibat terjadinya degradasi protein oleh enzim-enzim proteolitik menghasilkan amoniak yang berbau busuk (NH) (Nout dan Rambots, 1990). Intensitas aroma busuk dimiliki oleh pembungkus plastik karena kondisi lembab saat peragian dan molekul plastik yang kecil dan padat sehingga memperbesar kelembapan pada tempe. Semakin lembab dan semakin lama fermentasi, maka pH tempe semakin meningkat sampai pH 8,4, sehingga kapang semakin menurun karena pH tinggi kurang sesuai untuk pertumbuhan kapang. Secara umum kapang juga membutuhkan air untuk pertumbuhannya, tetapi kebutuhan air pada kapang lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri. Keberadaan air yang cukup tinggi akan merusak jaringan di dalam kedelai sehingga menyebabkan kebusukan yang ditandai dengan aroma busuk yang menyengat.
Kenampakan
Gambar 3. Diagram Pengujian Kenampakan Berdasarkan Gambar 3. Diagram Pengujian Kenampakan, dapat diketahui bahwa panelis lebih menyukai sampel dengan kode 341 (80% kedelai dan 20% kacang merah dibungkus daun pisang) dengan nilai 2,3. Nilai terkecil diperoleh pada sampel dengan kode 192 (100% kedelai dibungkus plastic) sebesar 1,1. Kenampakan pada tempe dengan sampel 341 yaitu hitam, basah, lunak dan tidak terlihat miselianya. Hal ini dikarenakan proses fermentasi yang berlangsung terlalu lama. Semakin lama fermentasi, maka pH tempe semakin meningkat sampai pH 8,4, sehingga kapang semakin menurun karena pH tinggi kurang sesuai untuk pertumbuhan kapang. Kenampakan yang tidak sesuai ini juga dikarenakan peragian dilakukan saat kondisi kedelai masih dalam keadaan lembab. Secara umum kapang juga membutuhkan air untuk pertumbuhannya, tetapi kebutuhan air pada kapang lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri. Keberadaan air yang cukup tinggi akan merusak jaringan di dalam kedelai sehingga menyebabkan kebusukan yang ditandai dengan tempe yang basah. Sedangkan untuk sampel 192, memiliki kenampakan yang lebih buruk lagi. Hal tersebut dikarenakan karakteristik plastik yang kecil dan padat sehingga sirkulasi udara tidak berjalan dengan maksimal, sehingga intensitas kelembapan semakin besar. Keseluruhan Gambar 4. Diagram Pengujian Kesukaan Keseluruhan. Berdasarkan Gambar 4. Diagram Pengujian Kesukaan Keseluruhan, dapat diketahui bahwa panelis lebih menyukai sampel dengan kode 341 (80% kedelai dan 20% kacang merah dibungkus daun pisang) dengan nilai 2,4. Nilai terkecil diperoleh pada sampel dengan kode 192 (100% kedelai dibungkus plastic) sebesar 1,2. Secara keseluruhan, panelis lebih menyukai sampel 341 (80% kedelai dan 20% kacang merah dibungkus daun pisang) karena warna, aroma, dan kenampakan yang dihasilkan sudah khas dengan tempe. Namun panelis tetap tidak menyukai sampel kedelai 100% yang dibungkus dengan menggunakan plastic. Hal ini dikarenakan aroma yang dihasilkan busuk, warna hitam, dan kenampakannya sangat tidak menyerupai tempe pada umumnya. Hal ini dikarenakan saat peragian berlangsung, kondisi kedelai masih dalam keadaan lembab. Adanya fermentasi yang sangat lama yaitu 72 jam akan menyebabkan pH tempe semakin meningkat sampai pH 8,4, sehingga kapang semakin menurun karena pH tinggi kurang sesuai untuk pertumbuhan kapang. Selain itu semakin lama maka kondisi tempe akan semakin panas dan menghasilkan uap air yang banyak. Semakin banyak uap air, maka pertumbuhan kapang akan semakin terhambat pula, dan dengan menggunakan pengemas plastic, maka uap air tersebut tidak dapat keluar secara optimal karena ruang untuk sirkulasi udara tidak sebanyak pada daun. Hal inilah penyebab kegagalan tempe,sehingga dapat berpengaruh pada kualitas. Sedangkan dalam hal proses pembuatan tempe dengan subtitusi kacang merah, tidak terlalu berpengaruh terhadap perbedaan parameter kualitas. Hal tersebut dikarenakan jumlah penggunaan yang terlalu sedikit, walaupun ditinjau dari segi kandungan kacang merah yang memiliki antioksidan alam yang paling tinggi untuk jenis kacang- kacangan, namun dimungkinkan hal tersebut kurang memberikan pengaruh. Tetapi apabila perbandingan diperbesar maka, dimungkinkan hal tersebut akan bersifat integral. Bahan pengemas yang digunakan juga mempengaruhi tempe yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan tempe yang dibungkus dengan daun pisang lebih memiliki banyak pori-pori yang dapat menjadi tempat sirkulasi udara. Sedangkan pembungkus dengan menggunakan plastik tidak memiliki rongga udara seperti daun. Adanya rongga atau pori-pori untuk masuknya oksigen diperoleh dari lubang-lubang plastik, namun hal tersebut tidak berpengaruh yang besar. Dengan demikian, pengemas yang menggunakan plastik lebih mudah busuk dibandingkan dengan menggunakan daun karena ketersediaaan oksigen yang kurang sehingga sirkulasi udara tidak berjalan secara lancar. Hal inilah yang menjadi pemicu bau busuk pada tempe pengemas plastik. Selain itu karakteristik kimia daun pisang juga mempengaruhi parameter kualitas tempe yang dihasilkan. Hal tersebut dikarenakan kandungan polifenol yang berperan sebagai antioksidan dalam daun pisang juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus dan akan lebih memaksimalkan proses fermentasi pada tempe karena kapang tumbuh dengan baik, sehingga kualitas tempe yang dihasilkan lebih baik dibanding dengan plastik dalam waktu pemeraman yang sama.
KESIMPULAN Dari hasil pembahasan diatas dapat diketahui bahwa kualitas tempe yang baik dalam segala parameter yang meliputi warna, aroma, kenampakan, dan kesukaan keseluruhan dimiliki oleh sampel 341 yakni tempe kedelai (80%) dengan subtitusi kacang merah sebanyak 20%. DAFTAR PUSTAKA Badan Standardisasi Nasional . 2009. SNI 01-3144- 2009 Syarat Mutu Tempe. Jakarta: BSN Cahyadi, W. 2007. Kedelai Khasiat dan Teknologi, Jakarta : Bumi Aksara. Dwinaningsih, E. A., 2010, Karakteristik dan sensori tempe dengan variasi bahan baku kedelai/beras dan penambahan angka serta variasi lama fermentasi, Skripsi (tidak dipublikasikan). Surakarta : Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Haryoko, M. dan K. Nova. 2009. Pembuatan tempe saga (Adenanthera pavonia L) menggunakan ragi tepung tempe dan ragi instan, Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Semarang : Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Jennessen, J., J. Schnurer, J. Olsson, R.A. Samson, and J. Dijksterhuis, 2008, Morphological characteristics of sporangiospores of the tempe fungus Rhizopus oligosporus differentiate it from other taxa of the R. microsporus group. Mycol. Res, Vol.112, 547-63. Koswara, S., 1992, Daftar Komposisi Bahan Makanan, Jakarta : Penerbit Bharata. Koswara, S,. 1997, Mengenal makanan tradisional, Prosiding Teknologi dan Industri Pangan, Vol.8, 74-78. Kusuma, Y. D., 2005, Kemampuan Rhizopus Oligosporus pada Fermentasi Tempe Kedelai Sindoro Americana Dan Campuran Masing-Masing Kedelai Dengan Kecipir Dalam Menghasilkan Isoflavon Aglikon, Skripsi (tidak dipublikasikan). Purwokerto : Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman. Nout, M. J. R dan F. M. Rambout. 1990. A Review: Recent developments in tempe research. Journal of Applied Bacteriology 69.609-633. Rahayu, K. 1988. Bahan Pengajaran Mikrobiologi Pangan PAU Pangan dan Gizi. Yogyakarta : UGM. Wirakusumah, E. 2004. Buah dan Sayur untuk Terapi. Jakarta : Penebar Swadaya.
LAMPIRAN FOTO
Pencucian Kedelai Perebusan Kedelai
Penirisan Kedelai Pengupasan Kulit Kedelai
Perebusan Kedua Untuk Sterilisasi Pendinginan Kedelai
Bungkus dalam Pembuatan Tempe Penimbangan Ragi
Tempe Hari ke - 0 Tempe Hari ke 2 (Bungkus Plastik - 100% Kedelai)
Tempe Hari ke 2 (80% Kedelai + 20% Kacang Merah) Tempe Hari ke -2 (100% Kedelai)
Tempe Hari ke 2 (80% Kedelai + 20% Kacang Merah) Tempe Hari ke 3 (100% Kedelai)
Tempe Hari ke 3 (80% Kedelai + 20% Tempe Hari ke 3 (100% Kedelai)
Tempe Hari ke 3 (80% Kedelai + 20% Kacang Merah) Pengujian Oleh Panelis
HASIL PENGAMATAN
a. Warna No. Panelis Kode Sampel 263 192 415 341 1. Victoria 2 1 1 2 2. Reny 1 1 2 3 3. Fatimah W. 3 4 2 4 4. Susi Dwi Y. 2 1 1 2 5. Gunda Eko P. 1 1 2 3 6. Nurus Zahro 2 1 2 2 7. Radya Tantri D. 1 1 2 3 8. Naili M. R 2 2 2 3 9. Feny Dyah F. 2 1 2 2 10. Fitri Noer M. 2 1 2 2
b. Aroma No. Panelis Kode Sampel 263 192 415 341 1. Victoria 2 1 1 2 2. Reny 1 1 1 2 3. Fatimah W. 1 2 1 1 4. Susi Dwi Y. 2 1 1 2 5. Gunda Eko P. 1 1 1 3 6. Nurus Zahro 1 1 2 2 7. Radya Tantri D. 1 1 1 1 8. Naili M. R 1 1 1 1 9. Feny Dyah F. 1 1 1 2 10. Fitri Noer M. 1 1 2 2
c. Kenampakan No. Panelis Kode Sampel 263 192 415 341 1. Victoria 2 1 1 2 2. Reny 1 1 1 3 3. Fatimah W. 3 1 2 3 4. Susi Dwi Y. 2 1 1 2 5. Gunda Eko P. 1 2 2 3 6. Nurus Zahro 1 1 2 2 7. Radya Tantri D. 1 1 2 2 8. Naili M. R 1 1 1 2 9. Feny Dyah F. 2 1 1 2 10. Fitri Noer M. 2 1 2 2
d. Keseluruhan No. Panelis Kode Sampel 263 192 415 341 1. Victoria 2 1 1 2 2. Reny 1 1 1 3 3. Fatimah W. 3 2 2 3 4. Susi Dwi Y. 2 1 1 2 5. Gunda Eko P. 1 1 2 4 6. Nurus Zahro 1 1 2 2 7. Radya Tantri D. 1 1 2 2 8. Naili M. R 3 2 2 2 9. Feny Dyah F. 2 1 1 2 10. Fitri Noer M. 2 1 2 2
HASIL PERHITUNGAN
a. Warna No. Kode Sampel Rata-rata 1. 263 1,8 2. 192 1,4 3. 415 1,8 4. 341 2,6
b. Aroma No. Kode Sampel Rata-rata 1. 263 1,2 2. 192 1,1 3. 415 1,2 4. 341 1,8
c. Kenampakan No. Kode Sampel Rata-rata 1. 263 1,6 2. 192 1,1 3. 415 1,5 4. 341 2,3
d. Keseluruhan No. Kode Sampel Rata-rata 1. 263 1,8 2. 192 1,2 3. 415 1,6 4. 341 2,4 LAMPIRAN PERHITUNGAN A. Warna Kode Sampel 263 Rata-rata = = 1,8 Kode sampel 192 Rata-rata = = 1,4 Kode sampel 415 Rata-rata = = 1,8 Kode sampel 341 Rata-rata = = 2,6 B. Aroma Kode Sampel 263 Rata-rata = = 1,2 Kode sampel 192 Rata-rata = = 1,1 Kode sampel 415 Rata-rata = = 1,2 Kode sampel 341 Rata-rata = = 1,8 C. Kenampakan Kode sampel 263 Rata-rata = = 1,6 Kode sampel 192 Rata-rata = = 1,1
Kode sampel 415 Rata-rata = = 1,5 Kode sampel 341 Rata-rata = = 2,3 D. Keseluruhan Kode sampel 263 Rata-rata = = 1,8 Kode sampel 192 Rata-rata = = 1,2 Kode sampel 415 Rata-rata = = 1,6 Kode sampel 341 Rata-rata = = 2,4