Pagi itu, matahari begitu cerah berbeda seperti biasanya. Hati yang gembira terpancar dari wajah seorang siswa Sekolah Menengah Atas di Kota Bogor, Dudi. Hari ini adalah hari pertama ia masuk ke kelas pilihan setelah melalui seleksi rapor semester 3 yang cukup ketat. Dia merupakan satu dari lima laki-laki yang lolos seleksi itu dengan teman perempuannya yang berjumlah dua puluh orang. Dudi merasa menjadi lelaki yang paling beruntung, karena kelas ini terdiri dari siswa-siswa terbaik di sekolahnya. Hari pertama ini cukup baik ia lewati, setiap kali guru memberikan pertanyaan langsung bisa ia jawab. Namun, persahabatan di kelas ini belum dimulai. Entah rasa malu, gengsi, atau memang sikap orang pintar yang individualis, hari itu terasa sepi tanpa ada percakapan di kelas. Adapun mengobrol dengan teman yang dikenal, bahkan ada yang tidak segan kembali ke kelas lama masing-masing hanya untuk mengobrol atau bersenda gurau dengan teman sepantaran ketika istirahat. Namun Dudi masih sibuk mebaca bukunya, dan mempelajari pelajaran yang baru saja ia terima dari gurunya. Karena Dudi merupakan anak yang berasal dari keluarga yang sederhana, jadi dia berpikir selangkah kedepan untuk selalu menjaga cita-citanya dari sejak kecil yaitu menjadi seorang insinyur. Tiba-tiba datang seorang perempuan yang menghampirinya untuk mengajak kenalan. Hai, apa kabar, lagi baca apa, kok gak main kayak yang lain, sendirian lagi di tempat duduk? tanya sang cewek. Belum sempat Dudi menjawab, cewek itu melanjutkan perbincangan, Oh ya, nama saya Nike dari XI IPA 1 sambil mengulurkan tangannya mengajak berkenalan. Hmmm, sudah tanyanya?, sahut Dudi yang diiringi oleh tawa kecil di bibirnya dan menyambar tangan Nike. Nike pun langsung tertawa, karena dia bertanya tak henti-henti dari tadi. Nama saya Dudi, dari XI IPA 3, jawab Dudi dengan logat jawanya yang khas. Mereka pun melanjutkan perbincangan sampai bel berbunyi. Teeeet... teet... teet... Seluruh siswa yang saat istirahat pada kelayapan ke seluruh penjuru sekolah, akhirnya kembali ke kelas, dan kelas pun mulai terasa ramai. Saat itu pelajaran matematika, pelajaran yang paling Nike benci. Melihat teman yang baru dikenalnya sepertinya rajin, Nike langsung meminta Dudi supaya bisa duduk di sebelahnya. Dud, aku duduk di sampingmu ya? Aku gak terlalu bisa matematika nih. Kayaknya kamu pinter matematika nih. Bisa kan jadi teman yang ngajari aku kalau aku gak bisa, pinta Nike. Ya, silahkan aja, kalau aku bisa ya pasti aku bantu kok, hehehe, jawab Dudi. Hari pertama masuk kelas, ternyata proses kegiatan belajar langsung dimulai dan materi Persamaan Diferensial menjadi materi awal masuk pada semester 4. Nike pun langsung menepuk keningnya, Aduh, materi ini kenapa susah banget sih, eluh Nike. Gak ada yang susah kok Nik, kalau kamu mau berusaha dengan baik. Itu cuma masalah mindset-mu aja. Kalau kamu sekali bilang gak bisa, malah seterusnya gak bisa. Tapi kalau kamu bilang bisa, bisa, bisa. Aku yakin kamu pasti bisa ungkap Dudi yang mencoba menenangkan Nike dengan suara pelan. Okelah, tapi aku setiap pulang sekolah kamu ajarin ya untuk pelajaran matematika ini, Bisik Nike yang sangat berharap. Ah bisa diatur, wani piro? Hahaha canda Dudi. Gak kerasa, waktu pulang pun tiba. Dudi pun hendak menanyakan ke Nike atas permintaannya tadi yang meminta untuk diajari matematika. Tetapi belum genap semua siswa keluar kelas, Nike pun sudah menghilang tanpa jejak. Lah mana tuh cewek, baru mau ditanyain malah udah pulang duluan. Ah tapi gak papa juga sih malah bisa pulang cepet. Lagian materi awal tadi baru perkenalan Diferensial aja gumam Dudi. Dudi pun memilih untuk pulang ke rumahnya. Sekolah dan rumahnya berjarak lebih dari 2 kilometer. Biasanya ia meminta bonceng ke teman sekelasnya dulu yang membawa motor, namun sekarang temannya itu sudah tidak sekelas lagi dengannya. Jadi dia merasa tidak enak. Dia pun tidak tahu temannya itu sudah pulang atau belum. Akhirnya dia memilih untuk berjalan kaki saja sembari menikmati suasana jalanan yang di pinggirnya dipenuhi pohon-pohon yang rindang. Di perjalanannya pulang, ia bertemu dengan teman kelas lamanya yang sudah menarik perhatiannya. Dia menyimpan perasaan itu sejak pertama kali ia mengenalnya tanpa satu orang pun yang tahu kalau dia suka dengan perempuan tersebut sampai sekarang. Di perjalanan pulangnya itu, Dudi terus membayangkan gadis yang bernama Via itu. Dia selalu teringat betapa baiknya Via dengan dirinya dan semua kedekatan yang pernah dialaminya. Dudi pun terus berpikir mengapa dia tidak sekelas lagi dengannya dan apa kelanjutan hubungannya dengan Via. Dia membayangkan mengapa sejak dulu tak dia ucapkan perasaan ini padanya. Ya sudahlah kalau jodoh juga gak akan kemana-mana kok. Apalagi ini masih SMA, masih panjang perjalanan hidup ini, dibandingkan harus memikirkan sebuah kata yang ketika mendengarnya langsung bergetar hatinya yaitu kata cinta. Tak terasa sepanjang jalan memikirkan cinta, jarak jauh pun tak menjadi masalah. Dudi pun masuk ke dalam gang kecil menuju rumahnya yang berada di tengah-tengah komplek. Tak lama kemudian dia sampai pada rumah orang tuanya yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu bagus. Dudi tidak pernah mau menyebut rumah ini rumahnya, karena mau bagaimana pun juga itu rumah orang tuanya. Dan dia bercita-cita memiliki rumah yang bagus dan besar, yang ketika mengucapkannya dia tidak malu mengatakan ini rumahku. Kemudian dia langsung ke kamar, dan istirahat di kasurnya yang agak empuk namun sangat kumal itu. Kemudian dia teringat sebuah buku yang lama dibelinya namun belum pernah ia baca. Buku yang berjudul Classic Story yang merupakan rangkuman dari kisah-kisah kesatria, cinta, pengorbanan seperti Romeo & Juliet, Cinderella dan sebagainya. Buku inilah awal dari fantasi cerita klasik Dudi yang mungkin setiap orang bisa merasakannya.