Вы находитесь на странице: 1из 3

Wacana Publik

Menyoal Kerawanan Banten terhadap HIV/AIDS

Oleh: Syaiful W. Harahap

Berita “Banten Rawan HIV/AIDS, Masuk 7 Besar Daerah Penyebaran” di Harian “Radar
Banten” edisi 15/3-2008 mengesankan sensasi daripada fakta. Terkait dengan epidemi
HIV/AIDS maka yang rawan adalah perilaku orang per orang bukan daerah. Tidak ada
daerah atau negara yang rawan HIV/AIDS. Angka yang dikemukakan sensasional untuk
ukuran Baten sehingga bisa menimbulkan penafsiran yang salah terhadap HIV/AIDS.

Angka kasus HIV/AIDS diperoleh dari estimasi dan prediksi yang dihitung berdasarkan
beberapa faktor yang terkait langsung dengan penularan HIV, dan yang dilaporkan (kasus
HIV/AIDS yang terdeteksi melalui tes HIV yang baku yaitu hasil tes pertama harus
dikonfirmasi dengan tes lain). Maka, pertanyaan yang sangat mendasar dari angka yang
dikemukakan dalam berita (6.590 kasus HIV/AIDS) adalah: dari mana sumber angka itu?

Pertama, kalau angka itu merupakan estimasi atau prediksi maka angka itu tidak
menggambarkan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi melalui tes HIV yang baku. Angka itu
merupakan peringatan bagi penduduk Banten agar menghindari perilaku berisiko tinggi
tertular HIV. Perilaku berisiko tinggi tertular HIV terkait dengan hubungan seks adalah
melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan
yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti
pekerja seks komersial (PSK).

Perilaku Berisiko

Kedua, kalau angka itu merupakan jumlah kasus yang dilaporkan maka itu artinya
bencana besar akan dihadapi Pemprov Banten. Memang, saat ini belum ada dampak
langsung karena ada kemungkinan infeksi HIV belum mencapai masa AIDS sehingga
tidak ada keluhan kesehatan terkait dengan HIV/AIDS. Tapi, 5-10 tahun ke depan akan
terjadi ‘ledakan AIDS’ karena banyak di antaranya sudah mencapai masa AIDS sehingga
sudah ada keluhan kesehatan. Jika sudah pada masa AIDS maka penyakit, disebut infeksi
oportunistik, akan mudah menyerang sehingga Odha (Orang dengan HIV/AIDS) akan
memerlukan perawatan medis. Jika infeksi oportunistik tidak ditangani secara medis
maka akan menyebabkan kematian pada Odha.

Hal itulah yang dialami Thailand. Dua dekade lalu ahli-ahli epidemilogi sudah
mengingatkan Negara Gajah Putih itu terhadap epidemi HIV. Tapi, penguasa negara itu
menampik peringatan ahli-ahli Barat. Rupanya, penguasa di sana melihat rakyatnya
berbudaya dan beragama. Apa yang terjadi kemudian? Kasus HIV/AIDS meledak sampai
mendekati angka satu juta kasus.

Di sebuah provinsi yang terkenal dengan gadis-gadisnya yang cantik terjadi kontra
produktif karena ledakan AIDS. Banyak gadis dari provinsi itu yang menjadi PSK di
Bangkok dan kota-kota tujuan wisata lain di Thailand. Ketika mereka bekerja sebagai
PSK mereka mengirimkan uang ke kampung halamannya. Keluarganya di kampung pun
memakai uang untuk usaha. Tapi, ketika mereka mulai sakit karena penyakit yang terkait
dengan infeksi HIV/AIDS maka mereka pulang kampung. Harta yang dibeli dari uang
kiriman pun habis untuk membiayai pengobatan. Beruntunglah Thailand karena biksu
mau menampung dan merawat korban AIDS di vihara.

Bercermin dari pengalaman Thailand itu maka Prov Banten perlu mawas diri. Ketika
kasus hanya hitungan jari, kegiatan untuk pananggulangan AIDS rendah sehingga banyak
kasus yang tidak terdeteksi yang berpotensi mendorong ledakan AIDS. Dari mana kasus
HIV/AIDS itu?

Kasus HIV/AIDS terdeteksi pada orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang


melakuklan perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu (a) orang-orang (laki-laki dan
perempuan) yang sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar
nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (b) orang-orang (laki-laki) yang yang sering
melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang
(perempuan, seperti PSK atau perempuan panggilan) yang sering berganti-ganti
pasangan, (c) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang menerima transfusi darah yang
tidak diskrining HIV, dan (d) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang memakai
jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian, terutama pada
pengguna narkoba dengan suntikan. Orang-orang inilah yang menghasilkan angka
HIV/AIDS.

Dalam berita disebukan “Sebanyak 6.590 penderita HIV/AIDS yang terdapat di Banten
merupakan ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dewasa. Dari jumlah estimasi itu yang
baru ditemukan sekitar 1.005 penderita”. Dari pernyataan itu jelas bahwa angka 6.590
adalah angka estimasi. Tapi, disebutkan bahwa sudah terdeteksi 1.005 penderita. Ini akan
menjadi beban bagi Pemprov Banten ketika mereka sudah mencapai masa AIDS.

Bom Waktu

Disebutkan pula dalam berita bahwa kasus terbanyak terdeteksi di kalangan pengguna
narkoba. Di sini ada fakta yang tidak muncul sehingga mengesankan kasus HIV/AIDS
lebih banyak di kalangan pengguna narkoba. Kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di
kalangan pengguna narkoba karena pengguna narkoba yang akan menjalani rehabilitasi
(pengobatan) diwajibkan menjalani tes HIV. Tapi, sampai sekarang tidak ada mekanisme
yang bisa menjaring kasus HIV/AIDS di kalangan laki-laki dan perempuan yang perilaku
seksnya berisiko tinggi tertular HIV. Kasus HIV/AIDS di kalangan yang perilaku seksnya
berisiko tinggi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan kasus AIDS.

Jika kelak terjadi ladakan AIDS apakah rumah sakit di Banten siap menampung Odha
dengan keluhan infeksi oportunistik? Begitu pula dengan biaya: rumah sakit, dokter, obat
antiretroviral, dan obat infeksi oportunistik. Bagi yang mampu tidak ada masalah, tapi
kalau ledakan AIDS terjadi pada rakyat miskin apakah rumah sakit mau merawat mereka
secara gratis? Apakah rumah-rumah ibadah di Banten mau menampung dan merawat
mereka seperti yang dilakukan biksu di Thailand?

Jika kita tidak ingin hal itu terjadi di Banten maka mulai sekarang galakkan penyuluhan
HIV/AIDS dengan materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) yang akurat yang
mendepankan fakta medis. Soalnya, selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan
edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dikait-kaitkan dengan norma, moral, dan agama
sehingga masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, jajan, selingkuh, seks
pranikah, ‘seks menyimpang’, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual. Padahal, penularan
HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu ata
kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali
melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada
risiko penularan HIV biar pun hubungan seks tanpa kondom dilakukan dengan zina,
melacur, jajan, selingkuh, seks pranikah, ‘seks menyimpang’, ‘seks bebas’, waria, dan
homoseksual.

Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan
perempuan), air mani, cairan vagina dan ASI. Penularan HIV melalui darah yang
mengandung HIV bisa terjadi melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum
akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV
melalui air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV bisa terjadi melalui hubungan
seks di dalam atau di luar nikah. Penularan HIV melalui air susu ibu yang mengandung
HIV bisa terjadi melalui proses menyusui. Mencegah penularan HIV adalah mencegah
agar darah, air mani, cairan vagina, dan ASI yang mengandung HIV tidak masuk ke
tubuh. Ini fakta medis. Tapi, karena selama ini fakta ini tidak muncul ke permukaan maka
banyak orang yang tidak mengetahuinya dengan akurat.

Untuk itu dianjurkan kepada orang-orang yang perilaku seksnya berisiko tinggi tertular
HIV agar mau menjalani tes HIV dengan sukarela. Semakin banyak orang yang
terdeteksi HIV-positif maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus.
(*)

* Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa

[Sumber: Harian “Radar Banten”, Serang, 22 Maret 2008]

Вам также может понравиться