Вы находитесь на странице: 1из 15

1

KARAKTERISASI GENETIK KOLEKSI PLASMA NUTFAH


SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench)
BERBASIS MARKA SSR (Simple Sequence Repeats)

Geneti c Characterization of Sorghum Germplasm based on SSR (Simple
Sequence Repeat) marker.


Erlina Dualembang, Yunus Musa dan Muh. Azrai


ABSTRACT

Information on genetic diversity in sorghum germplasm is necessary to support
breeding program to get a high yielding variety. Simple sequence repeat (SSR)
have been extensively utilized as genetic markes for study of genetic diversity,
cultivar identification, and gene tagging. The research was carried out at the
moleculer biology laboratory of Indonesian Cereals research Institute (ICERI)
Maros, South Sulawesi from March to J uly 2011. SSRs marker provides highy
informative, they are codominant, and display high levels of polymorphism. The
objective of this study were to estimate genetic diversity and to obtain information
of the genetic relationship among 50 sorghum accessions using 20 SSRs. The
polymorphism information content (PIC) range from 0.15 to 0.89 with the average
of 0.54. A total of 93 alleles were detected with an average ellele number of 4.65
allel per locus, range from 2 to 10 alleles/locus. Genetic distance range from 0.1
to 0.92. The high level of PIC values and observed genetic distances showed the
large variability among germplasm collections. The observed genetic distance
based on genetic similarity estimate range from 0.1 to 0.92. Cluster analysis
placed the 50 sorghum accessions in four groups and there are tree sorghum
accessions do not belong to the four groups. Coefficient cofenetif value (r) 0.87
idicated a good fit based on the genetic similarity value. In this experiment SSRs
proved to be a reliable, rapid and practical technique of revealing relationship
among sorghum genotyping.

Keywords: Sorghum, diversity, germplasm, Simple Sequence Repeat (SSR)

ABSTRAK

Informasi tentang keragaman genetik plasma nutfah sorghum sangat diperlukan
dalam mendukung program pemuliaan untuk menghasilkan varietas unggul. SSR
telah banyak digunakan dalam studi keragaman genetik, identifikasi veriatas
tanaman dan pemetaan gen. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium molekuler
Balitsereal Maros, pada Maret - J uli 2011. Marka SSR dapat memberikan
informasi yang akurat, bersifat kodominan, dan mempunyai tingkat polimorfisme
yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik dan
hubungan genetik diantara 50 genotipe sorghum menggunakan 20 primer SSR.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 20 primer yang digunakan memiliki tingkat
polimorfisme berkisar dari 0.15- 0.89 dengan rata-rata 0,54, terdeteksi sebanyak
93 alel dengan rata-rata 4,65 alel/lokus SSR, dengan kisaran 2 -10 alel. Tingkat
2

kemiripan genetik berkisar antara 0,15-0,90. Nilai jarak genetik rata-rata 0,54
dengan kisaran 0,10-0,92. Tingginya tingkat polimorfisme dan jumlah alel
menandakan variabilitas yang luas dari 50 genotip yang dikarakterisasi. Tingkat
kemiripan genetik berdasarkan jarak genetik berkisar antara 0.1-0.92.
Berdasarkan analisis klaster, 50 genotipe dibagi ke dalam 4 kelompok.
Disamping itu, ada tiga genotip yang tidak termasuk pada salah satu dari
kelompok tersebut dan berdiri sendiri. Nilai koefisien kofenitif (r) sebesar 0,80
tergolong baik (good fit) terhadap matrik kemiripan genetik. Berdasarkan
penelitian ini marka SSR memberikan informasi yang efektif dan akurat dalam
menentukan hubungan genetik diantara genotip sorgum.
Kata kunci: Sorgum, keragaman genetik, plasma nutfah, marka SSR



PENDAHULUAN

Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) merupakan salah satu tanaman
bahan pangan penting di dunia, dengan penyebaran terluas kelima seteleh
gandum, padi, jagung dan barley. Tanaman sorgum berpotensial untuk
dikembangkan sebagai komoditas agroindustri, karena mempunyai ragam
manfaat yang tinggi. Biji sorgum dapat dimanfaatkan untuk keperluan: (1)
makanan pengganti beras, bahan baku roti, industri makanan ringan; (2) bahan
baku bioetanol, industri lem, dan industri minuman (bir); (3) bahan baku industri
pakan ternak; (4) bahan baku media jamur merang dan jamur kayu; (5) bahan
baku penyedap makanan monosodium glutamate (MSG); (6) khusus batang dan
daunnya dapat digunakan sebagai hijauan makanan ternak.
Batang dan biji sorgum dapat dikonversi menjadi bioetanol melalui proses
fermentasi (Reddy dan Dar, 2007). Sorgum memenuhi tiga syarat utama yang
sangat diperlukan untuk diproduksi menjadi bahan bakar non-fosil yaitu tidak
berkompetisi dengan tanaman pangan, produktivitasnya tinggi dan biaya
produksinya rendah (Medco, 2007). Produksi sorgum sebagai bahan baku
bioetanol lebih tinggi dibandingkan tanaman yang umum digunakan sebagai
bahan baku bioetanol di Indonesia seperti tebu, ubi kayu, jagung dan gula bit
(Medco, 2007). Mengingat potensi serta keistimewaannya itu, sorgum
sebenarnya layak dikembangkan untuk menunjang ketahanan pangan dan
energi.
Penelitian dan pengembangan tanaman sorgum di Indonesia masih
sangat terbatas. Salah satu penyebabnya adalah masih terbatasnya plasma
nutfah dan verietas unggul sorgum. Hal inilah yang menyebabkan keragaman
genetik yang tersedia masih sangat terbatas. Oleh karena itu perlu diketahui
ragam genetik plasma nutfah sorgum untuk mengoptimalkan upaya perakitan
genotipe unggul sebagai dasar untuk dikembangkan menjadi varietas baru yang
berdaya hasil dan berkualitas tinggi, resisten terhadap kendala biotik dan abiotik.
Sorgum tergolong tanaman menyerbuk sendiri (selfpollinated crop) dan
diploid (2x=2n=20). Oleh karena itu, sistem pemuliaan tanaman sorgum mirip
dengan sistem pemuliaan tanaman padi atau kedelai. Seperti halnya pada padi,
pemuliaan tanaman sorgum dapat diarahkan menuju perolehan varietas galur
murni atau varietas hibrida (Anonim, 2009). Salah satu kegiatan yang dilakukan
dalam program pemuliaan sorgum adalah seleksi. Keberhasilan seleksi
3

ditentukan oleh keragaman genetik yang luas dari plasma nutfah sehingga perlu
diketahui informasi hubungan kekerabatan diantara koleksi plasma nutfah yang
digunakan dalam pemuliaan.
Pabendon at al. (2003) mengemukakan bahwa pengetahuan tentang
keragaman plasma nutfah dan hubungan di antara materi pemuliaan sangat
penting untuk perencanaan persilangan dalam menghasilkan hibrida dan
pembentukan galur. Galur-galur yang dibuat dari sumber yang beragam secara
genetik, dapat menghasilkan hibrida yang lebih baik dibandingkan dengan galur-
galur yang berasal dari verietas yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat.
Plasma nutfah sorgum yang memiliki keragaman genetik tinggi merupakan
sumber gen yang dapat dimanfaatkan untuk membentuk rekombinasi sehingga
ada peluang untuk memperbaiki karakter suatu tanaman dan untuk membentuk
varietas baru yang lebih unggul.
Karakterisasi plasma nutfah tanaman secara lebih luas menggunakan
marka molekuler dapat memberikan hasil yang lebih cepat, efektif, dan akurat
dibandingkan dengan karakterisasi berdasarkan ciri-ciri morfologi. Karakterisasi
menggunakan marka molekuler dapat dilakukan pada stadium awal, bahkan
dapat dilakukan pada benih. Karakterisasi secara molekuler juga dapat
digunakan bersama dan saling melengkapi dengan karakterisasi berdasarkan
ciri-ciri morfologi.
Pada saat ini, salah satu marka molekuler yang telah digunakan secara
luas adalah SSRs (Simple Sequence Reapeat) atau Mikrosatelit. Marka ini telah
digunakan dalam berbagai studi, di antaranya studi keragaman genetik atau
identifikasi verietas tanaman (Blair et al., 1999; Bredemeijer et al., 2002).
Kemudahan SSRs (Simple Sequence Repeats) dalam amplifikasi dan deteksi
fragmen-fregmen DNA (Deoxyribo Nucleic Acid), serta tingginya polimorfisme
yang dihasilkan menyebabkan metode ini ideal untuk dipakai dalam studi dengan
jumlah sampel yang banyak. Selain itu teknik PCR (Polymerase Chain Reaction)
dengan metode SSRs hanya menggunakan DNA dalam jumlah kecil dengan
daerah amplifikasi yang kecil, sekitar 100 300 bp (base-pair) dari genom.
Selain itu, SSRs dapat diaplikasikan tanpa merusak bahan tanaman karena
hanya sedikit yang digunakan dalam ekstraksi DNA atau dapat menggunakan
bagian lain seperti biji atau polen (Senior et al., 1996).
Aplikasi marka mirosatelit telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi
keragaman genetik beberapa macam plasma nutfah tanaman, seperti Bucheyeki
at al. (2009) telah melakukan karakterisasi molekuler sorghum di Tanzania Afrika
menggunakan metode SSRs, pada tanaman jagung (Pabendon at al., 2006),
kedelai (Santoso at al., 2006), padi beras merah lokal (Utami at al., 2009) dan
gandum (Zhang at al., 2005). Pemanfaatan marka mikrosatelit dalam membantu
mengidentifikasi keragaman genetik plasma nutfah khususnya sorgum, pada
akhirnya nanti diharapkan dapat membantu program pemuliaan untuk
memanfaatkan segala potensi yang dimiliki oleh plasma nutfah sorgum.
Penelitian ini bertujuan: (1) Untuk mengetahui hubungan genetik dan
tingkat keragaman genetik sorgum dari koleksi plasma nutfah Balitsereal
berdasarkan marka SSR (Simple Sequence Repeat), (2) Untuk mengetahui
pasangan-pasangan potensial dalam membentuk rekombinasi untuk perbaikan
sorgum berdasarkan nilai jarak genetic, (3) Mengelompokkan plasma nutfah
berdasarkan kekerabatannya.


4

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Molekuler Balai Penelitian
Tanaman Serealia (BALITSEREAL) Maros yang berlangsung mulai Maret 2011
sampai J uli 2011. Materi genetik Sorgum yang terdiri atas 50 genotipe Sorgum
yang terdiri dari 2 varietas nasional (numbu dan kawali), koleksi plasma nutfah
lokal dan introduksi dari ICRISAT, disajikan pada Tabel 1.


Tabel 1. Daftar materi genetik yang digunakan dalam penelitian ini.
No. Genotip Asal Koleksi No. Genotip Asal Koleksi
1 GD 33717 lokal 26 ICSV 57-80-4-
2
ICRISAT (India)
2 NJ J 1 lokal 27 ICSV 88-9-3-4 ICRISAT (India)
3 SPV 351 ICRISAT (India) 28 ICSV 88-13-1-
2
ICRISAT (India)
4 UPCA - S1 lokal 29 Irat 21-3-3 ICRISAT (India)
5 15003A ICRISAT (India) 30 Irat 28-3-1 ICRISAT (India)
6 15022A ICRISAT (India) 31 Irat 31-1-2 ICRISAT (India)
7 15108 B ICRISAT (India) 32 Irat 47-2-3 ICRISAT (India)
8 20503 D ICRISAT (India) 33 15011A ICRISAT (India)
9 Span 93033 ICRISAT (India) 34 15020A ICRISAT (India)
10 Span 94017 ICRISAT (India) 35 15021A ICRISAT (India)
11 Span 94030 ICRISAT (India) 36 15105B ICRISAT (India)
12 ICSV 1-12-1-
1
ICRISAT (India) 37 15011B ICRISAT (India)
13 ICSV 1-23-3-
3
ICRISAT (India) 38 1090AM lokal
14 ICSV 1-30-1-
1
ICRISAT (India) 39 15105B ICRISAT (India)
15 ICSV 1-30-1-
2
ICRISAT (India) 40 15131B ICRISAT (India)
16 ICSV 1-35-2-
2
ICRISAT (India) 41 15105D ICRISAT (India)
17 ICSV 1-35-2-
3
ICRISAT (India) 42 1508B ICRISAT (India)
18 ICSV 1-40-1-
1
ICRISAT (India) 43 67388 ICRISAT (India)
19 ICSV 1-49-1-
3
ICRISAT (India) 44 4-183AP lokal
20 ICSV 1-49-2-
2
ICRISAT (India) 45 15006A ICRISAT (India)
21 ICSV57-55-1-
1
ICRISAT (India) 46 BulelengMerah Lokal
22 ICSV57-55-1-
2
ICRISAT (India) 47 1090AP ICRISAT (India)
23 ICSV 57-80-
1-1
ICRISAT (India) 48 5-193B ICRISAT (India)
24 ICSV 57-80- ICRISAT (India) 49 Numbu Varietas
5

1-4 Nasional
25 ICSV 57-80-
2-1
ICRISAT (India) 50 Kawali Varietas
Nasional

Isolasi DNA dilakukan untuk mendapatkan DNA dengan kualitas dan
kuantitas yang dapat digunakan untuk metode SSR. Dalam metode SSRs
konsentrasi DNA yang dibutuhkan untuk satu reaksi sebesar 10 ng/l,
sedangkan kualitas DNA tidak mengharuskan menggunakan DNA yang murni.
Proses isolasi DNA ini mengikuti prosedur dari George et al. (2004) dan Khan et
al. (2004) yang disesuaikan dengan metode CTAB, serta dimodifikasi sesuai
kondisi Laboratorium Biologi Molekuler Balitsereal. Tanaman yang diekstraksi
adalah yang berumur 10-15 hari setelah dikecambahkan pada pot plastic,
dengan menggunakan media tanah. Kuantitas dan kualitas DNA hasil ekstraksi
diukur melalui elektroforesis horizontal dengan menggunakan gel agorose 2%.
Proses amplifikasi menggunakan metode SSR, yang menggunakan
mesin PCR (Polymerase Chain Reaction). Amplifikasi bertujuan untuk
menggandakan DNA yang akan dipakai untuk masin-masing primer yang
digunakan. Pada metode SSR, konsentrasi DNA yang dibutuhkan untuk satu
reaksi adalah 10 ng/ l. Dalam penelitian ini digunakan 20 primer SSR.
Proses amplifikasi sebanyak 29 siklus, yang terdiri dari beberapa tahap
adalah Deaturasi awal 94
O
C selama 2 menit, Denaturasi 94
O
C selama 30 menit,
Annealing 56
O
C selama 1 menit, pemanjangan 72
O
C selama 1 menit. Tahap
kedua diulang 29 kali dan berakhir dengan siklus pemanjangan pada suhu 4
O
C.
Setelah selesai, hasil amplifikasi dikeluarkan dari mesin PCR. Hasil amplifikasi
produk PCR dicek melalui elekroforesis horizontal yang menggunakan gel
agarose 2%. J ika DNA teramplifikasi maka separasi DNA dari produk PCR dapat
dilanjutkan pada gel vertical dengan menggunakan gel akrilamid, yang mampu
menghasilkan resolusi tinggi.
Analisis data dilakukan berdasarkan hasil scoring pola pita DNA yang
muncul pada plate. Hasil scoring dalam bentuk data biner, jika ada pita diberi
skor satu dan jika tidak adapita diberi skor 0. Data biner dianalisis dengan
menggunakan program computer NTSYS-pc versi 2.1 (Rohlf 2000).
Polimorphic Information Content (PIC) dalam terminologinya sama dengan
gene diversity (heterozygosity) (Weir, 1996). Nilai PIC memberikan perkiraan
kekuatan pembeda dari marker dengan menghitung bukan saja jumlah alel
dalam satu lokus tetapi juga frekuensi relatif dari sejumlah alel dari suatu
populasi yang diidentifikasi. Lokus marka dengan jumlah alel yang banyak akan
terdapat pada frekuensi yang seimbang dengan nilai PIC yang paling tinggi. Nilai
PIC dihitung untuk masing-masing marka SSR (Smith et al., 2000). Nilai PIC
digunakan dalam mengukur diversitas alel pada lokus dengan formula :


n
i
f PIC
1
2
1 i = 1, 2, 3, ..n
dimana
2
i
f adalah frekuensi alel ke-i.
Tingkat kemiripan genetik adalah tingkat kemiripan karakter, dalam hal ini
fragmen pita yang dimiliki secara bersama dari genotip-genotip yang
diidentifikasi. Tingkat kemiripan genetik (GS) diestimasi dari data ukuran alel
dengan menggunakan koefisien J accard (Rohlf, 2000) dengan formula :
6


u n
m
S


Dimana, m =jumlah pita (alel) DNA yang sama posisinya
n =total pita DNA,
U =jumlah pita (alel) DNA yang tidak sama posisinya

Ke-50 genotip akan dikelompokkan berdasarkan matriks kemiripan genetik
melalui Unweighted Pair Group Using Arithmatic Average (UPGMA).
Dendrogram dikonstruksi berdasarkan UPGMA dengan menggunakan koefisien
J accard. J arak matriks dan dendogram dibentuk dengan menggunakan program
NTSYS-pc (Numerical Taxonomic System) versi 2.1 (Rohlf, 2000). Analisis
bootstrspping dengan menggunakan program winboot, untuk mengetahui
tingkat kepercayaan dari hasil dendrogram berdasarkan set primer yang
digunakan pada 50 genotip yang diidentifikasi.
Analisis matriks jarak genetik merupakan analisis yang membandingkan
antara ketidaksamaan karakter terhadap jumlah seluruh karakter. Matriks jarak
genetik dapat diperoleh dari hasil analisis kemiripan genetik, dengan formula :
S =1 GS, dimana S =jarak genetik
GS =Kemiripan genetik (Genetic Similarity)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Koleksi plasma nutfah sorgum dapat dimanfaatkan untuk perbaikan
varietas atau pembentukan varietas baru apabila telah tersedia informasi tentang
keragaman genetik dan hubungan kekerabatan antara aksesi tanaman sorgum
yang satu dengan lainnya baik secara fenotipik maupun genotopik (molekuler).
Proses ekstraksi adalah merupakan tahap yang sangat penting, karena
proses ini nantinya yang menentukan kualitas dan kuantitas DNA stok. Ekstraksi
DNA dilakukan melalui perusakan dinding sel (lisis), pemisahan DNA dari bahan
padat seperti selulasa dan protein, serta pemurnian DNA dengan menggunakn
senyawa kimia seperti EDTA (Etilen Diamin Tetra Acetat) yang berfungsi
merusak sel dengan cara mengikat ion magnesium, dan SDS (Sodium Dodesil
Sulfat) yang merupakan sejenis deterjen untuk merusak membran sel sehingga
dapat menyebabkan lisis pada sel. Protein dapat dibersihkan menggunakan
larutan fenol (mengikat protein dan sebagian kecil RNA) dan kloroform
(membersihkan protein dan polisakarida dari larutan). Protein juga dapat
dihilangkan dengan bantuan enzim proteinase, dan RNA dapat dihilangkan
dengan RNAse. Adapun ethanol serta NaCl berfungsi memekatkan, memisahkan
DNA dari larutan dan mengendapkan DNA (Muladno, 2002).
Hasil uji kualitas dan kuantitas DNA dapat terlihat dengan jelas kualitas
DNA dari 50 genotip yang diidentifikasi (Gambar 1). Pada gambar tersebut
terlihat adanya perbedaan warna pendaran cahaya. Berdasarkan warna tersebut
dapat diketahui kualitas dan kuantitas DNA. Secara umum rata-rata
memperlihatkan pola pita yang tebal (Gambar 2) yang mengindikasikan masih
terkontaminasi (Smear) oleh bahan-bahan kimia sisa proses ekstraksi dan juga
terkontaminasi oleh protein, polisakarida, dan RNA (Qiagen, 2001), sehingga
dilakukan tahap purifikasi DNA untuk mendapatkan DNA yang bersih nampak
seperti garis putih tebal, tidak memanjang, dan berada pada dasar sumur.
7


Gambar 1. Kualitas dan kuantitas DNA hasil Ekstraksi dengan metode CTAB
yang dimodifikasi

Konsentrasi DNA ditentukan dari visualisasi DNA dengan
membandingkan ketebalan dan luas permukaan pendaran DNA dibandingkan
dengan standar yaitu -DNA. Lamda adalah suatu suspensi dengan panjang
gelombang tertentu, sehingga ketika dilakukan pengamatan menggunakan sinar
UV (geldoc), konsentrasi pada larutan uji dapat diketahui dengan cara melihat
warna pendaran cahaya yang ditampilkan. Konsentrasi DNA yang diperoleh
bervariasi mulai dari 5 ng/l sampai 100 ng/l. Konsentrasi dan kualitas DNA
yang diperoleh banyak dipengaruhi oleh teknik ekstraksi yang digunakan,
pengalaman, dan tingkat ketrampilan dalam menangani proses ekstraksi
tersebut. Salah satu kelebihan dari penggunaan metode SSR adalah jumlah
DNA yang dibutuhkan relatif rendah (Gupta et al., 1996), serta mampu
menggunakan DNA dengan kualitas sedang (Lee, 1998).
Dalam penelitian ini menggunakan konsentrasi dasar 50 ng/5 l larutan
yang setara dengan 10ng/l larutan sesuai kebutuhan pembuatan PCR berbasis
SSR. Pengenceran harus dilakukan jika konsentrasi stok DNA tinggi agar pada
tahap PCR primer dapat menempel pada pita DNA sehingga dapat teramplifikasi
seperti hasil separasi primer Xtxp 317 pada gel akrilamid yang disajikan pada
Gambar 2. Pada visualisasi Xtxp 317 terdapat missing data yang diindikasikan
dengan tidak adanya pita muncul. Faktor penyebab missing data antara lain
kualitas primer yang sudah menurun karena sudah lama disimpan, suhu
annealing yang tidak tepat pada saat amplifikasi PCR dan faktor teknis yang
terkait dengan personal yang secara langsung menangani kegiatan karakterisasi.








DNA
10 ng/L
DNA
50 ng/L
DNA
100 ng/L
DNA
Kotoran
RNA
DNA murni
8






Gambar 2. Visualisai pola pita DNA pada 50 genotip sorgum dengan penanda
SSR Xtxp 317

1. Profil Lokus SSR pada 50 Genoti p Plasma Nutfah Sorgum yang
Dii dentifikasi.

Semua plasma nutfah sorgum yang dikarakterisasi dapat dibedakan
berdasarkan lokus-lokus SSR yang digunakan dalam penelitian ini. Data
keragaman alelik pada setiap lokus SSR disajikan pada Tabel 2. Dua puluh lokus
SSR yang dianalisis memiliki kisaran relatif pasang basa antara 73.346 - 332.75
bp. Total alel yang diperoleh sebanyak 93 alel dengan kisaran mulai dari 2
sampai 10 alel dan rata-rata 4,65 alel/lokus. Data ini mengindikasikan bahwa
rata-rata variasi genetik dalam setiap karakter cukup tinggi. Sedangkan nilai PIC
berkisar dari 0,15 - 0,89 dengan rata-rata 0,57. Tingkat polimorfisme paling
rendah pada lokus Xtxp 197 (0,15%) dan paling tinggi pada lokus Xtxp 343
(0,89%). Singh at al. (2008) melaporkan hasil studi keragaman genetik sorgum
menggunakan 30 primer dengan nilai polimorfisme yang cukup tinggi, yaitu 0,77
karena jumlah alel yang terdeteksi cukup tinggi. Tingkat polimorfisme yang tinggi
mengindikasikan bahwa variasi diantara genotip yang dianalisis cukup besar.
J ika variabilitas genetik yang diperoleh makin tinggi, maka akan lebih leluasa
dalam memilih karakter-karakter yang diinginkan untuk melakukan rekombinasi
dalam perbaikan varietas. Szewe-McFadden et al., 1996 mengemukakan bahwa
penggunaan primer SSR sebanyak 10-20 memungkinkan untuk membedakan
sejumlah genotip yang berkerabat dekat karena kemampuan menghasilkan
polimorfisme tinggi.









Marker
Missing data
200 bp
Genotip
177.79 bp
170.14 bp
163.25 bp
165.54 bp
151 bp
9

Tabel 2. Profil data 20 marka SSR hasil karaktersasi 50 genotip sorgum

N
o
Primer/Lo
kus SSRs
Kisaran relatif lokus
SSRs (bp)*
J umlah
alel
Polimorfisme
(%)
1 Xtxp 317 157.12-177.79 4 0,51
2 Xtxp 141 133.71-165.54 7 0,70
3 Xtxp 159 174.68-196.73 5 0,67
4 Xtxp 95 73.346-92.66 5 0,64
5 Xtxp 208 258.78-26.68 2 0,36
6 Xtxp 279 256.15-281.19 5 0,69
7 Xtxp 149 180.75-184.25 2 0,30
8 Xtxp 343 142.75-275.00 10 0,89
9 Xtxp 312 145.50-230.62 8 0,80
10 Xtxp 358 196.93-200.00 2 0,62
11 Xtxp 303 140.00-160.80 4 0,51
12 Xtxp 217 165.22-185.77 5 0,95
13 Xtxp 354 283.44-304.11 4 0,53
14 Xtxp 197 327.91-332.75 2 0,15
15 Xtxp 205 191.55-211.02 5 0,88
16 Xtxp 309 95.66-102.76 2 0,02
17 Xtxp 258 173.68-235.63 6 0,76
18 Xtxp 145 220.41-252.10 4 0,25
19 Xtxp 299 194.93-227.47 4 0,42
20 Xtxp 289 185.58-219.96 7 0,76
Total 93 11,4
Rata-rata 5 0,57
* Berdasarkan Servis Laboratorium Biologi Molekuler Balitsereal 2011.
Terdapat 12 alil spesifik pada sembilan lokus SSR, yaitu terdapat hanya
satu dari 50 genotip yang diidentifikasi menunjukkan bahwa ada karakter-
karakter spesifik yang terdeteksi pada genotip tersebut (Tabel 3). Chin et al.
(1996) mengemukakan bahwa alil spesifik akan bermanfaat sebagai identitas
atau sidik jari individu dari suatu genotip tertentu, jika karakter spesifik tersebut
adalah karakter yang menarik maka genotip tersebut perlu untuk dipertahankan.

Tabel 3. Alil-alil spesifik yang terdeteksi pada 50 lokus SSR
No. Lokus Alil no. bp Genotip
1 Xtxp 141 2 160,95 ICSV 1-12-1-1
3 157,89 ICSV 57-80-4-2
2 Xtxp 95 1 92,66 15011B
3 Xtxp 312 5 196,83 Irat 21-3-3
7 158,90 1508B
4 Xtxp 303 1 160,80 15011B
5 Xtxp 217 1 185,77 Irat 31-1-2
3 176,29 20503 D
6 Xtxp 309 2 95,66 UPCA - S1
7 Xtxp 145 2 228,58 15003A
8 Xtxp 299 3 194,93 15108 B
9 Xtxp 289 1 219,96 15003A

10

2. Analisis Keragaman Genetik dan Jarak Genetik plasma nutfah Sorgum

Analisis keragaman genetik berguna untuk mengetahui pola
pengelompokan genotip yang diidentifikasi dan untuk mengetahui karakter dari
setiap kelompok genotip yang terbentuk, sehingga dapat digunakan dalam
kegiatan seleksi untuk perakitan varietas unggul baru.
Hasil analisis klaster atau pengelompokan berdasarkan UPGMA terhadap
matriks kemiripan genetik diperoleh dendrogram melalui analisis NTSYS seperti
pada Gambar 3. Koefisien korelasi kofenetik (r) pada penelitian ini sebesar 0,80
tergolong good fit (Rohlf 2000) menunjukkan bahwa jumlah primer yang
digunakan pada penelitian ini cukup akurat untuk membentuk dendrogram. Hasil
penelitian sebelumnya (Pabendon et al., 2003) pada materi genetik yang
berbeda, dengan jumlah primer yang lebih banyak (42), diperoleh nilai r yaitu
0,85. Pejic et al., (1998) mengemukakan bahwa nilai koefisien korelasi kofenetik
menggambarkan akurasi pengelompokan secara genotipik, yang dapat
dihasilkan berdasarkan estimasi kemiripan genetik di antara galur yang
dikarakterisasi dengan jumlah primer yang digunakan. Rohlf (2000)
mengemukakan bahwa semakin banyak primer polimorfisme yang digunakan
maka nilai r akan semakin besar, dimana nilai r >0,9 (very good fit), 0,8 <r <0,9
(good fit), 0,7 <r <0,8 (poor fit), dan r <0,7 (very poor fit).
Data ini juga dapat dipertimbangkan dalam melakukan sidik jari 50 materi
gentik sorgum terhadap marka SSR. Peta pola pita merupakan metode yang
sangat tepat dan jelas dalam menjelaskan sidik jari DNA secara individual. Hal ini
penting dilakukan khususnya untuk proteksi hak pemilikan plasma nutfah. Sidik
jari DNA dalam aplikasinya juga bermanfaat dalam penentuan kemurnian benih,
ketidak jelasan tetua, untuk proteksi secara legal dari verietas yang telah maju,
dan di dalam uji genetik (Weising et al., 1998).
Hasil dendrogram menunjukkan hampir semua genotip dapat dibedakan
antara satu genotip dengan genotip lainnya. Angka yang berada diatas garis
menunjukkan tingkat kepercayaan pengelompokan berdasarkan analisis
bootstrapping menggunakan program winboot.
11

0.15 0.34 0.53 0.71 0.90
I CSV57-55-1-1
GD33717
NJ J 1
15108B
SPV351
15003A
I CSV1-49-2-2
1090AP
I CSV1-12-1-1
I CSV1-23-3-3
I CSV1-49-1-3
15105B
I CSV1-30-1-1
I CSV1-30-1-2
I CSV1-35-2-2
I CSV1-40-1-1
I CSV1-35-2-3
15105D
15021A
67388
4-183AP
5-193B
Numbu
Kawali
1090AM
15131B
UPCA-S1
20503D
Span93033
Span94030
I rat28-3-1
Span94017
15003A
15020A
I CSV57-55-1-1
I CSV57-55-1-2
I CSV57-80-1-1
I CSV57-80-1-4
I CSV57-80-2-1
I CSV57-80-4-2
I CSV88-13-1-2
1508B
I rat31-1-2
I CSV88-9-3-4
I rat21-3-3
I rat47-2-3
15011A
15105B
15011B
15006A
BulelengMerah

Gambar 3. Dendrogram 50 Plasma nutfah sorgum berdasarkan kemiripan
genetik yang dikonstruksi berdasarkan UPGMA dengan
menggunakan koefisien J accard pada 20 marka SSR.

Semakin tinggi tingkat kepercayaan pengelompokan berarti semakin kuat
kemiripan genetik dari galur dalam kelompok tersebut. Sehingga apabila
persilangan dilakukan antar individu dalam kelompok yang sama (dengan tingkat
kepercayaan pengelompokan yang tinggi) yang berarti bahwa individu-individu
tersebut secara genetik memiliki kemiripan yang kuat, maka peluang terjadinya
inbreeding akan semakin tinggi. Oleh karena itu persilangan dalam kelompok
yang sama harus dihindari. Menurut Warburton et al. (2005), galur-galur tidak
terklaster berdasarkan fenotipe, adaptasi lingkungan, tipe atau warna biji,umur
panen, atau respon heterotik, tapi galur-galur yang berkerabat secara pedigree
biasanya berada pada klaster yang sama.
Tingkat kekerabatan (genetic similarity) yang diuji berkisar antara 0,15
0,90, artinya ke-50 genotipe ini kekerabatannya dari sangat berkerabat sampai
kerabat jauh. Berdasarkan dendrogram yang terbentuk, bila ditarik garis
memotong pada skala tingkat kekerabatan 0,30 terbentuk Empat kelompok atau
klaster dan 3 genotip yang berdiri sendiri yaitu 15011B, 15006A, dan Buleleng
merah. Ke-3 genotip tersebut berpeluang untuk direkombinasikan dengan
genotip-genotip potensial pada semua klaster.
Klaster I terdiri atas 3 genotip (GD33717, NJ J 1, 15108B), klaster II terdiri atas 22
genotipe (SPV351,15003A, ICSV1-49-2-2,1090AP, ICSV1-12-1-1, ICSV1-23-3-3,
ICSV1-49-1-3, 15105B, ICSV1-30-1-1, ICSV1-30-1-2, ICSV1-35-2-2, ICSV1-40-
1-1, ICSV1-35-2-3, 15105D, 15021A, 67388, 4-183AP, 5-193B, Numbu, Kawali,
1090AM, 15131B), klaster III terdiri atas 19 genotipe (UPCA-S1, 20503D,
Span93033, Span94030, Irat28-3-1, Span94017, 15003A, 15020A0, ICSV57-55-
1-1, ICSV57-55-1-2, ICSV57-80-1-2, ICSV57-80-1-4, ICSV57-80-2-1, ICSV57-
0,30
12

80-4-2, ICSV57-13-1-2, 1508B, Irat31-1-2, ICSV5788-9-3-4, Irat21-3-3) Klaster
IV 3 genotipe (Irat47-2-3,15011A, 15105B).
Pada genotip 15003A dan ICSV1-49-2-2, mempunyai nama yang
berbeda, namun tingkat kepercayaan pengelompokan berdasarkan analisis
bootstrapping tinggi, yaitu 92,8%. Oleh sebab itu penentuan kekerabatan
berdasarkan nama genotip yang berbeda belum menjamin tingkat
kekerabatannya jauh, dan sebaliknya pun bisa terjadi. Numbu dan Kawali
adalah varietas nasional. Berdasarkan posisinya dalam dendrogram keduanya
pada klaster II, maka varietas ini mempunyai peluang untuk disilangkan dengan
semua genotip lain diluar klaster II.
Berdasarkan profil pola pita pada 30 lokus SSR diperoleh matriks
kemiripan genetik (Genetic similarity). Dari matriks kemiripan genetik tersebut
dapat diperoleh nilai jarak genetik dari masing-masing pasangan di antara 50
genotip yang dikarakterisasi. Hasil analisis memperlihatkan plasma nutfah
sorgum memiliki variabilitas genetik yang tinggi yang ditunjukkan oleh kisaran
jarak genetik mulai dari 0,1 (ICSV1-49-2-2 vs 15003A) sampai 0,92 (15006A vs
Irat47-2-3, 15006A vs 15011A, Buleleng merah vs Span94030, Buleleng merah
vs ICSV1-12-1-1, Buleleng merah vs ICSV1-23-3-3, Buleleng merah vs ICSV1-
30-1-2, Buleleng merah vs ICSV1-35-23, Buleleng merah vs ICSV1-49-22,
Buleleng merah vs 15105D ). Pasangan-pasangan genotip ini berasal dari materi
dengan variasi genetik yang luas sehingga terdapat peluang yang besar
mendapatkan pasangan-pasangan potensial persilangan dalam membentuk
rekombinasi untuk perbaikan karakter suatu tanaman dan membentuk variatas
unggul baru. Untuk perbaikan varietas seperti Numbu dan kawali maka kedua
varietas tersebut dapat direkombinasikan dengan genotip potenasial diluar
klaster II.
Berdasarkan hubungan kekerabatan diantara 50 genotip maka diperoleh
kisaran nilai jarak genetik dan terbentuk kelompok heterotik, artinya bahwa
didalam satu kelompok heterotik memiliki kemiripan genetik yang kuat sehingga
pasangan galur tersebut dihindari untuk disilangkan. Sedangkan peluang untuk
terjadinya heterosis adalah dengan melakukan rekombinasi antar kelompok
heterotik. Semaki jauh jarak genetik antar genotip, maka akan memiliki efek
heterosis yang tinggi apabila disilangkan. Walupun demikian, dalam seleksi
materi untuk persilangan, tidak hanya faktor jarak genetik yang diperhitungkan,
tapi karakter-karakter lain yang menarik dan menonjol perlu diikutsertakan untuk
menghasilkan rekombinan yang baik. Untuk itu perlu dketahui korelasi antara
karakter vegetatif dan generatif, sehingga lebih terarah dan efektif.
Analisis jarak genetik pada genotip-genotip ini menunjukkan variasi
genetik yang luas, hal ini berarti adanya potensi perbedaan genetik yang besar
antara kedua pasang genotip tersebut. Variasi genetik ini diperkuat dalam analisi
pengelompokan atau clustering analysis. Menurut Pabendon et al. (2007), jika
nilai rata-rata jarak genetik dalam klaster lebih kecil dari rata-rata umum ( 0,7)
maka persilangan di dalam klaster harus dihindari karena dimungkinkan terdapat
kemiripan genetik antar genotip tersebut. Sebaliknya jika rata-rata jarak genetik
dalam klaster lebih besar dari rata-rata umum (0,7) maka persilangan pada
klaster yang sama bisa dilakukan. Bersadarkan uji persilangan di lapangan yang
telah banyak dilakukan pada kelompok heterotik dengan jarak genetik 0,7 sudah
memberikan hasil heterosis yang tinggi.
Pada klaster yang sama dicirikan dengan nama genotip yang hampir
sama. Hal ini menunjukkan bahwa genotip-genotip tersebut dibentuk dari
13

populasi yang sama, sehingga tingkat kekerabatannya lebih dekat. Namun
sebaliknya ada genotipe dengan nama yang sangat berbada tetapi tingkat
kekerabatannya sangat tinggi, karena kemungkinan materi genetik tersebut
berasal dari induk yang sama tetapi terpencar ke berbagai tempat yang berbeda
sehingga diberi nama yang berbeda oleh kolektornya. J ika ada kolektor baru
yang mengumpulkan aksesi sorgum pada berbagai tempat maka tidak menutup
kemungkinan turunan dari sumber populasi yang sama akan terkoleksi namun
dengan nama yang berbeda, tanpa mengetahui sejarah dan silsilahnya. Oleh
sebab itu karakterisasi berbasis DNA dapat memberikan informasi yang akurat
dalam menentukan keragaman genetik.


KESIMPULAN
Rata-rata tingkat polimorfisme 20 marka SSR yang digunakan adalah
0,57 dan total alel 93 dengan rata-rata 5 alel/lokus dan nilai koefisien korelasi
kofenetik (r) 0,80 tergolong good fit pada kelompok genotip sorgum.
Mengindikasikan bahwa 50 genotip koleksi plasma nutfah sorgum yang
dikaraterisasi mempunyai variabilitas yang tinggi.
Pengelompokan genotip berdasarkan tingkat kemiripan genetik diperoleh
4 klaster atau kelompok heterotik, dengan 4 genotip yang berdiri sendiri.
Rekombinasi genotip-genotip potensial dapat dilakukan antar klaster
serta ke-3 genotip yang berdiri sendiri dengan genotip-genotip potensial pada
semua klaster.

SARAN
Untuk memperoleh dendrogram dengan koefisien kofenetik yang >0,9
dan tingkat kepercayaan pengelompokan yang tinggi, maka perlu menambah
primer yang lebih banyak.

14

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2009. Menggali Potensi Lewat Pemuliaan Tanaman. (online).
(http://pertanian.umsida.ac.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1
&id=4, diakses 20 J anuari 2011).

Bhattramakki Dinakar, J ianmin Dong, Ashok K. Chhabra, and Gary E. Hart. 2000.
An integrated SSR and RFLP linkage map of Sorghum bicolor (L.)
Moench. Genome 43: 9881002. NRC Canada

Bucheyeki L.T., Gwanama C., Mgonja M., Chisi M., 2009. Genetic variability
characterisation of tanzania sorghum landraces Based on simple
sequence repeats (ssrs) molecular and Morphological markers. African
Crop Science J ournal, Vol. 17, No. 2, pp. 71 86, ISSN 1021-9730.

Blair, M.W., O. Panaud, and S.R. McCouch. 1999. Intersimple sequence repeat
(ISSR) amplification for analysis of microsatellite motif frequency and
finger-printing in rice (Oryza sativa L.). Theor. Appl. Genet. 98:780-792.

CIMMYT. 2004. Protokol untuk Karakterisasi Jagung Secara Genotipik
menggunakan Marka SSR serta Analisis Data. Metro Manila, Philippines.

Chin, E.C.L., M.L.Senior, H. Shu, and J .S.C. Smith. 1996. Maize simple repetitive
DNA sequence: abundance and allele variation. Genome 39:866-873.

George M.L.C., Regalado E., Li.W., Cao.M., Dahlan M., Pabendon.M.,
Warbuton., Xianchun X., Hoisington D. 2004. Molecular Characterization
of Asian maize inbred lines by multiple laboratories. Theor Appl Genet
109:80-91

Gupta, P.K., H.S Balyan, P.C. Sharma, and B. Ramesh.1996. Micrasatellites in
plants: A new class of moleculer markes. Current Sci. 7 (1): 45 54.

Medco Energi. 2007. Kesimpulan Workshop Peluang dan Tantangan Sorgum
Manis sebagai Bahan baku Bioetanol. Dirjen Perkebunan, Departemen
Pertanian. J akarta.

Muladno, 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Pustaka Wirausaha
Muda. Bogor.

Pabendon, M.B., Regalado E., Sutriso, Dahlan M., dan George M.l. 2003.
Pembentukan Klaster genotipe Jagung Berdasarkan markah SSR
(Simple Sequence Repeat). J urnal Agrobiogen 2(2):45-51.

Pabendon, M.B., Mejaya M.J ., Koswara.J ., dan Aswidinnoor H. 2007. Analisis
Keragaman Genetik Inbrida Jagung Berdasarkan Marka SSR dan
Korelasinya dengan Data Fenotipik F1 Hasil Silang Uji. J urnal Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan Vol. 26 No. 2.

15

Peijic, I., P. Ajmon-Marsan, M. Morgante, V. Kozumplick, P. Castiglioni, G.
Taramino, and M. Motto. 1998. Comparative analysis of genetic similarity
among maize inbred lines detected by RFLPs, RAPDs, SSRs, and
AFLPs. Theor. Appl. Genet. 97:1248-1255.

Reddy BVS, Dar WD. 2007. Sweet sorgum for bioetanol. Makalah pada
workshop Peluang dan Tantangan sorgum Manis sebagai bahan baku
bioetanol. Dirjen Perkebunan, departemen Pertanian. J akarta 8 hal.
Rohlf, F.J . 2000. NTSYSpc Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis
System Version 2.1. Applied Biostatistic Inc.

Senior, M.L., E.C.L. Chin, M. Lee, J .S.C. Smith, and C.W. Stuber. 1996. Simple
sequence repeat markers developed from maize sequence found in the
Genebank database; Map contruction. Crop Sci. 36: 1676-1683.
Senior, M.L., and M. Heun. 1993. Mapping maize microsatellites and polymerase
chain reaction confirmation of the targeted repeats using a CT primer.
Genome 36: 884-889.

Smith,J .S.C., Kresovich, S., Hopkins, M.S., Mitchell, S.E., Dean, R.E., Woodman,
W.L., Lee, M and Porter, K. 2000. Genetic Diversity among Elite Sorghum
Inbred Lines Assessed with Simple Sequence Repeats. Published in Crop
Sci. 40:226232

Szewe-McFadden, A.K., S. Kresovich, S.M. Bliek,S.E. Mitchell, and J .R.
Mcferson. 1996.Identification of polymorphic, conserved simple sequence
repeats (SSRs) in cultivated Brassica species. Theor. Appl. Genet.
93:534-538.

Weising, K., P. Winter, B. Huttel, G. Kahl.1998. Microsatelit marker for molecular
breeding. J . Crop Prod.11:113-143.

Zhang, P., Dreisigacker, S., Buerkert, A., Alkhanjari, S., Melchinger, A.E., and
Warburton, M.L. 2006. Genetic diversity and relationships of wheat
landraces from

Вам также может понравиться