Вы находитесь на странице: 1из 100

KONSEP TAFAKKUR SUFISTIK MENURUT IMAM

AL-GHAZALI

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta











OLEH :
MULYADI BATUBARA
104011000189


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2010 M
1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Eksistensi manusia di dunia tidak terlepas dari tujuan hidupnya.
Tujuan ini begitu beragam dan dipengaruhi karakter fitrah manusia yang
bermuara pada solusi persuasif untuk menghasilkan nilai-nilai tertentu.
Sebagai makhluk yang beragama manusia berusaha memperoleh model-
model tujuan hidup yang ternyata ditawarkan agama sebagai bagian primer
dalam ajarannya.
Dalam agama Islam, tujuan ini telah jelas-jelas digariskan dalam kitab
suci Al-Quran sebagai sumber momentum terbesar dan teragung, yang tidak
hanya dikenal sebagai kitab suci yang bernilai ibadah tetapi juga kitab suci
dengan mukjizat yang keramat. Bernilai ibadah karena adanya balasan pahala
bagi siapa yang membacanya serta termasuk amal yang utama serta
merupakan mukjizatnya Rasulullah SAW sebagai hujjah tertinggi kerasulan
beliau yang sarat dengan muatan ilmu, hikmah, rahmat dan hidayah.
Dalam kitab suci Al-Quran tujuan ini dituangkan pada salah satu
ayat-Nya yaitu pada surat Az-Zariat ayat ke-56:
!. 1l> _>' _. | .,- ,l __
Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.
Ayat ini secara jelas menyatakan kewajiban manusia dalam
menyembah Allah SWT sebagai tujuan penciptaannya. Penyembahan yang
sempurna adalah penyembahan dalam wujud pengenalan dan pengetahuan
kepada yang disembah. Lalu lahirlah konsep makrifatullah yang pada
akhirnya diakui sebagai tujuan hakiki dari ibadah.
Selanjutnya makrifatullah dijelaskan dalam berbagai ayat lainnya,
diantaranya surat Ar-Rum ayat ke-8 :


2
l `>., _ .. !. _l> < ,.,.l _ !. !. .,, |
_>l!, _> _, .. | ,: _. _!.l _!1l, , `.>l _
Artinya: Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian)
diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada
diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang
ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar
ingkar akan Pertemuan dengan Tuhannya.
Pada ayat ini terdapat jalan untuk mencapai makrifatullah yang
diisyaratkan dengan kata memikirkan atau yatafakkaru. Prosesnya
meliputi dua tahapan yakni berpikir tentang diri sendiri dan berpikir tentang
alam semesta. Aliansi keduanya akan menempatkan struktur poros tengah
yang mengacu pada tahapan-tahapan mistis menuju gerbang makrifatullah.
Poros tengah di sini dimaksudkan sebagai landasan koherensi untuk
meletakkan proporsi dan komposisi yang tepat dalam memberikan formulasi
tentang Tuhan yang tentu saja berbeda dengan makhluk-Nya yakni manusia
sebagai citra Tuhan dan alam semesta sebagai manifestasi pelengkap.
Di kalangan akademisi sendiri, metodologi dalam sintesa sintesa
ilmu pengetahuan menerapkan dominansi akal teoritis yang menyusun
struktur kerjanya dalam wadah logika yang menitikberatkan pada penyusunan
matriks matriks kausalitas. Di satu sisi metodologi ini positif karena bisa
mendorong kemajuan ilmu pengetahuan teoritis yang banyak mengakuisisi
metode metode terapan yang kemudian direduksi dalam metodologi sintetis
yang tepat guna. Namun, di sisi lain metodologi ini gagal dalam integrasi
menyeluruh dalam keselarasan antara aspek spritualitas yang murni yaitu
makrifatullah yang merupakan esensi penciptaan manusia. Ini dikarenakan
metodologi ini dalam aplikasinya merunut akal sebagai domain utama yang
berarti tidak terbukanya akses ke pintu alam malakut yang merupakan media
dalam eksplorasi ilmu - ilmu esensial.


3
Setelah memahami supremasi tafakkur sebagai sarana untuk mencapai
tujuan hidup maka perlulah kiranya dirumuskan konsep tafakkur yang
menyangkut disiplin-disiplin formulasinya sehingga dengan tafakkur yang
benar tujuan tadi bisa dicapai. Berdasarkan maksud ini maka penulis tertarik
untuk mengangkat tema sentral ini dengan rujukan buku Ihya Ulumuddin
karya Imam Al-Ghazali sebagai bahan skripsi dengan judul KONSEP
TAFAKKUR SUFISTIK MENURUT IMAM AL- GHAZALI.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Di muka telah disebutkan bahwa diantara obyek tafakkur adalah
manusia dan alam semesta. Korelasi keduanya dalam setiap aspeknya yang
menyangkut muatan lahir batin serta spritualitas yang mewadahinya tentunya
telah menciptakan sebuah konsepsi pengetahuan tanpa batas. Sebab
penelusuran bagian vital dari topik ini adalah tentang makrifat yang di satu sisi
adalah pembukaan akses ke alam ghaib untuk eksplorasi ilmu-ilmu ke-Tuhan-
an yang mutlak. Pengkajian secara global sangatlah tidaklah mungkin
mengingat faktor minimnya pengetahuan penulis sendiri.
Atas dasar pertimbangan di atas, maka penulis membatasi penulisan
konsep tafakkur versi Imam Al-Ghazali hanya pada penggambaran sistematika
secara sederhana saja tentang proses tafakkur. Adapun rumusan masalahnya
adalah tentang bagaimana proses tafakkur dalam dunia tasawuf perspektif
Imam Al-Ghazali dan aplikasinya dalam dunia akademis yang saat ini banyak
mengadopsi mekanisme logika terapan murni.

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Memberikan konsep tafakkur sufistik yang dilandasi gagasan, semangat,
dan kreatifitas sufisme yang melahirkan metodologi efektif dalam
mencapai tujuan akademis.


4
2. Sebagai mediator dalam memetakan rancangan penyusunan konsep
perpaduan antara daya akal dan hati sebagai basis keilmuan dalam
pencapaian kebahagiaan hakiki.
3. Mewujudkan analisa formal dalam apresiasi karya karya ulama Salaf
sehingga didapatkan sebuah petunjuk tentang dinamika pemikiran dan
perkembangan keilmuan secara implisit maupun eksplisit.
4. Mendapatkan sebuah standar kebenaran bagi pengujian ilmu ilmu teoritis
dengan dasar kitabullah dan hadis yang bisa memberikan solusi bagi
kerancuan pemikiran mutakhir.
5. Mendapatkan gambaran dari model pemikiran Imam Al- Ghazali untuk
diaplikasikan dalam dunia akademis.
6. Sebagai amal jariyah dan ibadah
7. Mengharapkan rahmat Tuhan Yang Maha Mengetahui

D. Metodologi Penelitian
Metode yang dipakai dalam pembahasan skripsi ini adalah metode
deskriptif analitis yaitu prosedur pemecahan masalah dengan mendeskripsikan
atau menjelaskan masalah yang kemudian data disusun dan dianalisa sehingga
mendapatkan sebuah kesimpulan (konklusi).
Model penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library
research) dengan akomodasi buku-buku terkait dengan tema yang hendak
dikaji. Penulis berusaha mengutamakan dalil-dali Al-Quran sebagai penopang
argumen utamanya. Dengan demikian diharapkan skripsi ini memiliki nilai
argumen yang mumpuni.
Adapun buku - buku pedoman utama pada penulisan masalah ini
adalah karya karya Imam Al-Ghazali yang meliputi: kitab Ihya Ulumuddin
(terjemah), kitab Ajaib Al- Qalb (terjemah), kitab Kimya As- Saadah
(terjemah), kitab Al- Qisthas Al- Mustaqim (terjemah) dan lain- lain.
Buku buku pendukung antara lain: Pengetahuan Suci karya Imam
Ad- Dihlawi, Energi Ibadah karya Murtadha Muthahari, Falsafah Dan


5
Mistisisme Dalam Islam karya Harun Nasution, The Wisdom Of Al- Hakim
Al- Tirmidzi karya Al- Hakim Al- Tirmidzi dan lain - lain.







6
Bab II
SISTEMATIKA TAFAKKUR

A. Pengertian, Ruang Lingkup dan Tujuan
1. Pengertian Tafakkur
Dalam surat As-Shad ayat ke-29 terdapat firman Allah SWT :
.. ..l. ,,l| .,`. ``,.,l ...,, .. ,l l` .,l __
Artinya:Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh berkah agar
mereka menghayati ayat- ayatnya dan agar orang orang yang berakal
sehat mendapat pelajaran .
1

Dalam ayat ini terdapat dua aktivitas ibadah untuk memahami Al
Quran sebagai sumber ilmu yaitu aktivitas tadabbur (penghayatan ) dan
aktivitas tadzakkur ( mengingat ingat ). Keduanya merupakan bagian dari
aktivitas berpikir ( tafakkur ) . Jadi, proses berpikir ( tafakkur ) dalam Al-
Quran melibatkan dua faktor esensial yaitu hati sebagai obyek tadabbur dan
akal dalam proses tadzakkur. Dalam kolaborasi keduanya tercipta kesimpulan
dan prosesnya dinamakan tafakkur.
Asal kata tafakkur berasal dari suku katafakara,fakr dan fikr
yang berarti mempergunakan akal dalam sesuatu.Fakara,afkara dan
tafakkara semua kata tersebut memiliki arti yang sama, yaitu berpikir
atau memikirkan dan fakara fisy syai artinya memikirkan tentang
sesuatu.
Dalam buku mufradat Al- Quran disebutkan, tafakkur adalah
kekuatan yang mampu memicu pengetahuan menjadi yang diketahui,
perguliran kekuatan sesuai dengan pandangan akal. Itu terjadi pada manusia
dan tidak terjadi pada binatang, serta tidak mungkin dinyatakan kecuali pada

1
Tim Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1995) Cet.
1995, h.736



7
apa yang mungkin dapat diperoleh gambarannya di dalam hati. Maka di
dalam sebuah riwayat dikatakan, Pikirkanlah tentang nikmat nikmat
Allah dan jangan memikirkan tentang zat Allah, sebab Allah Maha Suci dari
gambaran yang dapat diungkapkan .
2

Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rumayat ke-8:
l `> . , _ .. !. _l> < ,.,.l _ !. !..,, |
_>l!, _ > _,.. | ,: _. _!.l _!1l, , `.> l
Artimya:Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri
mereka? Allah tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di
anatara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu
yang ditentukan. Dan sesungguhnya banyak di antara manusia benar
benar mengingkari pertemuan dengan Tuhannya.
3

Rajulun fakir artinya orang yang banyak pemikiran, kebalikan dari
kata fakr(menggosok, menggaruk), tetapi fakr digunakan dalam segi
makna yaitu memecahkan dan membahas perkara agar sampai pada
hakikatnya.
4

Definisi tafakkur menurut Imam Al- Ghazali adalah menghadirkan
dua makrifat dan dalam hati agar dapat membuah dari keduanya akan buah
yang ketiga.
5
Imam Al -Ghazali menyebutkan hati sebagai basis kronologis
pengambilan kesimpulan dan mensyaratkan pengetahuan pengetahuan
elementer sebagai generalisasi makna rasional dan intuisi dalam produksi
kesimpulan kesimpulan baru. Titik kumulatif tafakkur adalah daya

2
Syekh Abdul Aziz Bin Nashir Al-Jalil,Tidakkah Kalian Berpikir, (Jakarta: Cakrawala, 2008)
Cet. , h.7-8
3
Tim Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1995) Cet.
1995, h. 642
4
Syekh Abdul Aziz Bin Nashir Al-Jalil, Tidakkah Kalian Berpikir, (Jakarta: Cakrawala, 2008)
Cet. , h.8
5
Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Semarang:Pustaka Asy-Sifa, 2003) Cet. 2003, h.238



8
fungsional hati sebagai obyek sentral dalam wacana wacana tasawuf
(sufistik ).
Pemikiran juga bisa dinamakan pandangan, karena ia adalah
penelusuran dengan hati terhadap objek yang dipandang. Dinamakan
mengambil pelajaran (itibar). Itibar adalah bentuk iftial dari kata
ubur (menyeberang), karena ia beralih kepada pandangan yang lain, atau
dari hal yang dipikirkan itu beralih kepada yang lain. Lalu dari hal yang
dipikirkannya itu beralih menjadi pengetahuan ketiga , dan itulah yang
dimaksud dengan mengambil pelajaran.
6
Adanya variasi pemahaman ini
mengindikasikan bahwa dalam prosesnya tafakkur nantinya akan terlibat
dalam turunan-turunan kualitatif yang disesuaikan dengan bentuk-bentuk
struktural kajian ilmunya. Ini menimbulkan sebuah pemahaman multi-dimensi
yang membentuk sebuah kesimpulan bahwa tafakkur merupakan ritual ibadah
yang terorganisir dalam runtutan mendalam antara wujud partikulariat akal
dengan dimensi dzauq yang nantinya akan membentuk sebuah pemahaman
bipolar.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat ke-82:
``,. ., ,1l l l _. ..s ,s < . >l , !.l.> ,.
Artinya: Maka tidaklah mereka menghayati (mendalam) Al Quran
? Sekiranya (Al Quran) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan
banyak hal yang bertentangan di dalamnya.)
7

Dalam ayat di atas tafakkur identik dengan penghayatan (tadabbur)
karena ia memandang pada akhir-akhir perkara dan akibatnya (menghayati
perkataan). Menghayati perkataan itu dengan memperhatikan awal dan
akhirnya. Kemudian mengulang lagi perhatiannya selama beberapa kali.

6
Syekh Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil,Tidakkah Kalian Berpikir, (Jakarta: Cakrawala, 2008)
Cet. , h.6
7
Tim Departemen Agama,Al-Quran dan Terjemahnya,(Semarang:Toha Putra, 1995) h,232



9
Maka, susunan katanya berdasarkan bentuk tafa'ul seperti tajaru
(mengeruk), tafahum(memahami) dan tabayun (mengklarifikasi).
8
Maksudnya proses tafakkur adalah aplikasi tadabbur yang merupakan
proses eksplorasi menyeluruh terhadap satu batas kesatuan korelatif yang
bermuara terhadap pemahaman tauhid. Dalam ayat di atas terdapat dua batas
dwi-fungsional yang mengindikasikan dua dimensi pemahaman logika dan
esoterika yang tersurat pada kata Al-Quran dan Allah SWT. Al-Quran sarat
dengan tafsiran yang menerima aplikasi-aplikasi justifikasi akal dan hati
menuju konsep ketauhidan. Ada tafsiran yang membuka akses dalam proses
berpikir yang memberikan sebuah hierarki global konsep-konsep keesaan
Tuhan yang menerima secara terbuka ruang-ruang pemahaman universal yang
diisyaratkan dengan keanekaragaman kekuatan aqidah, simbolisme ibadah,
corak aplikatif syariat dan sebagainya yang terstruktur dalam firman-firman
suci. Terkadang Al-Quran telah menjadi sebuah pintu transendensi dalam
wujud tafsiran mistis yang memberikan sebuah wujud pemahaman esoteris
yang dapat dicapai dengan sebuah metode tertentu yang dalam sufisme
dikenal dengan sebutan tarekat. Al-Quran melibatkan proses tafakkur dan
tadabbur secara sekaligus sebagai bentuk struktur formalitas yang selanjutnya
dibawa kepada wujud realitas mutlak melalui intuisi (dzauq).
Kompromitas kata Allah merupakan sandaran mutlak bahwa tafakkur
dan tadabbur pada esensinya hanya merupakan jalan atau bentuk pemahaman
terstruktur yang tergeneralisasi dalam batasan-batasan definitif dan bukan
merupakan tujuan final dalam spritualitas, sekalipun dalam bidang-bidang
mutual mendapat korelasi yang differensial secara random. Kata Allah dalam
ayat di atas merupakan standar dan variabel bagi aktivitas tafakkur. Sebagai
standar dikarenakan daya fungsional tafakkur secara esensial diarahkan untuk
tujuan-tujuan mistis seperti pencapaian makrifat dan hakikat terhadap Allah

8
Syekh Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil, Tidakkah Kalian Berpikir, (Jakarta: Cakrawala, 2008)
Cet. , h.7



10
SWT. Sebagai variabel dikarenakan aktivitas tafakkur ternyata memberi nilai
bagi sebuah pencapaian tingkatan spritual tertentu. Ketika kedua aspek ini
disinergikan terlihatlah bahwa tafakkur hanya ruang peralihan bagi sebuah
wujud manifestasi agung Allah SWT dengan strukturalisasi Al-Quran.
Ayat di atas secara tersirat juga memberikan pemahaman baru tentang
fungsi tadabbur sebagai penjelas bagi hal-hal yang kontradiktif sebagaimana
tersebut pada petikan ....pastilah mereka menemukan banyak hal yang
bertentangan di dalamnya. Kontradiksi memuat ragamdefinisi dan sejatinya
selalu bersifat kontroversi sebagai wujud kausalitas dari alam ciptaan. Ketika
tadabbur dihadapkan kepada hal-hal yang kontradiktif maka struktur bipolar
akan terwujud. Struktur polar pertama adalah rekonstruksi daya akal yang
secara induktif dan deduktif akan memberikan pola-pola solusi yang
melibatkan segenap afiliasi wujud partikulariat dalam sebuah sistemterpadu
yang dikenal dengan ilmu. Ilmu inilah yang menjadi sumber pengetahuan
pertama dalam basis kausalitas yang mandiri dalamwujudnya. Kemandirian
wujud ilmu didasarkan pada pandangan bahwa ilmu bebas dalam ekspresi
orientasinya dan cenderung impulsif seakan-akan memiliki tatanan sumber
otonom. Akibat kemandirian wujud inilah yang terkadang disalahtafsirkan
sebagai pencapaian tujuan padahal fase ini baru langkah awal sebagaimana
adanya istilah-istilah ilmul yaqin,ainal yaqin dan haqqul yaqin dalam
terminologi sufi yang mengisyaratkan hal ini.
Struktur polar kedua adalah dengan cahaya hati yang merekonstruksi ilmu
dalam tatanan dzauq. Idealnya ilmu akan memberikan pengaruh bagi hati
yang disesuaikan dengan toleransi hati dalam menyerap sebuah konsep dari
ilmu. Atas dasar inilah dalamajaran Islamterdapat anjuran dalam mencari
ilmu yang bermanfaat bagi hati.Sebab ilmu yang tidak bermanfaat bagi hati
hanya akan menjadi hijab yang mengakibatkan kegagalan hati dalam
membuka aksesnya ke dalam dunia gaib. Ilmu yang bermanfaat bagi hati akan



11
memberikan pengaruh positif dalam meningkatkan kualitas ibadah dan dzauq
yang merupakan tahapan pertama dalampendakian spritual kaum Salikin.
Dari argumen-argumen di atas, kita bisa memberikan definisi tafakkur
adalah proses pemaduan antara dua ilmu konektif dengan subyek ilmu yang
sedang dipelajari (diteliti) dengan syarat, tidak terjadi kontradiksi yang
meragukan kebenaran kedua ilmu tersebut, disamping hati harus
konsentrasai terhadap keduanya dan benar- benar meneliti dengan sungguh-
sungguh. Dengan demikian hati yang semula kosong akan menjadi penuh
dengan kedua ilmu tersebut. Proses tafakkur akan memberikan nilai afektif
bagi hati. Nilai ini terkait erat dengan kaidah, pendapat, aktifitas, yang
memberikan solusi-solusi persuasif bagi pelaksanaan syariat sehingga kondisi
spritual dapat diidentifikasikan. Tafakur adalah wajib hukumnya bila
berhadapan dengan sesuatu yang masih meragukan dan syubhat (belum jelas
persoalannya) atau disaat ingin mengobati penyakit jiwa yang susah
disembuhkan. Sedangkan ilmu berpikir ini terbagi dalamlima macam:
a. Ilmu yang wajib, seperti ilmu ushul ( dasar dasar ) keimanan, baik
tentang Allah, malaikat, kitab kitabNya, rasul rasulNya dan hari akhir.
b. Ilmu ibadah yang terkait dengan aktifitas jasmani dan harta benda.
c. Ilmu yang terkait dengan panca indra, seperti : lisan, alat kelamin, perut,
pendengaran dan penglihatan .
d. Ilmu tentang akhlaq tercela yang wajib dihilangkan dari hati.
e. Ilmu tentang akhlaq terpuji yang wajib dilakukan hati terhadap Allah.
9

2. Ruang Lingkup Tafakkur
Dalam menjelaskan ruang lingkup tafakkur di dalam Al- Quran
Surat Ar- Rumayat ke- 8 telah diisyaratkan tentang hal ini :

9
Imam Al-Ghazali,Mihrab Kaum Arifin,(Surabaya:Pustaka Progresif:2002)Cet.II ,h.170



12
l `> . , _ .. !. _l> < ,.,.l _ !. !..,, |
_>l!, _ > _,.. | ,: _. _!.l _!1l, , `.> l
Artinya:Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang diri
mereka ? Tuhan tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada
diantara keduanya melainkan dengan ( tujuan ) yang benar dalam waktu
yang ditentukan. Dan sesungguhnya banyak diantara manusia benar- benar
mengingkari pertemuan dengan Tuhannya.
10

Aplikasi utama ayat ini adalah pencarian hikmah pada tatanan
koneksi manusia dengan Tuhan dan alam semesta. Koneksi ini bersifat
mutlak dan termasuk komposisi sentral dalamritus-ritus keagamaan Islam
yang diistilahkan dengan aspek ubudiyah dan uluhiyyah. Pada akhirnya
ruang lingkup ini akan bermuara pada dua tema sentral yaitu relasi dengan
Tuhan (habluminallah) dan relasi dengan masyarakat Islam
(hablumminannas).
Berbicara tentang Habluminallah adalah refleksi aplikasi akidah yang
tentunya bersifat pribadi dan merupakan buah dari tafakkur. Kita hanya bisa
memasukkan proses tafakkur hanya pada tataran konsep konsep keilmuan
Islam, seperti : aqidah , syariat , tasawuf dan lain lain yang menjadi suatu
tolak ukur keimanan kita dan terkait dengan integrasinya dengan maqamat-
ahwal sebagai basis reproduksi dan afiliasi ilmu sebagaimana yang diklaim
oleh kaum sufi. Jadi , ruang lingkup tafakkur sungguh luas karena proses
interaksinya dengan ilmu dan sumber ilmu (hati) itu sendiri. Beberapa contoh
ruang lingkup terkait dengan aplikasi tafakkur antara lain:



10
Tim Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1995),
h, 642



13
a. Ruang Lingkup Teologis
Ruang lingkup teologis secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya
memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ilmu ketuhanan
yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu
keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan yang
lainnya.
11

Ruang lingkup teologis memberikan akses dalam pengembangan
kualitas keimanan kaummuslimin. Para ulama dan fuqaha sejak generasi salaf
telah berupaya memberikan konsep-konsep kontemporer dalam rangka
mereformasi nilai-nilai Islam yang dimulai dengan metode, bentuk aplikatif,
wacana dan sebagainya agar susunan totalitas ajaran Islam senantiasa
mendapatkan varian-varian konstruktif dalam setiap masa dan peradaban.
Sejak dulu, bagian-bagian dari ruang lingkup ini telah menghadirkan klaim-
klaim perbedaan yang dilihat dari banyaknya penganut aliran-aliran (sekte-
sekte) yang merupakan bukti nyata bahwa pola rekonstruktif dari tafakkur
senantiasa memberikan propaganda tertentu yang diisyaratkan dengan sabda
Nabi yang terkenal tentang perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan.
Ruang lingkup teologis adalah wujud cerminan tatanan kerangka segenap
aspek aqidah diekspresikan untuk senantiasa dicari wujud haqiqinya bagi para
pencari kebenaran dari seluruh golongan dari agama ini.
Dalam ruang lingkup teologis, dalam memahami agama
menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara berpikir yang berawal dari
keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya karena ajaran yang
berasal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan
lebih dahulu melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat
dengan dalil dan argumentasi. Sementara ruang lingkup normatif, cara
berpikirnya lebih ditekankan kepada pemahaman bahwa agama dari segi

11
Prof.Dr.H.Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004) Cet.IX,
h. 28



14
ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya belumterdapat
penalaran pemikiran manusia.
12

b. Ruang Lingkup Antropologis
Ruang lingkup antropologis dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yag
tumbuh dan berkembang di masyarakat. Sifatnya langsung, bahkan sifatnya
partisipatif.Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang bersifat induktif
yang mengimbangi pendekatan deduktif dalam pengamatan sosiologis.
13

Ruang lingkup ini mencoba membagi wujud nilai-nilai Islam pada setiap
corak kebudayaan yang pada akhirnya membentuk pola sosialisasi yang
cenderung akomodatif. Seringkali terjadi konflik internal dan eksternal yang
justru dijadikan refererensi justifikasi dalam penyusunan argumen-argumen
keseimbangan atas dasar toleransi inheren dalamberbagai aspek.
c. Ruang Lingkup Sosiologis
Dalam ruang lingkup sosiologis digunakan pola pola tafakkur yang
mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan
ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya, memahami sifat dan
maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya
perserikatan-perserikatan hidup serta kepercayaannya, keyakinan yang
memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama dalamorganisasi.
14

Dalam ruang lingkup ini ada beberapa faktor landasan pentingnya
eksplorasi tafakkur, diantaranya :
Pertama, bahwa syariat Islam memberikan ruang bagi aspek-aspek
muamalah yang nyatanya banyak membutuhkan pola-pola pengembangan
struktural yang terkait dengan pengembangan kualitas kehidupan keduniawian

12
Prof.Dr.H.Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004) Cet. IX,
h. 34
13
M.Dawam Raharjo, Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan, (Jakarta:
Rajawali Press, 2004) Cet. II, h .19
14
Hassan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983)
Cet. III, h. 70



15
sebagai aspek yang selaras dengan masalah akhirat. Pengembangan ini
mendorong terciptanya sebuah kajian referensif yang terbuka dengan metode-
metode simulatif yang selanjutnya memberikan solusi-solusi verbal bagi
wacana-wacana kausalitas yang rentan dan mendorong partisipasi aktif dalam
pemecahannya secara general.
Kedua, bahwa dalil-dalil naqli menunjukkan secara jelas bahwa dalam
soal-soal muamalah, syariat tetap mengacu kepada bentuk mashlahah dari
suatu perbuatan hukum yang substansinya dapat ditangkap oleh nalar.
Keterangan ini menunjukkan perbedaan yang nyata antara ibadah dan
muamalah sekalipun ada korelasi antara keduanya. Makna yang terkandung
dalam semua ibadah tidak dapat diketahui kecuali dengan informasi wahyu
yang harus diterima dan dilaksanakan oleh manusia dengan penuh kepatuhan.
Di sisi lain,akal bisa mengetahui makna dalammuamalah.
Ketiga, bahwa syariat berbeda fungsi dalam aspek ibadah dan
muamalah. Dalam hal ibadah, syariat berfungsi sebagai pembentuk dan
pencipta hukum.Di lain pihak, syariat berfungsi sebagai penyempurna bagi
pengetahuan akal yang terlebih dahulu telah memahami substansi muamalah.
Hal ini dikarenakan karena akal manusia tidak berwenang dalam menentukan
bentuk-bentuk ibadah.
Keempat adanya aspek-aspek komplementer dalam Islam. Contohnya
dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna
atau batal, karma melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya)
ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial . Bila
puasa tidak mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan
membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin. Bila
suami istri bercampur siang hari di bulan ramadhan atau ketika istri dalam
keadaan haid, tebusannya adalah memberi makan kepada orang miskin.
d. Ruang Lingkup Filosofis
Tafakkur pada ruang lingkup ini adalah upaya-upaya menjelaskan inti,
hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya.



16
Ini bertujuan dalam memberikan penafsiran-penafsiran agama secara
komprehensif dalam tataran tertentu yang disesuaikan dengan kapasitas
seseorang dalam pemahamannya tentang agama. Ini penting dikarenakan
agama bersifat universal yang berarti diperlukan sebuah skema tertentu untuk
mengkomunikasikannya dengan pemahaman umat dalam berbagai aspek yang
diyakini bisa memberikan kontribusi solutif. Ruang lingkup filosofis
menyediakan akses bagi pengembangan metode-metode baru tentang tafsiran
Islam terutama yang terkait dengan wacana-wacana transendental melalui
filsafat Iluminasi.
e. Ruang Lingkup Historis.
Tafakkur historis mencoba menghadirkan hikmah-hikmah dari
berbagi peristiwa dengan memperhatikan unsur, tempat, waktu, objek, latar,
dan pelaku dari perisriwa tersebut. Dalam Al-Quran sendiri banyak konsep-
konsep yang membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai
islam, seperti kisah-kisah historis yang secara langsung membuka perenungan
untuk memperoleh hikmah,
Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-
peristiwa historis dan juga melalui kiasan-kiasan yang berisi hikmah
tersembunyi, manusia di ajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan
banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam ini, tersirat maupun tersurat,
baik menyangkut hikmah historis atau pun menyangkut simbol-simbol.
15

f. Ruang Lingkup Psikologis
Tafakkur psikologis berusaha mempelajari jiwa seseorang melalui
gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiyah Darajat, perilaku
seseorang yang tampak lahiriah dipengaruhi oleh keyakinan yang
dianutnya.
16
Dengan adanya tafakkur bagi seorang muslim akan amat

15
Kantowijoyo, Paramadina Islam Interupsi Untuk Aksi. (Bandung: Mizan, 1991) Cet .I,
h. 328
16
Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1987) Cet.I, h. 76



17
mempengaruhi kehidupannya, sehingga setiap apa yang dia lakukan adalah
tak lepas dari apa yang dia yakini. Dengan bertafakur, kehidupan seorang
muslim baik lahir maupun lahir tidak akan terlepas dari sikap beriman dan
bertakwa kepada Allah SWT.
Secara global ruang lingkup tafakkur terkait dengan obyek kajian ilmu
itu sendiri. Ini berarti bisa kita bagi ke dalamdua kelompok besar yakni yang
bersifat rohani (keagamaan Islam) dan keduniawian. Ruang lingkup
kerohanian Islam bersifat absolut dari berbagai sisi dikarenakan intensitas
tujuannya sedangkan ruang lingkup keduniawian bersifat terbatas dikarenakan
aspek temporalitas.
3. Tujuan Tafakkur
Secara global, tujuan tafakkur adalah upaya mendapatkan kebahagiaan
(kimia kebahagiaan) dengan cara mendayagunakan potensi-potensi internal
dan eksternal manusia. Potensi internal meliputi daya-daya batin yang terkait
dengan alam ghaib (malakut) sementara potensi eksternal meliputi daya-daya
lahir yang terkait dengan alam indera (syahadah).Kimia kehabagiaan ini
hanya ada di perbendaharaan Allah SWT, melalui cahaya kenabian
(nubuwwah). Ini tersirat pada firman-Nya surat Al-Qaf ayat ke-22:
.1l . _ s _. ..> !.:> ,.s ,!Ls `., ,l .,.>
Artinya: Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini,
Maka kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi)matamu,maka
penglihatanmu pada hari itu amat tajam
17
.
Penyingkapan tutup pada ayat tersebut adalah realisasi dari mujahadah
yaitu membersihkan diri pekerti-pekerti yang tercela dan dari sifat-sifat
kebinatangan, serta menjadikan sifat-sifat malaikat sebagai sifat utama.

17
Tim Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1995),
h. 853



18
Posisi tafakkur adalah penyempurnaan kebahagiaan manusia sebab
esensi kebahagiaan tidak lain dari makrifat kepada Allah SWT. Makrifat
kepada Allah SWT tidak akan sempurna tanpa tafakkur. Sementara kunci
makrifat adalah pengenalan diri yang juga merupakan bagian dari tafakkur
sebagaimana tercermin pada firman-Nya surat Al-Fushilat ayat ke-53:
`,`. . !...,, _ _! _ .. _.> _,,., l . _>' l >,
,,, .. _ls _ ,`_: .,: __

Artinya:Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka
sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar.
Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas
segala sesuatu?
18

Sabda Nabi Muhammad SAW yang terkenal : Barang siapa telah
mengenal dirinya, maka benar-benar dia telah mengenal Tuhannya. Melalui
tafakkur, kita harus mengenali diri kita, darimana dan untuk apa kita
diciptakan. Dengan apa kita bahagia dan hal-hal apa saja yang akan membuat
kita sengsara.
Tafakkur adalah makanan bagi ruh yakni hakikat elemen diri
sedangkan yang lain adalah asing dan sekedar pinjaman yang ada pada diri
kita. Kita harus mengerti bahwa bagi masing-masing karakter ciptaan
memiliki unsur kebahagiaan yang berbeda. Kebahagiaan tertinggi adalah
kebahagian para malaikat yang fitrahnya adalah kebahagiaan dalam makrifat
kepada Allah SWT. Kalau kita termasuk dari anasir-anasir malaikat, maka

18
Tim Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1995)
Cet.1995, h. 781



19
kita harus bersungguh-sungguh dalam mengenali asal penciptaan kita,
sehingga mampu mengenal jalan menuju hadlirat Ilahi, mencapai tingkat
musyahadah (penyaksian) terhadap Zat yang Maha Agung dan Maha Indah,
melepaskan diri dari belenggu nafsu dan angkara murka.
19

Tafakkur membuka pengembangan pengetahuan inderawi (fisik),
rasional dan keagamaan, secara fitrah, manusia diciptakan secara sederhana
tidak mengetahui apapun, kemudian dia meningkat dengan kekuatan
memahami (al-idrak). Pertama kali dia mengetahui hal-hal iderawi melalui
bantuan panca indera, seperti pendengaran, penglihatan, peraba, perasa dan
penciuman. Kemudian menapaki tahapan berikutnya, memahami alam yang
berbeda dari wujud-wujud inderawi (fisik), dengan akalnya, seperti
pengetahuan yang bersifat keharusan (dlaruriyat), pengetahuan tentang yang
wajib, yang jaiz (mungkin) dan yang mustahil serta pengetahuan terhadap
makna-makna universal selain yang dipahami indera dan terhadap sejumlah
hakikat rasional yang merupakan persoalan metafisika. Puncaknya adalah
makrifatullah.
Lalu bagaimana hubungan tafakkur dengan makrifat sebagai tujuan
utamanya? Untuk menjelaskan hal ini, kita perlu tahu konsep makrifat sufistik
yang merupakan syarat mutlak dalammencapai kebahagiaan tadi.
Makrifat adalah kedekatan, yaitu gerakan hati dengan segala
pengaruhnya yang dapat mempengaruhi seluruh anggota tubuh. Kalau ilmu
bisa dicontohkan sebagai melihat api, maka makrifat adalah rasa panas yang
ditimbulkannya. Makrifat dalam pengertian bahasa adalah ilmu yang tidak
lagi diragukan. Sementara istilah ilmu dalam pengertian konversional adalah
istilah untuk pengetahuan yang diawali dari ketidaktahuan. Makrifat dalam

19
Imam Al-Ghazali, Manajemen Hati,(Surabaya: Pustaka Progresif, 2002) Cet.II,h.44



20
pengertian kaum sufi adalah ilmu yang tidak menerima keraguan lagi jika
yang diketahui itu zat Allah dan sifat-sifatNya.
20

Jadi, makrifat bukanlah medan akal rasional, tapi merupakan peran
fungsional qalbu (hati), serta dzauq. Yang dimaksud dengan kata dzauq
adalah daya hati bagi jalan kepada pengetahuan metafisika dan meta-rasional.
Dzauq semacam itu berada di atas ilmu, sebab dzauq bersumber kepada rasa
bathin sedangkan ilmu bersumber dari analogi. Rasa batin ini (dzauq) tersebut
tidak akan mantap kecuali bagi orang yang mengalaminya dan melatihnya
secara aktual dalam olah spiritual. Prosesnya terjadi di qalbu (hati) yang
laksana cermin memantulkan persoalan-persoalan meta-inderawi, serta hal-hal
yang ada di Lauh Mahfud dengan syarat tabir telah tersingkap darinya.
Produknya disebut ilham (ilmu ladumi) yang merupakan keutamaan yang
diberikan Allah bagi kita serta merupakan cahaya yang bersinar pada qalbu
kita dari sisi-Nya.
Jadi, tafakkur berada pada tatanan ilmu dalam rangka pencapaian
makrifat. Kesimpulannya tafakkur berperan sebagai proses data yang
diperoleh melalui sumber-sumber ilmu pengetahuan. Sumber-sumber ini bisa
berupa dengan belajar dan tanpa belajar, seperti intuisi (dzauq) dan perubahan
sifat-sifat yang diindikasikan dengan maqamat-ahwal.

B. Komponen-Komponen Tafakkur
Berbicara tentang komponen-komponen tafakkur tidak terlepas dari dasar-
dasar tasawuf itu sendiri. Sebab komponen-komponen tafakkur yang dibahas
disini adalah juga merupakan perluasan difinitif dari tema-tema sentral tasawuf,
seperti hati (Al-qalb), nafsu (An-nafs) dan akal (Al-aql). Komponen-komponen ini
mempengaruhi setiap kondisi spiritual kaum sufi dalam setiap tahapan perjalanan
batinnya menuju Allah SWT.

20
Imam Al-Ghazali, Mihrab Kaum Arifin, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002) Cet.II.h.54



21
Terkait dengan tafakkur, komponen-komponen ini juga saling
mempengaruhi dengan akal sebagai basis utamanya. Harus diketahui, bahwa pada
awalnya tasawuf adalah ilmu, lalu pada tahap pertengahannya menjadi awal
perbuatan dan pada tahap akhirnya berubah menjadi penerimaan karunia dari
Allah SWT fungsi ilmu dalam dunia tasawuf adalah untuk menyibak cita-cita,
amal perbuatan untuk membantu permohonan untuk mengantarkan kepada
tujuan akhir (marifatullah). Sufi mempunyai tiga tingkatan tingkatan: Muridun
Thalibun yakni seorang yang memiliki kehendak untuk mencapai sesuatu,
Sairun, yakni orang yang menempuh suatu perjalanan, dan Al-Washil yakni
mereka yang sampai.
21
Dalamsetiap tingkatan ini, ketiga komponen ini saling
mepengaruhi dan pada setiap tingkatan ini pula tafakkur berperan dalam
pengaturan dan pengembangan keilmuan sufi, yang nantinya akan menjadi
referensi bagi perjalanan spiritualnya serta menjadi tolak ukur tingkatan batinnya
(maqam). Pada tingkatan Muridun Thalibun tafakkur terkait dengan proses
belajar, tingkatan Sairun tafakkur terkait afiliasi ilmu dengan dzauq sedangkan
pada tahapan Al-Washil tafakkur terlibat dengan ilmu-ilmu kasyaf (penyingkan
mistis) yang terkenal dengan sebutan ilmu ladunni. Ringkasnya tafakkur terkait
erat dengan maqam spiritual kaum sufi.
Pembahasan komponen ini dimaksudkan untuk mengetahui definisi, daya
kerja, aplikasi sehingga dapat dipahami kondisi tafakkur sesuai keadaan spiritual
komponen-komponen ini.Hal ini penting mengingat karakteristik ilmu dan adanya
tingkatan jiwa.
Karena pada dasarnya ilmu-ilmu itu dapat dimiliki oleh setiap jiwa
manusia. Setiap jiwa dapat menerima semua ilmu. Ilmu itu luput dari suatu jiwa
semata-mata karena sesuatu yang asing dan baru datang dari kepadanya. Sabda
Rasulullah: Manusia diciptakan lurus. Setan-setanlah membuat mereka bersikap
sombong. Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda, Setiap anak dilahirkan

21
Imam Al-Ghazali, Mihrab Kaum Arifin, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002) Cet.II, h. 29



22
dalam keadaan suci. Karena itu, jiwa mansuia yang berpikir berhak mendapat
pancaran jiwa universal dan siap menerima gambaran akal dengan kekuatan
kesucian dan sifat-sifatnya yang asli.
22

Dengan demikian, bagi jiwa-jiwa yang sakit jelas-jelas memerlukan
pendidikan dan pengajaran. Agar jiwa dikembalikan kepada fitrahnya yang suci
dan akan mencari ilmu asli naluri (ilmu ladunni) serta hilangnya penyakit-
penyakit batin yang dipicu oleh kerakusan jiwa pada kebutuhan-kebutuhan jasad
alamiah. Dengan pengertian lain, dibutuhkan upaya mengembalikan jiwa itu
keadaan substansinya dan mengeluarkan apa-apa yang ada di dalam batinnya
menuju kesempurnaan dan kebahagiaan. Dalam tradisi sufi, seseorang guru
spiritual mutlak dibutuhkan dalam kasus ini. J adi, hakikat dan substansi jiwa yang
meliputi akal (Al-Aql), hati (Al-Qalb) dan nafsu (An-Nafs) perlu diketahui dan
diobati dengan belajar demi kebahagiaan jiwa itu sendiri. Karena pemahaman
yang baik adalah salah satu syarat dalam mengidentifikasi penyakit sebagai
orientasi positif dalam tindak lanjut berikutnya.
1. Akal (Al-Aql)
Imam al-Ghazali memberikan dua pengertian bagi akal. Pertama kata
Aql diartikan sebagai pengetahuan tentang hakikat sesuatu, dimana ia
sebagai sifat dari ilmu yang bertempat di hati. Makna kedua adalah bagian
dari manusia yang memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan,
dan ini adalah hati (Al-qalb) itu sendiri. Setiap diri seseorang terdapat unsur
pengetahuan yang menempai sebuah wadah dan ilmu itu merupakan sifat
yang melekat pada wadah tersebut, walaupun ilmu pengetahuan itu tidak
identik dengan wadah yang menampungnya. Istilah Al-aql bisa juga
dimaksudkan sebagai sifat yang melekat dalam diri orang yang

22
Imam Al-Ghazali, Menuju Labuhan Akhirat, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002) Cet.II,
h. 182



23
berpengetahuan dan bisa juga dimaksudkan untuk menyebut wadah yang
menjadi tempat pengetahuan itu.
23

Syekh Syihabuddin Umar As-Suhrawardi memberikan penjelasan
akal sebagai berikut: Akal adalah cahaya fitrah yang digunakan untuk
membedakan kebaikan dan keburukan. Akal yang membedakan kebaikan dan
keburukan: a) di dunia adalah akal yang dimiliki oleh orang-orang kafir dan
orang-orang yang beriman; b) di akhirat adalah akal yang dimiliki oleh orang-
orang beriman. Ilmu dikhususkan untuk orang-orang beriman; ilmu dan akal
diperlukan oleh semua orang.
24

Imam Al-Ghazali dalam uraiannya lebih lanjut tentang akal
mengemukakan konsep tentang macam-macam akal. Menurut beliau akal
terbagi dua macam yakni akal Gharizi (akal naluri) dan akal Muktasab (akal
yang dapat diusahakan untuk memperolehnya).
Akal Gharizi adalah potensi yang mampu menerima ilmu. Akal
Gharizi dalam diri seorang akan kecil ibarat cikal bakal pohon kurma yang
terdapat di dalam biji kurma, sedangkan akal Muktasab adalah akal yang
dapat menghasilkan berbagai ilmu dengan cara yang tidak diketahui,
sebagaimana ilmu yang datang tanpa pemikiran bagi anak-anak kecil setelah
mereka mencapai usia tamyiz, walaupun tanpa belajar. Adakalanya dari arah
yang diketahui sumbernya, yaitu belajar.
25

Di dalam penjelasan-penjelasan di atas, dituntut konsep tentang
hubungan akal dalam pencapaian kebahagiaan (kimia kebahagiaan). Untuk
menjelaskan hal ini kita berpedoman pada Al-Quran surat Al-Hajj ayat 46 :

23
Imam Al-Ghazali, Manajemen Hati, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002) Cet. II, h. 89
24
Syekh Syihabuddin Umar As-Suhrawardi, Awarif Al-Maarif, (Bandung:Pustaka Hidayah,
1998) Cet.I, h.101
25
Imam Al-Ghazali,MizanAl-Amal,(Surabaya:Pustaka Progresif,2002)Cet.II,h.185



24
`l ,. _ _ >. > ',l l1- , !, :, `-.`. !,
!.| _.- . `.., _>.l _.-. ,l1l _.l _ ..l
Artinya: Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi,lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?
Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang
buta, ialah hati yang di dalam dada.
26


Demikian juga dalam surat Al-Isra ayat 72 :
_. _l _ .:..> _.s _ :> _.s _. ,,.
Artinya: Dan barang siapa yang buta mata (hatinya) di dunia ini, niscaya di
akhirat ia akan buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan yang
benar.
27

Pada surat Al- Hajj ayat ke-46, dituntut keharmonisan mutlak antara
dua potensi jiwa manusia, yang berbagi kepada potensi lahir dan batin.Al-
Quran menyebut dua mata yang berarti dua pola pengetahuan yang
tergeneralisasi menuju kesatuan tujuan yang terpusat di hati. Kita tahu dalam
literatur sufistik dua pola pengetahuan itu merupakan jalan-jalan mendapatkan
kebenaran (makrifat) melalui ilham dan interpretasinya. Ilhamadalah lambang
supremasi kesucian hati yang diwujudkan dalam penerimaan ilmu-ilmu
kasyaf (penyingkapan mistis). Inilah puncak pengetahuan karena pengetahuan
ini bersifat universal dalamtatanan kosmik. Kaum sufi menyebutnya ilmu
ladunni. Pada tahapan inilah akal Gharizi berperan dominan. Akal Gharizi

26
Tim Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang:Toha Putra,1995)
Cet.1995,h.519
27
Tim Departemen Agama,Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang:Toha Putra,1995)
Cet.1995,h.435



25
berada dalam inti jiwa yang memungkinkan dan membutuhkan kesucian
dalam hakikatnya. Di sinilah tersirat dua proses bagi dua mata. Proses
pertama adalah penyucian diri bagi akal Gharizi sedangkan proses kedua
adalah tindakan edukasi bagi akal Muktasab. Pada surat Al-Isra telah
diperjelas tentang interaksi keduanya dan adanya interpretasi merupakan
produk setelah interaksi keduanya berjalan harmonis. Dalam interpretasi
inilah tafakur memainkan peranan dalam memproduksi produk-produk
pengetahuan yang dihasilkan kedua akal tadi secara kontinu. Sasarannya
adalah pengetahuan yang paling utama, tinggi, mulia dan agung yakni Allah
sang pencipta, dengan kata lain ilmu tauhid, yang diisyaratkan dengan
kebutuhan di akhirat. Inilah disiplin ilmu dlaruri yang wajib dipelajari oleh
segenap orang yang berakal sebagaimana sabda Nabi yang terkenal:
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.
Secara samar, surat Al-Hajj ayat ke-46 sebenarnya berbicara tentang
konsep manusia berakal. Manusia berakal berarti manusia berilmu. Ilmu
merupakan persepsi jiwa berbicara yang tenang tentang fakta-fakta sesuatu
dan gambarannya yang abstrak dan terlepas dari materi dengan bentuk-bentuk
formalnya, kualitas, analogi, substansi dan esensinya. Sementara orang alim
adalah orang yang mengetahui dan berpersepsi. Sedangkan malum
(pengetahuan) adalah esensi sesuatu yang terlukiskan oleh ilmu di dalam jiwa.
Dengan demikian keutamaan ilmu tergantung kadar keutamaan malum
(pengetahuan), dan tingkat orang alim tergantung tingkat keilmuanya.
28

Kita juga mendapatkan gambaran bahwa akal adalah medan apresiasi
ilmu sedangkan hikmah adalah medan apresiasi hati .Keduanya saling terkait
dan saling mendukung, seperti dua sisi koin.Ketika Allah SWT memberikan
hikmah tertinggi kepada hamba-hamba-Nya, mereka dapat melihat langsung

28
Imam Al-Ghazali,Samudera Pemikiran Al-Ghazali,(Yogyakarta:Pustaka Sufi,2002) Cet.II,
h. 140-141



26
apa yang ada di alam malaikat dengan pandangan hati mereka. Penglihatan
hati secara langsung itu kemudian menjadi bashirah (hujjah yang nyata).
Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa posisi akal adalah seperti
seorang perdana menteri yang arif dan bijaksana dari sorang raja (hati).
Analogi ini bisa kita kita kompromikan mengingat karakteristik dasar ilmu
yang terbatas pada aplikasi-aplikasi logika elementer sebagai wujud interaksi
dlarurinya, yang kemudian dijadikan parameter-parameter konklusif sesuai
tingkatan usaha edukasinya. Berlainan dengan hikmah yang membuka
aksesnya ke alam malakut, hikmah ternyata lebih proporsional dalam
mendiktekan hakikat-hakikat gaib yang terkait dengan maqam sufistik yang
disebut fana. Makna fana dijelaskan sebagai ketenggelaman hati kepada Zat
AllahTaala, yang juga berarti tidak berfungsinya daya akal.
Kita telah mendapatkan gambaran singkat tentang akal dan demi
kepentingan skripsi ini, penulis merasa pembahasannya tidak diperpanjang
lagi. Sebagai penutup, penulis mencantumkan pasukan akal sebagai
implementasi tolak ukur kekuatan akal. Ini penting diktahui agar kita bisa
mawas diri (muhasabah) sampai dimana taraf keimanan kita. Pasukan akal
yang merupakan cerminan cahaya hati ini adalah sebagaimana yang
terdapat pada kitab Ghawr al-Umur karya Imam Tirmidzi: Ilmu, kesabaran,
keyakinan, kebenaran, penglihatan, kecerdasan, pemahaman, kewibawaan,
ketenangan, malu, petunjuk, hafalan, keberanian, ketajaman, ketaqwaan,
pemikiran, ampunan, kebijakan, kasih sayang, kelembutan, kedermawaan,
keagungan, pujian, kejujuran, keikhlasan, niat tekad, kesetiaan, keadilan,
keselamatan, kelurusan, ihsan, kerinduan, kebijaksanaan, pengabdian, ridha,
hati-hati, pengaturan, tawakkal, kemenangan, pertolongan, ketulusan,
kelapangan, pengampunan, penutupan, takut, harap, diam, cinta, ilham,
pengawasan, tobat, zuhud.
29


29
Al-Hakim al-Tirmidzi, Ghawr al-Umur, (Jakarta:Serambi,2005)Cet.I,h.164-165



27
2. Nafsu (An-Nafs)
Nafsu dikaitkan dengan definisi etimologi merupakan organ ruhani
manusia yang berpengaruh terhadap daya-daya indera dalam kaitannya
dengan proses alamiah biologis. Rupanya definisi ini terkait dengan aspek
mutual mengingat peran nafsu dalam penunjang kehidupan dan dalam aspek
non- mutual atau esensialnya nafsu memiliki definisi lain. Imam Al-Ghazali
memberikan definisi nafsu sebagai daya yang mengandung kekuatan marah
dan syahwat dalam diri manusia. Nafsu selalu dikaitkan dengan sumber sifat-
sifat buruk dan ini terkait dengan adab sufi jihad an-nafs. Definisi kedua
adalah mengandung makna lathifah yakni hakikat manusia dan jati dirinya.
30

Dua definisi ini sebenarnya bisa dikompromikan karena definisi pertama
adalah definisi aktif yakni terlibat dalam proses-proses daya kerja unsur-unsur
biologis sementara definisi kedua disebut definisi pasif karena aktivasi
definisi ini adalah ke-pasif-an definisi pertama.
Definisi pertama adalah penjelas atau faktor bagi kualitas final
(definisi kedua). Hal ini terkait dengan maqamat ahwal kaum sufi yang
dalam pencapaiannya dipengaruhi oleh daya-daya nafsu, suatu ketika, bila
nafsu dalam kondisi tenang dan mampu menyingkirkan kegaluannya dalam
menentang kehendak syahwatnya, maka nafsu demikian dinamakan dengan
nafsu yang tenang (al-mutmainnah). Apabila nafsu belum dapat tenang, tetapi
sudah berupaya menolak syahwat dan amarah disebut nafsu al-lawwamah.
Bila tidak ada upaya penentangan dan bahkan tunduk kepada syahwat dan
amarah dinamakan nafsu al-ammarah.
Nafsu dengan daya syahwat dan amarahnya bisa menguasai daya akal
yang berarti melemahkan daya kreatifitas tafakkur.Ini termasuk
kecenderungan jiwa manusia secara global sebagai hikmah penciptaan
manusia dari tanah. Nafsu adalah sumber sifat-sifat tercela sedangkan

30
Imam Al-Ghazali, Raudhah, (Surabaya:Pustaka Progresif,2002)Cet.II,h.62



28
antagonisnya adalah ruh (ar-ruh). Kaitan antara nafsu dan ruh sangat erat dan
merupakan pasangan kehidupan. Syekh Suhrawardi menjelaskan bahwa
semua makhluk adalah hasil dari nafsu (an-nafs) dan ruh (ar-ruh). Nafsu
adalah hasil dari ruh, sedangkan ruh adalah hasil dari perintah Tuhan. Sebab,
dengan diri-Nya sendiri tanpa sebab lain apapun, Tuhan menciptakan ruh,
dengan ruh dia menciptakan segenap makhluk lainnya.Nafsu sendiri
menciptakan sepuluh sifat tercela yaitu : hasrat (hawa), nifaq, riya, kufur,
takabur, kikir, tamak, tergesa-gesa, bosan, lalai.
31

Karakter nafsu yang merusak menghalangi esensi nafsu itu sendiri
untuk makrifat kepada Tuhan, kaidah ini berlaku mengingat ilmu sebagai
syarat makrifat sebenarnya adalah makanan bermanfaat yang menyebabkan
nafsu, akal dan hati berkembang. Nafsu bersifat positif bagi proses tafakkur
dengan syarat-syarat tertentu yang merupakan kualitas hati yang bersih
(akhlaqul karimah). Teori ini relevan dengan daya fungsional hati yang
berpengaruh pada nafsu. Bukankah jika hati sudah tenggelam dalam cinta
kepada dunia maka ilmu meningkatkan gejolak nafsu? Maka tafakkur telah
gagal yang berarti terbelenggu dalamperangkap hawa nafsu.
Firman Tuhan pada surat Al-Qaf ayat ke-22 :
.1l . _ s _. ..> !.:> ,.s ,!Ls `., ,l .,.>
Artinya:Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini,
Maka kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu,
Maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.
32

Ayat ini ditakhsis oleh sabda Nabi yang terkenal: Barang siapa telah
mengenal dirinya, maka benar-benar dia telah mengenal Tuhannya. Kedua
dalil ini menjelaskan tentang keterkaitan potensi-potensi jiwa dalam

31
Syekh Syihabuddin Umar As-Suhrawardi, Awarif al-Maarif,(Bandung:Pustaka Hidayah,
1998) Cet.I,h.138
32
Tim Departemen Agama,Al-Quran dan Terjemahnya,(Semarang:Toha Putra,1995), h.853



29
pencapaian makrifat. Tutup pada ayat di atas adalah nafsu dan pandangan
tajam adalah keterbebasan hati dari pengaruh nafsu. Ada sifat antagonis
dalam merealisasikan kualitas esensial hati sebagai syarat mutlak
makrifatullah. Sementara kita tahu, salah satu kualitas hati adalah tafakkur
sebagai wujud kolaborasi dengan akal. Sebagai contoh, ketakaburan sebagai
wujud nafsu bergejolak dalam jiwa, dan kita menyebutnya faktor negatif. Lalu
dengan kualitas ilmu pada akal (tafakkur) yang mengakibatkan pengetahuan
terhadap sifat ini (tercela), sehingga didapat kualitas nafsu yang tidak
mungkin dihinggapi ketakaburan tadi. Ini adalah isyarat lain dari sabda Nabi
tadi dan dalam hal ini taffakur bersifat dominan positif.
J ika sebaliknya, maka ketakaburan akan dominan dan tafakkur bersifat
negatif. Inilah kualitas jiwa yang rendah (nauzubillah). Dibutuhkan upaya
keras dalam mengendalikan nafsu (riyadhah). Dalam tasawuf, riyadhah
dianggap sebagai bagian dari tharekat, sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat Al-Ankabut ayat ke-69:
_, ..> !., .,. .l !.l,. | < _.l _,..`>.l
Artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami,
benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami.
dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.
33

Maka seyogyanya bagi orang yang berakal, mengekang keinginan
nafsunya dengan lapar karena kelaparan (puasa) adalah pengekangan terhadap
musuh Tuhan (setan) dan kesuburan setan adalah kesenangan nafsu,makanan
dan minuman. Nabi bersabda,Sesungguhnya setan berjalan dalam diri anak
Adam bersama peredaran darah, maka persempit jalannya dalam lapar.
34


33
Tim Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya,(Semarang:Toha Putra, 1995),h.638
34
Imam Al-Ghazali, Di balik Ketajaman Mata Hati, (Jakarta: Pustaka Amani, 1997), Cet.I,
h.29



30
Keterangan di atas mengisyaratkan tujuan mujahadah dan riyadhah
adalah penyempurnaan dan penyucian hati. Antara hati dan potensi-
potensinya terdapat relasi tertentu dan antara hati dan tubuh bersifat saling
mempengaruhinya. J ika hati telah dikuasai oleh daya syahwat dan amarah
(nafsu) maka perbuatan tubuh menjadi tidak baik yang mengakibatkan akal
sebagai sarana tafakkur tidak berfungsi, untuk mengembalikan fungsi hati dan
akal diperlukan mujahadah dan riyadhah; seperti: bangun malam, puasa, diam
(uzlah) dan awal-awal lainnya secara konsisten demi mengendalikan nafsu.
Jadi, cara untuk menyucikan hati adalah dengan membiasakan diri melakukan
perbuatan-perbuatan taat sehingga nafsu menjadi terbiasa dan selalu terdorong
untuk melakukan perbuatan tersebut.
Antara jiwa dan tubuh terdapat hubungan yang erat karena perbuatan-
perbuatan yang terus dipaksa untuk dilakukan oleh tubuh dapat menjadi sifat
bagi nafsu. J ika karakter ini dapat dipertahankan maka daya akal dan hati akan
berkembang dan membantu proses kesinambungannya, salah satunya melalui
tafakkur.Kondisi ini bersifat terus menerus sepanjang hayat dan inilah jihad
akbar itu.
3. Hati (Al-Qalb)
ImamAl-Ghazali dalam bukunya Kimia As-Saadah memberikan
dua definisi bagi hati. Satu bermakna fisik yaitu daging yang berbentuk
sanubar, yang terdapat di bagian kiri dada, dimana di dalamnya terdapat
rongga yang berisi darah hitam. Makna kedua adalah sesuatu yang amat halus
(lathifah), tidak kasat mata dan tidak dapat diraba, dimana hati mempunyai
potensi untuk mengenal dan mengetahui sesuatu.Ia juga sebagai pihak yang
diajak bicara yang dikenakan sangsi, cercaan dan obyek yang akan diminta
pertanggungjawaban.
35
Imam Al-Ghazali juga menyamakan definisi hati
dengan ruh (Ar-ruh) dari sisi makna batin, sementara dari makna lahir, ruh

35
Imam Al-Ghazali,Kimia As-Saadah,(Surabaya:Pustaka Progresif,2002)Cet.II,h.84



31
merupakan jenis (benda) yang sangat halus yang bersemayam dalam rongga
hati jasmani, yang berperan dalam memberikan cahaya kehidupan.
Definisi di atas diperkuat oleh Syekh As-Suhrawardi dalam bukunya
Awarif Al-Maarif. Beliau berkata: Makna hati adalah suatu titik, yang
karena lingkungan eksistensi bergerak dan yang dengannya ia menemukan
kesempurnaan. Rahasia keazalian pun bergabung dengannya. Didalamnya,
sumber penglihatan mencapai batas visi dan ia pun dimuliakan. Keindahan
dan keagungan aspek sang Baqi, singgasana Tuhan ada dan tiada, ruh (Ar-ruh)
dan nafsu (An-nafs), berzakh antara ada dan tiada, ruh (Ar-ruh) dan nafsu (An-
nafs), samudera negeri dan kerajaan, pengawas dan yang diawasi raja,
pencinta dan yang dicintai Tuhan. Makna perkawinan ruh dan nafsu adalah
hasil eksistensi hati.
36

Dua definisi tadi telah memberikan gambaran bagi kita bahwa hati
sebagai esensi manusia merupakan wadah dalam makrifat kepada Tuhan. J ika
kita kembali ke analogi maka hati adalah raja, akal dan nafsu sebagai
pembantu-pembantunya. Kebahagiaan akan dicapai jika sang raja berkuasa
dengan adil, dengan bantuan perdana menteri (akal) dan penguasaan terhadap
para pemberontak (nafsu). Makrifat yang kita dambakan adalah pengembalian
fungsi hati dalam mencapai hakikat fitrahnya sendiri yaitu mencintai dan
mengenal Tuhannya sebagai wujud kebahagiaan sejati.
Hati memiliki dua pintu dalam hubungannya dengan ilmu; pertama
bagi impian-impian kedua, bagi alam jaga, yaitu pintu yang tampak keluar.
37

Untuk memahami pintu pertama, kita dapat menganalisanya pada proses
terjadinya mimpi. Dalamkeadaan tidur, daya-daya indera tertutup dan daya-
dayya batin terbuka. Daya-daya batin ini mempunyai akses dalam
penyingkapan alam malakut (kerajaan langit) dan lauh al-mahfudh.

36
Syekh Syihabuddin Umar As-Suhrawardi,Awarif al-Maarif,(Bandung:Pustaka Hidayah,
1998) Cet.I, h.217-218
37
Imam Al-Ghazali,Ajaib Al-Qalb,(Surabaya:Pustaka Progresif,2002)Cet.II,h.61



32
Sedangkan pintu kedua terkait erat dengan daya fungsional indera, yang
dalam hubungannya dengan pintu pertama merupakan hijab (penghalang).
Atas dasar inilah, ilmu-ilmu digolongkan menjadi teoritis (pintu kedua) dan
gaib ladunni (pintu pertama). Kaum sufi mengatakan pengetahuan yang
didapat di dalam kondisi tidur dan jaga, lebih memungkinkan makrifah dari
posisi tidur dan jaga dua aktivitas yang satu berfungsi untuk menyingkapan
alam gaib yang secara simultan mendapatkan akses aplikasi definitif bagi
konsep-konsep gaib kepada pemahaman-pemahaman inderawi, yang terjadi
pada kondisi jaga.
Janganlah sekali-kali menyangka bahwa kekuatan melihat alam
malakut hanya terbuka pada saat tidur dan mati saja. Tetapi kondisi ini dapat
juga terbuka dalamkeadaan jaga bagi mereka yang benar-benar berjuang,
melatih diri dan menghindarkan diri dari cengkraman hawa nafsu, angkara
murka, pekerti buruk dan perbuatan-perbuatan hina.
38
Inilah dasar tarikat
kaum sufi yang diwujudkan dalam metode-metode zikir tertentu dengan
bimbingan seorang guru spiritual. Intinya adalah penyucian hati demi
membuka potensi penyingkapan bagi alammalakut. Inilah rahasia ke-ummi-
an Rasulullah sebagaimana firman-Nya pada surat Al-Muzammil ayat ke-8:
: `. ,, _`. , . ,l| ,.,.
Artinya: Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan
penuh ketekunan.
39

Ke-ummi-an adalah refleksi dari ayat ini, yang bisa ditafsirkan sebagai
pemusatan hubungan dan kaitan dengan segala sesuatu, pembersihan hati dari
kecenderungan duniawi, pasrah secara total kepada Tuhan.I niah metode
sufistik dan selainnya adalah metode pembelajaran.

38
Imam Al-Ghazali, Ajaib Al-Qalb, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002) Cet. II, h. 63
39
Tim Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1995),
h. 988



33
Hati dalam pencapaian kesejatiannya dipengaruhi oleh faktor-faktor
tertentu. Faktor-faktor ini mempunyai daya kreasi yang sifatnya sebagai
motivator,motorik serta spionase. Hati ini juga dipengaruhi oleh daya-daya
malaikat dan syetan. Keduanya terlibat dalam perebutan kekuasaan bagi hati.
Dalam literatur sufi, daya-daya malaikat memberikan kekuatan positif melalui
wahyu ataupun ilham (ilmu) sedangkan kekuatan negatif setan adalah was-
was dan pemberontak nafsu. Firman Tuhan dalamsurat Ar-Rumayat ke-30:
`! ,> _l !,. > ,L < _.l L _!.l !,l. _,.,. _l>l <
l : _ `,1l _>.l . _!.l .l-,
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
40

Fitrah adalah adanya keyakinan terhadap ketuhanan yang bertempat di
hati, yang bertolak ukur kepada kesucian hati. Kesucian hati diaplikasikan
dalam wujud akhlak yang baik (akhlaqul karimah). Akhlak yang baik muncul
sebagai kondisi atau aspek batin dan hati yang telah mencapai fase
keseimbangan.
Imam Al-Ghazali memberikan formulasi keseimbangan sebagai
bagian dari pelatihan jiwa (tazkiyatun nafs). Sebagaimana kecantikan paras
lahiriah sama sekali tidak sempurna jika hanya mata yang indah,namun
hidung,mulut,dan pipi buruk maka demikian pula ada empat hal dalam hati
yang secara keseluruhan harus baik agar kebaikan akhlak menjadi sempurna.
Sebab jika keempat hal itu ada, keseimbangan, proporsional, tercapailah
kebaikan akhlak. Keempat hal itu adalah daya rasional, daya amarah, daya

40
Tim Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya,(Semarang:Toha Putra,1995),h.645



34
syahwat dan daya pengendali keseimbangan bagi ketiga daya sebelumnya.
41

Keempat daya ini akan diukur dengan standar Al-Quran dan Al-hadis, yang
berarti menempatkannya pada pengawasan akal. Otoritas akal bagi daya
rasional, daya amarah, daya syahwat adalah sebagai acuan reflektif sedangkan
daya pengendalian bertindak dalam hal-hal aktivitas. Prosesnya menggiring
hati pada tataran hikmah (jalan tengah). Hikmah ini meliputi kepandaian,
keberanian, kesederhanaan dan keseimbangan. Potensi-potensi hikmah inilah
yang memunculkan ketrampilan dan kecerdasan spiritual, seperti ketajaman
pikiran, keberanIan pendirian dan sebagainya. Pada taraf inilah tafakkur
berperan aktif dalam menjaga dan memelihara keseimbangan yang dibina di
dalam hati. Tafakkur menjadi salah satu tentara bagi hati. Proses tafakkur
dalam tahapan ini bisa dijelaskan melalui sinergisasi antara daya akal dan hati.
Kondisi hati pada tahapan inilah yang siap menangkap hakikat segala sesuatu,
laksana cermin yang merefleksikan setiap bayangan.
Ketika hakikat segala sesuatu telah ditangkap gambarannya dalam hati
maka akal akan menerjemahkannya dalam bahasa rasional. Terjemahan ini
disebut ilmu dan akan mengalami reproduksi secara dinamis seiring dengan
kapasitas akal itu sendiri. Inilah tafakkur.

C. Penyimpangan Dalam Bertafakkur
J ika kita kembalikan kepada prinsip tafakkur secara esensial,yang mana
secara langsung dan tidak langsung sangat tergantung terhadap potensialisitas hati
dan perangkat-perangkatnya, maka aplikasi tafakkur mutlak menuntut sinergisasi
harmonis komponen-komponen pendukungnya. Kualitas tafakkur terukur dengan
daya kerja akal dan sintesa ilmu yang dengan standarisasi Al-Qur'an dan Al-
Hadis. Secara alamiah ,tafakkur rentan dengan penyimpangan-penyimpangan
struktural. Hal ini lumrah jika dikaitkan dengan aspek relativitas hati yang terbuka

41
Imam Al-Ghazali,Metode Menaklukkan Jiwa,(Bandung:Mizan,2002)Cet.II,h.87



35
terhadap dua pengaruh fitrah penciptaanya yaitu Tashdiq (pembenaran) dan
Juhud(pengingkaran).
Tashdiq adalah salah satu tentara akal dan merujuk pada fitrah
makhmurah (terfermentasi), sedangkan Juhud termasuk tentara Jahal (nafsu)dan
berkaitan dengan fitrah mahjubah (terhijab).
42
Tafakkur adalah bagian dari
Tashdiq karena dalam prosesnya tafakkur berkolaborasi dengan cahaya
keimanan. Cahaya keimanan adalah implementasi tatanan ruh suci yang siap
menerima hakikat-hakikat imani dan perkara-perkara yang haq (kebenaran),
dengan kata lain antagonis dengan kebodohan,kebatilan,dan aspek negatif lainnya
yang membawa hati kepada hijab yang menjauhkannya dari kebahagiaan
makrifat. Kondisi Tashdiq adalah kondisi ideal bagi eksplorasi tafakkur dan
senantiasa tuntutan kondisi ini membuat konflik tanpa batas dengan Juhud.
Konflik ini dalam batas-batas tertentu mengakibatkan penyimpangan dalam
bertafakkur. Juhud diwujudkan dalam keterhijaban hati dalam esensi
kebenarannya dengan adanya hijab-hijab penghalang fitrah.Ada tiga macam hijab
yang akan menghalangi munculnya fitrah yaitu:hijab alam (jiwa rendah), hijab
konvensi (sosial) dan hijab salah paham.
43
Hijab-hijab inilah yang membuka
akses sifat-sifat tercela yang mengkontaminasi kesucian hati dan secara laten
berpeluang mengakibatkan penyimpangan bertafakkur.
Bentuk-bentuk penyimpangan dalam bertafakkur bisa dipicu oleh taklid
dan penolakan-penolakan integratif terhadap kaidah-kaidah tertentu. Dalam
prosesnya, penyimpangan dalam tafakkur membuat hijab bagi hati yang
mengakibatkan daya akal mengalami malfungsi dalam kesejatiannya sebagai
posos pengendali bagi hati. Keterperdayaan dan kepercayaan secara mutlak
terhadap akal akan menimbulkan kekeliruan-kekeliruan besar dalambertafakkur
bagi pelakunya. Padahal pendayagunaan akal ini harus selalu terkait dengan hati

42
Imam Khomeini, Insan Ilahiah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004) Cet. I, h.131
43
Syah Waliyyullah Ad-Dihlawi, Argumen Puncak Allah, (Jakarta: Serambi, 2005) Cet.I,
h. 234



36
sebagai subyek terpenting bagi referensi-referensi tafakkur sebagaimana yang
diketahui tentang hakikat hati dan fungsinya. Tetapi dalamkasus ini yang terjadi
justeru sebaliknya, akal difungsikan secara otonom dan dominan daripada hati.
Sekalipun terkadang tafakkur ini bersifat positif secara praktis tapi jika dikaitkan
dengan dengan konsep makrifatullah tetap merupakan hijab terbesar. Firman
Allah Taala pada surat Al-J in ayat ke26-27:
`l.s ,-l `L`, _ls .,,s .> __ | _. _.. _. _. ..| ,l`.
_. _,, ,., _. .l> .. __
Artinya:Dia mengetahui yang gaib,tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada
siapapun tentang yang gaib itu.Kecuali kepada Rasul yang
diridhaiNya,maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga
(malaikat) di depan dan di belakangnya.
44

Ayat ini menjelaskan tentang pengetahuan gaib (ladunni) yang hanya
diberikan kepada orang yang diridhaiNya dengan dikuatkan oleh daya-daya
malaikat . Ayat ini adalah dalil tak terbantahkan tentang bagaimana pengetahuan
gaib yang termasuk rahasia-rahasia ke-Tuhan-an hanya bisa diakses oleh kaum
Rasul yang diketahui terkenal dengan kesucian hatinya dan bukan dengan
penalaran fungsi akal. Konsep transendensi pengetahuan gaib inilah yang
diingkari oleh akal sebagai wujud interaksinya dengan pengetahuan - pengetahuan
material-elementer. Tersirat dalam ayat tadi tiga tingkatan hijab yang
mengindikasikan konsekuensi daya akal yang menyimpang dari esensialisitasnya.
Tingkatan pertama adalah turunan pertama dari gerbang makrifat yang
disebutkan dalam isyarat ayat Dia mengetahui yang gaib. Dalam literatur sufi
,makrifat tertinggi adalah kebodohan itu sendiri sebab tidak ada yang mengenal
hakikat Allah Taala kecuali diriNya sendiri atau jika dianalogikan pengetahuan
yang diberikan Tuhan kepada manusia hanya seperti setetes air dari sanudera luas

44
Tim Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang:Toha Putra,1995), h.986



37
sebagaimana juga analogi pada surat Al-Kahfi. Pengetahuan gaib (makrifat)
adalah pijakan terakhir daya akal dalam kapasitasnya sebagai sarana pengetahuan
teoritis untuk berafiliasi dengan cahaya Ilahi sebagai modus dan supremasi
independen bagi pengungkapan-pengungkapan makrifat. Ketika daya akal masih
begitu kuat dalam tafakkur ilmiah yang meliputi kajian-kajian teoritis dalam
tatanan muamalah , aqidah , fiqih dan lain-lain telah menjadi hijab bagi toleransi
makrifatnya.
Kasus-kasus ini banyak menimpa kaum salikun , abid, serta kaumsufi yang
masih dalam taraf pendakian spritual . Jadi, pada tingkatan pertama relasi antara
akal dan hati positif karena akal telah berfungsi dalamsuplementasi ilmu bagi hati
(tafakkur) sekalipun jika diukur dengan hakikat makrifat sebagai tujuan final tetap
merupakan sebuah penyimpangan dalamwujud hijab.
Tingkatan kedua adalah turunan dari tingkatan pertama yang diisyaratkan
dengan perkataan ..kecuali kepada Rasul yang diridhaiNya.. adalah hegemoni
ke-Tuhan-an yang terkait dengan aspek hijab internal manusia. Daya akal dalam
keadaan ini mengalami gangguan dari daya-daya luar seperti: daya emosi,
syahwat, setan yang mengakibatkan tafakkur mengalami penyimpangan.
Kasus konkritnya adalah fanatisme madzhab dan taklid buta, ikhtilaf
negatif yang menimpa ahli-ahli kalam, fiqh filsafat dan juga menimpa kaum sufi
yang masih dalamtahapan mujahadah. Dalam ushul fiqh misalnya ada persoalan -
persoalan yang memungkinkan timbulnya penafsiran -penafsiran yang berbeda
atau yang berasal dari qiyas, sehingga orang menafsirkan tergiring kepada suatu
keputusan hukum yang berbeda
45
. Skema tafakkur seperti ini rentan dipengaruhi
daya-daya negatif sehingga tafakkur kehilangan akses dalam penyempurnaan
kesucian hati.
Penyimpangan ini didasarkan atas adanya intervensi faktor-faktor luar
bagi akal sebagai akibat adanya interaksi dengan hati. Penyimpangan ini terkait

45
Imam As-Syafii, Ar-Risalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), Cet. V, h. 339



38
dengan dengan subyektifitas hati sebagai faktor induktif bagi konsepsi-konsepsi
ilmu pengetahuan. Seperti diketahui sebelumnya, upaya-upaya penyucian hati
telah menarik akal sebagai sebagai mediator penting dalam pencapaian makrifat
sebagai tujuan penyucian hati (mujahadah). Dalam sufisme, kondisi-kondisi ini
(maqmat ahwal) menciptakan kontraksi-kontraksi yang ditimbulkan oleh daya-
daya malaikat, setan, nafsu, emosi yang membawa perubahan-perubahan bagi
hati.
Daya akal mengalami pengaturan-pengaturan generatif dan bahkan bisa
kehilangan fungsi sebagai akibat faktor luar tadi. Dalam hal ini,akal akan
mengalami dua kondisi yakni kondisi yang menerima cahaya hati sebagai
implementasi kesucian serta kondisi kegelapan sebagai atribut karena
kontaminasi dengan faktor-faktor negatif. Kondisi pertama adalah medan
tafakkur sedangkan kondisi kedua mengalami penyimpangan-penyimpangan.
Contoh aplikatifnya, seperti daya setan akan mempengaruhi akal sehingga
terjadi keraguan , was-was, sikap berlebih-lebihan, tergesa-gesa dalam mengambil
keputusan serta adanya kerancuan dalamproses-proses tafakkur. Daya nafsu akan
mematikan kreatifitas tafakkur sedangkan daya emosi akan mendorong pemikiran
emosional yang melahirkan pemikiran-pemikiran fanatis dan sebagainya.
Penyimpangan dalambentuk ini juga bisa dijelaskan dengan teori konvergensi .
Teori konvergensi berpendapat bahwa di dalam perkembangan individu
itu dasar pembawaan (bakat) maupun lingkungan memainkan peranan penting.
Bakat sebagai kemungkinan telah ada pada masing-masing individu, akan tetapi
bakat itu perlu menemukan lingkungan yang sesuai supaya dapat berkembang.
Jadi, dalam prosesnya daya akal mengalami benturan -benturan internal dan
eksternal yang mengakibatkan adanya pengaruh -pengaruh polutif bagi
optimalisasi fungsional akal.
Tingkatan ketiga adalah turunan tingkatan kedua yang diisyaratkan dengan
perkataan Ilahi:Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat)di depan dan di
belakangnya. Ayat ini mengisyaratkan aspek fitrah manusia dengan daya



39
kemanusiannya sebagai subyek yang yang membutuhkan daya-daya malakuti
bagi pemenuhan kebutuhannya.
Tafakkur telah difungsikan bagi pengembangan-pengembangan ilmu-ilmu
teoritis seperti ilmu-ilmu sains dan teknologi (non- agama). Sehingga daya hati
terkadang tidak berfungsi dan terjadilah proses rasionalisasi murni. Padahal akal
sendiri tidak memiliki apa-apa.
Pengetahuan yang ada di dalamnya berkat kemampuan daya tampung
yang dimilikinya. J ika kemampuan semacam ini ada,tentu apa yang telah
dijelaskan Tuhan tentang diriNya sendiri lebih utama untuk diterima daripada
logika pikiran.
46
Penyimpangan sifatnya menyeluruh bagi setiap kalangan awam
dan non- Islam.
Diantara bentuk konkritnya adalah sikap keterperdayaan terhadap akal dan
percaya secara mutlak kepadanya(logika murni). Padahal Tuhan telah membuat
batas akal dalam jangkauan pemahamannya, sebagaimana Dia membuat batas
bagi penglihatan dan pendengaran .
Ketergantungan dan kepercayaan secara mutlak terhadap akal ini akan
menimbulkan kekeliruan-kekeliruan besar dalam berpikir. Maka muncullah
darinya sekolah-sekolah pemikiran materialis yang ingkar.
Paradigma lain dari penyimpangan ini bisa dijelaskan dengan logika analogi.
Dalam logika analogi,wujudmerupakan sebab absolut dari suatu fenomena
agar memenuhi prinsip pasti ada (mewujud) maka dalam kegiatannya ,
tipologi dari gambaran kesimpulan ini adalah deduksi akibat dari sebab.
Tetapi,jika sesuatu yang dari segi wujud bukan sebab absolut maka
suatu akibat tidak dapat disimpulkan (berasal) darisebab karena sekaitan dengan
eksistensi sebab absolut, suatu akibat hanya menemukan kebutuhan ihwal
eksistensi dari dirinya (sebab absolut).

46
Syekh Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil, Tidakkah Kalian Berpikir, (Jakarta: Cakrawala,
2008) Cet.I. h. 467



40
Dapat dikatakan bahwa suatu akibat mempunyai kebutuhan deduktif
(wujud bil-qiyas) terhadap sebab absolut.
47
. J ika dalam hal ini ,wujud adalah
akal sebagai sebab absolut bagi fenomena ilmu(being science) maka dalam
aplikasinya terjadi proses dimana eksistensi sintesa ilmu mengakibatkan
ketergantungan mutlak tanpa adanya penyaring (filter) sesuai tatanan kondisional
hati. Akibatnya daya akal menjadi hijab murni bagi hati. Secara global
penyimpangan ini mewabah di kalangan ademisi.


47
M.T.M Yazdi, Freedom, (Jakarta:Al-Huda,2006),Cet.I h.115
41
BAB III
IMAM AL- GHAZALI

A. Riwayat Hidup
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Ibn Muhammad Ibn
Ahmad, yang karena kedudukan tingginya dalam Islam beliau digelari Hujjatul
Islam. Beliau adalah tokoh pemikir Islam dan juga tokoh pemikir kemanusiaan.
Ayahnya bekerja sebagai pemintal wol dan karena alasan ini beliau terkenal
dengan sebutan Al-Ghazali yang berarti pemintal wol. Al-Ghazali lahir di
Thus,kawasan Khurasan,tahun 450 Hijriah. Ayahnya dengan kehidupannya yang
sederhana adalah seorang yang saleh dan menggemari kehidupan sufi.Menjelang
ajalnya ,ayahnya menitipkan Imam Al-Ghazali kecil dan saudaranya Ahmad
kepada seorang sufi . Karena kefakirannya sang sufi akhirnya memutuskan untuk
menyerahkan kedua anak tersebut ke sebuah madrasah di Thus untuk memperoleh
pendidikan dan biaya hidup . Disinilah awal mula perkembangan intelektual dan
spritual Al-Ghazali.
1
Pada masa kecilnya, beliau belajar pada seorang fakih yang bernama
Ahmad Al-Radzkani di kota Thus. Lalu beliau pergi ke J urjan dan belajar pada
Imam Abu Nashr Al -Ismaili. Setelah itu beliau kembali ke Thus dan terus pergi
ke Nishapur.Di sana beliau belajar pada seorang teolog aliran Asy'ariyyah yang
terkenal , Abu Al-Maali Al-Juwaini,yang bergelar Imam Al-Haramain. Imam Al-
Haramain adalah pemimpin perguruan tinggi Nizhamiah.
2
Dibawah bimbingan
Imam Al-Haramain ,beliau mulai mendalami disiplin ilmu seperti:fiqih, ushul
fiqih, teologi, logika, filsafat, bahasa dan lain sebagainya. Kecerdasannya yang
luar biasa telah membuat kekaguman di hati gurunya sehingga gurunya
menggelarinya Bahr Mughrig yang berarti samudera yang menenggelamkan.
Saat itu beliau telah merangkap menjadi asisten gurunya dan telah sanggup
memecahkan masalah -masalah akademis dalam berbagai kajian ilmu. Beliau juga

1
H.M Zurkani Yahya,Teologi Al-Ghazali,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1996)Cet.I,h.63-64
2
Dr.Abu al-Wafa al-Ghanimi,Sufi Dari Zaman Ke Zaman,(Bandung:Pustaka,1997)Cet.II,h.148


42
telah menulis karya pertamanya yang berjudul Al-Mankhul Fi Al-Ushulserta
memperdalam sufisme kepada Abu Ali Al-Fadhl Ibn Muhammad Ibn Ali Al-
Farmadi.
3

Ketika Imam Al-Haramain wafat, beliau keluar menuju lembaga Nidzamul
Muluk, tempat para pakar berkumpul.Maka sejak saat itu para pemuka pakar
ilmiah Islam mengakuinya dalam setiap forum, karena pandangan dan ucapannya
yang mendalam. Mereka pun mengenal sifat kemuliaan dan akhlaknya,ketika
bergaul dengan sesama sahabat. Maka sejak saat itu, beliau diserahi mengajar di
Madrasah Nidzam, di Baghdad sejak tahun 484 H, hingga menjadikannya sangat
populer.
4
Tentu saja setelah menjadi guru besar di perguruan besar ini beliau
masih terus menimba dan memperdalam banyak cabang ilmu pengetahuan. Beliau
memberi kuliah teologi dan fiqih. Kuliah-kuliahnya dihadiri oleh ulama-ulama
terkenal dan termasuk diantaranya para pemuka madzhab Hambali . Kejadian ini
sungguh langka mengingat beliau bermadzhab Syafii dan di saat itu konflik antar
madzhab masih kental.
Disela-sela kegiatannya dalam mengajar , beliau juga memperdalam
filsafat dan dalam tempo dua tahun secara otodidak beliau telah menguasai filsafat
Yunani, terutama yang sudah diolah oleh filsafat Islam seperti: Al-Farabi, Ibnu
Sina,Ibnu Maskawaih dan mereka yang tergabung dalam Ikhwan Al-Shafa.
Penguasaan beliau terhadap filsafat dibuktikan dengan karyanya yang
berjudulMaqashid Al-Falasifah yang menjelaskan tentang tiga pokok bahasan
utama filsafat Yunani (logika, metafisika dan fisika).
5
Barangkali karena
penguasaan beliau yang mendalam terhadap filsafat inilah yang membuat beliau
bisa mengkompromikan metode-metode dan konsep-konsep filsafat non-Islam
untuk diselaraskan dengan nilai-nilai Islam yang terkait. Sebaliknya pula ajaran
filsafat yang bertentangan dengan ajaran Islam beliau menentangnya dengan keras
bahkan memberikan fatwa kafir kepada filosof yang pendapatnya dianggap
membahayakan akidah kaum muslimin. Ini terlihat dalam kitabnya Tahafut Al-

3
H.M Zurkani Yahya,Teologi Al-Ghazali,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1996)Cet.I,h.71
4
ImamAl-Ghazali,Jawahirul Al-Quran,(Surabaya:Risalah Gusti,2001)Cet.III,h.xii
5
H.M Zurkani Yahya,Teologi Al-Ghazali,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1996)Cet.I,h.72



43
Falasifah yang isinya menjelaskan kerancuan ajaran filsafat dalam topik tertentu
yang sekaligus memberikan argumen penyanggah yang membuat keutuhan akidah
Islam tetap terjaga. Buku ini dengan brilian mematahkan setiap argumen-argumen
filsafat yang dianggap berbahaya bagi akidah Islam dan sekaligus membuktikan
bahwa dominansi akal sebagai basis pengetahuan puncak yang didewa-dewakan
kaum filsuf telah gagal menjelaskan ranah-ranah pengetahuan ghaib.
Sebagai ulama dengan pengetahuan yang luas ternyata beliau sama sekali
tidak mendapatkan ketenangan jiwa bahkan membuat beliau tertimpa krisis psikis
yang kronis. Akibat keadaan ini, beliau lalu meninggalkan kedudukannya sebagai
guru agung dan beliau memutuskan untuk mengembara dan menjalani kehidupan
sufistik. Dalam aliran sufi inilah beliau mendapatkan ketenangan batin dan
berhasil pula menghilangkan segala keraguan yang pada akhirnya mengantarkan
beliau pada pengetahuan hakiki(makrifatullah). Beliau menjalani praktek -praktek
sufistik selama kurang lebih sepuluh tahun sambil menyempatkan diri juga
menulis buku. Saat itulah kitab magnum opusnya Ihya Ulumuddin berhasil
beliau tulis.
Tahun 499 Hijriah beliau kembali ke Baghdad untuk mengajar kembali di
perguruan Nizhamiah. Tetapi beliau tidak lama mengajar dan pada akhirnya beliau
kembali ke Thus. Di Thus beliau mendirikan madrasah yang bercorak tasawuf dan
sebuah pondok tempat praktikum para sufi . Akhirnya pada 14 Jumadil Akhir
tahun 505 Hijriah Imam Al-Ghazali wafat.
6
Semoga Tuhan meridhai amal-amal
beliau. Amin.

B. IMAM AL-GHAZALI SANG HUJJATUL ISLAM
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali termasuk diantara mercusuar ulama
Islam secara umum dan tokoh spritualitas secara khusus. Beliau termasuk salah
seorang terpenting dalam sejarah pemikiran Islam dalam meletakkan gagasan -
gagasan baru dalam eksplorasi agama. Pikiran-pikirannya membawa reformasi
bagi ajaran Islam dan sekaligus membawa paradigma ekslusif bagi pemahaman

6
K.H M.Sholikhin:Filsafat dan Metafisika Dalam Islam,(Bandung:Narasi,1998)Cet.III,h.184



44
ajaran Islam. Di tangannya ,Islam kembali hadir dengan kapasitas ekstra yang
diwujudkan dalam tafsiran-tafsiran brilian dengan daya analisis yang tajam ,padat
dan penuh visi. Belum ada ulama yang memiliki muatan intelektual yang begitu
mumpuni dan bahkan sampai sekarang popularitas beliau masih menggema
,sampai-sampai tercipta adagium yang sekiranya ada Nabi setelah Nabi
Muhammad SAW beliaulah orangnya.
Sebelumnya,kehidupan pemikiran pada zamannya sangat memprihatinkan
karena kaum Muslim terbagi-bagi menjadi beberapa kelompok: kelompok
defensif yang terdiri atas ulama agama yang telah merasa puas dengan Al-Qur'an
dan Al-Hadis (fanatik), kelompok moderat yang berusaha mengikuti berbagai
madzhab filsafat Yunani dan logika Aristoteles , kelompok Syiah Batiniah yang
berpendapat bahwa nas-nas agama mengandung tafsiran batin yang tidak
diketahui kecuali oleh orang-orang yang hatinya jernih, kelompok sufi yang
percaya bahwa makrifat kepada Tuhan bisa dicapai oleh pencari hakikat melalui
cahaya Ilahi bukan dengan daya akal, dan kelompok filosof yang mengikuti
filsafat plato modern.
7
Di situasi yang sarat dengan persaingan dan kemajuan
berbagai macam ilmu pengetahuan inilah beliau tampil sebagai penyaringuntuk
menjernihkan kembali ajaran Islam yang pada masa ini terkesan formal. Belum
lagi krisis moral telah mewabah dan agama dengan cara pandang berbagai
golongan tidak berhasil memberi perubahan dan solusi dan cenderung hanya
menciptakan basis-basis teologi diskursif dan mengabaikan sisi spritualnya yang
merupakan esensi ajaran Islam.
Salah satu kontribusi teologis yang paling penting dari ImamAl-Ghazali
adalah keunggulan yang beliau sematkan pada kesiapan manusia yang dipatrikan
Tuhan(isti'dad) menuju makrifatullah. Hal tersebut merupakan kualitas inheren
pada hati manusia yang membentuk unsur-unsur dalam kesiapan ini. Dalam
pandangan Imam Al-Ghazali ,hati merupakan pusat modus pengetahuan manusia
yang paling signifikan.
8
Orientasi ajaran Imam Al-Ghazali yang menitik beratkan

7Husain Ahmad Amin,Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam,(Bandung:PT Remaja
Rosdakarya:2001)Cet.VII,h177
8
John Renard,Mencari Tuhan:Menyelam Ke Dalam Samudera Makrifat,(Bandung:Mizan Media
Utama:2006)Cet.I,h.64


45
pada kesucian hati telah berhasil memberikan formula -formula yang berhasil
memadukan aspek akidah sebagai poros pencapaian esensi kebahagiaan dengan
aspek psikologis manusia dengan penjelasan yang memakai tafsiran-tafsiran
esoteris. Dalam karya-karyanya seperti Ihya Ulumuddin ,Minhajul Abidin ,Kimia
As-Saadah banyak membahas tentang karakteristik hati dan jalan-jalan
penyuciannya agar sampai kepada makrifatullah. J adi, jelaslah bahwa Imam Al-
Ghazali telah memformulasikan doktrin-doktrin sufisme yang cenderung kepada
aspek esoteris menjadi sebuah jalan dan mediator tunggal bagi kebahagiaan hakiki
manusia.
Dalam ajaran tasawufnya , Imam Al-Ghazali menganut doktrin tasawuf
sunni yang berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah Wal- Jamaah. Dari paham
tasawufnya itu, beliau menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang
mempengaruhi para filsuf Islam,sekte Ismailiah dan aliran Syiah,Ikhwanus Shafa
dan lain-lainnya. Juga beliau menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ketuhanan
menurut Aristoteles,antara lain dari teori emanasi dan penyatuan.
9
Dalam ajaran
sufismenya banyak dipengaruhi oleh guru -guru sufi sunni seperi: Al-Harits Al-
Muhasibi, Imam Junaid, Abu Thalib Al-Makki dan lain-lain yang mana sangat
memprioritaskan Al-Qur'an dan Al -Hadis sebagai landasan teoritisnya ,yang
kemudian dipadukan dengan pengalaman -pengalaman spritual dan penyingkapan
mistis. Intinya adalah penerimaan cahaya Ilahi untuk menyingkapkan segenap
hakikat pengetahuan. Pengalaman -pengalaman spritual dipetakan dengan konsep
Maqamat Ahwal sementara dalam setiap tahapannya mutlak memerlukan seorang
mursyid. Imam Al-Ghazali menolak teori emanasi dan penyatuan dengan Tuhan
karena keduanya hanyalah sangkaan (zhan) sebagai bagian dari hal yang
merupakan lintasan-lintasan hati ketika terkoneksi dengan alam malakut dan ini
sesuai dengan aspek rububiah dan ilahiah.
Ajaran Imam Al-Ghazali juga telah membuktikan bahwa aspek akidah
dalam agama tidak mungkin dibuktikan secara inderawi (rasional). Dalam
kitabnya Tahafut Al- Falasifah beliau menyerang filsafat dan menyampaikan

9
Dr.Abu Al-Wafa Al-GanimiAl-Taftazani,Sufi Dari Zaman Ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997)
Cet.II, h. 156


46
pandangan apologis atau kecerobohan ahli-ahli filsafat tertentu dalam membahas
hal-hal yang ada kaitannya dengan aqidah, seperti dalam kasus kebangkitan pada
hari kiamat yang menurut filsuf hanya bersifat ruhani. Sebenarnya beliau tidak
anti filsafat dan kecamannya diarahkan pada teori dan kesimpulan mereka yang
dianggap berbahaya bagi aqidah kaum awam dan jelas-jelas bertentangan dengan
syariat Islam. Justeru beliau sendiri dalam menganalisa berbagai ilmu selalu
bercorak filsafat.
Faktor yang mendukung Imam Al-Ghazali sehingga berhasil dalam
mempelajari ilmu pengetahuan adalah kebebasan berpikirnya yang selalu beliau
pegang teguh. Akibatnya beliau menolak segala bentuk ikatan yang dapat
membatasi kebebasan berpikirnya,sekalipun ikatan itu berupa emas. Sikap itulah
yang beliau miliki sejak mudanya. Kemudian Imam Al Ghazali meneliti penyakit
yang mewabah pada masyarakat, yaitu buruknya akhlak yang secara umum
melanda berbagai kalangan. Maka beliau pun menyusun sebuah kitab yang
disinari dengan dasar Al-Qur'an dan Hadits yang merupakan kitab paling
fenomenal hingga saat ini. Kitab tersebut adalah Ihya Ulumuddin yang memuat
ajaran -ajaran muamalah dan interpretasi paling lengkap tentang Islam.
10

Seandainya beliau tidak menulis kitab yang lainnya kiranya cukup dengan kitab
itu beliau layak menyandang gelar seorang mujaddid. Di dalamnya(Ihya
Ulumuddin) beliau mengatakan bahwa akal memerlukan syara' dan sebaliknya
syara' membutuhkan akal. Beliau mengecam sikap taklid buta dan orang-orang
yang mencukupkan diri dengan akal murni,dan mengabaikan perbaikan hati
sebagai mediator kebahagiaan sejati. Secara global beliau berusaha memadukan
aspek syariat dengan ciri khasnya sebagai hukum -hukum lahir yang dipadukan
dengan aspek hakikat sebagai intisari keislaman seseorang.
Imam Al-Ghazali adalah reformer kelas dunia yang diakui
kecemerlangannya , tidak hanya dalam kalangan Islam tetapi juga dunia Barat.
Dunia Barat menyejajarkan beliau dengan reformer-reformer besar kalangan
Kristen seperti Kant,Saint Augustine,Martin Luther King. Namun tentu saja ada
perbedaan besar antara beliau dengan mereka yang jika dilihat dari sisi nilai

10
ImamAl-Ghazali ,Rambu-Rambu Mengenal Allah,(Surabaya:Pustaka Progresif ,2003)Cet.I


47
spritualnya benar-benar membuat tokoh-tokoh Barat kehilangan pamornya.
Sekalipun ada kesamaan beliau dalam aplikasi basis akal sebagai sarana
pencapaian kebenaran tetapi jelas sekali akal hanya dipahami dalam ranah-ranah
teoritis oleh kalangan intelektual Barat. Berlainan dengan Imam Al-Ghazali yang
menggunakan akal sebagai obyek pengkaji dan membawanya kepada ranah
keyakinan sejati (hati). Beliau telah sampai kepada hakikat kebenaran(makrifat)
sementara mereka tidak bahkan binasa di dalam pendewaan akal.
Beberapa prinsip ajaram Imam Al-Ghazali jika dikaitkan dengan karya-
karya beliau adalah :
1. Agama Islam adalah agama hakiki yang memfokuskan ajarannya kepada
kebahagiaan sejati(makrifat) dengan hati sebagai sarana vital dalam
pencapaian tujuan tersebut dan akal adalah pembantu hati , yang kemudian
diformatkan dengan sebuah jalan penyucian (tarekat) dengan wewenang guru
spritual yang akan melalui tahapan-tahapan spritual. Inilah ajaran utama
beliau yang tertuang dalam kitab utamanya Ihya Ulumuddin.
2. Supremasi Al-Qur'an dan Hadits sebagai sumber pengetahuan dan hukum
Islam harus diletakkan pada tatanan kutub kehidupan dalam interaksi aktif-
pasif manusia dalam menafsirkan setiap wacana-wacana kehidupan dan ilmu
pengetahuan yang tercermin dalam setiap bukunya yang khas dengan analisis
dengan rujukan Al-Qur'an dan Al-Hadits.Lihat kitabnya seperti
:Arbain,Minhajul Abidin,Jawahirul Al-Qur'an dan lain-lain.
3. Ilmu-ilmu furu'(cabang) harus diletakkan pada proporsi dan kapasitasnya
sebagai suplemen doktrinal dalam tatanan teoritis yang hanya efektif pada
kuantitas dan kualitas tertentu yang kemudian dijadikan referensi -referensi
mutual bagi kemaslahatan hati seperti dalam karyanya: Al-Wajiz, Al-
Mustashfa, Kimia As-Saadah dan lain -lain.
Beliau telah wafat ratusan tahun yang lalu tetapi ilmu -ilmu beliau sebagai
hujjah kebenaran Islam senantiasa bangkit dan secara sadar dan tidak sadar kita
sebenarnya tengah menikmati karomah beliau yang diwujudkan dalam aplikasi -
aplikasi ajaran dan produk pemikiran.Beliaulah Hujjatul Islamsejati agama ini.
48
BAB IV
KONSEP TAFAKKUR SUFISTIK PADA BUKU IHYA
ULUMUDDIN KARYA IMAM AL-GHAZALI


A. Keutamaan Tafakkur
Allah Ta'ala menyuruh untuk tafakkur mengenai kitab-Nya yang mulia dan
Dia memuji kepada orang-orang yang melakukannya.Allah Ta'ala berfirman:
_ `., < !.., :`- _ls ,`.`> ` ., _ _l> ,.,.l
_ !.`, !. 1l> ..> L., ,..>,. !.1 ,.s !.l _
Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka
peliharalah Kami dari siksa neraka.
1

Ibnu Abbas RA berkata : Sesungguhnya suatu kaum berpikir tentang Allah
Taala. Maka Rasulullah SAW bersabda : Berpikirlah tentang makhluk Allah
Taala dan janganlah kamu berpikir tentang Allah. Sesungguhnya kamu tidak akan
mengagungkan kedudukanNya.
2
Imam Al-Ghazali dalam bab ini hanya
memberikan dalil -dalil Al-Qur'an ,hadis-hadis dan atsar-atsar yang menyorot
tentang keutamaan tafakkur. Keutamaan tafakkur dikembalikan kepada keutamaan
ilmu karena tujuan tafakkur adalah sintesa ilmu yang posisinya lebih utama
daripada ibadah.
Sebagaimana yang tersebut pada atsar yang tercantum pada kitab Al-Ihya :
Dari Thawus ia berkata: Kaum Hawari bertanya kepada Nabi Isa bin Maryam:
Wahai Rasulullah ! Apakah di atas bumi hari ini ada orang yang sepertimu? Nabi

1
TimDepartemen Agama,Al-Quran dan Terjemahnya,(Semarang:Toha
Putra,1995)Cet.1995,h.110
2
ImamAl-Ghazali,Ihya Ulumuddin,(Semarang :Asy-Sifa,2003)Cet.2003, h.230


49
Isa menjawab: Ya, barang siapa yang ucapannya adalah zikir, diamnya adalah
berpikir (tafakkur) dan pandangannya adalah mengambil ibarat (iktibar), maka ia
adalah sepertiku. Jadi, jelas bahwa zikir, tafakkur dan iktibar bermuara kepada
ilmu sebagai representasi kualitas hati (maqam) yang dianalogikan dengan maqam
kenabian sebagaimana isi atsar tadi.
Dalil-dalil di atas memposisikan dua aspek sentral keutamaan tafakkur
yaitu ilmu dan ibadah. Ilmu menjadi asal yang diikuti dan wajib didahulukan atas
ibadah karena supaya bisa menghasilkan ibadah yang selamat dan benar.
3
Ibadah
akan rusak jika syarat-syarat fundamentalnya tidak terpenuhi dan menyeret
pelakunya kepada kebutaan jalan-jalan spritual. Rinciannya meliputi disiplin
ilmu-ilmu aqidah, fiqih, tasawuf dan ilmu-ilmu pendukung lainnya. Kesesuaian
antara ukuran ilmu dan relevansinya dengan tatanan spritual akan membentuk
harmonisasi yang dalam taraf tertentu berpengaruh dalam kualitas ibadah.
Kualitas ibadah inilah yang mempengaruhi hati bukan ilmu dan kualitas hati ini
akan memunculkan cita rasa dzauq (intuisi) yang mutlak diperlukan dalam
perjalanan spritual (maqamat ahwal) seperti rasa khauf (takut), malu, sabar dan
lain sebagainya..
Dalam atsar lain dari kitab Al-Ihya yang disebutkan Imam Al-Ghazali
adalah perkataan Imam J unaid: Paling mulianya majlis dan paling tingginya
adalah duduk beserta berfikir pada lapangan tauhid , menghirup dengan udara
makrifat, minum dengan gelas kecintaan dari lautan kasih sayang dan memandang
dengan bagus sangkaan kepada Allah Ta'ala. Dalam atsar ini termaktub
keutamaan tafakkur secara global. Rinciannya adalah sebagai berikut :
1. Keutamaan pertama tafakkur dalam tatanan ilmu untuk sampai
kepada tatanan tauhid. Keutamaan ini terkait dengan fungsi tafakkur
sebagai suplementasi hati dengan memberikan akses-akses ilmu
pengetahuan teoritis yang dibutuhkan dalam memberikan keseimbangan
mutual dalam relasi kondisionalnya dengan aspek-aspek indera. Kondisi
ini adalah kondisi general bagi kaum sufi dalam perjalanan spritualnya
sekalipun rumusan ini tidak bersifat mutlak karena dalam kesejatiannya

3
ImamAl-Ghazali, Meniti Jalan Menuju Surga,(Jakarta:Pustaka Amani,1986) h.26


50
hati sanggup mengeksplorasi ilmu secara otonom tanpa proses belajar
seperti yang terjadi pada kasus para Nabi. Poin utama dalam tahapan ini
adalah adanya keutamaan tafakkur sebagai susunan konstruktif bagi
tahapan yaqin. Yaqin adalah ilmu yang tidak merasuki seseorang yang
menyebabkan keraguan sepenuhnya.Al-yaqin tidak diucapkan dalam
sifat Allah SWT , karena memang tidak relevan. Sedangkan ilmul yaqin
adalah yaqin itu sendiri. Termasuk kategori yaqin adalah ainul
yaqin danhaqqul yaqin.
4
Tafakkur memberikan bukti-bukti tauhid
dengan ilmu-ilmu teoritis yang secara relevan mengukur konsepsi-
konsepsi struktural keabsahan yaqin yang justru tercetak secara fitrah
dalam hati. Konsekuensinya adalah terwujudnya pola-pola konsepsional
definisi-definisi tauhid yang mengisyaratkan adanya kemutlakan
variabel bagi dominansi aspek rububiah dan ilahiah.
2. Keutamaan tafakkur dengan basis makrifat. Makrifat adalah jiwa
taqarrub. Makrifat merupakan sesuatu yang diserap dan berpengaruh
dalam hati dan kemudian pada seluruh anggota badan. Ilmu ibarat melihat
api, sedangkan makrifat ibarat cahaya yang menyala pada api.
5
Keutamaan
tafakkur pada level ini adalah bersifat pasif dalam arti tidak terlibat
secara langsung dengan akal dan lebih interaktif dengan hati sebagai basis
makrifat. Ketika ilmu telah dibawa kepada tatanan makrifat dalam hati
maka akan muncul dzauq sebagai implementasi kesucian hati yang akan
memancarkan kualitas akhlaqul karimah. Indikatornya adalah keterbukaan
jiwa dalam mencerminkan toleransi sifat-sifat malakuti , seperti rasa khauf
(takut) ,raja (harap), tawakkal, sabar dan lain-lain. Isyarat tentang hal ini
terungkap dalam sajak mistis An-Niffari:
Aku membuat huruf tegak di hadapan makhluk
Aku membuat amal tegak di hadapan huruf
Aku membuat makrifat tegak di hadapan amal

4
ImamAl-Qusyairi,Risalatul Qusyairiyah,(Surabaya:Risalah Gusti,2001)Cet.I,h.69
5
ImamAl-Ghazali,Raudhah,(Surabaya,Risalah Gusti:2000)Cet.IV, h.43



51
Aku membuat ikhlas tegak di hadapan makrifat
6

Salah satu hal yang utama pada keutamaan tafakkur model ini adalah
adanya tahapan ikhlas sebagai representasi kolaborasi sinergis cahaya Ilahi
yang diintegrasikan dengan konsepsi-konsepsi Ladunni yang selanjutnya diproses
dalam medan tafakkur. Dengan kata lain makrifat memberikan bahan-bahan
teoritis dengan landasan tauhid untuk ditransformasikan ke dalam konsepsi akal
bisa dalam wujud ilham ataupun firasat. Maqam ini sudah meliputi musyahadah
(penyaksian) dan ru'yat (melihat) dengan sirr kalbu. Ia melihat untuk
dimakrifati. Karena hakikat makrifat ada di dalam batin orang-orang melihat,
kemudian Allah SWT menghilangkan sebagian tirai (hijab), lantas mereka
diperlihatkan nur Zat-Nya dan sifat-sifat-Nya dari balik hijab agar makrifat
kepada-Nya.
7
Makrifat telah membuka jenjang-jenjang Maqamat-Ahwal yang akan
membawa pemiliknya ke dataran keyakinan melalui rasa sukma (dzauq) sehingga
sampai kepada kedudukan wushul (predikat bagi ketenggelaman hati dengan
pesona Al-Haq yang merupakan tujuan final). Sifatnya variatif .Ada yang bertemu
Allah Taala melalui jalan af'al dalam manifestasi (tajalli), sehingga perbuatannya
dan selain dirinya dalam situasi fana yang merupakan kondisi di luar ikhtiar dan
akal. Ada pula yang berada dalam kondisi mahabbah yang merupakan puncak rasa
sukacita jiwa (al-uns). Al-uns merupakan rasa suka dan kegembiraan karena
terjadinya mukasyafah kepada Allah dengan segala keindahan (J amal) dan
keagungan-Nya (Jalal) yang kemudian membuahkan kerinduan (as-syauq) yang
lebih utama dari al-uns.
Uns mempunyai Al-wajd (kondisi ekstase) dengan klasifikasi:
1. Kedahsyatan (ad-dahsyi) yang merupakan gaibnya kalbu
dari sentuhan rasanya karena kejutan yang luar biasa.
2. Keterpesonaan(al-haiman). Apabila kalbu mulai tenang
kemudian decaknya berulang-ulang, maka kalbu menjadi
takjub,bimbang akan kebajikan kharismanya yang merupakan

6
Syekh An-Niffari,Al-Mawaqif(Bandung,Mizan,2004)Cet.I,h.32
7
ImamAl-Ghazali,Raudhah,(Surabaya,Risalah Gusti:2000)Cet.IV, h.43



52
refleksi musnahnya sentuhan karena ketakjuban dan kebimbangan
secara abadi.
3. Penempatan(tamkin) sehingga tidak satu pun ada yang
masuk ,atau tidak satu pun jalan yang melintasinya yang
merupakan isyarat menuju pangkal kemandirian (istiqrar).
8

Adanya kemanunggalan tujuan dan perspektif mistis telah menghadirkan
keragaman tafsiran dzauq yang kemudian akan diwujudkan dengan standarisasi
makrifat. Pengenalan kepada Allah tergantung dengan daya makrifatnya dan
kedekatan terhadap totalitas Ilahiah diwujudkan dengan kemanunggalan hakikat
hati sebagai poros makrifat yang menginterpretasikan konsep -konsep Ilahiat yang
sekali lagi diproyeksikan ke hati dalam terminologi rukyat.
Secara global buah dari makrifat adalah adanya mata hati (bashirah),
mukasyafah, musyahadah, mu'ayanah (pembuktian nyata), yaqin, ilham dan
firasat. Pada tahapan ini juga tauhid telah mengalami transformasi dari tatanan
burhan logis menjadi tatanan makrifat yang diindikasikan dengan maqam fana
yaitu kondisi penunggalan diri kepada Al-Qidam (Maha Dahulu) meninggalkan
segala yang hadits (baru), berpaling dari segala yang baru untuk menghadap
kepada yang Qadim sehingga seseorang mampu menyaksikan keindahan Zat
Allah Taala secara spritual.

B. Penjelasan Hakikat Pikiran Dan Buahnya
Imam Al-Ghazali dalam Al-Ihya memberikan definisi tafakkur sebagai
upaya menghadirkan dua pengetahuan dalam hati agar dapat membuah dari
keduanya akan buah yang ketiga. Contohnya adalah bahwa barangsiapa yang
cenderung kepada akhirat dan tidak memilih kehidupan dunia dan ia berkehendak
mengetahui bahwa akhirat itu lebih utama daripada dunia. Maka baginya ada dua
jalan:
1. Bahwa ia mendengar dari orang lain bahwa akhirat itu lebih utama
untuk diutamakan daripada dunia, lalu ia mengikutinya dan

8
ImamAl-Ghazali,Raudhah,(Surabaya,Risalah Gusti:2000),cet.IV,h.63



53
membenarkannya dengan tanpa penglihatan hati tentang hakikat perkara.
Maka ia cenderung dengan alamnya kepada mengutamakan akhirat karena
berpegang dengan perkataan orang semata-mata. Ini dinamakan taqlid dan
tidak dinamakan pengetahuan.
2. Bahwa ia mengerti bahwa yang lebih kekal itu lebih utama ,
kemudian ia mengetahui bahwa akhirat lebih kekal.
Maka berhasil baginya dari dua pengetahuan ini , pengetahuan yang ketiga
yaitu: bahwa akhirat lebih utama untuk diutamakan. Tidak mungkin untuk
meyakinkan mengetahui bahwa akhirat lebih utama untuk dipilih kecuali dengan
dua pengetahuan yang terdahulu.
Secara eksplisit Imam Al-Ghazali dalam pernyataan-pernyataan di atas
sedang memperkenalkan konsep Logika. Adanya kecenderungan konsep Logika
mengindikasikan bahwa dalam sufisme terdapat ruang -ruang yang kompleks
dalam mengeksplorasi ilmu demi kebenaran hakiki. Seperti yang kita ketahui
dalam logika ada nilai-nilai kebenaran yang harus dicari untuk menentukan
sebuah nilai. Argumen-argumen yang disusun akan mengantarkan sebuah
kesimpulan yang bersifat apriori yaitu murni definitif dan non-empris.
Kesimpulannya disusun karena adanya hubungan logis antara dua premis yang
saling berhubungan.
Imam Al-Ghazali memberikan contoh deduktif (silogisme) dalam
merumuskan sebuah kebenaran umum. Pola silogisme disusun dari dua proposisi
(pernyataan) yang kemudian menghadirkan sebuah konklusi (kesimpulan).
Analisis struktural pada contoh di atas bila kita modifikasi dengan pola silogisme
disyungtif adalah:
1. Yang lebih utama itu dunia atau akhirat.
2. Akhirat lebih kekal.
J adi, akhirat lebih utama.
J adi proses pertama dalam tafakkur adalah aktifitas logika yang
menitikberatkan kepada pengetahuan-pengetahuan elementer untuk kemudian
dibawa kepada sebuah kesimpulan. Adanya integrasi dan otonomsi ilmu
pengetahuan akan melibatkan proses eksplorasi ilmu demi sintesa ilmu untuk


54
dibawa ke hati. Dengan demikian daya kerja tafakkur melibatkan persepsi akal
melalui aktifitas pendidikan dan pembelajaran.
Lebih lanjut Imam Al-Ghazali menjelaskan rincian proses pra-tafakkur
yang dikenalkan dengan istilah-istilah tadzakkur dan tafakkur. Beliau berkata:
Adapun tadzakkur dan tafakkur maka itu adalah beberapa ibarat (kata) yang
mempunyai satu arti yang tidak dibawahnya makna-makna yang berbeda. Kedua
istilah itu pokoknya adalah satu dengan dua aktifitas yang berbeda. Tadzakkur
hanya melibatkan proses pengulangan sedangkan tafakkur terkait dengan sintesa
ilmu. Dua gejala ini terkait dengan ranah-ranah psikologi manusia yang
menetralisir konsep-konsep baku untuk menjelaskan universalitas yang secara
inheren dan koheren terkandung dalam perspektif dan konklusi pemikiran logis.
Rinciannya sebagai berikut:
1 Kognisi
Psikologi kognitif adalah kajian studi ilmiah mengenai proses-proses
mental atau pikiran (intelektual). Tadzakkur dan tafakkur terlibat dalam
proses mental intelektual yang dalam kegiatannya dipengaruhi oleh
pengalaman belajar (study experience). Ini sejalan dengan teori Gestalt
(Mex Weitheimer). Dalam teori Gestalt dijelaskan bahwa pengalaman itu
berstruktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Ada dua hukum wajib
dalam teori Gestalt yaitu: kejelasan (pragnaz) dan totalitas (closure).
9

Tadzakkur dan tafakkur akan memberikan dunia konsep bagi ide-ide
analitis yang secara struktural akan terkait dengan tujuan-tujuan ilmiah.
Tujuan-tujuan ilmiah ini adalah struktur pertama bagi standarisasi
kebenaran yang nantinya akan mendapat klarifikasi dan klasifikasi verbal
dan non-verbal melalui cahaya Al-Qur'an dan Al-Hadis. Standarisasi
kebenaran dalam batasan ini baru merupakan legitimasi akal yang akan
memprioritaskan kaidah-kaidah logis yang akan memberikan tafsiran-
tafsiran general-psikologis dalam mengakumulasi seluruh rancangan-
rancangan terorganisir sebagai wujud konsepsi universalitas. Rancangan-

9
M.Dalyono,Psikologi Pendidikan(Jakarta:RinekaCipta,1997)Cet.III, h.63



55
rancangan ini terkait dengan seluruh tatanan interaktif manusia dengan
ruang-ruang kognitif yang selalu terbuka dengan varian-varian variabel
yang terjadi sebagai implikasi positif dengan obyek pemikiran . Dalam
aplikasinya tafakkur dan tadzakkur sangat tergantung terhadap fakultas-
fakultas kognisi yang akan memberikan produk-produk ilmu dalam rangka
penyesuaian kausalitas dengan tatanan fitrah manusia.
2 Afeksi
Tadzakkur dan tafakkur secara afektif bisa dijelaskan sebagai upaya
pemberian nilai rasa (dzauq) bagi hati yang selektif dalam penerimaan-
penerimaan konseptualnya, yang membawa pengaruh-pengaruh spritual
(maqamat-ahwal) dalam aplikasinya. J ika dalam tatanan kognitif tadzakkur
dan tafakkur berada pada ruang lingkup logika maka dalam tatanan afeksi
pengetahuan-pengetahuan teoritis akan menjadi basis dzikir dalam
transformasi nilai menuju aktifitas amal.
Syekh Abdul Qadir Al-J ailani mengatakan ada tiga hal yang mesti bagi
setiap mukmin dalam setiap situasi dan kondisi: perintah yang harus
dilaksanakan, larangan yang harus dijauhi dan ketetapan yang harus
diterima.
10
Nilai rasa (dzauq) yang muncul karena aktifitas tadzakkur dan
tafakkur akan dibawa kepada hegemoni ritual ibadah yang akan
menegakkan aspek syariat yang meliputi perintah dan larangan yang
selanjutnya dihadapkan kepada pintu makrifat (ketetapan yang harus
diterima). Lalu akan terjadi penjabaran mutu ibadah dan kualitas hati yang
akan mendefinisikan seluruh aktifitas ibadah.
3 Psikomotorik
Ranah psikomotorik menekankan tentang proses -proses praktisi yang
merupakan wujud tanggapan impulsif tentang bagaimana kontraksi-
kontraksi pikiran terdefinisikan sebagai gerak solutif dalam pencapaian
sebuah tujuan. Pada tingkatan psikomotorik pengetahuan sudah menjadi
faktor pendorong untuk berbuat. Dalam prakteknya, tafakkur dan
tadzakkur akan menjadi acuan dalam pengembangan kualitas dan kuantitas

10
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani,Raihlah Hakikat,(Bandung:PustakaHidayah,2007),Cet.I, h.55-56


56
ilmu dalam pencapaian makrifat yang diterapkan dalam dua pola aspek
ubudiah dan uluhiah. Dalam aspek ubudiah,peranan tafakkur dan
tadzakkur akan terlibat dalam aktifitas ibadah seperti ijtihad, muhasabah,
muraqabah yang akan meningkatkan kualitas ibadah lahir dan batin.
Dalam aspek uluhiah , tadzakkur dan tafakkur berasosiasi dengan makrifat
dalam sintesa ilmu sebagai wujud domain pasif bagi hati yang merupakan sumber
cahaya ilmu. Kedua proses inilah yang merupakan syarat mutlak tingkatan mulia
gerbang kaum arifin. Ini tercermin dalam sabda Rasulullah SAW :Sesungguhnya
Allah Taala menyukai penglihatan yang meneliti dengan seksama ketika
datangnya perkara -perkara yang syubhat dan akal yang sempurna ketika
diserang nafsu-syahwat (HR Abu Nua'im)
11
Hadis ini menjelaskan tentang dua
kekuatan psikomotorik dalam perjalanan spritual sufi. Kekuatan psikomotorik
pertama adalah kekuatan hati yang sanggup menerangi kegelapan perkara-perkara
syubhat. Perkara syubhat adalah perkara yang meragukan dan dalam sufisme
keraguan adalah syirik yang merupakan salah satu dosa besar. Kekuatan hati yang
suci akan membangkitkan ilmu Ladunni (makrifat) yang akan menghilangkan
syubhat secara internal (tauhid). Sementara dalam tatanan eksternal yang meliputi
lintasan-lintasan jiwa akan membutuhkan aplikasi tafakkur dan tadzakkur yang
akan mengukurnya dengan standar Al-Qur'an dan Al-Hadis.
Kekuatan psikomotorik kedua adalah kekuatan akal yang akan
mengintegrasikan tadzakkur dan tafakkur sebagai wadah dalam proses penyucian
hati yang secara luas akan mencakup ruang lingkup ilmu-ilmu teoritis yang
menuntut mujahadah dalam prakteknya. Hal ini karena kekuatan ini dipengaruhi
oleh faktor-faktor luar seperti daya -daya setani, syahwat, emosi , amarah dan
lain-lain. Kekuatan ini terkait erat denan proses pendidikan dan pembelajaran.
Secara psikomotorik ilmu diwujudkan secara esensial dalam hati dalam dua fase
yaitu fase alamiah yang berupa potensi hati dalam pencapaian makrifat serta fase
artifisial yang terbuka dalam eksplorasi fiskal dan non-fiskal dalam pencitraan
ilmu.

11
ImamAl-Ghazali,Ihya Ulumuddin(Semarang,Asy-Sifa,2003)Cet.tahun2003, h.149



57
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin memberikan penjelasan tentang
rangkaian kronologis proses proses tafakkur ,yang menurut beliau dibagi kepada
lima tingkatan yaitu:
1. Tadzakkur yang merupakan upaya menghadirkan dua pengetahuan di dalam
hati.
2. Tafakkur yang merupakan proses mencari pengetahuan baru dari proses
tadzakkur.
3. Hasilnya pengetahuan yang dicari dan bersinarnya hati dengan dengannya.
4. Berubahnya keadaan hati dari apa yang telah ada disebabkan hasilnya cahaya
makrifat.
5. Pelayanan anggota-anggota badan bagi hati menurut keadaan yang baru
baginya.

Proses-proses di atas merupakan rangkaian tafakkur sufistik yang
diindikasikan dengan hati sebagai poros utama dalam upaya pencapaian makrifat
dengan basis ilmu-ilmu teoritis.Inilah tujuan tafakkur secara hakiki. Tentang buah
dari tafakkur beliau menguraikannya dalam Al-Ihya sebagai berikut: Adapun
buah pikiran, maka itu adalah ilmu pengetahuan hal ihwal dan amal perbuatan.
Tetapi buahnya yang khusus adalah ilmu, tidak yang lainnya. Ya, apabila ilmu
berhasil di dalam hati, maka keadaan hati menjadi berubah. Apabila keadaan hati
menjadi berubah maka amal perbuatan itu mengikuti keadaan. Keadaan mengikuti
ilmu dan ilmu mengikuti pikiran. J adi, pikiran adalah dasar dan kunci bagi segala
kebaikan semuanya. Inilah yang tersingkap bagimu tentang keuntungan tafakkur
dan bahwa tafakkur lebih utama daripada zikir dan tadzakkur. Karena tafakkur
adalah zikir dan tambahan dan zikir hati itu lebih baik daripada amal perbuatan
anggota badan. Bahkan mulianya amal itu karena adanya zikir padanya. J adi,
tafakkur lebih utama daripada sejumlah amal perbuatan.
Buah dari tafakkur adalah ilmu pengetahuan. Penjelasan tentang ilmu akan
menuntun kita dalam memahami ilmu dalam batas-batas epistemologi, ontologi
dan aksiologi. Ilmu memiliki dua komponen yaitu pertama , bahwa sumber asli
seluruh pengetahuan adalah wahyu atau Al-Qur'an yang mengandung kebenaran


58
absolut dan yang kedua, bahwa metode mempelajari pengetahuan yang sistematis
dan koheren semuanya sama-sama valid, semuanya menghasilkan bagian dari satu
kebenaran atau realitas.
12
Dua komponen ilmu inilah yang mengisyaratkan
keutamaan ilmu sebagai kesempurnaan mutlak. Ini dikarenakan ilmu itu sendiri
adalah sifat Allah dan para malaikat. Dengan ilmu para malaikat dan hamba-
hamba Allah dapat mendekatkan diri secara sempurna kepada-Nya.
Pendekatan diri kepada Allah tidak terkait dengan tempat melainkan
dengan sifat ilmu. Semakin banyak dan semakin sempurna ilmu seseorang, ia
akan semakin dekat kepada Allah dan semakin menyamai malaikat-malaikat-
Nya.Keutamaan ini diisyaratkan dengan hadis Nabi yang berbunyi: Isi langit dan
bumi memintakan ampunan untuk orang-orang berilmu.
13
Ini dikarenakan ilmu
untuk mencapai tujuan hidup dari sisi agama dan dunia karena tidak akan norma
agama tanpa ada norma dunia. Dunia adalah media penghubung dan bukan tujuan
sebagaimana klaim sebagian besar orang.
Dilihat dari materinya,ilmu ada dua macam, yaitu ilmu syariat dan non-
syariat. Ilmu syariat yaitu ilmu yang sumber rujukannya adalah para Nabi dan
tidak dapat diatur oleh akal sebagaimana ilmu eksak. Ilmu syariat terdiri dari ilmu
ushul, ilmu furu', ilmu muqaddimah (pengantar), dan penyempurna. Ilmu-ilmu ini
terkait dengan penelusuran jalan akhirat yang kemudian diklasifikasi lagi sebagai
ilmu muamalah dan mukasyafah. Ilmu muamalah yaitu ilmu yang dipelajari
dengan tujuan untuk diamalkan dalam perbuatan sedangkan ilmu mukasyafah
yaitu ilmu yang dipelajari dengan tujuan terbukanya pengetahuan makrifat
(gnosis) tanpa ada unsur amal perbuatan. Ilmu mukasyafah ini bersifat esoteris
dan sangat samar. Ia puncak dari setiap ilmu bahkan tujuan dari semua ilmu yang
ada.
14
Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:
a) Pokok-pokok (ushul) itu ada empat, yaitu kitabullah, sunnah, ijma' dan
atsar sahabat.

12
Prof.Mujamil Qomar,M.Ag,Epistemologi Pendidikan Islam(Jakarta:Erlangga,2007)Cet.III,h.105
13
ImamAl-Ghazali,Buat Pecinta Ilmu(Surabaya:Pustaka progresif.2002)Cet.I, h.6
14
ImamAl-Ghazali,Buat Pecinta Ilmu(Surabaya,Pustaka Progresif,2002)Cet.I, h.110



59
b) Cabang (furu') yaitu sesuatu yang dipahami dari pokok-pokok ini,
bukan dengan kepastian lafal-lafalnya tetapi dengan pengertian-
pengertian yang diketahui akal.
Ini terbagi empat macam:
c) Berkaitan dengan kemaslahatan-kemaslahatan dunia dan itu termuat
dalam kitab-kitab fiqih dan yang bertanggung jawab adalah para
puqaha.
d) Sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan-kemaslahatan
akhirat.Yaitu ilmu mengenai keadaan hati dan akhlak yang terpuji dan
tercela, sesuatu yang diridhai di sisi Allah Taala dan sesuatu yang
dibenciNya.
e) Muqaddimat (pendahuluan-pendahuluan) yaitu ilmu-ilmu yang berlaku
sebagai alat seperti ilmu bahasa dan tata bahasa karena keduanya itu
merupakan alat bagi ilmu kitabullah Taala dan Sunnah Nabi SAW.
f)
Penyempurna-penyempurna yaitu mengenai ilmu Al-Qur'an. Itu
terbagi kepada sesuatu yang berkaitan dengan lafal seperti belajar
qiraat dan makhraj-makhraj huruf, kepada yang berkaitan dengan
makna seperti tafsir, karena bersandarnya juga kepada naql karena
bahasa semata tidak dapat berdiri sendiri.
15
Ilmu non-syariat merupakan ilmu yang secara umum merupakan hasil
pemikiran manusia yang terkait dengan potensi kemanusiaanya sendiri secara
menyeluruh. Adapun klasifikasi ilmu non-syariat sebagai berikut:
1. Ilmu pasti (matematika) yang meliputi aritmetika, geometri, musik.
2. Ilmu perbintangan seperti astrologi dan astronomi.
3. Ilmu alam (fisika) seperti kedokteran,meteorologi,mineralogi.
4. Ilmu kimia.
5. Ilmu hayat seperti fisiologi dan biologi.
6.
Fisika sosial seperti sosiologi, antropologi, ilmu hukum dan lain-lain.
16
Ilmu pengetahuan jika disandarkan kepada makrifat sebagai tujuan haqiqi

15
ImamAl-Ghazali,Ihya Ulumuddin,(Semarang,Pustaka Asy-Sifa,2003)Cet.tahun2003, h.54-55
16
Yesmil Anwar dan Adang,Pengantar Sosiologi Hukum(Jakarta,Grasindo,2004)Cet.III h.18


60
akan dibagi kepada tiga tingkatan. Pertama, ilmu perbekalan semisal ilmu fiqih
yang terkait dengan kemaslahatan sosial. Kedua, ilmu yang dipergunakan untuk
membersihkan hati dari segala sifat tercela serta akibat-akibat yang
ditimbulkannya, seperti ilmu tasawuf. Ketiga, ilmu tentang sifat-sifat Allah Taala
yang merupakan ilmu yang paling tinggi derajatnya.
17


C.Penjelasan Jalan-Jalan Pikiran
Dalam pembahasan ini Imam Al-Ghazali sekilas menyorot tentang obyek
tafakkur yang secara global menurut beliau terbagi kepada ilmu agama dan non-
agama. Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan klasifikasi ringkas tentang
bahasan obyek ilmu muamalah yang merupakan medan kajian tafakkur, dimana
klasifikasi diprioritaskan kepada hamba,sifat-sifatnya dan hal ikhwalnya untuk
persiapan ibadah. Beliau berkata dalam Al-Ihya: Tersingkaplah bagimu
membatasi pikiran pada bagian-bagian ini dengan contoh, yaitu bahwa keadaan
orang yang berjalan kepada Allah Taala dan orang-orang yang rindu kepada
perjumpaan denganNya adalah menyerupai keadaan orang-orang yang sangat
rindu. Orang yang rindu akan tenggelam dengan cita-citanya dengan tidak
melampui pikirannya dari keterkaitan dengan orang yang dirindukannya. Kalau ia
berpikir pada orang yang dirindukannya, maka adakalanya ia berpikir tentang
kecantikannya dan ia merasa nikmat dengan berpikir padanya dan dengan
menyaksikannya.
Penjelasan di atas memetakan konsep tentang bagaimana tafakkur
diaplikasikan sebagai sarana ibadah dalam perjalanan spritual yang dianalogikan
dengan cinta kepada Allah Taala. Dalam hal ini Imam Al-Ghazali mengisyaratkan
tentang jalan-jalan pikiran yang dimulai dengan tafakkur konseptual sebelum pada
akhirnya dibawa ke dalam dzauq bagi hati. Hal ini terkait dengan dimensi-dimensi
ruhani mistisisme yang sarat dengan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan
intuisi dan penyingkapan mistis dan tidak muncul dalam lingkup ilmu
pengetahuan spekulatif dan tradisional. Eksplorasi pertama yang akan kita

17
ImamAl-Ghazali,Buat Pecinta Ilmu,(Surabaya,Pustaka Progresif,2002)Cet.I, h.120



61
lakukan berkaitan dengan pembahasan ini adalah tentang fakultas-fakultas
kemanusiaan yang merupakan mediator pertama dalam tafakkur konseptual.
Dalam prosesnya pikiran terakumulasi dalam kata,pengetahuan dan obyek yang
diketahui dan sesuatu (obyek pemikiran) itu memiliki eksistensi sebagai individu
dalam lisan atau dalam pikiran. Keberadaan sebagai individu merupakan
keberadaan asasi, sementara keberadaan dalam pikiran adalah keberadaan formal
dan dalam kesadaran serta keberadaan dalam lisan adalah verbal dan indikatif.
18
Fakultas-fakultas kemanusiaan adalah struktur mikro dalam menjelaskan
tatanan kronologis pikiran yang membagi-bagi aktifitasnya secara aktif dalam
dikotomi parsial yang menuntut sinergisasi stimulus dan kehendak bebas manusia.
Stimulus disini adalah wujud reaksi dan tanggapan positif dalam penerimaan
sebuah konsep yang tersusun sistematis dan ilmiah untuk ditransfer ke dalam
fakultas-fakultas kemanusiaan yang selanjutnya akan dklasifikasi secara kulitatif
dan kuantitatif partikulariat. Proses inilah yang secara kontinu akan
mempengaruhi kehendak bebas yang merupakan supremasi aksi dan merupakan
cetak biru kehendak Ilahi, sebagaimana yang tersirat dalam aforisme terkenal
bahwa manusia adalah citra Tuhan. Bagian dari citra diantaranya adalah konsepsi
yang merupakan determinasi akal.
Fakultas-fakultas kemanusiaan menurut para filsuf dibagi menjadi dua
bagian yaitu perseptif (mudrikah) dan motif (muharrikah). Fakultas-fakultas
perseptif ada dua macam yaitu eksternal (zhahir) dan internal (batin). Fakultas
perseptif eksternal terdiri dari lima indera yang terpasang pada tubuh. Sedang
fakultas-fakultas perseptif internal ada tiga yaitu:
1. Fakultas imajinatif (al-quwwah al-khayaliyyah), yang terletak di
bagian depan otak, di belakang indera penglihatan. Dalam fakultas ini
terekam bentuk-bentuk suatu yang terlihat, ketika mata ditutup bahkan
data kelima indera terekam di dalamnya.
2. Fakultas estimative (al-quwwah al-wahmiyyah), yang berfungsi
mengetahui pengertian-pengertian atau konsep-konsep, sedang fakultas

18
ImamAl-Ghazali,Al-Asma Al-Husna,(Bandung:Mizan,1995),Cet.II, h.17



62
yang pertama mengetahui bentuk-bentuk. Fakultas ini terletak di
tengah bagian belakang.
3. Fakultas imajinasi sensitive ( mutakhaliyah) untuk binatang dan
kogitasi (mufakkirah) untuk manusia. Fungsinya adalah untuk
menyusun bentuk-bentuk inderawi satu sama lain atau untuk menata
pengertian-pengertian dan konsep-konsep di atas bentuk-bentuk. Ia
berada di ronggga tengah otak di antara memori penyimpan bentuk dan
penyimpan konsep.
Fakultas motif( muharrikah) terbagi menjadi:
1. Penggerak dalam arti bahwa ia mendorong ke arah gerakan. Termasuk
di antaranyafakultas hasrat (inklinatif) yaitu fakultas yang apabila
bentuk yang diharap atau dibenci terpasang pada fakultas imajinatif,
fakultas hasrat mendorong fakultas motif untuk aktif ke arah gerakan.
Ia mempunyai dua sub-bagian:
a) Fakultas erotic (al-quwwah asy-syahwatiyyah) yaitu fakultas yang
mendorong lahirnya gerakan yang mendekatkan pada hal-hal yang
diimajinasikan sebagai keharusan untuk mencari kenikmatan.
b) Fakultas kemarahan (al-quwwah al-gadabiyyah) yaitu fakultas yang
membangkitkan gerakan yang dipakai dalam usaha untuk
menguasainya.
1.
Penggerak dalam arti bahwa ia penggerak langsung. Fakultas ini
beroperasi di dalam otot-otot dan syaraf-syaraf. Fungsinya adalah
mengontak otot-otot dan untuk mendorong urat-urat dan ikat-ikat
sendi tulang, yang terhubungkan dengan anggota-anggota badan,
menuju posisi di mana fakultas ini mengatur jalannya.
19
Fakultas-fakultas kemanusiaan di atas merupakan tolak ukur kualitas dan
kuantitas ilmu teoritis dalam substansi yang terbatas karena fakultas-fakultas ini
terkait erat dengan potensi fitrah yang merupakan akses elementer koordinasi -
koordinasi struktural pikiran dalam tatanan biologis. Tatanan biologis inilah yang

19
ImamAl-Ghazali,Tahafut Al-Falasifah,(Yogyakarta:Islamika,2003)Cet.I, h.230-231



63
mengintegrasikan potensi-potensi akal dalam wujud aksi dan reaksi. Wujud aksi
dan reaksi membutuhkan klarifikasi obyektif yang akan memberikan sebuah
rumusan holistik dalam tahapan yang terkenal dengan sebutan tafakkur. Pelaku
klarifikasi ini terkait erat dengan kemampuan-kemampuan utama dalam
terminologi sufi. Kemampuan-kemampuan utama ini terkait dengan kapasitas sufi
sendiri dalam menafsirkan hakikat yang merupakan terminal terakhir maqamat-
ahwal. Kita telah mengetahui bahwa dalam sufisme, kemampuan ini akan
membagi para pencari kebenaran dalam dua opsi yang akan menentukan posisi
maqamat-ahwalnya. Opsi pertama adalah golongan yang menempuh jalan tetapi
masih terjebak dalam jalan itu sendiri karena kuatnya hubungan dengan kekuatan-
kekuatan spritual yang melingkupi mereka, seperti misalnya rasa kerinduan dan
kecintaan sebagai afinitas malaikat batin, kecintaan terhadap perjalanan batin
sebagai efek dari wirid dan lain-lain. Akibatnya hanya sebagian dari kemampuan-
kemampuan utama yang tersucikan dan mengakibatkan sang pencari ini
mengalami kegagalan mencapai tahap akhir yaitu manusia sempurna (Insan
Kamil). Opsi kedua adalah golongan manusia sempurna dimana Zat Yang Maha
Agung telah menunjuk mereka sebagai pemandu jalan spritual bagi manusia.
Melalui perantara mereka, komunitas spritual disatukan dalam bentuk tarekat dan
syariat yang merupakan salah satu tujuan Tuhan akan ditegakkan. Mereka
terilhami dengan penglihatan batin (ladunni) atas apa yang harus dilakukan yang
kemudian akan menetapkan jalan-jalan kebenaran. Dua opsi ini telah memberikan
kesimpulan bagi kita bahwa struktur mikro di atas ternyata mengalami benturan
fungsional dengan struktur makro yang merupakan wilayah hati.
Struktur makro sendiri merupakan pembahasan tentang hati yang
merupakan gerbang pembuka pintu-pintu kebenaran (makrifat). Hubungan kedua
struktur inilah yang menciptakan sebuah komposisi sempurna dalam merumuskan
dan menafsirkan hakikat yang dikembalikan kepada kapasitas fitrah manusia.
Kualitas dan kuantitas dari struktur mikro hanya akan terdefinisi secara terbatas
dalam medan akal yang selanjutnya mendapat korelasi dzauq yang
mendeterminasi struktur mikro dengan kualitas tertentu.
Dalam struktur makro terdapat tiga komponen utama yang mendukung


64
proses tafakkur menjadi sebuah aktifitas metafisika:
1. Substansi subtil yang muncul dari asap beragam unsur dalam makanan
yang dicerna. Ia memiliki kapasitas untuk makanan, pertumbuhan dan
perasaan inderawi. Ia dirujuk sebagai sebuah ruh yang bernafas, ruh
alami, atau ruh halus.
2. J iwa rasional yaitu jiwa yang mengatur tatanan manusia,yang
memunculkan sifat-sifat serupa dalam diri manusia sebagai sebuah
penglihatan semesta dan lima kemampuan, dengan semua percabangan
mereka. Realitas mendasar dari jiwa rasional merupakan jiwa
universal. J iwa universal adalah penguasa mutlak semua komponen
semesta.
3.
J iwa malaikat yaitu jiwa yang membuat sifat-sifat mampu menampung
bentuk segala sesuatu yang harus terwujud, bahkan sebelum ia benar-
benar mewujud. J iwa malaikat laksana kapasitas manusia untuk
memvisualkan sebuah perbuatan yang diharapkan dalam batin sebelum
perbuatan itu diwujudkan ke dunia luar.
20
Tiga komponen ini telah menghasilkan tahapan-tahapan kausalitas yang
berdampak terhadap aktifitas tafakkur. Karakter ruh halus rentan dikuasai oleh
organ dan anggota-anggota tubuh yang merupakan fase nafsu Lawwamah
mendorong aktifitas pikiran menjadi terkontaminasi negatif yang mengisyaratkan
fluktuasi kemerosotan spritual. Jika ruh halus menghindari penyatuan dengan
karakter organ-hewani maka ruh halus akan mendapat pengaruh dari akal yang
akan melengkapi kondisi-kondisi spritual dengan gagasan-gagasan positif yang
akan membantu menyelaraskan suasana jiwa dengan daya kerja anggota fisik.
Tingkatan tertinggi adalah adanya bantuan dari jiwa malaikat dimana ruh halus
mendapat pengendalian sehingga rahasia-rahasia misterius dan rahasia ruh-ruh
surgawi terungkap dalam konsepsi Ladunni.
Ketiga komponen ini saling melengkapi dan melalui ketiganya kondisi-
kondisi spritual terungkap melalui sebuah dimensi komunikasi yang sarat dengan

20
Syah Waliyyulah Ad-Dahlawi.Pengetahuan Suci(Surabaya:Risalah Gusti,2002)Cet.I, h.17-18



65
variasi konseptual dalam tafsiran mistis. Tetapi ketiganya mendapat ujian dalam
rangka pencapaian kualitas spritual tertentu. Salah seorang guru sufi berkata
mengenai determinasi ujian ini: Pikiran itu ada empat yaitu dari Tuhan, dari
malaikat, dari diri sendiri dan dari setan. Pikiran yang berasal dari Tuhan
merupakan suatu teguran yang baik, pikiran dari malaikat adalah adalah motivasi
untuk patuh, pikiran yang berasal dari diri sendiri adalah pemenuhan nafsu,
pikiran dari setan merupakan ajakan kepada keingkaran. Dengan tuntunan tauhid
pikiran dari Tuhan diterima, dengan tuntunan makrifat pikiran dari malaikat itu
diterima,dengan tuntunan iman pikiran mengenai diri sendiri disangkal dan
dengan tuntunan Islam pikiran dari setan ditolak.
21
Perkataan guru sufi di atas memberikan gambaran tentang adanya
klasifikasi pikiran yang terjadi pada benak manusia. Pikiran apapun yang terjadi
dalam benak seorang manusia turut ambil bagian dalam salah satu dari tiga
situasi. Situasi pertama terjadi di hati yang disebut keadaan-keadaanemosi (
haal) seperti ketakutan, harapan, depresi, cinta dan sebagainya. Situasi kedua
terjadi di akal yang berupa bentuk penyingkapan kejadian-kejadian di masa
depan. Situasi ketiga terjadi di hati dan akal dimana akal membayangkan dan
membentuk sesuatu yang pasti, sedangkan hati memberikan ketetapan yang
diperlukan (impuls).
22
Referensi yang kita perlukan terkait dengan sintesa pikiran
ini tentunya terkait dengan kemampuan dalam membedakan pikiran-pikiran
positif dan negatif sehingga tidak terjadi tindakan-tindakan tercela. Pengujian dari
tahapan ini akan efektif jika sumber -sumber pikiran diketahui . Logisnya sumber
pikiran tentunya dikembalikan kepada karakteristik khas dari komponen-
komponen tafakkur yang setiap saat memberikan rumusan-rumusan persuasif
dalam pengambilan konsep. Akal dengan kekuatan persepsinya telah
mempengaruhi hati yang lekat dengan dzauq sehingga menimbulkan kerancuan
pikiran sehingga dibutuhkan upaya-upaya pembatasan melalui riyadhah yang
merupakan salah satu terapi sufistik. Hal inilah yang memberikan bukti bagi kita
betapa penyucian hati mencakup pembebasan aktual dari akal karena pikiran

21
Al-Kalabadzi,Ajaran Kaum Sufi(Bandung:Mizan,1995)Cet.I, h.111
22
Syah Waliyyullah Ad-Dahlawi,Pengetahuan Suci(Surabaya:Risalah Gusti,2002)Cet.I h.187-188


66
perseptif tidak akan sanggup merealisasikan tafsiran hakikat kebenaran.
Di luar dari kondisi ini faktor luar rentan dalam mempengaruhi proses-
proses suplementasi pikiran yang diindikasikan dengan adanya fluktuasi dan
koordinasi akal, hati dan nafsu yang memberikan pola-pola tertentu. Salah satu
faktor luar itu adalah daya setan yang memberikan unsur-unsur godaan dengan
karakteristik pemalingan hati dari jalan yang lurus dengan memberikan fantasi-
fantasi yang khas dengan impuls-impuls setan seperti rasa melankolis,
kegamangan, kekerasan hati dan lain-lain. J ika setan telah berhasil masuk ke
dalam jiwa manusia maka ia akan menjadi jahat, jiwanya menjadi kotor sehingga
ia mau melakukan segala dosa baik besar atau kecil.
23
Pergolakan yang terjadi
akibat pengaruh ini menghasilkan pikiran-pikiran yang buruk dan berisiko
merusak tatanan spritual. Upaya menghilangkan pengaruh ini dengan ini cara
memiliki pengetahuan untuk mengusir dan membuang pikiran-pikiran semacam
itu dan berlindung kepada Tuhan dari mereka.
Pengaruh berikutnya adalah pengaruh malaikat yang memberikan
penurunan pikiran dari dunia gagasan yang merupakan kapasitas esensial mereka.
Pengaruh ini hanya efektif jika si penerima telah berhasil menjadi manusia intuisi
yang dicirikan dengan kesucian hati yang bisa memproyeksikan penjabaran
hakikat esensial dan memberikan sebuah otoritas tersendiri dalam kaitannya
dengan potensi penyingkapan mistis. Harus ada keseimbangan antara unsur-unsur
subtil yang berupa karakteristik sifat-sifat mulia agar jiwa-jiwa malaikat bisa
memberikan pertolongan spritualnya. Para malaikat dengan kekhususannya
mewujud pada saat-saat yang berbeda dan akibatnya menjadi tertarik dengan
wilayah-wilayah yang berbeda. Wilayah-wilayah spritual inilah yang mencirikan
maqamat-ahwal yang disesuaikan dengan hakikat asli malaikat yang memiliki
kapasitas menerima ilham dalam satu masalah tertentu.
Impuls dan pikiran yang digolongkan diantara tahap kesempurnaan masuk
ke dalam satu dari tiga pengelompokan. Kategori pertama ketika sebuah pikiran
turun dari keakuan besar ke dalam keakuan kecil. Alasan penurunan ini adalah

23
Abdul Latif Faqih,Rahasia Segitiga,Allah-Manusia-Setan(Jakarta:Hikmah,2008)Cet.I, h.184



67
satu bagian inheren dari sistem,dimana kebajikan universal telah mensyaratkan
sebuah penetapan keuntungan atau hal lain di dunia. Kategori kedua adalah ketika
pelatihan jiwa manusia memiliki ekuivalensinya di dunia gagasan dan ini menjadi
perhatian impuls universal. Impuls ini menapis ke dalam hati manusia-manusia
mulia yang secara terus menerus mengabdikan diri kepada dunia gagasan dan
kepada para malaikat yang menjadi pembawa rahasia ini. Kategori ketiga adalah
para malaikat yang bercahaya yang ditunjuk untuk mengawasi laku-laku pujian
dan ketundukan melingkari siapa saja yang melaksanakannya dan sebagian
pesona mereka memancar kepada akal dan hatinya. J ika hatinya yang berkuasa
maka kualitasnya adalah sebuah keintiman dan ketenangan.J ika akal yang
dominan, berkah mengambil bentuk firasat, ketetapan hatinya menjadi terhubung
dengan niat untuk melaksanakan perbuatan baik yang sesuai dengan pemahaman
para malaikat (pikiran malaikat).
24
Setelah memberikan penjelasan tentang rangkaian jalan-jalan pikiran,
Imam Al-Ghazali kemudian memformulasikan konsep tentang bagaimana
tafakkur bisa memberikan pengaruh spritual dalam kaitannya dengan penyucian
hati. Sang Imam berkata dalam Al-Ihya tentang konsep ini: Kemudian masing-
masing dari yang tidak disukai di sisi Allah atau yang dicintai itu terbagi kepada
lahiriah seperti perbuatan-perbuatan taat dan perbuatan-perbuatan maksiat yang
berimbas kepada batiniah yang dicirikan dengan sifat-sifat yang menyelamatkan
dan yang membinasakan yang tempatnya adalah di hati. Pola-pola pikiran yang
bertumpu pada runtutan pikiran-pikiran di atas bila terakumulasi akan menambah
jalan-jalan pikiran dengan bagian-bagian yang lebih luas sehingga akan timbul
dorongan alamiah untuk lebih berekspresi dan berkreasi dalam ruang tafakkur.
1. Perbuatan Maksiat
Imam Al-Ghazali menjelaskan konsep tentang perbuatan maksiat yang
merupakan salah satu hijab terbesar dalam perjalanan spritual. Imam Al-Ghazali
dalam Al-Ihya mengatakan agar seorang hamba memeriksa (muhasabah) pada
pagi hari akan semua anggota badannya yang tujuh secara terperinci kemudian
badannya secara global. Apakah ia pada waktu mengerjakan maksiat, lalu ia

24
Syah Waliyyullah Ad-Dahlawi,Pengetahuan Suci(Surabaya:Risalah Gusti,2002)Cet.I,h.200-201


68
meninggalkannya, lalu ia memperbaikinya dengan meninggalkannya dengan
penyesalan, atau ia menghadap kepadanya pada siang harinya, lalu bersiap-siap
menjaga diri dan menjauhinya.
Muhasabah seperti yang dikonsepkan oleh Sang Imam merupakan mata
rantai pertama dalam persiapan tafakkur yang terkait dengan aspek ibadah.
Karena dalam proses muhasabah ada penggunaan potensi fu'ad (akal,fikir) dan
potensi shadr (emosi,zikir) untuk mempertanyakan dan menghitung
perbuatannya dalam kaitannya dengan dunia luar.
25
Muhasabah dimulai dengan
penelitian tentang potensi-potensi indera yang berpengaruh besar terhadap potensi
hati. Potensi indra yang menyimpang mengindikasikan adanya penyakit bagi hati.
Hati yang sakit adalah adalah hati yang tidak mampu lagi lagi menjalankan fungsi
yang seharusnya yang selaras dengan tujuan penciptaannya yaitu hikmah, ilmu,
makrifat dan mencintaiNya. Ini berarti siapa yang memiliki sesuatu dan sesuatu
itu lebih dicintainya daripada Allah maka berarti hatinya telah dijangkiti penyakit.
Konsepsi inilah yang mendorong kaum sufi melakukan mujahadah yang
merupakan latihan spritual untuk mengembalikan kesucian hati sehingga cahaya
hati memberikan pengaruh positif bagi indra yang dicirikan dengan akhlak mulia.
Syekh Hasan Basri berkata, Dosa demi dosa sehingga membutakan
hatinya.Perkataan ini mengisyaratkan ketika dosa dan maksiat bertumpuk, hati
akan tertutup yang berupa raan (titik hitam) dan selanjutnya menjadi tutup
yang menguncinya sehingga hati berada dalam kegelapan.
26
Hal ini karena
ketaatan adalah cahaya dan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan
dalam hati maka ilmu akan mengalami kondisi-kondisi destruktif yang merubah
susunan alaminya menjadi pola-pola yang rancu dengan konsepsi-konsepsi yang
menyesatkan. Betapa banyak ilmu yang bermanfaat tetapi tidak bisa membawa
kebahagiaan karena faktor hati yang sakit. Contoh nyata adalah adanya kaum
pecinta hawa nafsu yang telah tersesat karena hati yang sakit sekalipun mereka
adalah kaum intelektual. Seperti aliran Tashbih (aliran yang menyerupakan
Tuhan),a liran J abariah, aliran Qadariah dan lain-lain.

25
Toto Tasmara,Kecerdasan Ruhaniah,(Jakarta:Gema Insani Press,2001)Cet.II, h.77
26
Ibnu QayyimAl-J auziah,Penawar Hati Yang Sakit,(Jakarta:Gema Insani Press,2005)Cet.II,h.72


69
Imam Al-Ghazali dalam Al-Ihya memberikan uraian tentang muhasabah
dalam kaitannya dengan perbuatan maksiat. Muhasabah dimulai dengan lisan
yaitu dengan memeliharanya dari sifat tercela seperti:mengumpat, berdusta,
berbantah-bantahan dan lain-lain. Indra pendengaran dijaga dari perkataan yang
keji seperti ucapan dosa, umpatan, bid'ah dan lain-lain. Kemudian muhasabah
tentang perut yaitu bagaimana agar perut diisi dengan makanan yang halal
sehingga syahwat tercela dan godaan syetan bisa diredam. Kemudian muhasabah
tentang makanan, pakaian, tempat tinggal, mata pencaharian.
Imam Al-Ghazali selalu menerapkan tafakkur dalam setiap aspek
muhasabah secara global pada semua anggota badan yang secara simultan diikuti
dengan sikap muraqabah yang merupakan afiliasi hati sebagai realisasi ibadah
batin dengan Tuhan Yang Maha Melihat. Relasi ini akan efektif secara langsung
dalam mengobati penyakit-penyakit laten hati seperti: berkuasanya nafsu syahwat,
marah, kikir, ombong, ujub, ria, dengki, buruk sangka, lalai, ghurur dan lain-lain.
Muhasabah ini jika mendapat dugaan tentang kesuciannya di dalam hati maka
selanjutnya tafakkur akan diarahkan tentang cara pengujiannya dan mencari
persaksiannya dengan tanda-tanda atasnya. Pengujiannya bisa berupa tindakan-
tindakan ekstrim dalam laku mujahadah sementara tanda-tandanya adalah
tingkatan-tingkatan spritual.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Mizan Al-'Amal lebih lanjut mengatakan
bahwa perbuatan maksiat disebabkan karena keterbatasan dan kelalaian
manusia.Keterbatasan ini menyangkut tentang kekurangan potensi lahir dan
kelalaian menyangkut tentang kebodohan dan pengaruh hawa nafsu. Kebodohan
ini bisa diakibatkan oleh kelalaian dengan persepsi-persepsi yang salah tentang
agama dan juga adanya keyakinan bahwa kebahagiaan adalah kenikmatan
duniawi dan bahwa urusan akhirat adalah sesuatu yang tidak memiliki dasar
kebenaran.
Keterbatasan dan kelalaian ini menciptakan variasi-variasi akal yang
selanjutnya menciptakan beragam karakter sifat dan ilmu. Akibat pengaruh ini
akal kadang-kadang mungkin memahami dasar perbuatan dan akibat buruk yang
dihasilkannya tetapi ia tidak dapat melaksanakan perintah-perintahnya. Terkadang


70
akal menyerap pengetahuan yang ditujukan untuk memperkuat dorongan-
dorongan negatif yang dikonsepsikan lewat kemungkinan-kemungkinan profit
semata dan rencana-rencana efektif yang mengakibatkan keyakinan mengalami
perubahan.
Perbuatan maksiat memperoleh yurisdiksi dari syariat yang memuat
hukum suci Tuhan dan di dalam syariat fungsi hati dikembalikan kepada
fitrahnya. Karena ada banyak keragaman dalam karakter dasar manusia maka
sarana penyucian juga akan berbeda sehingga ruang lingkup topik ini akan
menjadi luas.Hendaknya diingat bahwa tahapan-tahapan penyucian juga berbeda-
beda dan masing-masing memiliki bentuk dan polanya sendiri.Inilah mengapa
masalah ini begitu rumit karena tidak adanya kemampuan dalam memahami
bagaimana mencapai kesatuan di dalam semua bentuk dan pola yang beragam
sebagai akibat interaksi potensi-potensi jiwa. Solusinya adalah menyadari dan
membedakan semua bentuk dan pola yang berbeda dan pemahaman yang baik
tentang metode yang dipergunakan untuk mencapai tujuan hakiki.
2. Perbuatan Taat
Imam Al-Ghazali dalam menjelaskan tentang laku perbuatan taat kembali
memadukan muhasabah dan tafakkur yang menitikberatkan kepada pemeliharaan
ibadah. Pemeliharaan ibadah ini menurut beliau dimulai dengan muhasabah dan
tafakkur terhadap shalat-shalat fardhu yang meliputi cara pelaksanaan,istiqamah
serta pelaksanaan shalat-shalat sunnat. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa
perbuatan taat secara global mencakup pemeriksaan tentang semua anggota badan
dan aktifitas muamalah. Karena hal itu merupakan alat-alat dan sebab-sebab untuk
mendapatkan kesucian hati dengan proses yang menerapkan pikiran yang halus
terhadap macam-macam amalan taat, yang pada akhirnya menghasilkan
pendorong dalam bersegera kepada amalan-amalan taat.
J adi, Imam Al-Ghazali membuat pola konsepsi perbuatan taat yang
dikembalikan kepada konsepsi ibadah internal dan eksternal dengan muhasabah
dan tafakkur sebagai titik tolak momentumnya. Momentum inilah yang
menghubungkan nilai-nilai ibadah yang diwujudkan dengan tindakan moral
(akhlakul karimah). Moral sendiri secara esensial merupakan bagian dari ibadah


71
sehingga relasi-relasi yang timbul murni merupakan sebuah doa. Doa
merupakan otak ibadah yang berarti gagasan-gagasan Tuhan telah mengalami
proyeksi fungsi dengan struktur baku yang ditetapkan dalam syariat yang pada
gilirannya menjadi sarana munajat suci di dalam hati. Manusia dengan fitrahnya
mengakui bahwa tindakan moral adalah tindakan yang agung dan mulia walaupun
terkadang dipandang tidak rasional menurut naluri, logika, atau kebiasaan.
27
Ini
berarti tindakan moral bisa terrealisasi sekalipun tanpa pengaruh akal karena
dominansi hati yang merupakan alam bawah sadar di kedalaman jiwa bisa
memberikan impuls-impuls solutif dan persuasif karena hati menyimpan potensi
fitrah berupa pengetahuan suci Ilahiah, hukum-hukum-Nya, af'al-af'al-Nya serta
iradah-Nya.
Hakikat ibadah adalah sebuah perjalanan dari alam fisik menuju alam gaib
yang sarat dengan lintasan-lintasan hati serta kenikmatan ruhaniah. Ibadah yang
benar akan menggapai keridaan Tuhan. Dalam ibadah inilah seseorang akan selalu
berprilaku normal di dunia dan mendapatkan kesehatan jiwanya.Implikasi ibadah
kepada Allah adalah perilaku normal dan juga kesehatan jiwa atas keikhlasannya
melakukan ibadah.
28
Konsepsi tentang hakikat ibadah mengindikasikan syarat
ibadah yang menolak syirik karena makrifat berdiri di ujung yang berseberangan
dengan syirik. Ibadah sufistik adalah sebuah upaya untuk mengetahui,mendaki
dan mendekati tempat sumber cahaya wujud secara internal dan secara eksternal
yang merupakan sarana jihad pertarungan ruhani untuk menaklukkan
kecenderungan tubuh demi kesempurnaan akhlak yang secara psikologi disebut
kesehatan jiwa.
Ada beberapa faktor pendorong ibadah menurut Imam Al-Ghazali dalam
kitabnya Mizan Al-'Amal. Menurut beliau pendorong ibadah ada tiga;yang
pertama adalah orang yang beribadah karena senang terhadap pahala dan
kenikmatan surga atau terhadap hukuman dan siksa neraka.Ini adalah derajat
kebanyakan orang. Tingkatan berikutnya adalah orang yang beribadah karena
mengharapkan pujian dan takut murkaNya. Ini adalah derajat orang-orang yang

27
Murtadha Mutahhari,Energi Ibadah(Jakarta:Serambi,2007)Cet.I,h.28
28
M.Izuddin Taufik,Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam(Jakarta:Gema Insani
Press,2004)Cet.II, h.449


72
shalih. Tingkatan tertinggi adalah orang-orang yang beribadah karena
mengharapkan kedekatan diri kepada Allah dan mencari ridhaNya, merindukan
bertemu denganNya dan bergabung ke dalam golongan malaikat-malaikat yang
dekat kepadaNya.
Ibadah merupakan tingkatan rububiyah pertama dimana dalam ibadah
manusia mampu menundukkan dirinya sendiri. Artinya ibadah telah berhasil
memunculkan cahaya hati dan penglihatan batin sebagai visi positif dari ibadah
yang berimbas pada penguasaan diri, semangat untuk menangkal naluri syahwat
sehingga ia bisa menjadi hakim bagi dirinya sendiri serta punya kekuatan untuk
mengimbangi segala hasrat dan keinginannya. Ibadah semuanya bermuara kepada
amal-amal ketaatan dan tauhid. Ini karena amal-amal ketaatan dan tauhid
merupakan sebab-sebab yang disukai olehNya dan sebab-sebab ini mengakibatkan
adanya pemberian pahala dan ihsan. Sedangkan syirik dan dosa maksiat
merupakan sebab-sebab yang dibenci olehNya tetapi mengakibatkan keadilan
sekalipun pemberian berdasarkan anugerah lebih disukaiNya daripada pemberian
dengan keadilan.
29
Tingkatan berikutnya dari aplikasi ibadah adalah adanya kemampuan
dalam menundukkan setiap pemikiran negatif yang berupa imajinasi dan angan-
angan. Ini merupakan kaitan yang secara kausal terkait dengan tafakkur karena
adanya hubungan interaktif dengan fakultas-fakultas kemanusiaan. Imajinasi dan
angan-angan merupakan potensi manusia yang memungkinkan pikiran berpindah
secara leluasa dari suatu obyek ke obyek lainnya.
30
Pikiran yang dipenuhi oleh imajinasi dan angan-angan adalah salah satu
perangkap setan untuk membelokkan tujuan hakiki ibadah. Sebab ibadah murni
adalah esensi zikir yang akan menyingkap hakikat spritual yang meliputi empat
tingkatan maqam wujud esensi yang meliputi Zat, Sifat, Asma dan Af'al-Af'al-
Nya. Imajinasi dan angan-angan akan memberikan ilusi-ilusi delusif yang
merupakan pemalingan hati terhadap jalan-jalan kebenaran.Ilusi ini berupa hijab
yang akan mempengaruhi daya akal, yang memberikan efek konversi polutif yang

29
Imam Al-Jauziyyah,Tobat:Kembali Kepada Allah(Jakarta:Gema Insani Press,2006)Cet.I,h.124
30
Murtadha Muthahhari,Energi Ibadah(Jakarta:Serambi,2007)Cet.I, h.181


73
mereka-reka sebuah solusi kebenaran demi mencapai keinginan rendah dari
syahwat, amarah dan hawa nafsu.
Ibadah juga merupakan bagian penting dari proses penyucian diri yang
bertujuan untuk mendapatkan akses kepada sifat-sifat Ilahiah dan yang lainnya
adalah untuk mencapai alam esensi. Konsepsi ibadah menurut kaum sufi sarat
dengan aturan-aturan tarekat yang menitikberatkan pembersihan cermin hati dari
citra binatang dan manusia dengan zikir-zikir suci. Citra binatang dan manusia
merupakan bagian dari syahwat sebagai wujud kegelapan hati. J ika syahwat
berbicara, ia keluar menuju kalbu dan dada. Kalbu adalah pimpinan seluruh
anggota badan. Apabila kekuasaan dan kenikmatan syahwat menguasai kalbu
maka kekuasaan dan kenikmatan makrifat juga akan bersembunyi di dalam kalbu
sementara kekuatan, perhiasan dan sinar akal bersembunyi di dalam otak maka
pikiran tidak bisa lagi mengontrol dan mengatur. Cahaya ilmu di dalam dada
meredup,maka muncullah maksiat-maksiat badan.
31
Pengembalian wujud esensi
hati terhadap kondisi fitrahnya yang berupa totalitas penerimaan cahaya Esensi
Tuhan merupakan akhir perjalanan legitimasi keislaman seseorang yang berarti
pengasingan diri terhadap segala sesuatu selain Esensi Allah.
Ketika hati telah bersih dan suci dari selain Allah Taala maka hati akan
dipenuhi oleh makrifat yang merupakan wujud akhlak yang mulia. Kesucian hati
sesuai dengan kadar tauhid dan makrifat akan memunculkan perkataan dan
perbuatan yang baik. Kehadiran hati karena pengaruh langsung tauhid dan
makrifat akan menimbulkan rasa tunduk, tenang dan pasrah. Variasi laku ibadah
yang melibatkan mujahadah tujuannya adalah membentuk sifat-sifat yang terpuji.
Sifat-sifat yang terpuji ini merupakan bagian dari wujud otoritas akal yang telah
berhasil memposisikan tafakkur sebagai sarana produksi dan apresiasi ilmu dan
hikmah. Melalui kekuatan ilmu dan hikmah inilah potensi-potensi jiwa bisa
dipengaruhi untuk kemudian diarahkan dalam pembentukan karakter-karakter
terpuji lainnya.
Karakter terpuji ini dikenal dengan sebutan sifat lurus yang moderat
sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Fatihah ayat ke-enam.Lurus dalam

31
Al-HakimAl-Tirmidzi,TheWisdom Of Al-Hakim Al-T irmidzi(Jakarta: Serambi,2008)Cet.I,H.175


74
sifat adalah bahwa kekuatan hikmah bisa bersifat al-fitrah,al-tafrith dan al-
wasath. Sifat al-wasath inilah yang terpuji dan dinamakan hikmah. Dengan
kelurusan akhlak inilah yang akan melahirkan kemampuan untuk mengatur
dengan mendayagunakan pikiran dan pemahaman yang jernih terhadap suatu
perbuatan serta mampu memahami rahasia godaan jiwa. Berbeda dengan sifat al-
ifrathyang akan menimbulkan sifat makar dan perilaku makar. Sementara sifat
al-tafrith akan menimbulkan perilaku bodoh, dungu dan gila.
32
Sebagai contoh adalah kekuatan amarah yang unsur lurusnya(al-wasath)
adalah keberanian. Sifat berani ini melahirkan sifat-sifat seperti murah hati,kuat
menahan marah dan setia terhadap janji misalnya. Tapi kekuatan marah juga bisa
memiliki sifat al-ifrath yang bisa menimbulkan perilaku-perilaku seperti:
takabur, ujub, sombong dan sebagainya. Sedangkan sifat al-tafrith menciptakan
perilaku-perilaku seperti: pengecut, lemah kemauan, tertutup sekalipun ada di
jalan yang benar. Sementara itu kekuatan syahwat memiliki sifat al-wasath
yang dinamakan kesucian. Darinya akan timbil perilaku dermawan, sabar,
pemurah dan lain-lain. Kekuatan al-tafrith dari syahwat adalah sifat hasud,
dengki, fitnah dan sebagainya.
Imam Al-Ghazali dalam Al-Ihya telah membuat konsep tentang hubungan
tafakkur dengan sifat-sifat terpuji ini yang merupakan salah satu produk ibadah.
Beliau merinci sifat-sifat terpuji yang diantaranya adalah taubat, sabar, syukur,
takut, harap, zuhud, ikhlas, benar dalam ketaatan, cinta kepada Allah Taala, ridha,
rindu, khusyu, serta tawadhu. Menurut beliau sifat-sifat terpuji ini bisa diperoleh
dengan cara melakukan tafakkur di dalam hatinya tentang aspek-aspek pendukung
dalam kaitannya dengan sifat-sifat tersebut. Aspek-aspek pendukung ini adalah
konsepsi-konsepsi ilmu yang dibangun atas pikiran-pikiran obyektif dalam rangka
penyusunan sebuah kesimpulan. Dalam hal ini Imam Al-Ghazali menekankan
pentingnya referensi Al-Qur'an dan Al-Hadis sebagai sumber relevan dalam
aktifitas ini.
Salah satu contoh adalah sifat taubat yang bisa diperoleh dengan cara
bertafakkur tentang dosa-dosa. Lalu dihubungkan dengan ancaman dan siksa yang

32
ImamAl-Ghazali,Mihrab Kaum Arifin(Surabaya:Pustaka Progresif,2002)Cet.II,H.165


75
pedih yang telah disebutkan dalam ajaran agama. Hal ini akan menimbulkan
keyakinan tentang kemurkaan Tuhan sehingga terbangkit rasa penyesalan dan
takut.
Menurut Imam Al-Ghazali tingkatan pertama dalam tafakkur dalam
kaitannya dengan sifat-sifat yang terpuji ini adalah tafakkur dalam ilmu-ilmu
muamalah dan sifat-sifat hamba dari segi sifat-sifat yang dicintai atau dibenci oleh
Allah Taala.
Sementara tingkatan tertinggi adalah tafakkur tentang keagungan Allah
Taala dan keelokan-Nya dengan disertai ketenggelaman hati. Maka jadilah cita-
citanya menjadi sebentuk cinta kepada Allah Taala.
Dalam sufisme interaksi antara tafakkur dengan perbuatan taat (ibadah)
inilah yang akan membentuk empat sifat utama yakni hikmah, keberanian,
kesucian dan keadilan. Pewaris sempurna empat sifat utama ini adalah Rasulullah
SAW yang digambarkan sebagai Nabi dengan akhlak Al-Qur'an.

D. Aplikasi Tafakkur
1. Tafakkur Manusia
Konsep aplikasi tafakkur alam menurut Imam Al-Ghazali dibagi dalam
dua tema sentral sebagaimana yang didasarkan dalam Al-Qur'an surat Yasin ayat
ke-36 yang berbunyi:
_.>,. _ _l> _ !l !.. ,.. `_ _. `.. !..
.l-, __
Artinya :Maha suci Tuhan yang menciptakan pasangan-pasangan semuanya
baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan diri mereka maupun dari
apa yang tidak mereka ketahui.
33

Tema pertama adalah tafakkur alam semesta dan manusia yang merupakan
proses tafakkur teoritis yang sangat dominan dengan kompilasi data-data ilmiah
yang susunannya bisa berbentuk pola-pola analitik. Sementara tema kedua adalah

33
TimDepartemen Agama,Al-QurandanTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.710


76
tafakkur mistis (alam ghaib) seperti: rahasia-rahasia batin Al-Qur'an, para
malaikat, jin, syetan, arasy, kursi dan lain-lain yang dalam prosesnya melibatkan
penyingkapan-penyingkapan spiritual oleh hati.
Dalam contoh aplikasi tentang tafakkur alam, Imam Al-Ghazali
menitikberatkan tentang aspek-aspek zikir, muhasabah dan muraqabah yang
mengindikasikan bahwa tafakkur merupakan medan ibadah dalam fungsinya
sebagai sarana taqarrub dan jalan pendakian spritual. Karakter mendasar dari
proses tafakkur sufistik versi Imam Al-Ghazali ini adalah adanya klasifikasi
hierarki dalil-dalil pendukung untuk selanjutnya mendapat afirmasi tauhid yang
bertumpu ke dalam empat konsepsi puncak tauhid yaitu Af'al-Af'al, Asma, Sifat
dan Zat Allah Ta'ala.
Kempat konsepsi tauhid ini merupakan tolak ukur kekuatan iman yang
dibangun atas dua poros manifestasi rububiah dan uluhiah yang telah mengalami
generalisasi struktur yang selanjutnya mendapat nuansa hegemoni syariat. Puncak
pemahaman syariat hanyalah bila terdefinisi secara aktual dalam wujud konsepsi
sebagai bagian transenden dari dwi-fungsional akal yang terlibat dalam tafsiran-
tafsiran mistis. Tafsiran-tafsiran mistis inilah yang secara esensial mendefinisikan
semua ilmu pengetahuan sekalipun dominansinya terkadang mengalami
degeneralisasi sebagai efek dari daya-daya luar.
Terkait dengan contoh aplikasi ini Imam Al-Ghazali memberikan sebuah
konsep tentang asal-usul penciptaan manusia secara bertahap untuk selanjutnya
dibawa ke dalam medan tafakkur. Tafakkur ini kemudian akan kita bagi menjadi
empat tahapan sesuai empat tingkatan tauhid.
Firman-firman Allah Ta'ala dalam Al-Qur'an terkait tentang proses
penciptaan manusia diantaranya:
a. Al-Qur'an surat Al-'Abasa ayat ke-17 hingga ayat ke-22 yang
berbunyi:
_. _... !. .: _ _. _ ,`_: .1l> _ _. L. .1l> .:.1
_ . _,,.l .:. _ . ..!. .:! _ . :| ,! : .:: __


77
Artinya:Binasalah manusia,alangkah amat sangat kekufurannya?Dari apakah
Allah menciptakannya?Dari setetes mani, Dia menciptakannya,lalu
menentukannya. Kemudian Dia memudahkan jalannya. Kemudian Dia
mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur. Kemudian jika Dia telah
menghendaki, Dia membangkitkannya kembali.
34

b. Al-Qur'an surat Ar-Rum ayat ke-20 yang berbunyi:
_. ..., , >1l> _. , . . :| .. " :, _: .. . _
Artinya:Dan diantara tanda-tanda kekuasanNya ialah Dia menciptakan kamu
dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu menjadi manusia yang berkembang biak.
35


c. Al-Qur'an surat Al-Qiamat ayat ke-37 hingga ayat ke-38 yang berbunyi:
`l ,, L. _. _.. _..`, __ . l 1l. _l> _. __
Artinya:Bukankah ia (manusia) dahulu setetes mani yang
ditumpahkan.Kemudian mani itu menjadi segumpal darah,lalu Allah
menciptakannya dan menyempurnakannya.
36


d. Al-Qur'an surat Yasin ayat ke-77 yang berbunyi:
`l , _... !. ..1l> _. L. :| > ',.> _,,. __
Artinya:Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami
menciptakannya dari setetes air mani maka tiba-tiba ia menjadi penentang yang
nyata.
37

Adapun hadis -hadis yang terkait dengan penciptaan manusia ini antara
lain:
a) Nabi bersabda:Kemudian diutus kepada janin itu malaikat,lalu ditiupkan
ruh(nyawa)dan malaikat itu diperintahkan menulis empat kata,yaitu
menulis riski,ajal,amal perbuatannya dan apakah ia akan menjadi orang

34
TimDepartemen Agama,Al-QurandanTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.1025
35
TimDepartemen Agama,Al-Quran danTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.644
36
TimDepartemen Agama,AlQurandanTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.1000
37
TimDepartemen Agama,Al-Quran dan Terjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.714


78
yang bahagia atau menjadi orang yang celaka.
38

b) Hadis qudsi yang berbunyi:Wahai anak Adam! Kuciptakan untuk kalian
tempat yang kukuh(rahim). Lalu kuselimuti kalian dengan sebuah selaput
hingga kamu tidak merasakan sakit di dalam rahim. Kujadikan wajahmu
di sisi punggung ibumu agar bau makanan tidak menyakitimu. Dan
Kujadikan kamu bersandar ke kanan dan ke kiri. Yang di sebelah kananmu
adalah hati. Dan yang di sebelah kirimu adalah limpa(empedu).
Kuajarkan kamu berdiri dan duduk di dalam perut ibumu. Maka, apakah
ada selain-Ku yang mampu melakukan seperti itu? Kemudian, tatkala Aku
sempurnakan umurmu di dalam rahim, maka Aku utus kepadamu malaikat
yang mengurusi rahim. Lalu Aku tiupkan roh kepadamu melalui sayap
malaikat itu, namun kamu belum memiliki gigi yang dapat menggigit,
tangan yang dapat memegang dan kaki yang dapat berjalan.
Kutumbuhkan untukmu dua pembuluh darah halus di dada ibumu. Dua
pembuluh darah itulah yang mengantarkan padamu susu hangat pada
musim dingin dan susu sejuk pada musim panas. Lalu Kucurahkan rasa
cinta di hati ibumu dan ayahmu sehingga mereka berdua pun tidak dapat
tidur hingga kamu dapat tidur. Mereka tidak dapat kenyang sehingga
kamu kenyang. Kemudian, tatkala tulangmu menjadi kekar dan
punggungmu menjadi hebat, kamu serta-merta mempersembahkan
kepada-Ku kemaksiatan dalam kesendirianmu. Meskipun demikian,jika
kamu kembali kepada-Ku , maka Aku akan menerimamu. Dan jika kamu
meminta ampunan-Ku maka Aku akan mengampunimu.
39

Langkah berikutnya adalah penyusunan argumen-argumen penjelas yang
merupakan hasil proses pengkajian secara teoritis. Dalam hal inilah konsepsi-
konsepsi disusun untuk membuat sebuah pengertian kausalitas yang dihadapkan
pada sebuah kesimpulan aksiomatis yang akan relevan dengan konsep tunggal
induk pengetahuan yakni Al-Qur'an. Dengan sebuah interpretasi batin yang
memadukan cahaya hati dan cahaya akal sebuah kualitas baru akan tersusun dan

38
Abu Fida' Abdur Rafi,Menjadi Kaya Dengan Menikah,(Jakarta,Republika:2007)Cet.III, h.18
39
Abdul Basith Muhammad Sayyid,Rasulullah Sang Dokter(Solo:Tiga Serangkai,2006)Cet.I,h.55-
56


79
di saat yang tepat akan mewujud dalam dunia ide.
Berikut ini adalah rangkaian argumen penjelas yang disusun oleh Imam
Al-Ghazali terkait dengan kajian ini dalam Al-Ihya: Nutfah dikeluarkan oleh
Tuhan dari tulang rusuk dan tulang dada. Bagaimana Dia mengumpulkan diantara
laki-laki dan perempuan dan Dia melemparkan kasih sayang dan kecintaan pada
hati mereka. Kemudian bagaimana Dia menciptakan anak dari air mani dan
memberi minuman kepadanya dengan darah haid dan memberi makanan
kepadanya sehingga anak itu berkembang. Bagaimana Dia menjadikan air mani
yang berwarna putih cemerlang menjadi segumpal darah, kemudian bagaimana
Dia menjadikannya segumpal daging, kemudian bagaimana Dia membagi bagian-
bagian air mani yang menyerupai lagi sama kepada tulang belulang, urat syaraf,
urat-urat, tali pusar dan daging. Kemudian bagaimana Dia menyusun dari daging
itu urat syaraf dan urat-urat menjadi anggota-anggota badan yang zahir. Lalu Dia
membulatkan kepala, melubangi pendengaran, penglihatan, hidung, mulut dan
jalan-jalan masuk lainnya. Kemudian Dia memanjangkan tangan dan kaki dan
membagi jari-jari dengan anak-anak jari. Kemudian Dia menyusun anggota-
anggota badan yang batin dari hati, perut besar, jantung, paru-paru, empedu,
rahim, ginjal dan usus-usus. Masing-masing terbentuk dengan ukuran tertentu
untuk fungsi tertentu.
Skema di atas adalah bagian dari kaidah-kaidah yang bisa disimpulkan dari
hubungan-hubungan bipolar antara subyektifitas hati dengan obyektifitas akal
sebagai konsekuensi dari proses tafakkur dengan memunculkan orientasi af'al-
af'al Tuhan dengan proyeksi ilmu pada tatanan alam syahadah yang pada
gilirannya mendapat klasifikasi dengan tingkatan-tingkatan pendakian spritual.
Ketika konsepsi af'al-af'al tentang penciptaan manusia dibawa ke dalam
ruang pemahaman akal secara simultan hati akan memberikan koreksi parsial
lewat impuls yang integral dengan cahaya Ilahi. Cahaya Ilahi merupakan
penerjemah murni bagi konsepsi-konsepsi yang dirancang akal untuk
menghadirkan daya-daya intimidatif. Daya-daya intimidatif itu misalnya adalah
daya-daya malaikat, jiwa universal dan lain-lain yang akan memberikan impuls
baru dengan struktur yang lebih baku. Struktur yang lebih baku adalah klarifikasi


80
Al-Qur'an yang memuat seluruh kodifikasi Af'al-Af'al Tuhan dengan tatanan yang
universal. J adi, dalam tingkatan pertama ini ada dua proses aktualisasi dan
manifestasi sebuah konsep untuk mendapatkan afirmasi spritual dari Af'al-Af'al
Tuhan. Proses pertama adalah ketika konsep dibawa ke dalam pemahaman akal
yang akan menjadi wujud partikulariat yang terinduksi dalam dunia gagasan.
Dunia gagasan adalah sebutan lain bagi otoritas Al-Qur'an yang merupakan
sumber ilmu pengetahuan. Ketika konsepsi mengalami abstraksi total maka
sebuah klasifikasi akan membentuknya menjadi sebuah kesimpulan. Kesimpulan
inilah yang mendapat legitimasi syariat dan akan tersusun menjadi sebuah
konsepsi tunggal. Disebut konsepsi tunggal karena dalam esensinya pengetahuan
adalah tunggal jika dikaitkan dengan struktur universalitas Al-Qur'an. Jadi, proses
pertama adalah sebuah ekstraksi yang potensial terhadap proses daya hati.
Ekstraksi ini bersifat opensif yang berarti daya kerjanya akan mendapat struktur
kuantitatif dan kualitatif jika terkoneksi dengan fakultas-fakultas kemanusiaan
yang akan menimbulkan sintesa ilmu pengetahuan teoritis.
Proses kedua merupakan afiliasi daya akal dengan hati untuk menciptakan
gagasan-gagasan Tuhan. Ini dapat terbentuk dengan limpahan cahaya hati yang
juga memperoleh intimidasi daya-daya malaikat, jiwa universal dan lain-lain.
Dalam kondisi ini, kualitas hati yang dihasilkan sangat dipengaruhi dengan
totalitas ibadah sebagai medium penerimaan cahaya Ilahi. Intinya, kegiatan ibadah
seperti: shalat, puasa, zikir dan sebagainya akan melahirkan kekuatan spritual
yang pada gilirannya mendorong impuls menjadi variabel dzauq. Dzauq yang
telah menyerap sebuah konsepsi dengan bantuan cahaya Ilahi selanjutnya akan
mengalamimi'raj spritual dalam empat tingkatan tauhid tadi.
Tingkatan pertama adalah ketika proyeksi hati mengungkapkan setiap
aspek dari konsepsi yang terserap menjadi sebuah wujud manifestasi Af'al-Af'al
Tuhan.Tingkatan ini tercipta karena sudut pandang visioner telah berubah menjadi
obyek manifestasi setelah sebelumnya menjadi subyek manifestasi dalam dunia
gagasan konseptual teoritis.Ini merupakan akibat dari efek maqamat-ahwal yang
secara sporadis akan menimbulkan ketenggelaman spritual tauhid.Ketika telah
menjadi obyek manifestasi maka sang visioner akan mengalami definisi zauq


81
yang proyeksinya adalah sebuah konsepsi tentang Af'al-Af'al Tuhan.
Tingkatan kedua adalah naiknya proyeksi akal dengan toleransi makrifat
yang diwujudkan dalam konsepsi-konsepsi spritual. Tahapan ini telah mencapai
sumber-sumber poros pengetahuan yang terintegrasi dengan susunan-susunan
bipolar yang selanjutnya akan mengaktual dalam sebuah persepsi transendental.
Dalam proyeksinya akan memperoleh impuls-impuls definitif yang merupakan
manifestasi nama-nama agung Tuhan, yang segera setelah terproyeksi akan
memberikan nilai intuitif baru bagi hati. Kondisi ini merupakan wujud equivalensi
hati ketika nama-nama suci Tuhan bermanifestasi secara laten maka akal akan
memproyeksikannya dengan unsur-unsur baku yang selanjutnya teraktualisasi
dalam perspektif definitif. Selanjutnya aktualisasi ini akan mengalami turunan
intensitas sesuai dengan karakter nama- nama suci Tuhan yang dipengaruhi oleh
susunan wujud penerimanya. Adapun tahapan-tahapan yang terjadi bisa berupa
regenerasi potensi fisik dan non-fisik yang selanjutnya terakumulasi dengan
sebuah kilatan takdir.
Tingkatan ketiga adalah ketika segenap pancaran hati sepenuhnya
mengekstraksi daya akal maka proyeksi tunggal hati akan menjadi dominan.
Dominansi ini akan memberikan impuls transenden tentang bagaimana sebuah
kualitas zauq terdefinisi sebagai sifat-sifat suci Tuhan. Totalitas akan mewujud
dalam satu sifat dan akan bermanifestasi sepenuhnya secaraAhadiah dan
Wahidiah. Secara Ahadiah sifat-sifat suci Tuhan adalah murni sebuah kualitas
dzauq transenden yang tidak dapat diekstraksi oleh hati secara utuh bahkan hati
sendiri mengalami peniadaan (fana) secara total. Sedangkan Wahidiah sifat-sifat
terdefinisi secara ajeg yang selanjutnya bermanifestasi secara kausalitas dengan
sebuah gagasan Tuhan. Dalam maqam ini,hati akan terisolir dengan sifat-sifat suci
Tuhan yang akan bermanifestasi dengan kesempurnaan wujud tunggal Tuhan yang
hanya mendeteksi totalitas Uluhiah dan Ubudiah untuk selanjutnya mendapatkan
wewenang suci yang terkenal dengan sebutan wilayah (kewalian). Intensitas
sifat-sifat suci Tuhan adalah pola-pola regenerasi potensi-potensi akal aktual dan
non-aktual yang akanberdifusi pada setiap alam ciptaan.
Adapun tingkatan keempat terkenal dengan sebutan Haqqul Yaqin.Hati


82
akan dibawa kepada sumbernya yang berarti peniadaan segenap totalitas insaniat
(potensi nasut) untuk sepenuhnya leburdalam wujud Uluhiat (lahut). Interaksi
hati akan dipenuhi oleh puncak-puncak penyingkapan mistis yang mengakibatkan
daya hati terekstraksi sepenuhnya oleh Zat Yang Maha Suci. Kondisi terkenal
dengan sebutan fana. Menurut Abu Yazid Al-Bustami, seorang sufi akan
sampai pada penyatuan dengan Tuhan melalui fana an-nafs (hilang, hancur dan
baqa) yaitu hilangnya kesadaran diri terhadap wujud jasmani, namun tetap
menyadari akan wujud ruhaninya.
40
Hubungan ini bersifat temporer karena wujud
hamba sepenuhnya adalah putera waktu dan ketika Zat Yang Maha Suci
menguasai sepenuhnya daya hati, maka hati akan kehilangan potensi rububiahnya
yang selanjutnya memperoleh poros pengendali potensi uluhiah.Disinilah puncak
impuls terkonsentrasi menjadi sebuah totalitas waktu Tuhan. Istilah waktu
Tuhan adalah kefanaan total hamba sebelum pada akhirnya dibawa kepada
kebaqaan.
1. Tafakkur Al-Quran
Dalam buku Al-Qistas Al-Mustaqim Imam Al-Ghazali memberikan
contoh tentang aplikasi tafakkur Al-Qur'an dalam menyusun konsep-konsep baru
yang memadukan daya nalar logika dengan daya cahaya hati. Prosesnya mirip
dengan pola-pola filsafat iluminasi. Filsafat iluminasi sendiri adalah filsafat yang
ajarannya didasarkan pada penyinaran (al-isyraq) yang tidak lain adalah
penyingkapan( al-kasyaf) dan penglihatan batin (al-musyahadah). Hal tersebut
terjadi karena munculnya cahaya dari alam immateri yang menyinari hati dan jiwa
lewat tahapan-tahapan tertentu.
41
Di dalam buku tersebut Imam Al-Ghazali
menyusun konsep tentang standar kebenaran yang merupakan kaidah-kaidah
dalam mengukur sebuah konsepsi. Adapun standar kebenaran (parameter) yang
beliau susun sebagai aplikasi dari tafakkur Al-Qur'an itu antara lain : skala besar
parameter Equilibrium (Ta'adul), skala medium parameter Equilibrium, skala
kecil parameter Equilibrium, parameter Equivalensi (Talazum), parameter
Kontradiksi (Ta'anud).

40
Harun Nasution,Falsafah dan Mistisisme dalam Islam(Jakarta:Bulan Bintang,1995)Cet.IX, h.76
41
M.Hadi Masruri,,Ibn Tufail:Jalan Pencerahan MencariTuhan(Yogyakarta:LKIS,2005)Cet.I,h.15


83
a. Skala Besar Parameter Equilibrium (Ta'adul)
Menurut Imam Al-Ghazali skala besar parameter Al-Qur'an tercermin
dalam cerita Nabi Ibrahim As. dengan raja Namrud. Raja Namrud mengaku
dirinya sebagai Tuhan, padahal kesepakatan umum mengatakan bahwa ke-Tuhan-
an adalah ungkapan dari Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Argumen Nabi
Ibrahim As adalah seperti yang tersurat pada firman Allah Ta'ala pada surat Al-
Baqarah ayat ke-258 yang berbunyi :
l . _|| _ _l> .>,| _ ., . , < l.l :| _! `.>,| _,
_ ._`>`, ,.`, _! !. ._`- ,. _! `.>,| _| < _.!,
_.:l!, _. _:.l ,! !, _. ,-.l , _ < _.
1l _,.l.Ll ___
Artinya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim
tentang Tuhannya karena Allah telah memberikan kepada orang itu
pemerintahan. Ketika Ibrahim mengatakan: Tuhanku ialah yang menghidupkan
dan mematikan, orang itu berkata: Saya dapat menghidupkan dan
mematikan.Ibrahim berkata, Sesungguhnya Tuhanku mendatangkan matahari
dari timur, maka jika kamu benar-benar Tuhan, datangkanlah matahari dari
barat, lalu heran terdiamlah orang kafir itu, dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim.
42

Skala ini memiliki hujah argumentasi yang didasarkan atas dua pondasi
pokok (dualisme) yang kemudian melahirkan konklusi yaitu pengetahuan.
Gambaran yang sempurna dari parameter ini adalah ketika raja Namrud
menyatakan dirinya sebagai Tuhan yang berarti premis pertama adalah klaim raja
Namrud sebagai Tuhan yang mampu menerbitkan matahari. Sementara premis
kedua adalah adanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang mampu menerbitkan
matahari Maka konklusi kedua premis adalah bahwa bahwa Tuhan yang

42
TimDepartemen Agama,Al-Quran dan Terjemahnya,(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.64



84
sebenarnya adalah selain raja Namrud.
43

Analisis di atas terlihat bahwa premis pertama merupakan pengetahuan
yang ketetapannya telah disepakati umum sementara premis kedua dimaklumkan
dengan fakta nyata bahwa raja Namrud bukan Tuhan Yang Maha Kuasa yang
menggerakkan matahari. J abaran dari proses di atas adalah bahwa setiap tingkatan
pengetahuan yang mana kita menghasilkan pengetahuan akan atribut sesuatu, lalu
kita mendapatkan pengetahuan yang lain juga tentang hukum atribut ini, sehingga
lahirlah dari kedua premis itu pengetahuan ketiga tentang ketetapan hukum atas
yang disifati secara alami.
Penyusunan premis sendiri didasarkan atas skala umum yang merupakan
pengetahuan akan aksioma-aksioma yang konsekuensif yang bersumber dari
pengetahuan inderawi, eksperimental maupun akal intuitif. Diantara contoh
lainnya adalah tentang keharaman kokain. Premis pertama adalah bahwa kokain
itu memabukkan dan merusak sistem saraf yang diketahui dari pengalaman
inderawi. Premis kedua adalah setiap yang memabukkan dan cenderung merusak
kesehatan adalah yang haram. Premis ini diketahui melalui hadis yang bersumber
dari Nabi Muhammad SAW.
b. Skala Medium Dari Parameter Equilibrium
Imam Al-Ghazali menyusun skala medium ini yang sumbernya adalah
surat Al-An'am ayat ke-76 yang berbunyi:
!.l _> ,ls `_,l , !, _! ..> _ !.l _ _! > _,l
Artinya:Ketika malam telah menjadi gelap,dia melihat sebuah bintang,lalu dia
berkata:Inilah Tuhanku. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata :
Saya tidak suka pada yang tenggelam.
44

Firman di atas berkisah tentang Nabi Ibrahim As yang menafikan bulan
sebagai Tuhan.Adapun alur lengkap skala ini adalah bahwasanya Tuhan tidak bisa
tenggelam (premis mayor) dan bulan bisa menghilang (premis minor),maka
konklusinya bulan bukanlah Tuhan.

43
ImamAl-Ghazali,Al-Qistas Al-Mustaqim,(Yogyakarta:Pustaka Sufi,2002).Cet.I,h.91
44
TimDepartemen Agama,Al-Quran danTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.199


85
Skala medium secara sederhana disusun atas pengetahuan tersendiri di
dalam pikiran Nabi Ibrahim As bahwasanya Tuhan tidak tenggelam, meskipun
pengetahuan ini bukanlah aksioma ,melainkan lebih terdeduksi dari premis mayor
dan minor yang menghasilkan konklusi bahwa Tuhan tidaklah berubah-ubah
sebab semua yang berubah-ubah adalah aksiden (baru) sementara ketenggelaman
adalah perubahan.
Adapun batasan skala ini adalah bahawa setiap dua hal yang sama salah
satunya akan menerangkan (sifat) kepada yang lain, kemudian sifat tersebut akan
menghilangkan yang lain. Maka kedua sifat tersebut antara satu dengan yang lain
jauh berbeda, yakni salah satunya akan menghilangkan sifat yang lain.
45

Aplikasinya ketika Tuhan ternegasi dari ketenggelaman yang ditetapkan pada
bulan maka hal itu mengharuskan adanya differensiasi antara Tuhan dan bulan,
yaitu bulan bukan Tuhan dan Tuhan tidak berupa bulan.
Adapun contoh lain tentang parameter ini antara lain pada firman Allah
SWT pada surat Al-Baqarah ayat ke-186:
:| ,l!. _:!,s _.s _.| , ,> :s: _ :| !s: ,,>.`. ,l _|
`..`,l _ l-l _.:, __
Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaknya mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran.
46

Parameter ini menimbang tentang konsekuensi doa yang merupakan tingkatan
manifestasi Afal-Afal Allah SWT yang tersusun dalam kerangka kausalitas.
Salah satu premis mayornya adalah Tuhan tidak jauh (dekat). Premis minornya
adalah adanya syarat dalam berdoa. Konklusinya adalah pengabulan doa tidak
berpengaruh dalam status rububiahNya tetapi lebih merupakan efek dari Afal-

45
Imam Al-Ghazali,Tangga Makrifatullah,(Surabaya:Risalah Gusti,2000)Cet.II,h.158
46
TimDepartemen Agama,Al-Quran dan Terjemahnya,(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.45



86
Afal-Nya yang menuntut adab adab dalam berdoa.
c. Skala Kecil Dari Parameter Equilibrium
Sumbernya adalah Al-Qur'an surat Al-An'am ayat ke-91 yang berbunyi:
!. '. < _> .:. :| l! !. _. < _ls :, _. ,`_: _ _. _.
..>l _ ,l> ., _.`. . _.> _!.ll . .l-> _,L !..,.
> ,. ..l`. !. `l .-. `.. !, , _ < . >: _
.> ,-l, _
Artinya : Dan mereka tidak menghormati Tuhan dengan penghormatan yang
semestinya di kala mereka berkata : Tuhan tidak menurunkan sesuatu pada
manusia. Katakanlah : Siapakah yang menurunkan Kitab Taurat yang dibawa
oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan Kitab itu
lembaran-lembaran kertas yang tercerai-berai, kamu perlihatkan (sebagiannya),
dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu
apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahuinya ?. Katakanlah :
Allah-lah (yang menurunkannya), kemudian(sesudah kamu menyampaikan Al-
Quran kepada mereka), biarkanlah bermain-main dalam kesesatannya.
47

Dalam ayat di atas terdapat dua premis.Pertama,Nabi Musa As adalah
manusia(premis mayor). Kedua, Nabi Musa As diberi kitab (premis minor).
Konsekuensi logisnya, ada sebagian manusia yang diberi wahyu dan menjadi
gugurlah pendapat generalisir yang menyatakan bahwa tidak ada manusia yang
menerima Kitab (wahyu) sama sekali.
Premis pertama bahwa Nabi Musa As adalah manusia diketahui dengan
indera, sementara premis kedua bahwa Nabi Musa As menerima Kitab diketahui
dari pengakuan kaum Yahudi sendiri. Menurut Imam Al-Ghazali , batasan definitif
parameter ini adalah bahwa jika ada dua atribut yang terkumpul dalam satu materi
, maka salah satu atribut haruslah menjadi atribut yang lain dan tidak boleh

47
TimDepartemen Agama,Al-Quran danTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.20



87
dikatakan bahwa kedua atribut harus menjadi atribut satu materi melainkan lebih
kondisional, kadang menjadi atributnya dan kadang tidak juga.
Contoh lainnya adalah kasus penyifatan manusia.Premis pertama adalah
bahwa hewan itu bertubuh (premis mayor) dan manusia itu bertubuh (premis
minor) maka konklusinya harus dikatakan bahwa hanya sebagian materi bertubuh
saja yang bisa disebut hewan dan tidak bisa digeneralisir.
48

d. Skala Parameter Equivalensi (Talazum).
Parameter ini dideduksi dari firman Tuhan surat Al-Anbiya ayat ke-22 yang
berbunyi:
l l !., > , | < !.. .l _.>,. < , _-l !.s ., __
Artinya : Sekiranya di langit dan di bumi ada Tuhan selain Allah tentu keduanya
telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai Arasyi
daripada apa yang mereka sifatkan.
49

Parameter ini juga terdapat pada surat Al-Isra ayat ke-42 yang berbunyi:
_ l l .-. > , !. l1, :| -., _|| _: _`-l ,,. __
Artinya : Katakanlah:Jika ada tuhan-tuhan di samping-Nya sebagaimana yang
mereka katakan,niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan
yang memiliki singgasana Arasy.
50

Aplikasi gambaran parameter ini adalah jika ada dua Tuhan di alam
semesta pastilah alam akan binasa (premis mayor) dan kenyataannya alam tidak
binasa (premis minor) maka konsekuensi logisnya adanya Tuhan selain Allah
jelas ternafikan dengan sendirinya. Juga, jikalau ada tuhan-tuhan lain disamping
Tuhan pemilik Arasy mereka akan memperebutkan Arasy (premis mayor) dan
kenyataannya mereka tidak saling berebut (premis minor), maka konsekuensi
logisnya tuhan-tuhan lain selain pemilik Arasy harus dinafikan.
Adapun batasan definitif parameter ini adalah bahwa setiap yang
menempel pada sesuatu, ia akan terus mengikutinya dalam segala kondisi.

48
ImamAl-Ghazali,Al-Qistas Al-Mustaqim,(Yogyakarta:Pustaka Sufi,2002).Cet.I,h.101
49
TimDepartemen Agama,Al-Quran danTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.498
50
TimDepartemen Agama,Al-Quran danTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.430


88
Konsekuensi logisnya, penafian adhesi (lazim, kelekatan) mengimplikasikan
keharusan penafian yang dilekatkan (malzum) dan sebaliknya adanya malzum
mengimplikasikan keharusan adanya lazim. Adapun penafian malzum dan
adanya lazim tidak membawa konklusi dan merupakan timbangan setan.
51

Contoh aplikasi parameter ini antara lain tentang larangan nikah lintas
agama. Premis pertama didasarkan aspek universalitas kedudukan sosial umat
manusia yang menuntut persamaan hak. Premis kedua adalah legalitas syariat
yang menuntut keabsahan aqidah secara khusus. Konklusinya nikah lintas agama
tidak memenuhi kualifikasi dalam tuntutan dan konsekuensi global tentang
totalitas syarat-syarat sah nikah.
e. Skala Parameter Kontradiksi (Ta'anud)
Letak timbangan ini di dalam Al-Qur'an adalah pada firman Allah Ta'ala
sewaktu mengajari Nabi Muhammad SAW :
_ _. >`, _. ,...l _ _ < !.| !`,| _l-l
_.> _ _.l. _,,. __
Artinya : Katakanlah:Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan
dari bumi?Katakanlah:Allah dan sesungguhnya kami atau kalian
(orang-orang musyrik) pasti berada dalam kebenaran atau di dalam
kesesatan yang nyata.(Q.S Saba ayat 24).
52

Dalam ayat di atas Allah Ta'ala tidak mengemukakan kami dan kalian
dalam tataran yang equivalen dan skeptis, akan tetapi ada premis implisit di
dalamnya, yaitu; kami tidak berada di dalam kesesatan. Lengkapnya,
sesungguhnya Allah Ta'ala memberikan rizki kepadamu dari langit dan bumi. Dia
memberikan rizki dari langit dengan menurunkan hujan dan memberikan rizki
dari bumi dengan menumbuhkan tanaman maka kalian telah sesat dengan
mengingkari hal tersebut. Logika timbangan ini adalah bahwa diksi
sesungguhnya kami dan kalian berada dalam kebenaran atau di dalam kesesatan
adalah satu premis. Lalu diketahui selanjutnya bahwa kami tidak sesat sebagai

51
ImamAl-Ghazali,Al-Qistas Al-Mustaqim,(Yogyakarta:Pustaka Sufi,2002).Cet.I,h.103
52
TimDepartemen Agama,Al-Quran danTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.687


89
premis kedua. Maka konsekuensi logis dari dualisme premis ini adalah konklusi
keharusan bahwa kalian sajalah yang tersesat.
53

Adapun definisi neraca ini adalah, segala yang bisa dibatasi dalam dua
bagian, kalau salah satunya positif tentu yang lain negatif, begitu sebaliknya.
Akan tetapi disyaratkan bagian tersebut terbatas dan bukan yang tidak dapat
dibatasi. Sebab neraca dengan bagian tidak terbatas adalah neraca setan.
54

Contoh kasusnya adalah pengingkaran kenyataan hari kebangkitan.
Konklusi dibangun atas dua opsi yakni adanya aspek kausalitas dan kematian
dalam penciptaan alam. Maka konklusinya pengukuran nilai-nilai dari kedua
aspek mutlak memerlukan pola dimensi kehidupan lain untuk mewujudkannya
yakni hari kebangkitan.
3.Tafakkur Ilmu
Adapun pembahasan tentang tafakkur ilmu ini didasarkan atas kitab Imam
Al-Ghazali yang berjudul Al- Munqiz Min Ad- Dhalal edisi terjemah. Di dalam
kitab ini Imam Al- Ghazali merumuskan konsep tentang bagaimana tafakkur
teoritis berhasil sampai kepada ilmu hakikat jika syarat syarat kondisionalnya
terpenuhi, sekalipun pada dasarnya merupakan tulisan biografi perjalanan
intelektual beliau. Beberapa syarat itu diantaranya adalah daya kecerdasan
intelektual yang mumpuni, bebas dari taklid buta, taqwa, kreatifitas bertafakkur
dan lain lain.
Tema sentral kitab ini adalah ilmu hakikat yang merupakan esensi dari
setiap ilmu, yang eksistensinya berada pada tatanan spritual dengan hati sebagai
basis eksplorasinya. Imam Al- Ghazali menjelaskan bahwa ilmu hakikat ini
merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan sebagaimana tersirat dalam
hadis Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
55
Aspek
fitrah adalah sisi fundamental setiap manusia yang pada esensinya selalu siap

53
ImamAl-Ghazali,Al-Qistas Al-Mustaqim,(Yogyakarta:Pustaka Sufi,2002).Cet.I,h.104
54
Imam Al-Ghazali,Tangga Makrifatullah,(Surabaya:Risalah Gusti,2000)Cet.II,h.172

55
ImamAl-Ghazali,Samudera Pemikiran Al-Ghazali,(Yogyakarta:Risalah
Gusti,2002)Cet.I,hal.447


90
menerima sebuah perubahan, yang tersusun menurut ukuran tertentu yang
dinisbatkan pada sebuah tahapan konvergensi kausalitas. J adi, jika terkait dengan
akidah sebagaimana diisyaratkan dengan sebuah aliran kepercayaan maka sebuah
totalitas akan muncul yang merupakan acuan kausalitas dalam merumuskan
sebuah konsepsi akidah tertentu. Dalam batas batas tertentu prosesnya
melibatkan faktor faktor terpisah yang akan memberikan aspek primordial
dalam referensi pemahamannya tentang sebuah akidah. Totalitas inilah yang
dimaksudkan sebagai sumber pengetahuan tadi.
Salah satu poin pertama pembahasan ini adalah pengetahuan tentang
adanya ilmu yaqini (ilm al-yaqin) sebagai induk dari segala pengetahuan
(totalitas), yang keberadaannya bisa merupakan sesuatu yang timbul dari sikap
skeptisisme terhadap ilmu inderawi atau teoritis. Hal inilah yang dialami oleh
Imam Al- Ghazali dalam karir intelektualnya, yang pada akhirnya beliau harus
menguji setiap kajian ilmu dari berbagai klan pengetahuan. Diantaranya adalah:
ilmu kalam, filsafat, aliran Batinniyah dan golongan Sufi.
Keempat aliran di atas adalah induk dari segala cabang cabang
pengetahuan yang relevansinya mendapat afirmasi dari syara tetapi dalam
afirmasi ilmu yaqini membutuhkan pengujian (eksperimen) sebagai medianya.
Kita tidak akan membahas tentang aspek aspek komplementer dari setiap
aliran karena akan memperluas pembahasan tetapi kita hanya akan menguraikan
bagaimana Imam Al- Ghazali mengadopsi tafakkur dalam pencarian kebenaran
hakiki.
Imam Al-Ghazali mengadopsi pola logika induksi sebagai kerangka
berpikir dasar, yang berarti Imam Al-Ghazali telah memiliki sebuah standar
kebenaran sementara yang merupakan acuan definitif bagi struktur struktur
doktrinal referensi pengetahuan yang diuji. Sebagaimana perkataan beliau : Aku
sangat membutuhkan akan ilmu tentang hakikat segala sesuatu. Karena itu, aku
harus mencari tentang hakikat ilmu itu sendiri. Kemudian tampak bagiku, bahwa
ilmu yaqini adalah ilmu yang bisa menyibak pengetahuan secara sempurna tanpa


91
menyisakan keraguan sedikit pun .
56
Pernyataan ini beliau peroleh sebagai hasil
tafakkur sebelumnya dengan Al-Quran dan Al-Hadis sebagai referensi utamanya.
Pernyataan ini kemudian beliau uji dengan konsep konsep doktrinal setiap aliran
dengan mencari aspek negasinya yang klarifikasinya adalah integrasi dari
konsepsi holistikanya yang dirunut dengan variabel variabel bipolarnya.
Sebagai contoh kita akan menguji filsafat sebagai aliran yang diklaim
paling dekat dengan kebenaran . Dalam bukunya Imam Al- Ghazali memberikan
beberapa variabel variabel bipolar yang diperoleh setelah analisa mendalam
tentang intisari dari ajaran kaum filsafat. Variabel variabel bipolar ini adalah
sebuah konsepsi yang berimplikasi terhadap dua aspek mutual yang meliputi
aspek logika empris inderawi dengan aspek aqidah syara. J ika tidak terdapat
kesesuaian yang melibatkan dua poros pengetahuan ini akan berujung kepada
kesimpulan kesimpulan yang sesat. Diantara kesesatan yang terjadi di kalangan
filsuf adalah pengingkaran terhadap kebangkitan jasad yang premis premisnya
mereka susun dalam kaidah matematis dimana mereka mengklaim bahwa makna
kebangkitan adalah murni ruhani karena sesuatu yang tersusun atas integritas
konseptual sebagaimana yang diindikasikan dengan daya kerja akal adalah daya
reka yang terjalin dalam formalitas yang terpadu. Ini berarti ketika kematian
manusia akan melepaskan daya hayawannya secara mutlak sebagai implikasi
kegelapan ruh. Daya ini tidak akan kembali saat hari kebangkitan karena mustahil
sesuatu yang bukan komponen asli bisa terwujud kembali dalam struktur yang
sama sebagaimana dalam teori matematis tentang pembagian angka angka.
Dalam pembagian angka angka, sebuah pembagi dan yang dibagi akan selalu
menghasilkan nilai konvergen dari masing masing komponennya.
Variabel variabel bipolar untuk mematahkan argumentasi adalah bahwa
sebuah sistem yang bekerja dengan sebuah susunan tertentu bisa bebas
dikreasikan dalam rupa dan dimensi yang baru. Karena makna perubahan tidak
hanya terbatas pada susunan formalnya tetapi juga menyangkut aspek soliternya
yang selalu ajeg dalam transformasi baru. Sebagaimana diisyaratkan dalam surat

56
ImamAl-Ghazali,Keluar dari Lumpur kesesatan/ sub terjemah,(Yogyakarta:Risalah Gusti,
2002) Cet.I, hal. 447


92
Yasin tentang kayu basah yang bisa terbakar. Keterbakaran kayu basah adalah
sifat soliter yang terwujud dengan sifat baru yang bertentangan dengan kausalitas
sebagai sifat aslinya.
Inilah gambaran sederhana tentang tafakkur ilmu, yang dapat
mengantarkan kita kepada keyakinan hakikat sebagaimana yang terjadi pada
Imam Al- Ghazali ra. Kembali penulis tekankan bahwa aplikasi tafakkur dalam
aspek apapun selalu kembali kepada tujuan ini.

93
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Setelah mengkaji dan menganalisa pada akhirnya penulis berkesimpulan
bahwa tafakkur versi Imam Al-Ghazali adalah integrasi menyeluruh antara
komponen-komponennya yang meliputi hati (al-qalbu), akal (al-aql) dan nafsu
(an-nafs). Sementara faktor keempat adalah ruh (ar-ruh) yang ternyata lebih
bersifat pasif dalam koordinasi kausalitas biologis sebelum pada akhirnya
menjadi dominan dalam pemberi suplementasi nilai-nilai dzauq pada tataran
nasut. Tafakkur bertujuan untuk menghadirkan makrifat di dalam hati.
Tafakkur merupakan proses sintesa ilmu yang meliputi dua tahapan.
Tahapan pertama merupakan aplikasi akal muktasab yang aktifitasnya adalah
proses-proses pembelajaran dalam sintesa ilmu-ilmu teoritis yang
menitikberatkan kepada daya akal secara global dan tersusun dalam pola-pola
tertentu.
Sementara tahapan kedua adalah merupakan aplikasi akal fitrah yang
mempunyai akses ke hati (al-qalbu) yang menerima cahaya Ilahi dalam bentuk
makrifat yang selanjutnya mendapat reinterpretasi oleh akal untuk disusun
menjadi sebuah bentuk definitif.
Tafakkur berjalan dengan efektif jika komponen-komponennya telah
tersucikan yang dicirikan dengan timbulnya kemampuan-kemampuan spritual
yang merupakan tolak ukur akhlakul karimah. Tafakkur sejalan dengan maqamat-
ahwal yang akan selalu mempengaruhi prosesnya dan akan selalu memberikan
ciri representatif dalam penentuan kualitas dan kuantitas produk dari tafakkur.
Diantaranya adalah laku-laku taat dan maksiat yang dominan dalam
penentuan karakteristik sifat-sifat yang berpengaruh dalam penerimaan intensitas
cahaya Ilahi. J ika semua komponen telah berada di dalam posisi keseimbangan


94
yang mana kaum sufi mengisyaratkannya dengan jalan tengah maka sebuah
kemampuan suci akan diperoleh (ilmu Ladunni) yang merupakan puncak afiliasi
tafakkur.
Dalam prosesnya tafakkur mendapat impuls-impuls yang bersumber dari
interaksi pasif dan aktif daya-daya luar seperti: daya-daya malaikat, setan, nafsu,
emosi, amarah yang akan berpotensi memberikan penyimpangan dalam proses
tafakkur.
Penyimpangan ini meliputi susunan formalitas struktural yang bisa
bersifat positif dan negatif.Impuls-impuls ini terbagi dalam dua kategori.
Kategori pertama adalah wujud pencitraan interaksi akal dengan daya-daya luar
yang akan menafsirkan definisi-definisi secara simbolik dan cenderung pragmatis
sesuai dengan kapasitas dan intensitas daya-daya luar yang mempengaruhinya.
Sedangkan kategori kedua adalah wujud pencitraan hati dengan daya-
daya luar yang hanya menafsirkan definisi-definisi uluhiah yang cenderung
dominan terhadap daya-daya luar.
Imam Al-Ghazali menitikberatkan peran hati(al-qalbu) dalam proses tafakkur
yang selanjutnya menghubungkannya dengan konsep-konsep penyucian hati.
Pada tahap awal tafakkur adalah media dalam proses tazkiyatun nafs sebelum
pada akhirnya menjadi interpretasi makrifat dalam mihrab kaum arifin.Menurut
beliau proses-proses tafakkur ideal adalah sebagai berikut:
1. Tadzakkur yang merupakan upaya menghadirkan dua pengetahuan di dalam
hati.
2. Tafakkur merupakan proses mencari pengetahuan baru dari proses tadzakkur.
3. Hasilnya pengetahuan yang dicari dan bersinarnya hati dengannya.
4. Berubahnya keadaan hati dari apa yang telah ada disebabkan hasilnya cahaya
makrifat.
5. Pelayanan anggota-anggota badan bagi hati menurut keadaan yang baru
baginya.
Dalam sufisme, tafakkur adalah termasuk tingkatan spritual yang tinggi dan


95
dilihat dari tujuannya sudah sewajarnya kita memupuk niat agar senantiasa
bertafakkur dalam kehidupan sehari-hari. Semoga kita termasuk orang-orang
yang bertafakkur.



i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan karunia-Nya,sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
Shalawat dan salam semogta tercurah kepada Nabi Muhammad SAW
,keluarga,sahabat dan seluruh pengikut beliau.
Dalam penulisan sakripsi ini, banyak kesan yang penulis dapatkan berupa
hambatan dan tantangan yang membuat penulis semakin bergiat diri untuk terus
memperbaiki skripsi yang telah diajukan hingga titik maksimal usaha penulis.
Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada:
1. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua dan Sekretaris J urusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif
Hidayatullah.
3. Prof . Dr .H. M. Ardani, MA, selaku dosen pembimbing yang telah sudi
menyisihkan waktu dalam membantu penulisan skripsi ini.
4. Para Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah J akarta yang telah mendidik dan memberikan bekal ilmu
pengetahuan yang sangat bernilai.
5. Kedua orang tua tercinta yang telah memberikan curahan kasih sayang dan
doa.
6. Teman-teman angkatan 2004 khususnya kelas E.
Dengan mengharap ridha dari Allah SWT ,semoga segala kebaikan-
kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan Allah
SWT.Amin.

J akarta, 2 Agustus 2010

Penulis

ii
ABSTRAK


Dewasa ini, metodologi dalam dunia pendidikan dan pengajaran
mengalami disorientasi substansial ketika dihadapkan terhadap kasus esensialisasi
tujuan pendidikan dan pengajaran itu sendiri. Ini dikarenakan metodologi yang
dipakai tidak sinergis dengan daya akomodasi yang meliputi faktor faktor
dominan yang terintegrasi dengan kapasitas spritual yang sekarang banyak
dilupakan. Faktor faktor dominan yang dimaksud adalah daya daya jiwa yang
menitikberatkan terhadap sintesa ilmu untuk selanjutnya dirumuskan dalam
sebuah varian varian korelatif dengan jaringan ilmu teoritis. Ilmu teoritis secara
formal selalu gagal dalam pembentukan karakter takwa yang merupakan tujuan
formal dari dunia pendidikan.
Daya daya jiwa bersumber dari hati yang suci yang secara khusus telah
menjadi kajian kaum sufi. Dalam tradisinya, kaum sufi telah berhasil membuat
sebuah metodologi penyucian hati agar sintesa dari ilmu mengalami regenerasi
struktural yang diindikasikan dengan konsep maqamat ahwal yang secara
langsung dan tidak langsung akan merevisi sebuah konsepsi ilmu menuju gerbang
makrifat yang merupakan indikator keberhasilan metodologi ini.
Imam Al- Ghazali secara tersirat dalam kitab Ihya Ulumuddin telah
menggagas konsep tentang hubungan kausalitas ilmu teoritis dengan daya jiwa
(dzauq) dalam memberikan sebuah solusi esensial dalam bagaimana seharusnya
sintesa ilmu teoritis yang benar, untuk selanjutnya mendapat klarifikasi positif
dari hati sebagai basis bagi makrifat dalam mewujudkan citra insan kamil yang
merupakan fitrah sejati kaum muslimin. Beliau lalu menyusun konsep tafakkur
sufistik yang merupakan langkah proaktif dalam mencapai tujuan tadi.

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... i
ABSTRAK .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 3
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 3
D. Metodologi Penelitian ......................................................... 4

BAB II SISTEMATIKA TAFAKKUR
A. PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN TUJ UANNYA . 6
1. Pengertian Tafakkur....................................................... 6
2. Ruang Lingkup Tafakkur ............................................... 11
3. Tujuan Tafakkur ........................................................... 17
B. KOMPONEN-KOMPONEN TAFAKKUR ......................... 20
1. Akal (Al-Aqlu) .............................................................. 22
2. Nafsu (An-Nafs) ........................................................... 27
3. Hati (Al-Qalb) ............................................................... 30
C. PENYIMPANGAN DALAM BERTAFAKKUR .............. 34

BAB III IMAM AL-GHAZALI
A. Riwayat Hidup .................................................................. 41
B. Imam Al-Ghazali Sang Hujjatul Islam ............................... 43

BAB IV KONSEP TAFAKKUR SUFISTIK MENURUT IMAM
AL-GHAZALI
A. KEUTAMAAN TAFAKKUR ........................................... 48
B. PENJELASAN HAKIKAT PIKIRAN DAN BUAHNYA . 52
C. PENEJELASAN J ALAN-J ALAN PIKIRAN .................... 60
iv
1. Perbuatan Maksiat ...................................................... 67
2. Perbuatan Taat ............................................................ 70
D. APLIKASI TAFAKKUR .................................................. 75
1. Tafakkur Alam ......................................................... 75
2. Tafakkur Al-Quran ................................................. 82
3. Tafakkur Ilmu .......................................................... 89
BAB V PENUTUP
Kesimpulan ............................................................................. 93
DAFTAR PUSTAKA

Вам также может понравиться