Вы находитесь на странице: 1из 9

Interpretasi Bawah Permukaan Daerah Porong Sidoarjo

Dengan Metode Geolistrik Tahanan Jenis


Untuk Mendapatkan Bidang Patahan

Teguh Setiyawan, Dr. Ir. Widya Utama, DEA

Laboratorium Geofisika Jurusan Fisika FMIPA ITS Surabaya
Jl. Arief Rahman Hakim Sukolilo Surabaya 60111
E-mail: Setya@physics.its.ac.id

Abstrak
Amblesan akibat semburan lumpur Porong Sidoarjo telah menyebabkan patahan dangkal di
daerah semburan dan sekitarnya. Untuk mendeteksi keberadaan patahan digunakan metode geolistrik
tahanan jenis dengan konfigurasi wenner Diambil 17 lintasan pengukuran dengan panjang masing-
masing lintasan 300 meter. Pengolahan data dilakukan dengan software RES2DINV ver 5.6.
Berdasarkan pengolahan dan analisa data didapat bahwa terdapat patahan dangkal akibat adanya
amblesan lumpur Sidoarjo, kondisi kestabilan tanah/kekuatan batuan di daerah penelitian sangat
rendah, jenis tanah/batuan pada ketujuhbelas lintasan memiliki penyusun yang sama tetapi hanya
jumlah prosentase penyusunnya saja yang berbeda. Dari permukaan hingga kedalaman 50 meter
jenis penyusun tanah/batuannya adalah kerikil, pasir, lempung dan serpih.

Kata kunci : metode geolistrik, konfigurasi wenner, patahan, RES2DINV.


PENDAHULUAN

Pembangunan sarana akses
transportasi yang menghubungkan kota
sidoarjo dengan kota-kota lainya merupakan
suatu usaha untuk memberikan akses
informasi, ekonomi, sosial dan budaya yang
lancar, cepat dan aman. Tol merupakan sarana
akses transportasi darat yang mempunyai
posisi penting, karena TOL memberikan akses
yang lancar, aman dan cepat dibandingkan
dengan sarana akses transportasi darat lainya.
Khususnya sarana dibangun dengan baik,
aman dan benar.
Sebelum dilakukan pembangunan
jalan TOL ada dugaan bahwa dikawasan yang
akan dilakukan pembangunan tersebut terdapat
kondisi struktur geologi bawah permukaan
yang dapat menganggu proses pembangunan
jalan TOL. Struktur geologi yang dimaksud
adalah sistem sesar/patahan. Dugaan awal
patahan berasal dari aktivitas sesar/Patahan
watukosek. Tetapi erupsi lumpur panas
Sidoarja juga mempunyai kemungkinan cukup
besar untuk menimbulkan patahan. Erupsi
lumpur panas yang memyebabkan
penimbunan masa yang sedemikian besar
menyebabkan ketidakstabilan kekompakan
batuan, sehingga kemungkinan terjadi
amblesan sangat besar.
Dengan adanya sistem sesar/patahan
ini akan menyebabkan kekuatan
batuan/kestabilan tanah berkurang, karena
bidang-bidang struktur tersebut akan
menganggu kontiunitas kekuatan batuan/tanah,
baik dalam skala kecil maupun besar. Dengan
mengetahui kondisi bawah permukaan tanah
akan dapat memberikan informasi mengenai
jenis batuan dan srtuktur geologi yang menjadi
acuan awal peletakan pondasi dari sebuah
bangunan.
Sehingga perlu adanya survei awal
atau kajian khusus untuk mendapatkan
informasi kondisi bawah permukaan tanah
yang sesuai dengan kriteria diatas. Salah satu
metode yang dapat digunakan untuk
mendeteksi patahan adalah metode geolistrik.
Metode geolistrik merupakan salah satu
metode geofisika untuk mempelajari sifat
aliran listrik di dalam bumi dan cara
mendeteksinya di permukaan bumi. Dalam hal
ini meliputi pengukuran potensial, pengukuran
arus baik secara alamiah maupun akibat
injeksi arus ke dalam bumi.
Geologi Regional Daerah Penelitian
Secara umum Jawa Timur terdiri dari
tiga daerah geologi aktif yaitu bagian selatan
(merupakan pegunungan api aktif), bagian
tengah (merupakan cekungan laut transgesi),
dan utara (pegunungan kapur). Daerah Porong
merupakan bagian tengah dari geologi Jawa
Timur yang sudah terjadi sejak 40 juta tahun
yang lalu, pada era Tersier (Van Bemmelen,
1949).















Gambar 1 Peta geologi daerah Porong (Sukardi,
1992)

Daerah Porong merupakan bagian
delta sungai Brantas yang tersusun atas urutan
formasi Ngimbang, Kujung, Tuban, Ngrayong,
Wonocolo, Ledok, dan paling muda formasi
Lidah. Sedangkan di permukaan terdiri dari
endapan aluvial delta Brantas (di utara sungai
Porong), endapan vulkanik kuarter atas dan
tufaan di selatan sungai Porong. Endapan
aluvial delta ini terdiri dari endapan yang
berasal dari sungai Brantas yang secara
stratigrafis oleh Kadar drr. (2007) diuraikan
sebagai berikut perselingan antara pasir
dengan serpih setebal 848 m (2.782,2 kaki)
yang dikorelasikan dengan Formasi Pucangan.
Di bagian tengah berupa lempung abu-abu
kebiruan Formasi Kalibeng Atas setebal 1.285
m (4.215,9 kaki). Di bawah Formasi Kalibeng
didapatkan pasir vulkanik abu-abu tua berbutir
sedang sampai kasar, dengan tebal lebih dari
944 m ( > 3.097,1 kaki).

Sifat Kelistrikan Batuan
Menurut Telford et al. (1982: 445 -
447) aliran arus listrik di dalam batuan dan
mineral dapat digolongkan menjadi tiga
macam, yaitu konduksi secara elektronik,
konduksi secara elektrolitik, dan konduksi
secara dielektrik.
1. Konduksi secara elektronik
Konduksi ini terjadi jika batuan atau
mineral mempunyai banyak elektron
bebas sehingga arus listrik dialirkan
dalam batuan atau mineral oleh
elektron-elektron bebas tersebut.
2. Konduksi secara elektrolitik
Sebagian besar batuan merupakan
konduktor yang buruk dan memiliki
resistivitas yang sangat tinggi. Batuan
biasanya bersifat porus dan memiliki
pori-pori yang terisi oleh fluida,
terutama air. Batuan-batuan tersebut
menjadi konduktor elektrolitik, di
mana konduksi arus listrik dibawa
oleh ion-ion elektrolitik dalam air.
Konduktivitas dan resistivitas batuan
porus bergantung pada volume dan
susunan pori-porinya. Konduktivitas
akan semakin besar jika kandungan air
dalam batuan bertambah banyak, dan
sebaliknya resistivitas akan semakin
besar jika kandungan air dalam batuan
berkurang.
3. Konduksi Secara Dielektrik
Konduksi pada batuan atau mineral
bersifat dielektrik terhadap aliran
listrik, artinya batuan atau mineral
tersebut mempunyai elektron bebas
sedikit, bahkan tidak ada sama sekali.
Tetapi karena adanya pengaruh medan
listrik dari luar maka elektron dalam
bahan berpindah dan berkumpul
terpisah dari inti, sehingga terjadi
polarisasi.

Potensial Dalam Medium Homogen
Apabila suatu medium homogen
dialiri arus listrik dengan rapat arus dan kuat
medan linstrik , maka menurut hukum ohm :

Dengan dalam Volt/meter, adalah
resistivitas medium. Medan listrik
merupakan gradient dari potensial scalar yang
ditulis sebagai berikut :


Dengan memasukan persamaan (2.6) ke dalam
persamaan (2.5) diperolah :

Dengan mengigat syarat batas, bahwa arus
yang memasuki suatu luasan tertentu sama
dengan arus yang meninggalkannya, kecuali
ditempat sumber arus dan lubuk arus, maka :





Sehingga diperoleh persamaan Laplace, yaitu :



Jadi syarat batas untuk arus yang
memasuki suatu luasan tertentu sama dengan
arus yang meninggalkannya. Untuk
perhitungan dengan syarat batas pada arus
tunggal yang diinjeksikan pada sebuah bahan
seperti terlihat pada gambar 2.


Gambar 2 Gambaran penyebaran arus dari
elektroda



dengan
dimana


Dengan syarat batas




Untuk





dengan


Sehingga didapatkan besarnya potensial yang
diakibatkan oleh elektroda tunggal adalah pada
persamaan (2.13)



Dua arus elektroda dengan polarisasi
berlawanan di permukaan medium
homogen
Menurut Telford et al. (1976: 633 -
637) saat jarak diantara dua arus elektroda
adalah terbatas (lihatlah gambar 3) potensial
yang dekat pada titik permukaan akan
dipengaruhi oleh kedua arus elektroda
tersebut.



Gambar 3 ua elektroda arus dan dua elektroda
potensial pada permukaan tanah homogen isotropik
pada resistivitas (Telford et al. 1976)

Sehingga beda potensial pada elektroda P
1

yang dipengaruhi oleh elektroda arus C
1
dan
C
2
adalah



Dan beda potensial di elektroda P
2
yang
dipengaruhi oleh elektroda arus C
1
dan C
2

adalah



K adalah faktor geometri yang besarnya
bergantung dari susunan elektroda yang
digunakan sebagai koreksi dalam pengolahan
data.
=

Gambar 4 Perubahan bentuk pada bidang
equipotensial dan garis aliran arus untuk dua titik
sisi vertikal

Bila mediumnya tidak homogeny
isotrop, maka resistivitasnya disebut
resistivitas semu. Dengan mengunakan
susunan elektroda tertentu, maka harga K
dapat diketahui. Beda potensial dan arus yang
dialirkan ke dalam tanah dapat diukur. Dengan
demikian resistivitas semu dapat dihitung.
Pada gambar 2.2 menunjukan adanya
arus ekipotensial yang tegak lurus terhadap
garis aliran arus yang disebabkan oleh sumber
arus ganda dipermukaan.

Konfigurasi Elektroda Wenner
Konfigurasi Wenner merupakan salah
satu konfigurasi yang sering digunakan dalam
eksplorasi geolistrik dengan susunan jarak
antar elektroda sama panjang seperti yang
terlihat pada Gambar 6.




a a a


C1 P1 P2 C1

Gambar 5. Susunan elektroda konfigurasi Wanner

Dalam hal ini elektroda-elektroda,
baik arus maupun potensial diletakkan secara
simetris terhadap titik sounding. Jarak antar
elektroda arus tiga kali jarak antar elektroda
potensial. Jadi, jika jarak masing-masing
potensial terhadap titik souding adalah a/2
maka jarak masingmasing elektroda arus
terhadap titik sounding adalah 3a/2.
Pada tahanan jenis mapping, jarak
spasi elektroda tersebut tidak berubahubah
untuk setiap titik sounding yang diamati
(besarnya a tetap). Sedangkan.
Batas pembesaran spasi elektroda ini
tergantung pada kemampuan alat yang
dipakai. Semakin sensitif dan besar arus yang
dapat dihasilkan alat tersebut, maka semakin
besar pula jarak spasi yang dapat pada tahanan
jenis sounding, jarak spasi elektroda tersebut
diperbesar secara gradual, mulai dari harga a
kecil, untuk suatu titik sounding. Model
pengukuran 2D dengan metode Wenner
terlihat pada diukur, sehingga semakin dalam
pula lapisan yang terdeteksi.
Adanya sifat bahwa pembesaran jarak
elektroda arus diikuti pula oleh pembesaran
jarak elektroda potensial menyebabkan jenis
konfigurasi Wenner dapat mendeteksi ketidak-
homogenan lokal dari lokasi yang diamati.
Dalam prosedur Wenner pada tahanan
jenis mapping, empat elektroda konfigurasi
(C2P2P1C1) dengan spasi yang sama
dipindahkan secara keseluruhan dengan jarak
yang tetap sepanjang garis pengukuran.
Pemilihan spasi terutama tergantung pada
kedalaman lapisan yang akan dipetakan
(Sharma, 1997).
Konfigurasi Wenner mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Menurut Burger
(2006), kelebihan konfigurasi Wenner adalah
dengan lebar spasi elektroda potensial yang
besar maka tidak memerlukan peralatan yang
sensitif. Sedangkan kekurangannya adalah
semua elektroda harus dipindahkan untuk
setiap pembacaan data resistivitas. Hal ini
untuk mendapatkan sensitifitas yang lebih
tinggi untuk daerah lokal dan variasi lateral
dekat permukaan.
Sedangkan faktor geometri Wenner
sebesar:




Resistivitas semu yang terbaca dalam
konfigurasi wenner dapat dinyatakan dalam
rumus :


dimana
= resistivitas semu

= jarak spasi elektroda

= resistivitas yang terukur = R
I
V
Dari persamaan (2.17) tersebut suku
merupakan factor geometri dari
konfigurasi wenner.
Adanya sifat tersebut menyebabkan
konfigurasi wenner dapat mendeteksi
ketidakhomogenan local dari lokasi yang
diamati. Target kedalaman yang didapatkan
untuk konfigurasi wenner Alpha adalah :


dimana
Z
c
= target kedalaman
= jarak antar elektroda

Pengertian Patahan/Sesar
Menurut Hendrajaya dan Simpen
(1993), bahwa sesar adalah struktur geologi
yang terbentuk karena terdapatnya dislokasi
atau patahan yang memotong bidang-bidang
perlapisan antar batuan. Pada umumnya
bidang sesar terisi oleh fluida atau mineral
yang relatif lebih kondusif dari batuan
sekitarnya. Hal ini akan mengakibatkan
penurunan resistivitas. Jadi pada sesar/patahan
akan mempunyai resistivitas yang relatif lebih
rendah dari daerah sekitarnya.

Metode Penelitian
Metode penelitian terdiri dari akuisisi
data, pengolahan data, analisa data dan
interpretasi data.

Akuisisi data
Proses pengambilan data pada metode
geolistrik mempunyai beberapa tahap
pelaksanaan. Tahap pelaksanaan tersebut
adalah:
Tahap I: Penentuan titik sounding
pada peta lapangan. Pada umumnya, sebelum
melakukan pengukuran geolistrik di lapangan,
peta lapangan yang akan disurvei perlu
dipelajari terlebih dahulu untuk menentukan
posisi yang tepat bagi titiktitik sounding.
Tahap II: Penempatan titik sounding
di lapangan. Pada tahap ini, titik-titik sounding
yang telah ditentukan pada peta lapangan di
cari posisinya secara tepat di lapangan.
Berdasarkan referensi-referensi yang didapat
di lapangan, misalnya letak bangunan, pohon,
sungai dan lain-lain dengan bantuan kompas.
Letak titik-titik tersebut mestinya akan dapat
ditentukan dengan tepat dan lurus.
Tahap III: Pengambilan data. Pada
titik sounding, ditentukan bentangan elektroda
berupa garis lurus dengan titik sounding
merupakan titik tengah. Arah bentangan yang
dipilih adalah arah bentangan yang lurus.
Kemudian dibentangkan (tali yang sudah
diberi jarak tertentu) sesuai dengan arah
tersebut. Sementara itu, diatur peralatan
pengukuran (resistivitymeter, 2 gulung kabel
arus, 2 gulung kabel potensial, elektroda dan
lainnya) sedemikian rupa sehingga
mempermudah pelaksanaan pengukuran
nantinya. Pertama diukur posisi awal dengan
menggunakan GPS (Global Positioning
System) untuk menentukan posisi terhadap
garis lintang dan garis.
Lokasi penelitian berada di daerah
kecamatan porong Sidaorjo pada tanggal 3
juni 2009 sampai 19 juni 2009. Dilakukan
pengukuran sebanyak 17 lintasan dengan
panjang masing-masing lintasn 300 meter.
Seperti ditunjukan pada gambar 6.


Gambar 6 Lokasi pengambilan data

Pengambilan data dilakukan dengan
metode geolistrik konfigursi Wenner. Untuk
semua lintasan digunakan spasi awal yang
sama, yaitu 5 meter kemudian untuk
pengukuran selanjunya berturut-turut spasinya
diperbesar kelipatan pertambahan 10 sampai n
= 10 sesuai dengan target kedalaman yang
diinginkan.

Pengolahan data
Setelah dilakukan akuisisi data di
lapangan maka didapatkan hasil data tentang
resistivitas dari tiap-tiap titik, kemudian data
tersebut dikalikan dengan faktor geometri
(konfigura Wenner) untuk mendapatkan harga
resistivitas semu (aw) yang akan digunakan
dalam membuat kontur dengan
menghubungkan tiap-tiap nilai aw tersebut.
Dalam tahap pengolahan data ini
dilakukan dengan komputer dengan
menggunakan perangkat lunak Res2DInv.
Perangkat lunak ini mengolah data yang
didapatkan dari akuisisi lapangan. Pemodelan
2-D dilakukan dengan menggunakan program
inversi. Program inversi ini menggambarkan
dan membagi keadaan bawah permukaan
dalam bentuk penampang 2-D. Program
inversi ini juga menentukan harga resistivitas
semu terukur dan terhitung. Metode inversi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kuadrat terkecil (least square).

Analisa data
Pada penelitian ini telah dilakukan
pengambilan data geolistrik dengan
konfigurasi Wenner. Data-data geolistrik
tersebut kemudian diolah dengan
menggunakan perangkat lunak Res2dinv untuk
mendapatkan tampilan 2 dimensi kontur
resistivitas dari struktur lapisan tanah bawah
permukaan. Tampilan 2 dimensi yang
dihasilkan dari perangkat lunak Res2dinv
tersebut terdiri dari tiga kontur isoresistivitas
pada penampang kedalaman semu
(pseudodepth section). Penampang yang
pertama menunjukkan kontur resistivitas semu
pengukuran (measured apparent resistivity),
yaitu data resistivitas semu yang diperoleh dari
pengukuran di lapangan (akusisi data).
Penampang yang kedua menunjukkan kontur
resistivitas semu dari hasil perhitungan
(calculated apparent resistivity). Dan
penampang yang ketiga adalah kontur
resistivitas sebenarnya yang diperoleh setelah
melalui proses pemodelan inversi (inverse
model resistivity section) (Telford, 1976).
Untuk mendapatkan kesesuaian jenis
tanah/batuan yang berada dilapangan dengan
hasil pengolahan, dibutuhkan data pembanding
berupa data bor. Data bor ini didapatkan dari
penelitian dilokasi Jl.Bhayangjari, Porong
yang dilakukan pada tanggal 29 juni 2009 dan
diambil pada titik dari salah satu lintasan
pengambilan data. Jika terjadi kecocokan
jenis baruan dari data bor dengan data hasil
pengolahan, maka bisa dikatakan data hasil
pengolahan sudah benar. Sehingga dari data
pengolahan dapat dilanjutkan ketahap
berikutnya, yaitu interpretasi data. Data jenis
tanah terhadap kedalaman pada daerah
penelitian ditunjukan pada table 1.

Tabel 1 Hubungan antara penyusun jenis
tanah/batuan dengan kedalaman.
Kedalaman
(Meter)
Penyusun jenis
tanah/batuan

5
1. Kerikil : 2,21%
2. Pasir : 43,16%
3. Silt : 35,06%
4. Clay : 19,57%

10
1. Kerikil : 6,61%
2. Pasir : 41,55%
3. Silt : 28,64%
4. Clay : 23,20%

15
1. Kerikil : 1,72%
2. Pasir : 50,78%
3. Silt : 24,48%
4. Clay : 23,02%

20
1. Kerikil : 0,00%
2. Pasir : 32,37%
3. Silt : 43,40%
4. Clay : 23,23%

25
1. Kerikil : 0,00%
2. Pasir : 34,36%
3. Silt : 36,26%
4. Clay : 29,38%

30
1. Kerikil : 3,12%
2. Pasir : 44,31%
3. Silt : 27,10%
4. Clay : 25,48%

Tabel 1 Daftar harga resistivitas tanah/batuan
(Roy, E.H.,1984)

Jenis tanah/batuan
Harga
resistivitas
(Ohm.meter)
Tanah lempung, basah
lembek
Tanah lanau & tanah
lanau basah lembek
Tanah lanau, pasiran
Batuan dasar berkekar
terisi tanah lembab
Pasir kerikil terdapat
lapisan lanau
Batuan dasar terisi
tanah kering
Batuan dasar tak
lapuk

1,5-3,0

3-15
15-150

150-300

300

300-2400

>2400
Berdasarkan tabel 1 diperoleh bahwa
disetiap kedalaman memiliki kecenderunga
penyusan jenis tanah/batuan yang sama, hanya
dibedakan oleh besarnya prosentase intensitas
dari setiap penyusun tanah/batuan tersebut.
Perbedaan besarnya prosentase intensitas dari
penyusun tanah/batuan ini akan berpengaruh
terhadap nilai resistivitas tanah/batuan, seperti
terlihat pada tabel 2.
Jika dilakukan korelasi antara table 1
dengan table 2 diperoleh bahwa untuk
resisitivitas tertinggi berada pada kedalaman
5 meter dan berturut-turut lebih kecil
pada kedalaman 10, 15, 30, 25 dan 20 meter.
Lintasan 1
Akuisisi data pada lintasan 1
dilakukan di desa Ketapang Sidoarjo dengan
panjang lintasan 300 meter dengan titik awal
(titik 0 meter) berada pada koordinat
112
0
42231BT dan 07
0
31023 dengan
variasi jarak antar elektroda berturut-turut 5
meter, 10 meter, 25 meter dan bertambahan
kelipatan 10 meter hingga spasi 95 meter dan
trakhir 100 meter. Dari hasil pengukuran
diperoleh harga resistivitasnya berkisar antara
0,155 95.1 m.
Pengolahan data dengan menggunakan
Res2DInv untuk lintasan 1 diperoleh
penampang harga resistivitas semu seperti
pada Gambar 4.1.


Gambar 4.1 Penampang kontur resistivitas semu
pada lintasan 1.

Berdasarkan gambar 4.1. Terdapat
beberapa bidang lemah yang ditunjukkan
dengan warna biru hijau pada jarak 250 meter
yang memotong perlapisan antar batuan yang
memiliki nilai resistivitas yang lebih tinggi.
Bidang-bidang ini diperkirakan merupakan
patahan.

Lintasan 2
Akuisisi data pada lintasan 2
dilakukan di desa Wunut Sidoarjo dengan
panjang lintasan 300 meter dengan titik awal
(titik 0 meter) berada pada koordinat
112
0
42231BT dan 07
0
31023 dengan
variasi jarak antar elektroda berturut-turut 5
meter, 10 meter, 25 meter dan pertambahan
kelipatan 10 meter hingga spasi 95 meter dan
trakhir 100 meter. Dari hasil pengukuran
diperoleh harga resistivitasnya berkisar antara
0,560 97.8 m.

Gambar 4.2 Penampang kontur resistivitas semu
pada lintasan 2

Pengolahan data dengan menggunakan
Res2DInv untuk lintasan 2 diperoleh
penampang harga resistivitas semu seperti
pada Gambar 4.2.
Berdasarkan gambar 4.2. Terlihat
beberapa bidang lemah yang ditunjukkan
dengan warna hijau muda pada jarak 250
meter yang memotong perlapisan antar batuan
yang memiliki nilai resistivitas yang lebih
tinggi. Bidang-bidang ini diperkirakan
merupakan patahan.

PEMBAHASAN
4.2 Pembahasan

Penyusun tanah/batuan permukaan di
daerah porong sidoarjo merupakan endapan
alluvial yang berasal dari sedimentasi sungai
brantas. Pada kedalaman 0 sampai 800 meter
endapan di dominasi oleh perselingan pasir,
lempung dan serpih. Berdasarkan data bor
yang diambil pada kedalaman 5, 10, 15, 20, 25
dan 30 meter diperoleh bahwa disetiap
kedalaman memiliki kecenderungan penyusan
jenis tanah/batuan yang sama, hanya
dibedakan oleh besar jumlah prosentase dari
setiap penyusun tanah/batuan tersebut.
Perbedaan besarnya prosentase dari penyusun
tanah/batuan ini akan berpengaruh terhadap
nilai resistivitas tanah/batuan
Berdasarkan hasil pengolahan data
dari ketujuh belas lintasan dengan software
res2dinv didapatkan penampang kontur
resitivitas. Kontur resistivitas ini memberikan
gambaran kondisi tanah/batuan bawah
permukaan. Jika dikorelasikan dengan data
bor, pada kedalaman 0 sampai 59 meter
diperkirakan terdapat tigaperselingan endapan
tanah/batuan. Endapan paling atas pada
kedalaman 0 sampai 15 meter dengan
kisaran nilai resitivitas (6 30) ohm.m.
Endapan tengah berada pada kedalaman (15
40) meter dengan kisaran nilai resistivitas
(0,4 6) ohm.m. Dan endapan bawah berada
pada kedalaman (40 59) meter dengan
kisaran nilai resistivitas (6 25) ohm.m.
Patahan/sesar adalah rekahan pada
masa batuan yang yang telah memperlihatkan
gejala pergeseran pada kedua belah sisi bidang
rekaha (Simpson, 1968). Dimana rekahan-
rekahan ini biasanya terisi oleh fluida atau
mineral yang memiliki harga resistivitas lebih
kecil dari pada bidang rekahanya. Berdasarkan
asumsi tersebut, pendugaan patahan dengan
metode geolistrik terdapat pada lintasan 1, 2,
3, 4, 5, 6, 8, 9, 13, 14, 15, 16. Seperti terlihat
lampiran pada gambar 4.18
Berdasarkan gambar 4.18 terlihat
bahwa patahan terdapat pada lintasan yang
mengelilingi pusat semburan lumpur porong
Sidoarjo. Hal ini menandakan bahwa patahan-
patahan tersebut terjadi akibat adanya
amblesan yang disebabkan oleh massa lumpur
yang begitu besar. Erupsi atau keluarnya
lumpur secara terus-menerus menyebabkan
penimbunan massa batuan yang sangat luar
biasa, sehingga tanah/batuan dipermukaan
tidak kuat lagi menahan massa lumpur yang
ada diatasnya.
Salah satu sarana transportasi jalan
TOL juga menjadi ancaman karena dampak
dari amblesan tersebut telah menyebabkan
adanya patahan yang tepat berada di bawah
permukaan jalan TOL porong Sidoarjo.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Adanya patahan dangkal yang
disebabkan oleh amblesan lumpur
porong Sidoarjo.
2. Kondisi kestabilan tanah/kekuatan
batuan di daerah penelitian sangat
rendah.
3. Sarana jalan TOL mendapat dampak
dari amblesan lumpur porong
Sidoarjo, yaitu berupa patahan yang
berada di bawah permukaan jalan
TOL.
4. Jenis tanah/batuan pada ketujuhbelas
lintasan memiliki penyusun yang sama
tetapi hanya jumlah prosentase
penyusunnya saja yang berbeda. Dari
permukaan hingga kedalaman 50
meter jenis tanah/batuannya adalah
pasir, lempung dan serpih.

Saran
1. Pembangunan jalan tol sebaiknya
tidak dilakukan didaerah penelitian.
2. Perlu dilakukan interpretasi 3D untuk
mendapatkan hasil yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Adhi, M.A. 2007. Modul Praktikum
Geolistrik. Semarang : Unnes (tidak
dipublikasikan).
Alonso, M. dan E.J. Finn. 1980. Dasar-Dasar
Fisika Universitas. Jakarta : Penerbit
Erlangga.
Ristianto, D. 2007. Skripsi (Penentuan
Resistivitas Tanah Pada Zona Labil
Dengan Aplikasi Geolistrik Metode
Tahanan Jenis Konfigurasi
Schlumberger (Studi Kasus di Desa
Bambankerep, Kecamatan Ngaliyan,
Kota Semarang, Jawa Tengah)).
Semarang : Unnes (tidak
dipublikasikan).
Pulmmer, C.C. 1982. Physical Geology. Mc
Graw-Hill.
Santoso, D. 2002. Pengantar Teknik Geofisika.
Bandung: Departemen Teknik Geofisika
ITB.
Suseno, H. 2007. Skripsi (Penentuan Pola
Resistivitas Batuan Di Daerah Labil
dengan Aplikasi Geolistrik Metode
Tahanan Jenis (Metode Schlumberger
(Studi Kasus Di Sukorejo Kota
Semarang)). Semarang : Unnes (tidak
dipublikasikan).














Lampiran





















Gambar 8. Patahan pada setiap lintasan
U
: Lintasan pengukuran

: Patahan

Вам также может понравиться