Вы находитесь на странице: 1из 35

1

BAB I
PENDAHULUAN

Endometriosis adalah suatu keadaan di mana jaringan endometrium yang
masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Pada endometriosis jaringan
ditemukan di luar kavum uteri dan di luar miometrium.

Endometriosis umumnya
ditemukan pada rongga peritoneum namun dapat juga ditemukan pada septum
rekto-vaginal, ovarium, perikardium, pleura, dan traktus urinarius.
(1,2,3,4,5)







Gambar 1. Lokasi yang sering ditemukan adanya endometriosis
(Dikutip dari kepustakaan 2)

Gambaran klasik penyakit ini dapat berupa dysmenorrhea berat,
dyspareunia, nyeri pelvis kronis, infertil, dan fatigue kronik. Berbagai
teori telah dipaparkan sejak lebih dari 100 tahun yang lalu untuk
menjelaskan patogenesis endometriosis. Teori-teori tersebut berkembang
dari teori perkembangan in-situ, implantasi, induksi, genetik, hormonal,
stres oksidatif hingga teori tentang keterlibatan sistem imun yang
mengarahkan endometriosis ini sebagai salah satu penyakit autoimun.
Namun sampai saat ini patogenesis dan penyebab pasti terjadinya
endometriosis belum dapat dimengerti sepenuhnya sehingga penelitian
lebih lanjut diperlukan untuk memahami patogenesis endometriosis yang
lebih baik
(1,2,3)
2

BAB II
ENDOMETRIOSIS

A. Defenisi
Endometriosis adalah suatu keadaan di mana jaringan endometrium
yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Pada endometriosis
jaringan ditemukan di luar kavum uteri dan di luar miometrium.
(1,2,3,4,5)

Endometriosis merupakan penyakit hormonal-dependent, biasanya terjadi
pada wanita usia reproduktif. Jaringan endometrial yang ditemukan di dalam
miometrium dikenali sebagai adenomiosis.
(2,4)

B. Epidemiologi
Insiden endometriosis sulit untuk dinilai karena endometriosis
umumnya bersifat asimtomatik dan modalitas pencitraan kurang sensitif
untuk penegakan diagnosis. Metode primer untuk menegakkan diagnosis
endometriosis adalah laparoskopi dan pemeriksaan biopsi. Dengan
menggunakan standar diagnosis ini, insiden endometriosis dilaporkan sekitar
1,6 kasus per 1.000 perempuan yang berusia antara 15-49 tahun. Pada kasus
asimtomatik, prevalensi endometriosis berkisar antara 2-22%. Pada
kelompok perempuan infertil, prevalensi endometriosis berkisar antara 20-
50% dan pada kelompok yang berkeluhan nyeri pelvis berkisar antara 40-
50%.
(2,5,6)

Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini
menunjukkan angka kejadian yang meningkat. Angka kejadian antara 5-15
% dapat ditemukan antara semua operasi pelvik. Endometriosis jarang
didapatkan pada orang-orang Negro, lebih sering didapatkan pada wanita-
wanita dari golongan sosio ekonomi yang kuat. Yang menarik perhatian
ialah bahwa endometriosis lebih sering ditemukan pada wanita yang tidak
kawin pada usia muda, dan yang tidak mempunyai banyak anak. Rupanya
fungsi ovarium secara siklis yang terus menerus tanpa diselingi oleh
kehamilan, memegang peranan dalam terjadinya endometriosis.
(1)
3

C. Anatomi
1. Uterus
Uterus pada seorang dewasa berbentuk seperti buah advokad atau pir
yang sedikit gepeng. Ukuran panjang uterus 7 - 7,5 cm, lebar di tempat yang
paling lebar 5,25 cm, dan tebal 2,5 cm. Uterus terdiri atas korpus uteri (2/3
bagian atas) dan serviks uteri (1/3 bagian bawah). Letak uterus dalam
keadaan fisiologis adalah anteversiofleksi (serviks ke depan dan membentuk
sudut dengan serviks uteri). Uterus terdiri atas korpus uteri (2/3 bagian atas)
dan serviks uteri (1/3 bagian bawah). Serviks uteri terbagi atas dua bagian
yaitu pars supravaginal servisis uteri dan pars vaginal servisis uteri yang
dinamakan porsio. Antara serviks uteri dan korpus disebut ismus uteri.
(1,7)

Bagian atas uterus disebut fundus uteri, di mana tuba Fallopi kanan
dan kiri masuk ke uterus. Dinding uterus terdiri terutama atas miometrium,
yang merupakan otot polos berlapis tiga, sebelah luar longitudinal, sebelah
dalam sirkuler, dan antara kedua lapisan ini beranyaman. Miometrium dalam
keseluruhannya dapat berkontraksi dan berelaksasi. Kavum uteri dilapisi
oleh selaput lendir yang kaya dengan kelenjar, disebut endometrium.
Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjar-kelenjar dan stroma dengan
banyak pembuluh pembuluh darah yang berkelok-kelok. Pertumbuhan dan
fungsi endometrium dipengaruhi sekali oleh hormon steroid ovarium. Di
luar, uterus dilapisi oleh serosa (peritoneum viscerale). Uterus mendapat
darah dari arteri uterina, ranting dari dari arteri iliaka interna, dan dari arteri
ovarika.
(1,7)

Uterus sebenarnya terapung-apung dalam rongga pelvis, tetapi
terfiksasi dengan baik oleh jaringan ikat dan ligamen yang menyokongnya.
Ligamentum yang menyokong uterus adalah seperti ligamentum Cardinal
(Mackenrodt) kanan dan kiri, yang terpenting yang mencegah uterus tidak
turun; ligamentum sakrouterina kanan dan kiri, yang menahan uterus supaya
tidak banyak bergerak; ligamentum rotundum kanan dan kiri, yang menahan
uterus dalam keadaan antefleksi; ligamentum latum kanan dan kiri, yang
4

meliputi tuba; dan ligamentum infundibulopelvikum kanan dan kiri yang
menahan tuba Falopii.
(1)


Gambar 2. Uterus, tuba Fallopi, vagina dari arah posterior. Dikutip dari
kepustakaan 8

2. Tuba
Tuba Fallopi ialah saluran telur yang berasal dari duktus Mlleri. Rata-
rata panjang tuba berkisar 11 - 14 cm. Bagian yang berada di dinding uterus
dinamakan pars intertisialis, lateral dari itu (3 - 6 cm) terdapat pars isthmika
yang masih sempit (diameter 2 - 3 mm), dan lebih ke arah lateral lagi yaitu
pars ampullaris yang lebih lebar (diameter 4 - 10 mm) dan mempunyai ujung
terbuka menyerupai anemon yang disebut infundibulum. Bagian luar tuba
diliputi oleh peritoneum viserale, yang merupakan bagian dari ligamentum
latum. Otot di dinding tuba terdiri atas (dari luar ke dalam) otot longitudinal
dan otot sirkuler. Lebih ke dalam lagi terdapat mukosa yang terdiri dari
epitel kubik sampai silindris, yang berlipat-lipat ke arah longitudinal dan
terutama dapat ditemukan di bagian ampulla.
(1)


5


Gambar 3. Uterus, tuba fallopi dan ovarium. Dikutip dari kepustakaan 8

3. Ovarium
Terdapat dua ovarium di tubuh wanita, masing-masing di kiri dan
kanan uterus, dilapisi mesovarium dan tergantung di bagian belakang
ligamentum latum. Bentuknya sebesar ibu jari tangan dengan ukuran
panjang kira-kira 4 cm, lebar dan tebal kira-kira 1,5 cm. Sebagian besar
ovarium berada intraperitoneal dan tidak dilapisi oleh peritoneum. Pinggir
atasnya atau hilusnya berhubungan dengan mesovarium tempat
ditemukannya pembuluh-pembuluh darah dan serabut-serabut saraf untuk
ovarium.
(1,7)

Struktur ovarium terdiri atas korteks dan medulla. Korteks , bagian
luar yang diliputi oleh epitelium germinativum berbentuk kubik dan di
dalamnya terdiri atas stroma serta folikel-folikel primordial. Medulla,
bagian disebelah dalam korteks tempat terdapatnya stroma dengan
pembuluh-pembuluh darah, serabut-serabut saraf, dan sedikit otot polos.
Pada wanita diperkirakan sekitar 100 ribu folikel primer. Pada masa
reproduktif, tiap bulan satu folikel atau terkadang dua folikel akan
berkembang menjadi folikel de Graaf. Folikel yang matang ini terisi
6

dengan likuor follikuli yang mengandung estrogen, dan siap untuk
berovulasi.
(1,7)



Gambar 4. Ovarium. Dikutip dari kepustakaan 9

D. Fisiologi

Endometrium adalah lapisan epitel yang melapisi rongga rahim.
Kelenjar dan stroma yang terdapat pada permukaan endometrium
mengalami perubahan yang siklik, bergantian antara pengelupasan dan
pertumbuhan baru setiap sekitar 28 hari. Ada dua lapisan; yaitu lapisan
fungsional letaknya superfisial yang akan mengelupas setiap bulan dan
lapisan basal tempat lapisan fungsional berasal yang tidak ikut mengelupas.
(7)
Siklus haid terjadi sebagai akibat pertumbuhan dan pengelupasan
lapisan endometrium uterus. Perubahan endometrium dikontrol oleh siklus
ovarium. Rata-rata siklus 28 hari dan terdiri atas: (1) fase folikular, (2)
ovulasi, dan (3) pasca ovulasi atau fase luteal. Jika siklusnya memanjang,
7

fase folikularnya memanjang, sedangkan fase lutealnya tetap 14 hari. Siklus
haid normal karena (1) adanya hypothalamus-pituitary-ovarian endocrine
axis, (2) adanya respons folikel dalam ovarium, dan (3) fungsi uterus.
(7)


Gambar 5. Siklus haid. Dikutip dari kepustakaan 2

A. Siklus Ovarium
1. Fase Folikular
Hari ke-1 8:
Pada awal siklus. Kadar FSH dan LH relative tinggi dan memacu
perkembangan 10 - 20 folikel dengan satu folikel domain. Folikel domain
tersebut tampak pada fase mid-follicular, sisa folikel mengalami atresia.
Relatif tingginya kadar FSH dan LH merupakan trigger turunnya estrogen
8

dan progesteron pada akhir siklus. Selama dan segera setelah haid kadar
estrogen relative rendah tapi mulai meningkat karena terjadi
perkembangan folikel.
(7)

Hari ke-9 14:
Pada saat ukuran folikel meningkat lokalisasi akumulasi cairan
tampak sekitar sel granulose dan menjadi konfluen, memberikan
peningkatan pengisian cairan di ruang sentral yang disebut antrum yang
merupakan transformasi folikel primer menjadi sebuah Graafian folikel
dimana oosit menempati posisi eksentrik, dikelilingi oleh 2 sampai 3 lapis
sel granulose yang disebut cumulus ooforus. Perubahan hormon:
hubungannya dengan pematangan folikel adalah ada kenaikan yang
progresif dalam produksi estrogen (terutama estradiol) oleh sel granulosa
dari folikel yang berkembang. Mencapai puncak 18 jam sebelum ovulasi.
Karena kadar estrogen meningkat, pelepasan kedua gonadotropin ditekan
(umpan balik negatif) yang berguna untuk mencegah hiperstimulasi dari
ovarium dan pematangan banyak folikel. Sel granulosa juga menghasilkan
inhibin dan mempunyai implikasi sebagai faktor dalam mencegah jumlah
folikel yang matang.
(7)


2. Ovulasi
Hari ke-14:
Ovulasi adalah pembesaran folikel secara cepat yang diikuti
dengan protrusi dari permukaan korteks ovarium dan pecahnya folikel
dengan ekstrusinya oosit yang ditempeli oleh cumulus ooforus. Pada
beberapa perempuan saat ovulasi dapat dirasakan adanya nyeri di fosa
iliaka. Perubahan hormon: estrogen meningkatkan sekresi LH (melalui
hipotalamus) mengakibatkan meningkatnya produksi androgen dan
estrogen (umpan balik positif). Segera sebelum ovulasi terjadi penurunan
kadar estradiol yang cepat dan peningkatan produksi progesteron. Ovulasi
terjadi dalam 8 jam dari mid-cycle surge LH.
(7)
9


3. Fase Luteal
Hari ke-15 28:
Sisa folikel tertahan dalam ovarium dipenitrasi oleh kapilar dan
fibroblast dari teka. Sel granulose mengalami luteinisasi menjadi korpus
luteum. Korpus luteum merupakan sumber utama hormone steroid seks,
estrogen dan progesteron disekresi oleh ovarium pada fase pasca-ovulasi.
Korpus luteum meningkatkan produksi progesteron dan estradiol. Kedua
hormone tersebut diproduksi dari precursor yang sama. Selama fase luteal
kadar gonadotropin mencapai kadar nadir dan tetap rendah sampai terjadi
regresi korpus luteum yang terjadi pada hari ke-26 28. Jika terjadi
konsepsi dan implantasi, korpus luteum tidak mengalami regresi karena
dipertahankan oleh gonadotropin yang dihasilkan oleh trofoblas. Jika
konsepsi dan implantasi tidak terjadi korpus luteum akan mengalami
regresi dan terjadilah haid.
(7)

B. Siklus Uterus
1. Fase Proliferasi
Selama fase folikular di ovarium, endometrium di bawah pengaruh
estrogen. Pada akhir haid proses regenerasi berjalan dengan cepat. Saat ini
disebut fase proliferasi, kelenjar tubular yang tersusun rapi sejajar dengan
sedikit sekresi.
(7)

2. Fase Sekretoris
Setelah ovulasi, produksi progesteron menginduksi perubahan sekresi
endometrium. Tampak sekretori dari vakuol dalam epitel kelenjar di
bawah nucleus, sekresi maternal ke dalam lumen kelenjar dan menjadi
berkelok-kelok.
(7)



10

3. Fase Menstruasi
Normal fase luteal berlangsung selama 14 hari. Pada akhir fase ini
terjadi regresi korpus luteum yang ada hubungannya dengan menurunnya
produksi estrogen dan progesterone ovarium. Penurunan ini diikuti oleh
kontraksi spasmodik yang intens dari bagian arteri spiralis kemudian
endometrium menjadi iskemik dan nekrosis, terjadi pengelupasan lapisan
superfisial endometrium dan terjadilah perdarahan. Vasospasme terjadi
karena adanya produksi local prostaglandin. Prostaglandin juga
meningkatkan kontraksi uterus bersamaan dengan aliran darah haid yang
tidak membeku karena adanya aktivitas fibrinolitik lokal dalam pembuluh
darah endometrium yang mencapai puncaknya saat haid.
(7)

E. Etiologi dan Patomekanisme
Walaupun penyebab pasti dari endometriosis masih belum diketahui,
terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan.
(2)

1. Teori Menstruasi Retrograd
Teori yang paling awal dan paling banyak diterima secara meluas
berhubungan dengan menstruasi retrograd melalui tuba fallopi dengan
penyebaran jaringan endometrial di dalam kavum peritoneal. Teori
menstruasi retrograd atau juga dikenal sebagai teori transplantasi yang
pertama kali dikemukakan oleh Sampson pada tahun 1927. Menurut teori
ini, endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi)
melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah
haid didapati sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel endometrium
yang masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis.
(1,2,9,10,11)

2. Teori Penyebaran Limfatik atau Hematogen
Bukti juga mendukung konsep endometriosis yang berasal dari penyebaran
limfatik atau vaskular dari jaringan endometrium. Temuan endometriosis
11

di lokasi yang tidak biasa, seperti perineum atau pangkal paha,
memperkuat teori ini. Daerah retroperitoneal memiliki sirkulasi limfatik
yang banyak. Dengan demikian, pada kasus-kasus di mana tidak ada
ditemukan implantasi peritoneal, tetapi semata-mata merupakan lesi
retroperitoneal yang terisolasi, diduga menyebar secara limfatik. Selain itu,
kecenderungan adenokarsinoma endometrium untuk menyebar melalui
jalur limfatik menunjukkan endometrium dapat diangkut melalui jalur ini.
Meskipun teori ini tetap menarik, namun sedikit studi yang melakukan
eksperimen untuk mengevaluasi bentuk transmisi endometriosis ini.
(2,9,11)

3. Teori Metaplasia Selomik
Teori ini menyatakan bahwa peritoneum parietalis adalah jaringan
pluripotensial yang bisa mengalami perubahan metaplasia sehingga secara
histology jaringan tersebut sulit dibedakan dengan endometrium yang
normal.
(2,9,10,11)
Perubahan metaplasia ini dirangsang sebelumnya oleh beberapa
faktor seperti infeksi, hormonal dan rangsangan induksi lainnya. Teori ini
menarik pada kasus endometriosis tanpa adanya menstruasi, seperti pada
wanita premenarke dan menopause, dan pada laki-laki dengan karsinoma
prostat diterapi dengan estrogen dan orchiektomi. Namun, tidak adanya
endometriosis pada jaringan lain yang berasal dari epitel selom menentang
teori ini.
(2)
Teori lain mengenai histogenesis endometriosis dilontarkan oleh
Robert Meyer. Pada teori ini dikemukakan bahwa endometriosis terjadi
karena rangsangan pada sel-sel epitel berasal dari selom yang dapat
mempertahankan hidupnya di daerah pelvis. Rangsangan ini akan
menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan
endometrium. Teori dari Robert Meyer akhir-akhir ini semakin banyak
penantangnya. Di samping itu masih terbuka kemungkinan timbulnya
endometriosis dengan jalan penyebaran melalui jalan darah atau limfe, dan
dengan implantasi langsung dari endometrium pada saat operasi.
(1)
12

4. Teori induksi
Teori induksi menjelaskan bahwa beberapa hormon dan
faktor biologis dapat menginduksi diferensiasi sel-sel dalam
jaringan endometrium. Substansia-substansia ini dapat bersifat
eksogen atau dapat dikeluarkan langsung dari endometrium. Suatu
studi in vitro yang dilakukan oleh Matsuura, 1999 menemukan
bahwa epitel permukaan ovarium berpotensial mengalami
transformasi menjadi lesi endometriotik sebagai respon dari
rangsangan estrogen.
(2,9,10)

a. Hormonal Dependence
Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan
endometriosis adalah faktor hormon estrogen. Walaupun
sebagian besar estrogen diproduksi oleh ovarium namun
beberapa jaringan perifier juga diketahui membentuk estrogen
melalui aromatisasi androgen ovarium dan adrenal. Implantasi
endometriosis menghasilkan aromatase dan 17-hidroksisteroid
dehidrogenase tipe 1 yang merupakan suatu enzim yang
berperan dalam konversi androstenedion menjadi estron dan
estron menjadi estradiol. Implant tersebut bersifat defisit 17-
hidroksisteroid dehidrogenase tipe 2 yang merupakan estrogen
inaktif. Kombinasi enzim-enzim ini menyebabkan implant
berada pada lingkungan estrogenik (fenomena intrakrin).
(2)
Sebailknya, endometrium normal tidak menghasilkan
aromatase dan memiliki kadar 17-hidroksisteroid
dehidrogenase tipe 2 yang lebih tinggi sebagai respon terhadap
progesteron. Progesteron bekerja secara antagonis dengan
melemahkan efek estrogen di endometrium normal selama fase
luteal pada siklus menstruasi. Endometriosis adalah keadaan
dimana terjadi manifestasi resistensi relatif terhadap progesteron
sehingga stimulasi estrogen pada jaringannya tidak dihambat.
(2)
13

Prostaglandin E2 (PGE2) adalah penginduksi aktivitas
aromatase paling poten di sel stroma endometrium. Estradiol
diproduksi sebagai respon peningkatan aktivitas aromatase
melalui stimulasi jalur siklooksigenase tipe 2 (COX-2) di sel
endometrium uterus. Keadaan ini memicu umpan balik positif
terhadap efek estrogen di endometrium.
(2)

b. Peranan sistem imun
Endometriosis dihubungkan dengan meningkatnya aktivitas
inflamasi. Peningkatan petanda inflamasi pada serum dan cairan
peritoneum telah diamati pada berbagai penelitian. Nyeri pelvis
merupakan salah satu gejala endometriosis yang dapat diredakan
melalui pemberian obat anti-inflamasi sehingga hal ini
mendukung adanya kontribusi inflamasi kronik terhadap
patogenesis endometriosis.
(2)
Walaupun sebagian besar perempuan pernah mengalami
menstruasi retrograde namun hanya pada beberapa perempuan
yang berkembang menjadi endometriosis. Jaringan menstruasi
dan endometrium yang mengalami refluks ke dalam cavum
peritoneum umumnya akan dibersihkan oleh sel-sel imunitas
seperti makrofag, natural killer (NK) cells, dan limfosit. Adanya
disfungsi sistem imun dapat memicu terjadinya endometriosis.
Kegagalan imunitas humoral, seluler, growth factor, dan
cytokine signaling dapat ditemukan pada jaringan
endometriosis. Fasciani dkk menunjukkan secara in vitro bahwa
sel endometrium yang mengalami eksplantasi akan
berproliferasi dan menginvasi secara 3 dimensi matriks fibrin
sehingga mencetus formasi kelenjar, stroma, dan vaskuler baru
sebagai permulaan endometriosis.
(2)

Makrofag yang berperan sebagai sel fagosit akan meningkat
jumlahnya pada cavum peritoneum penderita endometriosis.
14

Walaupun secara teori makrofag berperan untuk menghambat
proliferasi jaringan endometium namun pada keadaan ini,
makrofag sebaliknya memberi efek stimulasi pada jaringan
endometrium. Hal ini dihubungkan dengan gangguan fungsi
makrofag (bukan penurunan jumlah).
(2)
Natural killer (NK) cells adalah sel imun yang memiliki sifat
sitotoksik terhadap benda asing. Pada penderita endometriosis,
jumlah natural killer (NK) cells di cairan peritoneum tidak
berubah namun aktivitasnya yang terhambat. Imunitas selular
juga mempengaruhi perkembangan endometriosis. Normalnya,
jumlah kadar limfosit pada cairan peritoneum sama dengan
kadar pada pembuluh darah perifer namun pada penderita
endometriosis terjadi peningkatan kadar limfosit pada ciran
peritoneum disertai gangguan fungsi limfosit.
(2)
Imunitas humoral juga dapat berperan pada perkembangan
endometriosis. Antibodi endometriosis IgG meningkat pada
penderita endometriosis. Suatu penelitian mengidentifikasi
autoantibodi IgA dan IgG pada endometrium, jaringan ovarium,
serviks, dan sekresi vagina penderita endometriosis. Hal ini
dapat mengarahkan endometriosis sebagai bagian dari penyakit
imunitas.
(2)


F. Faktor risiko
Dari beberapa teori penyebab endometriosis yang dikemukakan
beberapa pustaka juga memaparkan faktor-faktor resiko yang terdapat pada
endometriosis:

1. Genetik
Adanya pengaruh genetik terhadap patogenesis endometriosis telah
berulang kali dilaporkan. Penelitian yang telah dilakukan melaporkan
bahwa adanya abnormalitas genetik berkontribusi dalam perkembangan
15

endometriosis. Faktor genetik terhadap endometriosis pertama kali
dipaparkan oleh Fred pada tahun 1957 melalui penelitiannya terhadap
hewan primata dimana dilaporkan bahwa predisposisi genetik
berpengaruh terhadap endometriosis. Sejak 20 tahun yang lalu, telah
diketahui bahwa resiko menderita endometriosis 6 kali lebih tinggi pada
perempuan yang memiliki garis keluarga tingkat I dengan endometriosis
berat dibandingkan dengan perempuan yang tidak memiliki relasi.
(12)
Endometriosis dengan pola poligenik memiliki prevalensi sebesar
4-9% pada garis keturunan tingkat I. Meskipun kondisi monozigot tidak
dapat menjamin 100% menderita endometriosis namun angka kejadian
monozigot yang menderita endometriosis lebih tinggi dibandingkan
dizigot. Beberapa penelitian menggunakan analisis uji silang pada
beberapa gen yang berpotensi memiliki pengaruh terhadap
endometriosis. Beberapa gen tersebut berperan dalam pengkodean
enzim-enzim detoksifikasi yang meningkat pada lingkungan yang
terstimulasi. Polimorfisme komponen kompleks reseptor dioxin dan gen-
gen yang berperan dalam detoksifikasi berperan dalam endometriosis
stadium berat.
(12)
Endometriosis adalah penyakit yang dipengaruhi oleh estrogen.
Hal ini memungkin variasi genetik melalui peningkatan efek estrogen
pada lesi endometriosis dapat mempengaruhi perkembangan penyakit
ini. Implantasi endometrium ektopik mengekspresikan reseptor estrogen
(ERs) yang responsif terhadap stimulasi estrogen. Polimorfisme gen ER
berulang kali dihubungkan dengan endometriosis. Penelitian yang
dilakukan oleh Luisi dkk memaparkan adanya korelasi PvuII,
polimorfisme XbaI ER-, dan polimorfisme AluI ER- dengan
gambaran klinis serta prognosis endometriosis berulang pada wanita usia
produktif. Mereka memaparkan bahwa perempuan dengan alel
polimorfik ER- memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan
perempuan dengan genotip lainnya sehingga dapat disimpulkan bahwa
adanya polimorfisme gen ER- merupakan salah satu faktor resiko
16

endometriosis dan adanya rekurensi endometriosis melalui peningkatan
aktivitas ER-.
(12)

2. Cacat Anatomi
Obstruksi saluran reproduksi dapat menjadi predisposisi
perkembangan endometriosis, kemungkinan melalui eksaserbasi
menstruasi retrograd. Dengan demikian, endometriosis telah
diidentifikasi pada wanita dengan selaput dara imperforata dan septum
vagina transversal. Karena asosiasi ini, laparoskopi diagnostik untuk
mengidentifikasi dan mengobati endometriosis disarankan pada saat
operasi korektif untuk banyak anomali. Perbaikan cacat anatomi tersebut
dilakukan untuk mengurangi risiko pengembangan endometriosis.
(2)

3. Polusi Lingkungan
Ada banyak penelitian menunjukkan paparan polusi lingkungan
mungkin memainkan peran dalam perkembangan endometriosis. Polusi
yang paling sering adalah 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioksin (TCDD)
dan senyawa dioxinlain. Pada saat berikatan, TCDD mengaktifkan
reseptor aril hidrokarbon. Fungsi reseptor ini sebagai faktor transkripsi
dasar, dan mirip dengan kelompok reseptor hormon steroid protein,
mengarahkan ke berbagai transkripsi gen. Akibatnya, TCDD dan
senyawa dioxin lain bisa merangsang endometriosis melalui peningkatan
jumlah interleukin, aktivasi enzim sitokrom P-450 seperti aromatase, dan
perubahan dalam remodeling jaringan. Selain itu, TCDD dalam
hubungannya dengan kehadiran estrogen untuk merangsang
pembentukan endometriosis, dan dengan adanya TCDD untuk
memblokir progesteron yang menginduksi regresi endometriosis.
(2)
Dalam lingkungan, TCDD dan senyawa dioxin adalah limbah
pengolahan produk industri. Mengkonsumsi makanan yang
terkontaminasi atau kontak yang tidak disengaja adalah bentuk paparan
yang paling sering terjadi. Meskipun endometriosis dan TCDD pada
awalnya dikaitkan dengan binatang primata, studi pada manusia juga
mencatat prevalensi endometriosis lebih tinggi pada wanita dengan
17

konsentrasi dioxin dalam ASI (air susu ibu) yang tinggi. Selain itu, studi
selanjutnya telah menunjukkan jumlah dioxin serum lebih tinggi pada
wanita infertil dengan endometriosis dibandingkan dengan infertil
kontrol.
(2)

4. Stres oksidatif
Stres oksidatif terjadi akibat adanya gangguan pada produksi
spesies oksigen reaktif (ROS) dan pertahanan antioksidan. Target selular
ROS adalah lipid, protein, asam nukleat, dan karbohidrat. Proses
perbaikan sel-sel yang rusak melibatkan antioksidan enzimatik non-
enzimatik. Superoksida dismutase, katalase, dan glutation perioksidase
adalah antioksidan enzimatik. Antioksidan non-enzimatik meliputi
vitamin E, vitamin C, taurin, dan glutation. Produksi berlebih ataupun
gangguan eliminasi ROS menyebabkan peningkatan stres oksidatif yang
dapat mencetus perkembangan berbagai penyakit seperti
endometriosis.
(12)
Stres oksidatif pada cairan peritoneum diinisiasi oleh sel-sel
inflamasi dan substrat debris selular selain itu, stres oksidatif sistemik
dapat memperburuk stres oksidatif lokal pada endometriosis pelvis. Pada
penderita endometriosis, kelebihan Fe didapatkan pada cavum
peritoneum, cairan peritoneum, lesi endometriosis, peritoneum, dan
makrofag. Kelebihan Fe menyebabkan mekanisme stres oksidatif
berperan pada perkembangan endometriosis. Fe dan NF-B ditemukan
dan berperan pada perkembangan endometriosis sehingga jalur
patogenesis ini merupakan salah satu target terapi masa depan. Selain
itu, lingkungan toksik seperti dioksin dapat menginduksi respon
inflamasi endometriosis yang mencetus perkembangan endometriosis. Di
sisi lain, kegagalan mekanisme pertahanan terhadap stres oksidatif
dilaporkan pada penderita endometriosis. Serum paraoksonase-1
(Lipoprotein yang mencegah modifikasi oksidatif kolesterol low-density
lipoprotein (LDL)) ditemukan penurunan kadarnya pada penderita
endometriosis. Pokak dkk menemukan peningkatan kadar LDL
18

teroksidasi (ox-LDL) cairan peritoneum pada penderita endometriosis
stadium berat.
(12)
Suplementasi antioksidan dapat menurunkan stres oksidatif pada
penderita endometriosis. Mier-Cabrera dkk mengukur kadar petanda
stres oksidatif perifer pada penderita endometriosis dan menyimpulkan
bahwa suplementasi vitamin C dan vitamin E menurunkan konsentrasi
petanda-petanda ini. Penderita endometriosis dilaporkan mendapat
asupan antioksidan yang lebih rendah dibandingkan orang sehat. Setelah
pemberian diet antioksidan tinggi tersebut, terjadi penurunan stres
oksidatif perifer dan petanda antioksidan meingkat pada penderita
endometriosis.
(12)

g. Diagnosis
Diagnosis biasanya dibuat atas dasar anamnesis dan pemeriksaan
fisik, dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi. Kuldoskopi kurang
bermanfaat terutama jika kavum Douglasi ikut serta dalam endometriosis.
Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi seperti forniks vaginae
posterior, perineum, parut laparotomi, dan sebagainya, biopsi dapat memberi
kepastian mengenai diagnosis.
(1)
1. Anamnesis
Wanita dengan endometriosis bisa tanpa gejala, namun ada juga
wanita dengan endometriosis yang memberikan gejala-gejala yang sering
dan tipikal seperti nyeri pelvik kronik dan infertilitas.
(2)
Gejala-gejala yang
sering ditemukan pada penyakit ini ialah seperti 1) nyeri perut bawah yang
progresif dan dekat paha yang terjadi pada dan selama haid (dismenore); 2)
dispareunia; 3) nyeri waktu defekasi, khususnya pada waktu haid; 4) poli-
dan hipermenorea; 5) infertilitas.
(1,3,10,11)
2. Pemeriksaan Fisis
Endometriosis merupakan penyakit yang sering bermanifestasi di
daerah pelvis. Biasanya tidak ditemukan kelainan saat inspeksi visual.
(2)
19

Pada pemeriksaan bimanual, dapat ditemukan nyeri tekan pada
nodul di forniks posterior vagina dan ligament uterosakral serta nyeri saat
gerakan uterus. Posisi uterus mungkin menetap dan retroversi karena adhesi
pada kavum Douglasi. Pemeriksaan spekulum juga dapat dilakukan untuk
menilai ada tidaknya lesi kebiruan atau kemerahan pada serviks atau forniks
posterior. Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi seperti forniks
vaginae posterior, perineum, parut laparotomi, dan sebagainya, biopsi dapat
memberikan kepastian mengenai diagnosis.
(1,2)
Pada pemeriksaan ginekologi, khususnya pada pemeriksaan
vaginorektoabdominal, ditemukan pada endometriosis ringan pada benda-
benda padat sebesar butir beras sampai butir jagung di kavum douglas dan
pada ligamentum sakrouterinum dengan uterus dalam retrofleksi dan
terfiksasi.
(1)

1. Pemeriksaan tambahan dan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pada endometriosis, pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
menyingkirkan penyebab lain nyeri pelvik. Pemeriksaan darah rutin, urin
rutin, kultur urin dan vaginal swab mungkin diperlukan untuk
menyingkirkan infeksi atau penyakit menular seksual penyakit infeksi
panggul.
(2)
Pemeriksaan laboratorium pada endometriosis tidak memberikan
tanda yang khas, hanya apabila ada darah dalam tinja atau air kencing pada
waktu haid dapat menjadi petunjuk tentang adanya endometriosis pada
rektosigmoid atau kandung kencing. Sigmoidoskopi dan sistoskopi dapat
memperlihatkan tempat perdarahan pada waktu haid.
(1)
Selain itu, serum antigen kanker CA-125 sering meningkat pada
wanita dengan endometriosis. Namun, marker ini juga meningkat pada
penyakit pelvik lain dan mempunyai spesifitas yang kecil dalam diagnosis
endometriosis.
(2,10)


20

b. Pemeriksaan Radiologi
Pembuatan foto Roentgen dengan memasukkan barium dalam
kolon dapat memberikan gambaran dengan filling defect pada rektosigmoid
dengan batas-batas yang jelas dan mukosa yang utuh. Laparoskopi
merupakan pemeriksaan yang sangat berguna untuk membedakan
endometriosis dari kelainan-kelainan di pelvis. Untuk menentukan berat
ringan endometriosis digunakan klasifikasi dari American Fertility Society.
(1,7)
Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal telah digunakan
dalam membantu mendiagnosis endometriosis. Walaupun USG transvaginal
digunakan untuk mengevaluasi gejala terkait endometriosis dan akurat
dalam mendeteksi endometrioma, gambaran endometriosis superfisial dan
adhesi endometriotik yang didapatkan tidak adekuat. Teknik radiologi
lainnya seperti CT-Scan, dan MRI, dapat digunakan hanya untuk sebagai
konfirmasi tambahan saja, tapi tidak dapat digunakan sebagai alat bantu
diagnosis utama, karena selain biaya lebih mahal dari USG, informasi yang
diberikan masih dapat kurang jelas.
(2)


c. Pemeriksaan Laparoskopi
Diagnosis pasti endometriosis hanya dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan laparoskopi dan pemeriksaan histopatologik. Gambaran dari
endometriosis pada pemeriksaan laparoskopi ini sangat variable dan bisa
ditemukan berwarna merah, putih dan hitam. Lesi berwarna gelap karena
adanya pigmentasi oleh penumpukan hemosiderin dari debris menstruasi
yang terperangkap. Lesi merah dan putih sering dihubungkan dengan
temuan histologik pada endometriosis. Lesi endometriosis juga dapat
berbeda secara morfologi dan bisa ditemukan secara superfisial maupun
menginvasi jauh ke peritoneum dan organ pelvis.
(2)
Gambaran klasik
endometriosis yaitu kista berwarna blue-black powder-burn. Selain itu,
dapat juga ditemukan lesi non-klasik yaitu gambaran lesi berwarna merah,
21

putih, tidak berpigmen dan vesikuler. Lesi merah merupakan tipe
endometriosis yang aktif.
(11)


Gambar 6. Terdapat lesi endometriosis berwarna merah dan putih yang
ditemukan pada saat laparoskopi di daerah peritoneum pelvik. dikutip dari
kepustakaan 2


d. Pemeriksaan Histopatologik
Gambaran mikroskopik dari endometriosis sangat variabel. Lokasi
yang sering ialah pada ovarium, dan biasanya didapati pada kedua
ovarium. Pada ovarium tampak kista-kista biru kecil sampai kista besar
berisi darah tua menyerupai coklat (disebut kista coklat atau
endometrioma).
(1)
Darah tua dapat keluar sedikit-sedikit karena luka pada dinding kista,
dan dapat menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium dengan
uterus, sigmoid dan dinding pelvis. Kista coklat kadang-kadang dapat
mengalir dalam jumlah banyak ke dalam rongga peritoneum karena
robekan dinding kista, dan menyebabkan akut abdomen. Tuba pada
endometriosis biasanya normal. Pada salah satu atau kedua ligamentum
sakrouterinum, kavum Douglasi, dan permukaan uterus sebelah belakang
dapat ditemukan satu atau beberapa bintik sampai benjolan kecil yang
berwarna kebiru-biruan. Juga pada permukaan sigmoid atau rektum
seringkali ditemukan benjolan yang berwarna kebiru-biruan ini. Sebagai
22

akibat dari timbulnya perdarahan pada waktu haid dari jaringan
endometriosis, mudah sekali timbul perlekatan antara alat-alat di sekitar
kavum Douglasi.
(1)
Pada pemeriksaan histopatologik ditemukan ciri-ciri khas
endometriosis, yaitu kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, dan
perdarahan bekas dan baru berupa eritrosit pigmen hemosiderin dan sel-sel
radang dan jaringan ikat, sebagai reaksi jaringan normal di sekelilingnya
(jaringan endometriosis).
(1,2)


Gambar 7. Endometriosis kolonik. Tampak kelenjar dan stroma endometrium
pada submukosa kolon. Dikutip dari kepustakaan 2


3. Klasifikasi
Cara yang paling utama untuk mendiagnosis endometriosis adalah
dengan visualisasi lesi endometriosis dengan laparoskopi, dengan atau
tanpa pemeriksaan histologi. Sistem klasifikasi yang paling luas digunakan
adalah klasifikasi dari American Fertility Society. Sistem ini berdasarkan
gambaran klinis, ukuran dan kedalaman implantasi pada ovari dan
peritoneum; kewujudan, penjalaran dan tipe adhesi adneksa; derajat
obliterasi cul-de-sac. Parameter seperti derajat nyeri dan infertilitas tidak
dimasukkan. Tambahan pula identifikasi visual endometriosis ini tidak
23

akurat pada kebanyakan kasus; oleh itu sistem klasifikasi ini hanya untuk
penggunaan praktis harian.
(2,13)


Gambar 8. Klasifikasi Endometriosis oleh The American Fertility Society.
Dikutip dari kepustakaan 13

4. Diagnosis Banding
Adenomiosis uteri, radang pelvik dengan tumor adneksa dapat
menimbulkan kesukaran dalam diagnosis. Pada kelainan di luar endometriosis
jarang terdapat perubahan-perubahan berupa benjolan kecil di kavum
Douglasi dan ligamentum sakrouterinum. Kombinasi adenomiosis uteri atau
mioma uteri dengan endometriosis dapat pula ditemukan. Endometriosis
ovarii dapat menimbulkan kesukaran diagnosis banding dengan kista
ovarium.
(1)
24



5. Penanganan
Penanganan endometriosis terdiri atas pencegahan, pengawasan
saja, terapi hormonal, pembedahan dan radiasi.
(1)


1. Pencegahan
Meigs berpendapat bahwa kehamilan adalah cara pencegahan
yang paling baik untuk endometriosis. Gejala-gejala endometriosis
memang berkurang atau hilang pada waktu dan sesudah kehamilan
karena regresi endometrium dalam sarang-sarang endometriosis. Oleh
sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama, dan
sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat anak-
anak yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap
demikian itu tidak hanya merupakan profilaksis yang baik terhadap
endometriosis, melainkan menghindari terjadinya infertilitas sesudah
endometriosis timbul. Selain itu jangan melakukan pemeriksaan yang
kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid, oleh karena hal itu
dapat menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke
rongga panggul.
(1)


2. Observasi dan pemberian analgetika
Pengobatan untuk endometriosis bergantung pada gejala khusus
wanita itu, tingkat keparahan gejala, lokasi lesi endometriosis, tujuan
untuk pengobatan, dan keinginan untuk melestarikan kesuburan masa
depan.
(2)
Pengobatan ekspektatif ini akan berguna bagi wanita-wanita
dengan gejala dan kelainan fisik yang ringan. Pada wanita yang sudah
agak berumur, pengawasan itu bisa dilanjutkan sampai menopause,
karena sesudah itu gejala-gejala endometriosis hilang sendiri. Sikap
yang sama dapat diambil pada wanita yang lebih muda, yang tidak
25

mempunyai persoalan tentang infertilitas, akan tetapi pada wanita yang
ingin mempunyai anak, jika setelah ditunggu 1 tahun tidak terjadi
kehamilan, perlu dilakukan pemeriksaan secara periodik dan teratur
untuk meneliti perkembangan penyakitnya dan jika perlu mengubah
sikap ekspektatif. Dalam masa observasi ini dapat diberi pengobatan
paliatif berupa pemberian analgetika untuk mengurangi rasa nyeri.
(1)
Terapi analgesik yang sering digunakan untuk penderita
endometriosis adalah obat anti inflamasi non steroid (NSAID). NSAID
menghambat siklooksigenase isoenzim 1 dan 2 (COX-1 dan COX-2),
dan dalam kelompok ini, COX-2 inhibitor selektif menghambat COX-
2 isoenzim. Enzim ini bertanggung jawab untuk sintesis prostaglandin
yang terlibat dalam rasa sakit dan peradangan yang terkait dengan
endometriosis. Obat anti-inflamasi nonsteroid menjadi lini pertama
terapi pada wanita dengan dismenorea primer atau nyeri panggul
sebelum konfirmasi laparoskopi endometriosis, dan pada wanita
dengan gejala rasa sakit yang minimal atau ringan yang berhubungan
dengan endometriosis diketahui. Jenis NSAID yang umum digunakan
yaitu ibuprofen dan asam mefenamat.
(2)

3. Pengobatan hormonal
Sebagai dasar pengobatan hormonal endometriosis ialah bahwa
pertumbuhan dan fungsi jaringan endometriosis, seperti jaringan
endometrium yang normal, dikontrol oleh hormon-hormon steroid. Hal
ini didukung oleh data klinik maupun laboratorium. Data klinik
tersebut adalah:
(1)

a. Endometriosis sangat jarang timbul sebelum menars,
b. Menopause, baik alami maupun karena pembedahan, biasanya
menyebabkan kesembuhan,
c. Sangat jarang terjadi kasus endometriosis baru setelah
menopause, kecuali jika ada pemberian estrogen eksogen.
Prinsip pertama pengobatan hormonal endometriosis adalah
menciptakan lingkungan hormon rendah estrogen dan asiklik. Kadar
26

estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan endometriosis.
Keadaan yang asiklik mencegah terjadinya haid, yang berarti tidak
terjadi pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan
endometriosis. Dengan demikian dapat dihindari timbulnya sarang
endometriosis yang baru karena transport retrograd jaringan
endometrium yang lepas serta mencegah pelepasan dan perdarahan
jaringan endometrium yang menimbulkan rasa nyeri karena
rangsangan peritoneum.
(1)

Prinsip kedua adalah menciptakan lingkungan hormon tinggi
androgen atau tinggi progestogen (progesterone sintetik) yang secara
langsung menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Di samping itu,
prinsip tinggi androgen atau tinggi progestogen juga menyebabkan
keadaan rendah estrogen yang asiklik karena gangguan pada
pertumbuhan folikel.
(1)

a. Pil Kontrasepsi Kombinasi
Pil Kontrasepsi Kombinasi (estrogen dan progestron) dapat
digunakan untuk terapi endometriosis. Obat ini berkerja dengan cara
menghambat aksis hipotalamik-ovari. Ia menghambat hormon
luteinizing (LH) dan hormon stimulasi folikel (FSH), menghalang
ovulasi dan menyebabkan dinding endometrium menjadi atrofi.
(2)

Selain itu penggunaan pil kontrasepsi kombinasi juga akanmengurangi
aliran menstruasi, desidualisasi implant endometriosis, dan
meningkatkan apoptosis pada endometrium eutopik pada wanita
dengan endometriosis
(6)
Terapi standar yang dianjurkan adalah 0,03 mg etinil estradiol
dan 0,3 mg norgestrel per hari. Bila terjadi breakthrough, dosis
ditingkatkan menjadi 0,05 mg etinil estradiol dan 0,5 mg norgestrel per
hari atau maksimal 0,08 mg etinil estradiol dan 0,8 mg norgestrel per
hari. Pemberian tersebut terus menerus setiap hari selama 6-9 bulan,
bahkan ada yang menganjurkan minimal satu tahun dan bila perlu
dilanjutkan sampai 2-3 tahun.
(1)
27

Dilaporkan bahwa 30% penderita menyatakan keluhannya
berkurang dan hanya 18% yang secara obyektif mengalami
kesembuhan, 41% penderita tidak menyelesaikan terapinya karena
mengalami efek samping. Efek samping dari terapi ini seperti nyeri
kepala, nausea, perdarahan ireguler, dan pertambahan berat badan.
(1)
Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi merupakan pilihan yang
efektif untuk mengurangi gejala yang ditimbulkan oleh endometriosis.
Terapi ini juga aman dan dapat digunakan jangka panjang pada wanita
yang tidak ingin memiliki anak dan membutuhkan kontrasepsi.
(6)
b. Gonadotropin-releasing Hormon Analog (GnRH analog)
GnRH analog telah digunakan secara efektif untuk membebaskan
nyeri dan mengurangi ukuran dari implantasi endometriosis. Obat ini
menekan produksi estrogen oleh ovarium dengan menghambat sekresi
hormon pengatur dari kelenjar pituitari. Sebagai akibatnya, periode-
periode menstruasi berhenti, seperti menopause. Agonis GnRH
mensuplai stimulasi secara konstan pada reseptor LHRH. Ini
menghambat aksis pituitari-ovarium dan menyebabkan sekresi FSH
dan LH berkurang sekaligus kadar estrogen dan progesteron turut
berkurang. Ini menyebabkan dinding endometrium menjadi atrofi dan
hipoestrogenik.Dosis yang dianjurkan adalah leuprolin asetat 3,75
mg/bulan secara injeksi intramuskular selama 6 bulan. Terapi ini
dilimitasi selama 6 bulan untuk menghindari efek samping yang dapat
terjadi karena keadaan hipoestrogenik seperti sakit kepala, hot flushes,
depresi, pengurangan densitas tulang, perubahan mood dan perubahan
profil lipoprotein.
(11)

c. Androgen
Preparat yang dipakai adalah metiltestosteron sublingual dengan
dosis 5 mg sampai 10 mg per hari. Kerugian terapi ini adalah dapat
menyebabkan maskulinisasi terutama pada dosis jangka panjang.
Selain itu masih mungkin terjadi ovulasi atau kehamilan terutama pada
28

dosis 5 mg perhari. Bila terjadi kehamilan, terapi harus dihentikan
karena dapat menyebabkan cacat bawaan pada janin.
(1)

d. Progestogen atau progestin

Progestogen atau progestin adalah nama umum semua senyawa
progesterone sintetik. Progestin mempunyai efek antiendometriotik
yang menyebabkan desidualisasi dan atrofi pada jaringan
endometrium. Progestin juga menghambat ovulasi dengan
menghambat luteinizing hormon (LH) dan mungkin dapat
menyebabkan amenore.
Preparat progestin terdapat dalam bentuk preparat oral, injeksi,
dan LNG-IUS. Selain bentuk, preparat progestin juga dapat dibagi
menjadi turunan progesteron alami (didrogesteron,
medroksiprogesteron asetat) dan turunan C-19-nortestosteron
(noretisteron, linestrenol,desogestrel).
Noretindron asetat, 5-20 mg perhari efektif pada sebagian besar
pasien dalam meredakan dismenore dan nyeri panggul menahun.
Progestin intramuskular dan subkutan yang diberikan setiap 3 bulan
diketahui efektif dalam menekan gejala endometriosis. Levonorgestrel
20 mg perhari yang terkandung dalam LNG-IUS akan berefek pada
atrofi endometrium dan amenore pada 60% pasien tanpa menghambat
ovulasi. Didrogesteron 5-10 mg per hari sampai dengan 4 bulan telah
diteliti efektif untuk meredakan gejala endometriosis. Dosis
medroksiprogesteron asetat adalah 30-50 mg per hari atau
noerestisteron asetat 30 mg per hari. Pemberian parenteral dapat
menggunakan medroksiprogesteron asetat 150 mg setiap 3 bulan
sampai 150 mg setiap bulan.Penghentian terapi parenteral dapat diikuti
dengan anovulasi selama 6-12 bulan, sehingga cara ini tidak
menguntungkan bagi mereka yang ingin segera mempunyai anak.
Lama pengobatan dengan progestogen yang dianjurkan adalah 6-9
bulan. Efek samping yang dapat terjadi adalah breakthrough
bleeding, perubahan mood, perdarahan ireguler, amenore, muntah,
29

pertambahan berat badan dan retensi cairan. Terapi ini sesuai untuk
penderita endometriosis yang tidak segera ingin hamil.
,(1,2,6,11)
e. Danazol
Danazol adalah androgen sintetik. Danazol mempunyai beberapa
mekanisme kerja, diantaranya menginduksi amenorea melalui supresi
terhadap aksis hipotalamus-pituitari-ovarium (HPO), inhibisi
steroiddogenesis ovarium dan mencegah proliferasi endometrium
dengan mengikat reseptor androgen dan progesteron pada
endometrium dan implan endometriosis. Danazol akan menimbulkan
keadaan asiklik, androgen tinggi, dan estrogen rendah.
(6)
Dosis yang digunakan untuk endometriosis ringan (stadium 2)
atau sedang (stadium 3) adalah 400 mg perhari sedangkan untuk
endometriosis yang berat (stadium 4) dapat diberikan sampai 800 mg
perhari. Lama pemberian minimal 6 bulan dapat pula diberikan 12
minggu sebelum terapi pembedahan konservatik dilakukan. Danazol
memilki efek samping berupa akne, hirsutisme, kulit berminyak,
perubahan suara, pertambahan berat badan, dan edema.Kehamilan dan
menyusui merupakan kontrindikasi absolut dari pemakaian danazol.
(6)
f. Aromatase inhibitor

Beberapa penelitian menunjukkan potensi mitogenik estradiol yang
mendorong pertumbuhan dan proses inflamasi di lesi endometriosis.
Estrogen lokal dari lesi endometriosis berkaitan erat dengan ekspresi
enzim aromatase sitokrom P450. Kadar mRNA aromatase yang
meningkat ditemukan pada lesi endometriosis dan endometrioma
ovarium. Karena peran penting enzim aromatase dan estrogen lokal
pada endometriosis, maka aromatase inhibitor dipikirkan menjadi
pilihan terapi yang potensial pada pasien dengan endometriosis. Pada
wanita dengan endometriosis rektovagina yang tidak berhasil dengan
terapi medis lain atau pembedahan, klinisi dapat mempertimbangkan
pemberian aromatase inhibitor yang dikombinasikan dengan progestin,
pil kontrasepsi kombinasi atau GnRH analog.
(6)
30

4. Terapi Pembedahan
Harus selalu diingat bahwa adanya jaringan ovarium yang
berfungsi merupakan syarat mutlak untuk tumbuhnya endometriosis.
Oleh karena itu pada waktu melakukan pembedahan, harus dapat
menentukan apakah fungsi ovarium harus dipertahankan dan bila
fungsi ovarium dapat dihentikan. Sudah jelas bahwa fungsi ovarium
harus dipertahankan pada endometriosis yang dini, pada endometriosis
yang tidak memberikan gejala, dan pada endometriosis pada wanita
muda dan yang masih ingin punya anak. Sebaliknya fungsi ovarium
dihentikan apabila endometriosis sudah mengadakan penyerbuan yang
luas dalam pelvis, khususnya pada wanita yang berusia lebih lanjut.
(1)

Sebaiknya dalam melakukan pengobatan endometriosis kita
bersikap konservatif berdasarkan atas fakta-fakta sebagai berikut: 1)
endometriosis umumnya menjalar lambat dan memerlukan waktu
bertahun-tahun; 2) endometriosis bukanlah penyakit ganas dan jarang
sekali menjadi ganas; dan 3) endometriosis menjadi regresi pada waktu
menopause. Umumnya pada terapi pembedahan yang konservatif
sarang-sarang endometriosis diangkat dengan meninggalkan uterus dan
jaringan ovarium yang sehat, dan pelekatan sedapat-dapatnya
dilepaskan.
(1)

Pembedahan konservatif ini dapat dilakukan dengan dua cara
pendekatan, yakni: laparotomi atau laparoskopi operatif. Laparoskopi
operatif mempunyai beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan
laparotomi. Pertama, lama tinggal di rumah sakit lebih pendek. Kedua,
kembalinya aktifitas kerja lebih cepat. Ketiga, ongkos perawatan lebih
murah. Pembedahan radikal dilakukan pada wanita dengan
endometriosis yang umurnya hampir 40 tahun atau lebih, dan yang
menderita penyakit yang luas disertai dengan banyak keluhan. Operasi
yang paling radikal ialah histerektomi total, salpingo-ooforektomi
bilateral, dan pengangkatan semua sarang-sarang endometriosis yang
ditemukan. Akan tetapi pada wanita kurang dari 40 tahun dapat
31

dipertimbangkan, untuk meninggalkan sebagian dari jaringan ovarium
yang sehat. Hal ini mencegah jangan sampai terlalu cepat timbul
gejala-gejala premenopause dan juga mengurangi kecepatan timbulnya
osteoporosis.
(1,14)


Algoritma penanganan endometriosis:
(16)
















32
































33

Alur tatalaksana nyeri pada endometriosis:
(6)























Nyeri pelvik
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan penunjang
Massa adneksa
Ya Tidak
Infertilitas
Tidak infertilitas
Masuk bagian
infertilitas
Kista >= 4
cm
Kista <4
cm
Terapi lini pertama
Pil kontrasepsi kombinasi
Progestin siklik oral
Anti inflamasi nonsteroid bila diperlukan
Kistektomi
Evaluasi 3 bulan
Tidak ada
perbaikan
Perbaikan
34






















Bedah konservatif
Laparoskopi eksisi lesi
Laparoskopi presakral
Neurolisis/neurectomy
Konseling
Terapi lini kedua:
Dienogest
GnRH agonist
LNG IUS
DMPA
Danazol
Tidak ada perbaikan
Tidak ada perbaikan
Perbaikan
Perbaikan
Terapi jangka
panjang
Bedah radikal
Histerektomi total
dan oolarektomi
bilateral
35

6. Prognosis
Konseling yang tepat pada penderita endometriosis memerlukan
perhatian pada beberapa aspek penyakit tersebut. Yang paling penting
adalah penilaian awal derajat penyakit secara operatif. Gejala dan
keinginan pasien untuk mendapatkan anak turut menjadi penentu jenis
terapi yang sesuai. Perhatian jangka panjang harus dilakukan karena
semua terapi memberikan perbaikan namun tidak menyembuhkan,
walaupun setelah terapi definitif, endometriosis masih dapat muncul
kembali. Namun resikonya cukup rendah (kira-kira 30%).
(13)
Terapi pengganti estrogen tidak meningkatkan resiko secara
signifikan. Selain itu, setelah terapi konservatif, dilaporkan kadar
kekambuhan bervariasi namun umumnya lebih 10% dalam 3 tahun dan
lebih 35% dalam 5 tahun. Kadar rekurensi setelah terapi medis juga
bervariasi dan dilaporkan hampir sama dengan terapi pembedahan.
Walaupun banyak penderita mengetahui endometriosis mempunyai sifat
progresif yang lama, namun terapi konservatif dapat mencegah
histerektomi pada kebanyakan kasus. Penyebab endometriosis pada
setiap individu tidak dapat langsung diprediksi dan modalitas terapi akan
datang harus lebih baik dari terapi yang ada saat ini.
(13)

Вам также может понравиться