Вы находитесь на странице: 1из 22

1

Provinsi Sulawesi Selatan (SULSEL) ber-Ibukota


di Makassar
Tarian Tradisional : Tari Bosara, Tari Kipas
Rumah Adat : Rumah Tongkonan
Senjata Tradisonal : Badik
Lagu Daerah : Angin Mamiri, Pakarena, Sulawesi
Parasanganta, Ma Rencong
Suku : Mandar, Bugis, Toraja, Sadan, dan
Makassar
Julukan : Kota Daeng
Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Penciri utama
kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan
Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan
pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis.
Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak sekitar
enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi Indonesia, seperti
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Orang
Bugis juga banyak yang merantau ke mancanegara.

Suku Bugis
2

Sejarah Bugis
Bugis tidak banyak menerima pengaruh India di dalam kebudayaan mereka. Satu-
satunya pengaruh India yang jelas ialah tulisan Lontara yang berdasarkan skrip Brahmi,yang
berkembang melalui arus perdagangan. Kekurangan pengaruh India, tidak seperti di Jawa
dan Sumatra, mungkin disebabkan oleh komunitas awal ketika itu kuat menentang asimilasi
budaya luar.
Kata Bugis berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Mereka menjuluki
dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah
ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading.
Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang
tersebar di kabupaten sebahagian Kabupaten Maros, sebagian Kabupaten Pangkep,
Kabupaten Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten Pinrang, sebagian kabupaten Enrekang,
sebagian kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidenrengrappang, Kabupaten
Soppeng, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan
Kabupaten Bantaeng. Masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara
Lontara. Pada dasarnya, suku ini kebanyakan beragama Islam. Dari segi aspek budaya, suku
kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai Bahasa Ugi dan mempunyai
tulisan huruf Bugis yang disebut aksara Bugis. Aksara ini telah ada sejak abad ke-12 lagi
sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.

Sistem Ekonomi Kebudayaan Suku Bugis Makassar
Orang Bugis-Makassar yang tinggal di desa-desa daerah pantai bermata pencaharian
mencari ikan. Mereka akrab dengan laut dan berani mengarungi lautan luas. Mereka
menangkap ikan sampai jauh ke laut hanya dengan perahu layar. Dengan perahu layar bertipe
pinisi dan lambo, orang Bugis-Makassar mengarungi perairan nusantara sampai Srilanka dan
Filipina.
3

Mereka merupakan suku bangsa Indonesia yang telah mengembangkan kebudayaan
maritim sejak abad ke-17. Orang Bugis-
Makassar juga telah mewarisi hukum niaga
pelayaran. Hukum ini disebut
Adeallopiloping Bicaranna Pabbalue
ditulis oleh Amanna Gappa pada lontar
abad ke-17. Sambil berlayar orang Bugis-
Makassar mengembangkan perdagangan
ke berbagai tempat di Indonesia.
Berbagai jenis binatang laut ditangkap dan diperdagangkan. Teripang dan
holothurioidea (sejenis binatang laut) ditangkap di kepulauan Tanibar, Irian Jaya, bahkan
sampai ke Australia untuk dijual kepada tengkulak. Melalui tengkulak binatang laut ini
diekspor ke Cina. Mulai abad ke- 19 sampai abad ke-20 ekspor teripang sangat maju.
Selain pertanian, penangkapan ikan, pelayaran dan perdagangan, usaha kerajinan
rumah tangga merupakan kegiatan orang Bugis-Makassar untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga. Berbagai jenis kerajinan rumah tangga mereka hasilkan, seperti tenunan sarung
sutera dari Mandar, dan Wajo, serta tenunan sarung Samarinda dari Bulukumba.

Sistem Politik dan Masyarakat Kebudayaan Suku Bugis
Orang Bugis-Makassar lebih banyak mendiami Kabupaten Maros dan Kabupaten
Pangkajene. Desa-desa di kabupaten tersebut merupakan kesatuan-kesatuan administratif,
yaitu gabungan sejumlah kampung lama, yang disebut desa-desa gaya baru. Sebuah kampung
biasanya terdiri atas sejumlah keluarga yang mendiami antara 10 sampai 20 buah rumah.
Rumah-rumah itu biasanya terletak berderet menghadap ke selatan atau barat. Apabila ada
sungai, diusahakan membangun rumah membelakangi sungai. Pusat kampung lama ditandai
dengan sebuah pohon beringin besar yang dianggap sebagai tempat keramat (possi tana).

4

Susunan Lapisan Gelar-Gelar yang Terdapat pada Suku Bugis:
1. Datu
Datu adalah gelar yang diberikan kepada bangsawan Bugis yang memegang
pemerintahan daerah sekarang setingkat dengan Bupati.
2. Arung
Arung adalah gelar yang diberikan kepada bangsawan Bugis yang memegang
pemerintahan wilayah yang sekarang setingkat dengan camat.
3. Andi
Andi adalah gelar yang diberikan kepada bangsawan Bugis yang biasanya anak dari
perkawinan antara keturunan Arung dengan Arung.
4. Puang
Puang adalah Gelar yang diberikan kepada anak hasil perkawnn antara arung atau andi
yang mempunyai istri masyarakat biasa, dan begitu juga sebaliknya.
5. Iye
Iye adalah Gelar yang diberikan kepada masyarakat biasa yang masih memiliki silsilah
yang dekat dengan kerabat bangsawan.
6. Uwa
Uwa adalah kasta terendah dalam masyarakat Bugs, yaitu gelar yang diberikan kepada
masyarakat biasa.
Lapisan masyarakat Bugis-Makassar dari zaman sebelum kolonial Belanda terdiri atas:
1. Anakarung atau anakkareang, yaitu lapisan kaum kerabat raja-raja.
2. To-maradeka, yaitu lapisan orang merdeka.
3. Ata, yaitu lapisan budak.
5

Pada permulaan abad ke-20 lapisan ata mulai hilang karena desakan agama, begitu
juga anakarung atau to-maradeka. Gelar anakarung seperti Karaenta, Puatta, Andi, dan
Daeng, walau masih dipakai, tidak mempunyai arti lagi, sudah digantikan oleh tinggi
rendahnya pangkat dalam sistem birokrasi kepegawaian.

Sistem kekerabatan adat Bugis
Dalam sistem perkawinan adat Bugis, terdapat perkawinan ideal:
1. Assialang Maola
Assialang Maola adalah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu, baik dari pihak
ayah maupun ibu.
2. Assialanna Memang
Assialanna Memang adalah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari
pihak ayah maupun ibu.
3. Ripaddeppe Abelae
Ripadeppe Abelae adalah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari
pihak ayah maupun ibu atau masih mempunyai hubungan keluarga.
Perkawinan perkawinan yang dilarang dan dianggap sumbang (Salimara):
1. Perkawinan antara anak dengan ibu atau ayah;
2. Perkawinan antara saudara sekandung;
3. Perkawinan antara menantu dan mertua;
4. Perkawina antara paman atau bibi dengan Keponakan;
5. Perkawinan antara kakek atau nenek dengan cucu.

6

Sistem Kepercayaan Suku Bugis Makassar
Masyarakat bugis juga masih percaya dengan satu dewa tunggal yang mempunyai
nama-nama sebagai berikut.
1. Patoto-e adalah dewa penentu nasib;
2. Dewata Seuwa-e adalah dewa tunggal;
3. Turie a'rana adalah kehendak tertinggi.
Sistem norma dan aturan-aturan adatnya yang keramat dan sakral yang
keseluruhannya disebut panngadderreng (panngadakkang). Sistem adat keramat dari orang
Bugis terdiri atas 5 unsur pokok, yaitu:
1. Ade
Ade terdiri dari:
a. Ade kkalabinengeng atau norma mengenai perkawinan serta hubungan kekerabatan
berwujud sebagai kaidah-kaidah perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan
mengenai hak dan kewajiban warga rumah tangga, etika dalam hal berumah tangga
dan sopan santun pergaulan antar kaum kerabat.
b. Ade Tana atau norma mengenai bernegara dan memerintah negara, berwujud sebagai
hukum negara dan hukum antar negara, serta etika dan pembinaan insan politik.
Pengawasan dan pembinaan ade dalam masyarakat orang Bugis biasanya
dilaksanakan oleh beberapa pejabat. Seperti: Pakka Tenniade, Puang Ade, Pampawa
Ade, dan Parewa Ade.
2. Bicara
Bicara adalah unsur yang mengenai semua aktivitas dan konsep-konsep yang
bersangkutan dengan keadilan, maka kurang lebih sama dengan hukum acara
menentukan prosedurnya serta hak-hak dan kewajiban seseorang yang mengajukan
kasusnya di muka pengadilan atau mengajukan gugatan.
7

3. Rapang
Rapang adalah contoh, perumpamaan, kias, atau analogi. Rapang menjaga
kepastian dan kontinuitas suatu keputusan hukum tak tertulis dalam masa lampau sampai
sekarang, dengan membuat analogi dari kasus masa lampau dengan kasus yang sedang
digarap sekarang.
4. Wari
Melakukan klasifikasi dari segala benda, peristiwa, dan aktifitasnya dalam
kehidupan masyarakat menurut kategorinya. Misalnya untuk memelihara tata susunan
dan tata penempatan hal-hal dan benda-benda dalam kehidupan masyarakat untuk
memelihara jalur garis keturunan yang mewujudkan pelapisan sosial,untuk memelihara
hubungan kekerabatan antara Raja suatu Negara dengan Raja dari Negara lain,sehingga
dapat ditentukan mana yang muda dan mana yang tua dalam tata acara kebesaran.
5. Sara
Pranata dan hukum Islam dan yang melengkapkan keempat unsurnya menjadi
lima. Dalam kasusastraan Pasengyang memuat amanat-amanat dari nenek moyang, ada
contoh-contoh dari ungkapan-ungkapan yang diberikan kepada konsep Siri seperti:
a. Siri emmi rionrowang ri-lino, artinya hanya untuk siri sajalah kita tinggal di dunia.
Arti siri sebagai hal yang memberi identitas sosial dan martabat kepada seorang Bugis
b. Materi Sirina artinya mati dalam Siri atau mati untuk menegakkan martabat dalam
diri, yang dianggap suatu hal yang terpuji dan terhormat.
c. Mate Siri artinya mati Siri atau orang yang sudah hilang martabatnya, seperti
bangkai hidup. Kemudian akan melakukan jallo atau amuk sampai dia mati sendiri.
Agama dari penduduk Sulawesi Selatan kira-kira 90% adalah Islam, sedangkan
10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat Kristen atau Katolik biasanya
pendatang dari Maluku, Minahasa, dan lain-lain.

8

Sistem Kesenian Suku Bugis
1. Rumah Adat Bugis
Bagian-bagian dari rumah adat bugis:
a. Rakkeang, adalah bagian diatas langit-langit (eternit). Dahulu biasanya berfungsi
sebagai tempat menyimpan hasil pertanian seperti padi, jagung, kacang dan hasil
perkebunan lainnya.
b. Ale Bola, adalah bagian tengah rumah dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik
sentral yang bernama pusat rumah. Ini adalah badan rumah yang terdiri dari lantai dan
dinding yang terletak antara lantai dan loteng. Pada bagian ini terdapat ruangan-
ruangan yang dipergunakan dalam aktivitas sehari-hari seperti menerima tamu, tidur,
bermusyawarah, dan berbagai aktifitas lainnya.
c. Awa Bola, adalah kolong yang terletak
pada bagian bawah, yakni antara lantai
dengan tanah. Kolong ini biasa pada
zaman dulu dipergunakan untuk
menyimpan alat pertanian, alat
berburu, alat untuk menangkap ikan
dan hewan-hewan peliharaan yang di
pergunakan dalam pertanian.
d. Lotang Ritenggah atau ruang tengah, berfungsi sebagai tempat tidur kepala keluarga
bersama isteri dan anak-anaknya yang belum dewasa, hubungan sosial antara sesama
anggota keluarga lebih banyak berlangsung disini.
e. Lontang Rilaleng atau ruang belakang, merupakan merupakan tempat tidur anak
gadis atau orang tua usia lanjut, dapur juga di tempatkan pada ruangan ini yang
dinamakan dapureng atau jonghe.
Rumah ini bisa berdiri tanpa mengunakan satu paku pun, orang daluhu kala
mengantikan fungsi paku besi menjadi paku kayu.
9

Rumah adat suku Bugis Makassar dapat dibedakan berdasarkan status sosial
orang yang menempatinya, Rumah Saoraja (Sallasa) berarti rumah besar yang di tempati
oleh keturunan raja (kaum bangsawan) dan bola adalah rumah yang di tempati oleh
rakyat biasa.
Topologi kedua rumah ini adalah sama-sama rumah panggung, lantainya
mempunyai jarak tertentu dengan tanah, bentuk denahnya sama yaitu empat persegi
panjang. Perbedaannya adalah saoraja dalam ukuran yang lebih luas begitu juga dengan
tiang penyangganya, atap berbentuk prisma sebagai penutup bubungan yang biasa disebut
timpak laja yang bertingkat-tingkat antara tiga sampai lima sesuai dengan kedudukan
penghuninya.
2. Pakaian Adat Suku Bugis
Pakaian adat biasanya identik dengan pakaian pengantin suatu daerah. Pakaian
pengantin pria dari Bugis-Makasar berupa baju jas model tertutup yang disebut baju bella
dada. Bawahannya kain sarung songket yang disebut rope. Terdapat juga keris yang
disebut tataroppeng, dan hiasan kepala bernama sigara.
Sedangkan pengantin wanita memakai baju bodo dan
rope. Kemudian sanggul pengantin wanita berhiaskan kembang
goyang dan ada perhiasan lainnya berupa kalung dan gelang
panjang bersusun. Baju bodo adalah pakaian tradisional
perempuan Bugis, Sulawesi, Indonesia. Baju bodo berbentuk segi
empat, biasanya berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian
siku lengan. Baju bodo juga dikenali sebagai salah satu busana
tertua di dunia.
Menurut adat Bugis, setiap warna baju bodo yang dipakai oleh perempuan Bugis
menunjukkan usia ataupun martabat pemakainya.


10

Warna dan arti baju bodo:
Warna Pemakai
Jingga Anak perempuan berumur 10 tahun
Jingga dan Merah Gadis berumur 10-14 tahun
Merah Perempuan berumur 17-25 tahun
Putih Pembantu dan dukun
Hijau Perempuan bangsawan
Ungu Janda

Pakaian ini kerap dipakai untuk acara adat seperti upacara pernikahan. Tetapi
kini, baju bodo mulai direvitalisasi melalui acara lainnya seperti lomba menari atau
menyambut tamu agung.

Adat Naik Rumah Masyarakat Bugis Makassar
1. Barzanji
Barzanji atau nyanyian, puji-pujian kepada Allah dan Nabi besar Muhammad
SAW, untuk acara ini masyarakat sendiri menghdirkan para petua atau petinggi
masyrakat ataupun para petinggi yang dianggap petinggi agama, selanjutnya para
petinggi membaca dan mendo'akan rumah yang akan di masuki atau ditinggali dalam hal
ini rumah baru, selanjutnya, para tamu atau para petinggi agama di sajikan kue dan
minum.
11

2. Mappasili
Selanjutnya pemilik rumah menyiapkan daun passili, daun khusus yang biasanya
sengaja ditanam ataupun di simpan dan dibudidayakan oleh masyarakat, daun mappasili
kemudian di taruh pada wajan yang berisi air atau wadah yang berisi air yang sebelumnya
telah disiapkan atau di lafazkan bacaan tertentu.
3. Putara' Mattuliling Bola (berputar mengelilingi rumah)
Setelah menyediakan daun Passili sang pemilik rumah kemudian berjalan
megitari rumah dan memercik-mercikkan air daun passili ke arah rumah atau dinding
rumah.
4. Menre Bola
Menre bola adalah ritual selanjutnya yaitu para pemilik rumah,orang tua,ayah,ibu
dan anak menaiki rumah dengan harapan yang baik,tenang,aman,dan sejahtera.
5. Mappaluttu Manu
Mappaluttu manu adalah ritual selanjutnya, setelah menaiki rumah, atau masuk ke
dalam rumah ritual selanjutnya adalah menerbangkan ayam. Barang siapa yang ada diatas
rumah atau di dalam rumah yang berhasil menangkapnya menjadi pemilik atau yang
mendapatkannya, merupakan bentuk sumbangan sukarela dari pemilik rumah dengan
harapan mendapat ridha Allah.
6. Mappenre Tau
Ini adalah kegiatan terakhir, yaitu mengundang sanak keluarga, tetangga maupun
para masyarakat lainnya, untuk naik ke rumah dan disuguhkan kue dan minum teh.
Harapannya bisa membentuk keakraban dan sikap saling menghargai,dan menghormati
terutama sang empunya rumah sebagai penghuni di tempat atau kampung yang baru.


12

Budaya Bugis Budaya Siri Na Pacce
Budaya Siri' Na Pacce merupakan salah satu falsafah budaya Masyarakat Bugis-
Makassar yang harus dijunjung tinggi. Apabila Siri' Na Pacce tidak dimiliki seseorang, maka
orang tersebut dapat melebihi tingkah laku binatang, sebab tidak memiliki rasa malu, harga
diri, dan kepedulian sosial. Mereka juga hanya ingin menang sendiri dan memperturutkan
hawa nafsunya. Istilah Siri' Na Pacce sebagai sistem nilai budaya sangat abstrak dan sulit
untuk didefenisikan karena Siri' Na Pacce hanya bisa dirasakan oleh penganut budaya itu.
Bagi masyarakat Bugis-Makassar, Siri' mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa
anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga
dan mempertahankan diri dan kehormatannya.
Siri' adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat
manusia, siri' adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam berinteraksi
dengan orang lain. Sedangkan, Pacce mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian
sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan ini adalah salah satu konsep yang membuat suku
Bugis-Makassar mampu bertahan dan disegani diperantauan, pacce merupakan sifat belas
kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, kalau istilah dalam
bahasa Indonesia "Ringan sama dijinjing berat sama dipikul"
Dari aspek ontologi (wujud) budaya Siri' Na Pacce mempunyai hubungan yang sangat
kuat dengan pandangan Islam dalam kerangka spiritualitas, dimana kekuatan jiwa dapat
teraktualkan melalui penaklukan jiwa atas tubuh. Inti budaya Siri' Na Pacce mencakup
seluruh aspek kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, karena Siri' Na Pacce merupakan jati
diri dari orang-orang Bugis. Dengan adanya falsafah dan ideologi Siri' Na Pacce maka
keterikatan antar sesama dan kesetiakawanan menjadi lebih kuat, baik dengan sesama suku
maupun dengan suku yang lain. Konsep Siri' Na Pacce bukan hanya dianut oleh kedua suku
ini (Bugis dan Makassar), tetapi juga dianut oleh suku-suku lain yang mendiami daratan
Sulawesi seperti, suku Mandar dan Tator, hanya kosakata dan penyebutannya saja yang
berbeda, tetapi falsafah ideologinya memilikii kesamaan dalam berinteraksi dengan sesama.

13

Beradasarkan nilai-nilai yang terkandung budaya Siri' Na Pacce terbagi atas 3 yaitu:
1. Nilai Filosofis.
Nilai Filosofis Siri Na Pacce adalah gambaran dari pandangan hidup orang-orang Bugis
dan Makassar mengenai berbagai persoalan kehidupan yang meliputi watak orang Bugis
Makassar yang reaktif, militan, optimis, konsisten, loyal, pemberani dan konstruktif.
2. Nilai Etis.
Pada nilai-nilai etis Siri Na Pacce terdapat nilai-nilai yang meliputi: teguh pendirian,
setia, tahu diri, jujur, bijak, rendah hati, sopan, cinta dan empati.
3. Nilai Estetis
Nilai estetis dari Siri Na Pacce meliputi nilai estetis dalam non insani yang terdiri atas
benda alam tak bernyawa, benda alam nabati, dan benda alam hewani
Budaya Siri Na Pacce adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini, untuk
menjadi sebuah bangsa yang besar. Untuk itu diperlukan sosok-sosok muda yang memiliki
jiwa dan karakter yang mapan karena pemuda adalah calon pemimpin dan pemiliki bangsa
ini. Mereka harus memiliki Siri Na Pacce dalam diri mereka, dengan adanya budaya Siri Na
Pacce anak pemuda bangsa ini akan menjadi lebih peka terhadap segala macam persoalan
yang sedang melanda bangsa ini.

Perkawinan Bugis
Tata cara upacara pernikahan adat Bugis melalui berberapa tahapan yaitu:
1. A'jagang-jagang/Ma'manu-manu
Penyelidikan secara diam-diam oleh pihak calon mempelai pria untuk mengetahui
latar belakang pihak calon mempelai wanita.

14


2. A'suro/Massuro
Acara ini merupakan acara pinangan secara resmi pihak calon mempelai pria
kepada calon mempelai wanita. Dahulu, proses meminang bisa dilakukan beberapa fase
dan bisa berlangsung berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan.
3. Appa'nasa/Patenre Ada
Usai acara pinangan, dilakukan appa'nasa/patenre ada yaitu menentukan hari
pernikahan. Selain penentuan hari pernikahan, juga disepakati besarnya mas kawin dan
uang belanja. Besarnya mas kawin dan uang belanja ditentukan menurut golongan atau
strata sosial sang gadis dan kesanggupan pihak keluarga pria.
4. Appanai Leko Lompo (erang-erang)
Setelah pinangan diterima secara resmi, maka dilakukan pertunangan yang
disebut A'bayuang yaitu ketika pihak keluarga lelaki mengantarkan passio/passiko atau
Pattere ada (Bugis). Hal ini dianggap sebagai pengikat dan biasanya berupa cincin.
Prosesi mengantarkan passio diiringi dengan mengantar daun sirih pinang yang disebut
Leko Caddi. Namun karena pertimbangan waktu, sekarang acara ini dilakukan bersamaan
dengan acara Patenre Ada atau Appa'nasa.
5. A'barumbung (mappesau)
Kegiatan tata upacara ini terdiri dari appasili bunting, a'bubu, dan appakanre
bunting. Prosesi appasili bunting ini hampir mirip dengan siraman dalam tradisi
pernikahan Jawa. Acara ini dimaksudkan sebagai pembersihan diri lahir dan batin
sehingga saat kedua mempelai mengarungi bahtera rumah tangga, mereka akan mendapat
perlindungan dari Yang Kuasa dan dihindarkan dari segala macam mara bahaya. Acara
ini dilanjutkan dengan Macceko/A'bubu atau mencukur rambut halus di sekitar dahi yang
dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias). Tujuannya agar dadasa atau hiasan hitam
pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik. Setelah
usai, dilanjutkan dengan acara Appakanre Bunting atau suapan calon mempelai yang
15

dilakukan oleh anrong bunting dan orang tua calon mempelai. Suapan dari orang tua
kepada calon mempelai merupakan simbol bahwa tanggung jawab orang tua kepada si
anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon suami si calon mempelai wanita.
6. Akkorongtigi/Mappaci
Upacara ini merupakan ritual pemakaian daun pacar ke tangan si calon mempelai.
Daun pacar memiliki sifat magis dan melambangkan kesucian. Menjelang pernikahan
biasanya diadakan malam pacar atau Wenni Mappaci (Bugis) atau Akkorontigi
(Makassar) yang artinya malam mensucikan diri dengan meletakan tumbukan daun pacar
ke tangan calon mempelai. Orang-orang yang diminta meletakkan daun pacar adalah
orang-orang yang punya kedudukan sosial yang baik serta memiliki rumah tangga
langgeng dan bahagia. Malam mappaci dilakukan menjelang upacara pernikahan dan
diadakan di rumah masing-masing calon mempelai.
7. Assimorong/Menre'kawing
Acara ini merupakan acara akad nikah dan menjadi puncak dari rangkaian
upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon mempelai pria diantar ke rumah calon
mempelai wanita yang disebut Simorong (Makasar) atau Menre'kawing (Bugis). Di masa
sekarang, dilakukan bersamaan dengan prosesi Appanai Leko Lompo (seserahan).
Karena dilakukan bersamaan, maka rombongan terdiri dari dua rombongan, yaitu
rombongan pembawa Leko Lompo (seserahan) dan rombongan calon mempelai pria
bersama keluarga dan undangan.
8. Appabajikang Bunting
Prosesi ini merupakan prosesi menyatukan kedua mempelai. Setelah akad nikah
selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam tradisi Bugis-Makasar,
pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian terjadi dialog
singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar mempelai wanita.
Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara Mappasikarawa (saling
menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai bersanding di atas tempat tidur untuk
mengikuti beberapa acara seperti pemasangan sarung sebanyak tujuh lembar yang
16

dipandu oleh indo botting (pemandu adat). Hal ini mengandung makna mempelai pria
sudah diterima oleh keluarga mempelai wanita
9. Alleka bunting (marolla)
Acara ini sering disebut sebagai acara ngunduh mantu. Sehari sesudah pesta
pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota keluarga diantar ke
rumah orang tua mempelai pria. Rombongan ini membawa beberapa hadiah sebagai
balasan untuk mempelai pria. Mempelai wanita membawa sarung untuk orang tua
mempelai pria dan saudara-saudaranya. Acara ini disebut Makkasiwiang.

Adat Panen
Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada
upacara appalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare atau appabenni ase sebelum
bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit padi di possi
balla, sebuah tempat khusus terletak di pusat
rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak
satu binatang pun lewat di atasnya. Lalu ritual
itu dirangkai dengan massureq, membaca
meong palo karallae, salah satu epos Lagaligo
tentang padi. Dan ketika panen tiba digelarlah
katto bokko, ritual panen raya yang biasanya
diiringi dengan kelong pare. Setelah melalui
rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan Mapadendang. Di Sidrap dan sekitarnya ritual ini
dikenal dengan appadekko, yang berarti adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda.
Appadekko dan Mappadendang konon memang berawal dari aktifitas ini.
Bagi komunitas Pakalu, ritual mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi
hidup petani pedesaan sehari-hari. Padi bukan hanya sumber kehidupan. Ia juga makhluk
manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi padi. Agar manusia memperoleh sesuatu
17

untuk dimakan, yang seolah ingin menghidupkan kembali mitos Sangiyang Sri, atau Dewi
Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang sangat dihormati.

Mengenal Lebih Jauh Watak Orang Bugis
Tidak diketahui apa sebab orang Bugis terpaksa membunuh atau melakukan
pertumpahan darah, biarpun hanya perkara kecil. Jika ditanyakan kepada mereka apa
sebabnya terjadi hal demikian, jarang bahkan tak satupun yang dapat menjawab dengan pasti
sehingga dapat dimengerti dengan jelas apa penyebab ia menumpahkan darah orang lain atau
ia mau mati untuk seseorang.
Ahli sejarah dan budaya menyarankan untuk mengenal jiwa kedua suku bangsa ini
lebih dekat lagi dengan cara mempelajari dalil-dalil, pepatah-pepatah, sejarah, adat istiadat
dan kesimpulan-kesimpulan kata mereka yang dilukiskan dengan indah dalam syair-syair
atau pantun-pantunnya.
Apabila seorang pemuda ditolak pinangannya, maka ia merasa malu. Lalu ia berdaya
upaya agar sang gadis pujaan hati Erangkale (si gadis datang membawa dirinya kepada
pemuda), atau si pemuda itu berusaha agar gadis yang dipinangnya dapat dilarikannya
(silariang).
Apabila hal ini terjadi, maka dengan sendirinya pihak orang tua (keluarga) gadis itu
juga merasa mendapat "Malu Besar" (Mate Siri). Mengetahui anak gadisnya silariang,
segera digencarkan pencarian untuk satu tujuan: membunuh pemuda dan gadis itu! Cara ini
sama sekali tidak dianggap sebagai tindakan yang kejam, bahkan sebaliknya, ini tindakan
terhormat atas perbuatan mereka yang memalukan. Oleh orang Bugis-Makassar menganggap
telah menunaikan dan menyempurnakan salah satu tuntutan tata hidup dari masyarakatnya
yang disebut adat.
Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku
ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau
martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu
18

keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang
ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak
ingin menanggung malu dan tentunya melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih
dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan. Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya
masih diingat dan dipatuhi
Upacara Kematian pada Suku Bugis
Dari sekian banyak upacara adat yang dilaksanakan di kampung-kampung Bugis
terdapat satu upacara adat yang disebut Ammateang atau Upacara Adat Kematian yang dalam
adat Bugis merupakan upacara yang dilaksanakan masyarakat Bugis saat seseorang dalam
suatu kampung meninggal dunia. Keluarga, kerabat dekat maupun kerabat jauh, juga
masyarakat sekitar lingkungan rumah orang yang meninggal itu berbondong-bondong
menjenguknya. Pelayat yang hadir biasanya membawa sidekka (sumbangan kepada keluarga
yang ditinggalkan) berupa barang atau kebutuhan untuk mengurus mayat, selain itu ada juga
yang membawapassolo (amplop berisi uang sebagai tanda turut berduka cita).
Mayat belum mulai diurus seperti dimandikan dan seterusnya sebelum semua anggota
terdekatnya hadir. Barulah setelah semua keluarga terdekatnya hadir, mayat mulai
dimandikan, yang umumnya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memang biasa
memandikan mayat atau oleh anggota keluarganya sendiri.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan ketika memandikan mayat:
- Mabbolo, yaitu menyiramkan air ke tubuh mayat diiringi pembacaan doa dan tahlil;
- Maggoso, yaitu menggosok bagian-bagian tubuh mayat;
- Mangojo, yaitu membersihkan anus dan kemaluan mayat yang biasa dilakukan oleh salah
seorang anggota keluarga seperti anak, adik atau oleh orang tuanya;
- Mappajjenne, yaitu menyiramkan air mandi terakhir sekaligus mewudhukan mayat.
Orang - orang yang bertugas tersebut diberikan pappasidekka (sedekah) berupa pakaian
si mayat ketika hidupnya lengkap dengan sarung, baju, celana, dan lain sebagainya.
19


Mayat yang telah selesai dimandikan kemudian dikafani dengan kain kaci (kain
kafan) oleh keluarga terdekatnya. Setelah itu imam dan beberapa pengikutnya
menyembahyangkan mayat menurut aturan Islam. Sementara diluar rumah, anggota
keluarganya membuat ulereng (usungan mayat) untuk golongan tau samara (orang
kebanyakan) atau Walasuji (untuk golongan
bangsawan) yang terbentuk 3 susun.
Bersamaan dengan pembuatan ulereng,
dibuat pula cekko-cekko, yaitu semacam
tudungan yang berbentuk lengkungan
panjang sepanjang liang lahat yang akan
diletakan diatas timbunan liang lahat
apabila jenazahnya telah dikuburkan. Dan
apabila, semua tata cara keislaman telah selesai dilakukan dari mulai memandikan,
mengafani, dan menyembahyangkan mayat, maka jenazahpun diusung oleh beberapa orang
keluar rumah lalu diletakan diatas ulereng.
Tata cara membawa usungan atau ulureng ini terbilang unik. Ulereng diangkat keatas
kemudian diturunkan lagi sambil melangkah ke depan, ini diulangi hingga 3 kali berturut-
turut, barulah kemudian dilanjutkan dengan perlahan menuju ke pekuburan diikuti
rombongan pengantar dan pelayat mayat. Iring-iringan pengantar jenazah bisa berganti-
gantian mengusung ulereng. Semua orang-orang yang berpapasan dengan iringan pengantar
jenazah harus berhenti, sedangkan orang-orang yang berjalan/berkendara dari belakang tidak
boleh mendahului rombongan pengantar jenazah hingga sampai di areal pekuburan.
Di pekuburan, sudah menanti beberapa orang yang akan bekerja membantu
penguburan jenazah. Sesampai di kuburan, mayat segera diturunkan kedalam liang lahat.
Imam atau tokoh masyarakat kemudian meletakkan segenggam tanah yang telah dibacakan
doa atau mantera-mantera ke wajah jenazah sebagai tanda siame (penyatuan) antara tanah
dengan mayat. Setelah itu, mayat mulai ditimbuni tanah sampai selesai. Lalu Imam
20

membacakan talkin dan tahlil dengan maksud agar si mayat dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan malaikat penjaga kubur dengan lancar.
Diatas pusara diletakan buah kelapa yang telah dibelah 2 dan tetap ditinggalkan diatas
kuburan itu. Diletakan pula payung dan cekko-cekko. Hal ini juga masih merupakan warisan
kepercayaan lama orang Bugis, bahwa meskipun seseorang telah meninggal dunia, akan
tetapi arwahnya masih tetap berkeliaran. Karena itu, kelapa dan airnya yang diletakan diatas
kuburan dimaksudkan sebagai minuman bagi arwah orang yang telah meninggal, sedangkan
payung selain untuk melindungi rohnya, juga merupakan simbol keturunan.
Dalam adat Bugis, apabila salah seseorang meninggal dunia maka beberapa hari
kemudian, biasanya pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, hari keseratus atau kapanpun
keluarga jenazah mampu dilaksanakan satu upacara adat yang disebut mattampung, dalam
upacara adat ini dilakukan penyembelihan sapi.












21

Kesimpulan

Suku Bugis Makassar merupakan sebuah suku yang kaya akan kebudayaan abstrak
maupun kebudayaan konkrit. Persentase jumlah penduduk suku Bugis di Sulawesi Selatan adalah
sekitar 62,5% dan suku Makassar sekitar 26,7%.Bentuk desa di Sulawesi Selatan sekarang
merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampung lama (desa gaya baru).
Sistem kekerabatan dalam kebudayaan Bugis-Makassar masih cukup kental, lapisan masyarakat
Bugis dan Makassar terdiri dari 3 yaitu anak arung atau lapisan kaum kerabat raja-raja, tom
aradeka atau lapisan orang merdeka, dan ata atau lapisan orang budak.
Sekitar 90% dari penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama Islam, sedangkan
hanya10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Karena masyarakat Bugis dan
Makassar tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat
Bugis hidup sebagai petani dan nelayan.
Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Kemudian ada sisi
seni juga yang biasanya menjadi mata pencarian bagi sukuBugis dan Makassar, yakni pembuatan
sarung tenun sutra. Bahasa yang diucapkan oleh sukuBugis disebut bahas ugi sementara suku
Makassar disebut mangkasara. Adapun huruf yang dipakai dalam naskah Bugis maupun
Makassar yakni, aksara lontara. Diantara buku terpenting dalam kesusasteraan suku Bugis-
Makassar adalah buku sure galigo, suatu himpunan besar dari mitologi yang bagi kebanyakan
orang mempunyai nilai yang keramat.
Potensi paling besar bagi masyarakat Bugis-Makassar adalah dalam sektor pelayaran
rakyatdan perikanan, karena usaha-usaha ini sudah merupakan usaha-usaha yang telah dijalankan
sejak beberapa abad lamanya oleh orang Bugis-Makassar, sehingga dapat dikatakan telah
mendarah daging dalam alam jiwa mereka.


22

DAFTAR PUSTAKA


Ahmad, Kadir. 2004, Masuknya Islam di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Ternggara. Makassar:
Balai Litbang Agama Makassar.
Garna, Judistira K. 1991. Sistem Budaya Indonesia. Bandung: Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran.
Mattuladda. 1974. Bugis Makassar, Manusia dan Kebudayaan. Makassar: Berita Antropologi
No. 16, Fakultas Sastra UNHAS.
------------. 1975. Latoa, Suatu Lukisan Analitis Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar:
Disertasi.
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis
http://id.wikipedia.org/wiki/Baju_bodo
http://muarief-nr.blogspot.com/2012/07/sistem-sosial-budaya-bugis-makassar.html
http://bugiesmakassar.blogspot.com/#

Вам также может понравиться