Вы находитесь на странице: 1из 17

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kehamilan ektopik adalah suatu keadaan di mana kantung gestasi berada di
luar kavum uteri, merupakan keadaaan gawat darurat yang paling sering
mengancam hidup pada kehamilan awal. Angka pasti Insidensi kehamilan diluar
kandungan sangat bervariasi, antara 1 setiap 28 sampai 400 kehamilan, sedangkan
peluang berulang kasus tersebut berkisar 0-14 persen. Insidensnya di Amerika
Serikat meningkat pesat dalam lima dekade terakhir, dari 4,5 per 1000 kehamilan
pada tahun 1970 menjadi sekitar 19,7 per 1000 kehamilan pada tahun 1992.
Kehamilan ektopik masih merupakan suatu penyebab utama dari kematian ibu,
yang meliputi sekitar 4% dari 20 kematian yang berkaitan dengan kehamilan
setiap tahunnya di Kanada.












Gambar 1. Lokasi Kehamilan Ektopik

Meskipun terdapat frekuensi yang relatif tinggi dari kondisi serius ini,
deteksi dini masih menjadi tantangan. Hingga pada separuh dari semua
perempuan dengan kehamilan ektopik yang datang ke instalasi gawat darurat,
kondisinya tidak teridentifikasi pada penilaian awal. Meskipun insidens dari
kehamilan ektopik pada populasi umum sekitar 2%, prevalensinya di antara
pasien-pasien hamil yang datang ke instalasi gawat darurat dengan perdarahan
atau nyeri trimester pertama, atau keduanya, adalah 6% hingga 16%. Kehamilan
ektopik dapat terjadi di beberapa tempat pada organ reproduksi wanita, antara lain
di tuba falopii (saluran telur), kanalis servikalis (leher rahim), ovarium (indung
telur), dan rongga perut.
(2)
Tuba falopi merupakan tempat favorit terjadi (90%).

Pada seseorang dengan hamil diluar kandungan keluhan akan dirasakan bila
tempat lokasi kehamilan terjadi terganggu atau pecah sehingga banyak terjadi
perdarahan.
(2)
Salah satu jenis kehamilan ektopik adalah kehamilan intraabdominal.
Hampir seluruh kasus adalah sekunder dari ruptur dini atau abortus kehamilan
tuba ke dalam kavum peritoneum dan menjadi kehamilan intraabdominal.
Kehamilan intra-abdominal merupakan kejadian yang jarang terjadi, hanya sekitar
1,4% dari kasus kehamilan ektopik.
(1,2)
Insidensinya sekitar satu per 3000
kelahiran. Angka kejadian kehamilan abdominal berbeda-beda, Rahman dan
kawan-kawan (1981) mendapatkan angka kejadian 1 di antara 10.200 kelahiran.
Di Amerika Serikat antara tahun 1970-1983 terdapat 10,9 kehamilan
abdominal/100.000 kelahiran hidup dan 9,2 kehamilan abdominal/1000 kehamilan
ektopik.Insidensi kehilangan perinatal berkisar dari 75 sampai 95 persen dengan
insidensi malformasi kongenital yang tinggi.
2. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik dokter muda di RSUD Jendral Ahmad Yani, Kota Metro.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.Definisi
Kehamilan abdominal adalah gestasi yang terjadi dalam kavum peritoneum.
Hampir seluruh kasus adalah sekunder dari ruptur dini atau abortus kehamilan
tuba ke dalam kavum peritoneum dan menjadi kehamilan intraabdominal.
Kehamilan abdominal merupakan kehamilan yang terjadi ekstrauterin, dimana
terjadinya implantasi pada omentum, organ-organ vital atau, pembuluh darah
besar. Kehamilan ini tersebut dapat tidak terdeteksi sampai umur kehamilan lanjut
dan terkadang menimbulkan suatu perdarahan. Umur kehamilan lanjut memiliki
resiko terjadinya perdarahan, DIC (Disseminated Intravascular Coagulation),
obstruksi dan fistula pada intestinal.
(3)
Terkadang ditemukan kondisi janin yang
viabel namun, kondisi ini membuat tatalaksana pada kasus ini semakin sulit.










Gambar 2.Kehamilan Ektopik dengan Ruptur Tuba Fallopian
Dilaporkan juga terjadinya implantasi pada cul-de-sac pelvis, ligamentum,
usus dan dinding pelvis.
(4,5)
Tempat implantasi dan dan ketersediannya suplai dari
pembuluh darah diyakini menjadi faktor yang mempengaruhi kesejahteraan
janin.
(6)
Faktor resiko dari kehamilan intra-abdominal meliputi, kerusakan pada
tuba, PID (Pelvic Inflamatory Disease), endomertriosis, tindakan medis , dan
multiparitas.
(5,7)
Kehamilan abdominal diyakini merupakan hasil dari implantasi
kedua dari aborsi kehamilan pada tuba atau hasil fertilisasi dari ovum dan sperma
intra-abdominal.
Menurut Studdiford , kriteria kehamilan intra-abdominal: (1) Normal tuba
falopi dan ovarium bilateral, (2) Tidak adanya uteroperitoneal fistulla, (3) Adanya
kehamilan yang berhubungan dengan permukaan peritoneal.
(8)
2.Gejala
Pasien dengan riwayat bercak perdarahan (spotting), perdarahan irregular,
atau nyeri selama berbulan-bulan pertama kehamilan dapat mengarah pada
kehamilan tuba yang telah ruptur ke dalam kavum peritoneum.
Nyeri abdomen : nyeri abdomen bagian bawah konstan atau intermitten
merupakan gejala yang paling konsisten dari kehamilan abdominal. Nyeri
diakibatkan dari rangsangan peritoneum. Jika bayinya hidup, gerakan janin akan
dirasakan sangat nyeri.
Riwayat haid : lamanya amenore biasanya berkorelasi dengan umur
kehamilan. Kehamilan abdominal mudah menjadi simptomatik antara gestasi 12
dan 40 minggu.
Gejala-gejala lainnya : nausea, vomitus, kosntipasi, diare, merupakan
gejala-gejala yang bervariasi.
(9)

3.Diagnosis
Kehamilan ektopik biasanya didiagnosis pada trimester pertama kehamilan.
Usia kehamilan yang paling umum ketika didiagnosis adalah 6 hingga 10 minggu.
KE memiliki frekuensi yang hampir sama pada sejumlah besar usia ibu dan asal-
usul etnis. Dokumentasi tentang faktor-faktor risiko merupakan bagian esensial
dari anamnesis, dan pasien-pasien klinis asimptomatis dengan faktor-faktor risiko
dapat mengambil manfaat dari pencitraan dini rutin.
(10)
Meskipun demikian, lebih
dari separuh KE yang diidentifikasi adalah pada perempuan tanpa faktor-faktor
risiko yang jelas diketahui
(11,12)
.
Penegakan diagnosis diawali dengan anamnesis, pada kehamilan abdominal
primer bila ditemukan nyeri atau kram pada abdomen dan perdarahan vagina,
sedangkan pada kehamilan abdominal sekunder tanda yang sering ditemui adalah
nyeri perut berulang, mual muntah yang terjadi pada trimester kedua dan ketiga
gerakan janin yang menimbulkan rasa sakit pada ibu, bagian janin mudah diraba,
dan presentasi janin tidak normal. Temuan-temuan fisik tergantung pada apakah
ruptur telah terjadi. Wanita dengan perdarahan intraperitoneal datang dengan
nyeri perut, bersama dengan berbagai derajat instabilitas hemodinamik.
Meskipun demikian, para perempuan tanpa ruptur dapat juga datang dengan
nyeri pelvik, perdarahan, pervaginam, atau keduanya. Beberapa peneliti telah
mengukur nilai prediktif dari faktor-faktor risiko khusus dan temuan-temuan fisik
semata atau dengan menggabungkannya. Tidak ada penggabungan yang secara
tepat dan konsisten dalam menyingkirkan kehamilan ektopik.
(12,13)

Penapisan dengan Mengukur Kadar -hCG (Human Chorionic
Gonadotropin)
Adalah penting untuk memastikan kehamilan. Di poliklinik, kehamilan
didiagnosis dengan menentukan konsentrasi urin atau serum -hCG. Hormon ini
dapat dideteksi pada urin dan darah sedini mungkin satu minggu sebelum periode
menstruasi yang diharapkan. Uji serum dapat mendeteksi tingkat yang rendah
sampai 5 IU/l, sementara uji urin mendeteksi tingkat yang rendah sampai 20 50
IU/l.
(14)
Pada sebagian besar kasus, penapisan hanya dilakukan dengan tes urin,
karena tes serum hCG memakan waktu dan tidak selalu mungkin dilakukan
pada setiap saat. Meskipun demikian, jika dicurigai adanya kehamilan, bahkan
ketika tes urin memiliki hasil negatif, maka tes serum akan memberikan hasil
definitif.
Jika kadar serum -hCG rendah (< 1000 IU/l) diasosiasikan dengan risiko
yang relatif lebih tinggi untuk KE. Meskipun suatu kadar serum yang sangat
rendah (< 100 IU/l) 29% dari mereka ditemukan mengalami ruptur tuba pada
laparoskopi. Suatu penelitian lain mengidentifikasi 38 kejadian ruptur tuba pada
kadar serum 10 hingga 189, 720 IU/l.
(15)
Dengan demikian, pengukuran tunggal -
hCG serum tidak dapat menyingkirkan KE atau memprediksi ruptur. Pengukuran
serial -hCG sering digunakan untuk para perempuan dengan perdarahan atau
nyeri trimester pertama, atau keduanya. Sebagaimana halnya dengan pengukuran
tunggal, pengukuran serial tidak dapat memastikan lokasi dari kantung gestasi.
Pada suatu kehamilan normal, konsentrasi hCG trimester pertama meningkat
dengan cepat, dua kali lipat setiap 2 hari. Suatu peningkatan selama 48 jam
setidak-tidaknya 66% telah digunakan sebagai cut off point untuk viabilitas.
Kehamilan ektopik dapat ditemukan dengan kadar -hCG yang meningkat,
menurun atau mendatar. Dengan demikian, pengukuran serial sangat bermanfaat
hanya untuk memastikan viabilitas janin, daripada mengidentifikasi kehamilan
ektopik.
(16)


Pencitraan Ultrasonografi
Ultrasonografi transvaginal telah mengubah penilaian tentang kehamilan
dini yang bermasalah, dengan memungkinkan visualisasi yang lebih dini, lebih
jelas baik tentang embrio yang berkembang secara normal maupun abnormal.
Suatu kantung gestasi yang normal, suatu kumpulan ovoid dari cairan yang
berdekatan dengan endometrial line, dapat divisualisasikan dengan probe
transvaginal pada usia kehamilan sekitar 5 minggu.
(16)

Sering dapat dilihat ketika diameter 2 atau 3 mm dan harus dilihat secara
konsisten pada 5 mm. Karena lingkungan hormonal pada KE dapat menghasilkan
suatu kumpulan cairan intrauterin yang menyerupai suatu kantung gestasi
(kantung gestasi palsu) maka suatu kantung semata belum memastikan kehamilan
intrauterin.
(17)
Temuan ultrasonografi pada KE adalah luas. Identifikasi adanya
kantung gestasi ekstrauterin yang mengandung yolk sac (dengan atau tanpa
embrio) menegaskan diagnosis KE.
(16)
Banyak penelitian prospektif telah menunjukkan bahwa pencitraan
ultrasonografi transvaginal di poliklinik memiliki akurasi yang tinggi dalam
memastikan kehamilan intrauterin dan ekstrauterin. Sebagian besar protokol dapat
menegakkan diagnosis dengan penilaian awal pada lebih dari 75% pasien-pasien
poliklinik. Oleh karena itu pemeriksaan skrining USG transvaginal merupakan
suatu keharusan, terutama pada pasien yang mengeluh perdarahan atau nyeri pada
trimester pertama kehamilan.
(`17,18)

Kuldosentesis
Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah
dalam kavum Douglasi ada darah. Cara ini sangat berguna dalam membantu
membat diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Teknik kuldosentesis dapat
dilaksanakan dengan urutan berikut :
- Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.
- Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik.
- Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan cunam
serviks ; dengan traksi ke depan sehingga forniks posterior tampak.
- Jarum spinal no 18 ditusukkan ke dalam kavum Douglas dan dengan
semprit 10 ml dilakukan pengisapan
- Bila pada pengisapan ditemukan darah, maka isinya disemprotkan pada
kain kasa dan diperhatikan apakah darah yang dikeluarkan merupakan :
Dasar segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan
membeku ; darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk ;
Darah tua berwarna coklat sampai hitam yang tidak membeku, atau
yang berupa bekuan kecil-kecil ; darah ini menunjukkan adanya
hematokel retrouterina.
(19)



















Gambar 3.Kuldosentesis

Dilatasi dan Kuretase
Dilatasi dan Kuretase merupakan pemeriksaan sederhana untuk mengetahui
kehamilan berada di intra uterin. Dilatasi dan kuretase dengan cepat dapat
mendeteksi apakah kehamilan tersebut berada di intra uterine atau ekstrauterine
segera setelah dilakukan nya pemeriksaan -HCG atau progesteron.
Jika jaringan yang didapat positif berasal dari villi, didapatkan hasil jaringan
tersebut mengapung dalam larutan saline atau pada pemeriksaan histologis
potongan permanen atau beku, maka didapatkan hasil kehamilan yang non viabel,
tidak ditemukannya villi menunjukan diagnosis dari kehamilan ektopik.
Walaupun pemeriksaan dilatasi dan kuretase mudah dan efektif dilakukan,
dapat didapatkan hasil yang salah apabila ditemukan kehamilan heterotropic
dimana terdapat kehamilan 1 intrauterin dan 1 ekstrauterine.

4.Tatalaksana
Untuk menentukan tatalaksana kehamilan abdominal ada beberapa hal yang
harus dipertimbangkan, yaitu
(20)
:



1) Komplikasi yang dialami ibu
2) Kelainan kongenital janin
3) Usia kehamilan
4) Ketersediaan fasilitas neonatus.
Janin yang sudah meninggal menjadi indikasi untuk melakukan operasi,
untuk menghindari resiko infeksi, perdarahan, dan disseminated intravascular
coagulation ( DIC). Jika janin masih hidup, harus segera dilakukan laparotomi
karena resiko terlepasnya plasenta dan terjadinya perdarahan yang hebat. Tapi,
bila usia kehamilan di atas 24 minggu, keadaan ibu dan janin baik, operasi dapat
ditunda untuk memberi waktu bagi janin untuk menjadi lebih matang, tetapi harus
dilakukan observasi lebih ketat untuk mengantisipasi terjadinya perdarahan, yang
dapat mengancam jiwa penderita. Jika Ibu mengalami keluhan nyeri pada
abdomen,hasil laboratorium dengan nilai Hb dan Ht yang rendah menandakan
adanya perdarahan, hasil ultrasonografi didapatkan massa kompleks di posterior
uterus dicurigai perdarahan dapat dilakukan laparotomi. Tindakan tersebut dinilai
tepat karena dapat mencegah terjadinya komplikasi yang lebih lanjut pada ibu.
Tatalaksana plasenta pada kehamilan abdominal masih menjadi perdebatan.
Pelepasan plasenta sebagian dapat mengakibatkan perdarahan yang hebat.
Pengangkatan plasenta secara utuh dilakukan hanya bila pembuluh darah yang
memperdarahi plasenta tersebut dapat diidentifikasi dan dilakukan ligasi. Regresi
total plasenta akan terjadi sempurna dalam 4 bulan.

Penatalaksanaan Medisinal
Methotrexate (MTX), suatu antagonis asam folat, menginhibisi sintesa DNA
dalam sel-sel yang membagi secara aktif, termasuk trofoblas. Jika diberikan
kepada pasien yang diseleksi secara tepat, maka akan memiliki tingkat
keberhasilan hingga 94%. Keberhasilan dalam pengobatan KE terutama
tergantung pada konsentrasi serum -hCG. Suatu meta-analisis tentang data dari
1.327 perempuan dengan KE yang diobati MTX menunjukkan bahwa resolusi
secara terbalik diasosiasikan dengan tingkat -hCG, dan bahwa tingkat yang
meninggi secara bermakna berkorelasi dengan kegagalan pengobatan (21).
Aktivitas jantung janin juga diasosiasikan dengan kegagalan pengobatan MTX.
Meskipun demikian, diameter tuba, ukuran janin, tidak berkaitan dengan luaran
(outcome).
(22)

Methotrexate adalah standar pengobatan medisinialis khususnya kehamilan
ektopik unruptur. Pemberian secara IM dosis tunggal merupakan regimen yang
sering digunakan. Ideal nya ada beberapa kondisi tertentu untuk pemberian
methotrexate:
1. Stabilitas hemodinamik (tidak terdapat perdarahan aktif atau
hemoperitoneum)
2. Tidak terdapat nyeri abdominal yang berat atau presisten
3. Dapat dilakukannya follow up atau kontrol berulang kali terhadap pasien
tersebut
4. Ukuran janin <4cm
5. Tes fungsi hati dan ginjal yang normal
6. Kadar B-HCG <5000 mIU/mL
(23,24)


Terdapat kondisi yang menjadi kontraindikasi absolut untuk pemberian
terapi methotrexate yaitu:
1. Adanya kehamilan intra uterine
2. Imunodefisiensi
3. Anemia, leukopenia atau trombositopenia berat
4. Hipersensifitas methotrexate
5. Tanda-tanda klinis disfungsi hati atau ginjal
6. Alkoholism,penyakit-penyakit gangguan hati
7. Ibu menyusui
8. Adanya tanda-tanda ruptur tuba ovari
(23,24)


Selain itu pemberian methotrexate memiliki beberapa efek samping seperti:
1. Mual, muntah
2. Stomatitis
3. Diare
4. Distress lambung
(24,25)


Kriteria untuk pengobatan MTX terhadap kehamilan ektopik adalah sebagai
berikut: Secara keseluruhan tingkat keberhasilan terapi MTX lebih baik dosis
ganda daripada dosis tunggal (93% vs 88%). Namun demikian dosis tunggal lebih
murah, memiliki tingkat efek samping yang rendah (29% vs 48%), hanya perlu
pemantauan yang tidak begitu intensif, tidak memerlukan pemberian tambahan
asam folat dan efektif untuk sebagian besar kasus. Kedua regimen belum secara
langsung dibandingkan dalam uji acak. Dengan adanya kontraindikasi, seperti
tingkat serum -HCG yang tinggi (> 5000 IU/l) dan adanya aktivitas jantung,
maka pemberian dosis ganda harus dipertimbangkan. Pasien-pasien yang diobati
dengan MTX harus diikuti dengan ketat. Konsentrasi serum -HCG harus diukur
setiap minggu.
(26)

Protokol Pengobatan dengan MTX yang Banyak Dianut Secara
Internasional adalah sebagai berikut:
Pemeriksaan pra-pengobatan
Hitung darah lengkap
Typing golongan darah dan uji antibodi
Uji fungsi hati dan ginjal
Pengukuran tingkat serum -hCG
Ultrasonografi transvaginal
Pengobatan hari 0
Injeksi methotrexate (50 mg/m
2
) secara intramuskular
Injeksi RhoGAM (300 ug) secara intramuskular jika perlu
Hentikan suplemen asam folat
Beritahu pasien untuk membatasi aktivitas fisik dan hubungan seksual
Hari ke 7
Ukur konsentrasi serum -hCG
Injeksi dosis ke dua methotrexate jika penurunan tingkat -hCG < 25%
Mingguan
Ukur konsentrasi serum -hCG hingga kadarnya < 15 IU/l
Lakukan ultrasonografi transvaginal


Setiap saat
Lakukan laparoskopi jika pasien mengalami nyeri perut hebat atau akut
abdomen atau jika ultrasonografi menunjukkan adanya darah intra
abdominal lebih dari 100 ml.
(27)


Efek samping dari terapi MTX biasanya ringan dan terbatas. Stomatitis dan
konjunktivitis merupakan efek samping yang paling umum. Pleuritis, dermatitis,
alopecia, gastritis, enteritis, konsentrasi enzim hati yang meningkat dan supresi
sumsum tulang jarang terjadi. Sekitar 30% dari pasien akan mengalami efek
samping dengan dosis tunggal dan 40% dengan dosis ganda.
(28)

Pemberian metotrexate untuk mempercepat involusi plasenta tidak
dianjurkan karena degradasi jaringan plasenta secara cepat dapat menyebabkan
akumulasi dari jaringan nekrotik dimana hal tersebut merupakan media yang ideal
bagi pertumbuhan bakteri dan terjadinya sepsis
(27,28)

Penatalaksanaan Operatif Secara Laparoskopi
Penatalaksanaan operatif dapat dengan laparotomi atau laparoskopi.
Laparoskopi operatif dianjurkan pada keadaan di mana penderita dalam keadaan
stabil sebagai pengganti laparotomi. Laparoskopi dilaporkan lebih efektif untuk
perempuan usia reproduksi di dalam rasio kembalinya kehamilan intra uterin yang
akan datang, menghindari rekurensi kehamilan ektopik berikutnya dan masa
penyembuhan yang lebih pendek.
(29,30)

Teknik Operasi Laparoskopi: praoperatif harus sudah dapat ditentukan
lokasi dan besar lesi. Oleh karena keberhasilan operasi laparoskopi ditentukan
oleh banyaknya perdarahan maka penggunaan suction trokar 10 mm sangat
dianjurkan sehingga bekuan darah dapat dikeluarkan dengan cepat dan akurat
terlebih dahulu. Cairan ringers lactat dapat membantu digunakan pula untuk
mengeluarkan bekuan darah dan sisa jaringan trofoblas yang menempel pada
lapisan serosa organ-organ di peritoneum.
(29,30)







BAB III
PENUTUP


1.Kesimpulan
Kehamilan abdominal adalah gestasi yang terjadi dalam kavum peritoneum.
Hampir seluruh kasus adalah sekunder dari ruptur dini atau abortus kehamilan
tuba ke dalam kavum peritoneum dan menjadi kehamilan intraabdominal.
Kehamilan abdominal merupakan kehamilan yang terjadi ekstrauterin, dimana
terjadinya implantasi pada omentum, organ-organ vital atau, pembuluh darah
besar. Insidensinya sekitar satu per 3000 kelahiran. Angka kejadian kehamilan
abdominal berbeda-beda, Rahman dan kawan-kawan (1981) mendapatkan angka
kejadian 1 di antara 10.200 kelahiran. Di Amerika Serikat antara tahun 1970-1983
terdapat 10,9 kehamilan abdominal/100.000 kelahiran hidup dan 9,2 kehamilan
abdominal/1000 kehamilan ektopik.Insidensi kehilangan perinatal berkisar dari 75
sampai 95 persen dengan insidensi malformasi kongenital yang tinggi.
Diagnosis kehamilan abdominal dapat menggunakan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang berupa -
HCG, -fetoprotein, USG, X-ray, kuldosentesis, dilatasi dan kuretase.
Kehamilan abdominal dapat ditatalaksana dengan tatalaksana medicinalis
menggunakan methotrxate, dan operatif secara laparoskopi.
2.Saran
Kehamilan intraabdominal merupakan salah satu kehamilan ekstrauterin
yang jarang terjadi, namun hal ini bila ditemukan harus segera didiagnosis dan
ditatalaksana, mengingat komplikasi berupa perdarahan yang menjadi ancaman
besar.





DAFTAR PUSTAKA
1. Atrash H K, Friede A, Houuge C. Abdominal pregnancy in United
States: frequency and maternal mortality. Obstet Gynecol 1987; 69:
333-337
2. Fisch B, Peled Y, Kaplan B, Zehavi S, Neri A. Abdominal pregnancy
following in vitro fertilization in a patient with previous bilateral
salpingectomy. Obstet Gynecol 1996; 88(4): 642-643
3. Rahman M S, Al-Suleiman S, Rahman J, Al-Sibai M H. Advanced
abdominal pregnancy-observation in 10 cases. Obstet Gynecol 1982;
59: 366-372
4. Dover R W, Powell M C. Management of a primary abdominal
pregnancy . Am J Obstet Gynecol 1995; 172: 1063-1064
5. Ludwig M, Kaisi M, Bauer O, Diedrich K. The forgoten childa case
pf heterotopic, intraabdominal and intrauterine pregnancy carried to
term. Hum Reprod 1999; 14(5): 1373-1374
6. Varma R, Mascarenhas R. Successful outcome advanced abdominal
pregnancy with exclusive omental insertion. Ultrasound Obstet
Gynecol 2003; 21: 192-194
7. Tsudo T, Harada T, Yoshioka H, Terakawa N. Laparoscopic
management of early unruptured abdominal pregnancy. Obstet
Gynecol 1997; 90(4): 687-688.
8. Onan M A, Turp A B, Saltik A, Akyurek N, Taskiran C, Himmetoglu
O. Primary omental pregnancy: case report. Hum rerod. 2005; 20(3):
807-809
9. Taber Benzion, MD. Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan
Ginekologi. 1994. EGC : Jakarta.
10. Tulandi T, Hemmings R, Khalifa F. Rupture of ectopic pregnancy in
women with low and declining serum betahuman chorionic
gonadotropin concentrations. Fertil Steril 1991; 56: 786-7
11. Buckley RG, King KJ, Disney JD, Gorman ID, Klausen JH. History
and physical examination to estimate the risk of ectopic pregnancy:
validation of a clinical prediction model. Ann Emerg Med 1999; 34:
589-94. Comment in Ann Emerg Med 1999; 34: 664-7
12. Dart RG, Kaplan B, Varaklis K. Predictive value of history and
physical examination in patients with suspected ectopic pregnancy.
Ann Emrg Med 1999; 33: 283-90
13. Mol BW, Hajenius PJ, Engelshel S, Ankum WM, van der Veen F,
Hemrika DJ, et al. Can noninvasive diagnostic tools predict tubal
rupture or active bleeding in patients with tubal pregnancy. Fertil
Steril 1999; 71: 167-73
14. Kadar N, Caldwell BV, Romero R. A method of screening for ectopic
pregnancy and its indications. Obstet Gynecol 1981; 58: 162-6
15. Barnhart K, Mennuti MT, Benjamin I, Jacobson S, Goodman D,
Coutifaris C. Prompt diagnosis of ectopic pregnancy in an emergency
department setting. Obstet Gynecol 1994; 84: 1010-5
16. Hadisaputra, W. 2008. Penatalaksanaan Kehamilan Ektopik dengan
Kajian Hasil Laparoskopi Operatif. Divisi Kesehatan Reproduksi
Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UI : RSCM, Jakarta.
17. Mateer JR, Valley VT, Aiman EJ, Phelan MB, Thoma ME, Kefer MP.
Outcome analysis of a protocol including bedside endovaginal
sonography in patients at risk for ectopic pregnancy. Ann Emerg Med
1996; 27: 283-9
18. Murray H, Baakdah H, Bardell T, Tulandi T. Diagnosis and treatment
of ectopic pregnancy synthese. CMAJ. Oct, 11,2005: 905-12
19. Prawirohardjo,S. 2010. Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono
Prawihardjo : Jakarta.
20. Widjajahakim, G. Christina, S. 2007. Kehamilan Ektopik Terganggu di
Abdomen. Fakultas Kedokteran UNKRIDA
21. Doyle MB, DeCherney. Diagnosis and management of tubal disease. In:
Carr BR, Blackwell RE. Textbook of reproductive medicine. 1
st
ed.
Connecticut: Appleton & Lange, 1993:507-516

22. Alto A William. Abdominal pregnancy. Januari 1990. Diunduh dari
http://findarticles.com November 2013
23. Hadisaputra, W. 2008. Penatalaksanaan Kehamilan Ektopik dengan
Kajian Hasil Laparoskopi Operatif. Divisi Kesehatan Reproduksi
Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UI : RSCM, Jakarta.
24. Jazayeri A, Davis T A. Contreras D N. Diagnosis and management of
abdominal pregnancy. a case report. J Reprod Med 2002; 47(12):
1047-1049
25. Kun KY, Wong PY, Ho Mw, Tai CW, Ng TK. Abdominal pregnancy
presenting as a missed abortion at 16 weeks gestation. HKMJ 2000
26. Rahaman J, Berkowitz R, Mitty H, Gaddipati S, Brown B, Nezhat F.
Minimally invasive management of an advanced abdominal pregnancy.
Obstet Gynecol 2004; 103: 1064-1068
27. Rahman M S. Al-Suleiman S, Rahman J, Al-Sibai M H. Advanced
abdominal pregnancyobservations in 10 cases. Obstet Gynecol
1982; 59: 366-372
28. Sepilian P Vicken. Ectopic pregnancy. August 2007. Diunduh dari
http://www.emedicine.com November 2013
29. Tromans P M. Coulson R, Lobb M. Abdominal pregnancy associated
with extremely elevated serum alpha-fetoprotein: case report. Br J
Obstet Gynaecol 1984; 91: 296-298
30. Varma R, Mascarenhas R, Jame D. Successful outcome of advanced
abdominal pregnancy with exclusive omental insertion. Ultrasound
Obstet Gynecol 2003; 21: 192-194









REFERAT
KEHAMILAN INTRAABDOMEN



Disusun Oleh :
Elis Sri Alawiyah,S.Ked. (0918011041)
M.Iqbal Tafwid,S.Ked. (0918011063)
Shinta Trilusiani, S.Ked. (0918011079)


Dokter Pembimbing
dr.Wahdi Sirajudin,Sp.OG





KEPANITERAAN KLINIK STASE OBSTETRI GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT JENDRAL AHMAD YANI KOTA METRO
2013

Вам также может понравиться