Вы находитесь на странице: 1из 11

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cabai merah (Capsicum annuum
L.) merupakan salah satu jenis sayuran
yang mempunyai kadar air yang cukup
tinggi (55-85%) saat panen. Tingkat
kerusakan cabai merah mencapai 40%
(Ermawati dkk, 2010). Karena cabai
merah memiliki kadar air yang sangat
tinggi, sehingga bersifat mudah rusak
menyebabkan banyak cabai merah
yang terbuang percuma terutama pada
saat musim panen tiba meskipun
sebenarnya cabai tersebut masih dapat
dimanfaatkan (cabai merah afkir). Cara
yang digunakan untuk memanfaatkan
cabai merah afkir tersebut yaitu dengan
dijadikan bubuk cabai merah. Dengan
teknologi tersebut, diharapkan dapat
membuat daya guna cabai merah afkir
menjadi meningkat.
Permasalahan dalam pembuatan
bubuk cabai merah ini adalah sifat
cabai merah afkir yang tidak sesuai
standar, sehingga perlu ditambahkan
dengan cabai merah segar yang
berkualitas baik dengan proporsi yang
tepat. Selain itu, pada saat proses
























pengeringan akan terjadi penurunan
kualitas bubuk cabai merah tersebut.
Untuk mengurangi penurunan
kualitas bubuk cabai merah akibat
pengeringan, dilakukan pemanasan
awal dengan cara blansing. Blansing
dapat mempengaruhi kualitas bubuk
cabai merah. Blansing menghilangkan
udara dari jaringan bahan yang
menyebabkan oksidasi dan mengurangi
mikroba pada tanaman. Hasil penelitian
kusdibyo dan Musaddad (2000) dalam
Asgar dan Musaddad (2006), perlakuan
blansing pada suhu 80-90C selama 10
menit meningkatkan kecerahan warna,
nutrisi, dan tekstur wortel.

B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui proporsi cabai merah segar
dan cabai merah afkir yang tepat serta
pengaruh waktu blansing terhadap sifat
fisik dan kimia bubuk cabai merah.

C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat
memberi informasi cara pemanfaatan
cabai merah afkir dalam pembuatan
bubuk cabai merah.

PEMANFAATAN CABAI MERAH AFKIR DALAM PEMBUATAN BUBUK
CABAI MERAH (Capsicum annuum L.)
(Kajian : Proporsi Cabai Merah Segar : Cabai Merah Afkir dan Waktu
Blansing)

Wisnu Aribowo
1
, Sudarminto Setyo Yuwono
2

1) Alumni Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang
2) Staf Pengajar Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang

ABSTRACT

Red pepper has a lot of nutrient, such as energy, protein, fat, carbohydrate, calcium,
vitamin A, vitamin B1, and vitamin C. Red pepper is easy to rotten after harvesting,
thats why there are many red pepper were wasted even there are can be used.
Therefore, it is needed a method to process the overripe red pepper. One alternative to
solve overripe red pepper problem is a drying to be made red pepper powder with
added fresh red pepper

Keyword : Fresh Red Pepper, Overripe Red Pepper, Red Pepper Powder, and Drying



D. Hipotesis
Diduga dengan penambahan
proporsi cabai merah segar dan cabai
merah afkir serta waktu blansing akan
berpengaruh pada kandungan gizi
bubuk cabai merah.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Cabai Merah (Capsicum
annuum L.)
Cabai adalah tumbuhan perdu
dengan tinggi 45-100 cm dan berumur
semusim. Bunga terdapat pada ujung
ranting dengan posisi menggantung,
mahkota berwarna putih berbentuk
bintang, dan kelopak seperti lonceng.
Buah tunggal, bervariasi dalam ukuran,
bentuk, warna, dan tingkat kepedasan.
Bentuk buah seperti garis, menyerupai
kerucut (seperti tabung memanjang,
lonceng, atau berbentuk bulat). Warna
buah setelah masak bervariasi dari
merah, jingga, kuning, atau keunguan,
dan posisi buah menggantung. Warna
biji kuning pucat (Djarwaningsih, 2005).
Menurut Persagi (2009),
kandungan gizi cabai merah segar dan
bubuk cabai merah seperti disajikan
dalam Tabel 1 dibawah ini :

Tabel 1. Kandungan Gizi Cabai Segar dan
Bubuk Cabai per 100 Gram BDD
Kandungan
Gizi
Cabai
Segar
Bubuk
Cabai
Kadar Air 90,9 % 10 %
Energi 36 kkal 367 kkal
Protein 1 g 15,9 g
Lemak 0,3 g 6,2 g
Karbohidrat 7,3 g 61,8 g
Kalsium 29 mg 160 mg
Fosfor 24 mg 370 mg
Besi 0,5 mg 2,3 mg
Karoten Total 470 g 576 g
Vitamin C 18 mg 50 mg
Vitamin B1 0,05 mg 0,4 mg
BDD 85 % 100



B. Kapsaisin
Kapsaisin merupakan alkaloid
yang larut dalam alkohol namun tidak
larut air. Kapsaisin dianggap sebagai
lemak sehingga memiliki sifat lipofilik
(larut dalam lemak). Kapsaisin memiliki
titik leleh pada suhu 62-65C dan titik
didih pada suhu 210-220C. Rumus
molekul kapsaisin adalah C
18
H
27
NO
3

dan berat molekul 305,41 g/mol
(Kautsar, 2009).





Gambar 1. Struktur Kimia Kapsaisin
(Kautsar, 2009)

C. Blansing
Menurut Asgar dan Musaddad
(2006), tujuan blansing adalah :
1. Menginaktivasi enzim dalam bahan
yang dapat menimbulkan reaksi
yang merugikan.
2. Membersihkan produk dari kotoran
yang melekat.
3. Mengurangi jumlah mikroorganisme.
4. Menghilangkan udara yang terdapat
dalam rongga-rongga antarsel dalam
jaringan bahan.
5. Melenturkan jaringan supaya bahan
mudah dikemas.

D. Pengeringan
Pengeringan merupakan salah
satu cara untuk mengawetkan bahan
pangan yang mudah rusak atau busuk
pada kondisi penyimpanan sebelum
digunakan (Asgar dan Musaddad,
2006). Tujuan pengeringan pada bahan
pangan yaitu :
1. Pengawetan.
2. Mengurangi berat dan volume.
3. Menekan biaya pengangkutan dan
penyimpanan karena berat dan
volume produk berkurang.

E. Vitamin C
Menurut Pantan (2012), vitamin C
merupakan salah satu asam organik
beratom karbon 6 yang memiliki 2
bentuk molekul aktif, yaitu asam
askorbat dan asam dehidroaskorbat.
Vitamin C larut dalam air dan rusak
akibat pemanasan. Faktor penyebab
kerusakan vitamin C adalah lama
penyimpanan, perendaman dalam air,
pemanasan dalam waktu lama, dan
pemanasan pada alat yang terbuat dari
besi.
F. Karotenoid
Karotenoid adalah suatu pigmen
berwarna oranye, merah, atau kuning
yang biasanya terdapat pada buah-
buahan berwarna merah dan
merupakan suatu zat yang larut dalam
lemak atau pelarut organi. Senyawa ini
sensitif terhadap udara dan sinar
terutama pada suhu tinggi (Dutta dkk,
2005).

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan bulan
Juni - November 2012 di Laboratorium
Rekayasa dan Pengolahan Pangan
serta Laboratorium Kimia dan Biokimia
Pangan, Jurusan THP, FTP Universitas
Brawijaya, Malang

B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah timbangan analitik,
cabinet dryer, cawan petri, labu ukur,
colour redaer, oven, erlenmeyer, gelas
ukur, kertas saring, buret, pipet tetes,
pipet volumetrik, kolom kromatografi,
mixer magnet, corong pisah, beaker
glass, dan spektrofotometer.
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah cabai merah segar,
cabai merah afkir, aquades, petroleum
eter, kapas adsorben, Na
2
SO
4
, aseton,
amilum 1%, alumina, asam askorbat,
betakaroten, dan iodin 0,01 N.

C. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang dipakai
adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK) Faktorial dengan 2 faktor. Faktor
I terdiri dari 3 level dan faktor II terdiri
dari 2 level. Kontrol yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu 100% cabai
merah segar dan 100% cabai merah
afkir dengan waktu blansing 0 menit.
Faktor I : Proporsi Cabai Merah
Segar : Cabai Merah
Afkir (A)
A1 75% cabai merah
segar : 25% cabai
merah afkir
A2 50% cabai merah
segar : 50% cabai
merah afkir
A3 25% cabai merah
segar : 75% cabai
merah afkir
Faktor II : Waktu Blansing (B)
B1 5 menit
B2 10 menit

D. Pelaksanaan Penelitian
Setiap unit percobaan digunakan
100 gram cabai merah dengan proporsi
yang telah ditentukan. Selanjutnya
dilakukan pembuatan bubuk cabai
merah.

E. Pengamatan dan Analisis Data
Pengamatan kimia fisik yang
dilakukan pada bubuk cabai merah ini
meliputi pengamatan kadar air,
betakaroten, vitamin C, warna, daya
serap air, dan rendemen. Sedangkan
untuk uji organoleptik dilakukan uji
rangsangan tunggal dan uji peringkat.
Data yang diperoleh dianalisa
menggunakan ANOVA. Apabila
terdapat beda nyata dilakukan uji BNT
dengan taraf 5% dan dilanjutkan uji
DMRT apabila terjadi interaksi pada
kedua perlakuan. Analisa perlakuan
terbaik digunakan metode De Garmo
(1984).












F. Diagram Alir Penelitian

















Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Bubuk
Cabai Merah (Modifikasi Khoironi, 2012)
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bahan Baku Cabai Merah
Analisa bahan baku cabai merah
meliputi analisa kadar air, vitamin C,
karotenoid, dan warna. Hasil analisa
seperti pada Tabel 2 dibawah ini :

Tabel 2. Hasil Rerata Analisa Bahan Baku
Cabai Merah
Parameter
Hasil Analisa
Cabai
Segar
Cabai
Afkir
Vitamin C
(mg/100g)
15,87 6,34
Karotenoid
(g/100g)
431,27 287,79
Kadar Air (%) 84,52 82,04
Warna
L+ 34,41 32,87
a+ 36,80 24,86
b+ 23,01 19,22

Hasil analisa pada Tabel 2
didapat kadar air cabai merah segar
sebesar 84,52% dan kadar air cabai
merah afkir sebesar 82,04%. Kadar
vitamin C cabai merah segar sebesar
15,87 mg/100g dan cabai merah afkir
sebesar 6,34 mg/100g. Kandungan
karotenoid cabai merah segar sebesar
431,27 g/100g dan cabai merah afkir
sebesar 287,79 g/100g.
Hasil analisa warna yang didapat
untuk tingkat kecerahan (L+) cabai
merah segar yaitu 34,41 dan cabai
merah afkir sebesar 32,87. Untuk
tingkat kemerahan (a+) cabai merah
segar sebesar 36,80 dan cabai merah
afkir sebesar 24,86. Sedangkan untuk
tingkat kekuningan (b+) cabai merah
segar sebesar 23,01 dan cabai merah
afkir sebesar 19,22.

B. Bubuk Cabai Merah
Hasil dari analisa bahan baku
cabai merah segar dan cabai merah
afkir yang telah dikeringkan, tanpa
perlakuan blansing (0 menit) seperti
pada Tabel 3 dibawah ini :



Tabel 3. Hasil Rerata Bubuk Cabai Merah
tanpa Perlakuan Blansing
Parameter
Hasil Analisa
Bubuk
Cabai
Segar
Cabai
Afkir
Kadar Air (%) 6,07 3,53
Vitamin C
(mg/100g)
37,22 16,34

Karotenoid
(g/100g)
571,28 289,79
Warna
L+ 40,06 34,99
a+ 26,76 23,98
b+ 22,51 20,23
Rendemen (%) 14,97 14,62
Daya Serap Air
(%)
14,80 18,44

C. Kadar Air
Kadar air dalam suatu bahan
pangan perlu ditetapkan karena
semakin tinggi kadar air maka semakin
besar pula kemungkinan bahan pangan
tersebut rusak, sehingga tidak tahan
lama (Asgar dan Musaddad, 2006).
Hasil kandungan kadar air bubuk cabai
merah dapat dilihat pada Gambar 3.




Proporsi Cabai Segar : Cabai Afkir
A1 = 75% : 25%
A2 = 50% : 50%
A3 = 25% : 75%
Kontrol :
100% Cabai Merah Segar
100% Cabai Merah Afkir
Analisa Awal :
Kadar Air
Warna
Karotenoid
Vitamin C
Dikeringkan Menggunakan Pengering
Kabinet 60C Selama 20-25 Jam
(Kadar Air Maks. 10%)
Digiling Menggunakan Blender
Diayak Menggunakan Ayakan 60 Mesh
Bubuk Cabai Merah
(Rendemen 14-17 Gram)
Suhu Blansing 70-80C
Waktu Blansing :
B1 = 5 Menit
B2 = 10 Menit
Kontrol : 0 Menit
Analisa Akhir :
Kadar Air
Warna
Karotenoid
Vitamin C
Rendemen
Daya Serap Air
Organoleptik
Ditiriskan
Diblansing
Dicuci dengan Air Mengalir
Disortasi
(Tangkai dan Kotoran Dibuang)
100 Gram Cabai Merah
(Segar dan Afkir)









Gambar 3. Diagram Rerata Kadar Air (%)
Bubuk Cabai Merah Akibat Proporsi Cabai
Merah Segar : Cabai Merah Afkir dan
Waktu Blansing

Gambar 3 memperlihatkan bahwa
kadar air bubuk cabai merah cenderung
menurun dengan semakin sedikit
proporsi cabai merah segar dan
semakin banyak proporsi cabai merah
afkir yang digunakan. Begitu juga
dengan waktu blansing, semakin lama
waktu blansing maka kadar air
cenderung menurun. Hasil kadar air
pada perlakuan proporsi cabai merah
segar : cabai merah afkir dan waktu
blansing adalah 3,70-4,40% dan hasil
kadar air tanpa perlakuan (kontrol)
untuk bubuk cabai merah segar
sebesar 6,07% dan bubuk cabai merah
afkir sebesar 3,53%.
Hasil perhitungan analisa sidik
ragam kadar air menunjukkan bahwa
perlakuan proporsi cabai merah segar :
cabai merah afkir dan waktu blansing,
serta interaksi antara keduanya tidak
memberikan pengaruh nyata ( = 0,05)
terhadap bubuk cabai merah yang
dihasilkan.

D. Vitamin C
Hasil kandungan vitamin C bubuk
cabai merah dapat dilihat pada Gambar
4. Gambar 4 menunjukkan hasil
kandungan vitamin C pada perlakuan
proporsi cabai merah segar : cabai
merah afkir dan waktu blansing adalah
28,16-35,42 mg/100g dan hasil
kandungan vitamin C tanpa perlakuan
(kontrol) untuk bubuk cabai merah
segar sebesar 37,22 mg/100g dan
bubuk cabai merah afkir sebesar 16,34
mg/100g.










Gambar 4. Diagram Kandungan Vitamin C
(mg/100g) Bubuk Cabai Merah Akibat
Proporsi Cabai Merah Segar : Cabai Merah
Afkir dan Waktu Blansing

Analisa sidik ragam vitamin C
menunjukkan perlakuan proporsi cabai
merah segar : cabai merah afkir dan
waktu blansing memberikan pengaruh
nyata, tetapi interaksi keduanya tidak
memberikan pengaruh nyata ( = 0,05)
terhadap bubuk cabai merah yang
dihasilkan.


Tabel 4. Rerata Vitamin C Akibat Pengaruh
Proporsi Cabai Merah Segar : Cabai Merah
Afkir
Proporsi (%) Cabai
Merah Segar :
Cabai Merah Afkir
Rerata
Vitamin C
(mg/100g)
75 : 25 103,54c
50 : 50 96,04b
25 : 75 87,21a
BNT 5% = 1,03

Tabel 4 menunjukkan bahwa
semakin banyak cabai merah afkir yang
digunakan maka kandungan vitamin C
cenderung menurun. Hal ini dapat
disebabkan karena cabai merah afkir
yang digunakan sudah mengalami
penurunan kandungan gizinya yang
disebabkan karena jaringan sel yang
sudah rusak disebabkan oleh oksidasi.
Udara mudah kontak dengan bahan
pada saat pemanenan atau pada saat
proses pengolahan dan mengakibatkan
jaringan sel bahan menjadi rusak.
Kerusakan jaringan sel bahan ini
mengakibatkan kandungan gizi cabai
merah afkir lebih rendah dibandingkan
dengan cabai merah segar.
Menurut Cheng dan Crisosto
(2005), reaksi oksidasi dapat terjadi
karena adanya jaringan tanaman yang
terluka, seperti pemotongan atau
perlakuan lain yang mengakibatkan
kerusakan integritas jaringan tanaman
tersebut.

Tabel 5. Rerata Vitamin C Akibat Pengaruh
Blansing
Waktu
Blansing
Rerata Vitamin C
(mg/100g)
5 menit 98,55b
10 menit 92,65a
BNT 5% = 1,30

Tabel 5 menunjukkan bahwa
semakin lama waktu blansing maka
vitamin C cenderung menurun. Hal ini
disebabkan vitamin C merupakan
vitamin yang larut air dan juga sensitif
terhadap panas, sehingga semakin
lama waktu blansing mengakibatkan
vitamin C menjadi rusak.
E. Karotenoid
Karotenoid merupakan kelompok
pigmen yang berwarna kuning, jingga,
merah jingga serta larut dalam minyak
(Kuswardhani, 2007).









Gambar 5. Diagram Kandungan Karotenoid
(g/100g) Bubuk Cabai Merah Akibat
Proporsi Cabai Merah Segar : Cabai Merah
Afkir dan Waktu Blansing

Gambar 5 menunjukkan hasil
kandungan karotenoid pada perlakuan
proporsi cabai merah segar : cabai
merah afkir dan waktu blansing adalah
425,65-566,88 g/100g dan kandungan
karotenoid tanpa perlakuan (kontrol)
untuk cabai merah segar sebesar
571,28 g/100g dan cabai merah afkir
sebesar 289,79 g/100g.
Analisa sidik ragam kandungan
karotenoid menunjukkan proporsi cabai
merah segar : cabai merah afkir dan
waktu blansing memberikan pengaruh
yang nyata, sedangkan interaksi antara
keduanya tidak memberikan pengaruh
nyata ( = 0,05).

Tabel 6. Rerata Karotenoid Akibat
Pengaruh Proporsi Cabai Merah Segar :
Cabai Merah Afkir
Proporsi (%) Cabai
Merah Segar :
Cabai Merah Afkir
Rerata
Karotenoid
(g/100g)
75 : 25 1697,53c
50 : 50 1301,00b
25 : 75 1279,42a
BNT 5% = 1,81

Tabel 6 menunjukkan bahwa
semakin banyak proporsi cabai merah
afkir yang digunakan maka kandungan
karotenoid bubuk cabai merah yang
dihasilkan cenderung menurun. Hal ini
dapat disebabkan dari bahan baku
yang digunakan yaitu cabai merah
segar dan cabai merah afkir. Keafkiran
cabai tersebut disebabkan cabai sudah
kelewat masak (over ripening), cacat
fisiologis dan hama atau penyakit, serta
karena cahaya dan udara (oksidasi),
sehingga kandungan gizinya menurun
jika dibandingkan cabai merah segar.
Jaringan sel yang rusak akan mudah
kontak dengan udara pemanenan dan
pengolahan, sehingga menurunkan
kandungan gizinya.

Tabel 7. Rerata Karotenoid Akibat
Pengaruh Waktu Blansing
Waktu
Blansing
Rerata Karotenoid
(g/100g)
5 menit 1429,71b
10 menit 1422,26a
BNT 5% = 2,26

Tabel 7 menunjukkan bahwa
semakin lama waktu blansing maka
kandungan karotenoid yang dihasilkan
cenderung menurun. Hal ini disebabkan
karena karotenoid merupakan senyawa
yang sensitif terhadap panas sehingga
semakin lama waktu blansing, maka
kandungan karotenoid cenderung
menurun. Menurut Dutta dkk. (2005),
karotenoid merupakan suatu pigmen
berwarna oranye, merah, atau kuning.
Senyawa ini sangat sensitif terhadap
panas, sehingga mudah mengalami
kerusakan.

F. Rendemen
Hasil rerata rendemen bubuk
cabai merah dapat dilihat pada Gambar
6 dibawah ini :










Gambar 6. Diagram Rerata Rendemen (%)
Bubuk Cabai Merah Akibat Proporsi Cabai
Merah Segar : Cabai Merah Afkir dan
Waktu Blansing
Gambar 6 memperlihatkan bahwa
rendemen bubuk cabai merah
cenderung menurun dengan semakin
sedikit proporsi cabai merah segar dan
semakin banyak proporsi cabai merah
afkir yang digunakan. Begitu juga
dengan waktu blansing, semakin lama
blansing maka rendemen cenderung
menurun. Hasil rerata rendemen pada
perlakuan proporsi cabai merah segar :
cabai merah afkir dan waktu blansing
adalah 15,90-16,93% dan hasil
rendemen tanpa perlakuan (kontrol)
cabai merah segar 14,97% dan cabai
merah afkir sebesar 14,62%.
Analisa sidik ragam rendemen
menunjukkan perlakuan proporsi cabai
merah segar : cabai merah afkir dan
waktu blansing, serta interaksi antara
keduanya tidak memberikan pengaruh
nyata ( = 0,05).
Semakin tinggi kadar air, maka
rendemen yang dihasilkan akan tinggi
juga. Hal ini karena rendemen
dipengaruhi oleh kadar air. Rendemen
akan berbanding lurus dengan kadar
air, dimana semakin tinggi kadar air
maka rendemen akan semakin tinggi.
Menurut Syafriandi (2003), rendemen
produk kering dinilai atas dasar
kebersihan, kadar air dan kandungan
kimiawi bahan.

G. Daya Serap Air
Hasil rerata daya serap air bubuk
cabai merah dapat dilihat pada Gambar
7 dibawah ini :









Gambar 7. Diagram Daya Serap Air (%)
Bubuk Cabai Merah Akibat Proporsi Cabai
Merah Segar : Cabai Merah Afkir dan
Waktu Blansing

Gambar 7 memperlihatkan bahwa
daya serap air bubuk cabai merah
cenderung meningkat dengan semakin
sedikit proporsi cabai merah segar dan
semakin banyak proporsi cabai merah
afkir yang digunakan. Begitu juga
dengan waktu blansing, semakin lama
waktu blansing maka daya serap air
cenderung meningkat. Hasil daya serap
air pada perlakuan proporsi cabai
merah segar : cabai merah afkir dan
waktu blansing adalah 15,17-18,36%
dan hasil daya serap air tanpa
perlakuan (kontrol) cabai merah segar
sebesar 14,80% dan cabai merah afkir
sebesar 18,44%.
Analisa sidik ragam daya serap
air menunjukkan perlakuan proporsi
cabai merah segar : cabai merah afkir
dan waktu blansing, serta interaksi
antara keduanya tidak memberikan
pengaruh nyata ( = 0,05).
Daya serap air dipengaruhi oleh
kadar air, sehingga akan berbanding
terbalik dengan kadar air dimana
semakin tinggi kadar air maka daya
serap air akan semakin rendah. Selain
dipengaruhi oleh kadar air, kemampuan
suatu bahan menyerap air dipengaruhi
juga oleh kandungan yang terdapat
didalam bahan itu sendiri, seperti
lapisan lilin, minyak atsiri, dan lemak.
Dengan adanya kandungan tersebut,
penyerapan air menjadi terhambat.
Cabai merah mengandung minyak atsiri
kapsaisin, menyebabkan rasa pedas.
Kapsaisin ini larut didalam alkohol dan
tidak larut dalam air. Kapsaisin juga
dianggap lemak dan memiliki sifat
lipofilik sehingga larut dalam lemak
(Kautsar, 2009).

H. Warna
Menurut Pomeranz dan Meloand
(1994), nilai kecerahan warna (L+)
dinyatakan dengan 0-100 dimana nilai
0 adalah warna gelap dan nilai 100
adalah warna cerah. Nilai a dan b
antara -100 sampai +100, dengan nilai
-a adalah warna hijau dan +a adalah
warna merah, sedangkan -b adalah
warna biru dan +b adalah warna
kuning. Hasil rerata warna bubuk cabai
merah seperti pada Tabel 8.














Tabel 8 memperlihatkan bahwa
tingkat kecerahan (L+) bubuk cabai
merah cenderung menurun dengan
semakin sedikit proporsi cabai merah
segar dan semakin banyak proporsi
cabai merah afkir yang digunakan.
Sedangkan untuk waktu blansing,
semakin lama waktu blansing maka
tingkat kecerahan (L+) cenderung naik.
Hasil tingkat kecerahan (L+) pada
perlakuan proporsi cabai merah segar :
cabai merah afkir dan waktu blansing
adalah 35,13-39,92 dan hasil tingkat
kecerahan (L+) tanpa perlakuan
(kontrol) cabai merah segar sebesar
40,06 dan cabai merah afkir sebesar
34,99.
Hasil perhitungan analisa sidik
ragam tingkat kecerahan (L+)
menunjukkan perlakuan proporsi cabai
merah segar : cabai merah afkir dan
waktu blansing, serta interaksi antara
keduanya tidak memberikan pengaruh
nyata ( = 0,05).
Tabel 8 memperlihatkan bahwa
tingkat kemerahan (a+) bubuk cabai
merah cenderung menurun dengan
semakin sedikit proporsi cabai merah
segar dan semakin banyak proporsi
cabai merah afkir yang digunakan.
tingkat kemerahan (a+) cenderung
menurun. Hasil tingkat kemerahan (a+)
pada perlakuan proporsi cabai merah
segar : cabai merah afkir dan waktu
blansing adalah 24,10-25,98 dan hasil
tingkat kemerahan (a+) tanpa
perlakuan (kontrol) cabai merah segar
sebesar 26,76 dan cabai merah afkir
sebesar 23,98.














Hasil perhitungan analisa sidik
ragam tingkat kemerahan (a+)
menunjukkan bahwa perlakuan
proporsi cabai merah segar : cabai
merah afkir dan waktu blansing, serta
interaksi antara keduanya tidak
memberikan pengaruh nyata ( = 0,05).
Tabel 8 memperlihatkan bahwa
tingkat kekuningan (b+) bubuk cabai
merah cenderung menurun dengan
semakin sedikit proporsi cabai merah
segar dan semakin banyak proporsi
cabai merah afkir yang digunakan.
Sedangkan untuk waktu blansing,
semakin lama waktu blansing maka
Tabel 8. Rerata Tingkat Kecerahan (L+), Tingkat Kemerahan (a+), dan Tingkat Kekuningan
(b+) Bubuk Cabai Merah Akibat Proporsi Cabai Merah Segar : Cabai Merah Afkir dan Waktu
Blansing
Perlakuan
L+ a+ b+ Proporsi (%) Cabai Merah
Segar : Cabai Merah Afkir
Waktu Blansing
(menit)
75 : 25 5 38,18 25,98 22,01
50 : 50 5 36,03 25,41 20,90
25 : 75 5 35,15 24,27 20,33
75 : 25 10 39,92 25,93 22,33
50 : 50 10 37,01 25,28 21,19
25 : 75 10 35,52 24,10 20,88

tingkat kekuningan (b+) cenderung
meningkat. Hasil tingkat kekuningan
(b+) pada perlakuan proporsi cabai
merah segar : cabai merah afkir dan
waktu blansing adalah 20,33-22,33 dan
hasil tingkat kekuningan (b+) tanpa
perlakuan (kontrol) cabai merah segar
sebesar 22,51 dan cabai merah afkir
sebesar 20,23.
Hasil perhitungan analisa sidik
ragam tingkat kekuningan (b+)
menunjukkan bahwa perlakuan
proporsi cabai merah segar : cabai
merah afkir dan waktu blansing, serta
interaksi antara keduanya tidak
memberikan pengaruh nyata ( = 0,05)
terhadap bubuk cabai merah yang
dihasilkan.
Asgar dan Musaddad (2008),
menyatakan bahwa blansing pada
bahan pangan selalu mempengaruhi
sifat-sifat indrawinya. Dampak blansing
terhadap sifat-sifat indrawi sayuran
adalah tekstur menjadi lebih lunak,
warna menjadi lebih mantab dan cerah.

I. Organoleptik
Analisa organoleptik yang
dilakukan yaitu uji rangsangan tunggal
dan uji peringkat. Uji rangsangan
tunggal berfungsi membandingkan
sampel dengan kontrol. Prinsipnya
panelis menghadapi satu contoh baku
dan satu atau lebih contoh yang akan
diuji (sampel). Setelah itu, panelis
dimintai untuk menilai contoh uji
apakah sama atau beda dengan contoh
baku.
Hasil dari uji rangsangan tunggal
secara keseluruhan seperti tercantum
pada Tabel 9, dapat disimpulkan bahwa
sampel uji yang berbeda dengan
contoh baku yaitu sampel dengan
proporsi cabai merah segar 50% : cabai
merah afkir 50% dan waktu blansing 10
menit, proporsi cabai merah segar 75%
: cabai merah afkir 25% dan waktu
blansing 5 menit, serta proporsi cabai
merah segar 75% : cabai merah afkir
25% dan waktu blansing 10 menit.
Sedangkan sampel yang sama dengan
contoh baku yaitu sampel dengan
proporsi cabai merah segar 75% : cabai
merah afkir 25% dan waktu blansing 5
menit, proporsi cabai merah segar 75%
: cabai merah afkir 25% dan waktu
blansing 10 menit, serta proporsi cabai
merah segar 50% : cabai merah afkir
50% dan waktu blansing 5 menit.
Hasil uji rangsangan tunggal seperti
pada Tabel 9.

Uji peringkat disebut juga dengan
uji perjenjangan atau ranking test. Uji
peringkat berfungsi membandingkan
sampel yang satu dengan sampel yang
lainnya. Prinsipnya panelis diminta
membuat urutan contoh uji sesuai
perbedaan tingkat mutu sensoriknya.
Dalam uji peringkat, sampel diberi
nomor urut, dimana urutan pertama
selalu menyatakan yang paling tinggi.
Semakin besar nomor peringkat,
menunjukkan urutan makin kebawah
atau peringkat semakin rendah. Hasil
dari uji peringkat seperti dalam Tabel
10.


Tabel 9. Hasil Uji Rangsangan Tunggal Rasa, Warna, Aroma, dan Penampakan Bubuk Cabai
Merah Akibat Proporsi Cabai Merah Segar : Cabai Merah Afkir dan Waktu Blansing
Perlakuan Nilai
Proporsi (%) Cabai
Merah Segar :
cabai Merah Afkir
Waktu
Blansing
(menit)
Rasa Warna Aroma Penampakan
75 : 25 5 7 1 8 10
50 : 50 5 10 13 13 14
25 : 75 5 -1 13 1 0
75 : 25 10 10 5 10 14
50 : 50 10 8 -2 8 3
25 : 75 10 2 -4 1 0


J. Perlakuan Terbaik
Berdasarkan hasil analisa, yang
menjadi perlakuan terbaik adalah
sampel A1B2 dimana ini merupakan
sampel dengan proporsi cabai merah
segar (75%) : cabai merah afkir
(25%) dan waktu blansing selama 10
menit. Penilaian perlakuan terbaik dan
perbandingan terhadap control untuk
parameter fisik dan kimia bubuk cabai
merah dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Perlakuan Terbaik Parameter
Fisik dan Kimia Bubuk Cabai Merah
Parameter
Perlakuan
Terbaik
Vitamin C (mg/100g) 33,60
Karotenoid (g/100g) 564,81
Warna (Kecerahan, L+) 39,92
Kadar Air (%) 4,32
Rendemen (%) 16,82
Daya Serap Air (%) 16,36

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian,
dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu :
1. Interaksi antara perlakuan proporsi
cabai merah segar : cabai merah
afkir dan waktu blansing tidak
memberikan pergaruh yang nyata.
2. Perlakuan proporsi cabai merah
segar : cabai merah afkir memberi
pengaruh nyata terhadap vitamin C
dan karotenoid, tetapi tidak
berpengaruh nyata terhadap warna,
kadar air, rendemen, dan daya serap
air.
3. Perlakuan waktu blansing memberi
pengaruh nyata terhadap vitamin C
dan karotenoid, tetapi tidak
berpengaruh nyata terhadap warna,
kadar air, rendemen, dan daya serap
air.
4. Perlakuan proporsi cabai merah
segar 75% : cabai merah afkir 25%
dan waktu blansing 10 menit
merupakan perlakuan terbaik dilihat
dari parameter fisik dan kimia yang
memiliki karakteristik yaitu vitamin C
33,60 mg/100g, karotenoid 564,81
g/100g, kecerahan warna (L+)
39,92, kadar air 4,32%, rendemen
16,82%, dan daya serap air 16,36%.

B. Saran
1. Selama kegiatan penelitian ini
dilakukan, bubuk cabai merah yang
dihasilkan belum mengalami rusak,
untuk itu perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut mengenai masa
kadaluarsa bubuk cabai merah ini
untuk mengetahui sampai berapa
lama produk dapat disimpan dan
digunakan.
2. Dari penelitian yang dilakukan,
dihasilkan daya serap air yang
cukup tinggi berkisar antara 15,17-
18,36%, sehingga perlu dilakukan
penelitian mengenai kemasan yang
sesuai dan ekonomis untuk produk
bubuk cabai merah ini.





Tabel 10. Rerata Hasil Uji Peringkat Rasa, Warna, Aroma, dan Penampakan Bubuk Cabai
Merah Akibat Proporsi Cabai Merah Segar : Cabai Merah Afkir dan Waktu Blansing
Perlakuan Rerata Nilai
Proporsi (%) Cabai
Merah Segar :
cabai Merah Afkir
Waktu
Blansing
(menit)
Rasa Warna Aroma Penampakan
75 : 25 5 69 69 74 74
50 : 50 5 87 63 81 70
25 : 75 5 105 121 119 123
75 : 25 10 61 58 56 59
50 : 50 10 109 105 98 94
25 : 75 10 115 130 118 127

DAFTAR PUSTAKA
Asgar, A. dan D. Musaddad. 2006.
Optimalisasi Cara, Suhu, dan
Lama Blansing Sebelum
Pengeringan Kubis. Jurnal
Hortikultura Vol. 16 No. 4 (2006)
349-355
__________. 2006. Optimalisasi Cara,
Suhu, dan Lama Blansing
Sebelum Pengeringan pada
Wortel. Jurnal Hortikultura Vol.
16 No. 3 (2006) 245-252
__________. 2008. Pengaruh Media,
Suhu, dan Lama Blansing
Sebelum Pengeringan
Terhadap Mutu Lobak Kering.
Jurnal Hortikultura Vol. 18 No. 1
(2008) 87-94
Cheng, G. W. and Crisosto C. G. 2005.
Browning Potential, Phenolic
Composition, and
Polyphenoloxidase Activity of
Buffer Extract of Peach and
Nectarine Skin Tissue. J. Amer.
Soc. Horts. Sct. 120 (5) : 835-
838.
De Garmo, E.P., Sullivan, W.G., and
Canada, J.R. 1984. Engineering
Economy 7
th
Ed. Van Noston
Reinhold Company. New York.
Djarwaningsih, Tutie. 2005. Capsicum
spp. (Cabai) : Asal, Persebaran,
dan Nilai Ekonomi. Biodiversitas
Vol. 6 No. 4 (2005) 292-296
Dutta, D., Chaudhuri, U. R., and
Chakraborty, R. 2005. Retention
of -carotene in Frozen Carrots
under Frying Condition of
Temperature and Time of
Storage. Jadavpur University,
Kolkata-700032. India

Ermawati, Y., Sherly Sisca P., Ariarti T.,
F. Rudi Prasetyo H. 2010.
Budidaya dan Pascapanen
Cabai Merah (Capsicum
annuum L.). Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jawa
Tengah. Jawa Tengah
Kautsar, Ahmad. 2009. Peran
Capsaisin. Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia. Jakarta
Khoironi, Sahlan. 2012. Pengaruh
Konsentrasi Natrium
Metabisulfit dan Suhu Blansing
Terhadap Sifat Fisik-Kimia
Cabai Merah Bubuk. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian,
Universitas Brawijaya. Malang
Kuswardhani, Dian Sukma. 2007.
Mempelajari Proses Pemekatan
Karotenoid dari Minyak Sawit
Kasar dengan Metode
Fraksinasi Bertahap. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Pantan, Sri Rahmawati. 2012. Studi
Pengaruh Suhu Penggorengan
Vakum Terhadap Kualitas
Cabai Kering. Skripsi. Fakultas
Pertanian Universitas
Hasanuddin. Makassar
Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009.
Tabel Komposisi Pangan
Indonesia. PT. Elex Media
Komputindo. Jakarta
Pomeranz, Y., and Meloand. 1994.
Functional Properties of Food
Component, 2
nd
Ed. Academic
Press. New York
Syafriandi. 2003. Studi Tentang
Pengeringan Cabai dengan Alat
Pengering Listrik Buatan Lokal.
Skripsi. Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara.
Medan

Вам также может понравиться