Disusun oleh: Deva Garuda Hervi Izul Yuliana Adhista (0910713038)
Pembimbing: dr. Buyung, SpAN
BAGIAN ANESTESIOLOGI & TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT Dr. SAIFUL ANWAR MALANG 2014 BAB I PENDAHULUAN
Perubahan pada dunia kedokteran berlangsung terus-menerus, sesuatu yang sebelumnya dianggap mustahil dimasa lalu, menjadi suatu yang wajar saat ini. Salah satu perubahan di dunia kedokteran bedah adalah perubahan dari bedah rawat inap menjadi bedah rawat jalan. Praktek bedah rawat jalan ini sudah diramalkan sejak tahun 1919 oleh Ralp Water. Namun demikian praktek bedah rawat jalan yang freestanding di USA dimulai sejak tahun 1970 dan terus berkembang sehingga pada tahun 2001, 70% dari operasi bedah elektif di Amerika adalah bedah rawat jalan. Perkembangan ini terjadi di seluruh dunia, di Inggris juga terjadi perkembangan yang dramatis dari bedah rawat jalan dimana pada tahun 1989 diperkirakan hanya 34% dari seluruh operasi bedah elektif menjadi 49% dari seluruh operasi bedah elektif pada tahun 2000-2001 (Apfelbaum,2002). Meningkatnya permasalahan multifaktorial managemen dan non managemen fasilitas medis menyebabkan semakin berkembangnya praktek bedah rawat jalan, diantaranya adalah 1) Semakin meningkatnya biaya perawatan (rawat inap) di rumah sakit. Adanya pembedahan rawat jalan maka biaya perawatan dan pengobatan dapat ditekan sampai 40-80 %; 2) Mengurangi dan mencegah kemungkinan infeksi nosokomial; 3) Menumpuknya jadwal pembedahan; 4) Pengadaan rumah sakit dengan segala sarananya yang memerlukan biaya besar dapat ditekan 5) Jumlah tempat tidur penderita di rumah sakit menjadi semakin terbatas, dibandingkan dengan pertambahan penduduk. Oleh karena faktor-faktor diatas, beberapa ahli anestesi memilih obat-obat agen anestesi dengan kerja yang cepat dan mengurangi keluhan mual dan muntah misalnya dengan penggunaan remifentanil dan sevoflurane diharapkan pasien pulih dengan cepat. Sistem kriteria yang aman, ringkas dan jelas juga sangat penting untuk menentukan pasien dapat dipulangkan atau tidak (Apfelbaum,2002).
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Recovery Recovery adalah proses yang berlangsung secara kontinyu, yang merupakan stadium awal dari berakhirnya perawatan intraoperatif. Pasien tidak dapat dikatakan benar-benar sadar sampai pasien kembali pada status psikologis preoperatif. Proses recovery dapat berlangsung selama beberapa saat, dan dibagi dalam tiga fase (tabel 2.1). Fase pemulihan I (early recovery) adalah hilangnya efek agen anestesi hingga reflex proteksi dan fungsi motorik telah pulih. Pada fase ini, pasien memerlukan monitoring ketat sehingga pasien perlu ditempatkan pada ruang PACU (Post Anaesthesia Care Unit). Fase pemulihan II adalah fase dimana scoring Aldrete pasien antara 9-10 yang menunjukkan pasien dapat dipindahkan ke ruang biasa. Fase pemulihan III (full recovery) adalah dimana pasien dapat dipulangkan (Steward,2000)
Stage of recovery Clinical definition Fase I (early recovery) Awakening and recovery of vital reflexes Fase II (intermediate recovery) Immediate clinical recovery Fase III (late recovery) Home readiness, full recovery, psychological recovery
2.2 Discharge criteria Kriteria discharge pasien post anestesi, sangat penting diperhatikan karena apabila pasien meninggalkan ruang perawatan terlalu dini dan tanpa monitoring yang adekuat dapat menyebabkan adanya kerusakan psikomotor pasien. Menurut perkembangannya dari masa ke masa penilaian kriteria discharge pasien post anesthesia diantaranya psychomotor test, penilaian REACT, Aldrete score dan PADDS score (Kortilla, 2001)
Tabel 2.1 Stages of recovery 2.2.1 Psychomotor test Test psikomotor digunakan untuk menetukan kriteria discharge pasien post anesthesia. Gestalt tes (the Trieger dot test) adalah test yang digunakan untuk mengukur tingkat recovery pasien dengan cara menghubungkan titik-titik pada kertas yang akan membentuk suatu pattern tertentu, semakin banyak titik yang tidak terhubung berarti skor recovery pasien tersebut masih rendah. Reaction time test, simulasi mengemudi, peg board test dan Maddox wing test, semua tes tersebut menilai kemampuan keseimbangan extraocular. Flicker fusion test mengetahui frekuensi cahaya yang mampu di terima oleh pasien. Namun semua tes diatas memiliki kekurangan yaitu tidak semua fasilitas kesehatan memilikinya (Saunders, 2003) 2.2.2 REACT assesement Penilaian terdahulu yang diketahui dikembangkan di Chicago adalah kriteria REACT yaitu Respiratory, Energy, Alertness, Circulation dan Temperature. Namun kriteria REACT memiliki kelemahan yaitu tidak dimonitoringnya perubahan akut seperti desaturasi oksigen, disaritmia dan perdarahan. Kriteria REACT dapat digunakan bila masalah-masalah respiratorik dan kardiologi telah terselesaikan (fraulini, 2001) 2.2.3 Aldrete scrore Aldrete score adalah suatu sistem yang dirancang untuk menilai transisi pasien dari tahap I pemulihan untuk ke pemulihan tahap II, dari berhentinya efek anestesi sampai kembalinya reflek perlindungan diri dan fungsi motorik. Pada sebagian besar institusi, Tahap I pemulihan terjadi di PACU. Setelah Tahap I pemulihan selesai, status hemodinamik berangsur stabil. Transisi pasien dari tahap pemulihan II ke tahap pemulihan III perlu dilakukan scoring menggunakan system PADSS. Tahap pemulihan II dianggap komplit apabila pasien sudah siap untuk dipulangkan. Tahap pemulihan III dilanjutkan dirumah dibawah pengawasan hingga pasien pulih dari preoperative psycologic dan fungsi fisik telah kembali seperti sedia kala. Aldrete dan PADSS memiliki kesamaan yaitu menilai lima parameter untuk menilai kondisi pasien postoperative yang siap dipindah atau dipulangkan dengan aman. Skor pasien harus mencapai nilai 9 atau 10 sehingga dapat dipertimbangkan dipindahkan pada tahap pemulihan selanjutnya (White, 2003)
Tabel 2.2 The Aldrete Scoring System
2.2.4 PADSS Penilaian PADSS (Post anaesthesia discharge scoring system) adalah penilai yang digunakan setelah pasien berada pada fase pemulihan II ke fase pemulihan III, pasien dapat masuk pada fase pemulihan III apabila nilai PADSS adalah 10 atau minimal 9. Pada versi awal PADSS, kriteria PADSS mencantumkan syarat bahwa pasien dapat di pulangkan apabila pasien dapat menerima asupan cairan per oral atau mampu berkemih, namun pada kriteria PADSS terbaru menyebutkan bahwa poin tersebut hanya berlaku pada pasien dengan gangguan traktus urinarius. (Chung, 2001)
2.3 Kriteria discharge pada pasien pediatric Secara umum penilaian kriteria discharge pada pasien pediatrik sama dengan kriteria discharge pada pasien dewasa. Kriteria discharge yang digunakan adalah Aldrete dan PADSS. Pertimbangan khusus pada pasien pediatrik adalah status hemodinamik yang stabil, pola respiratori yang normal, tidak adanya keluhan mual dan muntah serta pusing dan status kesadaraan yang baik karena mempengaruhi mutu perkembangan anak. Berapapun usianya pasien anak-anak harus memiliki pendamping yang akan tinggal dan merawat selama perawatan di ruangan ataupun di rumah. Komplikasi yang sering dilaporkan setelah pasien dipulangkan adalah nyeri yang tidak teratasi, hilangnya nafsu makan dan perubahan perilaku anak-anak (Yaster, 2003)
2.4 Fast Tracking Dengan kemajuan teknik anestesi, fase pemulihan pasien postanestesi dapat dipercepat bahkan fase pemulihan I dapat diselesaikan di kamar operasi. Pasien dapat langsung dipindahkan ke ruang biasa tanpa melalui perawatan di ruang PACU. Pasien dengan agen anestesi seperti desflurane dan sevoflurane, menunjukkan skor Aldrete 10 lebih cepat dibanding dengan pada pasien yang diberikan propofol. Dengan metode fast tracking, biaya perawatan pasien dapat ditekan, dan penggunaan ruang PACU dapat diminimalisir. Pasien harus memenuhi kriteria fast tracking yaitu minimal 12 dari nilai maksimal 14 dengan tanpa nilai < 1 pada semua parameter (Marshall,2000)
Tabel 2.3 Criteria for fast tracking 2.4 Kelebihan dan Kekurangan Discharge Scoring Criteria Dengan adanya berbagai kriteria discharge pasien post anesthesia, hal ini memudahkan tenaga medis untuk memonitoring semua parameter tanda vital pasien, memastikan pasien siap untuk dipindahkan ruangan,skoring- skoring diatas mudah digunakan, namun ada pula beberapa kekurangan misalnya kurang spesifik (Kamming,2004)
DAFTAR PUSTAKA
Apfelbaum J, Walawander C, Thaddeus M, et al. Eliminating intensive postoperative care in same-day surgery patients using short-acting anesthetics. Anesthesiology. 2002;97:66-74. Steward DJ, Volgyesi G. Stabilometry: a new tool for measuring recovery following general anaesthesia. Can Anesth Soc J. 2000;25:4-6 Kortilla K. Recovery from outpatient anaesthesia : factors affecting outcome Anaesthesia. 2001;50(Suuppl):22-8 Saunders LD. Recovery of psychological function after anaesthesia. Int Anesth Clin. 2003;29:105-115. Fraulini K, Murphy P. R.E.A.C.T.A new system for measuring postanesthesia recovery. Nursing. 2001;14:12-13. White P, Song D. New criteria for fast-tracking after outpatient anesthesia: A comparison with the modified Aldretes scoring system. Anesth Analg. 2003;88:1069-1072. Chung F, Chan V, Ong D. A post anaesthetic discharge scoring system for home readiness after ambulatory surgery. J Clin Anesth. 2001;7:500-506. Yaster M, Sola JE, Pegoli W Jr, Paidas CN. The night after surgery. Post Operative management of the pediatric outpatient surgical and anaesthetic aspect. Pediatr Clin North Am. 2003 Feb; 41 (1): 199-220 Marshall S, Chung F. Discharge criteria and complications after ambulatory surgery. Ambulat Anesth. 2000;88: 508-517. Kamming D, Chung F. What criteria should be used for discharge after outpatient surgery? In Fleisher L, ed. Evidence- Based Practice of Anesthesiology. Philadelphia: Saunders; 2004:247-252.