Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Gugatan Orientalis terhadap hadis bermula pada pertengahan abad ke-19 Masehi, tatkala
hampir seluruh bagian dunia Islam telah masuk dalam cengkeraman kolonialisme bangsa-
bangsa Eropa. Adalah Alois Sprenger (1813-1893 M), yang pertama kali mempersoalkan
status hadis dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan
ajaran Nabi Muhammad saw, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India
ini mengklaim bahwa hadis merupakan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).
Klaim ini diamini oleh rekan satu misinya William Muir (1819-1905 M), Orientalis asal
Inggris yang juga mengkaji biografi Nabi Muhammad saw dan sejarah perkembangan
Islam. Menurut Muir, dalam literatur hadis, nama Nabi Muhammad sengaja dicatut untuk
menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan. Oleh sebab itu, katanya lebih
lanjut, dari 4.000 hadis yang dianggap shahih oleh Imam Bukhari, paling tidak
separuhnya harus ditolak4. Itu dari sumber isnadnya, sedangkan dari sudut matannya,
maka hadis: “Must stand of fall upon its own merit”. Tulisan ini kemudian dijawab oleh
Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M), dalam esei-eseinya. Selang beberapa lama setelah
itu, muncul Ignaz Goldziher (1850-1921 M). Yahudi kelahiran Hungaria ini sempat
nyantri di universitas al-Azhar Kairo-Mesir, selama kurang lebih setahun (1873-1874).
1 Makalah ini depresentasikan dalam acara Training Kader Tarjih yang di selenggarakan oleh Majelis
Tarjih dan Tajdid Pimpinan Cabang Istimewa (PCIM) Kairo-Mesir, bertempat di sekretariat PCIM Kairo-
Mesir, Selasa, 09 Ramadhan 1429 H/09 September 2008 M.
2 Penulis adalah pengurus Majelis Hubungan Luar Negeri PCIM Kairo-Mesir, mantan koordinator kajian
sejarah dan peradaban Islam al-Muarikh, dan aktivis kajian pemikiran al-Hikmah PCIM Kairo-Mesir.
3 Prof. Dr. Muhammad Zuhri, Autentisitas dan Otoritas Hadis dalam Keilmuan Ulama Muslim dan
Sarjana Barat, dalam Jurnal TARJIH, edisi ke-7 Januari 2004 M, Majelis Tarjih dan Pengembangn
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Yogyakarta-Indonesia, 2004 M, hal. 5.
4 Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Gema Insani Press, Jakarta-Indonesia, cet. I,
1429 H/2008 M, hal. 28.
1
Setelah kembali ke Eropa, oleh rekan-rekannya ia dinobatkan sebagai orientalis yang
yang konon paling mengerti tentang Islam, meskipun dan justru karena tulisan-tulisannya
mengenai Islam sangat negatif dan distortif, mengelirukan, dan menyesatkan.
Dibandingkan pendahulunya, pendapat Ignaz Goldziher mengenai hadis jauh lebih
negatif. Menurut dia, dari sekian banyak hadis yang ada, sebagian
besarnya―untuk tidak mengatakan seluruhnya―tidak dapat dijamin
keasliannya alias palsu, dan karena itu, tidak dapat dijadikan sumber informasi mengenai
sejarah awal Islam. Menurut Goldziher, hadis lebih merupakan refleksi interaksi dan
konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian dikalangan
masyarakat muslim pada periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah
perkembangan awal Islam: “Das hadith wird uns nicht als document fur die
kindheitsgeschichte des Islam, sondern als abdruck der in der gemeinde hervortretenden
bestrebungen aus der zeit seiner reifen entwicklungsstadien dienen”5. Ini berarti, menurut
dia hadis adalah produk bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi
Muhammad saw wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau. Pendapat menyesatkan
ini telah disanggah oleh sejumlah ilmuan seperti Musthafā al-Sibā’ī, Muhammad Abu
Suhbah, dan Abdul Ghani Abdul Khaliq. Namun, oleh para koleganya sesama misionaris,
pendapat Goldziher tersebut disetujui seratus persen. David Samuel Margoliouth (1858-
1940 M) misalnya, turut meragukan otentisitas hadis. Alasannya pertama, karena tidak
ada bukti yang menunjukkan bahwa hadis telah dicatat semenjak zaman Rasulullah. Dan
kedua, karena alasan lemahnya ingatan para perawinya. Masalah ini telah dijawab dan
dijelaskan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khātib. Jika Henri Lammens (1862-1937 M)
misionaris Belgia dan Leone Caetani (1869-1935 M) misionaris Italia mendakwa isnad
muncul jauh setelah matan hadis ada dan merupakan fenomena internal dalam
perkembangan sejarah Islam, maka Josef Horovitz (1813-1893 M) bersepekulasi bahwa
setiap periwayatan hadis secara berantai (isnad) baru diperkenalkan dan diterapkan pada
akhir abad pertama hijriah. Selanjutnya Orientalis Jerman berdarah Yahudi ini
mengatakan bahwa besar kemungkinan praktik isnad berasal dari dan dipengaruhi oleh
trdisi lisan sebagaiman dikenal dalam literatur Yahudi. Sepekulasi Horovitz ini kemudian
diikuti oleh Gregor Schoeler. Di antara yang turut mengamini pendapat Ignaz Goldziher
adalah Orientalis Inggris bernama Alfred Guillaume (w. 1965 M), dalam bukunya
mengenai sejarah hadis. Mantan guru besar Oxford ini mengklaim bahwa sangat sulit
untuk mempercayai literatur hadis secara keseluruhan sebagai rekaman otentik dari
semua perkataan dan perbuatan Nabi Saw: “it is difficult to regard the hadith literature
as a whole as an accurate and trustworthy record of the saying and doing of
muhammad”.6
Karena gugatan sarjana orientalis terhadap hadis pada awalnya mepersoalkan ketiadaan
data historis dan bukti tercatat (Documentary Evidence) yang dapat memastikan
otentisitas hadis, maka sejumlah pakar pun melakukan penilitian intensif perihal sejarah
literatur hadis guna mematahkan argumen orientalis yang mengatakan bahwa hadis baru
dicatat pada abad kedua dan ketiga hijriah. Professor Muhammad Hamidullah (1909-
2002 M), Fuad Sezgin, Nabia Abbot, dan Muhammad Musthafā al-A‘zāmī, dalam
karya masing-masing berhasil mengemukakan bahwa terdapat bukti-bukti konkrit yang
2
menunjukkan pencatatan dan penulisan hadis sudah dimuali semenjak kurun pertama
hijriah sejak Nabi saw masih hidup. Namun demikian oleh orientalis bukti-bukti ini
diabaikan begitu saja bahkan ada yang menolaknya mentah-mentah.
Dalam propagandanya, gerakan in mengklaim bahwa al-Qur’an saja sudah cukup untuk
menjelaskan semua perkara agama. Akibatnya, mereka menyimpulkan shalat hanya
empat kali sehari, tanpa azan dan iqamah, tanpa takbīratu’l ikram, tidak ada shalat ‘id
dan shalat jenazah. Chakrawali bahkan membuat aliran shalat sendiri, mengurangi jumlah
rakaat-rakaat-nya dan membuang apa-apa yang menurut dia tidak ada dalilnya dalam al-
Qur’an8.
3
Society” ini secara resmi didrikan pada Juni 1983 M, menyusul seminar misionaris
Kristen dan Yahudi Amerika, dimana dia menyampaikan makalahnya yang bejudul;
“Islam, Past, Present and Future”. Dalam tulisan-tulisannya Rashad Khalifa banyak
mengeluarkan pernyataan sesat, seperti hadis-hadis adalah ciptaan iblis, mempercayai
hadis berarti mempercayai iblis. Rashad Khalifa tewas dibunuh oleh seorang tak dikenal,
tidak lama setelah Syaikh Abdul Aziz bin Baz (1910-1999 M), mufti besar Arab Saudi,
dalam fatwanya (no. 903, Syawwal 1403 H/ Agustus 1983) menyatakan bahwa gerakan
seperti yang diajarkan Rashad Khalifa adalah sesat10. Gaung inkarus-sunnah juga sampai
ke nusantara. Di Indonesia gerakan ini telah dilarang secara resmi oleh ulama dan
pemerintah sebagaimana tertera dalam fatwa hasil keputusan komisi fatwa majlis ulama
Indonesia pusat tahun 1983 M dan keputusan jaksa agung Republik Indonesia, nomor
169/9/1983. Adapun di Malaysia gerakan anti-hadis dipelopori oleh Kassim Ahmad (lhr.
1933 M). Orang ini menulis buku kecil yang intinya meragukan otentisitas hadis dan
sekaligus menolak otoritasnya. Tidak hanya isinya yang membeo dan memproduksi
argumen orientalis, bahkan judul bukunya pun “Hadis–Suatu Penilaian Semula”,
mengingatkan kita pada judul artikel Joseph Schacht (1902-1969 M): “A Revaluation of
Islamic Tradition”. Pada 8 Juli 1986 M, buku tersebut dilarang peredarannya oleh
kementrian dalam negeri Malaysia. Meskipun agak terlambat, pusat Islam Malaysia pun
akhirnya mengeluarkan fatwa yang melarang masyarakat mengikuti gerakan sesat ini
(fatwa kebangsaan tentang anti-hadis, 1993 M).11
Ada satu kelemahan yang paling menonjol dalam metodologi Schacht, yaitu seringnya
dia menarik suatu kesimpulan berdasarkan argumentum e silentio, yakni alasan ketiadaan
bukti. Terkait dengan kerancuan metodologi tersebut adalah sikap paradoks (berpendirian
ganda dan saling bertentangan) dan ambivelen (menganut nilai kebenaran ganda) yang
tak terelakakan. Di satu sisi mereka meraguakan dan bahkan mengingkari kebenaran
sumber-sumber yang berasal dari orang Islam sementara di sisi lain mereka
menggunakan sumber-sumber Islam tersebut sebagai bahan referensi, yang berarti tanpa
disadari mereka akui kebenarannya. Sikap paradoks ini merupakan kosekwensi yang tak
terelakkan dari dilema metodologis antara merujuk dan tidak merujuk, antara
10 Dr. Syamsuddin Arif, op. cit.,, hal. 39.
11 Ibid., hal. 40.
4
mempercayai atau tidak mempercayai sumber-sumber Islam.
Adapun secara epistemologis, secara umum dapat dikatakan bahwa sikap orientalis dari
awal hingga akhir penelitiannya adalah skeptis. Mereka mulai dari keraguan dan berakhir
dengan keraguan pula. Meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Akibatnaya,
meskipun bukti-bukti yang ditemukan menegasikan hipotesanya, tetap saja mereka
menolaknya, karena sesungguhnya yang mereka cari bukan kebenaran, akan tetapi
pembenaran. Apa yang membenarkan praduga yang dikehendaki itulah yang dicari, jika
perlu diada-adakan. Sebaliknya apa-apa yang tidak sesuai dengan presuposisi dan misi
yang ingin dicapaianya akan dimentahkan dan dimuntahkan.12
Dalam pendapat Ignaz Goldziher, sunah adalah inti dari adat-istiadat yang sudah menjadi
kebiasaan dan hasil karya pikiran umat Islam masa lampau dan praktek amali yang ada
perintahnya dalam al-Qur’an yang kemudian menjadi kebiasaan16.
5
Beberapa pandangan David Samuwel Margoliouth (1858-1940 M) yang berkenaan
dengan sunah, dia berkata bahwa istilah kata sunah itu mencakup berbagai makna, di
antaranya:
(i); Sunah adalah perbuatan yang biasa dikerjakan dan lawan kata dari bid’ah (Know
practice opposed to innovation), dalilnya adalah perkataan Ali bin Abi Thalib dengan
Ustman bin Affan pada tahun 34 H:
()فأقام سنة معلومة وأمات بدعة متروكة
(ii); Sunah adalah perbuatan yang terdahulu (Past Practice).
(iii); Sunah adalah perbuatan yang baik, lawan kata dari perbuatan yang jelek (Good
Practice Opposed to Bad Practice), dalilnya adalah ucapan Utsman bin Affan kepada
penduduk Makah tahun 35 H. (والسنة الحسنة التى إستن بها رسول ال صلى ال عليه وسلم والخليفتان من
بعد.)
(iv); Sunah adalah perbuatan yang mencakup al-ََQur’an (Practices are said to be
contained in the Qur’an) dalilnya adalah; "إن ال تعالى نزل عليه كتابه أحل فيه حلله وحرم فيه حرامه
وشرع فيه شرائعه وسن فيه سننه."
(v); Sunah adalah perbuatan Nabi Muhammad saw dan Khalifah setelahnya (Practice of
the Prophet and the first two Caliphs) pada tahun 35 H. dalilnya adalah; (السنة الحسنة التى
)أستن بها رسول ال صلي ال عليه وسلم والخليفتان من بعده
Setelah Margoliouth memaparkan makna sunah di atas, dia bekesimpulan bahwa sumber
kedua syariat Islam pada masa itu bukan dari perkataan atau perilaku Nabi (hadis/sunah)
melainkan adat yang biasa dipakai atau yang umum berlaku (Merely what was
customary)18.
Untuk menjustifikasi pendapatnya, Ignaz Goldziher dan Dr. Joseph Scacht membuat
membuat kiat atau premis serampangan. Di antara lain kiat-kiatnya sebagai berikut:
18 Ibid., hal.
19 Dr. Musthafā al-Sibā’ī, al-Sunnah wa Makānatuhā fī al-Tasyrī‘ al-Islāmī, Dār al-
Salām, Kairo–Mesir, cet. III, 1427 H/2006 M, hal.
6
menulis hadis-hadis yang pada saat itu belum ada20.
7
Kiat orentalis selanjutnya adalah melecehkan kredibilitas ulama hadis, sembari menuduh
mereka sebagai pemalsu hadis. Ulama yang menjadi sasaran pelecehan orientalis ini
antara lain adalah Abu Hurairah (w. 57 H), Ibn Syihāb al-Zuhrī (w. 123 H), dan
Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H). Tiga ulama ini menjadi sasaran pokok
pembantaian orientalis karena mereka menduduki posisi-posisi yang strategis dalam
kajian ilmu hadis. Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis
dari Nabi saw sedangkan Imam al-Zuhrī disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali
“menulis” hadis, meskipun sebutannya ini kemudian siluruskan oleh Imam al-Suyūti
(w. 911 H), Prof. Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, dan prof. Dr. Muhammad Mustafa
Al-A‘zamī, bahwa yang dimaksud dengan menulis di situ adalah mengumpulkan
tulisan-tulisan hadis. Sementara al-Bukhari adalah orang yang menulis kitab yang sering
disebut sebagai kitab paling otentik sesudah al-Qur’an yaitu kitab “Shahīh al-Bukhārī”.
Oleh sebab itu, ketiga ulama ini perlu digebuki lebih dahulu, agar hasil karya mereka
tidak lagi dipercaya oleh kaum muslimin sehingga tidak dijadikan rujukan dalam agama
Islam22.
Al-Sunah secara bahasa adalah Tharīqah yang berarti jalan, baik jalan itu terpuji
maupun tercela24. Seperi yang ada dalam ucapan Rasuluallah saw: (من سن سنة حسنة فله أجرها
وأجر مع
ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة,)من عمل بها إلى يوم القيامة25.
()لتتبعن سنن من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع26.
Dan adapun sunah secara istilah menurut ulama hadis adalah: (i) segala sesuatu yang
berasal dari Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan atau perbuatan atau ketetapan
atau sifat bawaan (tabiat) atau karakter Rasulullah saw baik setalah beliau diutus menjadi
8
Nabi dan Rasul maupun belum.27
Sunah menurut ulama ushul fikih adalah: (ii) segala sesuatu yang berasal dari Rasul baik
berupa perkataan atau perbuatan atau ketetapan.28
Contoh sunah Rasul yang berupa perkataan; ( ) البيعان بالخيار مالم يتفرقا,29()إنما العمال بالنيات30.
Contoh sunah Rasulullah saw yang berupa perbuatan adalah peraktek Rasulullah saw
dalam mengerjakan shalat manasik haji, adab puasa, persaksian dan sumpah.
Pendapat Prof. Dr. Muhammad Mustafa al-A‘zamī tentang sunah sebagai berikut: Sunah
secara etimologi adalah Tharīqah yang artinya jalan, sebagaiman yang tertulis dalam
kamus “al-Mukhīt” dan “Lisān al-‘Arab”. Di dalam kitab “Mukhtār al-Shohah”,
sunah secara bahasa adalah; al-Tharīqah (jalan), al-Sīrah (perjalanan), baik yang
terpuji maupun tercela. Al-Tahānawi berkata bahwa sunah secara bahasa adalah jalan,
baik yang terpuji maupun yang tercela.
Sunah menurut ulama hadis adalah: (i) segala sesuatu yang berasal dari Nabi saw baik
berupa perkataan atau perbuatan atau ketetapan atau sifat bawaan baik sebelum diutus
menjadi Nabi dan Rasul maupun sesudahnya. Sunah menurut ulama ushul fikih adalah:
(ii) segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw selain al-Qur’an baik
berupa perkataan―yang kemudian dikenal dengan istilah hadis―atau perbuatan
atau ketetapan. Sunah menurut ulama fikih adalah: (iii) segala sesuatu yang ditetapkan
Nabi saw yang sampai tidak menjadi kewajiban.31
Dilihat dari penjelasan di atas, para ulama baik dari kalanagan ulama hadis, ushul fikih,
fikih, maupun nahwu sama-sama sepakat bahwa sunah adalah segala sesuatu yang berasal
dari Rasul baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau ketetapan32.
9
Dalam syair Hasan bin Tsābit:
قد بينوا سنة للناس تتبع.35 إن الدوائب من فهر وإخواتهم
Dari bait syair-syair atau dīwān-dīwān di atas, maka nampak jelas bahwa penggunaan
kata sunah oleh para penyair, baik masa jahiliyah maupun Islam adalah bermakna jalan
atau perilaku yang kudu diikuti, baik itu jalan yang terpuji maupun yang tercela.
Setelah kita paparkan ayat-ayat al-Qur’an di atas, maka tampak lebih jelas bahwa yang
dimaksud dengan kata sunah yang tertera dalam nash-nash di atas adalah jalan, perbuatan
atau perilaku.
35 Dr. Sayyed Hanafi, Dīwān Hasān bin Tsābit, dalam Silsilah al-Dakhā’ir, Hai’ah Āmah lī
Qushūr al-Tsaqāfah, Kairo-Mesir, 2008 M, hal.
36 Dr. Muhammad Musthafā al-A‘zamī, Dirāsah fī al-Hadīts al-Nabawī wa Tārīkh
Tadwīnuhu, op. cit.,
hal. 2.
37 Surat al-Nisā’ ayat: 26.
38 Surat al-Anfāl ayat: 38.
39 Surat al-Isrā’ ayat: 77.
40 Surat al-Fath ayat: 23.
41 Dr. Muhammad Musthafā Al-A‘zamī, Dirāsah fī al-Hadīts al-Nabawī wa Tārīkh
Tadwīnuhu, op. cit., hal. 4.
42 Ibid., hal. 4.
43 Ibid., hal. 4.
10
.44(شيء
)أبغض الناس إلى ال ثلثة ملحد فى الحرم ومبتغ فى السلم:روى إبن عباس أن النبي صلى ال عليه وسلم قال
.45(سنة الجاهلية ومطلب دم إمرئ بغير حق ليهريق دمه
قال سالم )كان عبد ال بن عمر يفتى بالذى أنزل ال عز وجل من الرخصككة بككالتمتع وسككن رسككول الك صككلى الك
كيف تخالف أباك؟ وقد نهى عن ذلك فيقول لهم عبد ال ويلكم أل تتقون:عليه وسلم فيه فيقول ناس لبن عمر
ال إن كان عمر نهى عن ذلك فيبتغى فيه الخير يلتمس به تمام العمرة فلم تحرمون ذلك؟ وقد أحله ال وعمككل
.46(به رسول ال صلى ال عليه وسلم أفرسول ال صلى ال عليه وسلم أحق أن تتبعوا سنته أم سنة عمر
Dalam nash-nash perkataan Rasul saw di atas, tampak jelas bahwa yang dimaksud
dengan sunah adalah Tharīqah yang berarti jalan.
Adalah kalimat di atas yang membuat Dr. Musthafā sibā’ī trauma sekaligus takjub dan
geram, yang kemudian dia menulis tesisnya dengan judul “al-Sunnah wa
makānatuhā fī Tasyrī‘ al-Islāmī dan menjadi buku master-piece-nya. Kalimat di atas
adalah ungkapan gurunya yaitu Dr. Ali Hasan Abdul Qadir ketika mengisi
Muhādharah hari pertama para mahasiswa pasca sarjana post-doktoral pada Fakultas
Syariah Islamiyah Universitas al-Azhar Kairo. Pandangan Abdul Qadir tentang sunah:
“Pada dasarnya makna sunah itu sudah ada ditengah-tengah masyarakat Arab sejak
lampau, dan yang dimaksud dengan sunah adalah jalan yang baik yang ada dalam
kehidupan pribadi maupun kelompok (masyarakat) dan orang-orang muslim tidak
menciptakan makna sunah ini akan tetapi makna sunah ini sudah menjadi masyhur pada
masa jahiliyah, dan orang-orang Arab pada masa jahiliyah menggunakan istilah sunah
untuk menunjukkan perilaku adat-adat orang terdahulu, dan penggunaan kata sunah pada
masa islam sering dipakai di madrasah-madrasah yang ada di Hijaz dan Irak, maka
dengan dasar makna umum ini, sunah adalah perilaku yang senantiasa dikerjakan, dan
suatu perkara yang telah menjadi kesepakatan komunitas muslim dan menjadi simbol
yang paling agung bagi akhlak yang terpuji, tanpa mengkhususkan sunah itu apa yang
berasal dari Nabi Muhammad saw, dan pada masa-masa terakhir penggunaan istilah
sunah ini makin menyempit, kemudian istilah penggunaan sunah itu hanya terbatas pada
apa atau segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad, dan pergeseran makna itu
terjadi pada akhir-akhir abad ke-2 hijriah disebabkan adanya metodologi Imam Syafi’i
yang berbeda dengan masa dahulu.”48
Untuk membantah pendapat Ignaz Goldziher, Joseph Scacht, David Margoliouth, dan Ali
Hasan ‘Abdul Qadir, Musthafā al-Sibā‘ī dalam bukunya mengatakaan bahwa
bagaimana mungkin dan dari mana Goldziher sampai membuat kesimpulan
44 Ibid., hal. 4.
45 Ibid., hal. 4.
46 Ibid., hal. 5.
47 Dr. Musthafā al-Sibā’ī, op. cit., hal. 32.
48 Dr. Muhammad Musthafā Al-A‘zamī, Dirāsah fī al-Hadīts al-Nabawī wa Tārīkh
Tadwīnuhu, op. cit., hal. 6.
11
bahwa hadis adalah hasil dari Tathawur perkembangan agama, politik, masyarakat
muslim pada abad pertama dan kedua hijriah. Padahal sebelum Rasulallah saw mangkat
keharibaan yang Maha Tinggi, dia telah meletakkan pondasi dasar atau asas yang kuat
untuk bangunan agama Islam yang kokoh. Sampai Rasulullah sebelum wafat berwasiat
kepada para sahabat: “Saya tinggalkan dua pusaka yang kalian tidak akan sesat selama-
lamanya selama kalian berpegan pada dua pusaka ini, yaitu kitab al-Quran dan
sunahku”. Dan kesempurnaan agama Islam ini telah diperkuat dengan ayat yang terakhir
turun (اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت
)عليكم نعمتى ورضيت لكم السلم دينا49.
Dengan ayat ini, maka agama Islam adalah agama yang sempurna (kāmil), komprehensif
dan paripurna. Al-Sibā‘ī juga mengungkapkan bahwa tidak masuk akal jika
Goldziher menyimpulkan bahwa sunah itu adalah produk komunitas masyarakat
muslim abad pertama dan kedua hijriah, padahal ketika itu agama Islam sudah menyebar
luas ke berbagai belahan dunia, dan umat muslim berada di benua yang berbeda-beda.
Akan tetapi mereka sama dalam praktek ibadah, seperti shalat, zakat, puasa, dan hukum-
hukum Islam yang lainya. Praktek mereka semua hampir sama baik kaum muslimin yang
ada di Afrika Utara, Timur-Tengah, Asia Tengah, Cina Selatan dan yang lainnya.
Sedangkan masalah munculnya berbagai madzhab fikih klasik tidak lain berdasarkan
pijakan dari pemahaman al-Qur’an, sunah, dan madrasah-madrasah sahabat dalam
memahami al-Qur’an dan sunah. Dan al-Qur’an pada masa itu selalu terjaga di sisi
mereka, dan adapun hadis, sebelumnya itu belum ada pendapat-pendapat para imam
madzhab pada abad kedua dan ketiga melainkan sebelumnya ada pendapat para sahabat
dan tabi’in.
Sistem Isnad
Jikalau tidak ada ilmu isnad ini, orang akan mengada-ada tentang Islam se-enaknya
sendiri.―‘Abdullah bin Mubārak50.
Tidak ada dalam agama lain, suatu sistem pengajaran yang sangat akurat seperti yang ada
dalam Islam. Kitab suci agama Yahudi dan Kristen nyaris terlantar oleh tangan orang-
orang yang seharusnya menjadi pembela setia. Sangat susah sekali, kita bisa melacak
sember-sumber ajaran yang ada pada agama Yahudi dan Kristen. Dan mungkin inilah
yang menjadi perbedaan mendasar antara agama Yahudi-Kristen dengan Islam. Islam
mempunyai suatu sistem yang unggul yang tidak dimiliki oleh agama lain seperti Yahudi,
Kristen apalagi Hindu, Budha, dan Konghuchu. Suatu sistem yang kemudian kita kenal
dengan Isnad. Yaitu sistem pengajaran umat Islam yang beruntun sampai pada Nabi
Muhammad saw. Metode atau sitem sanad ini sebenarnya bermula sejak zaman
Rasulullah yang kemudian merebak menjadi ilmu tersendiri pada akhir abad pertama
hijriah. Dasar tatanan ilmu ini berpijak pada kebiasaan para sahabat dalam transmisi
hadis di kalangan mereka. Sebagian mereka membuat kesepakatan menghadiri majelis
Rasulullah secara bergiliran, kemudian mereka saling memberi tahu apa yang mereka
dengar dan saksikan. Dalam memberitakan tentunya mereka harus menyebut:
49 Surat al-Māidah Ayat; 3.
50 Dr. ‘Abdul Mahdi bin ‘Abdul Qādir bin ‘Abdul Hādī (Professor hadis pada universitas al-Azhar),
‘Ilm al-Jarh wa al-Ta‘dīl; Qawā‘iduh wa A’immatuh, al-Azhar Press, Kairo–Mesir, cet. II, 1419
H/1998 M, hal. 1.
12
“Rasulullah melakukan ini dan itu” atau “Rasulullah mengatakan ini dan itu.”. Bukti
adanya pengalihan ilmu melalui cara seperti ini datang dari ribuan hadis yang memiliki
ungkapan-ungkapan yang sama, tetapi bersumber dari belahan dunia Islam yang
berlainan, yang masing-masing melacak kembali asal-usulnya yang bermuara pada
sumber yang sama, yaitu Rasulullah saw, sahabat dan tabi’īn. Kesamaan isi kandungan
yang menyebar melintasi jarak jauh, di suatu zaman yang minus alat komunikasi canggih,
memberi kesaksian kebenaran akan kuatnya sistem isnad.51 Dan pada permulaan abad
pertama hijriah sistem isnad ini menjadi disipilin ilmu tersendiri dalam pengajaran umat
Islam. Penggagas utama ilmu isnad ini adalah Ibnu Sirīn (w. 110 H). Dia mengatakan
“Para ilmuan pada mulanya tidak mempersoalkan isnad, tetapi saat fitnah mulai meluas
mereka menuntut: ‘Sebutkan nama orang-orang kalian (para pembawa riwayat hadis)
pada kami!’ bagi yang termasuk ahli sunnah, hadis mereka diterima, sedangkan yang
tergolong tukang mengada-ada, hadis mereka dicampakkan kepinggiran”.52 Sebab atau
alasan mendasar Ibnu Sirīn membuat ilmu isnad ini antara lain adalah munculnya
fitnah al-kubrā dalam tubuh umat Islam, yaitu terjadinya pemberontakan terhadap
khalifah Utsman bin Affan yang terbunuh pada tahun 35 hijriah.53
Dalam dunia intelektual, belajar atau menimba ilmu kepada siapa pun yang memang
ahlinya tidak begitu menjadi persoalan. Dalam hal teknologi–sains umat Islam harus
belajar ke Amerika, Rusia, Jepang, Cina, dll. karena negara-negara tersebut memang
sarangnya para ahli sains. Bahkan ada ungkapan yang sudah menjadi masyhur: “
Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina”. Bagi setiap muslim menimba ilmu adalah
suatu kewajiban, lebih-lebih tentang ilmu agama. Di era modern sekarang–lebih-lebih
masa mendatang–umat Islam menghadapi pelbagai tantangan intelektual yang sangat
serius. Tantangan intelektual tersebut adalah sebagaimana telah diramalkan oleh Samuel
P. Huntington55 yaitu teori “Benturan Peradaban” (The Clash of Civilizations). Benturan
beradaban yang di maksud Samuel Huntington dalam tesisnya menurut kesimpulan
penulis adalah benturan ideologi atau keyakinan agama: (Benturan Kristen-Barat dengan
Islam-Timur). Proyek utama Barat untuk menghadapi benturan ini adalah, di samping
menyiapkan kekuatan militer, juga menyiapkan sarjana-sarjana yang konsen tehadap
51 Dr. Muhammad Musthafā al-A‘zāmī, The History of The Qur’ānic Text from
Revelation to Compilation; A Comparative Study with the Old and New Testaments
(Sejarah Teks Al-Qur‘ān dari Wahyu Sampai Kompilasi; Kajian Perbandingan dengan
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), Gema Insani Press, Jakarta-Indonesia, cet. II, 1427H/2006 M, hal.
186.
52 Ibid., hal. 186.
53 Ibid. hal. 186.
54 Kalimat ini adalah ungkapan karl Marx (1818-1883 M) dalam mengutarakan pikirannya pada kaum tani
Prancis. Kemudian kalimat ini dikutip oleh Edward Said (1935-2003 M) dalam karya ilmiahnya yang
berjudul Orientalism.
55 Samuel Huntington adalah guru besar sekaligus ketua jurusan ilmu politik di Universitas Harvard dan
ketua Harvard Academy untuk kajian internasional dan regional di Weatherhead Center for International
Affairs. Dia juga pernah menjadi penasehat politik luar negeri presiden USA George W. Bush. The Clash
of Civilization adalah karya monumentalnya yang menjadi kontroversi dan memicu polemik di pelbagai
belahan dunia selama lebih dari tiga tahun.
13
literatur dasar umat Islam, Yang kemudian kita kenal dengan istilah orientalisme. Dengan
mempelajari rujukan-rujukan primer umat Islam, orientalis akan menemukan kelemahan-
kelemahan yang ada pada umat Islam. Orientalis mengkaji islam di pelbagai bidang, ada
Spirenger, William Muir, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dll yang menseriusi bidang
hadis.56 Schacht, Schőller, Motzki dll dalam bidang hukum Islam atau fikih.57
Alphonse Mingana, Gustaf Flűgel, Theodor Nőldeke, Arthur Jeffry yang konsen
dalam Qur’anic Studies.58 Theodore Haarbrűcker, Miguel Asin Palacious,
Heinrich Steiner, Hellmut Ritter, Wilferd Madelung dalam bidang
Teologi Islam, dan lain sebagainya.59 Maraknya orientalis dalam mempelajari Islam,
menjadikan Islamic Studies di universitas-universitas Barat sering disebut lebih unggul
dibandingakan dengan universitas-universitas Islam. Sehingga para orientalis merasa
lebih mampu mewakili untuk mengajari orang Islam tentang agama mereka. Sebenarnya
tidak ada persoalan jika sarjana Barat mengembangkan Islamic Studies dan menjadi guru
bagi orang muslim, kemudian ada kontribusi yang sangat membangun untuk agama
Islam. Tetapi permasalahannya kenapa literatur-literatur karya orientalis itu ketika
disandarkan dengan karya-karya ulama muslim cenderung berbenturan. Menurut Prof.
Dr. Muhammad Naguib al-Attas, salah satu sebab mendasar terjadinya benturan
pemikiran antara sarjana Barat dengan sarjana muslim adalah karena mereka barangkat
dari frame-work atau worldview yang berbeda60, yaitu sebuah pandang hidup yang
mencakup agama, kenabian, tujuan hidup, kematian dan alam setelah kematian.
Berangkat dari persepektif yang berbeda ini, sehingga para orientalis memikirkan Islam
selalu dengan pandangan diabolis ala iblis.61
Diảbolos adalah Iblis dalam bahasa Yunani kuno, menurut Arthur Jeffery (1892-1959 M)
dalam bukunya “The Foreign Vocabulary of The Qur’an”, cetakan Baroda 1938 M, hal.
48. Maka istilah Diabolisme berarti pemikiran, watak, karakter, dan perilaku ala Iblis
ataupun pengabdian kepadanya. Dalam kitab suci al-Qur’an dinyatakan bahwa Iblis
termasuk bangsa Jin (QS. al-Kahfi: 50), yang diciptakan dari api (QS. al-Hijr: 27).
Sebagaimana kita ketahui, ia dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan untuk
bersujud kepada Adam as. Apakah Iblis atheis? tidak!. Apakah ia Agnostik? Tidak!. Iblis
tidak mngingkari adanya Tuhan. Iblis tidak meragukan wujud dan ketunggalan-Nya. Iblis
bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Lalu mengapa ia dilaknat
dan disebut kafir? disinilah letak persoalnnya.62
Kenal, dan tahu saja tidak cukup. Percaya dan mengikuti saja tidak cukup. Mereka yang
kafir dari kalangan ahli kitab pun kenal dan tahu persis siapa dan bagaimana
terpecayanya Rasulullah saw, sebagaimana mereka mengenal Nabi Muhammad seperti
mereka megenal anak kandungnya sendiri (Ya‘rifūnahā Kamā Ya‘rifūna
14
Abnā’ahum). Namun tetap saja mereka enggan masuk Islam. Jelaslah bahwa
pengetahuan, kepercayaan, dan pernyataan harus disertai dengan kepatuhan dan
ketundukan, harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah, menurut dan
melaksanakan perintah.
15
Dalam al-Qur’an memang ditegaskan bahwa setan adalah musuh nyata bagi manusia
(QS. 12:5, 17:53 dan 35:6). Selain pembangkang (‘ashiyy) setan juga berwatak jahat, liar
dan kurang ajar (marīd). Untuk menggelincirkan (istazalla), menjerumuskan (yughwī),
dan menyesatkan (yudhillu) orang, setan juga memakai setrategi. Caranya dengan
menyusup, memengaruhi (yatakhabbath), merasuk dan merusak (yanzaghu), menghalng-
halangi (yashuddu), menjebak (yaftinu), menciptakan imej positif untuk kebatilan
(zayyana lahum a‘māluhum), membisikkan hal-hal negatif ke dalam hati dan pikiran
seseorang (yuwaswisu), menjanjikan, memberi iming-iming (ya’iduhum wa
yumannīhim), memperdaya dengan tipu muslihat (dalla bi-ghurūr), membuat orang
lupa dan lalai (yunsī), menyulut konflik dan kebencian (yūqi’mal-‘adāwah wa al-
baghdhā), menganjurkan perbuatan maksiat dan amoral (ya’muru bi al-fahsyā wa
al-munkar), serta menyuruh orang supaya kafir (qāla li’l insān ukfur).66 Dan hampir
semua sifat setan ini ada pada diri para orientalis.
16
Bibliografi
‘Abdul Hādī, Dr. ‘Abdul Mahdi bin ‘Abdul Qādir, ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta‘dīl;
Qawā‘iduh wa A’immatuh, al-Azhar Press, Kairo–Mesir, cet. II, 1419
H/1998 M.
Adian Husaini, MA., Wajah Peradaban Barat; Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi
Sekular-Liberal, Gema Insani Press, Jakarta-Indonesia, cet. I, 1426 H/2005 M.
Al-A‘zamī, Dr. Muhammad Musthafā, Dirāsah fī al-Hadīts al-Nabawī
wa Tārīkh Tadwīnuhu, vol. I, al-Maktabah al-Islāmī, Beirut-Libanon, 1413
H/1992 M.
________, Prof. Dr. Muhammad Musthafā, Sejarah Teks AL-Qur’ān
dari Wahyu Sampai Kompilasi; Kajian Perbandingan dengan
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, diterjemahkan oleh Dr. Sohirin
Solihin dkk dari buku asli: The History of The Qur’ānic Text from
Revelation to Compilation; A Comparative Study with the Old and
New Testaments, Gema Insani Press, Jakarta-Indonesia, cet. II, 1427 H/2005 M.
Ali Mustafa Yaqub, Lc. MA., Autentisitas dan Otoritas Hadis dalam Khazanah
Keilmuan Ulama Muslim dan Sarjana Barat, dalam Jurnal TARJIH, edisi Ke-7
Januari 2004 M, Majelis Tarjih dan Pengembangn Pemikiran Islam PP
Muhammadiyah, Yogyakarta-Indonesia, 2004 M.
Al-Sibā’ī, Dr. Musthafā, al-Sunnah wa Makānatuhā fī al-Tasyrī‘ al-Islāmī,
Dār al-Salām, Kairo–Mesir, cet. III, 1427 H/2006 M.
Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Gema Insani Press,
Jakarta-Indonesia, cet. I, 1429 H/2008 M.
Dr. Sayyid Hanafī, Dīwān Hasān bin Tsābit, dalam Silsilah al-Dakhā’ir, al-
Hai’ah al-‘Āmah lī Qusūr al-Tsaqāfah, Kairo-Mesir, 2008 M.
Goldziher, Ignaz, al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah fī al-Islām, Dāar al-Rā’id
al-‘Arabī, diterjemahkan oleh Muhammad Yusuf Musa dkk dari
buku asli VORLESUNGEN UBER DEN ISLAM, Beirut-Libanon, t.t.
Prof. Dr. Muhammad Zuhri, Autentisitas dan Otoritas Hadis dalam Keilmuan Ulama
Muslim dan Sarjana Barat, dalam Jurnal TARJIH, edisi Ke-7 Januari 2004 M,
Majelis Tarjih dan Pengembangn Pemikiran Islam PP Muhammadiyah,
Yogyakarta-Indonesia, 2004 M.
Zarzūr, Dr.‘Adnān Muhammad, Musthafā al-Sibā‘ī; al-Dā‘iyah al-
Mujāhid wa al-Faqīh al-Mujaddid, Dār al-Qalam, Damaskus, cet. I,
1424 H/2003 M.
17