Вы находитесь на странице: 1из 3

KEHIDUPAN DI KOTA BETON

Oleh Janita
Saya hidup di atas tumpukan beton.
Bahkan rumah saya terbuat dari beton.
Kota saya dibangun di atas beton, dan dengan beton juga bangunan-bangunannya di
bangun. Inilah kota saya, Jakarta, kota beton.
Jakarta, sebuah kota metropolitan yang besar dan modern, kota kelahiran saya yang amat
saya banggakan. Kota yang penuh dengan sejarah bangsa ini, terus hidup seiring berjalannya
waktu, dan pergantian zaman. Dari mulanya hanya sebuah kota pelabuhan dan detik ini, telah
menjadi jantung negara kita. Kota ini juga menjadi jantung kehidupan saya.
alaupun saya bukan darah Betawi, keluarga saya telah tinggal di Jakarta selama tiga
generasi. !umah saya yang sudah berdiri lebih dari empat dekade, bagaikan saksi bisu
berkembangnya kota Jakarta.
"Dulu, waktu mbah kakung beli rumah ini# $ejompongan tuh sudah di pinggiran kota,%
pernah sekali &enek saya ber'erita. (adinya saya kira beliau terlalu melebih-lebihkan, melihat
kenyataan di mana $ejompongan berada di dalam atlas Jakarta. )khirnya saya mengetahui asal-
usul dari kompleks yang saya tinggali dari Ibu saya. ilayah $ejompongan dibangun untuk
rumah dinas dalam rangka penyelenggaraan *)&+,-, yang pada saat itu masih wilayah
pengembangan perumahan baru.
"Dulu di depan rumah masih kebon, sama rumah-rumah Betawi,% tambah Ibu saya.
Dulu memang seperti itu, tapi zaman sudah berubah. $ejompongan kini berada di tengah
kota. $erluasan Jakarta pun berkembang pesat dan semakin jauh, bahkan ke daerah yang dulunya
1
masih kebun terlantar. *edung pen'akar langit kini bukan hal yang baru. arga Jakarta pun
sudah terbiasa hidup di atas beton.
.anusia dapat hidup di atas beton.
Sedangkan tanaman tidak dapat hidup di atas beton.
Saya tidak pernah melihat ada kebun di depan rumah saya, selain pohon klengkeng tua
yang masih berdiri di halaman depan. Saya tahu Kali /iragil $ejompongan sudah ada jauh
sebelum keluarga saya pindah ke Jakarta, tapi Kali itu lebih terlihat seperti selokan yang dilapisi
sisi kanan dan kirinya dengan beton.
(anaman di rumah saya hanya terdapat di dalam pot. (ak perlu tanya kenapa, tapi
tanaman memang tidak bisa hidup di atas beton. Sisa-sisa tanah itulah yang masih bisa Ibu saya
man0aatkan di dalam pot untuk tumbuhan. alaupun jumlahnya tak akan bisa menyaingi sebuah
kebun, tapi setidaknya tanaman lidah buaya masih bisa hidup.
"Jakarta gersang sekali#,% ujar salah seorang teman saya dari daerah pada suatu a'ara
lokakarya. Saya tidak kaget dengan u'apannya, malah saya justru ingin mengiyakan. Sejujurnya
saya sendiri juga tidak tahu ada berapa pohon yang ditebang apabila sebuah lahan kosong ingin
dibangun, tapi yang jelas seringkali saya melihat gelondongan kayu tergeletak di pinggir jalan.
(ak lama sejak itu, berdirilah bangunan beton di atasnya.
Seakan-akan sudah menjadi rantai kehidupan, pohon hidup di atas tanah pada lahan
kosong, lahan itu kemudian akan dibangun entah rumah ataupun gedung, pohon-pohon pun
ditebang, lahan kosong dibuat pondasi, dan beton pun menyusul bersusun-susun di atasnya.
(ak terhitung berapa banyak pohon yang telah ditebang demi berkembangnya Kota
Jakarta, tapi yang menggantikannya tak bisa menutupi jumlah pohon yang tumbang. 1ahan
semakin sempit, sehingga untuk satu pohon saja yang hidup bisa menghabisi lahan yang ada.
2
Keadaan seperti itu semakin mendorong warga untuk menebang pohon untuk menghemat
tempat.
$ada musim kemarau, panas terik membakar kulit. Jarang sekali tersa semilir angin dan
keteduhan pohon rindang. Biasanya kami, para remaja Jakarta, berlindung dibawah bayangan
bangunan agar tidak merasakan teriknya matahari. Kami sangat beruntung apabila menemukan
pohon untuk berteduh.
Sedangkan pada musim hujan, terjadi sebaliknya. Ketika hujan turun begitu deras, air
hanya bisa mengalir menuruni genting, membasahi beton-beton bangunan, dan menggenang di
atas aspal, tak dapat men'apai tanah. Banyaknya genangan tergantung dari hujan itu sendiri,
apabila sedikit tentu genangannya juga sedikit. Jika hujan turun terus menerus, 2olume air yang
menggenang setimpal dengan jumlah air yang jatuh.
Begitulah siklus kehidupan di Kota Beton.
Saya mengerti kalau siklus kehidupan sulit berubah, tapi bukan berarti tidak mungkin.
Sampai sekarang, Ibu saya masih suka mengumpulkan tanaman-tanaman di dalam pot, dan
meletakkannya di teras lantai dua, sampai teras kami seakan menjadi hutan di atas beton.
"Kalau perkarangan rumah kitra sempit, ya# kita buat tanaman atap saja,% ujar Ibu saya
sambil menyiram pohon sawo yang ditanam di depan teras rumah kami. Saya rasa perkataan Ibu
saya benar. Sejak kami membunyai taman atap sekitar sepuluh tahun yang lalu, saya bisa lihat
sendiri bahwa rumah saya menjadi lebih hijau. Saya yakin, pasti ada 'ara untuk menghijaukan
kembali Kota Beton ini. Ini hanya masalah waktu sampai kita melihat hutan tumbuh di atas
gedung-gedung pen'akar langit. 3
3

Вам также может понравиться