Вы находитесь на странице: 1из 104

PENERBIT PT KANISIUS

MENGENAL FILARIASIS
DI JAWA BARAT
Penyakit Tropis yang Terabaikan
Endang Puji Astut
Mara Ipa
M. Umar Riandi
Tri Wahono
Lukman Hakim
(editor)
Penerbit PT Kanisius
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
1014000024
2014 PT Kanisius
PENERBIT PT KANISIUS (Anggota IKAPI)
Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281
Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011
Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349
Website : www.kanisiusmedia.com
E-mail : ofce@kanisiusmedia.com
Cetakan ke 3 2 1
Tahun 15 14 13
Desain Isi : Nael
Desain Sampul : Yudi
ISBN 978-979-21-3969-3
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis
dari penerbit.
Dicetak oleh Percetakan PT Kanisius Yogyakarta
iii
Kata Pengantar
Semangat Pagi!
Filariasis (penyakit kaki gajah) yang ditularkan melalui
vektor nyamuk, telah lama menjadi ancaman bagi masyarakat.
Namun, hal itu dianggap tdak pentng dan tdak menjadi
target utama pengendalian penyakit menular karena tdak
menimbulkan kematan. Padahal, sebenarnya penyakit ini
menimbulkan kecacatan, stgma sosial, hambatan psikososial,
serta penurunan produktvitas bagi penderita, keluarga, dan
masyarakat sehingga berujung pada kerugian ekonomi.
Buku ini hadir untuk mengenalkan flariasis di Jawa
Barat dengan tujuan agar seluruh pihak terkait dapat
mengenal lebih jauh serta mendapatkan informasi dan
semoga dapat menunjang program eliminasi. Namun, buku
ini tentulah masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan sumbang saran guna melengkapi dan
memperbaikinya.
Terima kasih kepada tm penulis yang telah memberikan
kontribusi, serta kepada semua pihak yang telah membantu
dan memberi dukungan sehingga buku ini dapat diterbitkan.

Salam
Lukman Hakim
(editor)
v
Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................ iii
Dafar Isi ...................................................................... v
Bab 1 FILARIASIS PENYAKIT YANG TERABAIKAN ...... 1
M. Umar Riandi, Tri Wahono
Bab 2 EPIDEMIOLOGI FILARIASIS ............................. 19
Endang Puji Astut, Mara Ipa
Bab 3 UPAYA PENCEGAHAN & PENGENDALIAN
FILARIASIS ...................................................... 45
Tri Wahono, M. Umar Riandi
Bab 4 DUA PILAR ELIMINASI FILARIASIS .................. 65
Mara Ipa, Endang Puji Astut

Daftar Tabel

Tabel 4.1. Dosis Obat Berdasarkan Berat Badan ......... 68
Tabel 4.2. Dosis Obat Berdasarkan Umur ................... 68
Tabel 4.3. Pengobatan Filariasis di Indonesia
Tahun 1970 - Sekarang ............................... 69
Tabel 4.4. Rencana Cakupan POMP Filariasis
Kabupaten/Kota Tahun 2010 - 2014
di Indonesia ................................................ 72
Tabel 4.5. Pelaksanaan POMP Filariasis di Provinsi ....
Jawa Barat Tahun 2013 .............................. 74
Tabel 4.6. Stadium Limfedema ................................... 81
vii
Daftar Gambar

Gambar 1.1. Penyebaran Filariasis Limfatk Dunia
pada Tahun 2006 ............................................ 2
Gambar 1.2. Mikroflaria a) W. brancofi, b) B. malayi, dan
c) B. tmori ....................................................... 3
Gambar 1.3. Cacing; a) Loa loa di jaringan mata;
b) O. volvulus, dan c) M. streptpcerca ............. 4
Gambar 1.4. Mikroflaria; a) Mansonella perstans dan
b) M. ozzardi, sedikit patogen terhadap
manusia. .......................................................... 5
Gambar 1.5. Jan Huyghen van Linscheton (1563-1611) ....... 6
Gambar 1.6. Gejala akut penyakit flariasis limfatk ............. 7
Gambar 1.7. Siklus Hidup Cacing Filariasis (W. bancrofi) .... 10
Gambar 1.8. Nyamuk-nyamuk yang Bisa Menjadi Vektor
Penyakit Filariasis............................................. 11
Gambar 1.9. Peta Endemisitas Filariasis di Indonesia
Tahun 2009 ...................................................... 12
Gambar 2.1. Kasus Klinis Filariasis di Indonesia
Tahun 2000 2009 .......................................... 21
Gambar 2.2. Jumlah Penderita Filariasis per Provinsi
di Indonesia Tahun 2009 .................................. 22
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
viii
Gambar 2.3. Distribusi Kasus Kronis dan Kematan Filariasis
di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013 23
Gambar 2.4. Distribusi Kasus Positf Microflaria Per
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat
per tahun, 1999 - 2005 .................................... 24
Gambar 2.5. Distribusi Kasus Positf Microflaria Per
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat,
2006 - 2010 ...................................................... 25
Gambar 2.6. Siklus Penularan Filariasis
(Wuchereria bancrofi) .................................... 28
Gambar 2.7. Distribusi Positf Mikroflaria di Provinsi
Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013 .................. 30
Gambar 2.8. Morfologi Wuchereria bancrofi ...................... 31
Gambar 2.9. Larva Culex spp. ............................................... 37
Gambar 2.10 Nyamuk Culex quinquefasciatus ...................... 38
Gambar 2.11. Breeding Places Nyamuk di Desa
Panumbangan, Kabupaten Ciamis ................... 40
Gambar 2.12. Breeding Places Nyamuk di Desa Jalaksana,
Kabupaten Kuningan ........................................ 40
Gambar 3.1. Penyemprotan Nyamuk Dewasa/Fogging ....... 48
Gambar 3.2. Abate 1G (Temephos 1%) ................................ 49
Gambar 3.3. Berbagai Tanaman yang Bisa Digunakan
sebagai Larvasida ............................................. 50
Gambar 3.4. Repellent Bahan Kimia Buatan. ........................ 51
Gambar 3.5. Berbagai tanaman yang bisa digunakan
sebagai repellent .............................................. 52
Gambar 3.6. Berbagai ikan pemakan larva/jentk ................ 53
Gambar 3.7. Bacillus Thuringiensis ...................................... 54
Gambar 3.8. Pengendalian Vektor secara Fisik ..................... 55
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
ix
Gambar 3.9. Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
melalui Program 3M (Menguras, Menutup,
Mengubur) ....................................................... 56
Gambar 4.1. Obat Filariasis (DEC , Albendazole dan
Paracetamol) ................................................... 71
Gambar 4.2. Peta Sebaran Mf Rate dan Kegiatan POMP
Filariasis di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012 .... 73
Gambar 4.3. Cakupan Pengobatan POMP Filariasis Provinsi
Jawa Barat Tahun 2012 .................................... 78
Gambar 4.4. Limfedema Stadium 1 ...................................... 82
Gambar 4.5. Limfedema Stadium 2 ...................................... 82
Gambar 4.6. Limfedema Stadium 3 ...................................... 83
Gambar 4.7. Limfedema Stadium 4 ...................................... 83
Gambar 4.8. Limfedema Stadium 1 ...................................... 84
Gambar 4.9. Limfedema Stadium 1 ...................................... 85
Gambar 4.10. Limfedema Stadium 1 ..................................... 85
Gambar 4.11. Lymp Scrotum ................................................. 86
Gambar 4.12. Hidrokel ........................................................... 86
Gambar 4.13. Gambar Rapor Perkembangan Penderita
Filariasis Kronis Terapi LDR di Kabupaten
Bandung, Jawa Barat ....................................... 88
Gambar 4.14. Penderita Filariasis di Kabupaten Bandung ..... 88
Gambar 4.15. Penderita Filariasis di Kabupaten Kuningan .... 89
1
Bab1
FILARIASIS PENYAKIT
YANG TERABAIKAN
M. Umar Riandi
Tri Wahono

Pendahuluan
Ketka kata Filariasis atau penyakit kaki gajah diucapkan
kepada Anda, apa yang terlintas di benak Anda? Apakah
bayangan seseorang dengan deformasi tungkai kaki? Lalu,
apalagi? Jika dikatakan bahwa penyakit kaki gajah memiliki
ancaman yang sama besar dengan penyakit demam berdarah
dengue, apa yang terlintas dipikiran Anda? Mungkin sebagian
dari Anda berpikir bahwa Filariasis bukan penyakit yang
berbahaya, tdak menimbulkan kematan. Namun, kecacatan
seumur hidup yang jika dipikirkan kembali, lebih banyak
menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial.
Tahukah Anda, bahwa Filariasis merupakan penyakit
yang mudah menular, semudah penyebaran DBD atau
malaria. Di seluruh dunia, ada 120 juta orang terinfeksi
limfatk flariasis dan 1,3 milyar orang berada pada risiko
terinfeksi. Penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi flariasis,
terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis,
sepert Asia, Afrika, dan Pasifk Barat. Dari 1,3 milyar
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
2
penduduk tersebut, 851 juta di antaranya tnggal di Asia
Tenggara. Indonesia menjadi negara dengan kasus flariasis
paling tnggi. Pada komunitas di daerah endemis flariasis,
sekitar 10% wanita dapat mengalami pembengkakan tungkai
dan 50% pria dapat mengalami kelainan kaki dan organ
genitalia akibat penyakit ini (WHO, 2010; Juriastut et al.
2010). Kondisi tersebut berpengaruh dalam kehancuran masa
depan dan kualitas hidup korban, bukan hanya memengaruhi
fsik saja, tetapi juga emosional dan ekonomi.
Filariasis merupakan penyakit parasit (umumnya di-
sebut penyakit infeksi tropis) yang disebabkan oleh cacing
nematoda yang berasal dari superfamili Filarioidea atau
dikenal juga dengan Filariae. Cacing parasit ini disebarkan
oleh anthropoda pengisap darah, umumnya lalat hitam dan
nyamuk.
Gambar 1.1
Penyebaran Filariasis Limfatk Dunia pada Tahun 2006
Sumber: WHO, 2008
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
3
Ada delapan nematoda flaria yang menggunakan ma
nusia sebagai inang defnitfnya. Parasit tersebut dibagi da
lam tga kelompok berdasarkan relung cacing dalam tubuh
manusia (www.jurnalmedika.com) sebagai berikut.
Filariasis Limfatk 1.
Filariasis ini disebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofi,
Brugia malayi, dan B. tmori. Cacingcacing ini menempat
sistem limfatk tubuh, termasuk nodus limfa. Pada kasus
kronis, cacing ini menyebabkan penyakit elephantasis (kaki
gajah).

Gambar 1.2
Mikroflaria
a) W. brancofi,
b) B. malayi, dan
c) B. tmori
Sumber: www.dpd.cdc.gov; www.
stanford.edu
Filariasis Subkutan 2.
Filariasis ini disebabkan oleh cacing Loa loa (cacing mata
Afrika), Mansonella streptocerca, dan Onchocerca volvulus.
Cacing ini mendiami lapisan subkutan kulit, pada lapisan
lemak. Cacing L. loa menyebabkan loiasis, sedangkan O.
vulvulus menyebabkan river blindness.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
4






Gambar 1.2.
Mikrofilaria
a) W. brancofti,
b) B. malayi, dan
c) B. timori
Sumber: www.dpd.cdc.gov;
www.stanford.edu


2. Filariasis Subcutaneous
Filariasis ini disebabkan oleh cacing Loa loa (cacing
mata Afrika), Mansonella streptocerca, dan Onchocerca
volvulus. Cacing ini mendiami lapisan subcutaneous kulit,
pada lapisan lemak. Cacing L. loa menyebabkan filariasis
Loa loa, sedangkan O. vulvulus menyebabkan river
blindness.




a
b
b
c
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
4
Gambar 1.3
Cacing a) Loa loa di jaringan mata, b) O. volvulus,
dan c) M. streptocerca
Sumber: www.stanford.edu; www.dpd.cdc.gov; www.icp.upl.ac.be
Filariasis Rongga Serosa 3.
Filariasis ini disebabkan oleh cacing M. perstans dan M.
ozzardi, yang mendiami rongga serosa dan abdomen. Cacing
dewasa yang biasanya mendiami pada satu jaringan, menge-
luarkan larva stadium awal yang dikenal sebagai mikro flaria
ke dalam peredaran darah inang. Mikroflaria yang beredar
dalam aliran darah ini dapat terbawa bersama darah yang
diisap oleh vektor arthropoda, sepert nyamuk dan lalat pe
ngisap darah. Dalam tubuh vektor, mikroflaria berkembang
menjadi larva yang infektf dan dapat ditransmisikan ke inang
yang baru.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
5


Gambar 1.3.
Cacing; a)Loa loa di jaringan mata; b) O. volvulus, dan
c) M. streptpcerca
Sumber: www.stanford.edu; www.dpd.cdc.gov; www.icp.upl.ac.be

3. Filariasis Rongga Serous
Filariasis ini disebabkan oleh cacing M. perstans
dan M. ozzardi, yang mendiami rongga serous dan
abdomen. Cacing dewasa yang biasanya mendiami pada
satu jaringan, mengeluarkan larva stadium awal yang
dikenal sebagai mikrofilaria ke dalam peredaran darah
inang. Mikrofilaria yang beredar dalam aliran darah ini
a b
c
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
5
Gambar 1.4
Mikroflaria a) Mansonella perstans dan b) M. ozzardi,
sedikit patogen terhadap manusia.
Sumber: www.phsource.us
Individu yang terinfeksi oleh cacing flaria dapat dika
takan mengidap microflaraemic atau amicroflaraemic ber-
gantung ada atau tdaknya miklorilaria pada darah tepi.
Filariasis didiagnosa dari kasus microflaraemic melalui
observasi langsung sediaan darah tepi atau survei darah jari
(SDJ). Occult flariasis (flariasis tersembunyi/ asymptomats)
didiagnosa dari kasus amicroflaraemic melalui observasi
klinis, dan dalam beberapa kasus, dengan menemukan
antgen yang beredar dalam darah.

Sejarah Filariasis
Filariasis diduga telah menginfeksi manusia sejak 4000
tahun yang lalu. Artefak dari Mesir Kuno (2000 SM) dan dari
Peradaban Nok di Afrika Barat (500 SM) memperlihatkan
kemungkinan gejala penyakit kaki gajah. Referensi yang jelas
mengenai penyakit ini terdapat pada literatur Yunani Kuno,
dimana para pelajar membedakan gejala yang sering dialami
penderita limfatk flariasis mirip dengan gejala penyakit
kusta.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
6

dapat terbawa bersama darah yang diisap oleh vektor
antropoda, semisal nyamuk. Dalam tubuh vektor,
mikrofilaria berkembang menjadi larva yang infektif dan
dapat ditransmisikan ke inang yang baru.

Gambar 1.4.
Mikrofilaria; a) Mansonella perstans dan b) M. ozzardi,
sedikit patogen terhadap manusia.
Sumber: www.phsource.us

Individu yang terinfeksi oleh cacing filaria dapat
dikatakan mengidap microfilaraemic atau amicrofilaraemic
bergantung ada atau tidaknya miklorilaria pada darah tepi.
Filariasis didiagnosa dari kasus microfilaraemic melalui
observasi langsung sediaan darah tepi atau survei darah
jari (SDJ). Occult filariasis (filariasis tersembunyi/
asymptomatis) didiagnosa dari kasus amicrofilaraemic
melalui observasi klinis, dan dalam beberapa kasus,
dengan menemukan antigen yang beredar dalam darah.


a b
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
6
Dokumentasi pertama mengenai gejala flariasis didapat
pada abad ke16, ketka Jan Huyghen van Linscheton menulis
mengenai hal tersebut dalam ekspedisinya ke Goa India.
Gejala yang mirip juga dilaporkan dari beberapa eksplorasi
setelahnya di wilayah Asia dan Afrika. Meskipun demikian,
pemahaman mengenai penyakit ini tdak berkembang hingga
satu abad kemudian.
Pada tahun 1866, Timothy Lewis, berdasarkan hasil
temuan dari JeanNicolas Demarquay dan Oto Henry
Wucherer, membangun pemahaman mengenai hubungan
mikroflaria dan elephantasis (kaki gajah). Hal ini menjadi
landasan bagi penelitan yang akhirnya dapat menjelaskan
penyakit elephantasis. Pada tahun 1876, Joseph Bancrof
menemukan bentuk dewasa cacing penyebab flariasis.
Pada tahun 1877, siklus hidup yang melibatkan
arthrophoda dikemukakan oleh Patrick Manson, yang
selanjutnya menjadi awal penemuan keberadaan cacing
tersebut di nyamuk. Meskipun pada saat itu, Manson salah
menyimpulkan hipotesis bahwa cacing tersebut ditransmisikan
melalui kontak kulit dengan air dimana nyamuk tersebut
Gambar 1.5
Jan Huyghen van Linscheton
(1563-1611)
Sumber: www.linschoten-vereeniging.nl
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
7
meletakkan telurnya. Hingga pada tahun 1900, George
Chamichael Low menemukan metode penularan sebenarnya
karena menemukan keberadaan cacing di probosis nyamuk
vektor (flariasis.org.uk).
Gejala dan Tanda Infeksi
Gejala kronis flariasis limfatk adalah elephantasis atau
kaki gajah edema dengan penebalan kulit dan jaringan di
bawahnya merupakan penyakit pertama yang ditemukan
karena transmisi oleh gigitan nyamuk. Elefantasis terjadi
ketka parasit sampai ke sistem limfatk.
Gambar 1.6
Gejala akut penyakit flariasis limfatk
Sumber: magelangimages.wordpress.com
Spesies cacing flaria cenderung memengaruhi bagian
tubuh yang berbeda. Spesies W. brancofi dapat memengaruhi
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
8
kaki, lengan, vulva, payudara, dan skrotum (menyebabkan
formasi hidrokel), sementara B. tmori jarang memengaruhi
organ genitalia. Uniknya, seseorang yang terinfeksi flaria
kronis dan menjadi elefantasis, biasanya amikroflaremik dan
sering kali memiliki reaksi imunologi terhadap mikroflaria
serta cacing flaria dewasa.
Diagnosis
Diagnosis flariasis umumnya dengan identfkasi mikro
flaria secara mikroskopis. Dengan bantuan pewarnaan
Giemsa sediaan darah apus tpis dan tebal, menggunakan
gold standar yang disebut sediaan darah jadi (SDJ) dengan
mengambil darah dari kapiler ujung jari. Pembuluh vena yang
lebih besar dapat digunakan untuk mengeluarkan darah,
namun harus memperhatkan waktu pengambilan darah.
Darah harus diambil pada waktu yang sama dengan aktvitas
makan serangga vektor. Misalnya, W. bancrofi ditularkan
oleh nyamuk yang aktf mengisap darah pada malam hari
(nokturnal). Waktu pengambilan darah harus malam hari.
Tes provokasi diethyl carbamazine (DEC provocaton
test) dapat dilakukan untuk memperoleh jumlah parasit pada
sampling siang hari dan mengatasi kekurangan survei darah
jari. Tes ini memprovokasi mikroflaria agar bermigrasi ke
darah tepi dalam waktu sekitar 1 jam setelah pemberian DEC
sehingga dapat dideteksi dengan SDJ.
Metode diagnosis lain dapat pula menggunakan metode
Polymerase chain reacton (PCR) dan analisis antgen yang
mendeteksi antgen flaria dalam darah. Analisis antgen
juga dapat digunakan untuk mendeteksi kasus amikroflaria.
Spot survey untuk pemeriksaan antgen melalui ELISA jauh
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
9
lebih sensitf dan dapat dilakukan setap waktu. Saat ini
telah tersedia dan ditawarkan berbagai alat diagnostk baru
dan telah banyak digunakan untuk alat diagnosis. Salah
satunya yang sangat sederhana tanpa memerlukan fasilitas
laboratorium yaitu card test untuk mendeteksi antgen parasit
yang bersirkulasi, cara kerjanya hanya perlu tetesan darah dari
ujung jari. Pada dasarnya teknik tersebut berbasis serologis
yang secara riil lebih lemah sensitvitas dan spesifsitasnya
dibanding ELISA (Haryuningtyas S., D. & Subekt, D.T., 2004).
Aspirasi nodus limfatk dan cairan limfa juga dapat
mendeteksi kehadiran mikroflaria. Pengindraan medis,
sepert Computerized Tomography (CT-scan) dan Magnetc
resonance imaging (MRI) juga dapat menemukan tanda
tarian flaria pada cairan limfa. Pemindaian sinarX
dapat mendeteksi adanya cacing dewasa yang mengalami
pengapuran di sistem limfatk.
Siklus Hidup Cacing Filaria
Cacing flaria memiliki siklus hidup yang rumit, dapat
dibedakan menjadi lima tahap. Setelah cacing dewasa me-
lakukan perkawinan, flaria betna menghasilkan ribuan
mikroflaria. Cacing mikroflaria terbawa oleh vektor serangga
(host perantara) sepert nyamuk, ketka mengisap darah
manusia. Di dalam host perantara, mikroflaria melakukan
moltng (bergant kulit) dan berkembang menjadi larva infektf
(tahap ketga). Saat mengisap darah lainnya, serangga vektor
menyuntkkan larva ke dalam lapisan dermis kulit. Setelah
sekitar satu tahun, larva melakukan moltng hingga dua tahap
dan berkembang menjadi cacing dewasa.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
10
Spesies W. bancrofi, B. malayi, dan B. tmori sebagai
penyebab flariasis limfatk hidup eksklusif dalam tubuh
manusia. Cacing berada pada sistem limfatk antara pembuluh
limfe dan pembuluh darah yang memelihara keseimbangan
cairan tubuh dan merupakan komponen yang essensial untuk
sistem pertahanan imun tubuh. Cacing hidup selama 4-6
tahun menghasilkan larva (mikroflaria) yang akan ikut dalam
sirkulasi darah (Haryuningtyas S., D. & Subekt, D.T., 2004).
Gambar 1.7
Siklus hidup cacing flariasis (W. bancrofi)
Sumber: suryapurnama.student.umm.ac.id
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
11
Penularan
Diperkirakan kurang lebih 77 spesies nyamuk dari genus
Anopheles spp, Aedes spp, Culex spp, dan Mansonia spp.
dapat mendukung perkembangan W. bancrofi, tetapi secara
alami hanya sebagian kecil yang dapat berlaku sebagai vektor.
Nyamuk Culex spp. dan Anopheles spp. merupakan vektor
utama bentuk periodik nocturnal, sedang bentuk subperiodik
ditransmisikan nyamuk Ae. polynesiensis.
Pada B. malayi, bentuk periodik nocturnal ditemukan
pada area dengan banyak sawah sedangkan bentuk sub-
periodik nocturnal ditemukan di desa terpencil, perkebunan
dan hutan-hutan disekitar sungai. Nyamuk yang menjadi
Gambar 1.8
Nyamuknyamuk yang bisa menjadi vektor penyakit flariasis
Sumber: arali2008.wordpress.com
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
12
vektor B. malayi adalah nyamuk malam dari genus Man-
sonia, Aedes dan Culex. Spesies An. barbirostris yang ber-
kembang biak pada area persawahan diketahui sebagai vek-
tor B. tmori (Haryuningtyas S., D. & Subekt, D.T., 2004).
Endemisitas di Indonesia
Filariasis dilaporkan pertama kali di Indonesia oleh
Haga dan Van Eecke pada tahun 1889. Dari ketga jenis cacing
flaria penyebab flariasis, B. malayi mempunyai penyebaran
paling luas di Indonesia. Spesies B. tmori hanya terdapat di
Indonesia Timur yaitu di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor, dan
beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur; sedangkan W.
bancrofi terdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB, dan Papua.
Gambar 1.9
Peta Endemisitas Filariasis di Indonesia Tahun 2009
Sumber: Subdit Filariasis & Schistomiasis Direktorat P2B2 (2010)
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
13
Hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah
endemis flariasis, wilayah Indonesia Timur memiliki pre
valensi lebih tnggi. Sejak tahun 2000 hingga 2009 dilaporkan
kasus kronis flariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar
di 401 kabupaten/kota. Laporan yang ditndaklanjut dengan
survey endemisitas flariasis, sampai dengan tahun 2009,
adalah 337 kabupaten/kota endemis dan 135 kabupaten/
kota nonendemis (Subdit Filariasis & Schistomiasis Direktorat
P2B2., 2010).
Di Provinsi Jawa Barat, sepanjang tahun 2004-2005
telah dilaporkan kasus flariasis lebih dari 17 kabupaten,
di antaranya adalah Bogor (5 kasus), Sukabumi (6 kasus),
Cianjur (6 kasus), Garut (7 kasus), Tasikmalaya (7 kasus),
Ciamis (7 kasus), Kuningan (4 kasus), Cirebon (4 kasus),
Majalengka (1 kasus), Subang (6 kasus), Purwakarta (5
kasus), Karawang (2 kasus), Bekasi (61 kasus), kota bekasi (18
kasus), Kota Sukabumi (4 kasus), dan kota Bandung (1 kasus)
(Haryuningtyas S., D. & Subekt, D.T., 2004).
Pencegahan dan Pengobatan
Mengeliminasi flariasis secara cepat dan ekstrim relatf
sulit dilakukan. Meskipun parasit dapat dideteksi secara
mikroskopis di dalam darah, penyebaran flariasis cukup sulit
dikendalikan karena nyamuk sebagai vektor flariasis sulit
untuk dikendalikan. Menurut Haryuningtyas, DS dan Didik
Subekt (2004), pencegahan utama yang dapat dilakukan
adalah melindungi diri dari gigitan nyamuk pada daerah
endemis. Hal ini tentunya sama dengan pencegahan beberapa
penyakit yang ditularkan oleh vektor nyamuk, semisal malaria,
chikungunya, dan DBD.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
14
Pada tahun 1993, Internatonal Task Force for Disease
Eradicaton mendeklarasikan bahwa limfatk flariasis sebagai
salah satu dari tujuh penyakit infeksi yang potensial untuk
dapat diberantas. Beberapa penelitan telah memperlihatkan
bahwa transmisi infeksi cacing flaria dapat diputuskan ketka
satu dosis obat oral kombinasi diberikan secara berkala
selama kurang lebih tujuh tahun. Dengan pengobatan yang
konsisten akan terjadi pengurangan mikroflaria, sehingga
penyakit tdak akan ditularkan, cacing dewasa akan mat dan
siklus cacing dapat diputuskan.
Oleh karena itu, strategi untuk eliminasi penularan
limfatk flariasis adalah pemberian obat masal yang dapat
membunuh mikroflaria dan menghentkan penularan parasit
oleh nyamuk pada komunitas endemis flariasis. Pemberian
obat ini dikenal dengan Pemberian Obat Massal Pencegahan
(POMP) Filariasis. Pertama kali dilakukan di Nigeria pada
tahun 2009. Pada tahun 2012 dilakukan survei pada 7.100
anak-anak dan 173 sekolah, didapat hasil yang memuaskan.
Program POMP mengombinasikan obat albendazole (donasi
oleh Glaxo Smithkline) dengan obat ivermectn (donasi
Merck & Co) untuk mengobat flariasis (Anon n.d., 2013). Di
China, flariasis telah dieliminasi menggunakan garam yang
diperkaya dengan diethylcarbamazine (DEC) (WHO, 2007).
Obat DEC menghambat metabolisme asam arachidonic pada
mikroflaria yang merusak sistem imun parasit. Pencegahan
flariasis lainnya dengan menghindari gigitan nyamuk, tdur
menggunakan kelambu berinsektsida.
Filariasis menjadi masalah kesehatan masyarakat du-
nia sesuai dengan resolusi World Health Assembly (WHA)
tahun 1997. Program eleminasi flariasis di dunia dimulai
berdasarkan deklarasi WHO tahun 2000, yaitu The Global
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
15
Goal of Eliminaton of Lymphatc Filariasis as a Public Health
Problem by the Year 2020. Program eliminasi flariasis di
Indonesia dimulai pada tahun 2002. Pada tahun 2010 telah
dilaksanakan pemetaan penyakit flariasis seluruh kabupaten/
kota di Indonesia dan didapatkan prevalensi flaria ratarata
19%. Ini berart 40 juta penduduk Indonesia bisa menderita
flariasis di masa mendatang apabila tdak dilaksanakan POMP
dan kegiatan-kegiatan yang terencana menuju eliminasi
flariasis di Indonesia tahun 2020. Diperkirakan kerugian
ekonomi mencapai 43 trilyun rupiah, jika tdak dilakukan
POMP flariasis.
Untuk mencapai eliminasi, di Indonesia ditetapkan dua
pilar yang akan dilaksanakan memutuskan rantai penularan
dengan POMP flariasis di daerah endemis; dan mencegah
atau membatasi kecacatan karena flariasis. (Pusat Data dan
Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI, 2010).
Penutup
Filariasis limfatk merupakan salah satu penyakit tropis
terabaikan tertua dan paling melemahkan; disebabkan oleh
3 spesies utama cacing flaria: W. bancrofi, B. malayi, dan B.
tmori.
Diperkirakan 120 juta manusia di 81 negara saat ini
terinfeksi dan 1,34 milyar manusia berisiko terinfeksi karena
hidup di wilayah endemis. Diperkirakan juga sekitar 40 juta
orang menderita akibat cara pandang yang salah mengenai
penyakit ini sehingga menghalangi manifestasi klinis ter-
hadap flariasis. Hal ini termasuk sekitar 15 juta orang yang
menderita limfodema (elefantasis) dan 25 juta lakilaki
yang mengalami pembengkakan urogenital (WHO, 2010). Di
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
16
Indonesia kasus flariasis telah dilaporkan terjadi di berbagai
daerah antara lain di Sumatera Selatan, Bangka Belitung,
Papua, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Tangerang, dan lebih
dari 17 Kabupaten di Jawa Barat.
Diduga lebih dari 73 spesies nyamuk dari genus
Anopheles, Aedes, Culex, dan Mansonia dapat mendukung
perkembangan cacing flaria. Pengendalian flariasis perlu
segera dilaksanakan mengingat kasusnya terus meningkat
setap tahunnya. Salah satu kontrol yang dilakukan melalui
deteksi dini pada orang di daerah endemis dan pengobatan
dengan segera bagi orang yang sudah terinfeksi.
Dafar Pustaka
Anonim, Lymphatc Filariasis Eliminaton Program. Tersedia
di htp://www.cartercenter.org/health/lf/index.html
[diakses August 6, 2013].
Haryuningtyas S., D. & Subekt, D.T., 2004. Dinamika
flariasis di Indonesia. In Lokakarya Nasional Penyakit
Zoonosis. Bogor. pp. 242250. Tersedia di: htp://digilib.
litbang.deptan.go.id/repository/index.php/repository/
download/6099/5969.
Juriastut, Puji et al. 2010. Faktor Risiko Kejadian Filariasis di
Kelurahan Jat Sampurna. Makara Kesehatan, Vol. 14,
No. 1, Juni 2010: 31-36.
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian
Kesehatan RI, 2010. Buletn Jendela Epidemiologi:
Filariasis di Indonesia. Volume 1 Juli 2010.
Subdit Filariasis & Schistomiasis Direktorat P2B2, 2010.
Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis
di Indonesia, Jakarta: Ditjen PP & PL Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
17
WHO, 2007. Bulletn of The World Health Organizaton.
Volume 85, Number 7, July 2007, 501-568.
WHO, 2010. Progress report 2000-2009 and strategic plan
2010-2020 of the global programme to eliminate
lymphatc flariasis: halfway towards eliminatng
lymphatc flariasis.
WHO. Lymphatc Filariasis (internet) 2008 [diakses 15 Agustus
2013]. Tersedia di: htp://www.who.com.
Wikipedia. Filariasis (internet) 2013 [diakses 2 Juli 2013].
Tersedia di htp://en.wikipedia.org.
19
Bab2
EPIDEMIOLOGI FILARIASIS
Endang Puji Astut
Mara Ipa
Pendahuluan
Filariasis atau kaki gajah merupakan penyakit tular
vektor yang disebabkan oleh cacing flaria dengan perantara
nyamuk. Penyakit ini hampir tersebar di semua pulau besar
di Indonesia, penyakit ini awalnya banyak ditemukan di
daerah terisolir, namun saat ini sudah banyak di laporkan di
daerah perkotaan (urban). Di daerah tropis dan subtropis,
kejadian flariasis meningkat, diantaranya disebabkan oleh
perkembangan kota sehingga menimbulkan perkembangbiak-
an nyamuk vektor (Depkes, RI., 2008).
Secara epidemiologis, flaria terjadi karena ada interaksi
antara hospes/host defnitve, yaitu manusia, dan hospes/
host reservoir, nyamuk yang membawa cacing flaria serta
lingkungan yang mendukung kelangsungan hidup vektor.
Filariasis ditularkan oleh nyamuk vektor, baik dari genus
Aedes, Culex, Armigeres, Anopheles dan Mansonia melalui
gigitan nyamuk yang membawa cacing flaria infektf
(mikroflaria) dari orang yang sakit/terdapat mikroflaria dalam
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
20
darahnya ke orang yang sehat/tdak terdapat mikroflaria.
Cacing flaria penyebab flaria di Indonesia terdiri dari dua
genus yaitu Wuchereria dan Brugia. Host yang terinfeksi
mikroflaria tdak selalu menimbulkan gejala, penyakit ini
merupakan penyakit kronis (menahun) dengan gejala umum
adalah terjadinya pembengkakan (edema). Walaupun tdak
mematkan, penyakit ini menimbulkan masalah stgma sosial
dan psikologis penderita.
Pengamatan terhadap penularan flariasis terkait de
ngan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah host (ma-
nusia), agent (mikroflaria), nyamuk vektor, lingkungan serta
faktor-faktor risiko lainnya perlu dilakukan untuk kegiatan pe-
ngendalian serta penurunan kasus flariasis.
Penyebaran Filariasis di Jawa Barat
Di Indonesia, flariasis hampir menyebar di seluruh
provinsi. Berdasarkan data tahun 2000, tercatat bahwa fla
riasis tersebar di 1553 desa, di 231 kabupaten, 26 provinsi
sebagai wilayah endemis. Hasil survei darah jari (SDJ) meng-
hasilkan microflaria rate (Mf rate) sebanyak 3,1%. Dapat
disimpulkan bahwa sebanyak 6 juta orang telah terinfeksi
dan sekitar 100 juta orang mempunyai risiko tnggi untuk
tertular (WHO, 2000). Kasus flariasis mengalami peningkatan
mulai dari tahun 2000 2009 dilaporkan kasus klinis flariasis
sebanyak 11.914 kasus pada tahun 2009 yang tersebar di
308 kabupaten/kota di 33 provinsi endemis (Gambar 2.1).
Berdasarkan kondisi tersebut, diestmasikan bahwa prevalensi
microflaria rate (Mf rate) sebesar 19%, dengan prevalensi
tertnggi adalah wilayah Indonesia bagian tmur (Anonim,
2010).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
21
Gambar 2.1
Kasus Klinis Filariasis di Indonesia Tahun 2000 2009
Sumber: Ditjen PP dan PL, Depkes RI., 2009
Pada tahun 2009, kasus flariasis di Provinsi Jawa Barat
merupakan tertnggi keenam dengan 474 kasus dan paling
tnggi dibandingkan provinsi lain di Pulau Jawa (Gambar 2.2.).
Sampai tahun 2010 terdapat 11 kabupaten/ kota endemis
dengan Mf rate yang bervariasi antara 1,0 % - 5,25 %, yaitu
Kabupaten Subang, Karawang, Purwakarta, Bekasi, Bogor,
Tasikmalaya, Kuningan, Bandung, Kota Bekasi, kota Bogor, dan
Kota Depok. Sedangkan jumlah kumulatf kasus kronis pada
periode tahun 2002 sampai dengan bulan Juni 2013, tercatat
886 penderita dengan jumlah kematan 51 orang, tersebar di
25 kabupaten/kota meliput 135 kecamatan dan 221 desa/
kelurahan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2012).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
22
Gambar 2.2
Jumlah Penderita Filariasis per Provinsi di Indonesia Tahun 2009
Sumber: Ditjen PP dan PL, Depkes RI., 2009
Kasus kronis flaria dan kematan tertnggi tahun sampai
Juni tahun 2013 adalah di Kabupaten Sukabumi, kemudian
Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Bekasi
mempunyai jumlah kasus yang sama dan berada di urutan
ketga tertnggi di Provinsi Jawa Barat. Kasus klinis dengan
Microflaria rate (Mf rate) positf sudah tdak ditemukan di 25
kabupaten Provinsi Jabar pada tahun 2010 - 2013, sedangkan
Mf rate positf tahun 2009 hanya ditemukan di dua lokasi
yaitu kabupaten Bandung (1,16%) dan Kuningan (1,75%)
(Tabel 2.1).

Mengenal Filariasis di Jawa Barat
23
Gambar 2.3
Distribusi Kasus Kronis dan Kematan Filariasis
di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013
Sumber : Data kasus Filariasis Dinas Kesehatan Provinsi Jabar
Kasus klinis periode tahun 1999 2008 hasil SDJ,
ditemukan di 12 wilayah dari 25 kabupaten/kota di Jawa
Barat.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
24
Gambar 2.4
Distribusi Kasus Positf Microflaria Per Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Barat per tahun, 1999 - 2005
Sumber: Laporan Filariasis Dinkes Provinsi Jabar
Berdasarkan data kasus flariasis tahun 1999 2005,
ditemukan 10 kabupaten/kota yang positf microflaria. Survey
sediaan darah jari (SDJ) di Kota Bekasi tap tahun menemukan
positf microflaria, sedangkan di kabupaten Bekasi, Cianjur,
Bogor, Tasikmalaya, Karawang, Purwakarta, Kota dan
Kabupaten Bogor hanya ditemukan satu kali di periode tahun
1999 2005. Beberapa kabupaten/kota yang sebelumnya
belum ditemukan kasus flariasis, pada tahun 2006 2010
ditemukan positf, yaitu: Kabupaten Bandung, Majalengka
dan Kuningan, sedangkan Kabupaten Cianjur ditemukan
positf lagi di periode tahun 2006 2010. Pemeriksaan SDJ di
beberapa kabupaten/kota Jawa Barat yang dilakukan setelah
tahun 2010, hasilnya adalah negatf mikroflaria.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
25
Gambar 2.5
Distribusi Kasus Positf Mikroflaria per Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Barat, 2006 - 2010
Sumber: Laporan Filariasis Dinkes Provinsi Jabar
Transmisi Filariasis
Penularan atau transmisi flariasis/kaki gajah dapat
terjadi apabila ada interaksi tga faktor, antara lain sebagai
berikut.
Host 1) atau sumber penularan, yakni manusia atau hospes
reservoir yang mengandung mikroflaria dalam darahnya
dan manusia yang rentan.
Vektor, yaitu nyamuk yang mempunyai kapasitas sebagai 2)
vektor untuk menularkan mikroflaria infektf ke manusia
rentan (host).
Agent, 3) yaitu mikroflaria yang infektf.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
26
WHO menyatakan seseorang dapat tertular atau
terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut digigit
nyamuk yang infektf yaitu nyamuk yang mengandung larva
cacing mikroflaria (mf) stadium III (L
3
). Nyamuk menjadi
infektf karena mengisap darah penderita yang mengandung
mikroflaria atau binatang reservoir yang juga mengandung
mikroflaria. Penularan kaki gajah berbeda dengan penularan
penyakit tular vektor lainnya, sepert: malaria, demam
berdarah dengue (DBD), atau chikungunya. Seseorang dapat
terinfeksi/sakit kaki gajah apabila orang tersebut mendapat
gigitan dari nyamuk vektor infektf sampai ribuan kali.
Siklus penularan penyakit kaki gajah melalui dua tahap,
yaitu:
perkembangan dalam tubuh nyamuk vektor, 1)
perkembangan dalam tubuh manusia 2) (hospes) dan
reservoir.
Dengan demikian manusia atau hewan yang mengan-
dung mikroflaria merupakan sumber penularan penyakit.
Perkembangan dalam tubuh nyamuk vektor (ekstrinsik)
Pada saat nyamuk vektor mengisap darah penderita fla
riasis, beberapa mikroflaria akan ikut terhisap bersama darah
dan masuk ke dalam lambung nyamuk. Beberapa saat setelah
berada dalam lambung nyamuk, mikroflaria yang bersarung
akan melepaskan sarungnya kemudian dalam waktu satu jam
akan menembus dinding lambung nyamuk dan bermigrasi ke
dalam otot dada atau thorax nyamuk (Anonim, 2012).
Dalam thorax, mikroflaria menjadi lebih pendek dan
gemuk dibandingkan dengan larva yang ada di lambung, dan
disebut larva stadium 1 (L
1
). Ukurannya berkisar antara 244
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
27
- 296 m x 7.5 - 10 m (Anonim, 2012). Larva stadium 1
selanjutnya akan bergant kulit dan berkembang menjadi
larva stadium 2 (L
2
) yang ukurannya 200 - 300 m x 15 30
m (Depkes, 2006). Larva stadium 2 ini juga akan bergant
kulit lagi dan berkembang menjadi larva stadium 3 (L
3
) yang
merupakan larva infektf yang aktf dan akan bermigrasi ke
dalam proboscis nyamuk.
Pada saat nyamuk infektf mengisap darah manusia
untuk kebutuhan pematangan telurnya, larva cacing L
3
akan
jatuh atau keluar dari probosis dan tnggal beberapa saat di
kulit sekitar lubang tusukan nyamuk. Nyamuk yang telah
mengisap darah manusia akan menarik proboscis, kemudian
larva cacing L
3
merayap masuk melalui luka bekas gigitan
nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe manusia
(Anonim, 2012). Masa inkubasi ekstrinsik spesies W. bancrofi
antara 10 - 14 hari, sedangkan B. malayi dan B. tmori antara
8 - 10 hari (Depkes RI, 2006).
Perkembangan dalam tubuh manusia (intrinsik)
Larva cacing L
3,
selanjutnya bergerak menuju sistem
limfe dan tnggal dalam waktu 9 10 hari. Selanjutnya akan
bergant kulit dan berkembang menjadi larva stadium 4
(L
4
) yang merupakan stadium larva paling akhir, yang akan
berkembang menjadi cacing dewasa atau makroflaria
atau larva stadium 5 (L
5
). Cacing dewasa betna berukuran
dengan panjang 80 - 100 mm dan diameter 0.24 - 0.30 mm,
sedangkan ukuran yang jantan panjang sekitar 40 mm dan
diameter 0.1 mm (Anonim, 2012).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
28
Gambar 2.6
Siklus Penularan Filariasis (Wuchereria bancrofi)
Sumber: Centers for Disease Control and Preventon World Health Organizaton
(CDC-WHO) (www.cdc.gov)
Stadium larva 3 (L3) mikroflaria disebut stadium imma-
ture. Perkembangan dari stadium immature sampai menjadi
dewasa membutuhkan waktu sangat lama, sekitar 6 12
bulan. Cacing dewasa dapat bertahan hidup di dalam tubuh
manusia serta berkembang biak 5 10 tahun. Apabila dalam
saluran limfe terdapat cacing betna dan jantan, akan terjadi
perkawinan. Setelah kopulasi, cacing betna secara periodik
menghasilkan mikroflaria. Satu cacing betna dewasa akan
menghasilkan kurang lebih 30.000 mikroflaria setap harinya
(Depkes RI, 2006). Mikroflaria tdak hidup dalam saluran
atau kelenjar limfe, tetapi akan bermigrasi ke dalam saluran
darah dan saluran darah tepi (Anonim, 2012). Mikroflaria
yang beredar di saluran darah tepi akan terisap kembali oleh
nyamuk vektor dan akan ditularkan ke manusia lainnya.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
30

bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe
manusia (Anonim, 2012).


Perkembangan dalam tubuh manusia (intrinsik)
Larva cacing L
3,
selanjutnya bergerak menuju
sistem limfe dan tinggal dalam waktu 9 - 10 hari.
Selanjutnya akan berganti kulit dan berkembang menjadi
larva stadium 4 (L
4
) yang merupakan stadium larva paling
akhir, yang akan berkembang menjadi cacing dewasa atau
makrofilaria atau larva stadium 5 (L
5
). Cacing dewasa
betina berukuran dengan panjang 80 - 100 mm dan
diameter 0.24 - 0.30 mm, sedangkan ukuran yang jantan
panjang sekitar 40 mm dan diameter 0.1 mm (Anonim,
2012). Masa inkubasi ekstrinsik spesies W. bancrofti antara
10 - 14 hari, sedangkan B. malayi dan B. timori antara 8 -
10 hari (Depkes RI, 2006).









Mengenal Filariasis di Jawa Barat
29
Agent
Cacing kecil penyebab flariasis termasuk dalam cacing
nematoda. Di dunia, sebagian besar kasus flariasis dise
babkan oleh cacing W. bancrofi (90%), kemudian B. Malayi,
dan B. tmori (Das et al. 2002). Agent flariasis di Indonesia
juga terdiri atas tga jenis cacing tersebut (Haryuningtyas
et al. 2013). Cacing W. bancrofi banyak ditemui di daerah
tropis seluruh dunia, B. malayi terbatas di Asia sedangkan
B. tmori terbatas di beberapa kepulauan Indonesia. Di Jawa
Barat, ditemukan dua agent flariasis yaitu W. bancrofi dan B.
malayi, tetapi yang dominan ditemukan adalah W. bancrofi
(Rusmartni et al. 2008).
Dari hasil SDJ di 22 kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Barat yang terdapat penderita kronis flariasis, spesies
mikroflaria positf yang ditemukan tahun 1999 sampai tahun
2008 adalah W. bancrofi dan tdak menemukan spesies
mikroflaria lainnya. Di Kabupaten Cianjur, Mf rate kurang dari
1%, maka belum dinyatakan sebagai daerah endemis. Jumlah
kumulatf kasus klinis positf mikroflaria hasil SDJ, tertnggi di
Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, kemudian di Kabupaten
Subang dan Kabupaten Kuningan (Gambar 2.7). Di wilayah
ini sudah dilakukan pengobatan massal, kecuali Kabupaten
Kuningan pengobatan hanya dilakukan selektf pada penderita
dan masyarakat sekitar penderita.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
30
Gambar 2.7
Distribusi Positf Mikroflaria
di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013
Sumber: Data Kasus Filariasis Dinas Kesehatan Jawa Barat Tahun 2013
Ukuran tubuh mikroflaria W. bancrofi yang banyak
ditemukan di Jawa Barat, lebih besar dibandingkan Brugia
malayi dan B. tmori yaitu 244 296 M dan 7,5 10
M, ekornya berbentuk pita dan mengerucut. Int sel di
tubuh cacing tergambar jelas dan mudah dihitung secara
mikroskopis, namun cacing ini tdak mempunyai int sel di
ekornya (McCarthy, James. 2000).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
31
Gambar 2.8
Morfologi Wuchereria bancrofi
Sumber: www.stanford.edu. (Lymphatc Filariasis Introducton)
Morfologi cacing W. bancrofi dewasa berbentuk silin-
dris, halus sepert benang dan berwarna puth susu. Cacing
flaria dewasa atau yang lebih dikenal makroflaria, baik yang
jantan maupun betna, hidup pada saluran dan kelenjar limfe.
Makroflaria betna ukurannya kurang lebih dari 65100 mm x
0.25 mm, sedangkan makroflaria jantan ukurannya 40 mm x
0,1 mm. Makroflaria betna akan mengeluarkan larva flaria
yang disebut mikroflaria yang bersarung dengan ukuran
berkisar antara 250-300 m x 7-8 m (Spicer, W.J. 2000).
Berbeda dengan induknya, mikroflaria hidup pada aliran
darah, dan pada waktu-waktu tertentu ditemukanpada aliran
darah tepi, sehingga mikroflaria ini memiliki periodisitas
tertentu. Umumnya, periodisitas mikroflaria W. bancrofi di
Jawa Barat adalah nokturna atau malam hari, artnya mikro
flaria hanya terdapat dalam peredaran darah tepi pada
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
32
malam hari. Pada siang hari mikroflaria berada pada kapiler
kapiler organ dalam sepert paruparu, jantung, ginjal dan
lain-lain. Namun, di beberapa wilayah W. bancrofi juga
bersifat diurnal (siang hari) (McCarthy, James. 2000).

Host
Di dalam darah manusia terdapat mikroflaria. Artnya,
manusia rentan tertular flariasis. Tidak semua manusia/
individu yang terinfeksi mikroflaria menunjukkan gejala
klinis, walaupun dalam tubuhnya telah terjadi perubahan
patologis. Proses penularan flariasis membutuhkan waktu
yang lama dengan kemungkinan tertular/terkena infeksi kecil,
tetapi keberadaan seseorang di daerah endemis dalam waktu
yang lama akan memperbesar risiko penularan. Berikut ini
beberapa faktor determinan yang mempengaruhi terjadinya
penularan pada manusia.
Sosiodemograf
Faktorfaktor sosiodemografs dapat mempengaruhi pe
nularan flariasis. Berikut ini adalah faktorfaktor tersebut.
Jenis kelamin 1.
Dalam penelitan Juriastut et al. 2010 di Depok Jawa
Barat, jenis kelamin laki-laki mempunyai risiko penularan
4,7 kali lebih besar dibandingkan wanita. Hasil ini sejalan
dengan penelitan terhadap kejadian flariasis di Indonesia
yang menunjukkan penderita flariasis lebih banyak
berjenis kelamin laki-laki (Santoso et al, 2010). Hal ini
terkait dengan perilaku masyarakat baik aktvitas maupun
mobilitas, lakilaki lebih sering melakukan aktvitas di
luar rumah pada malam hari sepert melakukan kegiatan
ronda, pengajian, serta mempunyai mobilitas yang tnggi.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
33
Kondisi sepert ini mendukung terjadinya kontak antara
nyamuk vektor dengan manusia.
Umur 2.
Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur.
Berdasarkan analisa lanjut Riskesdas tahun 2007 terhadap
967 penderita flariasis di Indonesia, proporsi umur
terbanyak adalah 31 - 46 tahun, sebanyak 256 orang
(26,7%).
Pekerjaan 3.
Kegiatan aktf yang dilakukan pada malam hari ketka
nyamuk aktf mencari pakan darah mempunyai risiko
yang tnggi terhadap penularan flariasis. Penelitan di
Pekalongan tahun 2006 melaporkan bahwa pekerjaan
pada malam hari mempunyai korelasi dengan kejadian
flariasis (p = 0,003) (Febrianto et al, 2006).
Pendidikan 4.
Variabel ini tdak mempunyai pengaruh langsung ter hadap
kejadian flariasis. Berdasarkan penelitan yang dilakukan
Nasrin (2008), dapat dikatakan bahwa pendidikan
memengaruhi jenis pekerjaan, pengetahuan, sikap dan
perilaku (PSP) seseorang.
Tindakan/Praktk
Tindakan merupakan bagian dari perilaku. Dalam kasus
penyakit tular vektor sepert flariasis, tndakan berkaitan
dengan kebiasaan keluar rumah pada malam hari. Hasil
penelitan menunjukkan responden yang memiliki kebiasaan
keluar rumah pada malam hari memiliki peluang 5,4 kali
lebih besar untuk menderita penyakit flariasis (Juriastut et
al. 2010). Hal ini terkait bionomik nyamuk vektor yaitu Cx.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
34
quinquefasciatus, sepert penelitan yang dilakukan Astut
et al., 2012 di desa Jalaksana Kabupaten Kuningan, yang
memperoleh hasil bahwa puncak kepadatannya hasil umpan
orang dalam dan luar terjadi pada pukul 23.00 dan 01.00
- 02.00 dengan nilai MHD 0,014. Oleh sebab itu, responden
yang memiliki kebiasaan untuk keluar pada malam hari lebih
berisiko dibandingkan dengan responden yang tdak memiliki
kebiasaan tersebut.
Upaya masyarakat untuk menghindari atau memutus
kontak dengan nyamuk vektor juga mempunyai pengaruh
terhadap kejadian flariasis, antara lain sebagai berikut.
Pemakaian kelambu sangat efektf untuk mencegah 1)
kontak dengan nyamuk. Hasil penelitan yang dilakukan
oleh Anshari (2004), menyatakan bahwa kebiasaan tdak
menggunakan kelambu waktu tdur sebagai faktor resiko
kejadian flariasis (OR= 8,09) (Nasrin, 2008).
Pemakaian kawat kassa yang dipasang di bagian ventlasi 2)
rumah berfungsi untuk mencegah nyamuk masuk ke
dalam rumah sehingga terhindar dari gigitan nyamuk
sehingga mengurangi risiko terkena flariasis (Febrianto,
2006).
Penggunaan insektsida sepert obat ant nyamuk dapat 3)
membunuh atau mengurangi populasi nyamuk sedangkan
penggunaan losio ant nyamuk, dapat mngurangi kontak
atau menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor.
Menurut Febrianto (2006), diketahui bahwa kebiasaan
tdak menggunakan obat ant nyamuk malam hari ada
hubungan dengan kejadian flariasis (p= 0,004) (Rufaidah,
2004).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
35
Vektor
Nyamuk vektor flariasis W. bancrofi, berbeda genus
dan spesies di beberapa wilayah dan tergantung pada
geografsnya. Nyamuk vektor di dunia yang telah dite
mukan diantaranya adalah Culex (Cx. annulirostris, Cx.
bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, dan Cx. pipiens);
Anopheles (An. arabinensis, An. bancrofi, An. faraut, An.
funestus, An. gambiae, An. koliensis, An. melas, An. merus,
An. punctulatus dan An. wellcomei); Aedes (Ae. aegypt,
Ae. aquasalis, Ae. bellator, Ae. cooki, Ae. darlingi, Ae. kochi,
Ae. polynesiensis, Ae. pseudoscutellaris, Ae. rotumae, Ae.
scapularis, dan Ae. vigilax); Mansonia (Ma. pseudottllans,
Ma. uniformis); Coquilletdia (C. juxtamansonia) (Anonim,
2012).
Nyamuk vektor yang telah teridentfkasi di Indonesia,
sebanyak 23 spesies antar lain: Mansonia (Ma. uniformis,
Ma. indiana, Ma. dives, Ma. bonneae, Ma. annulifera,
Ma. annulata, Ma. dives, Ma. nigerimus), Anopheles (An.
nigerimus, An. subpictus, An. barbirostris, An. aconitus, An.
vagus, An. dives, An. maculatus, An. faraut, An. koliensis, An.
punctulatus, An. bancrofi), Culex (Cx. quinquefasciatus, Cx.
annulirostris, Cx. whitmorei, Cx.bitaeniorhynchus), Aedes (Ae.
subalbatus) dan Armigeres (Depkes, 2006).
Nyamuk Anopheles spp. yang teridentfkasi sebagai
vektor W. bancrofi termasuk tpe pedesaan, sedangkan
Cx. quinquefasciatus merupakan vektor tpe perkotaan.
Nyamuk Mansonia merupakan vektor B. malayi, sedangkan di
Indonesia bagian tmur, nyamuk vektor yang pentng adalah
Mansonia dan An. barbirostris. Beberapa spesies Mansonia
dapat menjadi vektor B. malayi tpe subperiodik nokturna.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
36
Nyamuk An. barbirostris merupakan vektor pentng B. tmori
yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku
Selatan

(Depkes RI, 2006).
Nyamuk vektor di Provinsi Jawa Barat adalah Cx.
quinquefasciatus dan Ma. indiana (Depkes, 2006). Nyamuk
Ma. Indiana juga ditemukan dalam penelitan Hoedojo et al.
(1972), yang mempelajari penyakit kaki gajah selama kurang
lebih 10 tahun (1960 1970) di pedesaan Banten, yaitu desa
Kresek. Tempat pengembangbiakan larva yang ditemukan di
desa tersebut adalah rawarawa seluas 125 hektar. Penelitan
Dharma et al. 2004 di desa Margamulya Tangerang juga
berhasil menemukan tga spesies Mansonia antara lain: Ma.
indiana, Ma. Longipalpis, dan Ma. uniformis. Wilayah Banten
masih dilaporkan sebagai wilayah Provinsi Jawa Barat. Pada
saat penelitan tersebut, Banten belum menjadi provinsi
tersendiri.
Penelitan di desa Jalaksana Kabupaten Kuningan
Jabar, mendapatkan populasi nyamuk terbanyak di luar
maupun di dalam rumah adalah Cx. sitens, kemudian Cx.
quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus. Penelitan dila-
kukan di daerah yang terdapat penderita kronis, dengan
kondisi pemukimannya padat dan dekat dengan jalan
utama dan merupakan tpe perkotaan. Sedangkan di Desa
Panumbangan Kabupaten Ciamis yang merupakan tpe
pedesaan, nyamuk yang tertangkap sebanyak 9 spesies (666
nyamuk), spesies yang dominan adalah Cx. sitens (386 ekor)
dan Cx. tritaeniorhynchus (222 ekor). Hasil pembedahan
nyamuk secara massal maupun individu, tdak ditemukan
adanya mikroflaria (negatf) (Astut et al., 2012).
Berdasarkan literatur Depkes RI, nyamuk Cx. sitens
belum ditentukan sebagai vektor flariasis, namun karena
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
37
berjumlah dominan dan ada penderita flariasis, nyamuk
tersebut dikategorikan sebagai tersangka vektor. Selain dite-
mukan di Ciamis dan Kuningan, berdasarkan penelitan ten
tang populasi nyamuk oleh Nusa et al. 2007, nyamuk Cx.
sitens juga ditemukan di Kabupaten Bekasi yang merupakan
wilayah endemis flariasis.
Gambar 2.9
Larva Culex spp.
Sumber: htp://medent.usyd.edu.au/arbovirus/mosquit/photos/culex_
quinquefasciatus_larvgroup.jpg
Periodisitas mikroflaria dan perilaku nyamuk mengisap
darah berpengaruh terhadap risiko penularan sehingga untuk
memberantas vektor flariasis, perilaku vektor harus diketahui
meliput perilaku reproduksi, menggigit, dan istrahat
(Nutman dan Waller, 2000).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
38
Gambar 2.10
Nyamuk Culex quinquefasciatus
Sumber: apni-news.blogspot.com
Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap penularan
flariasis. Daerah endemis W. bancrofi tpe perkotaan
(urban) adalah daerah perkotaan yang kumuh, padat pen-
duduk dan banyak terdapat genangan air kotor sepert
saluran pembuangan air limbah terbuka yang dapat
dijadikan sebagai habitat nyamuk Cx. quinquefasciatus.
Kondisi lingkungan tpe pedesaan (rural) secara umum yang
cocok untuk perkembangbiakan vektor W. bancrofi adalah
perkebunan, hutan rawa, sepanjang sungai atau badan
air lain yang ditumbuhi tanaman air (Depkes RI, 2006).
Keadaan lingkungan, sepert daerah hutan, persawahan,
rawa-rawa yang sering ditumbuhi tumbuhan air dan saluran
air limbah dan parit adalah salah satu habitat yang baik
untuk pertumbuhan nyamuk spesies tertentu (Sigit SH dan
Hadi UK, 2006). Penelitan lain oleh Astut et al, 2012 yang
melaksanakan survei tempat perkembangbiakan nyamuk di
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
39
dua lokasi di Provinsi Jawa Barat, melaporkan bahwa lokasi
yang berisiko sebagai tempat perkembangbiakan vektor
flariais yaitu di Desa Panumbangan Kabupaten Ciamis adalah
persawahan, kolam, dan sungai; sedangkan di Desa Jalaksana
Kabupaten Kuningan adalah kolam terbengkalai dan selokan
terbuka sekitar rumah penduduk.
Lingkungan fsik berpengaruh terhadap munculnya
tempat perkembangbiakan dan beristrahatnya nyamuk
(Notoatmodjo S., 1997). Hasil penelitan di Kabupaten Bekasi
menunjukkan adanya hubungan bermakna antara konstruksi
plafon, keberadaan kawat kassa, dan barang-barang ber-
gantung dengan kejadian flariasis (Juriastut et al, 2010).
Sedangkan lingkungan pemukiman berpengaruh terhadap
terjadinya penularan flariasis.
Analisis riskesdas oleh Santoso et al. menunjukkan
sebagian besar penderita flariasis (39,2%), tdak memiliki
tempat penampungan air limbah, jadi hanya dibuang/
mengalir begitu saja di pekarangan dan dibiarkan terbuka.
Kondisi ini dapat meningkatkan munculnya tempat
perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga meningkatkan
risiko terjadinya penularan flariasis karena jaraknya ke
pemukiman kurang dari 100 meter yang masih dalam
jangkauan terbang nyamuk, karena sesuai dengan teori
bahwa nyamuk pada umumnya mempunyai daya terbang
sejauh 50 - 100 meter.

Mengenal Filariasis di Jawa Barat
40
Gambar 2.11
Breeding Places Nyamuk di Desa Panumbangan, Kabupaten Ciamis
Sumber: Astut et al., 2012
Gambar 2.12.
Breeding Places Nyamuk di Desa Jalaksana, Kabupaten Kuningan
Sumber: Astut et al., 2012
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
41
Penutup
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan secara
epidemiologi bahwa penularan flariasis di Provinsi Jawa
Barat merupakan interaksi dari multfaktor. Faktor risiko yang
ditemukan di Jawa Barat dan mendukung terjadinya kasus
flariasis adalah host (manusia) positf mikroflaria, agent (W.
bancrofi), nyamuk vektor (Cx. quinquefasciatus), dan faktor
lingkungan sekitar tempat tnggal (rawa, kolam terbengkalai,
persawahan, selokan terbuka, dan sungai). Di samping itu,
jumlah kasus flariasis di Jawa Barat didukung oleh perilaku
masyarakat yang berisiko, sepert: kebiasaan keluar pada
malam hari, tdur tanpa kelambu, tdak menggunakan kawat
kasa pada ventlasi rumah, dan tdak menggunakan repellent
atau insektsida.
Dafar Pustaka
Anonim. 2010. Filariasis di Indonesia [Topik Utama]. Buletn
Jendela Epidemiologi. Vol. I Juli 2010 hal. 1 - 8. ISSN 2087
1546. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi.Kementerian
Kesehatan RI.
Anonim. 2012. Filariasis. [Last modifed: 10/05/2012 00:58:21].
www.dpd.cdc.gov/.../Filariasis/
Anshari, Rudi. 2004. Analisis Faktor Risiko Kejadian Filariasis di
Dusun Tanjung Bayur Desa Sungai Asam Kecamatan Sungai
Raya Kabupaten Pontanak. [Tesis]. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Febrianto, Bagus, Asri Maharani, Sapto P, Widiart. 2006. Studi
Faktor Resiko Filariasis Di Desa Sambirejo Kecamatan Tirto
Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah. Bulletn of Health
Research. DOAJ. 2012 Volume 36 issue 2 Juni.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
42
Astut, Endang Puji, Mara Ipa, Tri Wahono, M. Umar Riandi. 2012.
Faktorfaktor yang Mempengaruhi Filariasis di Daerah
Endemis Provinsi Jawa Barat dan Banten (Gambaran
Epidemiologi Filariasis di Kabupaten Ciamis, Kabupaten
Kuningan dan Kabupaten Serang). [Laporan Penelitan]. Loka
Litbang P2B2 Ciamis.
Das, P.K., S.P. Pani and K. Krishnamoorthy. 2002. Prospects of
Eliminaton of lymphatc Filariasis in India. Indian Council
Med. Res. 32: 5-6.
Depkes RI. 2006. Epidemiologi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) di
Indonesia. Ditjen PP & PL. Jakarta. DEPKES RI.
Depkes RI. 2008. Pedoman Program Eliminasi Filariasis. Direktorat
Jenderal PPM & PL. DEPKES RI. Jakarta.
Dharma, Wirya, Hoedojo et al. 2004. Survei Nyamuk di Desa Marga
Mulya, Kecamatan Mauk Tangerang. J. Kedokteran Triksakt.
April Juni 2004 ; Vol. 23 No. 2.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2012. Situasi P2 Filariasis
Provinsi Jawa Barat tahun 2007 - 2011. Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Barat. Bandung. Kemenkes RI.
Haryuningtyas, Dyah dan Subekt, Didik. Dinamika Filariasis.
[Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis]. [disitasi Mei 2013].
Balai Penelitan Veteriner Bogor. www.digilib.litbang.deptan.
go.id/
Hoedojo, Oemijat S. Environmental control of the vektor of
malayan flariasis in Kresek, West Java. Vektor Control in
Southeast Asia. Proceedings of the First SEAMEO Workshop
Singapore. 1972: August 17 - 18: 176 82.
Juriastut, Puji et al. 2010. Faktor Risiko Kejadian Filariasis di
Kelurahan Jat Sampurna. Makara Kesehatan, Vol. 14, No. 1,
Juni 2010: 31 - 36.
Maharani, Asri., Bagus Febrianto et al. 2006. Studi Faktor Risiko
Filariasis di Desa Sambirejo, Kecamatan Tirto Kabupaten
Pekalongan Jateng. [Laporan Risbinkes]. BPVRP Salatga.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
43
McCarthy, James. 2000. Diagnosis of Lymphatc Filarial Infectons.
Bab 6 hlm. 133. dalam Nutman, Thomas B. Lymphatc
Filariasis. Tropical Medicine: Science and Practce.
Nasrin. 2008. Faktor-faktor Lingkungan dan Perilaku yang
Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Bangka
Barat. [Tesis]. Program Pasca Sarjana Kesehatan Lingkungan.
Universitas Diponegoro Semarang.
Notoatmodjo S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta.
Nusa, Roy RES. 2007. Populasi Nyamuk yang Berpotensi sebagai
Vektor Japanese Encephalits di Kabupaten Bekasi Jawa
Barat. Inside. Vol. II No. 2/Des. 2007. Loka Litbang P2B2
Ciamis. Balitbangkes Kemenkes RI.
Nutman dan Waller, 2001. Lymphatc Filariasis. Tropical Medicine:
Science and Practce. Imperial College Press, 2000 : 283 hal.
Oemijat S Kurniawan A. Epidemiologi Filariasis dalam
Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W (penyuntng)
Parasitologi Kedokteran. Edisi 3. Jakarta. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI, 2006. H 42 44.
Rufaidah, Y. Hubungan Lingkungan Rumah danKarakteristk
Responden yang Berhubungan dengan Kejadian flariasis di
Wilayah KerjaPuskesmas Bantar Gebang II Kota Bekasi Tahun
2004. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia, Indonesia, 2004.
Rusmartni, Tinni dan Yuliantna, Fitri. 2008. Prevalence Study of
Re-Emerging Lymphatc Filariasis in West Java Indonesia.
Departmen Parasitology. Universitas Padjadjaran. Bandung.
Proc ASEAN Congr Trop Med Parasitol. 2008; 3: 125 - 9.
Santoso, Aprioza Yenni, Rika Mayasari. 2010. Faktor Risiko Kejadian
Penyakit Filariasis pada Masyarakat di Indonesia. Buletn
Spirakel. Loka Litbang P2B2 Baturaja. ISSN 2086-1346.
Sigit SH, Hadi UK, Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi
dan Pengendalian. Fakultas Kedokteran Hewan, Insttut
Pertanian Bogor. 2006: 27 - 33.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
44
Spicer, W.J. 2000. Tissue Nematodes. In: Clinic al Bacteriology,
Mycology, and Parasitology. Churchill Livingstone: London.
WHO. 2000. Lymphatc Filariasis. World Health Organizaton (WHO)
mediacentre. htp://www.who.int/mediacentre/
WHO. Lymphatc Filariasis. [disitasi Mei 2013]. www.who.int/
lymphatc_flariasis.
45
Bab3
UPAYA PENCEGAHAN &
PENGENDALIAN FILARIASIS
Tri Wahono
M. Umar Riandi

Pendahuluan
Pemberantasan suatu penyakit perlu dilakukan apabila
mempunyai dampak yang jelas, misalnya mempunyai angka
kematan yang tnggi, angka kesakitan dan prevalensi yang
tnggi, dapat menyebar dengan cepat dan menimbulkan
wabah, serta menimbulkan kerugian yang besar. Filariasis
adalah penyakit yang tdak menyebabkan kematan, tapi
menyebabkan penderitaan dan kerugian yang besar karena
penderita menjadi tdak produktf akibat kecacatan permanen
(Oemijat, 1990).
Pencegahan flariasis merupakan upaya mencegah
penularan dengan menghindarkan dari gigitan nyamuk
yang membawa larva cacing flaria. Dapat dilakukan dengan
pemberantasan parasit pada semua hospes (menghilangkan
agent penyakit), pengendalian vektor, pengendalian hospes
reservoir serta manajemen lingkungan.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
46
Pemberantasan Parasit pada Semua Hospes
Pengobatan seluruh hospes yang mengandung parasit,
selain untuk menyembuhkan infeksi, juga untuk memberantas
parasit sehingga tdak menjadi sumber penularan. Tapi untuk
mencapai seluruh hospes sangat sulit dilakukan karena
lingkupnya yang sangat luas. Upaya yang dapat dilakukan
adalah pengobatan massal terhadap semua hospes yang
berpotensi.
Program eliminasi flariasis di dunia dimulai berdasarkan
deklarasi WHO tahun 2000. Di Indonesia, untuk mencapai
eliminasi flariais, ditetapkan dua pilar kegiatan yaitu memu
tuskan rantai penularan dengan pemberian obat massal
pencegahan falriasis (POMP flariasis) di daerah endemis
serta mencegah atau membatasi kecacatan karena flariasis.
Pengobatan massal dilakukan dengan menggunakan obat
Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan
albendazol sekali setahun selama 5 - 10 tahun. Pelaksanaan
kegiatan POMP di lapangan, mendapatkan beberapa kendala
terutama adalah efek samping yang ditmbulkan obat dan
cakupan (coverage) yang rendah. Rendahnya cakupan
salah satunya dikarenakan mobilitas penduduk yang tnggi,
bepergian untuk sementara atau jangka waktu lama karena
alasan pekerjaan atau pendidikan. Dalam POMP, obat
diberikan kepada sasaran, tetapi karena tdak bisa diawasi
sehingga tdak dapat diketahui apakah obat diminum atau
tdak.
Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan
faktor risiko penularan yang disebabkan oleh vektor yaitu
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
47
dengan cara meminimalkan habitat perkembangan vektor,
menurunkan kepadatan dan umur vektor, mengurangi
kontak antara vektor dan manusia serta memutus rantai
penularan penyakit (PP&PL, 2012). Pengendalian vektor
flaria di Indonesia belum dilakukan secara khusus dan
spesifk. Vektor flaria yang sekarang ini diketahui ada 23 jenis
nyamuk dari 5 genus berbeda merupakan kendala tersendiri
dalam upaya pengendalian vektor ini. Pengendalian vektor di
Indonesia yang telah dilakukan adalah pengendalian vektor
DBD, malaria, dan chikungunya. Karena persamaan vektor
DBD, malaria, dan chikungunya dengan flaria maka secara
tdak langsung pengendalian vektor penyakit tersebut juga
mempunyai efek terhadap pengendalian vektor flaria.
Secara garis besar ada empat cara pengendalian vektor
yaitu dengan cara kimiawi, biologis, mekanik, dan radiasi
(Soegijanto, 2006).
Pengendalian vektor secara kimiawi
Dalam pengendalian vektor secara kimiawi meng-
gunakan berbagai bahan kimia untuk menghindari gigit-an
nyamuk, membunuh nyamuk, atau menghambat pertum-
buhan nyamuk. Bahan kimia yang digunakan mulai dari
insektsida, larvasida maupun repellent.
Insektsida merupakan senyawa kimia yg digunakan
untuk membunuh serangga (biasanya dengan cara meng-
usapkan atau menyemprotkannya) (KBBI Depdiknas). Peng-
gunaan insektsida ini mungkin yang paling cepat terlihat
efeknya walaupun memiliki efek samping yang tdak kalah
bahayanya. Penggunaan insektsida yang umum dilakukan
adalah penyemprotan yang bertujuan untuk membunuh
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
48
nyamuk dewasa. Penyemprotan seharusnya dilakukan pada
tempat menggigit dan tempat istrahat vektor. Pada prak
tknya, hal ini sering tdak mencapai sasaran karena yang
disemprot biasanya hanya rumah tnggal dan pemukiman
sedangkan vektor flaria ini juga terdapat di berbagai macam
lingkungan misalnya di ladang atau tepi hutan. Beragamnya
vektor flariasis yang ada di Indonesia juga menjadi kendala
yang besar karena membutuhkan data bionomik yang lengkap
agar penggunaan insektsida tepat sasaran (Oemijat CDK,
1990).
Masalah lain yang tmbul adalah resistensi vektor
terhadap insektsida yang digunakan. Penentuan jenis insek
t sida, dosis dan metode aplikasi merupakan syarat yang
pentng untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vek
tor. Bila penggunaan insektsida secara berulangulang dapat
menimbulkan resistensi pada serangga sasaran.
Jenis insektsida kimiawi yang digunakan untuk pengen
dalian vektor nyamuk dewasa ada dua, yaitu organophosphat
(Malathion, Methylpirimiphos) dan golongan pyretroid
(Cypermethrine, Lamda-cyhalotrine, Cyfutrine, Permethrine,
dan S-Bioalethrine). Insektsida ini ditujukan untuk stadium
Gambar 3.1
Penyemprotan Nyamuk Dewasa/Fogging
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
49
dewasa yang diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/
Fogging dan pengabutan dingin/ULV (PP&PL, 2012).
Larvasida adalah bahan kimia yang digunakan untuk
membunuh larva/stadium pradewasa serangga. Penggunaan
larvasida bertujuan untuk membunuh larva atau membuat
larva tdak bisa menjadi nyamuk dewasa. Bahan kimia larva
sida yang digunakan bisa merupakan bahan kimia buatan
atau kimia bahan alam (ekstrak tumbuhan).
Bahan kimia buatan yang digunakan sebagai larvasida
adalah insektsida jenis organophosphat (Temephos) (PP&PL,
2012). Di Indonesia, larvasida ini lebih dikenal dengan istlah
Abate 1G yang mengandung Temephos 1%. Aplikasinya adalah
dengan menaburkan abate ke dalam tempat penampungan
air.
Gambar 3.2
Abate 1G (Temephos 1%)
Selain larvasida bahan kimia buatan, sekarang banyak
dilakukan penelitan menggunakan larvasida dengan zat
kimia bahan alam (ekstrak tumbuhan). Bahan ini lebih
dianjurkan karena tdak menimbulkan efek samping terhadap
lingkungan. Penggunaan ekstrak tanaman ini terbukt efektf
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
50
sebagai larvasida pada berbagai penelitan sepert: ekstrak
tumbuhan zodia dan tembakau (Susant, 2012), daun sirih
(Parwata , 2011), akar wangi (Laelatul K., 2010), jarak pagar
(Atut, 2011), dan lainlain. Walaupun terbukt efektf dalam
penelitan tetapi penggunaan dan produksi massal ekstrak
tanaman ini belum diterapkan di masyarakat.
Repellent merupakan bahan kimia yang mempunyai
kemampuan untuk menjauhkan serangga sehingga dapat
digunakan untuk menghindari gigitan serangga. Repellent ini
digunakan dengan cara menggosokkan atau
Gambar 3.3
Berbagai tanaman yang bisa digunakan sebagai larvasida
menyemprotkan pada kulit atau pakaian. Bahan kimia
yang digunakan bisa bahan kimia buatan atau kimia bahan
alam (ekstrak tumbuhan).
Bahan kimia buatan yang digunakan untuk repellent
nyamuk antara lain: DEET (N,N-diethyl-m-toluamide),
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
53

lain-lain. Walaupun terbukti efektif dalam penelitian tetapi
penggunaan dan produksi massal ekstrak tanaman ini
belum diterapkan di masyarakat.
Repellent merupakan bahan kimia yang mempunyai
kemampuan untuk menjauhkan serangga sehingga dapat
digunakan untuk menghindari gigitan serangga. Repellent
ini digunakan dengan cara menggosokkan atau Gambar 3.3.
Berbagai Tanaman yang Bisa Digunakan sebagai Larvasida
menyemprotkan pada kulit atau pakaian. Bahan kimia yang
digunakan bisa bahan kimia buatan atau kimia bahan alam
(ekstrak tumbuhan).
Bahan kimia buatan yang digunakan untuk repellent
nyamuk antara lain: DEET (N,N-diethyl-m-toluamide),
Permethrin, IR 3535 (3-[N-butyl-N-acetyl]-aminopropionic
acid (MDPH, 2008). Repellent dengan bahan DEET tidak
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
51
Permethrin, IR 3535 (3-[N-butyl-N-acetyl]-aminopropionic
acid (MDPH, 2008). Repellent dengan bahan DEET tdak
boleh digunakan untuk bayi yang berumur kurang dari dua
bulan. Bayi yang berumur kurang dari dua bulan memiliki
rasio luas permukaan tubuh terhadap masa tubuh yang lebih
besar sehingga mudah menyerap bahan kimia dan mencapai
konsentrasi plasma yang tnggi. Bahan repellent ini bersifat
korosif dan walaupun ditambahkan dengan zat-zat lain yang
berfungsi sebagai pelembap, zat ini tetap berbahaya.
Gambar 3.4
Repellent Bahan Kimia Buatan.
Selain bahan kimia buatan terdapat berbagai ekstrak
tumbuhan yang bisa digunakan sebagai repellent yang relatf
lebih aman daripada menggunakan bahan kimia buatan.
Balai Penelitan Tanaman Obat dan Aromatk telah
melakukan penelitan terhadap potensi tanaman aromatk
sebagai penghalau nyamuk dan lalat. Hasil penelitan
menunjukkan bahwa tanaman serai wangi yang mengandung
sitronela dan geraniol; zodia yang mengandung evodiame,
rutaecarpine, dan linool; serai dapur yang mengandung
citrat; nilam yang mengandung patchouli alkohol; adas yang
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
52
mengandung anetol, berpotensi sebagai penghalau (repellent
terhadap nyamuk Ae. Aegypt dengan daya proteksi berkisar
antara 60 80% selama 2 4 jam (Kardinan, 2008).
Gambar 3.5
Berbagai tanaman yang bisa digunakan sebagai repellent
Pengendalian vektor secara biologis/hayat
Pengendalian vektor secara biologis/hayat adalah
pengendalian yang dilakukan dengan cara menggunakan
makhluk hidup (Soegijanto, 2006). Tiga peran utama pengen-
dalian vektor biologis adalah sebagai predator, patogen, dan
parasit. Pengendalian secara biologis ini secara biologis/hayat
ini memiliki berbagai keuntungan antara lain aman, tdak
menimbulkan pencemaran lingkungan, tdak menyebabkan
resistensi, relatf murah, dan bersifat jangka panjang.

Mengenal Filariasis di Jawa Barat
55

mengandung evodiame, rutaecarpine, dan linool; serai
dapur yang mengandung citrat; nilam yang mengandung
patchouli alkohol; adas yang mengandung anetol,
berpotensi sebagai penghalau (repellent terhadap nyamuk
Ae. Aegypti dengan daya proteksi berkisar antara 60 80%
selama 2 4 jam (Kardinan, 2008).









Gambar 3.5.
Berbagai tanaman yang bisa digunakan sebagai repellent

Pengendalian vektor secara biologis/hayati
Pengendalian vektor secara biologis/hayati adalah
pengendalian yang dilakukan dengan cara menggunakan
makhluk hidup (Soegijanto, 2006). Tiga peran utama
pengendalian vektor biologis adalah sebagai predator,
patogen, dan parasit. Pengendalian secara biologis ini
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
53
Predator adalah binatang yang hidupnya memangsa
hewan lain (KBBI, 2005). Ada beberapa jenis ikan sepert: ikan
kepala tmah, gabus, cupang, tampalo, dan guppy merupakan
predator pemakan larva/jentk nyamuk. Ikan jenis ini banyak
dimanfaatkan oleh manusia untuk dipelihara dalam kolam,
bak mandi atau tempat penampungan air lainnya. Cara ini
terbukt efektf dalam mengendalikan dan menekan jumlah
larva/jentk nyamuk.
Gambar 3.6
Berbagai ikan pemakan larva/jentk
Selain ikan ada larva capung, Toxorchyncites, Mesocylops
yang juga dapat berperan sebagai predator walaupun bukan
sebagai metode yang lazim untuk pengendalian vektor (PP &
PL, 2012). Nimfa capung (Labellulla) yang hidup di dalam air
telah lama diketahui sebagai predator larva nyamuk baik di
laboratorium maupun di alam (Suwasono, 1997).
Patogen adalah parasit yang mampu menimbulkan
penyakit pada inangnya; bahan yang menimbulkan penyakit
(KBBI, 2005). Pengendalian vektor menggunakan patogen
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
56

secara biologis/hayati ini memiliki berbagai keuntungan
antara lain aman, tidak menimbulkan pencemaran
lingkungan, tidak menyebabkan resistensi, relatif murah,
dan bersifat jangka panjang.
Predator adalah binatang yang hidupnya
memangsa hewan lain (KBBI, 2005). Ada beberapa jenis
ikan seperti: ikan kepala timah, gabus, cupang, tampalo,
dan guppy merupakan predator pemakan larva/jentik
nyamuk. Ikan jenis ini banyak dimanfaatkan oleh manusia
untuk dipelihara dalam kolam, bak mandi atau tempat
penampungan air lainnya. Cara ini terbukti efektif dalam
mengendalikan dan menekan jumlah larva/jentik nyamuk.








Gambar 3.6.
Berbagai ikan pemakan larva/jentik
Selain ikan ada larva capung, Toxorchyncites,
Mesocylops yang juga dapat berperan sebagai predator
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
54
contohnya adalah pemanfaatan bakteri Bacillus thuringiensis
dan bakteri yang bersifat kitnolitk.
Bacillus thuringiensis bersifat toksik terhadap larva
nyamuk. Bakteri ini memproduksi toksin yang dapat meng-
hancurkan sel-sel epitel inangnya sehingga menyebabkan
kematan inangnya (Blondine, 2004).
Gambar 3.7
Bacillus Thuringiensis
Sumber: Blondine (2004)
Bakteri kitnolitk juga berpotensi sebagai pengendali
hayat nyamuk. Hal ini didasarkan bahwa komponen eksos
keleton nyamuk tersusun dari bahan kitn sehingga secara
logika dapat didegradasi oleh enzim kitnase yang dihasilkan
oleh bakteri kitnolitk. Kerusakan struktur eksoskeleton larva
nyamuk dapat berakibat pada gangguan pertumbuhan dan
kematan (Pujiyanto, 2008).
Parasit adalah organisme yang hidup dan mengisap
makanan dari organisme lain yang ditempelinya (KBBI, 2005).
Romanomermis iyengari merupakan organisme jenis cacing
Nematoda yang bersifat parasit pada larva nyamuk. Cacing
tersebut tumbuh dan berkembang menjadi dewasa di dalam
tubuh larva yang menjadi inangnya. Setelah dewasa cacing
tersebut keluar dari tubuh inangnya dengan jalan menyobek
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
55
dinding tubuh inang sehingga menyebabkan kematan
inangnya (Suwasono, 1997). Tidak sepert ikan pemangsa
larva yang sudah banyak diterapkan masyarakat luas,
penggunaan bakteri patogen maupun parasit belum terlalu
dikenal dan masih dalam tahap penelitan laboratorium.
Pengendalian vektor secara fsik/mekanik
Pengendalian vektor secara fsik dapat dilakukan dengan
cara mencegah kontak antara vektor dengan manusia.
Pengendalian ini dapat dilakukan dengan menggunakan
kelambu, memasangan kasa nyamuk di rumah atau meng-
gunakan net/raket nyamuk.
Gambar 3.8
Pengendalian Vektor secara Fisik
Selain itu ada Program Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN) melaui program 3M (Menguras, Menutup, Mengubur)
merupakan upaya pengendalian yang dilakukan secara fsik
dan dijadikan program pengendalian utama oleh pemerintah.
Program 3M yang dimaksud adalah menguras dan menyikat
tempat-tempat penampungan air, menutup rapat-rapat
tempat penampungan air, dan mengubur atau mendaurulang
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
56
barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.
Gambar 3.9
Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui Program
3M (Menguras, Menutup, Mengubur)
Sejak tahun 2004 telah diperkenalkan suatu metode
komunikasi/penyampaian informasi/pesan yang berdampak
pada perubahan perilaku dalam pelaksanaan PSN melalui
pendekatan sosial budaya setempat yaitu Metode Commu-
nicaton for Behavioral Impact (COMBI). Metode ini pernah
dilakukan di beberapa kota antara lain: Jakarta Selatan, Jakarta
Timur, Padang, dan Yogyakarta pada tahun 2007; sedangkan
pada tahun 2008 dilaksanakan di lima kota, meliput: Jakarta
Selatan, Bandung, Tangerang, Semarang, dan Surabaya.
Kegiatan PSN dengan metode pendekatan COMBI tersebut
menjadi salah satu prioritas kegiatan dalam program P2DBD
di masa yang akan datang. Dari tahun 1994 2008 diperoleh
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
57
angka ABJ masih di bawah di bawah target. Tampaknya upaya
PSN belum berjalan dengan baik di masyarakat, sehingga
kegiatan penyuluhan dan sosialisasi mobilisasi masyarakat
untuk PSN perlu lebih ditngkatkan (Pusat Data dan Surveilans
Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI, 2010).
Pengendalian vektor secara radiasi
Pengendalian vektor ini menggunakan teknik jantan
mandul. Nyamuk dewasa jantan diradiasi menggunakan
bahan radioaktf dengan dosis tnggi sehingga menjadi
mandul. Nyamuk jantan yang telah diradiasi ini kemudian
dilepaskan ke alam bebas. Meskipun nantnya terjadi
perkawinan dengan nyamuk betna di alam tapi nyamuk
betna tersebut tdak dapat menghasilkan telur yang fertl
(Soegijanto, 2006).
Pengendalian Hospes Reservoir
Pengendalian hospes reservoir ini mungkin pengenda-
lian yang paling sulit dilaksanakan saat ini. Sepert yang kita
ketahui ada dua hospes reservoir flaria yaitu kera dan kucing.
Pemberantasan terhadap kedua spesies ini tdak mungkin
dilakukan karena kera merupakan hewan yang dilindungi dan
pemberantasan suatu spesies akan merusak keseimbangan
ekologi.
Pendekatan yang mungkin dilakukan adalah
menjauhkan habitat kera dari manusia sehingga tdak
menimbulkan penularan. Sedangkan untuk kucing bisa
dilakukan pengobatan massal tapi akan susah dilakukan
karena pengobatan massal pada hewan biasanya mempunyai
jangkauan yang rendah (Oemijat, 1990). Hal ini dikarenakan
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
58
tdak semua kucing dipelihara dan banyak yang liar sehingga
untuk monitoring sangat susah untuk dilakukan.
Manajemen Lingkungan
Pengendalian vektor yang paling efektf adalah mana
jemen lingkungan, termasuk perencanaan, organisasi, pe-
laksanaan dan aktvitas monitoring untuk memanipulasi
atau memodifkasi faktor lingkungan dengan maksud untuk
mencegah atau mengurangi vektor penyakit manusia dan
perkembangan vektor patogen (WHO, 1997). Pengendalian
melalui manajemen lingkungan ini dinilai paling aman
karena selain tdak merusak keseimbangan alam tapi juga
tdak menimbulkan pencemaran lingkungan. Manajemen
lingkungan ini juga bersifat jangka lama karena biasanya
dilakukan sekali dan dilakukan pemeliharaan secara berkala.
WHO membagi manajemen lingkungan menjadi tga
jenis, yaitu: modifkasi lingkungan, manipulasi lingkungan,
dan mengubah perilaku atau tempat tnggal manusia.
Manajemen lingkungan ini bertujuan untuk menghilangkan
atau menghambat kelestarian lingkaran hidup parasit
dengan cara menghilangkan tempat perindukan, mengurangi
potensi tempat perindukan, dan mengurangi kontak antara
vektor dan manusia. Manajemen lingkungan ini hanya akan
berhasil dengan baik jika dilakukan oleh seluruh masyarakat,
lintas sektor, pemenang kebijakan dan lembaga swadaya
masyarakat melalui program kemitraan.
Modifkasi lingkungan
Modifkasi lingkungan mempunyai tujuan utama untuk
menghilangkan atau mengurangi tempat perindukan. Hal ini
dapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain: penim-
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
59
bunan tempat perkembangbiakan, pengeringan tempat
perkembangbiakan atau pengaturan pengairan/irigasi (Boesri,
2010).
Penimbunan tempat perkembangbiakan ini dilakukan
dengan cara menimbun tempat-tempat yang mempunyai
potensi membuat genangan air sepert cekungan tanah,
bekas kolam, atau kontainer. Cara lain yang bisa ditempuh
yaitu pengeringan tempat perkembangbiakan yang meliput:
bekas kolam ikan, genangan-genangan air ataupun saluran/
selokan air yang mampet. Pengaturan pengairan/irigasi dapat
dilakukan dengan mengalirkan air secara cepat sehingga
nyamuk tdak dapat berkembangbiak.
Manipulasi lingkungan
Manipulasi lingkungan merupakan kegiatan yang
bertujuan menghasilkan keadaan sementara yang tdak
menguntungkan bagi vektor untuk berkembang biak. Khusus
untuk vektor nyamuk manipulasi yang bisa dilakukan antara
lain: pembersihan dan pengangkatan lumut dari lagoon,
pengubahan kadar garam air menjadi tawar, dan pemutusan
pengairan secara berkala dibidang pertanian.
Pembersihan dan pengangkatan lumut dari lagoon
pernah dilakukan di Cibalong Kecamatan Pameungpeuk Jawa
Barat pada tahun 1980 1981, dengan cara mengangkat
lumut yang merupakan tempat perkembangbiakan An.
sundaicus. Hasil dari pengamatan sebelum dan sesudah
pembersihan lumut menunjukkan penurunan densitas
nyamuk baik dewasa, larva maupun pupa (Ditjen P3M, 1982).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
60
Mengubah perilaku atau tempat tnggal manusia
Tujuannya untuk mencegah atau membatasi per-
kembangan vektor dan mengurangi kontak antara vektor dan
manusia. Pendekatan ini bisa dilakukan dengan penempatan
dan pemukiman kembali penduduk jauh dari sumber
vektor, perlindungan perorangan, pembersihan tempat
perkembangbiakan, pemasangan rintangan-rintangan dan
menyediakan fasilitas untuk menyalurkan air dan kotoran/
sampah (Boesri, 2010).
Perubahan perilaku dapat dilakukan dengan cara men-
sosialisasikan perilaku untuk mengurangi kontak dengan
vektor penyakit sepert tdur dengan kelambu, mengurangi
kebiasaan keluar malam, menggunakan obat nyamuk, pe-
masangan kasa nyamuk, menggunakan repellent atau mem-
bersihkan tempat-tempat yang dapat untuk berkembang
biak nyamuk. Sedangkan untuk penempatan dan pemukiman
kembali dengan lokasi yang jauh dari vektor susah untuk
dilakukan karena membutuhkan biaya yang besar, tapi upaya
ini dapat dilakukan terhadap penduduk/peladang liar dekat
hutan. Hal ini dapat dilakukan untuk mengurangi risiko gigitan
nyamuk/vektor malaria dan flaria yang habitatnya di hutan.
Pengendalian Vektor di Jawa Barat
Pengendalian vektor flariasis sampai saat ini belum
ada yang spesifk. Untuk memutus transmisi penularan
program yang dilakukan adalah dua pilar eliminasi flariasis,
yaitu pengobatan massal dan pembatasan kecacatan pada
penderita. Namun demikian, bukan berart tdak dilakukan
pengendalian vektor. Pengendalian vektor dilakukan secara
lintas program mengingat vektor flariasis juga merupakan
vektor DBD dan malaria.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
61
Vektor flariasis yang ditemukan di Provinsi Jawa Barat
adalah C. quinquefasciatus dan Ma. Indiana. Pengendalian
vektor yang sudah dilakukan di beberapa kabupaten/kota
yang endemis flariasis masih belum spesifk dan masih
tergabung kegiatannya dengan penyakit tular vektor yang
disebabkan oleh nyamuk lainnya, yaitu malaria dan demam
berdarah dengue (DBD). Berdasarkan hasil wawancara de-
ngan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, pengendalian
untuk flariasis belum terfokus pada vektornya. Selama ini
pengendalian yang dilakukan masyarakat adalah membersih-
kan lingkungan atau tempat perkembangbiakan potensial
nyamuk berupa genangan air terbuka, pesawahan, dan ko-
lam terbengkalai. Selain itu, beberapa pengendalian yang
dapat mengurangi kontak antara manusia dengan nyamuk
adalah pemakaian kasa, kelambu berinsektsida, dan raket
listrik. Hal ini didukung dengan hasil penelitan yang dilaku
kan oleh Suwasono, Hadi et al., 2004, bahwa kelambu
yang menggunakan insektsida alphacypermethrin dengan
dosis 0,01 0,04 ml/m2 mempunyai daya bunuh terhadap
nyamuk Cx. quinquefasciatus kurang dari 3 bulan dengan
kematan 50%. Walaupun kelambu berinsektsida efektf
dalam memutus kontak antara manusia dengan nyamuk,
masih jarang digunakan oleh masyarakat. Di Provinsi Jawa
Barat, pembagian kelambu berinsektsida sudah dilakukan
oleh program pengendalian penyakit menular untuk wilayah
endemis malaria, yang sekaligus mampu mengendalikan
populasi vektor flaria.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
62
Penutup
Metode pengendalian vektor flariasis yang dilakukan
sampai dengan saat ini belum ada yang spesifk, pengen
daliannya berupa pendekatan baik secara fsik, kimiawi, dan
biologis serta melalui manajemen lingkungan. Pemerintah
berupaya mencegah dengan melalui dua pilar eliminasi
flariasis yaitu memutuskan rantai penularan dengan pem
berian obat massal pencegahan flariasis (POMP) serta men
cegah dan membatasi kecacatan yang diakibatkan oleh
flariasis.
DafarPustaka
Astut, Endang Puji dkk. 2011. Efektvitas Minyak Jarak Pagar
sebagai Larvasida, AntOviposisi dan Ovisida terhadap Larva
Nyamuk Aedes albopictus. Bull. Litro, Vol 2. 44-53.
Blondine, Ch P dkk. 2004. Pengendalian Vektor Malaria Anopheles
Sundaicus Menggunakan Bacillus Thuringiensis 0-14 Galur
Lokal yang Dibiakkan dalam Buah Kelapa dengan Partsipasi
Masyarakat di Kampung Laut Kabupaten Cilacap. Jurnal
Ekologi Kesehatan. Vol. 3 No. 1. 24-36
Boesri Hasan. 2010. Prospek Pengendalian Lingkungan dalam
Upaya Pengendalian Serangga Kesehatan. Aspirator Vol. 2
No. 1. 32-36
Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Ditjen P3M. 1982. Laporan Hasil Penangkapan Anopheles sundaicus
di Desa Cibalong Kecamatan Pameungpeuk Jawa Barat dalam
Rangka Studi Bionomik. Sub Dit SPP Dit. Jen P3M. Jakarta
Ditjen PP dan PL. 2012. Pedoman Pengendalian Demam
Chikungunya, Edisi 2. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
63
Gilchrist, Mary dan De Maria Alfred. 2008. Massachusets Arbovirus
Surveillance and Response Plan. Massachusets Department
of Public Health.
Kardinan, Agus. 2008. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. Agromedia
Pustaka.
Laelatul K, Lela dkk. 2010. Efektvitas Biolarvasida Ekstrak Etanol
Limbah penyulingan Minyak Akar Wangi (Vetveria zizanoides)
terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypt, Culex sp. dan
Anopheles sundaicus.
Oemijat, Sri. 1990. Masalah dalam Pemberantasan Filariasi di
Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. No. 64, 7-10.
Parwata, I Made Oka Adi dkk. Aktvitas Larvasida, Minyak Atsiri
pada Daun Sirih (Piper betle Linn) terhadap Larva Nyamuk
Aedes aegypt. Jurnal Kimia 5 (1). 88-93.
Pujianto, Sri dkk. 2008. Isolasi dan Seleksi Bakteri Kitnolitk Isolat
Lokal yang Berpotensi untuk Mengendalikan Larva Nyamuk
Aedes aegypt. Jurnal Ilmiah. No. 1 Vol. 9. 5-8.
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI.
2010. Demam Berdarah Dengue di Indonesia Tahun 1968
2009. Buletn Jendela Epidemiologi Vol. 2. 1-14.
Soegijanto, Soegeng, 2006. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan
Infeksi di Indonesia. Cetakan I. Airlangga, Surabaya.
Susant, Lulus dan Boesri, Hasan. Toksisitas Biolarvasida Ekstrak
Tembakau Dibandingkan dengan Ekstrak Zodia terhadap
Jentk Vektor Demam Berdarah Dengue (Aedes aegypt).
Buletn Penelitan Kesehatan Volume 40 No. 2. 75-84.
Suwasono, Hadi. 1997. Berbagai Cara Pemberantasan Larva Aedes
aegypt. Cermin Dunia Kedokteran No. 119. 10-13.
WHO. 1997. Vektor Control: Methods for Use by Individuals and
Communites. Alden Press. Geneva.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
64
65
Bab4
DUA PILAR ELIMINASI FILARIASIS
Mara Ipa
Endang Puji Astut

Pendahuluan
Program eliminasi flariasis di dunia berdasarkan dekla
rasi WHO dimulai tahun 2000, sedangkan di Indonesia dimulai
tahun 2002, dan merupakan salah satu program prioritas
nasional pemberantasan penyakit menular sesuai dengan
Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
tahun 2004 2009. Tujuan umum program eliminasi flariasis
adalah menjadikan flariasis tdak menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia pada tahun 2020. Untuk mencapai
eliminasi flariasis, di Indonesia ditetapkan dua pilar kegiatan
yaitu memutuskan rantai penularan dengan pemberian obat
massal pencegahan flariasis (POMP flariasis) di daerah
endemis, dan mencegah serta membatasi kecacatan yang
diakibatkan oleh flariasis (Ditjen P2PL Depkes RI., 2009).
Penyelenggaraan POMP flariaris diprioritaskan pada
daerah endemis yang ditentukan melalui survei darah jari di
setap Kabupaten/Kota. Namun upaya ini belum menjangkau
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
66
seluruh penduduk wilayah kabupaten/kota, sehingga tdak
efsien dan tdak efektf karena belum seluruh penduduk
terlindungi sehingga tetap terdapat risiko penularan (re-
infeksi). Pelaksanaan POMP flariasis perlu direncanakan
secara komprehensif dan mencakup seluruh wilayah endemis
di Indonesia (Ditjen P2PL Depkes RI., 2010).
Filariasis tdak mengakibatkan kematan namun keca
catan yang ditmbulkan dapat menimbulkan stgma sosial
bagi penderita dan keluarganya, sehingga berdampak pada
penurunan produktvitas kerja penderita, menjadi beban
keluarga, dan masyarakat, serta menimbulkan kerugian
ekonomi yang tdak sedikit bagi negara karena penderita tdak
dapat bekerja secara optmal dalam waktu yang lama (Subdit
Filariasis & Schistosomiasis Departemen Kesehatan RI., 2006).
Upaya mencegah dan membatasi kecacatan yang diakibatkan
oleh flariasis, dilakukan terhadap penderita dengan gejala
klinis akut juga dengan gejala klinis kronis.
Dalam rangka mensukseskan program eliminasi flariasis,
Menteri Kesehatan mengharapkan seluruh Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota di daerah endemis flariasis dapat
menjaga keberlangsungan program ini selama lima tahun ke
depan. Hal ini terkait komitmen Pemerintah Daerah (Pemda),
karena besarnya anggaran untuk program POMP Filariasis.
Sasaran program POMP adalah seluruh masyarakat di daerah
program minum obat untuk mensukseskan eliminasi flariasis
di Indonesia (Depkes RI., 2009).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
67
Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP)
Filariasis
Pengobatan massal flariasis merupakan salah satu
pilar program eliminasi flariasis yang bertujuan untuk me
mutuskan rantai penularan flariasis dengan mengurangi
mikroflaria dalam darah tepi penderita sehingga mengurangi
potensi penularan oleh nyamuk. Pengobatan massal flariasis
dilakukan dengan pemberian tga jenis obat flariasis Diethyl
Carbamazine Citrate (DEC), Albendazole, dan Paracetamol
secara cumacuma kepada masyarakat yang tnggal di daerah
endemis flariasis.
Obat DEC merupakan obat yang paling efektf untuk
membunuh microflaria maupun makroflaria. Berbagai
metoda untuk memberantas flariasis di Indonesia telah
dilakukan, antara lain: pengobatan massal dengan dosis
standar di sekitar Bendungan Gumbasa di Sulawesi Tengah
dan di Banjar, Kalimantan Selatan (Putrali, Kaleb, 1974
dalam Sudomo, 2008). Pengobatan dengan dosis rendah
yang diikut oleh dosis standar telah dilakukan di Kalimantan
Selatan, Flores Barat, Kabupaten Batanghari, Jambi dengan
hasil yang sangat baik (Rush J et al., 1980 dalam Sudomo,
2008). Pengobatan massal dilakukan di daerah endemis
dengan menggunakan obat DEC, Albendazole, Paracetamol
yang diberikan sekali setahun selama minimal 5 tahun. Dosis
obat untuk sekali minum adalah DEC 6 mg/kg/berat badan,
Albendazol 400 mg (1 tablet) dan Paracetamol 10 mg KgBB
sekali pemberian. Sebaiknya obat diminum sesudah makan
dan didepan petugas. Berikut dosis obat berdasarkan berat
badan dan Umur (Purwantyastut, 2010).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
68
Tabel 4.1 Dosis Obat Berdasarkan Berat Badan
Berat Badan
DEC
(100 mg)
Tablet
Albendazole
(400mg)
Tablet
Paracetamol
(500mg)
Tablet
10 16 1
1
0,5
17 25 1,5 1 0,5
26 33 2 1 1
34 40 2,5 1 1
41 50 3 1 1
51 58 3,5 1 1
59 67 4 1 1
68 75 4,5 1 1
76 83 5 1 1
> 84 5,5 1 1
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Parasetamol diberikan untuk mencegah reaksi samping
sepert demam, sedangkan untuk dosis obat berdasarkan
umur ditampilkan pada tabel berikut.
Tabel 4.2 Dosis Obat Berdasarkan Umur
UMUR
(Tahun)
DEC
(100 mg)
(Tablet)
Albendazole
(400mg)
(Tablet)
Paracetamol
(500mg)
(Tablet)
2 - 5 1 1 0,25
6 - 14 2 1 0,5
>14 3 1 1
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Pengobatan massal dihentkan apabila Mf rate sudah
mencapai <1%; secara individual/selektf; dilakukan pada
kasus klinis, baik stadium dini maupun stadium lanjut,
jenis dan obat tergantung dari keadaan kasus. Tujuan dari
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
69
pemberantasan jangka pendek adalah:
untuk mengurangi angka prevalensi, 1)
untuk mengurangi angka kesakitan, terutama gejala akut, 2)
dan
untuk mengurangi intensitas penularan. 3)
Program pemberantasan jangka panjang digunakan
untuk mendukung konsep bahwa flariasis dapat hilang
dengan sendirinya, bahkan tanpa intervensi dari sektor
kesehatan, apabila terjadi perubahan ekosistem yang akan
menuju kepada hilangnya tempat perindukan nyamuk vektor
flariasis (Ditjen P2PL Depkes RI., 2010). Berikut pengobatan
flariasis yang pernah dilakukan di Indonesia.
Tabel 4.3
Pengobatan Filariasis di Indonesia Tahun 1970 - Sekarang
Tahun Pengobatan Keterangan
1970 -
1983
Dosis standar: 5 mg/kg
BB/hari
10 hari: B. malayi, B.
tmori
15 hari: W. bancrofi
Timbul efek
samping,
tdak disukai
penduduk
1984 -
1990:
dosis
kombinasi
Umur > 10 th: 100mg/hari
selama 6 hari , dilanjutkan
dosis standar: 4 hari
Umur < 10 th: 50mg/hari
selama 6 hari , dilanjutkan
selama 4 hari
Dosis kombinasi yang lain:
Umur > 10 th: 50 mg/
minggu selama 6 bulan
Masih tmbul
efek samping
Masih tmbul
efek samping,
walaupun sudah
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
70
Umur < 10 th: 25 mg/
minggu selama 6 bulan
dilanjutkan dosis standar:
5mg/kg BB/hari
berkurang
1991
sekarang
1997
sekarang
Umur > 10 th: 100 mg/
minggu selama 40 minggu
Umur < 10 th: 50 mg/
minggu selama 40 minggu
garam DEC 0,2%
2002 -
sekarang
DEC 6mg/kgBB +
Albendazol 400mg +
Paracetamol setahun
sekali selama 5 tahun
Sumber: Materi Kuliah S2 Penyakit Tropis, Prof. DR. dr. Soeyoko, DTM&H, SU
Pada pengobatan flariasis, terutama pengobatan
massal, sesudah obat diberikan dapat tmbul kejadian
pasca pengobatan flariasis baik ringan maupun berat yang
merupakan efek farmakologi, efek samping, interaksi obat,
intoleransi, idiosinkrasi ataupun kejadian ikutan berupa alergi
yang umumnya secara klinis sulit dibedakan. Kejadian ikutan
tersebut antara lain: sakit kepala, pusing, demam, mual,
muntah, sakit otot, lemas, gatal, keluar cacing, diare, dan
mengantuk sedangkan yang berat antar lain: diare dengan
dehidrasi berat, sinkop, udem anasarka, dan angioedema.
Kejadian ikutan pasca pengobatan apabila tdak diantsipasi
dapat memberikan hambatan yang besar terhadap suksesnya
program eliminasi flariasis.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
71
Gambar 4.1
Obat Filariasis (DEC, Albendazole, dan Paracetamol)
Sumber: htp://lonelylovelycat.wordpress.com/
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
72
T
a
b
e
l

4
.
4
.
R
e
n
c
a
n
a

C
a
k
u
p
a
n

P
O
M
P

F
i
l
a
r
i
a
s
i
s

K
a
b
u
p
a
t
e
n
/
K
o
t
a

T
a
h
u
n

2
0
1
0

-

2
0
1
4

d
i

I
n
d
o
n
e
s
i
a
S
u
m
b
e
r
:

D
i
t
j
e
n

P
2
P
L

D
e
p
k
e
s

R
I
.
,

2
0
1
0
N
o
W
i
l
a
y
a
h

P
u
l
a
u
J
u
m
l
a
h

K
a
b
/
K
o
t
a

d
a
n
K
a
b
/
K
o
t
a

e
n
d
e
m
i
s

f
l
a
r
i
a
s
i
s
J
u
m
l
a
h

K
a
b
/
K
o
t
a

y
a
n
g
m
e
l
a
k
s
a
n
a
k
a
n

P
O
M
P

F
i
l
a
r
i
a
s
i
s
T
o
t
a
l

s
a
m
p
a
i

2
0
1
4
2
0
1
0
2
0
1
1
2
0
1
2
2
0
1
3
2
0
1
4
K a b P O M P
F i l a r i a s i s
K a b P O M P
F i l a r i a s i s 5 t h n
K a b P O M P
F i l a r i a s i s
K a b P O M P
F i l a r i a s i s 5 t h n
K a b P O M P
F i l a r i a s i s
K a b P O M P
F i l a r i a s i s 5 t h n
K a b P O M P
F i l a r i a s i s
K a b P O M P
F i l a r i a s i s 5 t h n
K a b P O M P
F i l a r i a s i s
K a b P O M P
F i l a r i a s i s 5 t h n
K a b P O M P
F i l a r i a s i s
K a b P O M P
F i l a r i a s i s 5 t h n
1
S
u
m
a
t
e
r
a
1
3
9
1
3
9
3
1
8
3
5
3
4
1
3
4
7
2
5
2
2
7
0
6
9
2
K
a
l
i
m
a
n
t
a
n
5
5
5
5
1
8
1
1
8
2
0
3
2
3
3
2
5
3
2
2
3
3
J
a
w
a
1
1
7
3
2
1
7
0
1
7
0
1
8
0
2
0
4
2
1
2
2
7
5
4
S
u
l
a
w
e
s
i
7
0
3
7
1
7
1
1
7
1
1
3
7
1
3
3
1
7
1
3
0
7
5
B
a
l
i
9
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
N
T
B
&

N
T
T
2
9
2
1
5
1
5
1
8
0
1
2
0
1
9
0
2
1
0
7
M
a
l
u
k
u
1
8
1
8
2
0
4
0
4
0
7
1
1
4
1
1
6
2
8
P
a
p
u
a
3
5
3
5
1
4
0
1
9
1
1
2
2
5
1
3
1
0
3
5
0
T
o
t
a
l
4
7
2
3
3
7
1
0
4
1
1
1
1
5
1
2
5
1
5
1
4
7
1
4
1
7
9
6
2
3
1
1
0
6
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
73
POMP Filariasis Provinsi Jawa Barat
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, melaporkan bah-
wa 11 kabupaten/kota dari 26 kabupaten/kota yang ada di
Provinsi Jawa Barat merupakan daerah endemis flariasis.
Kabupaten/Kota tersebut antara lain: Kabupaten Karawang,
Kabupaten Tasikmalaya, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi,
Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta, Kota Depok, Kota
Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Kuningan, dan Kabupaten
Bandung. Hingga Juni 2013 kasus flariasis yang ditemukan di
Provinsi Jawa Barat sebanyak 833 kasus kronis dan 555 kasus
positf mikroflaria yang tersebar di 25 kabupaten/kota pada
174 desa/kelurahan. Rentang Mf rate di Provinsi Jawa Barat
sebesar 0% - 5,58% (Dinkes Prov Jabar, 2013).
Gambar 4.2
Peta Sebaran Mf Rate dan Kegiatan POMP Filariasis
di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2012
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
74
Dalam upaya eliminasi flariasis di Provinsi Jawa Barat,
telah dilakukan upaya pemberian obat, pembuatan tm dan
koordinasi yang melibatkan berbagai unsur masyarakat, te-
naga kesehatan termasuk perguruan tnggi kesehatan yang
ada di tap kabupaten/kota di Jawa Barat.
Pelaksanaan POMP Filariasis di Provinsi Jawa Barat dari
11 Kabupaten/kota yang endemis, 8 Kabupaten/Kota sudah
melaksanakan POMP Filariasis implementaton unit (IU) se-
Kabupaten/Kota, sedangkan 3 Kabupaten masih pengobatan
secara selektf, yaitu Kabupaten Purwakarta, Bogor, dan
Kuningan. Berikut tabel pelaksanaan POMP Filariasis di
Provisinsi Jawa Barat sampai dengan tahun 2013.
Tabel 4.5
Pelaksanaan POMP Filariasis di Provinsi
Jawa Barat Tahun 2013
No Kabupaten/Kota POMP Fialriasis
1 Kota Bogor Selesai POMP F IU 5 tahun dan
Transmission Assessment Survey (
TAS)
2 Kota Depok dan
Kab. Bekasi
Selesai POMP F IU 5 tahun Tahun
2012
3 Kab. Bandung Selesai POMP F IU 5 tahun Tahun
2013
4 Kota Bekasi POMP F IU Tahun ke IV Tahun 2013
5 Kab. Subang POMP F IU Tahun ke III Tahun 2013
6 Kab. Karawang
dan Tasikmalaya
POMP F IU Tahun ke I Tahun 2013
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2013
Namun setelah dilakukan validasi data diketahui bahwa
hasil evaluasi World Health Organizaton (WHO) terhadap
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
75
pelaksanaan POMP F di 8 Kabupaten/kota yang dinyatakan
telah selesai adalah Kota Bogor saja. Berikut hasil indept
interview pemegang program flaria Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Barat.
... Kabupaten Bekasi sama Kota Depok. Tetapi setelah
mendapat evaluasi dari WHO sebenarnya belum
bisa masuk TAS tapi baru survei endemisitas. Karena
berdasar evaluasi itu kegiatan POMP kabupaten/kota
cakupannya itu minimal 65% dari populasi penduduk.
Sepert kota Depok yang seharusnya sudah 5 tahun di
tahun 2012, tahun ini sudah kita survei untuk evaluasi
prevalensi mikroflaria walaupun hasilnya nol tetapi
ada 2 tahun berturut-turut tahun 2009 dan 2010 itu
kurang dari 65% harus mengulang 2 tahun lagi. TAS
ini tetap dilaksanakan tapi survei endemisitas. Untuk
melihat seberapa jauh transmisi ke anak sekolah. Jadi
kita kan pengobatan dari usia 2 65 tahun, dengan
TAS itu untuk mengetahui apakah masih transmisi di
anak usia 6 7 tahun ...
[CM, 8 Oktober 2013]
Perubahan indikator cakupan pengobatan efektf sa
ngat disesalkan karena tdak diinformasikan lebih awal oleh
tm evaluasi WHO. Berikut pernyataan hasil wawancara men
dalam.
Sekarang WHO sangat ketat untuk eliminasi
flariasis. Yang kita lihat jumlah penduduk, bukan
sasaran ...
[CM, 8 Oktober 2013]
... Kalau dikasih tahu cakupannya minimal 65%,
kenapa tdak dari awal pemberitahuannya. Jadi kita
bisa melaksanakan pada saat POMP, misalnya ku-
rang dari cakupan 65% kita bisa sweeping, kita bisa
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
76
upayakan mana-mana cakupan wilayah yang rendah
...
[CM, 8 Oktober 2013]
... WHO mengevaluasi setelah tahun ini. Jadi kita
tdak bisa memperbaiki yang sebelumnya tetep
harus diulang, jadi sepert Kota Depok harus tetap
mengulang 2 tahun lagi walaupun harusnya sudah
selesai tahun 2012. Tahun 2013 sudah tdak ada
pengobatan massal, tahun depan baru dilaksanakan
walaupun TAS-nya tetap bisa dilaksanakan. Ini sebagai
pertmbangan nant, kalau TAS-nya bagus, tdak ada
transmisi di anak usia sekolah kita mau mengajukan
permohonan pertmbangan ke WHO apakah masih
tetap perlu dilaksanakan 2 tahun lagi atau cuma 1 kali
dengan cakupan efektf 65% ...
[CM, 8 Oktober 2013]
POMP Filariasis pelaksanaannya tdak bersamaan ka
rena program ini sangat bergantung pada ketersediaan ang-
garan dan komitmen Pemerintah Daerah (Pemda) setempat
mengingat dibutuhkan anggaran yang tdak sedikit dan pelak
sanaannya dalam jangka waktu lima tahun.
Kegiatan yang dilakukan setelah pelaksanaan POMP
Filariasis adalah evaluasi pengobatan massal yang merupakan
bagian tdak terpisahkan dalam Program Eliminasi Filariasis.
Terdapat dua hal yang harus diperhatkan dalam memonitor
pengobatan massal sebagai berikut.
Jumlah penduduk yang minum obat (cakupan pengobatan) 1)
Terdapat dua hal yang harus diperhatkan dalam menilai
keberhasilan cakupan pengobatan flariasis (SK Menkes
No. 1582, 2005), yaitu: cakupan pengobatan yang terdiri
dari angka pencapaian pengobatan dan angka keberhasilan
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
77
pengobatan. Angka pencapaian pengobatan diperoleh dengan
perhitungan sebagai berikut.
Cakupan ini dapat menjelaskan jumlah penduduk yang
berisiko untuk diobat dan aspek epidemiologinya. Angka
keberhasilan pengobatan diperoleh dengan perhitungan
sebagai berikut.
Cakupan ini menjelaskan efektvitas pengobatan massal.
Pada Gambar 4.3, ditunjukkan data cakupan pengobatan
massal di Provinsi Jawa Barat di 7 Kabupaten dan Kota yang
telah melakukan POMP Filariasis. Kabupaten Karawang
baru tahun pertama melakukan pengobatan massal tampak
persentase angka keberhasilan pengobatan sangat tnggi
mencapai 99,64%, namun berbanding terbalik dengan angka
pencapaian pengobatan hanya 62,44%. Hal ini dijelaskan
bahwa jumlah penduduk sasaran pengobatan di Kabupaten
Karawang belum mencakup seluruhnya. Berbeda dengan
Kabupaten Bogor, jumlah penduduk sasaran pengobatan
massal mencakup seluruh jumlah penduduknya. Angka
keberhasilan pengobatan yang tnggi juga diikut oleh Angka
pencapaian pengobatan.
Pemberian obat massal pencegahan sebagai upaya
intervensi untuk memutus rantai penularan besarnya cakupan
POMP Filariasis > 85%. Tampak pada Gambar 4.3. Kabupaten
Subang cakupannya masih < 85%, hal ini menunjukkan trans-
misi penularan flariasis masih bisa berlangsung.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
78
Gambar 4.3
Cakupan Pengobatan POMP Filariasis Provinsi Jawa Barat
Tahun 2012
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2012
Menurunnya prevalensi mikroflaria 2)
Setap kabupaten/kota yang sudah melaksanakan peng
obatan massal flariasis berkewajiban untuk melaksanakan
survei evaluasi sebagai penilaian penurunan prevalensi
mikroflaria. Survei evaluasi adalah survei untuk mengetahui
prevalensi (mikroflaria rate) dan densitas (kepadatan)
mikroflaria setelah dilakukan pengobatan massal. Survei
evaluasi tersebut dilakukan sebelum pengobatan massal
tahun ketga dan kelima.
Lokasi survei evalusi ditetapkan di dua desa sentnel
dan dua desa spot check. Desa sentnel adalah desa dengan
mikroflaria rate tertnggi dibandingkan dengan desa
yang disurvai lainnya pada survai awal dan tdak boleh di
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
79
gant dengan desa yang lain selama pengobatan massal
dilaksanakan. Desa spot check dipilih secara acak di antara
desa-desa yang masuk dalam program pengobatan massal
dan belum pernah dilakukan survai darah jari.
Populasi survei adalah penduduk yang berusia > 2
tahun. Penduduk di desa sentnel yang pada survai awal
positf mikroflaria harus dimasukkan dalam sampel survei
evaluasi. Jumlah sampel 500 di setap lokasi survei dan cara
pengambilan dan penentuan sampel sama sepert pada
survei darah jari untuk menentukan endemisitas. Waktu
pelaksanaan survei evaluasi dilaksanakan 11 bulan sebelum
pengobatan massal tahun ketga dan kelima.
Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis
Kasus klinis flariasis adalah seseorang yang terinfeksi
cacing flaria dan sudah menunjukkan gejalagejala klinis baik
akut maupun kronis. Gejala klinis akut berupa limfadenits,
limfangits, adenolimfangits yang disertai demam, sakit
kepala, rasa lemah dan tmbulnya abses. Gejala kronis terdiri
dari limfadema, lymp scrotum, kiluria, dan hidrokel.
Adapun tujuan dari penatalaksanaan kasus klinis fla
riasis adalah untuk mencegah dan membatasi kecacatan
karena flariasis, dan agar penderita mampu hidup lebih
baik serta dapat berpartsipasi aktf dalam kehidupan
bermasyarakat, baik sosial maupun ekonomi.

Perawatan Kasus Klinis
Pada setap kasus flariasis, setelah pengobatan adalah
perawatan pada kasus dengan gejala klinis akut juga dengan
gejala klinis kronis. Perawatan kasus dengan gejala klinis akut
dan kronis sebagai berikut (SK Menkes No. 1582, 2005).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
80
Perawatan kasus dengan gejala klinis akut 1)
Istrahat yang cukup dan banyak minum.
Pengobatan simtomats demam, rasa sakit dan gatal
sesuai dengan keadaan sakitnya diberikan antbiotka,
atau ant jamur lokal maupun sistemik.
Pembersihan luka dan lesi kulit, tetapi apabila
terdapat abses perlu dilakukan insisi dan pengobatan.
Pengobatan luka dan lesi di kulit dengan salep
antbiotka atau ant jamur
Apabila dengan pengobatan simptomats selama tga
hari keadaan penderita tdak membaik, dianjurkan
untuk berobat ke Puskesmas atau Rumah Sakit.
Perawatan kasus dengan gejala klinis kronis 2)
Perawatan kasus dengan gejala kronis dilakukan ber-
dasarkan kondisi medis masing-masing kasus, mulai dari
limfedema, lymph scrotum, dan hidrokel.
Komponen pokok perawatan kasus klinis kronis yg dapat
dilakukan keluarga adalah pencucian, pengobatan luka atau
lesi, meninggikan tungkai atau lengan, lathan bagian tubuh
yang bengkak, dan pemakaian alas kaki yang cocok. Berikut
diuraikan beberapa gejala dalam pentahapan stadium lim-
fedema (Tabel 4.6), yang disertai uraian langkah-langkah
perawatannya.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
81
T
a
b
e
l

4
.
6

S
t
a
d
i
u
m

L
i
m
f
e
d
e
m
a
N
o
G
e
j
a
l
a
S
t
a
d
i
u
m

1
S
t
a
d
i
u
m

2
S
t
a
d
i
u
m

3
S
t
a
d
i
u
m

4
S
t
a
d
i
u
m

5
S
t
a
d
i
u
m

6
S
t
a
d
i
u
m

7
1
B
e
n
g
k
a
k
d
i
k
a
k
i
M
e
n
g
h
i
l
a
n
g

w
a
k
t
u

b
a
n
g
u
n

t
d
u
r

p
a
g
i

M
e
n
e
t
a
p
M
e
n
e
t
a
p
M
e
n
e
t
a
p
M
e
n
e
t
a
p
,
m
e
l
u
a
s
M
e
n
e
t
a
p
,
m
e
l
u
a
s
M
e
n
e
t
a
p
,
m
e
l
u
a
s
2
L
i
p
a
t
a
n
k
u
l
i
t
T
i
d
a
k

a
d
a
T
i
d
a
k

a
d
a
d
a
n
g
k
a
l
d
a
n
g
k
a
l
D
a
l
a
m
,
K
a
d
a
n
g
d
a
n
g
k
a
l
D
a
n
g
k
a
l

,

D
a
l
a
m
D
a
n
g
k
a
l

,

D
a
l
a
m
3
N
o
d
u
l
T
i
d
a
k

a
d
a
T
i
d
a
k

a
d
a
T
i
d
a
k

a
d
a
A
d
a
K
a
d
a
n
g
-
k
a
d
a
n
g
K
a
d
a
n
g
-
k
a
d
a
n
g
K
a
d
a
n
g
-
k
a
d
a
n
g
4
M
o
s
s
y

l
e
s
i
o
n
s

*
)
T
i
d
a
k

a
d
a
T
i
d
a
k

a
d
a
T
i
d
a
k

a
d
a
T
i
d
a
k

a
d
a
T
i
d
a
k

a
d
a
A
d
a
K
a
d
a
n
g
-
k
a
d
a
n
g
5
H
a
m
b
a
t
a
n

b
e
r
a
t
T
i
d
a
k
T
i
d
a
k
T
i
d
a
k
T
i
d
a
k
T
i
d
a
k
T
i
d
a
k
y
a
S
u
m
b
e
r
:

S
u
r
a
t

K
e
p
u
t
u
s
a
n

M
e
n
t
e
r
i

K
e
s
e
h
a
t
a
n

N
o
m
o
r

1
5
8
2

T
a
h
u
n

2
0
0
5
*
)

G
a
m
b
a
r
a
n

s
e
p
e
r
t

l
u
m
u
t
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
82
Limfedema Stadium 1
Menjaga kebersihan -
bagian tubuh yang
bengkak.
Perawatan luka/ -
lesi di kulit jika
ada, dengan krim
antbiotka/ant jamur.
Melakukan lathan -
(exercise) pada
anggota tubuh yang
bengkak.
Meninggikan (elevasi) -
anggota tubuh
bengkak Pemakaian alas kaki yang cocok.
Limfedema Stadium 2
Menjaga kebersihan -
anggota tubuh yang
bengkak.
Perawatan luka/ lesi -
di kulit jika ada.
Pelathan anggota -
tubuh yang bengkak.
Meninggikan (elevasi) -
anggota tubuh
bengkak saat (tdur,
nonton TV, dan lain-
lain).
Pemakaian alas kaki yang cocok. -
Gambar 4.4
Limfedema Stadium 1
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Gambar 4.5
Limfedema Stadium 2
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
83
Memakai verban elasts/pembalutan saat melakukan -
aktvitas.
Limfedema Stadium 3
Menjaga kebersihan -
anggota tubuh yang
bengkak.
Perawatan luka/lesi -
di kulit jika ada.
Pelathan anggota -
tubuh yang bengkak.
Meninggikan (elevasi) -
anggota tubuh
bengkak saat (tdur,
nonton TV dan lain-
lain).
Pemakaian alas kaki -
yang cocok.
Memakai verban elasts/pembalutan saat melakukan -
aktvitas.
Limfedema Stadium 4
Menjaga kebersihan -
anggota tubuh yang
bengkak.
Perawatan luka/lesi -
di kulit.
Melakukan lathan -
(exercise) anggota
tubuh yang bengkak.
Gambar 4.6
Limfedema Stadium 3
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Gambar 4.7
Limfedema Stadium 4
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
84
Meninggikan tungkai yang bengkak. -
Pemakaian alas kaki yang cocok. -
Memakai verban elasts/pembalutan. -
Salep antbiotk/antjamur jika diperlukan. -
Antbiotka sistemik bila ada indikasi. -
Bedah kosmetk (jika ada indikasi medis). -
Limfedema Stadium 5
Menjaga kebersihan -
anggota tubuh yang
bengkak dua kali
sehari.
Perawatan luka/lesi -
di kulit.
Menggerakkan -
anggota tubuh yang
bengkak (exercise).
Meninggikan -
(elevasi) tungkai yang
bengkak.
Pemakaian alas kaki yang cocok. -
Mengoleskan krim antbiotk/antjamur jika perlu. -
Pembalutan (atas saran petugas kesehatan). -
Antbiotka sistemik jika ada serangan akut. -
Bedah kosmetk (jika ada indikasi). -
Limfedema Stadium 6
Membersihkan tungkai yang bengkak dua kali sehari. -
Perawatan luka/lesi di kulit jika ada - .
Lakukan lathan - (exercise) bila memungkinkan.
Gambar 4.8
Limfedema Stadium 1
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
85
Meninggikan tungkai -
yang bengkak.
Pemakaian alas kaki -
yang cocok.
Oleskan krim -
antbiotk/antjamur
setap hari.
Antbiotka sistemik -
bila perlu
Bedah kosmetk (jika -
ada indikasi).
Limfedema Stadium 7
Membersihkan -
anggota tubuh yang
bengkak dua kali
sehari.
Perawatan luka/lesi -
di kulit jika ada.
Lakukan lathan -
(exercise) bila
memungkinkan.
Mengubah posisi -
untuk menghindari
dekubitus.
Jika mungkin meninggikan tungkai yang bengkak setap -
saat.
Krim antbiotk/antjamur selalu diperlukan. -
Pembalutan tdak disarankan. -
Antbiotka sistemik selalu diperlukan. -
Gambar 4.9
Limfedema Stadium 1
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Gambar 4.10
Limfedema Stadium 1
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
86
Bedah kosmetk (jika ada indikasi medis). -
Semua perawatan pada stadium 7 harus dilakukan dengan
hathat.
Lymph Scrotum
Perawatan untuk
lymph scrotum antara lain
menjaga kebersihan buah
zakar; perawatan luka
dan lesi di kulit dengan
salep antbiotk atau ant
jamur; bila ada serangan
akut diobat dengan obat
simptomats; pengobatan
individual DEC 100 mg
3x1/hari selama 10 hari;
luka-luka dapat ditutup dengan verban steril.
Hidrokel
Perawatan hidrokel
meliput menjaga keber
sihan di bagian buah
zakar; perawatan luka
dan lesi jika ada; dirujuk
ke rumah sakit untuk
terapi bedah.
Gambar 4.11
Lymp Scrotum
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Gambar 4.12
Hidrokel
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
87
Perawatan penderita flariasis klinis kronis, salah
satu alternatf yang dikembangkan oleh Doktor Ambar
Suliant adalah melalui metode Laser Dosisi Rendah (LDR).
Metode ini dilakukan selama dua bulan, empat kali dalam
satu minggu. Doktor Ambar melakukan penelitan pada 10
orang penderita kaki gajah, hasil yang signifkan diperoleh
dibandingkan dengan metode penyembuhan yang lama.
Berdasarkan hasil pengamatannya ditemukan penurunan
volume limfedema (cairan pada penyakit kaki gajah) sebesar
819,50 mililiter. Metode yang lama, biasanya hanya mampu
mengurangi limfedema sebesar 104,5 mililiter. Sementara
cara kerja yang dilakukan Doktor Ambar dalam penelitannya
adalah menggunakan alat LDR, yang disebar di delapan ttk
akupuntur.
Selain itu, dijelaskan pula mengenai salahnya metode
pengukuran pengembangan penyakit kaki gajah pada tu-
buh manusia. Seharusnya, pengembangan penyakit kaki
gajah, tdak bisa diukur berdasarkan besarnya bengkak
yang penderita alami tetapi diukur dengan Metua (Metode
Tumpahan Air). Cara kerja Metua adalah dengan memasukkan
kaki yang bengkak ke dalam ember yang dipenuhi air, hingga
air yang tumpah akan ditmbang untuk mendapat ukuran
bengkak kaki yang sebenarnya (Galih P, 2013).
Salah satu pasien Doktor Ambar di Kabupaten Bandung
yang mengikut terapi LDR menyatakan merasakan perubahan
baik pembesaran di tangan juga kakinya. Berikut gambar
rapor hasil terapi LDR tampak pada Gambar 4.13.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
88
Gambar 4.13
Gambar Rapor Perkembangan Penderita Filariasis Kronis Terapi LDR
di Kabupaten Bandung, Jawa Barat
Sumber: Dokumentasi penelit
Penderita Filariasis di Provinsi Jawa Barat

Gambar 4.14
Penderita Filariasis di Kabupaten Bandung
Sumber: Dinkes Kab Bandung
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
89
Gambar 4.15
Penderita Filariasis di Kabupaten Kuningan
Sumber: Astut, et al. (2012)
Penutup
Filariasis yang lebih dikenal dengan penyakit kaki gajah
merupakan salah satu penyakit yang terabaikan (neglected
tropical disesase). Penyakit ini kurang mendapat perhatan
karena tdak menyebabkan kematan namun kecacatan yang
ditmbulkan memberi dampak sosial terhadap penderita
selain menurunkan produktvitas kerja.
Keberhasilan program eliminasi flariasis diperlukan
kerja sama lintas sektor terutama komitmen pemerintah
daerah terhadap keberlangsungan program selama lima
tahun dan Dinas Kesehatan sendiri selaku leading sector
melakukan berbagai inovasi kreatf sehingga masyarakat
mendukung dengan bersedia minum obat.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
90
Dafar Pustaka
Astut, et al.2012. Faktorfaktor yang Memengaruhi Filariasis di
Daerah Endemis Provinsi Jawa Barat dan Banten (Gambaran
Epidemiologi Filariasis di Kabupaten Ciamis, Kabupaten
Kuningan dan Kabupaten Serang). Laporan Penelitan.Loka
Litbang P2B2 Ciamis.
Center of Diseases Control and Preventaton. Epidemiology and Risk
Factors. Department of Health and Human Service. Atlanta.
2013. [disitasi 8 Agustus 2013] htp://www.cdc.gov/ncidod/
dpd/parasites/lymphatcflariasis/epidemiology_lymphatc_
flar.htm].
Depkes RI. Sambutan Menkes RI: Pencanangan Pengobatan Massal
Filariasis di Fakultas Kedokteran UNPAD Jawa Barat. Jakarta.
2009 [disitasi 20 Agustus 2013] htp://www.depkes.go.id/
index.php/berita/press-release/409-menkes-canangkan-
pengobatanflariasisdijawabarat.html.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2013. Profl Kesehatan Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Bandung.
Ditjen P2PL Depkes RI. 2010. Rencana Nasional Program Akselerasi
Eliminasi Filariasis di Indonesia. Jakarta.
Galih Persiana, 2013. Kaki Gajah Bisa Sembuh dengan Laserpun
tur? dalam majalah Tempo. 2013. htp://www.tempo.
co/read/news/2013/07/01/173492632/Kaki-Gajah-Bisa-
Sembuh-dengan-Laserpuntur. [diunduh tanggal 11 September
2013].
Infeksi.com. Filariasis. Pusat Informasi Penyakit Infeksi. htp://
www.infeksi.com/artcles.php?lng=in&pg=32.
Purwantyastut, 2010. Pemberian Obat Massal Pencegahan
(POMP) Filariasis. Buletn Jendela Epidemiologi. Vol. 1 Juli
2010. Jakarta.
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. 2010. Filariasis di
Indonesia. Buletn Jendela Epidemiologi: Vol. 1, Juli 2010.
Jakarta.
Putrali J, Kaleb YM, 1974. dalam Sudomo M., 2008. Penyakit
Parasit yang Kurang Diperhatkan di Indonesia. Orasi
Pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi dan Moluska.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
91
Rush J, et al. 1980. dalam Sudomo M., 2008. Penyakit Parasit
yang Kurang Diperhatkan di Indonesia. Orasi Pengukuhan
Profesor Riset Bidang Entomologi dan Moluska.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1582 tentang Pedoman
Pengendalian Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) Tahun 2005.

Вам также может понравиться