Вы находитесь на странице: 1из 16

BAB I

PENDAHULUAN

Antikonvulsi berfungsi untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi
(epileptic seizure). Antiepilepsi yang pertama kali digunakan adalah Bromida.
Namun, sudah jarang digunakan karena banyak berkembang antiepilepsi yang
lebih efektif. Obat antiepilepsi terdiri atas beberapa golongan antara lain: (1)
golongan hidantoin, (2) golongan barbiturat, (3) golongan oksazolidindion, (4)
golongan suksinimid, (5) karbamazepin, (6) golongan benzodiazepin, (7) asam
valproat, (8) antiepilepsi lain seperti: fenasemid dan penghambat karbonik
anhydrase (dipiro, 2008).
Obat antiepilepsi golongan hidantoin dikenal tiga senyawa yaitu: fenitoin
(difenilhidantion), mefenitoin dan etotoin. Fenitoin (PHT) merupakan
antikonvulsan yang sering digunakan untuk pengobatan kejang parsial (partial
seizure), kejang umum tonik-klonik dan status epileptikus (generalized tonic-
clonic seizures and status epilepticus), kegunnan klinik lain biasanya fenitoin
digunakan untuk mengatasi kejang pasca operasi saraf (neurosurgery).
Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+),
hambatan terhadap kanal sodium ini menyebabkan kondisi dalam sel berada
dalam tahap repolarisasi sehingga tidak terjadi kejang (Dipiro., 2008) Fenitoin
memiliki jendela terapi yang sempit serta profil farmakokinetik yang nonlinear,
guna mengoptimalkan terapi pada semua kalangan usia maka dibutuhkan
pemantauan terapi obat fenitoin (Wu, 2013). Profil farmakokinetik fenitoin
sangan dipengaruhi oleh kapasitas metabolisme, variabilitas antarindividu,
perbedaan etnis dan adanya interaksi obat. Karena profil farmakokinetika fenitoin
nonlinear, perubahan kecil jumlah obat yang terabsorpsi akan menyebabkan
perbedaan yang lebih besar dalam konsentrasi plasma pada pasien (Houghton
1975). Pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai profil farmakokinetik
obat dan bagaimana cara memantau terapi obat tersebut.



BAB II
PEMBAHASAN

1. FARMAKOLOGI


Fenitoin merupakan obat antikonvulsi golongan hidantoin. Adapun
mekanisme kerja dari fenitoin adalalah menghambat kanal Na pada cortex
neuron sehingga Na tidak masuk ke dalam sel. Hal ini menyebabkan kondisi
di dalam sel negative akibatnya terjadilah kondisi repolarisasi (Dipiro, 2008).

Indikasi
Obat ini diindikasikan untuk mengendalikan kejang tipe grand mal dan
kejang psikomotor, pencegahan dan pengobatan kejang yang terjadi selama
atau setelah bedah saraf, mengontrol kejang tipe grand mal pada status
epileptikus. Penggunaan off label (s): mengontrol aritmia, (terutama aritmia
yang di induce glikosida jantung), kontrol kejang pada preeklamsia berat,
pengobatan neuralgia trigeminal (tic douloureux), resesif distrofik
epidermolisis bulosa dan epidermolisis bulosa junctional (Tatro, 2003).

Kontraindikasi
Obat ini di kontraindikasikan terhadap pasien yang hipersensitif
terhadap fenitoin atau golongan hydantoins lainnya, blok sinoatrial, sinus
bradikardia, blok atrioventrikular derajat 2 dan 3 dan Sindrom Adams-Stokes
(Tatro, 2003).

Interaksi obat
Beberapa obat memiliki interaksi dengan fenitoin, antara lain
penggunaan bersamaan dengan Acetaminophen dapat meningkatkan potensi
hepatotoksisitas dengan penggunaan fenitoin kronis.
Penggunaan bersama dengan amiodaron, kloramfenikol, disulfiram,
estrogen, felbamate, flukonazol, isoniazid, cimetidine, trimethoprim,
fenilbutazon, oxyphenbutazone, phenacemide, sulfonamida dapat
meningkatkan kadar serum fenitoin.
Pemakaian bersama carbamazepine, sukralfat, agen antineoplastik,
rifampisin, rifabutin dapat menurunkan kadar serum fenitoin.
Penggunaan bersama dapat menurunkan efek dari kortikosteroid,
antikoagulan coumarin, doxycycline, estrogen, levodopa, felodipin, metadon,
diuretik loop, kontrasepsi oral, quinidin , rifampisin, dan rifabutin.
Penggunaan bersama siklosporin dapat mengurangi kadar siklosporin.
Penggunaa dengan disopiramid dapat menyebabkan penurunan kadar
dan bioavailabilitas Disopiramid serta dapat meningkatkan efek
antikolinergik.
Pengunaan bersama terapi nutrisi enteral dapat mengurangi
konsentrasi fenitoin.
Penggunaan bersama asam folat dapat menyebabkan kekurangan asam
folat.
Penggunaan bersama Metyrapone dapat menyebabkan respon
subnormal untuk metyrapone.
Penggunaan bersama mexiletine dapat menurunkan kadar dan efek
mexiletine.
Penggunaan bersama relaksan otot Nondepolarisasi dapat
menyebabkan agen-agen ini memiliki durasi yang lebih singkat atau efek
menurun.
Penggunaan bersama phenobarbital, natrium valproate, asam valproik
dapat meningkatkan atau menurunkan kadar fenitoin. Fenitoin dapat
meningkatkan fenobarbital dan menurunkan kadar asam valproik.
Penggunaan bersama primidone dapat meningkatkan konsentrasi
primidone dan metabolitnya.
Penggunaan bersama simpatomimetik ( seperti dopamin ) dapat
menyebabkan hipotensi yang dan kemungkinan serangan jantung.
Penggunaan bersama theophyllines berpengaruh baik mungkin akan
menurun (Tatro, 2003).

Efek samping
Efek samping yang timbul akibat penggunaan fenitoin antara lain
adalah pada sistim cardiovaskular (penggunaan IV ) dapat terjadi penurunan
TD, hipotensi, atrium dan ventrikel depresi konduksi, fibrilasi ventrikel. Pada
sistem saraf pusat bisa terjadi Nystagmus, ataksia, dysarthria, bicara cadel,
kebingungan mental, pusing , insomnia, gugup sementara, Motor twitching,
diplopia, kelelahan, mudah marah, mengantuk, depresi, mati rasa, tremor,
sakit kepala, choreoathetosis ( penggunaan IV ). Pada kulit bisa menimbulkan
Ruam, kadang-kadang disertai demam , bulosa, dermatitis eksfoliatif atau
purpura, lupus eritematosus, Sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal
toksik, hirsutisme, alopecia. Bisa menimbulkan konjungtivitis.
Pada saluran pencernaan bisa menyebabkan mual, muntah, diare,
sembelit. Pada sistim vaskular dapat menyebabkan trombositopenia,
leukopenia, granulocytopenia, agranulositosis, pansitopenia, makrositosis,
anemia megaloblastik, eosinofilia, monocytosis, leukositosis, anemia, anemia
hemolitik, anemia aplastik.
Pada hepar bisa menimbulkan toksisitas hepar dan kerusakan hati,
hepatoseluler degenerasi dan nekrosis, hepatitis, ikterus, nephrosis. Selain itu
efek samping lain yang dapat ditimbulkan adalah hiperplasia gingiva,
pengkasaran fitur wajah, pembesaran bibir, Penyakit Peyronie,
polyarthropathy, hiperglikemia, berat badan, nyeri dad , IgA depresi, demam,
fotofobia, ginekomastia, periarteritis nodosa, fibrosis paru, cedera jaringan
pada tempat suntikan, hiperplasia kelenjar getah bening, hipotiroidisme
(Tatro, 2003).

Tanda & Gejala Overdosis
Nystagmus, ataxia, dysarthria, hypotension, diminished mental
capacity, coma, unresponsive pupils, respiratory and cardiovascular
depression (Tatro, 2003).

2. FARMAKOKINETIKA
Absorpsi
Absorbsi obat tergantung pada rute pemberian dan formulasi dari obat
tersebut. UNIL menerangkan bahwa fenitoin merupakan obat yang sukar larut
dalam air, oleh karena fenition diberikan dalam bentuk garamnya yakni
fenitoin sodium. Absorbsi fenitoin di dalam lambung sangat sedikit karena
fenitoin tidak larut dalam lambung yang bersifat asam. Absorpsi maksimal
fenitoin terjadi pada bagian usus halus yakni duodenum yang mempunyai Ph
7-7,5. Sedangkan, di yeyunum dan ileum absorpsi lebih lambat, lalu dikolon
sangat sedikit, dan di rektum tidak terjadi absorbsi (Shorvon, 2005). Onset Of
Action dari fenitoin untuk P.O 1 minggu, P.O dengan pemberian Loading
dose 2-24 jam dan IV 0,5-1 jam. Sedangkan, waktu untuk mencapai kadar
puncak plasma untuk sediaan Immediate Release (IR) adalah 1.5-3 jam dan
Extended Release (ER) adalah 4-12 jam (Medscape).
Distribusi dan biotranfsormasi
Setelah mencapai sirkulasi sistemik fenitoin akan tersebar luas ke
jaringan, juga melewati plasenta dan terkesresi dalam air susu. Fenitoin
memiliki ikatan kuat dengan protein albumin, berikut ini beberapa parameter
farmakokinetik fenitoin (Lacy, 2009 dan Dipiro, 2008):
Tabel 1. Profil Farmakokinetik Fenitoin
Distribusi (Vd)
Neonatus : premature : 1-1,2 L/kg
Normal : 0,8-0,9 L/kg
Infant : 0,7-0,8 L/kg
Children : 0,7 L/kg
Adult : 0,6-0,7 L/kg
Protein binding Neonatus : 80% (20% bebas)
Infant : 85% (15% bebas)
Adult : 90-95%
Half-life
elimination (t1/2)
Adult:1034 jam
Children: 514 jam
Waktu Steady
State
728 hari

Metabolisme
Fenitoin akan dimetabolisme menjadi bentuk yang tidak aktif menjadi
parahidroksifenil sebelum dieksresikan melalui ginjal, enzim pemetabolisme
fenitoin antara lain CYP2C9 (major), CYP2C19 (major), CYP3A4 (minor).
Selain itu terdapat enzim inducer yang berperan dalam metabolisme fenitoin,
dimana apabila ada obat lain yang dimetabolisme oleh enzim-enzim tersebut
maka akan mempercepat proses metabolisme fenitoin yaitu CYP2B6 (strong),
CYP2C8 (strong), CYP2C9 (strong), CYP2C19 (strong), CYP3A4 (strong)
(Lacy, 2009). Fenobarbital mempunyai sifat enzimatic inducer, sehingga
untuk penggunaan jangka panjang diperlukan tappering on terhadap dosis
fenioin (Utama, 1999 ; Wibowo, 2006).
Ekskresi
Sebagian besar metabolit fenitoin diekskresikan bersama empedu,
kemudian mengalami reabsorpsi dan biotranformasi lanjutan dan diekskresi
melalui ginjal. Diginjal metabolit utamanya mengalami sekresei oleh tubuli,
sedangkan bentuk utuhnya mengalami reabsorpsi (Lacy et al, 2006).

3. FARMAKOGENETIKA
Enzim yang bertanggungjawab dalam metabolisme fenitoin adalah
CYP2C9 dan CYP2C19, fenitoin di metabolisme oleh CYP2C9 sebesar 90%
dan sebagian oleh CYP2C19 sebesar 10% menjadi bentuk metabolitnya yaitu
5-(para-hydroxyphenyl)-5-phenylhydantoin (p-HPPH). Pada penelitian yang
dilakukan oleh Rosemary ingin meneliti pengaruh varian CYP2C9 yaitu
CYP2C9*2 dan CYP2C9*3 serta varian CYP2C19 yaitu CYP2C19*2 dan
CYP2C19*3 terhadap hasil metabolisme fenitoin pada orang India yang
sehat. Berdasarkan penelitian tersebut varian CYP2C9*2 dan CYP2C9*3
dapat menurunkan metabolit dari fenitoin. Sedangkan, varian dari
CYP2C19*2 dan CYP2C19*3 tidak memiliki efek yang signifikan terhadap
metabolisme fenitoin (Rosemary, 2006).
Pada literatur lain penelitian yang dilakukan oleh Kerb menjelaskan
tentang pengaruh MDR1, CYP2C9, dan CYP2C19 terhadap kadar plasma
fenitoin. Seperti yang telah disebutkan pada penelitian di atas, CYP2C9
metabolisator fenitoin terbesar dan CYP2C19 juga berperan kecil dalam
metabolisme fenitoin. MDR1 diketahui sebagai gen yang menyebabkan Multi
Drug Resistant, berperan dalam pompa efflux sel dan memediasi transport
ATP melewati membran dari obat digoxin, cyclosporin, protease inhibitors,
dan phenytoin. Secara tidak langsung MDR1 mempengaruhi distribusi obat,
mempengaruhi bioavailabilitas obat dengan melalui absorpsi di usus serta
mempengaruhi eliminasi dengan mengatur konsentrasi intrasel obat. Selain
itu, MDR1 merupakan gen pengkode p-glycoprotein (pGP). pGP merupakan
faktor yang mempengaruhi transport obat, faktor ini berada pada banyak
jaringan seperti usus, hati dan ginjal, berdasar tempatnya tersebut pGP juga
memiliki fungsi mencegah uptake dan membantu proses eliminasi. Berdasar
penelitian tersebut MDR1 dan CYP2C9 memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap konsentrasi plasma fenitoin. Sedangkan, tidak berpengaruh
signifikan terhadap kadar plasma fenitoin (Kerb, 2001)

4. PENYESUAIAN DOSIS
a. Status epilepticus
- Dosis Dewasa
Sediaan I.V. Loading dose = 10-15 mg/kg. Dosis yang sering
digunakan adalah 15-20 mg/kg, dengan kecepatan infus maksimal 50
mg/minute.
- Dosis Anak
Loading dose fenitoin pada infants and children adalah 15-20 mg/kg
dalam dosis tunggal atau dosis terbagi. Sedangkan untuk dosis
maintenance-nya yaitu 5mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi.
Untuk anak 6 bulan 3 tahun = 8 10 mg/kg/hari
anak 4 6 tahun = 7,5 9 mg/kg/hari
anak 7 9 tahun = 7 8 mg/kg/hari
anak 10 16 tahun = 6 7 mg/kg/hari
b. Anticonvulsant: Sediaan Oral. Loading dose = 15-20 mg/kg diberikan
dalam 3 dosis terbagitiap 2-4 jam untuk mengurangi efek samping GIT.
Maintenance dose: 300 mg/hari atau 5-6 mg/kg/ hari dalam 3 dosis
terbagi, jika menggunakan Extended Release diberikan dalam 1-2 dosis
terbagi (rentang 200-1200 mg/ hari)
Pengaturan Dosis pada pasien Obesitas: Loading dose = menggunakan
adjusted body weight (ABW) (Abernethy, 1985)
ABW = [(Actual body weight - IBW) x 1.33] + IBW
Maximum loading dose: 2000 mg (Erstad, 2004)
(Lacy, 2009)

5. TDM
Fenitoin memiliki indeks terapi yang sempit, oleh karenanya penentuan
dosis fenitoin sangatlah penting. Selain itu, fenitoin juga memiliki ikatan
protein yang tinggi (90%). Adanya interaksi antar obat, kondisi fisioligis
seperti penyakit gagal ginjal, uremia, dan penyakit lain dapat merubah persen
obat bebas dalam tubuh sehingga berdampak terhadap efikasi dan toksisitas
obat tersebut. Lebih lanjut lagi, fenitoin memiliki profil farmakokinetik
nonlinier. Dalam metabolismenya, enzim yang bertanggung jawab dalam
metabolisme fenitoin lama kelamaan akan menjadi jenuh, hal ini
menyebabkan konsentrasi obat dalam tubuh meningkat sehingga laju
eliminasinya juga menurun. Artinya, ketika enzim pemetabolisme menjadi
jenuh, peningkatan dosis fenitoin yang sedikit saja dapat menambah kadar
fenitoin. Oleh karena itu, di butuhkan pemantauan terapi fenitoin untuk
memastikan keberhasilan terapi (Wu, 2013).
Berikut ini merupakan kriteria pasien yang memerlukan monitoring
kadar fenitoin, yaitu:
- Pasien dengan albumin <30 g/L
- Pasien dengan gangguan ginjal
- Pasien yang mengkonsumsi valproat
- Pasien lansia dengan albumin di bawah normal
(Anonim, 2007)
Tabel 2. Monitoring dosis dan kadar fenitoin dalam serum
Rute Rate Monitoring Waktu memulai
pemberian
maintenance dose
IV Maks : 50mg/menit (25
mg/menit in elderly or
pasien jantung)
ECG, nadi, RR,
tekanan darah
6-8 jam setelah
pemberian loading
dose
Oral Dibagi menjadi 3
peningkatan dan diberikan
setiap 2-3 jam
24 jam setelah
pemberian loading
dose
(Anonim, 2007)

Pengukuran serum
Loading dose : 2-4 jam setelah pemberian IV atau 24 jam setelah
pemberian peroral
Maintenance dose : steady state trough levels (7-21 hari)
Activity seizure : saat terjadi seizure, kadar fenitoin membantu
dalam memprediksikan ambang batas yang
menyebabkan pasien tersebut kejang
(Anonim, 2007)
Serum albumin
Protein binding fenitoin mencapai 90%. Dosis harus disesuaikan jika kadar
serum albumin berkurang.


[( ) ]


Tabel 3. Adjustment of Serum Concentration in Adult With Low Serum
Albumin

Cp yang diamati
(mcg/ml)
Kadar albumin (g/dl)
3,5 3 2,5 2
Penyesuaian kadar (mcg/ml)
5 6 7 8 10
10 13 14 17 20
15 19 21 25 30
(Lacy, 2009)
Gagal ginjal (<10 ml/menit atau dialisis)
Pada pasien gagal ginjal, uremia dapat meningkatkan fraksi fenitoin yang
tidak terikat. Pasien ini juga cenderung memiliki albumin serum yang rendah.
Secara umum, dosis terapeutik menjadi 20-40 umol/L.


[( ) ]


Tabel 3. Adjustment of Serum Concentration in Adults With Renal Failure
(Cl
cr
< 10 mL/min)
Cp yang
diamati
(mcg/ml)
Kadar albumin (g/dl)
4 3,5 3 2,5 2
Penyesuaian kadar (mcg/ml)
5 10 11 13 14 17
10 20 22 25 29 33
15 30 33 38 43 50
(Lacy, 2009)








BAB III
STUDI KASUS

Kasus 1
Tuan B.F memiliki berat badan 72 kg akan diberikan fenitoin IV. Dokter
meresepkan fenitoin dan menginginkan konsentrasi fenitoin dalam plasma
mencapai 20 mg/L. Jelaskanlah berapa loading dose fenitoin yang harus
diberikan! (Vd fenitoin 0,65 L/kg).


()( )
()()



( )( )
()()


atau 1000 mg

Kasus 2
Tuan S.B (37 tahun), dengan berat badan 70 kg, menderita penyakit kejang parsial
yang dikontrol dengan kapsul fenitoin 300 mg/hari. Tahun lalu, konsentrasi
fenitoin plasmanya 8 mg/L. Hitung dosis pemeliharaan untuk mencapai
konsentrasi keadaan tunak baru 15 mg/L.

Untuk menentukan dosis harian yang baru, perlu memperkirakan nilai Vm atau
Km untuk pasien S.B. Pendekatan umumnya adalah dengan menggunakan
persamaan :
()()()





()()()( )



Km diperkirakan 4 mg/L, S adalah 0,92 (kapsul fenitoin adalah garam natrium),
dan F adalah 1,0.

()()( )( )




Untuk menghitung dosis yang dibutuhkan agar mencapai konsentrasi keadaan
tunak 15 mg/L, maka :
()()()





( )()()


Dengan menggunakan Km 4 mg/L dan Vm yang dihitung 414 mg/hari, dosis
harian yang diberikan untuk mencapai konsentrasi keadaan tunak 15 mg/L :

( )( )( )
( )()()



Kasus 3
Ny. EW dengan berat 60 kg, usia 56 tahun, menderita gagal ginjal kronis dan
gangguan kejang. Dia menjalani hemodialisis 3 kali seminggu. Kadar albumin
serum 3,5 g/dL dan mendapat fenitoin 300 mg/hari. Konsentrasi fenitoin plasma
keadaan tunak yang dilaporkan : 5 mg/L. Apa yang akan terjadi dengan
konsentrasi fenitoinnya jika Ny. EW memiliki konsentrasi albumin serum normal
dan fungsi ginjal normal? Apakah sebaiknya dosis fenitoin harian ditingkatkan?
(Albumin serum normal 4,4 g/dl)

Konsentrasi fenitoin ikatan plasma normal



[()() (


)]


[()() (

)]


= 11,2 mg/L = 11 mg/L

Atau dapat dilihat langsung pada tabel Tabel 3. Adjustment of Serum
Concentration in Adults With Renal Failure (Cl
cr
< 10 mL/min). Konsentrasi
fenitoin plasma 5 mg/L yang diukur dengan perubahan ikatan pada pasien EW
adalah sebanding dengan konsentrasi 11 mg/L pada pasien dengan ikatan plasma
normal.

Kasus 4
Nama : an. F (laki-laki)
Umur : 14 bulan
BB : 12,3 kg
Diagnosa : febriskonvulsi (epilepsi)
Riwayat pasien :
Kejang setiap hari mulai umur 13 bulan, dalam 1 hari kejang 5 kali. Bangun tidur
selalu kejang. Saat kejang kaki dan tangan kaku, mata melirik kekanan/kiri,
kejang berlangsung sekitar 1 menit. Setelah kejang langsung sadar tetapi
kondisinya lemas. Jarak waktu antara kejang I dan II sekitar 1 2 jam. Tidak ada
riwayat kejang dalam keluarga dan tidak pernah jatuh.
Terapi yang diberikan :
Terapi utama : Fenitoin
Berapa dosis fenitoin IV yang dapat diberikan kepada pasien?

Jawaban :
Loading dose fenitoin pada infants and children adalah 15-20 mg/kg dalam dosis
tunggal atau dosis terbagi. Sedangkan untuk dosis maintenance nya yaitu
5mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi.
Untuk anak 6 bulan 3 tahun = 8 10 mg/kg/hari
anak 4 6 tahun = 7,5 9 mg/kg/hari
anak 7 9 tahun = 7 8 mg/kg/hari
anak 10 16 tahun = 6 7 mg/kg/hari
Loading dose yang diberikan 15-20 mg/kg. BB anak 12,3 kg, sehingga loading
dose fenitoin yang diberikan 184,5 246 mg / hari.
Untuk maintenance dose, karena pasien berusia 14 bulan, dosis yang digunakan
yaitu 8-10 mg/kg/hari. Dosis = 8-10 mg x 12,3 kg = 98,4 mg 123 mg / hari.




























DAFTAR PUSTAKA

Abernethy DR and Greenblatt DJ, Phenytoin Disposition in Obesity.
Determination of Loading Dose, Arch Neurol, 1985, 42(5):468-
71.[PubMed 3994563]
Anonim. 2007. Monitoring Phenytoin Serum Concentration. Clinical
Pharmacology Bulletin, No : 003/07.
Dipiro, J.T, Talbert, R.L, Yee, G.C, Matzke G.R, Wells, B.G, Posey L.M. 2008.
Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach 7
th
Edition. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Erstad BL, Dosing of Medications in Morbidly Obese Patients in the Intensive
Care Unit Setting, Intensive Care Med, 2004, 30(1):18-32.[PubMed
14625670]
Houghton GW, Richens A, Leighton. Effect of age, height, weight, and sex on
serum phenytoin concentration in epileptic patients. Br J Clin Pharmacol
1975; 2:251-256
Kerb, R.., dll. 2001. The predictive value of MDR1, CYP2C9, and CYP2C19
polymorphisms for phenytoin plasma levels. Nature Publishing Group All
rights: Germany
Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lance, L.L. 2006. Drug
Information Handbook, 14th Ed., 1260-1264, Lexicomp, Inc., USA
Lacy, Charles F. 2009. Drug Information Handbook. American Pharmacists
Association.
Medscape. Phenytoin (Rx). Diakses tanggal 31-5-2014 pukul 5.30
(http://reference.medscape.com/drug/dilantin-phenytek-phenytoin-
343019#10)
Rosemary, J., dll. 2006 Influence of the CYP2C9 & CYP2C19 polymorphisms on
phenytoin hydroxylation in healthy individuals from south India.
Jawaharlal Institute of Postgraduate Medical Education & Research
(JIPMER): India
Shorvon, Simon. 2005. Handbook of Epilepsy Treatment. Second
Edition.Blakwell Publishing: Massachusetts, USA. Hal. 75
Tatro, D.S. 2003. A to Z drug Facts. Facts and Comparisons. USA
University De Launce. Phenytoin Pharmacokinetic. Diakses tanggal 31-5-2014
pukul 5.30 (http://sepia.unil.ch/pharmacology/index.php?id=88)
Utama, H. dan Vincent H.S. 1999. Fenitoin. Dalam: Farmakologi dan Terapi.
Edisi 4. EGC. Jakarta.
Wibowo S, Gofir A. Farmakologi obat antiepilepsi. Dalam : buku obat anti
epilepsi. penerbit pustaka cendekia press. Yogyakarta : Hal 7-12
Wu, M.F., dll. 2013. Phenytoin: A Guide to Therapeutic Drug Monitoring.
Department of Pharmacy, Singapore General Hospital: Singapore

Вам также может понравиться