KEHUJJAHAN I STI HSAN SEBAGAI METODE I STI NBATH HUKUM
Oleh : Akhmad Muhaini
I. Pendahuluan Berdasarkan penyelidikan yang handal, hukum-hukum amaliyah yang diambil dari dalil-dalil syariyyah berlandaskan pada empat dasar pokok, Al- Quran, As-Sunnah, Al-Ijma, dan Al-Qiyas. Oleh sebagian besar ulama keempat landasan tersebut disepakati sebagai dalil, di samping kesepakatan mengenai cara penggunaan dalil tersebut secara kronologis, dengan susunan, (1) Al-Quran, (2) As-Sunnah, (3) Al-Ijma, dan (4) Al-Qiyas. 1
Terdapat pula dalil-dalil selain empat dalil tersebut, namun tidak semua jumhur umat Islam sepakat menjadikannya sebagai dalil bagi hukum syara, bahkan ada yang menolak. Dalil-dalil yang diperselisihkan itu, yang terkenal ialah : (1) Istihsan, (2) Maslahah Mursalah, (3) Istishab, (4) Urf, (5) Madzhab Shahaby, (6) Syarun man qablana. 2
Secara berangsur-angsur, para ulama mengembangkan metode istinbath (menarik kesimpulan hukum) baik berdasarkan kaidah-kaidah atau petunjuk umum dalam nash maupun dari penggunaan akal. Di antara metode-metode itu adalah qiyas, istihsan dan istishlah. Semua metode ini hanyalah upaya memecahkan persoalan. Studi kritis terhadapnya akan segera membuktikan bahwa penggunaan metode-metode tersebut juga menimbulkan persoalan. Tidak ada kesepakatan ulama mengenai kebolehan menggunakan masing-masing di antara ketiga hal itu. Sebagian menerimanya, sebagian menolaknya. Tidak jarang perbedaan itu muncul karena perbedaan pemaknaan istilah-istilah itu. Syafi'i, misalnya, menyerang istihsan dan menganggapnya sebagai usaha untuk membuat syari'at (man istahsana faqad syara'a). Maliki dan Hanafi memandang istihsan bahkan
1 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, Alih Bahasa : Masdar Helmy, (Bandung : Gema Risalah Press, 1992), hal. 36. 2 Ibid hal. 38.
2
harus didahulukan dari qiyas. Malik menyebut istihsan sebagai sembilan persepuluh ilmu (Al-istihsan tis'ata'syar al-'ilm). Tapi ketika Syafi'i menyerang istihsan seperti yang dimaknakan olehnya, ia menggunakan metode qiyas khafi, yang tidak lain daripada istihsan menurut mazhab Hanafi 3 . Berangkat dari perselisihan pendapat tersebut di atas, dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas tentang kehujjahan dalil istihsan
sebagai istinbath hukum 4 .
II. Pembahasan A. Definisi Istihsan Secara lughat / etimologi istihsan berarti meminta berbuat kebaikan, yaitu menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan 5 . Dan para ulama tidak ada yang berbeda pendapat tentang penggunaan lafal istihsan ini 6 . Sedangkan secara terminology/istilah ulama ushul, istihsan mempunyai beberapa pengertian yaitu sebagai berikut : 1. Al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa juz 1 : 137, istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya. 2. Al-HasanAl-Kurkhi Al-Hanafi, istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan. 3. Imam Malik berpendapat, istihsan adalah mengamalkan dalil yang lebih kuat dari dua dalil, atau mengambil maslahah yang bersifat juziy di dalam dalil yang bersifat kulli.
3 Jalaluddin Rakhmat, Artikel Yayasan Paramadina, dalam internet website http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Tuntutan.html 4 Untuk lebih jelas silahkan baca Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, Alih Bahasa : Masdar Helmy, hal. 39 - 160. 5 Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal 111. 6 Wahbah Zuhaily, Fiqh al-Islam wa adillatuhu, dalam al-Maktabah samilah, Juz 2, Fasal 2, hal. 735. 3
4. Ibnu Rusyd berpendapat, istihsan adalah membuang qiyas yang membelenggu dan memberatkan hukum, kemudian beralih kepada sebagian makna khusus yang termasuk dalam hukum tersebut. 5. Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari Al-Quran dan As-Sunah. 6. Ibnul Araby, Istihsan adalah memilih meninggalakan dalil, dan mengambil rukhsah, dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil lain pada sebagian kasus tertentu Abu Ishaq Asy-Syatibi (termasuk pengikut madzhab Al- Maliki) berkata, beberapa pengertian di atas berdekatan satu dengan yang lain, sama sekali tidak keluar dari dalil-dalil yang ada, karena sesungguhnya dalil-dalil itu saling menguatkan, sebagian mentakhsis yang lain 7 . 7. Menurut Wahbah az-Zuhaili 8 : Beliau mendefinisakan istihsan menjadi 2, yaitu : 1 . "Istihsan Qiyasi : Memakai qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu". Terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali atau qiyas khafi. Bila dilihat dari segi kejelasan illatnya maka qiyas jali lebih pantas didahulukan atas qiyas khafi, namun menurut madzhab Hanafi apabila mujtahid memandang bahwa qiyas khafi lebih besar kemaslahatan yang dikandungnya dibanding dengan qiyas jali, maka qiyas jali boleh ditinggalkan dan yang dipakai adalah qiyas khafi. Istihsan semacam ini disebut dengan istihsan qiyasi
7 Wahbah Zuhaily, Fiqh al-Islam wa adillatuhu, dalam al-Maktabah samilah, Juz 2, Fasal 2, hal. 738. 8 Ibid,hal 739 4
Contoh : Menurut qiyas jali, hak pengairan yang berada di atas tanah pertanian yang diwakafkan, tidak dianggap diwakafkan kecuali jika ditegaskan dalam ikrar wakaf, diqiyaskan dengan praktik jual beli, karena sama-sama menghilangkan milik. Dalam jual beli, hak pengairan yang berada di atas sebidang tanah yang dijual tidak dianggap termasuk kepada yang dijual kecuali jika ditegaskan dalam akad jual beli. Namun berdasarkan istihsan yang berorientasi kepada kemaslahatan, hak untuk mengairi itu termasuk ke dalam tanah wakaf meskipun tidak ditegaskan pada waktu berikrar wakaf, karena diqiyaskan kepada sewa menyewa dengan persamaan illat sama-sama untuk diambil manfaatnya. Dilihat dari segi manfaatnya, qiyas yang disebut terakhir ini lebih kuat pengaruh hukumnya karena sejalan dengan tujuan disyariatkannya wakaf, yaitu untuk diambil manfaatnya. 9
2 .
"Istihsan Istisnay : Hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut". Dari beberapa definisi yang dikemukakan para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa istihsan adalah penggunaan maslahat juziyyah pada suatu kasus tertentu yang berlawanan dengan qiyas am 10 . B. Macam-macam Istihsan Dilihat dari segi pengaruh / kekuatan hukumnya istihsan dibagi dua, yaitu 11 : 1 . "Istihsan dengan memilih cara menetapkan illah berdasarkan dampak yang lebih kuat dan efektif mekipun bersifat khafi".
Contoh : Sisa makanan burung gagak dan elang. Menurut istihsan, sisa makanan dan minuman burung tersebut tetap suci, sedangkan menurut qiyas, itu adalah najis, hal inikarena menurutteori qyas, burung-burung ini digolongkan sebagai binatang buas yang dagingnya haram dimakan, dengan demikian,sisa makanan dan mnuman juga haram, seperti halnya sisa binatang buas lain. Dengan kata lain, keharaman sisa minuman burung itu mengacu pada illah kebuasannya yang sangat jelas. Sementara dalam teori istihsan, meski daging burung buas itu jelas keharamannya, termasuk air liurnya, namun sisa minumannya belum jelas status keharamannya, dan bisa tetap suci dan halal diminum, hal inikarena burung buas ini minum dengan paruhnya yang kering, maka air yang disentuh tidaklh najis, seperti halnya air yang disentuh oleh benda kering lainnya. 12
2 . Istihsan dengan memilih cara mendahulukan dhahir teks, karena konteks (khafi) yang tidak sesuai / rusak". Contoh : Kewajiban melaksanakan sujud tilawah ketika membaca ayat-ayat sajdah di dalam shalat, apabila dikerjakan dengan ruku dengan niat sujud ilawah, maka akan menimbulkan pertentangan antara qiyas dan istihsan. Sesuai ketentuan qiyas boleh mengerjakan sujud tilawah dalam shalat dengan ruku, karena tujuan dari sujud adalah memperlihatkan rasa tadzim / hormat, tawadhu dan menjauhi sifat sombong. Semua tujuan itu bisa dinyatakan dengan ruku karena adanya persamaan lahiriyah. Ini adalah qiyas jaliy (nyata) yang diragukan keabsahannya, karena terdapat kerusakan yang nyata. Adapun ketentuan istishan adalah tidak boleh mengganti sujud tilawah dengan ruku, karena yang diperintahkan syareat adalah sujud,
12 Hamka Haq, Al-Syatibi Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al- Muwafaqat, (Jakarta : Erlangga,2007), hal.247 6
maka tidak bias sujud tilawah diganti dengan ruku karena diqiyaskan dengan sujud shalat 13 . Dari segi penetapan dalilnya Istihsan dibagi kepada beberapa macam, yaitu 14 : a) Istihsan bin-nas, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nas (al-Quran atau Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus- kasus serupa. Contoh : Menurut kaidah umum, makan dalam keadaan lupa di siang hari Ramadhan merusak puasa seseorang, karena telah merusak rukun dasarnya yaitu imsak (menahan diri dari yang membatalkan puasa) di siang harinya. Namun, hadis Rasulullah yang berarti : Dari Abu Hurairah, dari nabi SAW. Bersabda : Barangsiapa lupa, padahal ia sedang puasa, kemudian ia makan dan minum, hendaklah menyelesaikan puasanya. Hanya saja Allah yang memberinya makan dan minum. (HR. Bukhori dan Muslim) b) Istihsan berlandaskan ijma. Yaitu para mujtahid memberikan fatwa yang berbeda dengan hukum asalnya, atau mereka berdiam diri/tidak mengingkari praktek perilaku orang banyak. Misalnya, pesanan untuk membuat lemari. Menurut kaidah umum praktek seperti itu tidak boleh, karena pada waktu mengadakan akad pesanan, barang yang akan dijualbelikan tersebut belum ada. Memperjualbelikan benda yang belum ada waktu melakukan akad dilarang dalam hadis Rasulullah (HR. Abu Daud). Namun hal itu dibolehkan sebagai hukum pengecualian, karena tidak seorang pun ulama yang membantah keberlakuannya dalam masyarakat yang sudah berlaku turun temurun, dan merupakan hajat orang banyak serta menghilangkan kesulitan dari mereka, sehingga hal ini dianggap sudah disepakati (ijma) c) Istihsan yang berlandaskan urf (adat kebiasaan).
Misalnya boleh mewakafkan benda bergerak seperti buku-buku dan perkakas alat memasak. Menurut ketentuan umum perwakafan, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, wakaf hanya dibolehkan pada harta benda yang bersifat kekal dan berupa benda tidak bergerak seperti tanah. Dasar kebolehan mewakafkan benda bergerak itu hanya adat kebiasaan di berbagai negeri yang membolehkan praktek wakaf tersebut. Contoh yang lain adalah kebolehan penyewaan WC umum / kamar mandi dengan tarif yang ditentukan tanpa menghitung berapa banyak jumlah air yang dipakai atau berapa lama seseorang berada di kamar mandi. Menurut qiyas tidak membolehkan praktek semacam ini, karena sebetulnya praktek sewa ini harus menentukan jumlah pemakaian air atau yang lainnya, maka tidak sah akad terhadap benda yang belum jelas. Tetapi istihsan menghukumi sebaliknya, karena berpedoman dengan urf atau adat yang berlaku dalam setiap saat, dengan membuang keruwetan dan memelihara hajat orang banyak. d) Istihsan yang berlandaskan dharurat. Yaitu ketika ditemukan keadaan darurat di mana seseorang boleh meninggalkan qiyas dan mengambil keadaan dharurat tersebut. Misalnya adalah tentang kesucian air sumur atau kolam yang kejatuhan najis. Sesuai ketentuan qiyas adalah tidak mungkin mensucikan sumur dan kolam dengan membuang sebagian atau keseluruhan air yang ada, karena membuang sebagian air tidak berpengaruh terhadap kesucian air yang masih ada, dan membuang keseluruhannya tidak berfaidah terhdap air yang keluar kemudian. Namun para ulama berpendapat lebih baik meninggalkan qiyas, dan menganggap baik atau cukup tentang kesucian sumur dan kolam ini dengan membuang sebagian air sesuai kebutuhan (yang terkena najis) e) Istihsan yang berlandaskan qiyas khafi. Pengertian dari istihsan ini sama dengan definisi istihsan yan pertama dalam bab II Pembahasan, tentang definisi istihsan, yaitu 8
istihsan qiyasi. Sebagai contohnya adalah sisa makanan/minuman burung gagak dan elang dan hak-hak tanah pertanian yang diwakafkan 15 . Sebagai contoh lain adalah bahwa melihat aurat perempuan yang bukan muhrim haram, karena dapat menimbulkan"fitnah" (membawa orang kepada kemaksiatan). Yang dalam kurung itu disebut 'illat yang sangat jelas (kita sekarang sedang melakukan qiyas jaliy). Bagaimana hukumnya seorang dokter yang harus memeriksa pasien wanitanya? Bila ia tidak melihat auratnya, ia tak bisa menolong pasien itu dengan baik. Ia harus menolong pasien itu untuk mengembalikan kesehatannya, untuk kemaslahatan pasiennya. Tapi alasan ('illat) ini hanya dalam kasus pasien saja dan dianggap tegas (kita sedang melakukan qiyas khafiy). Bila kita meninggalkan qiyas jaliy dan mengambil qiyas khafiy, kita melakukan istihsan 16 . f) Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah. Pengertian dari istihsan ini sama dengan definisi istihsan yang kedua dalam bab II Pembahasan, tentang definisi istihsan, yaitu istihsan istisnaiy 17 . Misalnya, mengharuskan ganti rugi atas diri seorang penyewa rumah jika peralatan rumah itu ada yang rusak di tangannya, kecuali jika kerusakan itu disebabkan bencana alam yang di luar kemampuan manusia untuk menghindarinya. 18 Menurut kaidah umum, seorang penyewa rumah tidak dikenakan ganti rugi jika ada yang rusak selama ia menghuni rumah itu, kecuali jika kerusakan itu disebabkan kelalaiannya. Tetapi demi menjaga keselamatan harta tuan rumah dan menipisnya rasa tanggung jawab kebanyakan para penyewa, maka
15 Wahbah Zuhaily, Fiqh al-Islam wa adillatuhu, dalam al-Maktabah samilah, Juz 2, Fasal 2, hal. 746. 16 Jalaluddin Rakhmat, Artikel Yayasan Paramadina, dalam internet website http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Tuntutan.html 17 Wahbah Zuhaily, Fiqh al-Islam hal. 746. 18 Jalaluddin Rakhmat, Artikel Yayasan Paramadina, dalam internet website http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Tuntutan.html
9
kebanyakan ahli fiqh berfatwa untuk membebankan ganti rugi atas pihak tersebut. 19
III. Kehujjahan dan Pandangan Para Ulama Tentang I stihsan A. Para Pendukung Istihsan 1. Ulama Hanafiyah Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab ushul menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan, bahkan dalam kitab fikihnya banyak sekali terdapat permasalahan yang menyangkut istihsan. 2. Ulama Malikiyah Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Menurut Abu Zahrah, imam Malik sering berfatwa dengan menggunakan Istihsan. 3. Ulama Hanafiyah Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Menurut Abu Zahrah, imam Malik sering berfatwa dengan menggunakan Istihsan 20 . Mereka berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan, antara lain : a) Al-Quran surat az-Zumar (39) ayat : 18 Artinya : Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. b) Hadis nabi :
Artinya : Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, adalah juga baik di sisi Allah. (HR. Ahmad dalam kitab sunnah) 21
B. Pandangan Penolak Istihsan Tidak semua ulama sepakat terhadap Istihsan sebagai metode istinbath hukum di antaranya adalah Imam Syafiiyah, madzhab dhahiriyah, kelompok / golongan Mutazilah dan golongan Syiah. Imam SyafiI berkata di dalam kitab Risalahnya : Apabila setiap orang boleh melakukan istihsan di dalam urusan agamanya, maka orang yang tidak mempunyai ilmu pun dapat melukukannya, dia bisa membuat syareat dalam setiap bagian, dan dia bisa mengeuarkan / memilih hukum syareat untuk dirinya sendiri 22 . Golongan Al-Syafii secara masyhur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbath hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Imam Syafii berkata : Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syariat. Beliau juga berkata : Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT., setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak dibolehkan menggunakan istihsan 23 . Alasan yang dipakai golongan as-Syafiiyyah antara lain : a) Al-Quran surat al-Anam (6) ayat : 38 Artinya : Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. b) Al-Quran surat an-Nahl (16) ayat : 44
Artinya : Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, c) Al-Quran surat al-Maidah (5) ayat : 49 Artinya : Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang- orang yang fasik. Menurut Wahbah Zuhaili, adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan istihsan. Imam Syafii membantah istihsan yang didasarkan atas hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil syara. Sedangkan istihsan yang dipakai oleh para penganutnya bukan didasarkan atas hawa nafsu, tetapi mentarjih (menganggap kuat) salah satu dari dua dalil yang bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan pembentukan hukumnya.
IV. Aplikasi Istihsan Secara teknis praktek-praktek istihsan dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu : A. Cara yang pertama adalah memilih yang lebih kuat di antara dua dalil yang bertentangan atau berbeda (ikhtilaf). 1. Boleh jadi ikhtilaf di antara dua dalil lafzhi, yakni dalil yang diambil dari al-Qur'an dan Sunnah. 12
Kita melakukan istihsan bila kita mentarjih (menganggap lebih baik) salah satu di antaranya. Contoh-contoh dan petunjuk-petunjuk praktis penggunaan istihsan ini adalah sebagai berikut ; a) Dahulukan hukum yang mendesak (mudhiq) di atas hukum yang memberikan kelonggaran (musi'). Misalnya, antara menghilangkan najis di masjid dengan melakukan shalat pada awal waktunya, atau antara menolong orang yang celaka dengan melakukan shalat Jum'at. Pilihlah menghilangkan najis dan menolong orang yang celaka. b) Dahulukan yang tidak ada penggantinya dengan yang ada penggantinya. Misalnya, menggunakan air untuk memuaskan rasa haus atau untuk berwudhu'. Wudhu' itu ada penggantinya, yaitu tayammum. Tapi memuaskan haus tidak bisa diganti dengan batu. c) Dahulukan yang sudah tertentu (mu'ayyan) di atas urusan yang memberikan alternatif (mukhayyar). Misalnya memenuhi nadzar atau membayar kifarat. Anda bernadzar untuk memberikan makanan bagi orang miskin, tapi juga Anda harus membayar kifarat puasa. d) Dahulukan yang lebih penting dari pada yang penting. Anda wajib melakukan haji dan pada saat yang sama Anda harus membayar hutang. Bayarlah hutang Anda lebih dulu. 2. Ta'arudh terjadi kalau ada dua dalil syara' yang bertentangan. Para ulama ushul mengusulkan beberapa cara, yang tidak dapat kita perinci satu per satu: mendahulukan yang mutlak di atas yang muqayyad, takhshish di atas 'am, nasikh di atas mansukh, hakim di atas mahkum, al-Qur'an di atas Sunnah, yang disepakati di atas yang diikhtilafi. 3. Ikhtilaf di antara dua dalil ghair lafzhi; misalnya, antara qiyas jaliy dengan qiyas khafiy. Atau ikhtilaf di antara dalil lafzhi dan ghair lafzhi. B. Cara yang kedua adalah mengambil sesuatu yang sudah dipandang baik oleh 'urf atau akal. Misalnya, mencatat pernikahan dikantor departemen Agama. Istihsan dalam arti ini harus dilakukan dengan 13
sangat hati-hati. Karena apa yang dipandang baik 'urf atau akal itu boleh jadi sangat subyektif, sehingga besar kemungkinan mengikuti bias-bias sosio-psikologis. Kita juga tidak cukup waktu membicarakan hal ini. C. Cara yang ketiga adalah meninggalkan dalil-dalil tertentu untuk mendatangkan maslahat atau menegakkan hukum di atas pertimbangan maslahat yang lima: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Istihsan jenis terakhir ini disebut juga istishlah atau al-mashalih al- mursalah.
V. Penutup Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang istihsan, harus kita akui bahwa istihsan telah ada sejak dahulu dan dikerjakan oleh para pendiri madzhab, menurut asumsi penulis ini semua tidak terlepas dari pengembangan kaidah :
Dalam kaitannya dengan penetapan awal bulan, terlebih Ramadhan dan Idul Fitri, meskipun tidak mengenyampingkan metode hisab dan hasil ruyah pemerintah tidak bisa terlepas sama sekali dari praktek istihsan. Hal ini sesuai dengan kaidah :
14
DAFTAR PUSTAKA
Khalaf, Abdul Wahab. 1992. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Gema Risalah Press.
Syafei, Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia.
Zuhaily, Wahbah. 1986. Fiqh al-Islam wa adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh, Jakarta : Prenada Media.
Abu Zahrah, Muhamad. 2008. Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus.
Haq, Hamka. 2007. Al-Syatibi Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, Jakarta : Erlangga.
Jalaluddin Rakhmat, Artikel Yayasan Paramadina, dalam internet website http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Tuntutan.html