Вы находитесь на странице: 1из 14

1

KEHUJJAHAN I STI HSAN SEBAGAI METODE I STI NBATH HUKUM


Oleh : Akhmad Muhaini


I. Pendahuluan
Berdasarkan penyelidikan yang handal, hukum-hukum amaliyah yang
diambil dari dalil-dalil syariyyah berlandaskan pada empat dasar pokok, Al-
Quran, As-Sunnah, Al-Ijma, dan Al-Qiyas. Oleh sebagian besar ulama
keempat landasan tersebut disepakati sebagai dalil, di samping kesepakatan
mengenai cara penggunaan dalil tersebut secara kronologis, dengan susunan,
(1) Al-Quran, (2) As-Sunnah, (3) Al-Ijma, dan (4) Al-Qiyas.
1

Terdapat pula dalil-dalil selain empat dalil tersebut, namun tidak semua
jumhur umat Islam sepakat menjadikannya sebagai dalil bagi hukum syara,
bahkan ada yang menolak. Dalil-dalil yang diperselisihkan itu, yang terkenal
ialah : (1) Istihsan, (2) Maslahah Mursalah, (3) Istishab, (4) Urf, (5) Madzhab
Shahaby, (6) Syarun man qablana.
2

Secara berangsur-angsur, para ulama mengembangkan metode
istinbath (menarik kesimpulan hukum) baik berdasarkan kaidah-kaidah
atau petunjuk umum dalam nash maupun dari penggunaan akal. Di antara
metode-metode itu adalah qiyas, istihsan dan istishlah. Semua metode ini
hanyalah upaya memecahkan persoalan. Studi kritis terhadapnya akan
segera membuktikan bahwa penggunaan metode-metode tersebut juga
menimbulkan persoalan. Tidak ada kesepakatan ulama mengenai kebolehan
menggunakan masing-masing di antara ketiga hal itu. Sebagian menerimanya,
sebagian menolaknya. Tidak jarang perbedaan itu muncul karena
perbedaan pemaknaan istilah-istilah itu. Syafi'i, misalnya, menyerang
istihsan dan menganggapnya sebagai usaha untuk membuat syari'at (man
istahsana faqad syara'a). Maliki dan Hanafi memandang istihsan bahkan

1
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, Alih Bahasa : Masdar Helmy, (Bandung
: Gema Risalah Press, 1992), hal. 36.
2
Ibid hal. 38.

2

harus didahulukan dari qiyas. Malik menyebut istihsan sebagai sembilan
persepuluh ilmu (Al-istihsan tis'ata'syar al-'ilm). Tapi ketika Syafi'i
menyerang istihsan seperti yang dimaknakan olehnya, ia menggunakan
metode qiyas khafi, yang tidak lain daripada istihsan menurut mazhab
Hanafi
3
.
Berangkat dari perselisihan pendapat tersebut di atas, dalam makalah ini
penulis akan mencoba membahas tentang kehujjahan dalil istihsan

sebagai
istinbath hukum
4
.

II. Pembahasan
A. Definisi Istihsan
Secara lughat / etimologi istihsan berarti meminta berbuat kebaikan,
yaitu menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan
5
. Dan para
ulama tidak ada yang berbeda pendapat tentang penggunaan lafal istihsan
ini
6
. Sedangkan secara terminology/istilah ulama ushul, istihsan
mempunyai beberapa pengertian yaitu sebagai berikut :
1. Al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa juz 1 : 137, istihsan adalah
semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.
2. Al-HasanAl-Kurkhi Al-Hanafi, istihsan adalah perbuatan adil terhadap
suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain,
karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.
3. Imam Malik berpendapat, istihsan adalah mengamalkan dalil yang lebih
kuat dari dua dalil, atau mengambil maslahah yang bersifat juziy di
dalam dalil yang bersifat kulli.

3
Jalaluddin Rakhmat, Artikel Yayasan Paramadina, dalam internet website
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Tuntutan.html
4
Untuk lebih jelas silahkan baca Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, Alih
Bahasa : Masdar Helmy, hal. 39 - 160.
5
Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal 111.
6
Wahbah Zuhaily, Fiqh al-Islam wa adillatuhu, dalam al-Maktabah samilah, Juz 2,
Fasal 2, hal. 735.
3

4. Ibnu Rusyd berpendapat, istihsan adalah membuang qiyas yang
membelenggu dan memberatkan hukum, kemudian beralih kepada
sebagian makna khusus yang termasuk dalam hukum tersebut.
5. Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, istihsan adalah suatu
keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil
tertentu dari Al-Quran dan As-Sunah.
6. Ibnul Araby, Istihsan adalah memilih meninggalakan dalil, dan
mengambil rukhsah, dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu
berlawanan dengan dalil lain pada sebagian kasus tertentu
Abu Ishaq Asy-Syatibi (termasuk pengikut madzhab Al-
Maliki) berkata, beberapa pengertian di atas berdekatan satu dengan
yang lain, sama sekali tidak keluar dari dalil-dalil yang ada, karena
sesungguhnya dalil-dalil itu saling menguatkan, sebagian mentakhsis
yang lain
7
.
7. Menurut Wahbah az-Zuhaili
8
:
Beliau mendefinisakan istihsan menjadi 2, yaitu :
1 .
"Istihsan Qiyasi : Memakai qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali
karena ada petunjuk untuk itu".
Terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah
satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali atau qiyas khafi. Bila dilihat
dari segi kejelasan illatnya maka qiyas jali lebih pantas didahulukan
atas qiyas khafi, namun menurut madzhab Hanafi apabila mujtahid
memandang bahwa qiyas khafi lebih besar kemaslahatan yang
dikandungnya dibanding dengan qiyas jali, maka qiyas jali boleh
ditinggalkan dan yang dipakai adalah qiyas khafi. Istihsan semacam ini
disebut dengan istihsan qiyasi

7
Wahbah Zuhaily, Fiqh al-Islam wa adillatuhu, dalam al-Maktabah samilah, Juz 2,
Fasal 2, hal. 738.
8
Ibid,hal 739
4

Contoh : Menurut qiyas jali, hak pengairan yang berada di atas
tanah pertanian yang diwakafkan, tidak dianggap diwakafkan kecuali
jika ditegaskan dalam ikrar wakaf, diqiyaskan dengan praktik jual beli,
karena sama-sama menghilangkan milik. Dalam jual beli, hak pengairan
yang berada di atas sebidang tanah yang dijual tidak dianggap termasuk
kepada yang dijual kecuali jika ditegaskan dalam akad jual beli. Namun
berdasarkan istihsan yang berorientasi kepada kemaslahatan, hak untuk
mengairi itu termasuk ke dalam tanah wakaf meskipun tidak ditegaskan
pada waktu berikrar wakaf, karena diqiyaskan kepada sewa menyewa
dengan persamaan illat sama-sama untuk diambil manfaatnya. Dilihat
dari segi manfaatnya, qiyas yang disebut terakhir ini lebih kuat
pengaruh hukumnya karena sejalan dengan tujuan disyariatkannya
wakaf, yaitu untuk diambil manfaatnya.
9

2 .

"Istihsan Istisnay : Hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang
berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut".
Dari beberapa definisi yang dikemukakan para ulama di atas, dapat
disimpulkan bahwa istihsan adalah penggunaan maslahat juziyyah pada
suatu kasus tertentu yang berlawanan dengan qiyas am
10
.
B. Macam-macam Istihsan
Dilihat dari segi pengaruh / kekuatan hukumnya istihsan dibagi
dua, yaitu
11
:
1 .
"Istihsan dengan memilih cara menetapkan illah berdasarkan dampak
yang lebih kuat dan efektif mekipun bersifat khafi".

9
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta : Prenada Media, 2005), hal. 143.
10
Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008), hal. 402.
11
Wahbah Zuhaily, Fiqh al-Islam hal. 741.
5

Contoh : Sisa makanan burung gagak dan elang. Menurut istihsan,
sisa makanan dan minuman burung tersebut tetap suci, sedangkan menurut
qiyas, itu adalah najis, hal inikarena menurutteori qyas, burung-burung ini
digolongkan sebagai binatang buas yang dagingnya haram dimakan,
dengan demikian,sisa makanan dan mnuman juga haram, seperti halnya
sisa binatang buas lain. Dengan kata lain, keharaman sisa minuman burung
itu mengacu pada illah kebuasannya yang sangat jelas.
Sementara dalam teori istihsan, meski daging burung buas itu jelas
keharamannya, termasuk air liurnya, namun sisa minumannya belum jelas
status keharamannya, dan bisa tetap suci dan halal diminum, hal inikarena
burung buas ini minum dengan paruhnya yang kering, maka air yang
disentuh tidaklh najis, seperti halnya air yang disentuh oleh benda kering
lainnya.
12

2 .
Istihsan dengan memilih cara mendahulukan dhahir teks, karena
konteks (khafi) yang tidak sesuai / rusak".
Contoh : Kewajiban melaksanakan sujud tilawah ketika membaca
ayat-ayat sajdah di dalam shalat, apabila dikerjakan dengan ruku dengan
niat sujud ilawah, maka akan menimbulkan pertentangan antara qiyas dan
istihsan. Sesuai ketentuan qiyas boleh mengerjakan sujud tilawah dalam
shalat dengan ruku, karena tujuan dari sujud adalah memperlihatkan rasa
tadzim / hormat, tawadhu dan menjauhi sifat sombong. Semua tujuan itu
bisa dinyatakan dengan ruku karena adanya persamaan lahiriyah. Ini
adalah qiyas jaliy (nyata) yang diragukan keabsahannya, karena terdapat
kerusakan yang nyata.
Adapun ketentuan istishan adalah tidak boleh mengganti sujud
tilawah dengan ruku, karena yang diperintahkan syareat adalah sujud,

12
Hamka Haq, Al-Syatibi Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-
Muwafaqat, (Jakarta : Erlangga,2007), hal.247
6

maka tidak bias sujud tilawah diganti dengan ruku karena diqiyaskan
dengan sujud shalat
13
.
Dari segi penetapan dalilnya Istihsan dibagi kepada beberapa
macam, yaitu
14
:
a) Istihsan bin-nas, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nas (al-Quran
atau Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-
kasus serupa.
Contoh : Menurut kaidah umum, makan dalam keadaan lupa di
siang hari Ramadhan merusak puasa seseorang, karena telah merusak
rukun dasarnya yaitu imsak (menahan diri dari yang membatalkan
puasa) di siang harinya. Namun, hadis Rasulullah yang berarti : Dari
Abu Hurairah, dari nabi SAW. Bersabda : Barangsiapa lupa, padahal
ia sedang puasa, kemudian ia makan dan minum, hendaklah
menyelesaikan puasanya. Hanya saja Allah yang memberinya makan
dan minum. (HR. Bukhori dan Muslim)
b) Istihsan berlandaskan ijma.
Yaitu para mujtahid memberikan fatwa yang berbeda dengan
hukum asalnya, atau mereka berdiam diri/tidak mengingkari praktek
perilaku orang banyak. Misalnya, pesanan untuk membuat lemari.
Menurut kaidah umum praktek seperti itu tidak boleh, karena pada
waktu mengadakan akad pesanan, barang yang akan dijualbelikan
tersebut belum ada. Memperjualbelikan benda yang belum ada waktu
melakukan akad dilarang dalam hadis Rasulullah (HR. Abu Daud).
Namun hal itu dibolehkan sebagai hukum pengecualian, karena tidak
seorang pun ulama yang membantah keberlakuannya dalam masyarakat
yang sudah berlaku turun temurun, dan merupakan hajat orang banyak
serta menghilangkan kesulitan dari mereka, sehingga hal ini dianggap
sudah disepakati (ijma)
c) Istihsan yang berlandaskan urf (adat kebiasaan).

13
Wahbah Zuhaily, Fiqh al-Islam wa adillatuhu, dalam al-Maktabah samilah, Juz
2, Fasal 2, hal. 742.
14
Ibid. Fiqh al-Islam hal. 743.
7

Misalnya boleh mewakafkan benda bergerak seperti buku-buku
dan perkakas alat memasak. Menurut ketentuan umum perwakafan,
seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, wakaf hanya dibolehkan
pada harta benda yang bersifat kekal dan berupa benda tidak bergerak
seperti tanah. Dasar kebolehan mewakafkan benda bergerak itu hanya
adat kebiasaan di berbagai negeri yang membolehkan praktek wakaf
tersebut.
Contoh yang lain adalah kebolehan penyewaan WC umum /
kamar mandi dengan tarif yang ditentukan tanpa menghitung berapa
banyak jumlah air yang dipakai atau berapa lama seseorang berada di
kamar mandi. Menurut qiyas tidak membolehkan praktek semacam ini,
karena sebetulnya praktek sewa ini harus menentukan jumlah
pemakaian air atau yang lainnya, maka tidak sah akad terhadap benda
yang belum jelas. Tetapi istihsan menghukumi sebaliknya, karena
berpedoman dengan urf atau adat yang berlaku dalam setiap saat,
dengan membuang keruwetan dan memelihara hajat orang banyak.
d) Istihsan yang berlandaskan dharurat.
Yaitu ketika ditemukan keadaan darurat di mana seseorang
boleh meninggalkan qiyas dan mengambil keadaan dharurat tersebut.
Misalnya adalah tentang kesucian air sumur atau kolam yang kejatuhan
najis. Sesuai ketentuan qiyas adalah tidak mungkin mensucikan sumur
dan kolam dengan membuang sebagian atau keseluruhan air yang ada,
karena membuang sebagian air tidak berpengaruh terhadap kesucian air
yang masih ada, dan membuang keseluruhannya tidak berfaidah terhdap
air yang keluar kemudian. Namun para ulama berpendapat lebih baik
meninggalkan qiyas, dan menganggap baik atau cukup tentang kesucian
sumur dan kolam ini dengan membuang sebagian air sesuai kebutuhan
(yang terkena najis)
e) Istihsan yang berlandaskan qiyas khafi.
Pengertian dari istihsan ini sama dengan definisi istihsan yan
pertama dalam bab II Pembahasan, tentang definisi istihsan, yaitu
8

istihsan qiyasi. Sebagai contohnya adalah sisa makanan/minuman
burung gagak dan elang dan hak-hak tanah pertanian yang
diwakafkan
15
.
Sebagai contoh lain adalah bahwa melihat aurat perempuan
yang bukan muhrim haram, karena dapat menimbulkan"fitnah"
(membawa orang kepada kemaksiatan). Yang dalam kurung itu disebut
'illat yang sangat jelas (kita sekarang sedang melakukan qiyas jaliy).
Bagaimana hukumnya seorang dokter yang harus memeriksa pasien
wanitanya? Bila ia tidak melihat auratnya, ia tak bisa menolong
pasien itu dengan baik. Ia harus menolong pasien itu untuk
mengembalikan kesehatannya, untuk kemaslahatan pasiennya. Tapi
alasan ('illat) ini hanya dalam kasus pasien saja dan dianggap tegas
(kita sedang melakukan qiyas khafiy). Bila kita meninggalkan qiyas
jaliy dan mengambil qiyas khafiy, kita melakukan istihsan
16
.
f) Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah.
Pengertian dari istihsan ini sama dengan definisi istihsan yang
kedua dalam bab II Pembahasan, tentang definisi istihsan, yaitu istihsan
istisnaiy
17
. Misalnya, mengharuskan ganti rugi atas diri seorang
penyewa rumah jika peralatan rumah itu ada yang rusak di tangannya,
kecuali jika kerusakan itu disebabkan bencana alam yang di luar
kemampuan manusia untuk menghindarinya.
18
Menurut kaidah umum,
seorang penyewa rumah tidak dikenakan ganti rugi jika ada yang rusak
selama ia menghuni rumah itu, kecuali jika kerusakan itu disebabkan
kelalaiannya. Tetapi demi menjaga keselamatan harta tuan rumah dan
menipisnya rasa tanggung jawab kebanyakan para penyewa, maka

15
Wahbah Zuhaily, Fiqh al-Islam wa adillatuhu, dalam al-Maktabah samilah, Juz
2, Fasal 2, hal. 746.
16
Jalaluddin Rakhmat, Artikel Yayasan Paramadina, dalam internet website
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Tuntutan.html
17
Wahbah Zuhaily, Fiqh al-Islam hal. 746.
18
Jalaluddin Rakhmat, Artikel Yayasan Paramadina, dalam internet website
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Tuntutan.html


9

kebanyakan ahli fiqh berfatwa untuk membebankan ganti rugi atas
pihak tersebut.
19


III. Kehujjahan dan Pandangan Para Ulama Tentang I stihsan
A. Para Pendukung Istihsan
1. Ulama Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali
menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis
dalam beberapa kitab ushul menyebutkan bahwa Hanafiyah
mengakui adanya istihsan, bahkan dalam kitab fikihnya banyak
sekali terdapat permasalahan yang menyangkut istihsan.
2. Ulama Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu
dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Menurut Abu Zahrah, imam
Malik sering berfatwa dengan menggunakan Istihsan.
3. Ulama Hanafiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu
dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Menurut Abu Zahrah, imam
Malik sering berfatwa dengan menggunakan Istihsan
20
.
Mereka berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan
dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan, antara lain :
a) Al-Quran surat az-Zumar (39) ayat : 18
Artinya : Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya. mereka itulah orang-orang yang telah
diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang
mempunyai akal.
b) Hadis nabi :

19
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 145.
20
Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, . hal 112.
10

Artinya : Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam,
adalah juga baik di sisi Allah. (HR. Ahmad dalam kitab sunnah)
21

B. Pandangan Penolak Istihsan
Tidak semua ulama sepakat terhadap Istihsan sebagai metode
istinbath hukum di antaranya adalah Imam Syafiiyah, madzhab
dhahiriyah, kelompok / golongan Mutazilah dan golongan Syiah.
Imam SyafiI berkata di dalam kitab Risalahnya : Apabila setiap
orang boleh melakukan istihsan di dalam urusan agamanya, maka
orang yang tidak mempunyai ilmu pun dapat melukukannya, dia bisa
membuat syareat dalam setiap bagian, dan dia bisa mengeuarkan /
memilih hukum syareat untuk dirinya sendiri
22
.
Golongan Al-Syafii secara masyhur tidak mengakui adanya
istihsan, dan mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakannya
dalam istinbath hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil.
Imam Syafii berkata : Barang siapa yang menggunakan istihsan
berarti ia telah membuat syariat. Beliau juga berkata : Segala
urusan itu telah diatur oleh Allah SWT., setidaknya ada yang
menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas, namun
tidak dibolehkan menggunakan istihsan
23
.
Alasan yang dipakai golongan as-Syafiiyyah antara lain :
a) Al-Quran surat al-Anam (6) ayat : 38
Artinya : Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan
umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun
dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan.
b) Al-Quran surat an-Nahl (16) ayat : 44

21
Satria Effendi, Ushul , hal. 146.
22
Wahbah Zuhaily, Fiqh al-Islam hal. 749.
23
Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, . hal 112.

11

Artinya : Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan
kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
dan supaya mereka memikirkan,
c) Al-Quran surat al-Maidah (5) ayat : 49
Artinya : Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian
apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling
(dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan
musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa
mereka. dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-
orang yang fasik.
Menurut Wahbah Zuhaili, adanya perbedaan pendapat tersebut
disebabkan perbedaan dalam mengartikan istihsan. Imam Syafii
membantah istihsan yang didasarkan atas hawa nafsu tanpa berdasarkan
dalil syara. Sedangkan istihsan yang dipakai oleh para penganutnya
bukan didasarkan atas hawa nafsu, tetapi mentarjih (menganggap kuat)
salah satu dari dua dalil yang bertentangan karena dipandang lebih dapat
menjangkau tujuan pembentukan hukumnya.

IV. Aplikasi Istihsan
Secara teknis praktek-praktek istihsan dapat dilakukan dengan 3
(tiga) cara, yaitu :
A. Cara yang pertama adalah memilih yang lebih kuat di antara dua dalil yang
bertentangan atau berbeda (ikhtilaf).
1. Boleh jadi ikhtilaf di antara dua dalil lafzhi, yakni dalil yang diambil
dari al-Qur'an dan Sunnah.
12

Kita melakukan istihsan bila kita mentarjih (menganggap lebih baik)
salah satu di antaranya. Contoh-contoh dan petunjuk-petunjuk
praktis penggunaan istihsan ini adalah sebagai berikut ;
a) Dahulukan hukum yang mendesak (mudhiq) di atas hukum yang
memberikan kelonggaran (musi'). Misalnya, antara menghilangkan
najis di masjid dengan melakukan shalat pada awal waktunya,
atau antara menolong orang yang celaka dengan melakukan shalat
Jum'at. Pilihlah menghilangkan najis dan menolong orang yang
celaka.
b) Dahulukan yang tidak ada penggantinya dengan yang ada
penggantinya. Misalnya, menggunakan air untuk memuaskan rasa
haus atau untuk berwudhu'. Wudhu' itu ada penggantinya, yaitu
tayammum. Tapi memuaskan haus tidak bisa diganti dengan batu.
c) Dahulukan yang sudah tertentu (mu'ayyan) di atas urusan yang
memberikan alternatif (mukhayyar). Misalnya memenuhi nadzar
atau membayar kifarat. Anda bernadzar untuk memberikan
makanan bagi orang miskin, tapi juga Anda harus membayar
kifarat puasa.
d) Dahulukan yang lebih penting dari pada yang penting. Anda
wajib melakukan haji dan pada saat yang sama Anda harus
membayar hutang. Bayarlah hutang Anda lebih dulu.
2. Ta'arudh terjadi kalau ada dua dalil syara' yang bertentangan. Para
ulama ushul mengusulkan beberapa cara, yang tidak dapat kita perinci
satu per satu: mendahulukan yang mutlak di atas yang muqayyad,
takhshish di atas 'am, nasikh di atas mansukh, hakim di atas mahkum,
al-Qur'an di atas Sunnah, yang disepakati di atas yang diikhtilafi.
3. Ikhtilaf di antara dua dalil ghair lafzhi; misalnya, antara qiyas jaliy
dengan qiyas khafiy. Atau ikhtilaf di antara dalil lafzhi dan ghair lafzhi.
B. Cara yang kedua adalah mengambil sesuatu yang sudah dipandang baik
oleh 'urf atau akal. Misalnya, mencatat pernikahan dikantor
departemen Agama. Istihsan dalam arti ini harus dilakukan dengan
13

sangat hati-hati. Karena apa yang dipandang baik 'urf atau akal itu boleh
jadi sangat subyektif, sehingga besar kemungkinan mengikuti bias-bias
sosio-psikologis. Kita juga tidak cukup waktu membicarakan hal ini.
C. Cara yang ketiga adalah meninggalkan dalil-dalil tertentu untuk
mendatangkan maslahat atau menegakkan hukum di atas pertimbangan
maslahat yang lima: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Istihsan jenis terakhir ini disebut juga istishlah atau al-mashalih al-
mursalah.

V. Penutup
Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang istihsan, harus kita
akui bahwa istihsan telah ada sejak dahulu dan dikerjakan oleh para pendiri
madzhab, menurut asumsi penulis ini semua tidak terlepas dari pengembangan
kaidah :


Dalam kaitannya dengan penetapan awal bulan, terlebih Ramadhan
dan Idul Fitri, meskipun tidak mengenyampingkan metode hisab dan hasil
ruyah pemerintah tidak bisa terlepas sama sekali dari praktek istihsan. Hal ini
sesuai dengan kaidah :


14

DAFTAR PUSTAKA


Khalaf, Abdul Wahab. 1992. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Gema Risalah Press.

Syafei, Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia.

Zuhaily, Wahbah. 1986. Fiqh al-Islam wa adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr.

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh, Jakarta : Prenada Media.

Abu Zahrah, Muhamad. 2008. Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus.

Haq, Hamka. 2007. Al-Syatibi Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam
Kitab al-Muwafaqat, Jakarta : Erlangga.

Jalaluddin Rakhmat, Artikel Yayasan Paramadina, dalam internet website
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Tuntutan.html

Вам также может понравиться