Вы находитесь на странице: 1из 9

Contoh kasus perusahaan yang menyimpang dari GCG: JAKARTA: Badan Pemeriksa Keuangan

menemukan beberapa pelanggaran kepatuhan PT Jamsostek atas laporan keuangan 2011 dengan nilai di
atas Rp7 triliun. Hal tersebut terungkap dalam makalah presentasi Bahrullah Akbar, anggota VII Badan
Pemeriksa Keuangan dalam diskusi Indonesia Menuju Era Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Bahrullah mengatakan ada empat temuan BPK atas laporan keuangan 2011 Jamsostek yang
menyimpang dari aturan. Pertama, Jamsostek membentuk Dana Pengembangan Progran Jaminan Hari
Tua (JHT) sebesar Rp7,24 triliun yang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah 22/2004.

Kedua, Jamsostek kehilangan potensi iuran karena terdapat penerapan tarif program yang tidak sesuai
dengan ketentuan. Pada laporan keuangan 2011, potensi penerimaan Jamsostek yang hilang mencapai
Rp36,5 miliar karena tidak menerapkan tarif jaminan kecelakaan kerja sesuai ketentuan. Ketiga, BPK
menemukan Jamsostek belum menyelesaikan aset eks investasi bermasalah, yakni jaminan medium
term notes (MTN). Adapun aset yang belum diselesaikan adalah tanah eks jaminan MTN PT Sapta Prana
Jaya senilai Rp72,25 miliar dan aset eks jaminan MTB PT Volgren Indonesia. Adapun temuan keempat
dari BPK adalah masih terdapat beberapa kelemahan dalam pemantauan piutang hasil investasi.
Pengendalian dan monitoring PT Jamsostek atas piutang jatuh tempo dan bunga deposito belum
sepenuhnya memadai. Selain temuan tersebut, BPK juga menemukan sejumlah ketidakefektifan dalam
kinerja Jamsostek. Pertama, Jamsostek belum efektif mengevaluasi kebutuhan pegawai dan beban kerja
untuk mendukung penyelenggaran program JHT. Kedua, Jamsostek belum efektif dalam mengelola data
peserta JHT.

Ketiga, Jamsostek masih perlu membenahi sistem informasi dan teknologi informasi yang mendukung
kehandalan data.

Keempat, Jamsostek belum efektif melakukan perluasan dan pembinaan kepersertaan. Hal tersebut
terlihat bahwa Jamsostek belum menjangkau seluruh potensi kepersertaan dan masih terdapatnya
peserta perusahaan yang tidak patuh, termasuk BUMN.

Adapun Kelima, Jamsostek tidak efektif memberikan perlindungan dengan membayarkan JHT kepada
1,02 juta peserta tenaga kerja usia pensiun dengan total saldo Rp1,86 triliun.


Analisis: Dari contoh kasus diatas merupakan kasus penyimpangan laporan keuangan 2011 dan
ketidakefektifan dalam kinerja Jamsostek. Oleh karena itu menurut saya kasus seperti ini harus lah
segera diselesaikan tentunya dengan cara pembenahan tata kelola perusahaan yang baik (good
corporate governance). Peristiwa ini yang diakibatkan karena kurang baiknya sistem good corporate
governance, harapan agar dapat segera teratasi dan tidak dapat terulang kembali. Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) juga harus dapat menjaga kestabilan tata kelola
perusahaan yang baik (good corporate governance) sehingga tercipta ativitas pasar modal yang
jujur,trasparan, aman dan sesuai dengan undang-undang hukum yang berlaku.


Sumber : http://investasi.kontan.co.id/news/marak-kasus-komite-audit-akan-diperkuat-1
http://www.bisnis.com/articles/kinerja-jamsostek-bpk-temukan-potensi-penyimpangan-di-atas-rp7-
triliun



PT. Kimia Farma Tbk. Pada tahun 2002 mengindikasikan adanya praktik earning management dengan
menaikan laba hingga Rp 32,7 milyar. PT. Indofarma pada tahun 2004 melakukan praktik earning
management dengan menyajikan overstated laba bersih senilai Rp 28,870 milyar, sebagai dampak dari
penilaian persediaan barang dalam proses yang lebih tinggi dari yang seharusnya, sehingga harga pokok
penjualan tahun tersebut understated. Skandal keuangan juga terjadi di negara maju, seperti di Amerika
Serikat (AS), antara lain Enron, Merck, World Com dan mayoritas perusahaan lain di Amerika Serikat
(Cornett, et al., 2006).
Dengan melihat beberapa contoh kasus di atas, sangat relevan bila ditarik suatu pertanyaan tentang
efektivitas penerapan good corporate governance (GCG), khususnya pada perusahaan manufaktur yang
listing di BEI, karena terdapat perusahaan manufaktur yang terindikasi melakukan earning management.
Corporate governance (CG) memberikan suatu struktur yang memfasilitasi penentuan sasaran-sasaran
dari suatu perusahaan, dan sebagai sarana untuk menentukan teknik monitoring kinerja (Darmawati, et
al., 2004).
Murhadi (2009) dalam penelitiannya terhadap perusahaan go public di Indonesia menemukan bahwa
praktik GCG berpengaruh signifikan terhadap praktik earning management yang dilakukan oleh suatu
perusahaan. Namun dari lima indikator GCG yang berpengaruh signifikan hanya dua yakni CEO duality
dan Top Share. Dualisme antara pemilik yang sekaligus menjadi CEO mendorong peningkatan terjadinya
praktik earning management. Sementara itu, adanya pemegang saham pengendali yang berbentuk
institusi mendorong pengawasan menjadi lebih profesional sehingga berdampak pada penurunan
praktik earning management. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Iqbal (2007) menyatakan bahwa
ukuran dan jumlah dewan direksi berpengaruh signifikan terhadap earning management dengan arah
positif.
Penelitian ini termotivasi dari penelitian sebelumnya, namun terdapat perbedaan. Penelitian ini meneliti
pengaruh GCG terhadap earning management dengan menggunakan persyaratan GCG yang telah
ditetapkan KNKG (2006) yang digunakan sebagai persyaratan variabel independen dummy yaitu
perusahaan yang menerapkan GCG dengan perusahaan yang tidak menerapkan GCG. Syarat-syarat yang
di tetapkan Komite Nasional Kebijakan Governance/KNKG (2006) adalah perusahaan publik harus
memiliki organ perusahaan diantaranya adalah RUPS, Dewan Komisaris, Komite Audit, Dewan Direksi
dan Sekretaris Perusahaan. Sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan komite audit, komisaris
independen, CEO duality, Top Share koalisi pemegang saham, ukuran dan jumlah dewan direksi.
Penelitian ini berupa studi empiris pada perusahaan manufaktur yang listing di Bursa Efek Indonesia.
Dewasa ini pengidentifikasian kecurangan laporan keuangan dipandangsebagai masalah serius oleh
profesi akuntansi. Hal itu disebabkan semakinbesarnya kerugian yang ditimbulkan kecurangan. Di
Amerika kecurangan danpenyalahgunaan wewenang telah menyebabkan kerugian yang diderita
olehorganisasi sebesar US$ 400 Milyar per tahun. Rata-rata setiap organisasikehilangan pendapatannya
6% dari total pendapatan tahunan karena kecurangan manajemen.Kecurangan laporan keuangan
diyakini berkaitan dengan kecurangan manajemen, yang membutuhkan solusi, walaupun profesi
akuntansi seperti AICPA mengakui sangat sulit untuk mendapatkan solusi yang tepat untuk
permasalahantersebut. Oleh sebab itu diterbitkanlah SAS. 82. yang menyatakan bahwapertimbangan
kecurangan dalam laporan keuangan berhubungan signifikan dengankecurangan manajemen (AICPA,
1997).
Standar tersebut mengamandementanggung jawab auditor dengan memasukan tanggung jawab auditor
untukmenemukan alasan untuk menjamain bahwa laporan keuangan yang telahdiauditnya bebas dari
kesalahan pelaporan yang material, termasuk kecurangan. DiIndonesia, walaupun tidak diatur secara
tersendiri, standar profesional akuntanpublik (SPAP) No. 32 paragraf 05 dan 06 menyatakan bahwa
akuntan pemeriksamemiliki tanggungjawab untuk menditeksi kekeliruan dan ketidakberesan.Perhatian
terhadap kecurangan manajemen semakin besar, ditandai dengan munculnya suatu assosiasi yang
mengkhususkan pada penditeksian kecuranganmanajemen.
Assosiasi ini muncul pertaman sekali di Amerika Utara dan Eropayang diberinama Certified Fraud
Examiners (CFE). Assosiasi tersebutberanggotakan orang dari berbagai profesi seperti auditor, akuntan,
penyidikkecurangan, specialist pencegah kerugian, pengacara, pendidik, dan ahlikriminologi. Gambar 1
memperlihatkan persentase kecurangan (fraud yangdilakukan oleh berbagai kalangan di dalam
perusahaan. Perlu disadari bahwa selama ini terdapat perbadaan persepsi antara auditordengan
pemakai laporan keuangan (publik) mengenai kecurangan dalam laporankeuangan. Auditor memandang
menemukan kecurangan manajemen merupakanperanan kedua dari proses audit, sedangkan pemakai
laporan keuanganmenganggap auditor mampu menditeksi segala bentuk kecurangan yang
dilakukanoleh manajemen berkaitan dengan laporan keuangan.

Refrensi :
Chtourou S.Marrakchi, Jean Bedard, and Lucie Courteau. 2001. Corporate Governance and Earning
management. Working Paper. http://papers.ssrn.com.
Cornett M. M, J. Marcuss, Saunders dan Tehranian H. (2006). Earning management, Corporate
Governance, and True Financial Performance. http://papers.ssrn.com/
Daniri, Mas Ahmad, (2005). Good Corporate Governance : Konsep dan Penerapannya di Indonesia,
Jakarta, Ray Indonesia.
Daniri dan Krismatono, (2010). Peran Corporate Secretary sebagai Penjaga Gawang Good Corporate
Governance.
http://hermantomario.blogspot.com/2011/06/pengaruh-good-corporate-governance.html
http://www.spa-feui.com/2011/05/1st-accounting-editorial-ketika-fungsi-pengawasan-sudah-tidak-
berfungsi/



Kasus Pelanggaran Good Corporate Governance oleh PT. Katarina Utama Tbk. berkaitan dengan pasar
modal di Indonesia
PT Katarina Utama Tbk (RINA) merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa pemasangan,
pengujian dan uji kelayakan produk dan peralatan telekomunikasi. Direktur Utama RINA adalah Fazli bin
Zainal Abidin. RINA tercatat di BEI sejak 14 Juli 2009. Belum lama ini RINA menggelar penawaran saham
perdana kepada publik dengan melepas 210 juta saham atau 25,93% dari total saham, dengan harga
penawaran Rp 160,- per lembar saham. Dari hasil IPO, didapatkan dana segar sebesar Rp 33,66 miliar.
Rencananya seperti terungkap dalam prospektus perseroan, 54,05% dana hasil IPO akan digunakan
untuk kebutuhan modal kerja dan 36,04% dana IPO akan direalisasikan untuk membeli berbagai
peralatan proyek.
Pada Agustus 2010 lalu, salah satu pemegang saham Katarina, PT Media Intertel Graha (MIG), dan
Forum komunikasi Pekerja Katarina (FKPK) melaporkan telah terjadi penyimpangan dana hasil IPO yang
dilakukan oleh manajemen RINA. Dana yang sedianya akan digunakan untuk membeli peralatan, modal
kerja, serta menambah kantorcabang, tidak digunakan sebagaimana mestinya. Hingga saat ini
manajemen perseroan belum melakukan realisasi sebagaimana mestinya. Dari dana hasil IPO sebesar Rp
33,66 miliar, yang direalisasikan oleh manajemen ke dalam rencana kerja perseroan hanya sebesar Rp
4,62 miliar, sehingga kemungkinan terbesar adalah terjadi penyelewengan dana publik sebesar Rp 29,04
miliar untuk kepentingan pribadi. Selain itu, Katarina diduga telah memanipulasi laporan keuangan audit
tahun 2009 dengan memasukkan sejumlah piutang fiktif guna memperbesar nilai aset perseroan.
Bahkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah memutus aliran listrik ke kantor cabang RINA di Medan,
Sumatera Utara, karena tidak mampu membayar tunggakan listrik sebesar Rp 9 juta untuk tagihan
selama 3 bulan berjalan. Akhirnya Cabang Di Medan ditutup secara sepihak tanpa meyelesaikan hak hak
karyawannya. Bahkan selama ini manajemen tidak menyampaikan secara utuh dana jamsostek yang
dipotong dari gaji karyawan, ada juga karyawan yang tidak mengikuti jamsostek tetapi gajinya juga ikut
dipotong. Bursa menghentikan perdagangan saham RINA sejak awal September 2010. BEI kemudian
melimpahkan kasus ini kepada Bapepam-LK untuk ditindaklanjuti.
Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip GCG:
1. Keadilan/Kewajaran (Fairness)
PT Katarina Utama tidak memperlakukan secara adil para pemangku kepentingan baik primer
maupun sekunder, investor tidak diperlakukan secara adil dan tidak ada keadilan pula bagi
karyawan, saya mengambil salah satu contoh yang sangat jelas yaitu pada pemotongan gaji
untuk asuransi jamsostek para karyawan, telah dipaparkan diatas bahwa para karyawan yang
tidak mengikuti asuransi jamsostek gajinya tetap ikut dipotong tanpa alasan yang jelas. Selain
itu cabang RINA di Medan telah melakukan penutupan secara sepihak tanpa menyelesaikan hak
hak para karyawan dengan tidak membayar gaji sesuai dengan pengorbanan yang telah mereka
berikan kepada PT Katarina Utama, terbukti bahwa manajemen RINA melanggar prinsip
Keadilan.
2. Prinsip Transparansi (Keterbukaan)
PT Katarina Utama tidak menyampaikan informasi dengan benar, seperti yang telah
disampaikan diatas Manajemen RINA telah memasukkan sejumlah piutang fiktif guna
memperbesar nilai aset perseroan, sehingga informasi yang diterima oleh para pemangku
kepentingan menjadi tidak akurat yang mengakibatkan para pemangku kepentingan seperti
investor menjadi salah mengambil keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa PT Katarina Utama
telah melanggar prinsip Transparansi (Keterbukaan) dalam penyampaian informasi.

3. Prinsip Akuntabilitas
Telah terbukti bahwa Katarina Utama tidak merealisasikan dana hasil IPO sesuai dengan
prospektus perseroan dan melakukan penyelewengan dana untuk kepentingan pribadi direktur,
sehingga terjadi ketidak efektifan kinerja perseroan. Laporan Keuangan yang dihasilkannya pun
menjadi tidak akurat dan tidak dapat dipercaya. Hal ini jelas menjadi bukti bahwa PT Katarina
Utama gagal dalam menerapkan prinsip akuntabilitas.

4. Prinsip Responsibilitas (Tanggung Jawab)
PT Katarina Utama Jelas sangat melanggar prinsip Responsibilitas dengan melakukan
penyelewengan dana milik investor publik hasil IPO sebesar Rp 29,04 miliar, Manajemen RINA
juga tidak meyelesaikan kewajibannya kepada karyawan dengan membayar gaji mereka, selain
itu RINA tidak membayar tunggakan listrik sebesar Rp 9 juta untuk tagihan selama 3 bulan
berjalan. Berdasarkan informasi yang dihimpun Seputar Indonesia (SI), sebagian besar direksi
dan pemangku kepentingan perseroan dikabarkan telah melarikan diri ke luar negeri. Hal ini
jelas menggambarkan bahwa RINA melanggar Prinsip Responsibilitas.

5. Prinsip Kemandirian
Dengan adanya penyelewengan dana hasil IPO membuat perseroan menjadi tidak efektif dalam
menjalankan kegiatan operasionalnya, tidak mampu membayar gaji karyawan, dan tidak mampu
membayar tunggakan listrik PLN sehingga menyebabkan ditutupnya cabang PT Katarina Utama
di Medan. Hal ini lah yang menyebabkan PT Katarina Utama tidak dapat melaksanakan prinsip
kemandirian.


Dampak terhadap Pelanggaran GCG:
1. Ketidakpercayaan para pemegang saham
2. Ketidakpercayaan karyawan, munculnya berbagai demo karyawan di berbagai cabang
PT Katarina Utama
3. Ketidakpercayaan Mitra Kerja, penggelembungan nilai aset dengan memasukkan
sejumlah piutang fiktif yang dituduhkan kepada satu pemegang saham Katarina, PT
Media Intertel Graha (MIG), membuat mitra kerja tersebut berbalik melaporkan
Manajemen RINA dan menimbulkan ketidakpercayaan kepada Manajemen RINA
4. Ketidakpercayaan Pemerintah, PLN memutus aliran listrik ke kantor cabang RINA di
Medan, Sumatera Utara, karena tidak mampu membayar tunggakan listrik sebesar Rp 9
juta untuk tagihan selama 3 bulan berjalan
5. Bursa menghentikan perdagangan saham RINA sejak awal September 2010
6. Tidak berjalannya kegiatan operasional perusahaan karena perusahaan tidak mampu
membiayai kegiatan operasional sehingga tidak ada pemasukan bagi perusahaan,
bahkan kantor cabang RINA di Medan akhirnya ditutup.
Analisa dari kasus diatas GCG dapat :
1. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan
pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kesetaraan dan
kewajaran.
2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan menadirian masing-masing organ perusahaan, yaitu
Dewan Komosaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham.
3. Mendorong pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi agar dalam
membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi
dan kepatuahn terhadap peraturan perundang-undangan.
4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab social perusahaan terhadap
masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.
5. Mengoptimalkan niali perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperjatikan
pemangku kepentingan lainnya.
6. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun inetrnasional, sehingga
meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan
ekonomi nasional yang berkesinambungan.

SUMBER :
1. http://sigendisjawi.blogspot.com/2012/06/kasus-pelanggaran-good-corporate.html
2. http://www.scribd.com/doc/52046697/BEDAH-NERACA-PT-KATARINA-UTAMA-TBK)
3. http://mounhaliecha.blogspot.com/2012/10/good-corporate-governance-gcg.html


KASUS WASKITA DAN KELEMAHAN IMPLEMENTASI
GCG INDONESIA
Terungkapnya skandal Waskita Karya, salah satu BUMN Jasa Konstruksi yang diduga
melakukan rekayasa laporan keuangan patut dicermati secara mendalam. Di tengah gembar
gembor pelaksanaan implementasi good corporate governance (GCG) BUMN, kasus ini
memberikan tamparan keras untuk Kementerian Negara BUMN. Kasus Waskita, yang disebut-
sebut sebagai Enron-nya Indonesia menunjukkan bahwa Kementerian Negara BUMN perlu
berupaya lebih keras lagi dalam implementasi GCG di BUMN.
Terbongkarnya kasus ini berawal saat pemeriksaan kembali neraca dalam rangka penerbitan
saham perdana tahun lalu. Direktur Utama Waskita yang baru, M. Choliq yang sebelumnya
menjabat Direktur Keuangan PT Adhi Karya (Persero) Tbk, menemukan pencatatan yang tak
sesuai, dimana ditemukan kelebihan pencatatan Rp 400 miliar. Direksi periode sebelumnya
diduga melakukan rekayasa keuangan sejak tahun buku 2004-2008 dengan memasukkan
proyeksi pendapatan proyek multitahun ke depan sebagai pendapatan tahun tertentu.
Kasus ini memberikan beberapa pelajaran berharga. Pertama, implementasi GCG di Indonesia ternyata
masih sekedar formalitas belaka. Fakta ini terungkap dari keengganan Direksi Waskita melaksanakan
GCG di Waskita. Walaupun di Waskita telah beberapa kali assessment (pemetaan) implementasi GCG,
namun tetap saja kasus ini tidak terlacak. Hal ini menunjukkan betapa canggih dan cermatnya
penutupan jejak dari kasus ini. Hasil assessment GCG yang dilakukan Konsultan, pada akhirnya
kemungkinan besar hanya menjadi hiasan lemari Direksi belaka, yang digunakan sebagai penggugur
kewajiban terhadap kewajiban implementasi GCG. Hal ini menguatkan hipotesa penulis yang beberapa
kali mengungkapkan bahwa jika GCG hanya sekedar menjadi formalitas, maka tunggulah saat
kehancurannya. Tunggulah saatnya dimana bom waktu siap meledak dan menimbulkan guncangan
skandal sebagai akibat lemahnya implementasi GCG.
Kedua, terlihat bahwa terjadi kerjasama sistemik melakukan rekayasa keuangan yang dilakukan karena
lemahnya fungsi internal control. Hal ini menunjukkan bahwa pihak-pihak yang melakukan internal
control mulai dari Dewan Komisaris sampai dengan Internal Audit tidak melakukan fungsinya dengan
baik. Hal ini patut disayangkan mengingat GCG merupakan alat kontrol yang menciptakan check and
balances yang digunakan dalam pengawasan pengelolaan perusahaan. Kementerian BUMN selaku
pemegang saham dalam hal ini tidak dapat disalahkan, mengingat selaku pemegang saham Kementerian
BUMN telah menempatkan wakilnya untuk melakukan pengawasan yang melekat pada diri Dewan
Komisaris. Selain itu, potensi terjadinya kerjasama dengan Auditor Eksternal semakin mencuatkan
dugaan kasus ini sebagai kasus Enron-nya Indonesia.
Ketiga, GCG di BUMN belumlah menjadi corporate culture. Implementasi GCG pada hakikatnya adalah
menjadi corporate culture. Lemahnya implementasi GCG menunjukkan bukti bahwa GCG baru sampai
tataran compliance driven, belum menjadi culture. Tidak menjadi culture pada hakikatnya membuka
peluang terjadinya fraud. Fraud dapat dengan mudah terjadi, apabila insan perusahaan mendiamkan
saja terjadinya pelanggaran. Kebijakan whistleblower yang memungkinkan terjadinya pelaporan
pelanggaran secara dini penulis nilai juga belum diterapkan di Waskita.
Langkah Selanjutnya
Apa yang harus dilakukan selanjutnya? Nasi telah menjadi bubur. Citra BUMN yang beberapa tahun
terakhir menunjukkan tren positif seiring dengan pelaksanaan implementasi GCG berpotensi terpuruk
kembali. Tidak bisa tidak, penyelesaian masalah ini harus dilakukan secara menyeluruh dan sistemik
dengan menggabungkan paradigma GCG dan penegakan hukum.
Langkah pertama adalah dengan mengusut tuntas dan jelas pihak-pihak yang terlibat. Kementerian
BUMN telah melakukan langkah tepat dengan mengganti direksi yang diduga terlibat dalam perkara ini.
Namun demikian, mengganti direksi saja tidaklah cukup. Perlu dilakukan pembersihan besar-besaran
terhadap intern Waskita dengan mengganti para pihak yang terlibat. Jika hanya pimpinannya saja yang
diganti, tidak tertutup kemungkinan dimasa mendatang kasus ini akan terulang. Auditor Eksternal yang
membantu pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab di Waskita dalam melakukan rekayasa keuangan
harus dihukum seberat-beratnya, baik perusahaan maupun individunya. Jika Auditor Eksternal telah
dapat dibeli oleh manajemen, kepada siapa stakeholders harus percaya?
Langkah kedua adalah dengan memperkuat implementasi GCG. Kementerian BUMN harus menyadari
bahwa penguatan implementasi GCG mutlak diperlukan agar kasus yang sama tidak terulang.
Kementerian BUMN tidak cukup hanya dengan memaksa BUMN memiliki kelengkapan infrastruktur
dan softstructure, namun harus menekankan pada tataran implementasi. Perusahaan dapat menunjuk
konsultan yang akan menginternalisasi dan menginstitusionalisasi penerapan GCG secara menyeluruh
dan holistik. Paradigma pendekatan GCG yang compliance driven harus ditinggalkan dan diganti dengan
penerapan GCG sebagai corporate culture. GCG haruslah menjadi sistem, struktur dan budaya yang satu
sama lain tidak terpisahkan. Kasus ini diharapkan menjadi pemicu maraknya implementasi GCG, yang
selama beberapa tahun ini kelihatannya adem ayem belaka.
Langkah ketiga adalah dengan menerapkan dan memperkuat internal control system dan kebijakan
whistleblower. Internal control system yang dimiliki BUMN selama ini sangatlah lemah dan tidak tertata
dengan rapi. Tindakan yang dilakukan baru sebatas mengobati sesuatu yang telah terjadi, belum sampai
pada tahap pencegahan.
Selain itu, sangat sedikit BUMN yang memiliki kebijakan whistleblower dan menerapkannya.
Kebijakan ini akan sangat bermanfaat untuk mendeteksi terjadi fraud. Pelapor harus dilindungi
dari kemungkinan balas dendam dan tindakan berbahaya lainnya dari pihak yang dilaporkan.
Berkaca pada Cinthya Cooper, whistleblower kasus Worldcom yang meraih persons of the year
dari majalah Time, maka Cinthya hanyalah seorang internal auditor biasa. Cinthya hanya internal
auditor yang melaksanakan tugasnya sehari-hari. Dalam pelaksanaan tugasnya inilah Cinthya
menemukan kecurangan yang dilakukan jajaran top management Worldcom. Ini menunjukkan
bahwa dengan sistem yang kuat, pelanggaran akan dapat diminimalisir. Bayangkan beban yang
harus ditanggung tidak hanya oleh negara namun juga oleh karyawan Waskita? Bayangkan
kerugian yang ditanggung hanya demi memperoleh citra dan kebaikan belaka.
Pada akhirnya, kita semua berharap agar kasus ini tidak terulang lagi di masa mendatang.
Direksi, Dewan Komisaris, insan perusahaan BUMN haruslah benar-benar menghayati dan
memaknai penerapan implementasi GCG, agar GCG di BUMN tidak hanya sekedar menjadi
kata-kata indah belaka, namun menjadi sesuatu yang dilaksanakan dengan tepat, komprehensif
dan membumi. Lets join with The GCG Way!
*Penulis adalah Partner MUC Consulting Group Governance Consultant dan Direktur Riset
dan Pengembangan POLIGG (Policy & Law Institute for Good Governance)

Sumber : http://panduindraprakasto.wordpress.com/2012/11/04/kasus-waskita-dan-kelemahan-
implementasi-gcg-indonesia/

Вам также может понравиться