2. Kasus: KLB Difteri 3. Kajian Masalah: Masalah : 1. Difteri menjadi KLB di Jawa Timur a. Dunia kesehatan masyarakat Indonesia dikejutkan oleh adanya penyebaran penyakit difteri di Provinsi Jawa Timur (Jatim). Sebanyak 11 anak meninggal dunia dari 333 kasus difteri yang muncul selama tahun 2011. Karena itu, pemerintah Provinsi Jatim menetapkan KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit difteri sejak Jumat, 7 Oktober 2011 dan mulai berlaku 10 Oktober 2011. Penetapan status KLB dilakukan mengingat kasus ini telah tersebar di hampir seluruh kabupaten/kota se-Jawa Timur. b. Data Dinas Kesehatan Jatim, kasus difteri pada 2012 meningkat dibandingkan dengan 2011 yang mencapai 664 kasus dan menyebabkan 20 orang meninggal. Mereka menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) sejak 2011 (Harian Kompas,2012) c. Jawa Timur menyumbang 83 persen kasus difteri nasional. Surveilans hingga Mei 2012, kasus difteri terjadi pada 439 orang, 19 orang di antaranya meninggal (Harian kompas,2012) 2. Cakupan Imunisasi sudah meningkat a. Sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2008, cakupan imunisasi DPT3 di Jawa Timur selalu >90 persen, bahkan pernah >100 persen. Demikian juga dengan cakupan imunisasi DT (BIAS) pada anak usia sekolah dasar (>95 persen). Namun, kenyataannya kasus Difteri selalu naik dari tahun ke tahun (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2009). 3. Pengetahuan orang tua yang kurang tentang difteri a. Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian penderita difteri adalah status gizi penderita, ketidaktahuan orang tua penderita difteri, status imunitas, dan tidak pernah mendapat vaksinasi DPT (Setiyono, 1989). b. Faktor risiko kejadian difteri antara lain adalah karakteristik subyek. Karakteristik subyek terdiri dari umur, jenis kelamin, pendapatan perkapita, tingkat pendidikan dan status pekerjaan (Wiyodono, 2011). Skala : 1. Difteri menjadi KLB di Jawa Timur a. Di Indonesia, kejadian difteri terbanyak terjadi di Propinsi Jawa Timur selama 5 tahun berturut-turut. Pada tahun 2007, terdapat 19 kejadian, kemudian meningkat menjadi 63 kejadian pada tahun 2008. Peningkatan angka kejadian terus terjadi. Terdapat 119 kejadian pada tahun 2009, 286 kejadian pada tahun 2010, 663 kejadian pada tahun 2011. Kemudian mulai terjadi penurunan menjadi 367 kejadian pada tahun 2012 (Depkes, 2012) b. Kasus difteri telah menjangkiti 34 kota/kabupaten, dan hanya empat daerah yang belum terjangkit seperti Ngawi, Pacitan, Trenggalek, dan Magetan. Kasus difteri yang paling parah menyerang Surabaya, Bangkalan, dan Mojokerto. Penularan penyakit difteri sudah mulai meningkat sejak 2008. Pada tahun 2010, di wilayah Jatim memang tinggi angka kesakitan akibat penyakit difteri sebanyak 304 kasus pada 32 daerah dan mengakibatkan 21 anak meninggal. Sedangkan tahun 2009, terdapat 140 kasus pada 24 daerah di Jatim dengan korban 8 orang meninggal dunia (Riskesdas 2010).. c. Kejadian Difteri yang dialami bayi baru lahir menunjukkan prevalensi sebesar 90%, pada anak 1-5 tahun 25% - 50% dan pada remaja maupun dewasa sebesar 1% - 5% (Ranuh, 2008). 2. Cakupan Imunisasi sudah meningkat a. Cakupan imunisasi DPT1 di Indonesia mencapai 88% pada tahun 2005, 75,6% pada tahun 2006, 95,6% pada tahun 2007, 98,16% pada tahun 2010, dan 98% pada tahun 2011 (Depkes, 2011). b. Cakupan imunisasi DPT3 di Indonesia adalah 67,7% pada tahun 2007, 61,9% pada tahun 2010, dan 75,6% pada tahun 2013. Di Jawa Timur, cakupan imunisasi DPT3 adalah 70,4% pada tahun 2007, 60,68% pada tahun 2009 dan 74,2 pada tahun 2010 (Riskesdas 2010).
3. Pengetahuan orang tua a. Tingkat pendidikan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan dan sikap. Penelitian kematian akibat difteri menyatakan bahwa pendidikan orang tua yang rendah mempunyai risiko 4 kali lebih besar dibandingkan pendidikan orang tua yang tinggi (Wiyodono, 2011). b. Menurut Soemardini dkk, 2010 dalam penelitiannya disebutkan distribusi tingkat pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar lengkap sebagai berikut: Tingkat Pengetahuan Frekuensi Prosentase Baik ( >75%-100% ) 20 44,44% Cukup ( 60%-75% ) 22 48,89% Kurang ( <60% ) 3 6,67% Jumlah 45 100%
Kronologis : a. Peran keluarga terhadap kondisi kesehatan Keluarga sebagai suatu sistem, di mana jika salah satu anggota keluarga bermasalah, akan mempengaruhi sistem anggota keluarga yang lain, begitupun sebaliknya (Stanhope & Lancaster, 2004). b. Kesadaran orang tua dalam perilaku mencegah lebih baik daripada mengobati c. Pengetahuan dan pengambilan keputusan orang tua saat anak sakit Tingkat pendidikan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan dan sikap. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi tingkat pengetahuan. Pengambilan keputusan saat keluarga sakit dibutuhkan ketepatan (Iqbal & Chayati, 2009). Solusi : Setelah melihat kajian masalah di atas, perlu dikaji pengetahuan orang tua tentang difteri terhadap pencegahannya. Di samping itu perlu upaya memperkuat garis pertahanan untuk menciptakan rasa tanggung jawab di masyarakat terhadap kesehatan anak, adanya kebijakan, dan upaya pencegahan terhadap ancaman anak terjangkit difteri dapat dilakukan dengan upaya pendidikan kesehatan (health education), perlindungan kesehatan (health protection), dan pencegahan (prevention). Salah satu model promosi kesehatan yang dapat digunakan sebagai kerangka pikir pada permasalahan diatas adalah Tannahills model. Model ini menggambarkan bahwa upaya promosi kesehatan terdiri dari tiga aktivitas yang saling terkait meliputi; pendidikan kesehatan, pencegahan, dan perlindungan kesehatan. Model ini memadukan aktivitas pendidikan kesehatan, pencegahan, dan perlindungan kesehatan akibat penyakit yang dihubungkan dengan status nutrisi yang buruk (Tannahill, 1990).
Teori yang digunakan Tannahills Model Pertimbangan: 1. Kajian masalah yang ingin diangkat adalah tentang peran keluarga dalam pencegah penyakit difteri 2. Kajian penelitian tentang anak usia di bawah lima tahun, sehingga masih sangat tergantung dengan keluarga (orang tua) 3. Tanahils Model telah digunakan sebagai acuan dalam beberapa penelitian antara lain: a. Promosi Kesehatan Tannahills Model terhadap agregat anak sulit makan Tannahills Model Tannahill (1990) mengatakan bahwa promosi kesehatan dibentuk dari tiga area aktivitas yang saling terkait yaitu pendidikan kesehatan (health education), perlindungan kesehatan (health protection), dan pencegahan (prevention). a. Domain 1 : Pencegahan merupakan upaya untuk menghindari dari kondisi sakit, meliputi: immunisasi, skrining pada kelompok rentan , dan penemuan kasus malnutrisi. b. Domain 2 : Preventive health education adalah pendidikan yang ditujukan untuk mendorong perubahan perilaku sehat individu dalam upaya pencegahan terhadap penyakit dan pendidikan yang diberikan tenaga kesehatan yang digunakan untuk mendukung layanan pencegahan. Contoh dukungan tenaga kesehatan dalam hal skrining nutrisi atau penggunaan fasilitas publik, mendorong keluarga rawan gizi untuk aktif datang ke posyandu. c. Domain 3: Preventive health protection merupakan sebuah peraturan, sebagai contoh program makanan tambahan anak sekolah, peraturan makanan yang aman, kebijakan fiskal untuk industri makanan. d. Domain 4 : Protective health education merupakan pendidikan kesehatan untuk mendukung domain 3 yang ditujukan untuk pencegahan. Contoh proses lobi untuk peraturan makanan yang sehat, penambahan pajak untuk makanan dan upaya lain yang mempengaruhi pada lingkungan sosial sebagai tindakan efektif yang sinergi dengan pelayanan pencegahan. e. Domain 5: Health education meliputi pendidikan yang ditujukan mendorong perubahan perilaku sehat individu untuk mencapai kesehatan yang lebih optimal, seperti mendorong untuk melakukan aktivitas fisik atau olah raga diwaktu senggang, merubah kebiasaan diet, dan empowering individu atau kelompok untuk sejahtera (contoh meningkatkan self esteem). f. Domain 6: Health protection adalah peraturan permerintah. Contoh kebijakan keuangan untuk meningkatkan sarana dan prasarana yang menunjang kesehatan seperti sarana rekreasi dan fasilitas olahraga di komunitas, menciptakan sarana bermain bagi anak, program bantuan stimulasi usaha bagi keluarga untuk meningkatkan ketahanan pangan keluarga. g. Domain 7: Health protective health education untuk mencapai kondisi lebih sejahtera, contoh lobbying dengan pembuat kebijakan. Mendorong dan mendukung anggota masyarakat untuk mengekspresikan keinginannya seperti perlunya sarana olah raga. Memfasilitasi keluarga rawan gizi, berdialog dengan pemegang kebijakan setingkat lurah, petugas pemegang program nutrisi di tingkat puskesmas dan dinas kesehatan.