Вы находитесь на странице: 1из 8

Pandangan Plato Tentang Idea

Sumbangsih Plato yang terpenting adalah pandangannya mengenai idea.


Pandangan Plato terhadap idea-idea dipengaruhi oleh pandangan Sokrates
tentang definisi. Idea yang dimaksud oleh Plato bukanlah ide yang dimaksud
oleh orang modern. Orang-orang modern berpendapat ide adalah gagasan
atau tanggapan yang ada di dalam pemikiran saja.
Menurut Plato idea tidak diciptakan oleh pemikiran manusia. Idea tidak
tergantung pada pemikiran manusia, melainkan pikiran manusia yang
tergantung pada idea. Idea adalah citra pokok dan perdana dari realitas,
nonmaterial, abadi, dan tidak berubah. Idea sudah ada dan berdiri sendiri di
luar pemikiran kita. Idea-idea ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Misalnya, idea tentang dua buah lukisan tidak dapat terlepas dari idea dua,
idea dua itu sendiri tidak dapat terpisah dengan idea genap. Namun, pada
akhirnya terdapat puncak yang paling tinggi di antara hubungan idea-idea
tersebut. Puncak inilah yang disebut idea yang indah. Idea ini melampaui
segala idea yang ada.
Sementara dunia idea adalah dunia yang hanya terbuka bagi rasio kita. Dalam
dunia ini tidak ada perubahan, semua idea bersifat abadi dan tidak dapat
diubah. Hanya ada satu idea yang bagus, yang indah. Di dunia idea
semuanya sangat sempurna. Hal ini tidak hanya merujuk kepada barang-
barang kasar yang bisa dipegang saja, tetapi juga mengenai konsep-konsep
pikiran, hasil buah intelektual. Misalkan saja konsep mengenai kebajikan
dan kebenaran.
Dalam teorinya tentang :ide, Plato melukiskan pertentangan antara
kenyataan rohani yang tidak dapat musnah, dan kehidupan di dunia ini, yang
dialami secara indrawi, teori ini berkaitan dengan pandangannya mengenai
terpisahnya jiwa manusia yang tak dapat mati dan badan yang akan musnah.
Idea-idea itu mewujudkan adanya yang paling tinggi dan paling nyata, tetapi
terarah juga pada idea tentang kebaikan yang terdapat disebelah sana, segala
sesuatu yang ada. Nilai ini mendorong Plato untuk menerjunkan diri ke dalam
kehidupan sehari-hari dan dengan demikian, ia ingin membina watak manusia
di tengah-tengah masyarakat polis itu. Di dalam alam rayapun idea-idea itu
berpengaruh dengan pemeberian wujud pada alam kebendaan yang maih
tanpa wujud (Peursen, 1991: 251).
Teori Plato tentang idea-idea (Plato's Theori of Ideal Forms) pada dasarnya
memiliki dua alam (Tule, ed., 1995:-126:
1. Alam transenden (noumenal) yang absolut, sempurna, bentuk-bentuk
ideal yang tidak berubah di mana yang baik merupakan yang utama
yang biasanya ditafsirkan sebagai keindahan dan kebenaran;
merupakan sumber dari segala sesuatu yang lain, seperti keadilan,
ketentraman, semangat.
2. Alam fenomenal (dunia tanpak) yang tersusun dari segalas sesuatu yang
dalam, mengambil bagian dari) bentuk-bentuk ideal.

Cinta (atraksi, afinitas) yang dimiliki sesuatu ke arah kesempurnaan yang
inheren dalam bentuk-bentuk ideal ini mengilhami (menyebabkan,
mendorong) benda-benda di dunia fenomenal untuk berubah, bergerak,
beraksi mencari tujuan. Alam fenomenal adalah alam indrawi, alam biasa,
pengalaman sehari-hari. Alam terbentuk abadi adalah alam nyata, sejati,
permanen yang terkadang dapat sedikit disingkapkan oleh rasio setelah
melewati proses pendisiplinan yang memadai. Abstraksi seperti kesamaan,
sirkularitas, kemanusiaan yang dapat dipahami dan dikenal dalam berbagai
rupa, memberi indikasi sederhana bahwa bentuk-bentuk itu memang ada.
Bentuk-bentuk eksis secara independen dari kesadaran.
Ajaran tentang Idea.
Dari usaha Sokrates untuk menemukan essensi dari berbagai keutamaan yang
dimiliki dan dilakukan oleh manusia, Plato memikirkan bahwa essensi itu
mempunyai realitasnya sendiri, terlepas dari segala perbuatan konkrit. Dan
itu disebutnya Idea. Apa yang dimaksud Plato denganIdea? Idea adalah essensi
imaterial atau model imaterial yang darinya realitas material sebagai
copynya, dapat kita lihat. Contohnya: gambar segitiga yang dapat dilihat dan
diukur dalam berbagai ukuran adalah copyan dari idea segitiga. Demikian juga
dengan apa yang dapat dilihat sebagai yang baik, yang indah merupakan
copyan dari idea baik, idea indah. Idea, dengan demikian bersifat obyektif, ada
pada dirinya sendiri, tunggal dan kekal. Dari ajaran tentang Ideaini tema-tema
filosofis Plato mengalir.
Dua Dunia
Menurut Plato, realitas seluruhnya terdiri dari dua dunia. Dunia benda-
benda jasmani yang dapat ditangkap panca indera dan dunia Idea. Dunia
benda-benda serba jamak, berubah dan tidak sempurna. Sedangkan
dunia ideal itu kekal, tunggal (yang baik itu hanya ada satu, yang indah itu
hanya ada satu), sempurna dan tidak berubah. Lalu bagaimana hubungan
antar kedua dunia ini? Dunia idea mendasari dan menyebabkan benda-
benda jasmani. Ada tiga cara Plato menjelaskan hubungan kedua dunia ini,
yakni: Idea hadir dalam benda-benda jasmani, Benda-benda jasmani
mengambil bagian dalam Idea (metexis), Idea merupakan model bagi benda-
benda jasmani (paradeigma).
Diantara pemikiran Plato yang terpenting adalah teorinya tentang ide-
ide
i
, yang merupakan upaya permulaan yang mengkaji masalah tentang
universal yang hingga kini pun belum terselesaikan.Teori ini sebagian bersifat
logis, sebagian lagi bersifat metafisis. Dengan pendapatnya tersebut,
menurut Kees Berten (1976), Plato berhasil mendamaikan pendapatnya
Heraklitus dengan pendapatnya Permenides, menurut Heraklitus segala
sesuatu selalu berubah, hal ini dapat dibenarkan menurut Plato, tapi hanya
bagi dunia jasmani (Pancaindra), sementara menurut Permenides segala
sesuatu sama sekali sempurna dan tidak dapat berubah, ini juga dapat
dibenarkan menurut Plato, tapi hanya berlaku pada dunia idea saja.
Plato menjelaskan bahwa, jika ada sejumlah individu memiliki nama yang
sama, mereka tentunya juga memiliki satu "ide" atau "forma" bersama.
Sebagai contoh, meskipun terdapat banyak ranjang, sebetulnya hanya ada
satu "ide" ranjang. Sebagaimana bayangan pada cermin hanyalah
penampakan dan tidak "real". Demikian pula pelbagai ranjang partikular pun
tidak real, dan hanya tiruan dari "ide", yang merupakan satu-satunya ranjang
yang real dan diciptakan oleh Tuhan. Mengenai ranjang yang satu ini, yakni
yang diciptakan oleh Tuhan, kita bisa memperoleh pengetahuan, tetapi
mengenai pelbagai ranjang yang dibuat oleh tukang kayu, yang bisa kita
peroleh hanyalah opini.
Perbedaan antara pengetahuan dan opini menurut Plato adalah, bahwa
orang yang memiliki pengetahuan berarti memiliki pengetahuan tentang
"sesuatu", yakni "sesuatu" yang eksis, sebab yang tidak eksis berarti tidak ada.
Oleh karena itu pengetahuan tidak mungkin salah, sebab secara logis mustahil
bisa keliru. Sedangkan opini bisa saja keliru, sebab opini tidak mungkin
tentang apa yang tidak eksis, sebab ini mustahil dan tidak mungkin pula
tentang yang eksis, sebab ini adalah pengetahuan. Dengan begitu opini
pastilah tentang apa yang eksis dan yang tidak eksis sekaligus.
Maka kita tiba pada kesimpulan bahwa opini adalah tentang dunia yang
tampil pada indera, sedangkan pengetahuan adalah tentang dunia abadi yang
supra-inderawi; sebagai misal, opini berkaitan dengan benda-benda
partikular yang indah, sementara pengetahuan berkaitan dengan keindahan
itu sendiri. Dari sini Plato membawa kita pada perbedaan antara dunia intelek
dengan dunia inderawi. Plato berusaha menjelaskan perbedaan antara visi
intelektual yang jelas dan visi persepsi inderawi yang kabur dengan jalan
membandingkannya dengan indera penglihatan. Kita bisa melihat obyek
dengan jelas ketika matahari menyinarinya; dalam cahaya temaram
penglihatan kita kabur; dan dalam gelap gulita kita tidak dapat melihat sama
sekali. Menurutnya, dunia ide-ide adalah apa yang kita lihat ketika obyek
diterangi matahari, sedangkan dunia dimana segala sesuatu tidak abadi
adalah dunia kabur karena temaramnya cahaya. Namun untuk memberikan
gambaran yang jelas mengenai apa yang dimaksudnya, Plato memberikan
sebuah tamsil, yakni tamsil tentang gua.
Menurut tamsil itu, mereka yang tidak memiliki pengetahuan filsafat bisa
diibaratkan sebagai narapidana dalam gua, yang hanya bisa memandang ke
satu arah karena tubuhnya terikat, sementara di belakangnya ada api yang
menyala dan di depannya ada dinding gua. Mereka hanya dapat melihat
bayang-bayang yang dipantulkan pada dinding gua oleh cahaya api. Mereka
hanya bisa menganggap bayang-bayang itu sebagai kenyataan dan tidak dapat
memiliki pengertian tentang benda-benda yang menjadi sumber bayang-
bayang.
Sedangkan orang yang memiliki pengetahuan filsafat, ia gambarkan
sebagai seorang yang mampu keluar dari gua tersebut dan dapat melihat
segala sesuatu yang nyata dan sadar bahwa sebelumnya ia tertipu oleh
bayang-bayang. Namun ketika ia kembali ke gua untuk memberitahukan
kepada teman-temannya tentang dunia nyata, ia tidak dapat lagi melihat
bayang-bayang secara jelas jika dibandingkan dengan teman-temannya,
sehingga di mata teman-temannya ia tampak menjadi lebih bodoh daripada
sebelum ia bebas.
Demikianlah pemikiran Plato mengenai realitas yang sebenarnya. Teori
Plato tentang ide-ide tersebut, menurut penyusun, mengandung sekian
kesalahan yang cukup jelas. Kendati demikian, pemikiran itu pun
menyumbangkan kemajuan penting dalam filsafat, sebab inilah teori pertama
yang menekankan masalah universal, yang dalam pelbagai bentuknya, masih
bertahan hingga sekarang.

Dalam filsafat Plato ada tiga dasar pemikiran penting yang menjadi ciri khas
pemikirannya. Ketiga dasar pemikiran ini selanjutnya dikritik oleh muridnya
Aristoteles. Ketiga pemikiran tersebut sebagai berikut:
Teori Idea-Idea
Menurut Plato, segala apa yang ada di alam indrawi ini, baik itu substansi
maupun aksiden, hakekatnya terdapat di alam lain. Manusia yang ada di alam
ini ibaratnya seperti bayangan-bayangan dari hakekat-hakekat yang ada di
alam sana. Misalnya seluruh manusia yang hidup di alam indrawi ini berasal
dari satu hakekat dan berasal dari asal yang sama yaitu berasal dari alam
sana. Manusia hakiki dan hakekat manusia adalah manusia di alam sana.
Begitu juga dengan entitas-entitas lainnya.
Plato menyebut hakekat-hakekat di alam sana dengan idea.Sebagian filsuf
muslim menerjemah-kan idea ini ke dalam filsafat Islam
dengan mitsal. Keseluruhan hakekat-hakekat tersebut di alam sana disebut
dengan mutsul (jamak dari kata mitsal) oleh filsuf muslim. Ibn Sina sebagai
pengikut aliran paripatetik menolak keras teori ini sedangkan Suhrawardi
sebagai pengikut aliran iluminasi sangat fanatik teori idea ini. Mirdamad dan
Mulla Sadra adalah dua filsuf yang sangat mendukung teori ini. Namun
terminologi yang mereka gunakan berbeda dengan Plato, bahkan Suhrawardi
pun menggunakan terminologi yang berbeda dengan Plato. Salah satu filsuf
lainnya yang sangat mendukung teori ini adalah Mir Fendereski yang
merupakan salah satu filsuf pada priode dinasti Safawiyah. Berkenaan dengan
teori ini Mir Fendereski menulis syair :
Bentuk di alam bawah ini jika dengan tangga makrifat
Naiklah ke atas, hakekat dirinya satu saja
Perkataan ini tak kan dipahami secara lahiriyah
Meskipun anda al-Farabi atau Ibn Sina

Ruh Manusia
Plato meyakini bahwa ruh manusia sebelum menyatu dengan badan telah
diciptakan dan berada di alam ide. Kemudian setelah badannya tercipta,
ruhnya menyatu dengan badannya. Mulla Sadra menerima gagasan Plato
mengenai keberadaan segala sesuatu sebelum turun ke alam realitas
eksistensi. Namun pendekatan serta terminologi yang digunakan Sadra
berbeda dengan Plato. Karena ada parameter lain yang digunakan dalam hal
ini yaitu terminologi ruh, nafs, dan badan jismani.

Teori Pengingatan Kembali
Teori ini bisa dianggap sebagai konsekwensi atau turunan dari kedua teori
Plato sebelumnya. Teori ini oleh Plato disebut dengan pengingatan kembali.
Maksudnya sebelum manusia menyatu dengan badannya di dunia, ruhnya
telah diciptakan dan telah ada di alam ide. Ketika manusia berada di alam ide,
manusia telah menyaksikan segala sesuatu yang ada di alam sana. Karena di
alam ide tak ada tabir antara satu entitas dengan entitas lainnya. oleh
karenanya apa yang diketahui di alam dunia ini adalah pengingatan kembali
atas apa yang diketahui sebelumnya di alam ide. Namun ketika ruh menyatu
dengan badan, badannya menjadi hijab atau tabir sehingga ruhnya tak lagi
terkoneksi dengan cahaya di alam ide. Akibatnya manusia lupa atas apa yang
diketahui sebelumnya. Saking lupanya, ketika manusia mendapatkan
pengetahuan seolah baru pertama kali ia mendapatkan pengetahuan tersebut.
Untuk keluar dari persoalan ini, manusia mesti berusaha menghilangkan tabir
atau hijab tersebut dengan dialektika pemikiran metode rasional atau dalam
pandangan Suhrawardi berusaha meraih cinta kepada kebaikan mutlak
melalui tazkiyah dan penyucian diri.


i
Aristoteles mengkritik tajam pendapat Plato tentang idea-idea, menurut Dia yang umum
dan tetap bukanlah dalam dunia idea akan tetapi dalam benda-benda jasmani itu sendiri, untuk
itu Aristoteles mengemukakan teori hilemorfisme (Hyle = Materi, Morphe = bentuk). Menurut
teori ini, setiap benda jasmani memiliki dua hal yaitu bentuk dan materi. Sebagai contoh,
sebuah patung pasti memiliki dua hal yaitu materi atau bahan baku patung misalnya kayu atau
batu, dan bentuk misalnya bentuk kuda atau bentuk manusia, keduanya tidak mungkin lepas
satu sama lain, contoh tersebut hanyalah untuk memudahkan pemahaman, sebab dalam
pandangan Aristoteles materi dan bentuk itu merupakan prinsip-prinsip metafisika untuk
memperkukuh dimungkinkannya ilmu pengetahuan atas dasar bentuk dalam setiap benda
konkrit. Teori hilemorfisme juga menjadi dasar bagi pandangannya tentang manusia, manusia
terdiri dari materi dan bentuk. Bentuk adalah jiwa, dan karena bentuk tidak pernah lepas dari
materi, maka konsekuensinya adalah bahwa apabila manusia mati, jiwanya (bentuk) juga akan
hancur.
Lebih lanjut, Aristoteles mengajukan sebuah argumen yang sangat baik untuk menyanggah
teori idea Plato. Argumen yang paling kokoh adalah tentang "orang ketiga"; jika seorang
manusia adalah manusia karena ia menyerupai manusia ideal, maka masih harus ada manusia
lainnya lagi yang terhadapnya manusia biasa dan manusia ideal tadi mempersamakan diri.
Kini kita sampai pada pernyataan baru, yang pada mulanya akan terkesan sulit. Dikatakan
bahwa jiwa adalah "forma" dari tubuh. Dalam sistem pemikiran Aristoteles, jiwalah yang
menyebabkan tubuh menjadi sesuatu, yang memiliki kesatuan dan tujuan. Tujuan mata adalah
untuk melihat, namun mata tidak dapat melihat jika dipisahkan dari tubuh. Sebenarnya, yang
melihat adalah jiwa.
Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai
pengetahuan yang sempurna. Ini sangat berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles
menolak dualisme tentang manusia dan memilih "hilemorfisme": apa saja yang dijumpai di
dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sesuatu dari bentuk
("morphe") yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu
yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis", Latin: "potentia")
untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda.
Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitus
dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap"
dan yang "berubah.
Dari pembahasan singkat mengenai pemikiran Plato dan Aristoteles di atas, dapat kita
simpulkan adanya perbedaan yang cukup mendasar antara keduanya tentang realitas hakiki.
Plato ada pada pendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif,
bawaan) dalam diri seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia
idea, -- konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa
melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia
pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang
semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.

Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah
dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan
jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Ini adalah persoalan ada ("being")
dan mengada (menjadi, "becoming").
Sedangkan Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya.
Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap,
misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk
nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah
melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. idea kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri:
idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi
Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah
yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan
indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan
sekedar akal yang masuk dalam kesadaran oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang
merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong
sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea bawaan.

Вам также может понравиться