Вы находитесь на странице: 1из 10

Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology)

Vol. 21 No. 1 April 2011: 13 22



13
HIDROGEOLOGI DAN POTENSI AIR TANAH UNTUK PERTANIAN
DI DATARAN WAEAPU, PULAU BURU, MALUKU
Taat Setiawan
Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan, Badan Geologi,
Jl. Diponegoro 57 Bandung, e-mail : taat_setia@yahoo.com

Sari
Dataran Waeapu terletak di bagian timur Pulau Buru merupakan daerah pertanian utama yang mendukung
sektor pangan di wilayah Buru, Provinsi Maluku. Untuk mendukung sektor pertanian, air tanah masih
diperlukan karena seluruh area pertanian di topang oleh irigasi air permukaan. Penelitian ini dilaksanakan
untuk menentukan kondisi hidrogeologi dan potensi air tanah dengan melakukan pengamatan langsung dan
pengukuran titik hidrogeologi, pemercontohan dan analisis hidrokimia, dan analisis data pengeboran air tanah.
Hasil memperlihatkan bahwa daerah penelitian merupakan area luahan air tanah, baik tertekan maupun
semitertekan. Akuifer tidak tertekan yang terdiri atas lempung pasiran, pasir, dan kerikil berada pada
kedalaman 30 40 m. Muka air tanah tertekan pada elevasi 0 36 masl dengan pola aliran relatif paralel
dengan kontur topografi. Akuifer semitertekan dan tertekan terletak pada kedalaman lebih dari 30 m dengan
ketebalan sekitar 20 80 m. Akuifer terutama terdiri atas pasir lempungan, pasir, sampai pasir kerikilan yang
di apit oleh lempung dan setempat oleh lempung pasiran. Air tanah tidak tertekan memiliki fasies Na- HCO
3

dan Ca-HCO
3
, sedangkan akuifer tertekan memiliki fasies Na- HCO
3
. Kuantitas akuifer semitertekan dan
tertekan yang mempunyai koefisien transmisitas sekitar 135-540 m
2
/hari menunjukkan potensi buruk sampai
sedang sebagai sumber air irigasi, sementara kualitasnya menunjukkan risiko salinitas rendah hingga tinggi
dan risiko sodium rendah. Untuk tanaman padi, kualitas air tanah dapat digunakan.
Katakunci : kondisi hidrogeologi, potensi air tanah untuk irigasi, Pulau Buru.

Abstract
Waeapu plains located in the eastern part of Buru Island, is the main agricultural area supporting the food
sector in the District of Buru, Maluku Province. To support the agriculture sector, groundwater is still needed
because not all agricultural areas is covered by surface water irrigation. This research was carried out to
determine the hydrogeological condition and groundwater potential by conducting direct observation and
measurement of hydrogeological point interest, hydrochemical sampling and analysis, and groundwater
drilling data analysis. The result show that the studied area is a groundwater discharge area, either
unconfined, semiconfined, and confined aquifer. Unconfined aquifer composed of sandy clay, sand, and gravel
lies at the depth of 3 40 mbgs. Watertableis lies at the elevation of 0 to 36 masl with the flow pattern
relatively parallel to the topographic contours. Semiconfined and confined aquifers located at a depth of more
than 30 m with the thickness of about 20 to 80 m. Aquifer is mainly composed of silty sand, sand, until pebbly
sand flanked by clay and locally by sandy clay. Hydrogeochemical characteristics of unconfined aquifer
indicated facies of Na - HCO
3
and Ca - HCO
3
, whereas confined aquifer indicated facies of Na - HCO
3
. The
quantity of semiconfined and confined aquifers has coefficient of transmissivity about 135 540 m
2
/day
indicated poor to moderate potential for the source of irrigation water, while the quality has a low to high
salinity hazard and low sodium hazard. For paddy plants, groundwater quality can still be utilized.
Keywords: hydrogeological condition, groundwater irrigation potential, Buru Island.

PENDAHULUAN
Daerah penelitian terletak di Pulau Buru
bagian timur dengan koordinat 126
o
48 127
o
10
Bujur Timur dan 3
o
13 3
o
34 Lintang Selatan,
dikelilingi oleh kompleks Pegunungan Wahlua
dan pada bagian timur laut berbatasan langsung
dengan Laut Banda (Gambar 1). Secara
administratif, daerah ini termasuk ke dalam
wilayah Kabupaten Buru, Provinsi Maluku,
dengan ibu kota kabupaten berada di Namlea.
Kabupaten Buru merupakan kabupaten
yang relatif baru terbentuk di wilayah Provinsi
Maluku dengan wilayah utama mencakup seluruh
Pulau Buru beserta beberapa pulau kecil di
sekelilingnya. Pembangunan di wilayah ini terus
mengalami peningkatan, terutama sektor
pertanian, perkebunan, dan pengembangan
sumber daya kelautan. Dalam menunjang
perkembangan di bidang pertanian, daerah dataran
Hidrogeologi dan Potensi Air Tanah untuk Pertanian di Dataran Waeapu, Pulau Buru, Maluku
(Taat Setiawan)


14

Waeapu dan sekitarnya merupakan daerah
penghasil padi dan tanaman pertanian lainnya
yang utama (Gambar 2). Daerah ini merupakan
lokasi yang strategis karena memiliki jalan
beraspal yang menghubungkannya dengan daerah
Namlea sebagai pusat perekonomian dan
pemerintahan.
Dalam menunjang sektor pertanian, peranan
irigasi air tanah sangatlah penting dalam menjaga
kelangsungan budidaya tanaman pangan,
terutama padi, akibat air permukaan yang terbatas.
Sebagai alternatif, pemanfaatan air tanah
dilakukan dengan pembuatan beberapa sumur bor
untuk menyuplai pengairan melalui penyadapan
akuifer tertekan. Untuk mengetahui sejauh mana
potensi air tanah, baik secara kuantitas maupun
kualitas dilakukan penelitian tentang kondisi
hidrogeologi dan potensi air tanah.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pengukuran secara langsung
terhadap obyek obyek hidrogeologi, seperti
sumur gali, sumur bor, dan mata air, dan dengan
menganalisis data sekunder, seperti karakteristik
akuifer, data pemboran air tanah, dan lain
sebagainya. Pengukuran secara langsung tersebut
meliputi kedudukan muka air tanah, besarnya
debit sumur bor, beberapa sifat fisika dan kimia
air tanah, kondisi litologi, serta pengambilan
percontoh air untuk analisis kimia air tanah di
laboratorium.
GEOLOGI
Menurut Tjokosapoetro, drr. (1993), secara
geologi daerah penelitian tersusun atas batuan
berumur Kuarter berupa Endapan Undak dan
Aluvium yang terdiri atas bongkah, kerikil, pasir,
lanau, dan lempung. Batuan dasar dari daerah
penelitian adalah Kompleks Wahlua yang berumur
Karbon Akhir sampai Perm Awal. Kompleks
Wahlua tersebut tersusun atas sekis, filit, arkosa
malih, kuarsit, dan pualam yang tersingkap pada
daerah Pegunungan Wahlua yang mengelilingi
daerah penelitian sekaligus sebagai daerah resapan
air tanah (Gambar 3).
HIDROGEOLOGI
Keterdapatan Akuifer
Daerah Waeapu dan sekitarnya secara
hidrologis merupakan bagian dari sistem Daerah
Aliran Sungai Waeapu (DAS Waeapu) dengan
luas sekitar 2.276 km
2
. Daerah ini memiliki hulu
pada kompleks Pegunungan Wahlua dengan
kisaran elevasi 250 1250 mdpl. Secara
hidrogeologis, daerah Waeapu dan sekitarnya
merupakan daerah lepasan air tanah (recharge
area), baik tertekan, semi tertekan, maupun tidak
tertekan. Air tanah tidak tertekan terletak pada
level elevasi 0 36 mdpl dengan kedalaman muka
air tanah rata-rata kurang dari 5 mbmt. Aliran air
tanah tidak tertekan memiliki pola yang relatif
sejajar dengan kontur topografi. Mulai bergerak
dari daerah kaki perbukitan kemudian
terakumulasi pada bagian tengah dataran, yaitu
daerah Sungai Waeapu, lalu mengalir dengan arah
relatif sama dengan air permukaan, yaitu ke arah
timur laut (Gambar 4). Menurut Setiadi dan
Setiawan (2007) menyebutkan bahwa air tanah
tidak tertekan di sekitar Way Bini (bagian utara
Dataran Waeapu) terdapat dalam akuifer dengan
kedalaman antara 3 sampai 50 mbmt.









Gambar 1 : Lokasi penelitian, Wilayah Waeapu, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Waeapu
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology)
Vol. 21 No. 1 April 2011: 13 22

15

Gambar 2 : Hamparan tanaman padi di daerah Waeapu, Kabupaten Buru.


Gambar 3 : Peta geologi daerah penelitian dan sekitarnya (Tjokosapoetro, drr., 1993).


Hidrogeologi dan Potensi Air Tanah untuk Pertanian di Dataran Waeapu, Pulau Buru, Maluku
(Taat Setiawan)


16


Gambar 4 : Peta pola aliran air tanah tidak tertekan daerah penelitian
Air tanah tertekan dan semitertekan pada
daerah penelitian teramati pada beberapa sumur
bor untuk irigasi air tanah yang terdapat pada
daerah Waekasar dan sekitarnya. Muka air tanah
tertekan yang teramati pada beberapa sumur bor
memiliki kedalaman relatif beragam, berkisar
antara 3,5 mbmt sampai positif di atas muka tanah
setempat (free flowing) atau yang dikenal dengan
istilah muka air tanah artesis (Gambar 5). Hasil
korelasi pada lima sumur bor untuk irigasi yang
sudah tidak berfungsi lagi pada daerah Waekasar
Waekerta menunjukkan karakter akuifer tertekan
dan semitertekan berada pada kedalaman lebih
dari 70 mbmt dengan ketebalan dapat mencapai
sekitar 40 m (Gambar 6). Litologi dari akuifer
tersebut berupa pasir lempungan, pasir, hingga
pasir kerikilan yang diapit oleh lapisan kedap air
(akuiklud) berupa lempung dan setempat berupa
lapisan akuitar (semikedap air) berupa lempung
pasiran. Pada kedalaman lebih besar dari 120
mbmt pada umumnya batuan bersifat kedap air
berupa lempung dan setempat semikedap air
berupa lempung pasiran.


Gambar 5 : Muka air tanah artesis pada sumur bor
di daerah Waekasar
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology)
Vol. 21 No. 1 April 2011: 13 22

17

Gambar 6 : Korelasi sumur bor pada daerah Waekasar Waekerta dan sekitarnya
Data pengeboran air tanah di daerah Sanleko dan
sekitarnya menunjukkan bahwa akuifer tertekan
terdapat pada kedalaman 40 hingga 100 mbmt
dengan ketebalan 20 hingga 25 m. Kelompok
akuifer tersebut tergolong sebagai Akuifer
Produktif dan hasil uji pemompaan yang
dilakukan oleh Nippon Koei Co. Ltd. (1999) pada
dua sumur bor menunjukkan nilai keterusan
akuifer (Transmissivity = T) 170 dan 200 m
2
/hari,
dengan kapasitas jenis 0,44 dan 1,39 l/detik/m.
Hidrogeokimia
Menurut Schwartz dan Zang (2003),
mineral penyusun batuan akan terlarut dalam air
membentuk ion ion terlarut. Ion ion tersebut
dapat berupa kation (bermuatan positif) maupun
anion (bermuatan negatif). Menurut Davis dan De
Wiest (1967), kandungan kation yang umum
terdapat pada hampir semua air di alam adalah
natrium (Na
+
), kalium (K
+
), kalsium (Ca
2+
), dan
magnesium (Mg
2+
), sedangkan kandungan anion
antara lain klorida (Cl
-
), sulfat (SO
4
2-
), dan
bikarbonat (HCO
3
-
). Konsentrasi ion terlarut
tersebut akan meningkat seiring dengan semakin
panjangnya jarak tempuh yang dilalui aliran air
tanah.
Hasil analisis hidrokimia ion utama untuk
lima percontoh air tanah tidak tertekan
menunjukkan bahwa ion Na
+
merupakan kation
yang dominan dengan kisaran 14 hingga 39 mg/l,
sedangkan ion HCO
3
-
merupakan anion yang
dominan dengan kisaran 44,2 hingga 172 mg/l.
Karakter yang sama juga terdapat pada percontoh
air tanah tertekan yang mengandung kation Na
+
18
120mg/l dan anion HCO
3
-
64,4 280,6 mg/l
(Tabel 1).
Hasil interpretasi menggunakan diagram
Piper (Walton, 1970) menunjukkan percontoh air
tanah tidak tertekan memiliki fasies Na HCO
3

atau sodium bikarbonat (tiga percontoh) dan Ca
HCO
3
atau kalsium bikarbonat (dua percontoh),
sedangkan tiga percontoh air tanah tertekan
memiliki fasies Na HCO
3
(Gambar 7). Hal
tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar
percontoh air memiliki fasies Na HCO
3
, atau
dengan kata lain air tanah di daerah penelitian
didominasi oleh kandungan ion Na
+
dan HCO
3
-
.
Kelimpahan ion Na
+
pada semua percontoh
air tanah tertekan dan tiga dari lima contoh air
tanah tidak tertekan kemungkinan berkaitan
dengan proses pertukaran kation (cation exchange)
antara Na
+
dengan Ca
2+
atau Mg
2+
.
Kecenderungan adsorpsi di antara kation utama
pada sistem air alami menurut Sposito (1989)
dalam Kehew (2001) adalah sebagai berikut :
(teradsorpsi kuat) Ca
2+
> Mg
2+
> K
+
> Na
+

(teradsorpsi lemah)

Hidrogeologi dan Potensi Air Tanah untuk Pertanian di Dataran Waeapu, Pulau Buru, Maluku
(Taat Setiawan)


18

Tabel 1. Kandungan Ion Utama Terlarut Lima Percontoh Air Tanah Tidak Tertekan dan Tiga percontoh Air
Tanah Tertekan.
Parameter Satuan
Kode Contoh
SG-51 SG-52 SG-57 SG-62 SG-63 SB-03 SB-48 SB-49
DHL S/Cm 130.00 230.00 97.00 199.00 427.00 145 528 995
pH - 6.72 7.26 6.21 7.28 6.72 8.14 7.58 7.42
Kesadahan mg/l 28.60 51.90 30.30 45.70 67.10 25.00 126.00 203.50
Ca
2+
mg/l 8.90 17.80 11.10 17.40 21.90 8.50 43.80 29.70
Mg
2+
mg/l 1.50 1.80 0.60 0.50 3.00 0.90 4.00 31.00
K
+
mg/l 1.30 3.30 1.10 2.40 33.00 1.00 1.80 9.00
Na
+
mg/l 15.00 20.00 14.00 16.00 39.00 18.0 64.0 120.0
HCO
3
-
mg/l 44.20 87.40 66.20 64.40 172.00 64.4 238.2 280.6
Cl
-
mg/l 13.60 8.90 5.00 26.40 32.60 8.5 38.0 124.2
SO4
2-
mg/l 7.00 8.20 4.50 4.10 9.40 1.4 7.3 56.9
Fasies Air

Na-
HCO
3

Ca-
HCO
3

Na-
HCO
3

Ca-
HCO
3

Na-
HCO
3

Na-
HCO
3

Na-
HCO
3

Na-
HCO
3



Diagram Piper
Contoh Air Tanah Daerah Waeapu Dan sekitarnya
C A T I O N S A N I O N S
%meq/l
Na+K HCO +CO
3 3
Cl
Mg SO
4
Ca
Calcium (Ca) Chloride (Cl)
S
u
l
f
a
t
e

(
S
O
4
)

+

C
h
l
o
r
i
d
e

(
C
l
)
C
a
l
c
i
u
m

(
C
a
)

+

M
a
g
n
e
s
i
u
m

(
M
g
)
C
a
r
b
o
n
a
t
e

(
C
O
3
)

+

B
i
c
a
r
b
o
n
a
t
e

(
H
C
O
3
)
S
o
d
i
u
m

(
N
a
)

+

P
o
t
a
s
s
i
u
m

(
K
)
S
u
l
f
a
t
e

(
S
O
4
) M
a
g
n
e
s
i
u
m

(
M
g
)
80 60 40 20 20 40 60 80
8
0
6
0
4
0
2
0
2
0
4
0
6
0
8
0
2
0
4
0
6
0
8
0
8
0
6
0
4
0
2
0
2
0
4
0
6
0
8
0
2
0
4
0
6
0
8
0
8
0
6
0
4
0
2
0
8
0
6
0
4
0
2
0
Total Dissolved Solids
(Parts Per Million)
0
.
0
1
,
0
0
0
.
0
2
,
0
0
0
.
0
3
,
0
0
0
.
0
4
,
0
0
0
.
0
5
,
0
0
0
.
0
SG51
SG52
SG57
SG62
SG63
SB03
SB48
SB49

Gambar 7. Diagram Piper (Walton, 1970) contoh air tanah daerah penelitian.

Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology)
Vol. 21 No. 1 April 2011: 13 22

19
Deret di atas memiliki arti ion Ca
2+
sangat
mudah teradsorpsi dibanding dengan ion Na
+
. Ion
Na
+
di alam secara umum terdapat pada
permukaan material lempungan, sehingga air yang
kaya akan Ca
2+
ketika melewati lapisan
lempungan memiliki kecenderungan untuk
teradsorpsi ke permukaan material lempung
tersebut. Ion Na
+
akan dilepaskan dan terlarut
dalam air, sehingga konsentrasi ion Na
+
dalam air
meningkat. Ketebalan lapisan lempung di daerah
penelitian relatif sangat tebal mengingat dataran
alluvium waeapu merupakan material rombakan
dari lapukan batuan metamorf Kompleks Wahlua
seperti filit dan sekis.
Air hujan dan air tanah pada daerah resapan
(recharge area) secara umum memiliki fasies Ca
HCO
3
(Kehew, 2001) dalam perjalanannya
menuju zona yang lebih dalam, dan akan
mengalami proses pertukaran kation. Pada daerah
lepasan (discharge area) air tanah tertekan
tersebut akan bergerak menuju permukaan
bercampur dengan air tanah tidak tertekan. Hal
tersebut akan menyebabkan air tanah tidak
tertekan memiliki fasies yang sama dengan air
tanah tertekan berupa Na-HCO
3
, meskipun
konsentrasi ion Na
+
pada air tanah tidak tertekan
lebih rendah daripada air tanah tertekan.

POTENSI AIR TANAH UNTUK IRIGASI
Kuantitas Air Tanah
Karakteristik kuantitas air tanah daerah
penelitian di dapat dari uji pemompaan di daerah
Sanleko, yaitu pada sumur bor TWWB-01 dan
TWWB-02. Daerah tersebut merupakan daerah
dataran Waeapu bagian utara yang berbatasan
dengan kaki perbukitan (Gambar 4). Hasil uji
pemompaan sumur bor TWWB 01 menunjukkan
nilai keterusan atau transmisivitas (T) sebesar 170
m
2
/hari dengan debit jenis 1,39 l/dt/m, sedangkan
pada sumur TWWB 02 menunjukkan nilai
koefisien keterusan 200 m
2
/hari dengan debit jenis
0,44 l/dt/m.
Data sumur bor menunjukkan bahwa total
ketebalan akuifer yang disadap pada TWWB 01
adalah sekitar 30 m, sehingga besarnya
konduktivitas hidrolika (K) sebesar 200m
2
/hari /
30m = 6,67 m/hari. Sementara pada sumur
TWWB 02 menyadap akuifer setebal 25 m,
sehingga besarnya nilai K adalah 170 m
2
/hari / 25
m = 6,8 m/hari. Konduktivitas hidrolika pada
kedua lokasi tersebut memiliki karakter yang
sama, sehinggga dirata rata harga K pada daerah
penelitian adalah sebesar 6,74 m/hari yang
menunjukkan litologi pasir sedang (Todd, 1980).
Berdasarkan atas karakter dan sebaran
akuifer yang sama atau hampir sama, maka
karakteristik akuifer tersebut dapat digunakan
untuk mendeduksi daerah penelitian lainnya.
Daerah Waekerta Waekasar dan sekitarnya
dengan posisi lebih ke arah tengah menunjukkan
ketebalan akuifer semitertekan hingga tertekan
berkisar antara 20 hingga 80 m, sehingga apabila
seluruh ketebalan lapisan akuifer ini disadap maka
akan menghasilkan koefisien keterusan sebesar
135 540 m
2
/hari. Hal tersebut menunjukkan
sangat beragamnya tingkat potensi atau kuantitas
air tanah tertekan di daerah penelitian. Rentang
harga koefisien keterusan yang berdasarkan atas
standar yang dikeluarkan oleh US. Dept. of The
Interior, 1977 (Tabel 2) menunjukkan potensi
buruk hingga sedang karena berada pada rentang
nilai transisivitas 50 1000 m
2
/hari.
Kualitas Air Tanah
Penggunaan air tanah untuk keperluan
pertanian (irigasi) selain memerlukan kuantitas
yang baik juga memerlukan kualitas air yang baik
pula berkaitan dengan sensitivitas tanah dan
tanaman jika terkena air. Untuk mengetahui
tingkat kelayakan kualitas air untuk keperluan
irigasi di daerah penelitian digunakan metode
pendekatan berdasarkan hubungan antara nilai
Sodium Adsorption Ratio (SAR) yang bertindak
sebagai sodium (alkali) hazard (resiko sodium)
dengan daya hantar listrik (DHL) yang bertindak
sebagai salinity hazard (risiko salinitas).
Digunakannya metode pendekatan seperti
tersebut di atas karena kandungan sodium dan
salinitas air sangat berpengaruh, baik terhadap
sifat fisik tanah maupun terhadap tanaman.
Menurut Ayres dan Westcot (1976), penggunaan
air dengan harga SAR yang tinggi akan
memudahkan rusaknya struktur fisik tanah.
Sodium yang terserap akan merusak partikel
tanah, karena tanah menjadi keras dan kompak
ketika kering dan meningkatkan kekedapan tanah
terhadap infiltrasi air. Air dengan salinitas tinggi
dapat bertindak sebagai racun pada tanaman
karena tingginya salinitas akan menyebabkan akar
tanaman sulit menyerap air.
Harga SAR didapatkan dengan rumus
sebagai berikut :
2
) ( Mg Ca
Na
SAR


Konsentrasi ion Na, Ca, dan Mg pada
persamaan di atas adalah dalam satuan epm
(meq/l). Nilai SAR dan DHL masing masing
percontoh air kemudian diplot pada Diagram
Wilcox, yang dikelompokkan sebagai berikut ;


Hidrogeologi dan Potensi Air Tanah untuk Pertanian di Dataran Waeapu, Pulau Buru, Maluku
(Taat Setiawan)


20

Tabel 2 : Potensi air bawah tanah berdasarkan niai transmisivitas dan penggunaannya
(US. Dept. Of The Interior, 1977).
Transmisivitas (m
2
/hari) Klasifikasi Penggunaan Untuk Irigasi
< 50 Sangat Buruk
50 300 Buruk
300 1000 Sedang
1000 10.000 Baik
> 10.000 Sangat Baik

Kelas C1 S1 : Klasifikasi sangat baik
Kelas C2 S1 dan C2 S2 : Klasifikasi baik
Kelas C3 S1 dan C3 S2 : Klasifikasi
diperbolehkan
Kelas C4 S1, dan C4 S2 : Klasifikasi
meragukan
Kelas C4 S3, C3 S4, dan C4 S4 :
Klasifikasi tidak layak
Analisis besarnya nilai SAR dan harga
DHL pada contoh air tanah baik pada akuifer tidak
tertekan maupun tertekan pada Diagram Wilcox di
daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 8 dan
hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3.






















Gambar 8 : Diagram Wilcox (Ayres dan Westcot, 1976) contoh air tanah daerah penelitian

SG-51
SG-52
SG-62
SG-63
SB-03
SB-48
SB-49
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology)
Vol. 21 No. 1 April 2011: 13 22

21
Tabel 3 : Klasifikasi Kualitas Air Tanah Berdasarkan Penggunannya untuk Pertanian di Daerah
Penelitian.
No. Kode Contoh Klasifikasi Keterangan
1 SG-51 C1 S1
Risiko salinitas dan resiko sodium yang rendah (sangat baik)
2 SG-52 C1 S1
Risiko salinitas dan resiko sodium yang rendah (sangat baik)
3 SG-57 C1 S1
Risiko salinitas dan resiko sodium yang rendah (sangat baik)
4 SG-62 C1 S1
Risiko salinitas dan resiko sodium yang rendah (sangat baik)
5 SG-63 C2 S1
Risiko salinitas menengah dan resiko sodium yang rendah
(baik)
6 SB-03 C1 S1
Risiko salinitas dan resiko sodium yang rendah (sangat baik)
7 SB-48 C2 S1
Risiko salinitas menengah dan resiko sodium yang rendah
(baik)
8 SB-49 C3 S1
Risiko salinitas tinggi dan resiko sodium rendah
(diperbolehkan)


Klasifikasi air untuk irigasi seperti di atas
menunjukkan bahwa air tanah dangkal pada
umumnya memiliki kualitas air tanah yang sangat
baik dengan risiko salinitas dan sodium yang
rendah. Karakter kualitas air untuk air tanah
tertekan menunjukkan sifat yang bervariasi, yaitu
dari diperbolehkan (risiko salinitas tinggi dan
risiko sodium rendah) hingga sangat baik.
Jaringan irigasi air tanah pada daerah
penelitian secara umum menyadap pada akuifer
tertekan dan semitertekan. Hal tersebut
dimaksudkan agar tidak mengganggu sistem
akuifer tidak tertekan yang dimanfaatkan oleh
penduduk untuk kebutuhan domestik melalui
pembuatan sumur gali atau sumur pantek. Dalam
kaitannya dengan kualitas air tanah tertekan,
faktor kendala yang dihadapi adalah masalah
risiko salinitas yang akan menyebabkan turunnya
produktivitas panen untuk tanaman tertentu.
Menurut Ayers & Wetscot (1976) tanaman buncis,
wortel, selada, bawang, dan lobak akan menurun
produktiviasnya jika DHL air lebih dari 900
Sm/Cm, sedangkan tanaman padi lebih bersifat
toleran sampai dengan 2000 Sm/Cm.
Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa untuk padi
sebagai tanaman utama, kualitas air tanah masih
memenuhi syarat untuk keperluan irigasi.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Secara hidrogeologis daerah penelitian
merupakan daerah luahan air tanah, baik air tanah
tidak tertekan, semitertekan, maupun tertekan.
Akuifer tidak tertekan tersusun atas pasir
lempungan, pasir, hingga kerikil berada pada
kedalaman 3 40 mbmt dengan muka air tanah
terletak pada elevasi 0 hingga 36 mdpl. Akuifer
semitertekan dan tertekan berada pada kedalaman
lebih dari 30 mbmt dengan ketebalan sekitar 20
hingga 80 m. Akuifer tersebut terutama tersusun
atas pasir lempungan, pasir, hingga pasir kerikilan
yang diapit oleh lempung dan setempat oleh
lempung pasiran. Hidrogeokimia air tanah tidak
tertekan memiliki fasies Na HCO
3
dan Ca
HCO
3
, sedangkan air tanah tertekan memiliki
fasies Na HCO
3
yang menunjukkan adanya
proses pertukaran kation selama proses perjalanan
dari daerah resapan hingga daerah luahan.
Akuifer tertekan dan semi tertekan
memiliki konduktivitas hidrolika sekitar 6,74
m/hari yang menunjukkan litologi pasir sedang
dengan nilai koefisien keterusan sebesar 135 540
m
2
/hari. Hal tersebut menunjukkan kuantitas air
tanah untuk irigasi di daerah penelitian memiliki
kategori buruk hingga sedang. Dilihat dari segi
kualitas, air tanah untuk irigasi menunjukkan
risiko salinitas rendah hingga tinggi dan risiko
sodium rendah. Untuk tanaman padi, kualitas air
tanah tersebut masih dapat dimanfaatkan karena
belum mengganggu produktivitasnya, namun
beberapa tanaman sayuran yang sensitif akan
mulai terganggu produktivitasnya.
Saran
Pemanfaatan air tanah untuk irigasi
memerlukan debit pemompaan yang relatif besar.
Sebagai gambaran, untuk mengairi sawah dengan
luas 8 25 ha memerlukan sistim debit
pemompaan air tanah sekitar 10 25 l/dt.
Meskipun kuantitas dan kualitas air tanah di
daerah penelitian masih memungkinkan untuk
keperluan irigasi atau pertanian, namun perlu
dipikirkan alternatif penggantinya, yaitu dengan
memanfatkan air permukaan.
Hidrogeologi dan Potensi Air Tanah untuk Pertanian di Dataran Waeapu, Pulau Buru, Maluku
(Taat Setiawan)


22

Hal tersebut berguna untuk menghindari
terjadinya kerusakan air tanah di daerah penelitian
mengingat perbaikan kerusakan air tanah
memerlukan biaya yang sangat mahal. Alternatif
air permukaan sangat memungkinkan mengingat
Sungai Waeapu merupakan sungai permanen
dengan debit aliran relatif besar.
Ucapan Terimakasih : penulis sampaikan kepada
Ir. Hendri Setiadi, Post Grad. Dipl dan rekan
rekan tim Pemetaan Hidrogeologi Skala 1 :
250.000 Lembar 2512 Namlea, Maluku atas
kerjasamanya dalam pelaksanaan survei
lapangan. Terimakasih juga disampaikan kepada
panitia PIT IAGI ke 39 yang telah memberi
kesempatan untuk mempresentasikan makalah ini.
ACUAN
Ayres, R.S. and Westcot, D.W., 1976. Water
Quality for Agriculture Irrigation and
Drainage, Paper No.29. Food and
Agriculture Organization of the United
Nations, Rome.
Davis, S. N., dan De Wiest, R. J. M., 1967.
Hydrogeology, 1
st
ed., John Wiley and
Sons, New York, 463 h.
Kehew, A. E., 2001, Applied Chemical
Hydrogeology, Prentice Hall, New
Jersey, 368 h.
Nippon Koei co. ltd, 1999. Justification Study of
Buru Island, Groundwater Irrigation Sub-
project, Small Scale Irrigation
Management Project Phase III, Direktorat
Jenderal Sumber Daya Air, Departemen
Pekerjaan Umum, tidak dipublikasikan.
Schwartz, F. W., dan Zhang, H., 2003.
Fundamentals of Groundwater, John
Wiley & Sons, New York, 583 h.
Setiadi, H., dan Setiawan, T., 2007. Pemetaan
Hidrogeologi Skala 1 : 250.000 Lembar
2512 Namlea, Maluku, Pusat
Lingkungan Geologi, Badan Geologi,
Departemen ESDM, Bandung.
Tjokosapoetro, S., Budhistira, T., dan Rusmana,
E., 1993. Geologi Lembar Buru, Maluku,
skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Departemen
Pertambangan & Energi, Bandung.
Todd, D.K., 1980. Groundwater Hydrology,
Second Edition, University of California,
Berkeley, John Wiley & Sons, New
York, 535 h.
U.S. Departement of Interior, 1977. Groundwater
Manual, First Edition, United States
Government Printing Office,
Washington.
Walton, W. C., 1970. Groundwater Resource
Evaluation, 1
st
edition, Mc Graw Hill,
Kogakusha, Tokyo

Вам также может понравиться