Вы находитесь на странице: 1из 8

Portofolio Minggu ke 2

Nama DM: Edah Humaidah


NIM : 0910710062

1


A. Identitas
Nama : Tn. Y
Usia : 20 th
Alamat : Malang
Pekerjaan : Mahasiswa
Tgl periksa : 9 Mei 2014

B. Anamnesa:
Keluhan Utama: Bibir mencong ke kiri.
Pasien datang dengan mengeluh bibir mencong ke kiri sejak 1 minggu yang lalu.
Pasien mengeluh wajah perot mendadak saat bangun tidur, sejak 1 minggu
yang lalu. Tidak disertai lidah terasa tebal maupun tidak dapat merasakan
makanan. Pasien merasa kesulitan saat berkumur karena air selalu keluar
dari mulut. Mata kiri pasien juga sulit menutup dan dirasakan perih.
Telinga/pendengaran tidak ada keluhan, pasien tidak mengeluhkan suara
gemebrek . Lemah badan (-), pelat (-), kesemutan/tebal pada badan
(-). Demam (-), infeksi herpes (-) muntah (-) pandangan double/kabur (-)
Riwayat paparan dingin sering mengendarai sepeda motor, AC (+), sering
tidur di lantai (+) riwayat trauma (-).

Riwayat penyakit dahulu: tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya. HT (-)
DM (-)Asam Urat (-) Hiperkolestrol (-)
Riwayat keluarga: di keluarga tidak ada yang mengalami seperti ini.
Riwayat pengobatan: belum pernah minum obat dan belum pernah ke dokter
sebelumnya.

C. Pemeriksaan fisik:
Status Interna :
KU: Baik Gizi: Cukup
TD: 120/80 N: 80x/m RR:20X/M
Tho c/ s1s2 singular m(-)
p/ vesikular, rh(-), wh(-)
Abd flat, soefl, bu(+)n
Ext edema(-)
Status Neurologis :
GCS: 456 FL Berbahasa: dbN MS (-)
N. cranialis:
n. I : tde (tidak ada gangguan)
n. II : tde (tidak ada gangguan)
n. III : PB I 3mm/3mm, RC +/+
n. IV : dbn
n. V : RK +/+
n. VI : dbn
n. VII : Parese N VII (S) LMN, Lagoftalmus (S), Bells sign (+)
Portofolio Minggu ke 2
Nama DM: Edah Humaidah
NIM : 0910710062

2


n. VIII : dbn
n. IX : dbn
n. X : dbn
n. XI : dbn
n. XII : dbn

Reflek Fisiologis B +2/+2
T +2/+2
K +2/+2
A +2/+2

Reflek Patologis H/T -/- / -/-
B - / -
C - / -
O - / -
G - / -
S - / -


Motorik T N/N P 5/5
N/N 5/5
Sensoris dbn
Autonom inkontinensia urin(-)
House Brackmann Classification of Fascial Function : derajat 3


D. Diagnosis
Diagnosis klinis : Acute parese N VII S tipe LMN
Acute lagoftalmus S
Acute Bells sign S
Diagnosa topis : N.VII S
Diagnosa etiologis : suspect Bells Palsy S
Diagnosa sekunder : (-)


E. Planning
PDx:
ENMG

PTx:
Farmakoterapi:
Prednison 60mg/hari selama 5 hari, lanjut tappering off sampai hari
ke 10.
Acyclovir 5x400mg/hari selama 7 hari
Methylcobalamin 3x500 g/hari
Artificial eye tear
Portofolio Minggu ke 2
Nama DM: Edah Humaidah
NIM : 0910710062

3

Non-Farmakoterapi:
Fisioterapi
PMo:.
Kontrol untuk melihat respon terapi

PEd:
Istirahat cukup, hindari paparan angin berlebihan, sering gunakan air mata
artificial pada mata yang sulit menutup.

F. Tinjauan Pustaka

DEFINISI
Bells palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat
unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai
oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal.
Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua penyebab yang mungkin telah
disingkirkan.

PATOFISIOLOGI
Bells palsy disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion
genikulatum sehingga menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi
saraf. Baru-baru ini perhatian terfokus pada virus Herpes Simpleks tipe I
(HSV-1) yang dianggap sebagai penyebab inflamasi tersebut. Hal ini
berdasarkan pada penelitian Mukarami dkk dikutip dari Desatnik14 yang
mendeteksi DNA HSV-1 pada 79% pasien Bells palsy dengan menggunakan
teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). HSV-1 dapat dideteksi lebih dari
50% kasus Bells palsy sedangkan virus Herpes Zoster (HZV) hanya sekitar
13% kasus. Herpes zoster lebih sering menyebabkan kelumpuhan saraf
fasialis dalam bentuk Zoster sine herpete (tanpa vesikel) dan hanya 6% dalam
bentuk Ramsay Hunt Syndrome (dengan vesikel). Zoster sine herpete ini
diduga juga sebagai penyebab hampir sepertiga kelumpuhan saraf fasialis
yang idiopatik. Infeksi virus Herpes Zoster ini juga berhubungan dengan
prognosis yang jelek dan menimbulkan inflamasi saraf yang irreversibel.

GEJALA KLINIS
Gejala Bells palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang
terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari).
Pasien juga mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada
wajah walaupun tidak ada gangguan sensorik. Kadang- kadang diikuti oleh
hiperakusis, berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi dan berubahnya
pengecapan. Kelum-puhan saraf fasialis dapat terjadi secara parsial atau komplit.
Kelumpuhan parsial dalam 17 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit.

DIAGNOSIS
a. Anamnesis
- Anamnesis : keluhan khas pada pasien Bells palsy adalah kelemahan
atau paralisis komplit pada seluruh otot wajah sesisi wajah sehingga
Portofolio Minggu ke 2
Nama DM: Edah Humaidah
NIM : 0910710062

4

pasien merasa wajahnya perot. Makanan dan air liur dapat terkumpul
pada sisi yang mengalami gangguan pada mulut dan dapat tumpah ke
luar melalui sudut mulut.

b. Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan fisik :
a. Lipatan wajah dan lipatan nasolabial menghilang, lipatan dahi juga
menghilang sesisi, dan sudut mulut jatuh/ mulut mencong ke sisi
yang sehat.
b. Kelopak mata tidak dapat menutup sempurna, jika pasien diminta
untuk menutup mata maka mata akan berputar-putar ke atas
(fenomena Bells).
c. Produksi airmata berkurang, iritasi pada mata karena
berkurangnya lubrikasi dan paparan langsung.

Untuk menilai derajat paresis N. Facialis digunakan House Brackmann
Classification of Facial Function, yaitu :
a. Derajat 1 : fungsional normal
b. Derajat 2 : angkat alis baik, menutup mata komplit, mulut sedikit
asimetris
c. Derajat 3 : angkat alis sedikit, menutup mata komplit dengan
usaha, mulut bergerak sedikit lemah dengan usaha maksimal
d. Derajat 4 : tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomplit
dengan usaha, mulut bergerak asimetris dengan usaha maksimal
e. Derajat 5 : tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomplit
dengan usaha, mulut sedikit bergerak
f. Derajat 6 : tidak bergerak sama sekali

c. Penunjang
LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium tidak selalu dilakukan, namun pada pasien
yang mengalami diabetes sekitar 10% mengalami bells palsy, maka
pemeriksaan yang dapat dilakukan seperti; pemeriksaan gula darah
puasa atau A1C terutama pasien yang memiliki faktor resiko seperti
riwayat keluarga diabetes, obesitas, dan usia lebih 30 tahun.
RADIOLOGI
Pemeriksaan radiologi tidak rutin dilakukan pada kasus ini kecuali
bila adanya riwayat paralisis rekuren, curiga adanya lesi pada
Cerebellopontine Angle (CPA), terdapat kelainan pada telinga tengah
(otitis media akut, otitis media kronik atau kolesteatom), ada riwayat
trauma serta pada pasien yang belum menunjukan perbaikan
paralisisnya dalam 1 bulan. (ENMG) dilakukan hanya pada kasus-kasus
dimana tidak terjadi kesembuhan sempurna atau untuk mencari etiologi
paresis N. Facialis. Pemeriksaan ENMG diutamakan untuk menentukan
prognosis.
Portofolio Minggu ke 2
Nama DM: Edah Humaidah
NIM : 0910710062

5

Pemeriksaan MRI dilakukan pada kasus yang kita curigai suatu
neoplasma tulang temporal, tumor otak, tumor parotis atau untuk
mengevaluasi multiple sklerosis. Gambaran MRI pada kasus Bells
palsy dapat berupa peningkatan gadolinium saraf pada bagian distal
kanalis auditorius interna dan ganglion genikulatum yang merupakan
lokasi tersering terjadinya edema saraf fasialis yang menetap.

DIAGNOSIS BANDING
- Lesi perifer :
a. Otitis media: disebabkan oleh bakteri pathogen, onset perlahan,
nyeri pada telinga, demam, dan gangguan pendengaran konduktif.
b. Sindroma Ramsay Hunt: disebabkan oleh virus Herpes Zoster,
nyeri semakin memberat, erupsi vesikuler pada kanalis telinga
atau faring.
c. Penyakit Lyme: disebabkan oleh Spirocheta Borrelia burgdorferi,
riwayat adanya tanda bercak atau nyeri sendi, kontak di daerah
endemik penyakit Lyme.
d. Polineuropati (GBS, sarkoidosis): disebabkan respon autoimun,
kebanyakan bilateral.
e. Tumor: onset perlahan.

- Lesi sentral :
a. Multiple sklerosis : proses demielinisasi, ditemukan defisit
neurologik lain.
b. Stroke : ditemukan defisit neurologik lain.
c. Tumor : metastase atau primer di otak, onset kronik progresif,
perubahan status mental, adanya riwayat keganasan.

PENATALAKSANAAN
a. Non-Bedah / Konservatif
Non-Farmakologis
Tindakan fisioterapi yang direkomendasikan adalah terapi panas
superfisial, elektroterapi dengan menggunakan arus listrik, latihan
dan pemijatan wajah disertai kompres panas.
latihan otot wajah
Latihan wajah dapat bermanfaat pada pasien dengan Bell palsy. Mereka
harus dilakukan sambil berdiri di depan cermin dan termasuk mencoba
mengangkat alis, membuka dan menutup mata, meniup, dan bersiul.
latihan ini dapat dilakukan beberapa kali sehari. Efektivitas latihan
belum telah dievaluasi secara resmi.
Farmakologis
Dalam penatalaksanaan Bells palsy pada pasien ini kita berikan
kortikosteroid dan antiviral. Tiemstra dkk7 mengatakan bahwa,
kortikosteroid sangat bermanfaat dalam mencegah degenerasi saraf,
mengurangi sinkinesis, meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan
Portofolio Minggu ke 2
Nama DM: Edah Humaidah
NIM : 0910710062

6

inflamasi pada saraf fasialis sedangkan Acyclovir diberikan untuk
menghambat replikasi DNA virus.
Pada pasien ini kortikosteroid kita berikan pada hari kedua onset penyakit
dengan dosis 60 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Karena terdapat perbaikan
pada kontrol hari ketiga pengobatan, maka setelah hari kelima dosis
kortikosteroid kita turunkan menjadi 40 mg/hari dibagi dalam 4 dosis
selama 5 hari berikutnya. Setelah 10 hari pemberian kortikosteroid, pada
kontrol terdapat perbaikan yang cukup besar, maka dosis kortikosteroid kita
turunkan secara bertahap setiap 3 hari sampai mencapai dosis minimal
(1x5mg). Cara pemberian kortikosteroid ini berbeda pada masing-masing
studi menurut Tiemstra dkk Prednison pada dewasa dimulai dengan dosis 60
mg/hari selama 5 hari dan diturunkan menjadi 40 mg/hari selama 5 hari
berikutnya. Menurut Engstrom dkk Prednison dimulai dengan dosis
60 mg/hari selama 5 hari dan diturunkan 10 mg/hari dalam 5 hari
berikutnya (total pemberian prednison 10 hari).
Untuk antiviral dapat digunakan Acyclovir atau obat jenis lainnya seperti
Valaciclovir, Famciclovir dan Sorivudine yang mempunyai bioavailabilitas
yang lebih baik dari Acyclovir. Dosis Acyclovir diberikan 400 mg 5 kali sehari
selama 10 hari atau Valaciclovir 500 mg 2 kali sehari selama 5 hari. Jika
penyebabnya diduga virus herpes zoster, maka dosis Acyclovir di naikan
menjadi 800 mg 5 kali sehari atau Valaciclovir 1 gram 2 kali sehari.11
Kombinasi penggunaan kortikosteroid dan Antiviral oral memberikan hasil
yang lebih baik daripada penggunaan kortikosteroid oral saja dan akan lebih
baik bila terapi diberikan dalam 72 jam pertama. Studi lain juga mengatakan
bahwa tidak terdapat perbedaan lama penyembuhan antara pemberian obat-
obatan ini secara oral atau intravena.
b. Bedah
Terapi pembedahan pada kasus Bells palsy masih kontroversi. Terapi
dekompresi saraf fasialis hanya dilakukan pada kelumpuhan yang komplit
atau hasil pemeriksaan elektroneurography (ENoG) menun jukan penurunan
amplitudo lebih dari 90%. Karena lokasi lesi saraf fasialis ini sering terdapat
pada segmen labirin, maka pada pembedahan digunakan pendekatan middle
fossa subtemporal craniotomy sedangkan bila lesi terdapat pada segmen
mastoid dan timpani digunakan pendekatan transmastoid.

KOMPLIKASI
- Iritasi dan ulserasi kornea karena pasien Bells palsy mengalami
kesulitan menutup salah satu mata yang mengalami lesi, sehingga
harus selalu diberi lubrikasi dengan airmata artificial.
- Kelemahan permanen pada kelopak mata mungkin memerlukan
tarsorhaphy.
- Asimetri wajah dan kontraktur muskuler perlu dilakukan tindakan
pembedahan kosmetik atau pemberian injeksi toksin Botulinum.

PEMANTAUAN
- Fungsi motorik otot wajah
Portofolio Minggu ke 2
Nama DM: Edah Humaidah
NIM : 0910710062

7

- Gangguan lakrimasi, gangguan hiperakusis, gangguan pengecapan
- Komplikasi
PROGNOSIS
Prognosis Bells palsy tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia pasien dan
derajat kelumpuhan. kelumpuhan parsial (inkomplit), mempunyai prognosis
yang lebih baik. Anak-anak juga mempunyai prognosis yang baik dibanding
orang dewasa dan sekitar 96,3% pasien Bells palsy dengan House-
Brackmann kurang dari Derajat II dapat sembuh sempurna, sedangkan pada
House-Brackmann lebih dari derajat IV sering terdapat deformitas wajah
yang permanen.15 Pada pasien ini, hari ketiga pengobatan sudah terdapat
perbaikan walaupun belum maksimal. Pada hari kesepuluh, kelumpuhan
saraf fasialisnya sudah mencapai House-Brackmann derajat II, lokasinya
setinggi infra khorda dan fungsi motorik yang terbaik meningkat menjadi
76%, setelah 3 minggu terapi kelumpuhan saraf fasialisnya sudah tidak
terlihat lagi (HB I) dan fungsi motorik otot wajahnya sudah normal.
Diperlukan pemeriksaan untuk menentukan prognosis penyakit ini.
Pemeriksaan tersebut direko- mendasikan pada kelumpuhan komplit atau
bila tidak terdapat tanda-tanda penyembuhan dalam 3 minggu dari onset
penyakit. Menurut Yeo dkk ENoG merupakan alat yang dapat membantu
memperkirakan prognosis penyakit. Alat ini dapat mencatat compound action
potential dari otot fasialis setelah diberikan stimulasi elektrik supramaksimal
pada saraf fasialis bagian distal dari foramen stilomastoid.
Rekurensi pada kasus Bells palsy jarang dilaporkan terutama pada anak-
anak. Chen dkk melaporkan terdapat 6% kasus Bells palsy yang mengalami
rekurensi. Rekurensi ini dapat disebabkan oleh terserang virus kembali atau
aktifnya virus yang indolen di dalam saraf fasialis. Bila rekurensi terjadi pada
sisi yang sama dengan sisi yang sebelumnya, biasanya disebabkan oleh virus
Herpes Simpleks. Rekurensi meningkat pada pasien dengan riwayat Bells
palsy dalam keluarga. Umumnya rekurensi terjadi setelah 6 bulan dari onset
penyakit.

TINJAUAN PUSTAKA:
Staf medis ilmu penyakit saraf. 2010. Pedoman Diagnosis dan Terapi.
Universitas Brawijaya: Malang
Vrabec JT, Coker NJ. Acute Paralysis of Facial Nerve in: Bailey BJ,
Johnson JT, Newland SD, editors. Head &NeckSurgery-Otolaryngology.
4th Ed. Lippincott Williams & Wilkins; Texas; 2006. P. 2139-54
Marsk E,Hammarstedt L,Berg et al. Early Deterioration in Bells Palsy :
Prognosis and Effect of Prednisolone. Otology & Neurotology. 2010;
31: 1503-07
Tiemstra JD, Khatkhate N. Bells Palsy: Diagnosis and Management.
American Family Physician. 2007;76(7): 997-1002
Alford BR. Anatomy of the 7th cranial nerve. Baylor College of
Medicine. 2010
Chen WX, Wong V. Prognosis of Bells Palsy in Children-Analysis of 29
cases. Brain & Development, vol 27. 2005: 504-8
Portofolio Minggu ke 2
Nama DM: Edah Humaidah
NIM : 0910710062

8

Yeo SW, Lee DH, Jun BC et al. Analysis of Prognostic factor in Bells
Palsy and Ramsay Hunt Syndrome. Auris Nasus Larynx, vol 34. 2007:
159-1643 29; 2004 :553 557.
Engstrom M, Berg T, Stjernquist A, et al. Prednisolone and Valaciclovir
in Bells Palsy : a Randomized, Double-Blind,Placebo-Controlled,
Multicentre Trial. Lancet Neurol. 2008;7: 993-1000
Holland J, Bernstein J. Bells palsy. Clin Evid Handbook. June
2011:433-434.

Вам также может понравиться