Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Thoraks :
Pemeriksaan dada depan
Paru I : Bentuk dada normal, bintik kemerahan (-), luka (-), bekas luka (-),
benjolan (-), perubahan warna (-), memar (-), spider nevi (-), pelebaran
sela iga (-), kedua dinding dada simetris saat statis, dinding dada kanan
tertinggal saaat dinamis.
P : Benjolan (-), nyeri tekan (-), perubahan suhu (-), vokal fremitus kanan
melemah dibanding kiri, ekspansi dada 2 cm.
P : Lapang paru kanan redup mulai ICS 4, lapang paru kiri sonor.
A : Vesikuler melemah pada paru kanan, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba di ICS 5 AAL sinistra
P : Batas Kanan : ICS 5 PSL dekstra; batas kiri : ICS 5 AAL sinistra;
pinggang jantung : ICS 3 PSL sinistra
A : S1 S2 Normal reguler, murmur (-), galllop (-)
Pemeriksaan dada belakang
Paru I : Luka (-), bekas luka (-), benjolan (-), perubahan warna (-), memar (-),
nevus pigmentosus (-)
P : Benjolan (-), nyeri tekan (-), perubahan suhu (-), vokal fremitus kanan
melemah dibanding kiri
10
10
P : Redup pada paru kanan, sonor pada paru kiri
A : Vesikuler melemah pada paru kanan, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen I : Datar, luka (-), bekas luka (-), benjolan (-), perubahan warna (-), memar
(-), spider nevi (-).
P : Nyeri tekan (-), benjolan (-), Hepar dan lien tidak teraba membesar
P : Timpani, shifting dullness (-)
A : bising usus (+) normal
Ektremitas : akral hangat, edema
Batuk
sesak napas
hemoptisis
34
34
limfadenopati
gangguan GI.
Efek sistemik:
Demam,
keringat malam
anoreksia
penurunan berat badan
Riwayat penyakit dahulu . Pada pasien yang kita curigai menderita TB, pertanyaan
pertanyaan berikut harus disertakan pada anamnesis riwayat penyakit dulu.
Pernahkah pasien berkontak dengan pasien TB?
Apakah pasien mengalarni imunosupresi (kortikosteroid/HIV)?
Apakah pasien pernah menjalani pemeriksaan rontgen toraks dengan hasil abnormal?
Adakah riwayat vaksinasi BeG atau tes Mantoux? Adakah riwayat diagnosis TB?
Obat-obatan
Pertanyaan mengenai obat- obatan juga perlu ditanyakan.
Pemahkah pasien menjalani terapi TB?
Jika ya, obat apa yang digunakan, berapa lama terapinya
Bagaimana kepatuhan pasien mengikuti terapi, dan apakah dilakukan pengawasan terapi?
Riwayat keluarga dan sosial
Adakah riwayat TB di keluarga atau lingkungan sosial?
Tanyakan konsumsi alkohol, penggunaan obat intravena?
Riwayat bepergian ke luar negeri.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien sering ditemukan konjunktiva mata
atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (Subfebris), badan kurus atau berat
badan menurun.
Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama
35
35
pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian juga bila
sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis,
karena hantaran getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai seeara pal-
pasi, perkusi dan auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit
dibedakan dengan pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru.
Bila dieurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan
auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki
basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara
napasnya menjadi vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi
memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan
retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi
mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan
fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi pe-
ngecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis
(hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Di sini
akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea,
takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi
P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites, dan
edema.
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat
agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi
memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai
dengan didapatkannya kelainan radiologi ada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin
yang positif.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih
dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan keuntungan
36
36
seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal di atas
diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan
sputum hampir selalu negatif.
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas
atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior)
atau di daerah hilus menyerupai rumor paru (misalnya pada tuberkulosis endobronkial).
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak
tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan
batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma.
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis, Lama-lama
dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang
bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang
dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.
Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya
tersebar merata pada seluruh lapangan paru.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru sdalah
penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru efusi pleura/empiema),
bayangan hitam radio-Iusen di pinggir paru pleura pneumotoraks).
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus
(pada tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis- garis fibrotik, kalsifikasi,
kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema.
Tuberkulosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh, terutama gambaran
radiologis, sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest imitator. Gambaran infiltrasi
dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus
atau karsinoma metastasis. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru. Di
samping itu perlu diingat juga faktor kesalahan dalam membaca foto. Faktor kesalahan ini
dapat mencapai 25%. Oleh sebab itu untuk diagnostik radiologi sering dilakukan juga foto
lateral, top lordotik, oblik, tomografi dan foto dengan proyeksi densitas keras.
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya aktivitas
penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit yang sudah non-aktif,
sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang berupa fibrotik, kalsifikasi, kavitas,
37
37
schwarte, sering dijumpai pada orang-orang yang sudah tua.
Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah bronkografi,
yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberkulosis,
Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien akan menjalani pembedahan paru.
Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak
dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT Scan).
Pemeriksaan ini lebih superior dibanding radiologis biasa. Perbedaan densitas jaringan
terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance Imaging
(MRI), Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat mengevaluasi proses-
proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dada-perut, Sayatan bisa dibuat
transversal, sagital dan koronal.
Pemeriksaan laboratorium
Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang
meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru
mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis
pergeseran ke kiri. Jumlah lirnfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai
meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah
limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga: 1). Anemia ringan dengan
gambaran normokrom dan normositer; 2). Gama globulin meningkat; 3). Kadar natrium
darah menurun, Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik, Pemeriksaan
serologis yang pernah dipakai adalah reaksi Takahashi.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak.
Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128. Pemeriksaan ini juga kurang
mendapat perhatian karena angka-angka positif palsu dan negatif palsunya masih besar.
Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga dipakai yakni
Peroksidase Anti Peroksida (pAP-TB) yang oleh beberapa peneliti mendapatkan nilai
sensitivitas dan spesifisitasnya cukup tinggi (85-95%), tetapi beberapa peneliti lain
meragukannya karena mendapatkan angka-angka yang lebih rendah. Sungguhpun begitu
PAPTB ini masih dapat dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila digunakan sebagai sarana
38
38
tunggal untuk diagnosis TB, Prinsip dasar uji PAP-TB ini adalah menentukan adanya
antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen M.tuberculosis. Sebagai antigen dipakai
polimer sitoplasma M. tuberculin var bovis BCG yang dihancurkan secara ultrasonik dan
dipisahkan secara ultrasentrifus. Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis bila pada titer 1:
10.000 didapatkan hasil uji PAP-TB positif. Hasil positif palsu kadangkadang masih
didapatkan pada pasien reumatik, kehamilan dan masa 3 bulan revaksinasi BCG.
Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama cara dan nilainya dengan uji
PAP-TB adalah uji Mycodol. Di sini dipakai antigen LAM (Lipoarabinomannan) yang
dilekatkan pada suatu alat berbentuk sisir plastik. Sisir ini dicelupkan ke dalam serum
pasien. Antibodi spesifik anti LAM dalam serum akan terdeteksi sebagai perubahan warna
pada sisir yang intensitasnya sesuai dengan jumlah antibodi.
Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA,
diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga
dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini
mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-
kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk
yang non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum,
pasien dianjurkan minum air sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk.
Dapat juga dengan mernberikan tambahan obat-obat mukolitik ekspektoran atau dengan
inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat
diperoleh dengan cara bronkos-kopi diambil dengan brushing atau bronchial washing atau
BAL (broncho alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan
lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan
dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar rnungkin. .
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan.
Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke
luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar. Diperkirakan di
Indonesia terdapat 50% pasien BTA positif tetapi kurnan tersebut tidak ditemukan dalam
sputum mereka,
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang
kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam I mL
39
39
sputum.
Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiarn Hok yang
merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.
Cara perncriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah :
Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa.
Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan khusus)
Pemeriksaan dengan biakan (kultur).
Pemeriksaan terhadap resistensi obat.
Pemeriksaan dengan mikroskop fluoresens dengan sinar ultra violet walaupun
sensitivitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena pewarnaan yang dipakai (aurarnin-rho-
damin) dicurigai bersifat karsinogenik.
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 mmggu penanaman sputum dalam medium
biakan, koloni kuman tuberkuiosis mulai tampak. Bila setelah 8 minggu penanaman koloni
tidak juga tampak, biakan dinyatakan negatif. Medium biakan yang sering dipakai yaitu
Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa.
Saat ini sudah dikembangkan pemeriksa-an biakan sputum BTAdengan cara Bactec
(Bactec 400 Radiometric System), di mana kurnan sudah dapat dideteksi dalam 7-10 hari. Di
samping itu dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat dideteksi 0 A kuman TB
dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi Mituberculosae yang tidak tumbuh pada
sediaan biakan. Dari hasil biakan biasanya dilaku kan juga pemeriksaan terhadap resistensi
obat dan idenrifikasi kuman.
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman BTA (positif),
tetapi pada biakan hasilnya negatif. lni terjadi pad a fenomen dead bacilli atau non
culturable bacilli yang disebabkan kcampuhan panduan obat antituberkulosis jangka pendek
yang cepat mcmatikan kuman BTA dalam waktu pendek.
Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan, bahan-bahan
selain sputum dapatjuga diambil dari bilasan bronkus, jaringan paru, pleura, cairan pleura,
cairan lambung, jaringan kelenjar, eairan serebrospinal, urin, dan tinja.
3.2.8 Tatalaksana
6,14
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.
40
40
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
INH
-Rifampisin
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Amikasin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam klavulanat
Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
o Kapreomisin
o Sikloserino
o PAS (dulu tersedia)
o Derivat rifampisin dan INH
o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
Kemasan :
- Obat tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol.
- Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.
41
41
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO.
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan
untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB
primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO
seperti terlihat pada tabel 3.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang
tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan
monoterapi
42
42
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis
terapi dan non toksik.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping
serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.
B. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a) TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau 2 RHZE/ 6HE atau 2 RHZE / 4R3H3
Paduan ini dianjurkan untuk:
- TB paru BTA (+), kasus baru
- TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh paru)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji
resistensi
b) TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau : 6 RHE atau 2 RHZE/ 4R3H3
c) TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai
dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat
RHE selama 5 bulan.
d) TB Paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6
bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin,
etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat
43
43
diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak
terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan. Dapat pula
dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal. Sebaiknya
kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru.
e) TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
kriteria sebagai berikut :
Berobat > 4 bulan
i. BTA saat ini negatif
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT
dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut
untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga
kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan
dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama.
ii. BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan
jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
Berobat < 4 bulan
i. Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
ii. Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan
diteruskan. Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi
terhadap OAT.
f) TB Paru kasus kronik
Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.
Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat
4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon,
betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan. Jika tidak mampu dapat
diberikan INH seumur hidup. Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan
kemungkinan penyembuhan. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis
paru.
44
44
C. EFEK SAMPING OAT
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatis
ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan.
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
45
45
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus.
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini
terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah
menghilang.
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Warna
merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus
diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB
pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi
dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi
kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman,
buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut
tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari
atau 30 mg/kgBB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal
dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak
karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan
peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien
dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga
mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila
obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka
kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
46
46
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit
kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi)
seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah
suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat
menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil sebab dapat
merusak syaraf pendengaran janin.
D. PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis
baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu
pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada
prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk
pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain.
47
47
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah masif
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi
rawat.
E. TERAPI PEMBEDAHAN
lndikasi operasi :
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kaviti yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
Bronkoskopi
Punksi pleura
Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
48
48
F. EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat, serta
evaluasi keteraturan berobat.
a) Evaluasi klinik
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya
setiap 1 bulan
Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.
b) Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik :
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi
c) Evaluasi radiologik (0 - 2 6/9 bulan pengobatan
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
- Pada akhir pengobatan
d) Evaluasi efek samping secara klinik
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap.
Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah ,
serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan. Asam
urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila
menggunakan etambutol (bila ada keluhan). Pasien yang mendapat streptomisin harus
diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada keluhan). Pada anak dan dewasa
muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah
evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis
dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.
49
49
e) Evalusi keteraturan berobat
Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya
obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai
penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada
pasien, keluarga dan lingkungannya. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan
timbulnya masalah resistensi.
Kriteria Sembuh
- BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah
mendapatkan pengobatan yang adekuat
- Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan
- Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang
dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan
24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12,
24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).
Tujuan pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap
OAT.
50
50
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT
= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu fase intensif dan fase lanjutan.
Tahap Awal (Intensif)
- Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi ecara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
Tahap Lanjutan
- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama.
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.
51
51
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia:
o Kategori 1: 2 (HRZE) / 4(HR)3
o Kategori 2: 2 (HRZE)S/ (HRZE)/ 5(HR)3E3
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
o Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan
dalam bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien.
Paket kombipak.
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniazid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi
pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntuntungan dalam pengobatan TB:
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan
mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana
dan meningkatkan kepatuhan pasien.
1. KATEGORI 1 (2HRZE/4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien baru TB paru BTA (+)
52
52
- Pasien TB paru BTA (-), foto toraks (+)
- Pasien TB ekstra paru
3 .OAT Sisipan (RHZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang
diberikan selama sebulan (28 hari).
2
53
53
3.2.9 Komplikasi
Komplikasi dibagi atas kompilkasi dini dan lanjut:
14
Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, poncent atrhopathy
Komplikasi lanjut: SOPT, fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, Ca paru, ARDS.
3.2.10 Prognosis
Prognosis TB paru tergantung dari derajat berat, kepatuhan pasien, sensitivitas bakteri, gizi,
status imun, dan komorbiditas.
14
54
54
BAB IV
ANALISIS KASUS
Kasus Pasien :
Pasien laki-laki (23 tahun) datang ke IGD RSPG Cisarua dengan keluhan sesak napas
sejak 2 minggu yang lalu yang dirasakan terus-menerus, semakin hari semakin memberat, dan
sedikit berkurang jika pasien miring ke kanan. Pasien juga mengeluh batuk-batuk sejak 1
bulan yang lalu tanpa dahak dan darah. Nyeri dada (+), mual (+), muntah (+). Demam (+) sejak
2 hari yang lalu. Pasien sudah mendapat terapi oksigen dan infus. Cairan di paru kanan pasien
sudah dikeluarkan, dan saat ini pasien merasa sesaknya sudah berkurang. Dari pemeriksaan fisik,
didapatkan pasien compos mentis, tampak sakit sedang, TD 130/80 mmHg, HR 102x/menit, RR
24x/menit, suhu afebris. Dari pemeriksaan fisik paru, didapatkan pergerakan dada kanan
tertinggal saat dinamis, vocal fremitus kanan melemah, redup pada paru kanan mulai ICS 4, dan
suara napas vesikuler melemah pada paru kanan. Status generalis lain dalam batas normal. Hasil
foto rontgen thorax menunjukkan kesan efusi pleura dextra dengan TB paru LLKB.
Pembahasan :
Efusi pleura tuberkulosis sering ditemukan di negara berkembang termasuk di
indonesia. Efusi pleura timbul sebagai akibat dari suatu penyakit, sebab itu hendaknya
dicari penyebabnya. Tuberkulosis paru dapat disertai efusi pleura yang bukan karena
tuberkulosis dan sebaliknya non tuberkulosis paru dapat disertai efusi pleura karena
tuberkulosis. Gambaran klinik dan radiologik antara transudat dan eksudat bahkan antara
efusi pleura tuberkulosis dan non tuberkulosis hampir tidak bisa dibedakan, sebab itu
pemeriksaan laboratorium menjadi sangat penting. Setelah adanya efusi pleura dapat
dibuktikan melalui pungsi percobaan, kemudian diteruskan dengan membedakan eksudat
dan transudat dan akhirnya dicari etiologinya. Apabila diagnosis efusi pleura tuberkulosis
sudah ditegakkan maka pengelolaannya menjadi tidak masalah, efusi ditangani seperti
efusi pada umumnya, sedangkan tuberkulosisnya diterapi seperti tuberkulosis pada
umumnya.
55
55
Efusi pleura terjadi karena tertimbunnya cairan pleura secara berlebihan sebagai
akibat transudasi (perubahan tekanan hidrostatik dan onkotik) dan eksudasi (perubahan
permeabilita membran) pada permukaan pleura seperti terjadi pada proses infeksi dan
neoplasma. Pada keadaan normal ruangan interpleura terisi sedikit cairan untuk sekedar
melicinkan permukaan kedua pleura yang saling bergerak karena pernapasan. Cairan
disaring keluar pleura parietalis yang bertekanan tinggi dan diserap oleh sirkulasi di
pleura viseralis yang bertekanan rendah. Disamping sirkulasi dalam pembuluh darah,
pembuluh limfe pada lapisn subepitelial pleura parietalis dan viseralis mempunyai
peranan dalam proses penyerapan cairan pleura tersebut. Jadi mekanisme yang
berhubungan dengan terjadinya efusi pleura pada umunya ialah kenaikan tekanan
hidrostatik dan penurunan tekanan osmotik pada sirkulasi kapiler, penurunan tekanan
kavum pleura, kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga
pleura. Sedangkan pada efusi pleura tuberkulosis terjadinya disertai pecahnya granuloma
di subpleura yang diteruskan ke rongga pleura.
Pada kebanyakan penderita umumnya asimtomatis atau memberikan gejala
demam, berat badan yang menurun, nyeri dada terutama pada waktu bernapas dalam,
sehingga pernapasan penderita menjadi dangkal dan cepat dan pergerakan pernapasan
pada hemitoraks yang sakit menjadi tertinggal. Sesak napas terjadi pada waktu
permulaan pleuritis, disebabkan karena nyeri dadanya dan apabila jumlah cairan
meningkat, terutama kalau cairannya penuh. Batuk pada umumnya nonproduktif dan
ringan, terutama apabila disertai dengan proses tuberkulosis di parunya.
Pengobatan. Pada dasarnya pengobatan efusi pleura tuberkulosis sama dengan
efusi pleura pada umumnya, yaitu dengan melakukan torakosintesis agar keluhan sesak
penderita menjadi berkurang, terutama untuk efusi plaura yang berisi penuh. Sedangkan
tuberkulosisnya diterapi dengan OAT seperti tuberkulosis paru, dengan syarat terus
menerus, waktu lama dan kombinasi obat. Penderita TB paru atau dugaan TB dengan
efusi dapat diterapi dengan OAT.
56
56
Dosis OAT yang sering digunakan adalah :
Obat Dosis
(mg/kgBB
/hari)
Dosis yang dianjurkan
(mg/kgBB/hari )
Dosis
maks/hari
(mg)
Dosis (mg)/kgBB/hari
Harian Intermitten <40 40-60 >60
R 8 12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 300 300 300
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S* 15-18 15 15 1000 Sesuai
BB
750 1000
* Pasien berusia >60 tahun tidak bisa mendapatkan dosis >500 mg/hari
57
57
BAB V
KESIMPULAN
Efusi pleura terjadi karena tertimbunnya cairan pleura secara berlebihan sebagai akibat
transudasi (perubahan tekanan hidrostatik dan onkotik) dan eksudasi (perubahan permeabilita
membran) pada permukaan pleura seperti terjadi pada proses infeksi dan neoplasma. Pada
keadaan normal ruangan interpleura terisi sedikit cairan untuk sekedar melicinkan permukaan
kedua pleura yang saling bergerak karena pernapasan. Sedangkan pada efusi pleura tuberkulosis
terjadinya disertai pecahnya granuloma di subpleura yang diteruskan ke rongga pleura.
Pada kebanyakan penderita umumnya asimtomatis atau memberikan gejala demam, berat
badan yang menurun, nyeri dada terutama pada waktu bernapas dalam, sehingga pernapasan
penderita menjadi dangkal dan cepat dan pergerakan pernapasan pada hemitoraks yang sakit
menjadi tertinggal. Sesak napas terjadi pada waktu permulaan pleuritis, disebabkan karena nyeri
dadanya dan apabila jumlah cairan meningkat, terutama kalau cairannya penuh. Batuk pada
umumnya nonproduktif dan ringan, terutama apabila disertai dengan proses tuberkulosis di
parunya.
Pada dasarnya pengobatan efusi pleura tuberkulosis sama dengan efusi pleura pada
umumnya, yaitu dengan melakukan torakosintesis agar keluhan sesak penderita menjadi
berkurang, terutama untuk efusi plaura yang berisi penuh. Sedangkan tuberkulosisnya diterapi
dengan OAT seperti tuberkulosis paru, dengan syarat terus menerus, waktu lama dan kombinasi
obat.
58
58
DAFTAR PUSTAKA
1. Price, SA. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6. Jakarta :
EGC;2005.)
2. Ahmad, Zen. 2002. Tuberkulosis Paru. Dalam : Hadi H, Rasyid A, Ahmad Z, Anwar J.
Naskah Lengkap Workshop Pulmonology Pertemuan Ilmiah Tahunan IV Ilmu Penyakit
Dalam, Sumbagsel. Lembaga Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI, hlm: 95-119.
3. Herryanto, dkk. 2004. Riwayat Pengobatan Penderita TB Paru Meninggal di Kabupaten
Bandung. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 3 No 1. hlm:1-6.
4. Light RW, et al. Pleural Disease, 5
th
Ed. Ch.1, Anatomy of the Pleura. Tennessee :
Lippincott Williams & Wilkins, 2007
5. Light RW, et al. Pleural Disease, 5
th
Ed. Ch.2, Physiology of the Pleural Space.
Tennessee : Lippincott Williams & Wilkins, 2007
6. Halim, Hadi. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam : Sudoyo, Aru W Dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Hal 2329 - 2336. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2009
7. Carolyn J. Hildreth,et.al. Pleural Effusion. The Journal of the American Medical
Association. JAMA, January 21, 2009Vol 301, No. 3
8. Halim, Hadi. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam : Sudoyo, Aru W Dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Hal 2329 - 2336. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2009
9. Kasper, Braunwald, Et Al. Harrisons Principles Of Internal Medicine Vol II. 16
th
Ed.
2005. Mcgraw-Hill: New York
10. Steven A. Sahn. The Pathophysiology of Pleural Effusions. Department of
Medicine,Division of Pulmonary and Critical Care Medicine, Medical University of
South Carolina, Charleston, South Carolina 29425
11. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, edisi 2. Jakarta : DepartemeN
Kesehatan RI, 2007
12. Konsensus Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia
13. PDPI. 2002. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,
Jakarta.
14. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta. Departemen
Kesehatan RI. 2011.