PERAN PROCALCITONIN DALAM DIAGNOSIS DAN PROGNOSIS SEPSIS Mario Steffanus, I Made Susila Utama, Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam, FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan Sepsis merupakan respon sistemik berupa Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS) yang disertai oleh adanya infeksi. Sepsis dapat menyebabkan sepsis berat dan syok sepsis. Sepsis merupakan penyebab kematian nomor satu selain penyakit jantung di ruang intensif, dimana terdapat lebih dari 215.000 kematian di Amerika Serikat setiap tahunnya (1). Berdasarkan Angus dkk (2001), terdapat 750.000 kasus sepsis berat per tahun di Amerika Serikat dan menghabiskan 17 juta dolar Amerika dalam setahun. Diagnosis dan penanganan sepsis sering terlambat sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas (2). Angka kejadian sepsis semakin meningkat di masa mendatang dan diperlukan uji diagnostik dan penanganan yang baik dan komprehensif. PCT mempunyai nilai uji diagnostik yang baik dan cepat sehingga sangat berguna dalam diagnosis dini dan menilai prognosis sepsis. Dibandingkan penanda infeksi lain seperti C reactive Protein (CRP), laktat, interleukin 6 (IL-6), IL-8 dan leukosit, Procalcitonin mempunyai nilai uji diagnosis infeksi dan sepsis yang lebih baik (3,4,5,6). Penanganan sepsis dengan Early Goal Directed Therapy (EGDT) dan Surviving Sespsis campaign Gulideline (SCC) 2012 berupa pemberian antibiotika sedini mungkin dan resusitasi cairan yang adekuat, terbukti dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas dari sepsis (7,8). Procalcitonin (PCT) merupakan biomarker yang terdiri dari 116 asam amino yang merupakan prohormon calsitonin. Pada keadaan normal, sel C kelenjar tiroid akan menghasilkan procalcitonin yang selanjutnya melalui proses proteolisis intraseluler akan diubah menjadi hormon calcitonin (CT). Pada 2
keadaan sepsis, akan dikeluarkan mediator proinflamasi dan endotoksin bakteri yang dapat menghambat perubahan PCT menjadi CT dan selain itu, mediator proinflamasi akan merangsang jaringan seperti paru, hati, ginjal, jantung mengeluarkan PCT sehingga pada sepsis kadar PCT akan meningkat (5). PCT meningkat dalam 6 jam setelah terjadi infeksi dan peningkatan PCT berhubungan dengan derajat infeksi dan sepsis. Pada keadaan normal, kadar PCT dikatakan < 0.05 mcg/L namun pada sepsis berat dapat terjadi peningkatan PCT sampai 1000 g/L. Peningkatan PCT juga dapat digunakan dalam menentukan prognosis dan pemantau keberhasilan terapi sepsis (5). Sepsis Sepsis berdasarkan Surviving Sepsis Campaign guidelines 2012 (SSC), terdapat infeksi yang disertai tanda SIRS. Sedangkan sepsis berat merupakan sepsis yang disertai hipoperfusi jaringan atau disfungsi organ. Sepsis disebabkan adanya gangguan keseimbangan mediator pro inflamasi dan anti inflamasi sehingga terjadi respons jaringan dan sistemik yang akan menyebabkan SIRS (8). Tabel 1. Kriteria Sepsis berdasarkan Surviving Sepsis Campaign 2012 (8) Infeksi, dugaan atau terbukti, dan beberapa dibawah ini Variabel Umum Demam (>38.3 0 C) Hipotermia (suhu <36 0 C) Denyut Jantung > 90x/menit Takipnea Perubahan status mental Edema atau balans cairan positif (> 20cc/kg/24 jam) Hiperglikemia ( glukosa plasma >140mg/dL) tanpa diabetes Variabel Inflamasi Leukositosis (leukosit >12.000/L) Leukopenia (Leukosit < 4.000/L) Normal leukosit dengan leukosit bentuk imatur >10% Peningkatan C-Reactive Protein Peningkatan Procalcitonin Variabel hemodinamik Hipotensi arterial (Tekanan Darah Sistolik(TDS) <70mmHg, MAP <70mmHg, atau penurunan TDS > 40 mmHg pada dewasa Variabel Disfungsi Organ Hipoksemia arteri (PaO2?FiO2 <300) Oliguria Akut ( Produksi urine < 0.5mL/Kg/jam ) Peningkatan Creatinin > 0.5mg/dL Gangguan koagulasi (INR>1.5 atau aPTT >60 detik) Ileus 3
Trombositopenia <100.000/L Hiperbilirubinemia (Total Bilirubin>4mg/dL) Variabel Perfusi Jaringan Hiperlaktatnemia >1 mmol/L Penurunan capillary refill
Tabel 2. Kriteria Sepsis Berat(8) Definisi Sepsis Berat = Sepsis + hipoperfusi jaringan atau disfungsi organ Hipotensi Peningkatan Laktat Produksi urin < 0.5mL/Kg/Jam Acute Lung Injury (PaO2/FiO2 <250 dan tidak didapatkan pneumonia sebagai sumber infeksi) Acute Lung Injury (PaO2/FiO2 < 200 dan tidak didapatkan pneumonia sebagai sumber infeksi) Creatinin > 2.0mg/dL Bilirubin > 2mg/dL Trombosit < 100.000L Gangguan koagulasi (INR >1.5)
Sepsis merupakan salah satu penyebab utama perawatan di ruang intensif dan penyebab utama kematian di ruang intensif selain penyakit jantung. Angka kematian oleh karena sepsis meningkat secara tajam. Tahun 2001, terdapat 750.000 kasus sepsis berat di Amerika Serikat, sedangkan berdasarkan data dari The National Hospital Discharge Survey 2008, terdapat 727.000 kasus sepsis dan terjadi peningkatan angka kejadian sepsis sebanyak dua kali dari tahun 2000 sampai 2008 (2,9). Angka perawatan sepsis juga terjadi peningkatan 70 % dari tahun 2000 sampai 2008 dan angka tersebut lebih tinggi pada pasien dengan usia > 65 tahun. Lama perawatan kasus sepsis dikatakan 75 % lebih lama bila dibandingkan dengan penyakit lain. Angka kematian sepsis sebanyak 17 % pada tahun 2008 (9). Diagnosis sepsis pada tahap awal tidak mudah, pada tahap awal, pasien sering belum memberikan gejala dan tanda sepsis. Hal ini menyebabkan diagnosis sespsis sering terlambat yang dapat menyebabkan meningkatnya angka mortalitas dan morbiditas sepsis. Diagnosis dan penanganan segera pada sepsis merupakan kunci keberhasilan terapi sepsis. Penanganan sepsis berupa resusitasi awal dengan target Central Venous Pressure (CVP) 8-12 mmHg, Mean Arterial Pressure (MAP) 65mmHg, produksi urin 0.5 cc/Kg/jam. Resusitasi 4
cairan, pemberian antibiotika empiris yang adekuat dan spektrum luas, pengambilan kultur darah harus dilakukan dalam waktu 3 jam setelah diagnosis sepsis ditegakkan. Selanjutnya, dapat dilakukan pemasangan Central Venous Catheter (CVC) untuk mengukur tekanan vena sentral dan pemberian vasopresor apabila resusitasi awal tidak berhasil (8). Penanganan sepsis berdasarkan Early Goal Directed Therapy (EGDT) yaitu dengan resusitasi cairan dan pemberian antibiotika sedini mungkin merupakan terapi utama pada sepsis (7). Studi Rivers, et al.(2001), penanganan sepsis dengan EGDT menurunkan mortalitas pada sepsis bila dibandingkan dengan terapi standar (10). Serupa dengan EGDT, terapi sepsis berdasarkan SCC 2012 menitik beratkan pada resusitasi kardiorespirasi dan pemberian antibiotika sedini mungkin. Berdasarkan SCC 2012, terapi sepsis berupa resusitasi, kontrol infeksi, bantuan respirasi berupa ventilasi mekanik, perawatan suportif (kontol gula darah, profilaksis Stress Related Mucosal Dissease (SRMD) dan Deep Vein thrombosis (DVT)). Resusitasi kardiorespirasi dilakukan dalam waktu 6 jam pertama berupa resusitasi cairan dengan kristaloid 30cc/KgBB, pemberian albumin bila diperlukan, penggunaan norepinefrin dengan target MAP 65 mmHg, dan transfusi darah dengan target hemoglobin 7 9 g/dL. Penggunaan koloid dalam resusitasi cairan sudah tidak direkomendasikan (8). Kontrol infeksi berdasarkan SCC 2012 berupa pengambilan kultur darah sebelum pemberian antibiotika, pemeriksaan penunjang untuk konfirmasi sumber infeksi, pemberian antibiotika spektrum luas dalam waktu 1 jam setelah diagnosis sepsis ditegakan dan penilaian penggunaan antibiotika setiap hari dengan metode de-ekskalasi. Pendekatan terapi sepsis yang baik dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas (8). Pada sepsis terjadi peningkatan laktat, CRP, dan PCT yang dapat digunakan sebagai penanda sepsis. Dibandingkan CRP dan laktat, berdasarkan meta-analisis yang dilakukan Uzzan,et al.(2006) dan Das, et al. (2011) PCT mempunyai nilai uji diagnosis yang lebih baik (6,11). Studi yang dilakukan 5
Massaro KS, dkk.(2007) terhadap pasien dengan demam netropenia, PCT secara bermakna mempunyai sensitivitas yang lebih baik dibandingkan dengan CRP(12). Berdasarkan Muller B, et al.(2000) PCT mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang lebih baik bila dibandingkan dengan CRP,Laktat, dan IL-6 (13,14). Procalcitonin Procalcitonin (PCT) terdiri dari 116 asam amino dengan berat molekul 14.5 kDa. PCT dihasilkan tidak hanya oleh sel C kelenjar tiroid, namun juga dihasilkan oleh paru, hati, ginjal, jaringan lemak, otot, dan lambung. Pada keadaan normal, PCT hanya dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid yang akan diubah menjadi CT. Pada keadaan sepsis, mediator inflamasi dan endotoksin bakteri akan merangsang jaringan menghasilkan PCT dan menghambat perubahan PCT menjadi CT di sel C kelenjar tiroid sehingga pada sepsis terjadi peningkatan PCT.
Gambar 1. Perbedaan sumber pembentukan PCT pada orang sehat dan sepsis (13) 6
Gambar 2. Respons inflamasi terhadap pembentukan PCT (15) PCT dibentuk oleh preprocalcitonin (prePCT) yang terbentuk dari 141 asam amino dan terdiri dari empat rantai yaitu signal peptide, N-terminal PCT, immature CT, dan katacalcin. PrePCT akan dipecah oleh enzim proteolitik dengan melepaskan ikatan rantai signal peptide sehingga akan terbentuk PCT yang terdiri dari 116 asam amino. PCT selanjutnya secara enzimatik akan melepaskan rantai NTerminal PCT dan katacalcin sehingga tersisa immature PCT yang selanjutya melalui enzim Peptidylglycine -amidating monooxygenase (PAM) akan diubah menjadi CT yang terdiri 32 asam amino. CT berfungsi dalam metabolisme calsium dan fosfat (16).
7
Gambar 3.Pembentukan Calcitonin (16)
Gambar 4. Struktur molekul PCT (17)
8
Pada keadaan normal terjadi transkripsi Calcitonin gene related peptide 1 (CALC-1) yang terdapat pada kromosom 11 yang hanya akan merangsang pembentukan prePCT di sel C kelenjar tiroid sedangkan pada jaringan lain akan terjadi supresi sedangkan pada infeksi atau sepsis transkripsi CALC-1 akan merangsang semua jaringan yang dapat menghasilkan PCT sehingga akan meningkatkan PCT (16). Fungsi dari peningkatan PCT pada keadaan infeksi masih tidak jelas, namun PCT digunakan untuk membedakan infeksi dan proses inflamasi lainnya. Pada infeksi virus, virus akan merangsang pengeluaran interferon (IFN- ) yang akan menghambat produksi PCT di jaringan sehingga pada infeksi virus, kadar PCT tetap normal (15). PCT meningkat pada 6 jam setelah terjadi infeksi, mencapai konsentrasi puncak dalam 12 24 jam dan mempunyai waktu paruh sampai 25 30 jam pada keadaan normal dan 30 45 jam pada gangguan ginjal berat, sehingga PCT dikatakan stabil sebagai uji diagnosis. Studi oleh Brunkhorst F, et al. (2000) terjadi peningkatan PCT sekitar 0.5mg/dL/jam dalam 2-3 jam pertama lalu terjadi peningkatan PCT yang cepat dalam 6-12 jam pertama dan menetap selama 48 jam (17). PCT pertama kali dilaporkan sebagai penanda sepsis oleh Moya pada tahun 1975 (18). Peningkatan PCT secara umum disebabkan oleh gangguan neuroendokrin dan non neuroendokrin. Gangguan neuroendokrin berupa Medullary Thyroid Carcinoma (MTC), Small Cell Lung Cancer, dan sindroma carcinoid. Sedangkan gangguan non neuroendokrin berupa sistemik inflamasi non infeksi (trauma inhalasi, pancreatitis, dan aspirasi), infeksi bakteri, sepsis, dan trauma (luka bakar, trauma mekanik, dan operasi). Pada Medullary Thyroid Carcinoma (MTC), terjadi peningkatan PCT. CT merupakan penanda diagnosis MTC. MTC merupakan tumor ganas pada sel C kelenjar tiroid dan sekitar 3% kanker tiroid. Berdasarkan Fugazzola L, et al. (2008), molekul CT bersifat tidak stabil, mudah dan cepat didegradasi oleh enzim protease sehingga pemeriksaan CT sering memberikan hasil negatif palsu. PCT 9
mempunyai molekul yang lebih stabil dan pada pemeriksaan in vivo mempunyai waktu paruh 20-24 jam (18). Berdasarkan studi yang dilakukan Alicia A, et al. (2009) dikatakan PCT sebagai penanda diagnosis MTC mempunyai sensitivitas 91% dan spesifisitas 96% (18). Peran PCT dalam diagnosis sepsis PCT pada keadaan sepsis dihasilkan oleh beberapa organ sebagai akibat respons terhadap stimulus inflamasi. Peningkatan PCT berbanding lurus dengan beratnya sepsis. Pada orang sehat, nilai PCT < 0.05 g/L namun pada kondisi sepsis dapat meningkat hingga 1000 g/L. Nilai PCT > 2 g/L dikatakan abnormal dan sangat dicurigai berhubungan dengan sepsis. Pada kondisi nilai PCT 0.5 g/L 2 g/L dikatakan sebagai zona abu-abu diagnosis sepsis sehingga direkomendasikan untuk mengulang kembali pemeriksaan PCT 6 24 jam sampai diagnosis dapat ditegakan. Sedangkan nilai PCT > 10 g/L dikatakan hanya ditemukan pada sepsis berat atau syok sepsis. Pada SIRS yang disebabkan oleh non bakterial, nilai PCT biasanya < 1 g/L. Beberapa kondisi seperti infeksi virus, kolonisasi bakteri, infeksi lokal, alergi, penyakit autoimun, dan transplantasi tidak menginduksi peningkatan PCT (PCT < 0.5 g/L) (19,20). Endotoksin bakteri dan sitokin pro-inflamasi merupakan rangsangan yang kuat pembentukan PCT. Fungsi dari PCT masih belum jelas, namun dari beberapa studi eksperimental dikatakan PCT berperan dalam patogenesis sepsis dimana PCT berperan dalam protein kemoreaktan dan modulasi produksi Nitrit Oxide (NO) oleh sel endotel. PCT digunakan sebagai penanda sepsis dan dapat digunakan sebagai panduan pemberian antibiotik. Beberapa studi observasional dan intervesional menunjukan peningkatan PCT berguna dalam membedakan infeksi dan non- infeksi, penentuan tingkat keparahan suatu infeksi, dan panduan pemberian antibiotika pada infeksi bakteri. Berdasarkan Hamidreza, et al. (2010) PCT meningkat secara bermakna pada sepsis dengan sensitivitas 88% dan spesivisitas 10
90% (21). Berdasarkan Michael M, et al. (1999) peningkatan PCT berbanding lurus dengan skor SOFA pada sepsis (22). Pada perawatan di ruang intensif, PCT meningkat bermakna pada Sepsis berat dan syok sepsis. PCT dapat digunakan dalam menentukan keberhasilan terapi sepsis dan peningkatan PCT berhubungan dengan mortalitas. Studi yang dilakukan Harbarth, et al.(2001) terjadi peningkatan PCT secara bermakna pada sepsis bila dibandingkan dengan SIRS dengan sensitivitas 97% dan spesifisitas 78% (23). PCT lebih meningkat bermakna pada pasien dengan infeksi paru seperti pneumonia, Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) eksaserbasi akut, bronkitis dan pada sepsis berat atau syok sepsis (22). studi Crain,et al. (2006) terhadap pasien pneumonia komunitas, PCT secara bermakna menurunkan durasi dan biaya yang dikeluarkan dari pemakaian antibiotika (24). Metanalisis yang dilakukan Li, et al. (2011) terhadap infeksi paru, terjadi penurunan penggunaan dan durasi antibiotika sebanyak 31% dan 1,3 hari. Pemantauan PCT direkomendasikan setiap 2-3 hari, bila terjadi penurunan nilai PCT dan perbaikan klinis dapat dilakukan penghentian antibiotika (25). Studi Su, et al. (2012) terhadap pasien dengan Ventilator Associated Pneumonia (VAP), terjadi peningkatan PCT secara bermakna (p=0.008) pada pasien dengan VAP (26). 11
Gambar 5. Kondisi yang meningkatkan PCT (22) PCT dapat memberikan gambaran dalam perlu atau tidaknya pemberikan antibiotika pada suatu infeksi. Dikatakan oleh Schuetz et al.(2007), PCT digunakan dalam menuntun pemberian dan penghentian antibiotika pada pasien dengan pneumonia dan sepsis. pada pneumonia, pemberian antibiotika direkomendasikan pada PCT > 0.25g/L dan dilakukan pemantauan PCT pada hari 3,5, dan 7. Apabila terdapat penurunan PCT sampai 80-90% pada saat pengulangan PCT, pemberian antibiotika dapat dihentikan. Namun apabila nilai PCT masih tetap tinggi, harus dipikirkan suatu kegagalan terapi antibiotika. Pada PCT < 0.25 g/L, pemberian antibiotika dapat ditunda dan direkomendasikan untuk mengulang PCT dalam 6 24 jam. Schuetz juga merekomendasikan tetap memberikan antibiotika pada beberapa kondisi seperti gangguan hemodinamik dan respirasi berat, dan perawatan ruang intensif. Pada kondisi sepsis, pemberian antibiotika direkomendasikan tanpa melihat nilai PCT (20). 12
Gambar 6. PCT memberikan panduan pemberian antibiotika pada pneumonia (20) Peran PCT dalam prognosis sepsis PCT dapat digunakan dalam menentukan prognosis sepsis dan panduan pemakaian dan penghentian antibiotika. Beberapa bukti penelitian klinis menunjukan penurunan nilai PCT selama perawatan menunjukan respons yang baik terhadap terapi antibiotika yang diberikan sedangkan peningkatan PCT atau nilai PCT yang tetap tinggi dapat meningkatkan mortalitas dan digunakan sebagai prediktor kegagalan terapi antibiotika. Berdasarkan Antonia, dkk. (2011), penurunan nilai PCT >30% atau < 2.5g/L dalam 48 jam pertama perawatan merupakan indikator yang baik keberhasilan terapi sepsis sedangkan peningkatan PCT atau penurunan PCT < 30%, diperlukan penyesuaian jenis dan dosis antibiotika (27). Beberapa studi menyatakan peran penting PCT dalam memulai dan penghentian antibiotika. Studi Karlsson, et al. (2010) jumlah mortalitas lebih rendah pada pasien dengan sepsis berat yang mempunyai penurunan nilai PCT > 50 % (28). Sedangkan berdasarkan Ruiz Rodriguez, et al.(2012) menggunakan formula bersihan PCT ((nilai awal-nilai akhir)/nilai awal X 100%) dalam memprediksi mortalitas pasien sepsis di ruang perawatan intensif. Pada penelitian ini, angka mortalitas lebih rendah pada kelompok dengan peningkatan bersihan PCT pada 72 jam pertama evaluasi (29). 13
Peningkatan PCT pada pasien sepsis di perawatan intensif merupakan prediktor peningkatan mortalitas dan pemantauan PCT pada waktu perawatan merupakan hal yang penting dalam menentukan prognosis mortalitas dan morbiditas pada pasien sepsis. Studi kohort oleh Jensen J, et al.(2006) peningkatan PCT berhubungan lurus secara bermakna dengan peningkatan mortalitas pasien sepsis di ruang intensif dan peningkatan PCT > 1 ng/ml selama pemantauan hari ketiga perawatan dapat meningkatkan mortalitas 2.8 kali dalam 90 hari perawatan (30). Studi oleh Charles P, et al.(2009), penurunan PCT < 30% antara hari kedua dan ketiga meningkatkan mortalitas sebanyak 42% (31). Pemberian antibiotika harus diberikan sedini mungkin pada pasien sepsis berat tanpa melihat hasil PCT terlebih dahulu dan pemantauan PCT pada sepsis dilakukan setiap 3 hari, bila terjadi penurunan nilai PCT dan perbaikan klinis, dapat dilakukan penghentian antibiotika (32). Penurunan nilai PCT pada waktu perawatan dapat mengurangi durasi pemberian antibiotika. Studi Crain, et al. (2006) menunjukan terjadi penurunan durasi pemberian antibiotika pada kelompok PCT bila dibandingan dengan kelompok kontrol (24). Sedangkan metaanalisis oleh Schuetz P, et al. (2012) dibandingkan dengan kontrol, pada kelompok PCT terjadi penurunan durasi pemakaian antibiotik terutama pada pasien pneumonia di pelayanan primer, Unit Gawat darurat (UGD) dan ruang perawatan intensif (33). Penghentian antibiotika direkomendasikan pada nilai PCT < 0.5g/L atau terjadi penurunan PCT lebih dari 80%. Namun apabila keadaan klinis tidak stabil pemberian antibiotika dapat tetap diberikan. Pada PCT > 0.5g/L atau penurunan PCT kurang dari 80%, antibiotika harus tetap diberikan dan harus dipikirkan kegagalan pengobatan antibiotika pada pasien sepsis. Peningkatan nilai PCT pada waktu pemantauan atau penurunan nilai PCT < 10% per hari merupakan indikator prognosis yang buruk dari sepsis. 14
Gambar 7. Pedoman penghentian antibiotika berdasarkan nilai PCT pada sepsis (20)
Ringkasan Sepsis merupakan respon sistemik berupa Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS) yang disertai oleh adanya infeksi. Mortalitas dan morbiditas sepsis masih sangat tinggi sehingga memerlukan penanganan yang komprehensif. PCT mempunyai nilai uji diagnostik yang baik pada sepsis. PCT merupakan pro hormon calcitonin yang terdiri dari 116 asam amino yang secara normal dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid. Pada keadaan sepsis, mediator inflamasi akan merangsang organ lain seperti paru, ginjal, hati, otak, dan lain sebagainya untuk menghasilkan PCT. Fungsi peningkatan PCT masih belum jelas. Peningkatan PCT digunakan sebagai uji diagnosis yang baik dan dapat menentukan prognosis sepsis PCT mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang baik dalam diagnosis infeksi dan sepsis. Peningkatan PCT berbanding lurus dengan beratnya derajat infeksi. Beberapa studi klinis membuktikan secara bermakna peningkatan PCT dalam diagnosis sepsis dan membedakan kondisi SIRS dan sepsis. Evaluasi peningkatan atau penurunan PCT dapat dijadikan prediktor keberhasilan terapi sepsis. Penurunan PCT dapat dijadikan rekomendasi untuk 15
menghentikan terapi antibiotika sehingga dapat menurunkan durasi pemakaian antibiotika dan menurunkan lama perawatan pada sepsis. Daftar Pustaka 1. Linde-Zwirble WT, Angus DC. Severe sepsis epidemiology: sampling, selection, and society. Crit Care. 2004.8(4):2226.
2. Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J, Pinsky MR. Epidemiology of severe sepsis in the United States: analysis of incidence, outcome, and associated costs of care. Crit Care Med. 2001. July;29(7):130310.
3. Christ-Crain M, Muller B. Procalcitonin in bacterial infections--hype, hope, more or less?. Swiss Med Wkly. 2005. August;135(31-32):45160.
4. Becker KL, Snider R, Nylen ES. Procalcitonin assay in systemic inflammation, infection, and sepsis: clinical utility and limitations. Crit Care Med. 2008;36(3):94152.
5. Beat M, Kenneth L, Becker. Procalcitonin: how a hormone became a marker and mediator of sepsis. SWISS MED WKLY. 2001 ; 131 : 595 602.
6. Das S, Anand D, Ray S,et al. Role of procalcitonin and high sensitive C reactive protein in sepsis: a prospective study. Critical Care.2011;15:25.
7. Emanuel R, Bryant N, Suzanne H, Julie R, Alexandria M, Bernhard K, Edward P, Michael T.Early Goal-Directed Therapy in the Treatment of Severe Sepsis and Septic Shock. N Engl J Med 2001; 345:1368-1377
8. Dellinger P,Mitchell M, Andrew R, Djillali Annane, Herwig G, Steven M, Jonathan E, Charles L, et.al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012
9. United States Department of Health and Human Services. Centers for Disease Control and Prevention. National Center for Health Statistics. National Hospital Discharge Survey, 2008. ICPSR30182-v1. Ann Arbor, MI: Inter-university Consortium for Political and Social Research [distributor], 2011-02-01.
10. Rivers E, NguyenB, Havstad S, Ressler J,et al. Early Goal directed Therapy in the treatment of severe sepsis and septic Shock. N engl J Med. 2001;345:1368-77.
16
11. Uzzan B, Cohen R, et al. Procalcitonin as a diagnosis test for sepsis in critically ill adults and after surgery or trauma: A systemic review and meta-analysis. Crit care Med. 2006;34:1996-2003
12. Massaro KS, Costa SF,et al. Procalcitonin and C-Reactive Protein as severe systemic infection Markers in febrile neutropenic adults. BMC Infectious Diseases.2007;7:137.
13. Muler D. Calcitonin precursors are realible markers of sepsis in a medical intensive care unit. Crit Care Med.2000;28:977-83
14. Simon L, Gauvin F, et al. Serum procalcitonin and C-reactive protein levels as markers of bacterial infection: a systematic review and meta-analysis. Clin Infect Dis. 2005. 1;40(9):1386-8.
15. Crain C, et al. Biomarker in respiratory track infection: diagnosis guides to antibiotic prescription, prognostic markers and mediators. Eur resp J.2003.30:556-73
16. Jing M, Khan A. Procalcitonin : Uses in the clinical laboratory for the diagnosis of sepsis. Labmedicine.2010;41:173-177
17. Brunkhorst FM, Eberhard OK, Brunkhorst R. Early identification of biliary pancreatitis with PCT. Am J Gastroenterol 1998; 93:1191-1192
18. James F. 72 procalcitonin as a marker of infection, sepsis, and response to antibiotic therapy. American Society for Clnical Pathology,2011
19. Meisner M. Procalcitonin Biochemistry and clinical diagnosis. 1st edition. Bremen:UNI-MED.2010.1241-3.
20. Schuetz et al. Antibiotic stewardship based on procalcitonin(PCT) cut off ranges. BMC Health services research.2007;7:102
21. Hamidreza K, et al. The Status of Serum Procalcitonin in sepsis and non infectious systemic inflamatory response syndrome. African Journal Microbiology Research.2010;4:2632-34.
22. Michael M, et al. Comparison of Procalcitonin and CRP plasma concentrations at different SOFA Score during the course of sepsis. Crit Care.1999;3:45-50
23. Harbarth, et al. PCT and Sepsis in critical care patients. Am J Crit Care Med.2001;164:396 17
24. Crain,et al. Procalcitonin guidance of antibiotic therapy in community acquired pneumonia : a randomized trial. A J. Resp. Crit. Care Med.2006;138:1108-15
25. Li H, et al. Meta-analysis and systemic review of procalcitonin guided therapy in respiratory track infections. Antimicrobial agents and chemotherapy. 2011;55:5900-06.
26. Su LX, et al. Diagnosing Ventilator Associated Pneumonia in critically ill patients with sepsis. Am J Crit Care Med, 2012;21:110-19
27. Antonia P, et al. Early changes of procalcitonin may advise about prognosis and appropriateness of antomicrobial therapy in sepsis. Journal of Crit. Care.2011;25:331 e1-e7.
28. Karlsson S, et al. Predictive value of procalcitonin decrease in patients with severe sepsis : a prospective observational study.Critical Care.2010;14:1-10
29. Rodriguez R, et al.Usefulness of procalcitonin clearance as a prognostic biomarker in septic shock. A prospective pilot study. Med Intensiva.2012;36:475-80
30. Jensen J, et al. Procalcitonin increase in early identification of critically ill patients at high risk of mortality.Crit.Care Med. 2006;34:2596-2602.
31. Charles P et al. Serum Procalcitonin for the early recognition of nosocomial infection in critically ill patients: a preliminary report. BMC infection diseases.2009; 9:1-9
32. Bouadma L, et al. Use of procalcitonin to reduce patients exposure to antibiotics in intensive care unit (PRORATA trial): a multicentre randomised controlled trial. Lancet.2010;375:463-74
33. Schuetz P, et al. Procalcitonin to guide initiation and duration of antibiotic treatment in acute respiratory infenctions : an individual patient data meta-analysis. Clinical Infectious Diseases.2012;55:651-62.