PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2013
41
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Insufisiensi adrenal adalah sekresi yang tidak adekuat dari adrenokortikosteroid, dapat terjadi sebagai hasil dari sekresi ACTH yang tidak cukup atau karena kerusakan dari kelenjar adrenal dapat sebagian atau seluruhnya. Manifestasi yang terjadi dapat bermacam-macam, dapat terjadi tiba-tiba dan mengancam jiwa atau dapat juga berkembang secara bertahap dan perlahan lahan (Smeltzer Susan C, Brenda G. Bare. 2002). Insufisiensi adrenal dibagi menjadi 3 tipe, tergantung dari dimana terjadinya masalah pada kelenjar hipothalamik pituitary-adrenal dan seberapa cepat turunnya hormon-hormon tersebut. 1. Cronic primary adrenal insufficiency (Addison disease) Adalah suatu kondisi penyakit yang terjadi akibat gangguan penurunan fungsi kelenjar adrenal. Addison adalah insufisiensi adrenal yang berat dengan ekserbasi yang tiba-tiba. Hal ini dapat menimbulkan kematian bila tidak segera ditangani. 2. Cronic secondary adrenal insufisiensi Kegagalan pituitary menyekresi ACTH (sekresi aldosteron intak karena dikendalikan oleh sumbu rennin-angiotensin). Adanya penyebab hipopituitarisme primer atau sekunder. 3. Acute adrenal insufficiency (krisis adrenal) Adalah suatu keadaan insufisiensi adrenal akut, tanpa tanda klinis yang khas. Diagnosis krisis adrenal hanya berdasarkan kemungkinan saja dan pengobatannya harus segera diberikan tanpa menunggu hasil laboratorium. (Price, Sylvia Anderson, 2006) Penyakit Addison disebabkan oleh defisiensi hormon kortikal. Kondisi ini terjadi jika fungsi korteks adrenal tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan pasien akan hormone kortikal. Autoimun atau atrofi idiopati dari kelenjar adrenal bertanggung jawab terhadap 75% dari kasus ini. Penyebab lainnya termasuk pengengkatan pembedahan kedua kelenjar adrenal atau infeksi (tuberculosis atau histoplasmosis) kelenjar adrenal. Penyakit Addison adalah terjadi bila fungsi korteks adrenal tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan pasien akan kebutuhan hormon hormon korteks adrenal (Smeltzer Susan C, Brenda G. Bare. 2002) Krisis adrenal terjadi bila kebutuhan fisiologis terhadap hormon tersebut melebihi kemampuan kelenjar adrenal untuk menghasilkan hormon tersebut, yaitu pada penderita dengan kekurangan hormon kelenjar adrenal yang kronis yang terkena stress atau penyakit. Etiologi dari krisis Addison ini antara lain adalah infeksi, trauma, tindakan pembedahan, luka bakar, kehamilan, anestesi umum dan keadaan hipermetabolik. Harus dibedakan antara krisis addison dan penyakit Addison. Penyakit Addison adalah suatu kondisi dimana kelenjar adrenal tidak dapat memproduksi dengan cukup beberapa jenis hormon. Kondisi tersebut dikenal setelah DR. Addison pada tahun 1855 mengemukakan tentang penyakit tersebut. 42
Perbedaan penyakit Addison dengan krisis Addison adalah dalam gejalanya, pada penyakit Addison gejala berkembang secara lambat mulai dari beberapa bulan sampai dengan tahun ditandai dengan : lemah badan, lekas lelah, anoreksia, penurunan berat badan dan hiperpigmentasi, sedangkan krisis adrenal terjadi secara akut yaitu muntah muntah dan nyeri abdominal dan syok hipovolemik. Penyakit Addison jarang dijumpai dan memiliki prevalensi 4 dari 100.000 orang; dua pertiga pasien adalah perempuan. Diagnose ditegakkan antara usia 20 dan 50 tahun. Dahulu, tuberkolosis adalah penyabab utama penyakit Addison. Saat ini, dengan kemoterapi yang lebih baik, hanya sedikit pasien tuberkolosis yang mempunyai insufisiensi adrenal. Kerusakan korteks adrenal merupakan akibat dari proses autoimun pada lebih dari 50% pasien penyakit Addison. Autoantibodi adrenal ditemukan dalam titer tinggi pada sebagian pasien dengann penyakit Addison. Antibody ini bereaksi dengan antigen dikorteks adrenal, termasuk enzim 21 hidroksilase dan menyebabkan reaksi peradangan yang akhirnya menghancurkan kelenjar adrenal. Biassanya lebih dari 80% dari kedua kelenjar harus rusak sebelum timbul gejala dan tanda insufisiensi. Penyakit Addison dapat timbul bersama dengan penyakit endokrin lain yang memiliki dasar autoimuitas. Diantaranya adalah tiroiditis hashimoto, beberapa kasus diabetes mellitus type 1, dan hipoparatiroidisme. Juga tampaknya terdapat predisposisi familial untuk penyakit endrokin autoimun, yang mungkin berkaitan dengan kelainan reaktifitas system imun pasien. Penyebab penyakit Addison yang lebih jarang adalah pendarahan yang disebabkan oleh pemakaian antikoogulan jangka panjang terutama heparin, penyakit granulomatosa non perkijuan, infeksi sitomegalovirus (CMV) pada pasien dengan sindrom imonodefisiensi didapat (AIDS), dan neuplasma metastatic yang mengenai kedua kelenjar adrenal. Pernah dilaporkan kasus-kasus jarang yaitu, insufisiensi korteks adrenal primer terjadi akibat mutasi di gen-gen yang mengode protein yang mengendalikan perkembangan adrenal atau steroidogenesis.( Price, Sylvia. 2006) Selama krisis addisonian, tekanan darah rendah, glukosa darah rendah, dan tingkat kalium tinggi dapat mengancam kehidupan. Terapi standar melibatkan suntikan intravena hidrokortison, saline (air garam), dan dekstrosa (gula). Perawatan ini biasanya membawa perbaikan yang cepat. Ketika pasien dapat minum cairan dan obat melalui mulut, jumlah hidrokortison menurun sampai dosis pemeliharaan tercapai. Jika aldosteron kekurangan, terapi pemeliharaan juga mencakup dosis oral fludrocortisone acetate. Dengan pengobatan yang tepat, terutama terapi penggantian hormon, pasien dapat berharap untuk hidup relatif normal. Orang-orang dengan insufisiensi adrenal harus selalu membawa identifikasi yang menyatakan kondisi mereka dalam keadaan darurat. Kartu identifikasi tersebut harus selalu dibawa untuk mengingatkan petugas darurat tentang perlunya menyuntikkan 100 mg kortisol jika pembawa yang ditemukan terluka parah atau tidak mampu menjawab pertanyaan. Kartu ini juga harus menyertakan nama dokter dan nomor telepon dan nama dan nomor telepon dari kerabat terdekat untuk diberitahu. Pengobatan penyakit Addison dilakukan dengan melakukan transplantasi, mengganti hormon yang kelenjar adrenal tidak mengalami disufisiensi. Kortisol 43
diganti secara oral dengan tablet hydrocortisone, glukokortikoid sintetik, sekali atau dua kali sehari. Jika mengalami kekurangan aldosteron, diganti dengan dosis oral dari fludrocortisone acetate mineralokortikoid disebut (Florinef), yang diminum sekali sehari. Pasien yang menerima terapi penggantian aldosteron biasanya disarankan untuk meningkatkan asupan garam. Karena pasien dengan insufisiensi adrenal sekunder biasanya mempertahankan produksi aldosteron, maka pasien tidak memerlukan terapi penggantian aldosteron.
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaiamana fisiologi kelenjar adrenal 2. Bagaimana proses terjadinya Addison disease 3. Bagaimnana proses terjadinya Krisis Addison 4. Bagaimana Asuhan keperawatan pada pasien addison disease dan Krisis adrenal
1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Supaya mahasiswa atau para pembaca mampu mengerti dan memahami tentang penyakit addison serta menerapkan dari penatalaksanaan pada saat di Rumah Sakit. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mahasisa mampu menjelaskan anatomi fisiologi kelenjar adrenal 2. Mahasiswa menjelaskan addison disease dan krisis adrenal 3. Mahasiswa mampu menguasai asuhan keperawatan pada penderita yg terkena addison.
44
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Kelenjar Adrenal 2.1.1 Anatomi adrenal Secara anatomis kelenjar adrenal berbentuk triangular kecil, terletak di ekstra peritoneal pada ujung atas kedua ginjal dan mempunyai berat masing-masing 4-14 gram. Kelenjar adrenalsebelah kanan berbentuk piramidal atau triangular, bagian posterior berbatasan dengan diafragma, bagian superior dengan tepi posterior inferior lobus kanan hepar, bagian medial dengan tepikanan vena kava inferior. Alas piramida terletak pada permukaan anteromedial ujung atas ginjalkanan. Kelenjar adrenal kiri berbentuk semilunar sedikit lebih besar daripada kelenjar yangkanan. Bagian medial berbatasan dengan lateral aorta abdominal, bagian posterior berbatasandengan diafragma dan nervus splanknikus. (Sloane, 2003). Kelenjar adrenal (kelenjar suprarenal) adalah dua massa triangular pipih berwarna kuning yang tertanam pada jaringan adiposa. Organ ini berada di kutub atas ginjal. Masing-masing kelenjar adrenal terdiri dari korteks bagian luar dan medula di bagian dalam. a. Korteks mensekresi hormon steroid. Korteks terbagi menjadi tiga lapisan, dari luar ke dalam : zona glomerulosa, zona fasikulata, dan zona retikularis. b. Medula, yang secara embriologik berasal dari jenis neuroektodermis sama (sel-sel krista saraf) yang menjadi asal neuron simpatis. Sel medula sebenarnya adalahneuron postganglionik simpatis yang bermodifikasi
2.1.2 Fungsi kelenjar adrenal Hormon kelenjar adrenal terdiri dari : 1. Hormon medular disekresi oleh sel-sel kromafin medula adrenal untuk merespon stimulus preganglionik simpatis. Hormon ini meliputi katekolamin, epinefrin (80%), dan norepinefrin (20%). Epinefrin dan norepinefrin memiliki perbedaan efek fisiologis yang berkaitan dengan kedua jenis reseptornya, alfa dan beta, yang terletak pada membran sel target. Secara keseluruhan, fungsi hormon ini adalah untuk mempersiapkan tubuh terhadap aktivitas listrik yang merepon stress, kegembiraan, cedera, latihan, dan penurunan kadar gula darah. (Sloane, 2003) a. Efek epinefrin : - Frekuensi jantung ,metabolisme, dan konsumsi oksigen meningkat. - Kadar gula darah meningkat melalui stimulasi glikogenolisis pada hati dan simpanan glikogen otot. - Pembuluh darah pada kulit dan organ-organ viseral berkonstriksi sementara pembuluh di otot rangka dan otot jantung berdilatasi. b. Efek norepinefrin adalah untuk meningkatkan tekanan darah dan untuk menstimulasi otot jantung. 2. Hormon kortikal adrenal, berlawanan dengan hormon medular, sangat penting untuk kehidupan. a. Meniralokortikoid, disintesis dalam zona glomerulosa. - Aldosteron, mineralokortikoid terpenting, mengatur keseimbangan air dan elektrolit melalui pengendalian kadar natrium dan kalium dalam darah. - Kendali sekresi. Sekresi aldosteron diatur oleh kadar natrium darah, tetapi terutama oleh mekanisme renin-angiotensin. Gb. 2.2 Anatomi Melintang Adrenal www.wikivet.net 46
b. Glukokortikoid disintesis dalam zona fasikulata. Hormon ini meliputi kortikosteron, kortisol, dan kortison. Hormon yang terpenting adalah kortisol. 1. Efek fisiologis - Glukokortikoid mempengaruhi metabolisme glukosa, protein dan lemak untuk membentuk cadangan molekul yang siap dimetabolisme. - Hormon ini meningkatkan sintesis glukosa dari sumber non- karbohidrat (glukoneogenesis), simpanan glikogen di hati (glikogenesis), dan peningkatan kadar glukosa darah. - Hormon ini juga meningkatkan penguraian lemak dan protein serta menghambat ambilan asam amino dan sintesis protein. - Hormon ini juga menstabilisasi membran lisosom untuk mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut. 2. Kendali sekresi glukokortikoid adalah melalui kerja ACTH dalam mekanisme umpan-balik negatif. Stimulus utama dari ACTH adalah semua jenis stress fisik dan emosional. - Stress misalnya trauma, infeksi, atau kerusakan jaringan, akan memmicu impuls saraf ke hipotalamus. - Hipotalamus kemudian mensekresi hormon pelepas kortikotropin (CRH), yang melewati sistem portal hipotalamus-hipofisis, menuju kelenjar pituitari anterior, yang melepas ACTH. - ACTH bersirkulasi dalam darah menuju kelenjar adrenal dan mengeluarkan sekresi glukokortikoid. - Glukokortikoid mengakibatkan peningkatan persediaan asam amino, lemak, dan glukosa dalam darah untuk membantu memperbaiki kerusakan yang disebabkan stress dan menstabilkan membran lisosom untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. c. Gonadokortikoid (steroid kelamin), pada zona retikularis dalam jumlah yang relatif sedikit. Steroid ini berfungsi terutama sebagai prekursor untuk pengubahan testosteron dan estrogen oleh jaringan lain (Sloane, 2003).
Epinefrin Norepinefrin Reabsorbsi sodium Eliminasi potassium Respon terrhadap stres Mengurangi inflamasi Pengubahan metabolism protein dan lemak Menstimulasi system simpatis Peningkatan resistensi perifer Morton and Fontaine. 2009, Critical Care Nursing : A Holistic Approach. 9th Edition. Lippincott Williams & Wilkins : States. 47
Tabel 2.2 Aksi Glukokortikoid Pengaruh Utama Efek Pada Tubuh Metabolisme Glukosa
Metabolisme Protein
Metabolisme Lemak
Anti-Inflamasi
Efek Psikologi
Efek Lain Stimulasi glukoneogenesis penggunaan glukosa ke jaringan
penguraian protein Protein plasma
peemindahan asam lemak penggunaan asam lemak
Menstabilkan lisosom dalam sel radang, pencegahan pelepasan mediator inflamasi permeabilitas capiler untuk mencegah pembengkakakn pada radang fagositosis dari sel darah putih untuk mengurangi mediator inflamasi Menekan respon imun Karena atrofi jaringan timfoid eosinofil formasi antibodi perkembangan mediasi sel imun panas Menghambat aktivitas fibroblas
Ketidakstabilan emosi bisa saja terjadi
Memudahkan respon jaringan humoral dan pengaruh syaraf, seperti cetokolamin, selama trauma dan stres berat. Morton and Fontaine. 2009, Critical Care Nursing : A Holistic Approach. 9th Edition. Lippincott Williams & Wilkins : States
2.1.3 Mekanisme hormon adrenal a. Korteks 1.Glukokortikoid Glukokortikoid mempunyai efek katabolik dan antianabolik pada protein, menyebabkan penurunan kemampuan sel-sel pembentuk protein untuk menyintesis protein. Sebagai akibatnya terjadi kehilangan protein pada jaringan seperti kulit, otot, pembuluh darah dan tulang. Secara kllinis kulit mengalami atrofi dan mudah rusak, luka-luka sembuh dengan lambat. 48
Ruptur serabut-serabut elastic pada kulit menyebabkan tanda regang berwarna ungu (Murray Robbert K,dkk.2003) Otot-otot juga mengalami atrofi dan menjadi lemah. Penipisan dinding pembuluh darah dan melemahnya jaringan penyokong perivaskuler menyebabkan mudah timbul luka memar. Keadaan ini dapat cukup parah sehingga menimbulkan petekie atau ekimosis yang luas pada lengan atas bila pasien diukur tekanan darahnya. Tulang juga terpengaruh. Matriks protein tulang menjadi hilang dan menyebabkan keadaan osteoporosis. Keadaan ini mungkin merupakan komplikasi serius dari kelebihan glukokortikoid karena menyebabkan tulang menjadi rapuh dan terjadinya fraktur patologis. Osteoporosis paling sering terjadi pada tulang belakang dan menyebabkan kolaps vertebra dan disertai nyeri punggung dan pengurangan tinggi badan. (Murray Robbert K,dkk.2003) Metabolisme karbohidrat juga dipengaruhi oleh kenaikan kadar glukokortikoid yang tinggi. Glukokortikoid merangsang glukoneogenesis dan mengganggu kerja insulin pada selsel perifer. Sebagai akibatnya, penderita dapat mengalami hiperglikemia. Pada seorang dengan kapasitas produksi insukin yang normal, efek glukokortikoid akan dilawan dengan meningkatkan sekresi insulin, sehingga menormalkan t oleransi glukosa. Sebaliknya, penderita dengan kemampuan sekresi insulin yang menurun tidak mampu menompensasi keadaan tersebut , dan toleransi glukosa, hiperglikemia puasa, dan manifestasi klinis diabetes mellitus. (Murray Robbert K,dkk.2003) Kadar glukokortikoid yang berlebihan juga memengaruhi distribusi jaringan adipose yang terkumpul di daerah sentral tubuh dan menyebabkan obesitas, wajah bulan (moon face), memadatnya fosa supraklavikularis, dan tonjolan servikodorsal (punuk kerbau) obesitas trunkus dengan ekstremitas ata s dan bawah yang kurus akibat atrofi otot memberi penampilan klasik berupa penampilan cushingoid. (Murray Robbert K,dkk.2003)Glukokortikoid mempunyai efek minimal pada kadar elektrolit serum. Akan tetapi, kalau diberikan atau dihasilkan dalam kadar yang terlalu besar , dapat menyebabkan retensi natrium dan pembuangan kalium, mengakibatkan edema, hipokalemia, dan alkalosis metabolik. (Murray Robbert K,dkk.2003) Glukokortikoid dapat menghambat respons kekebalan. Ada 2 tipe utama respons kekebalan yang pertama menyebabkan pembentukan antibody humoral oleh sel-sel plasma dan limfosit B akibat rangsangan antigen; yang lainnya bergantung pada reaksi-reaksi yang diperantarai oleh limfosit T yang tersensitisasi. Glukokortikoid mengganggu pembentukan antibody humoral dan memghambat proliferasi pusat-pusat germinal limpa dan jaringan limfoid pada respon primer terhadap antigen.gangguan respon imunologik dapat terjadi pada setiap tingkatan berikut ini : (1). Pemrosesan awal antigen oleh sel-sel system monosit makrofag, (2) induksi dan proliferasi limfosit immunokompeten serta pelepasan sitokin, (3) produksi antibody, dan (4) reaksi peradangan. Glukokortikoid juga menekan reaksi hipersensitivitas lambat. Misalnya, glukokortikoid dapat 49
mengubah tes kulit tuberculosis dari positif menjadi negative . Selain itu, hambatan terhadap kekebalan seluler yang diperantarai glukokortikoid mungkin penting dalam menekan penolakan cangkokan (Murray Robbert K,dkk.2003) Aktivitas sekresi lambung ditingkatkan oleh glukokortikoid. Sekresi asam hidroklorida dan pepsin dapat meningkat pada individu tertentu yang mendapat glukokortikoid. Juga diduga bahwa factor-faktor protektif mukosa diubah oleh steroid dan faktor0faktor ini dapat mempermudah pembentukan ulkus (Murray Robbert K,dkk.2003) Perubahan psikologik juga sering dijumpai pada pasien dengan kelebihan glukokortikoid, yang ditandai oleh ketidakstabilan emosi, euphoria, insomniua dan episode depresi singkat. Manifestasi neuropsikiatri dari kelebihan glukokortikoid terlihat pada pasienpasien dengan sindrom Cushing spontan dan pada mereka yang mendapat glukokortikoid dosis farmakologik. Perubahan-perubahan ini akan kembali normal bila kadar kortisol kembali normal (Murray Robbert K,dkk.2003) Glukokortokoid menyebabkan involusi jsringsn limfosi, merangsang pelepasan neutrofil dan peningkatan eritropoeisis. Efek farmakologik glukokortikoid yang paling Penting dan bermanfaat secara kllinis adalah kemampuannya menekan reaksi peradangan. Banyak penelitian in vivo dan in vitro memperlihatkan bahwa glukokortikoid dapat menghambat hyperemia, ekstravasasi sel, migrasi sel, dan permeabilitas kapiler. Glukokortikoid juga menghambat pele[asan kinin yang bersifat vasoaktif dan menekan fagositosis. Glukokortikoid menghambat sintesis histamine dan menekan reaksi anafilaktik akut yang didasarkan pada hipersensitivitas disebabkan oleh antibody. Sifat antiinflamasi glukokortikoid telah menempat kan glukokortikoid dalam barisan terdepan agen terapeutik yang tersedia untuk pengobatan berbagai gangguan, seperti penyakit vaskuler kolagen, yaitu penyakit yang sangat memerlukan penekan peradangan (Murray Robbert K,dkk.2003) Akan tetapi, terdapat suatu keadaan klinis ketika penekanan kekebalan dan efek antiinflamasi glukokortikoid merugikan merugikan penderita. Pada infeksi akut, tubuh mungkin tidak mampu melindungi diri sebagaimana layaknya seperti bila menerima dosis farmakologik glukokortikoid (Murray Robbert K,dkk.2003)
2. Mineralkortikoid Mineralokortikoid mempunyai dua kerja penting: regulator utama cairan ekstraseluler dan metabolisme kalium. Efek ini diperantarai ikatan aldosteron dengan reseptor glukokortikoid (mineralokortikoid) tipe I di jaringan target. Volume cairan diatur melalui efek langsung pada collecting tubule, dimana aldosteron menyebabkan penurunan ekskresi natrium dan peningkatan ekskrtesi kalium. Reabsorbsi ion natrium menyebabkan penurunan potensial transmembran, peningkatan aliran ion positif, seperti kalium, keluar dari sel kedalam lumen. Ion natrium yang direabsorbsi diangkut keluar epitel tubulus dikirim kedalam cairan 50
interstisial ginjal dan dari sana kedalam sirkulasi kapiler ginjal. Air secara pasif mengikuti pemgangkutan natrium. (Murray Robbert K,dkk.2003)
- Efek ginjal dan sirkulasi dari aldosteron Efek pada reabsorbsi natrium dan sekresi kalium dalam tubulus ginjal.Aldosteron akan menyebabkan pengangkutan pertukaran natrium dan kalium, yakni absorbsi natrium bersama-sama dengan ekskresi kalium oleh sel-sel epitel tubulus terutama dalam tubulus distal dan duktus koligentes. Oleh karena itu, aldosteron menyebabkan natrium disimpan dalam cairan ekstraseluler sedangkan kalium diekskresikan kedalam urin. Bila konsentrasi aldosteron dalam plasma tinggi maka keadaan ini akan mengurangi jumlah natrium yang hilang kedalam urin sebegitu kecilnya sehingga hanya beberapa miliekuivalen tiap hari. Pada saat yang sama, kalium yang hilang dalam urin meningkat berlipat ganda.Oleh karena itu, hasil akhir efek aldosteron dalam plasma adalah untuk meningkatkan jumlah total natrium dalam cairan ekstraseluler sementara menurunkan jumlah kalium ekstraseluler. (Murray Robbert K,dkk.2003) Selain itu, aldosteron juga berpengaruh pada volume cairan ekstraseluler dan tekanan arteri. Peningkatan volume cairan ekstraseluler yang berlangsung selama 1 sampai 2 hari dapat mengarah kepada peningkatan tekanan arteri. Peningkatan arteri kemudian akan menyebabkan peningkatan eksresi air dan garan yang sangat besar melalui ginjal, yang merupakan suatu fenomena yang disbut sebagai dieresis tekanan. (Murray Robbert K,dkk.2003) Kelebihan aldostteron dapat menyebabkan hipokalemia dan kelemahan otot. Terlalu sedikit aldosteron menyebabkan hiperkalemia dan keracunan jantung. Selain itu juga, aldosteron juga mempunyai efek terhadap peningkatan sekresi ion hydrogen tubulus dengan akibat alkalosis ringan. (Murray Robbert K,dkk.2003) - Efek aldosteron pada kelenjar keringat, kelenjar liur, dan absorbsi intestinal Pengaruh aldosteron terhadapo kelenjar keringat dan kelenjar liur hampir mirip dengan pengaruhnya terhadap tubulus ginjal. Kedua kelenjar ini mengeluarkan sekresi yang terutama mengandung banyak sekali natrium klorida, tetapi sewaktu melewati duktus ekskretorius sebagian besar natrium klorida direabsorbsi sedangkan ion kalium dan ion bikarbonat akan disekresikan. Aldosteron sangat meningkatkan reabsorbsi natrium klorida dan sekresi kalium oleh duktus tersebut. Efek aldosteron terhadap kelenjar keringat penting untuk menyimpangaram tubuh dalam lingkungan yang panas dan efeknya terhadap kelenjar liur adalah menyimpan garam sewaktu liur hilang secara berlebihan. (Murray Robbert K,dkk.2003) Aldosteron juga sangat meningkatkan absorbs natrium oleh usus, terutama didalam kolon yang mencegah hilangnya natrium didalam tinja. Sebaliknya, bila tidak ada aldosteron, absorbsi natrium akan menjadi sangat buruk yang menuju pada kegagalan absorbsi klorida dan anion lain juga air. Natrium klorida dan air yang tidak diabsorbsi kemudian 51
menyebabkan diare dengan kehilangan garam lebih lanjut darah tubuh. (Murray Robbert K,dkk.2003)
3. Androgen Beberapa hormone kelamin pria yang cukup aktif yang disebut androgen adrenal (yang paling penting adalah dehidroepiandrosteron) secara terus-menerus disekresikan oleh korteks adrenal terutama selama kehidupan fetus. Selain itu, progesterone dan estrogen yang merupakan hormone kelamin wanita disekresikan dalam jumlah sangat sedikit. (Murray Robbert K,dkk.2003) Biasanya pada manusia normal, androgen adrenal mempunyai efek yang lemah. Mungkin sebagian perkembangan awal dari organ kelamin pria dihasilkan dari sekresi androgen adrenal semasa kanak-kanak. Androgen adrenal juga mencetuskan efek yang ringan pada wanita, bukan hanya pada masa sebelum masa pubertas tetapi juga selama hidup. Sebagian besar pertumbuhan rambut aksila pada wanita disebabkan oleh kerja dari hormone-hormon ini. Beberapa adrenal androgen juga akan diubah menjadi testosterone yang merupakan hormone kelamin utama pada pria, didalam jaringan ekstra-adrenal, yang mungkin mempunyai aktivitas androgenik yang besar. (Murray Robbert K,dkk.2003)
b. Medula Medula adrenal berfungsi sebagai bagian dari system saraf otonom. Stimulasi serabut saraf simpatik pra ganglion yang berjalan langsung ke dalam sel-sel pada medulla adrenal aka menyebabkan pelepasan hormon katekolamin yaitu epinephrine dan norepinephrine. Katekolamin mengatur lintasan metabolic untuk meningkatkan katabolisme bahan bakar yang tersimpan sehingga kebutuhan kalori dari sumber-sumber endogen terpenuhi.(Sudoyo, 2006) Efek utama pelepasan epinephrine terlihat ketika seseorang dalam persiapan untuk memenuhi suatu tantangan (respon Fight or Fligh). Katekolamin juga menyebabkan pelepasan asam-asam lemak bebas, meningkatkan kecepatan metabolic basal (BMR) dan menaikkan kadar glukosa darah. (Murray Robbert K,dkk.2003)
2.1.4 Disfungsi Adrenal Disfungsi kelenjar adrenal merupakan gangguan metabolic yang menunjukkan kelebihan / defisiensi kelenjar adrenal (Price, 2006). Hipofungsi adrenal adalah sekresi yang inadekwat dari adrenokortikosteroid, dapat terjadi sebagai hasil dari sekresi ACTH yang tidak cukup atau karena kerusakan dari kelenjar adrenal dapat sebagian atau seluruhnya. Manifestasi yang terjadi dapat bermacam macam , dapat terjadi tiba tiba dan mengancam jiwa atau dapat juga berkembang secara bertahap dan perlahan lahan (Speiser PW, 2003).
52
Klasifikasi Disfungsi Kelenjar Adrenal (Hariyadie, 2012) a. Hiperfungsi kelenjar adrenal 1) Sindrom Cushing Sindrom Cushing disebabkan oleh sekresi berlebihan steroid adrenokortikal, terutama kortisol. Gejala klinis bisa juga ditemukan oleh pemberian dosis farmakologis kortikosteroid sintetik 2) Sindrom Adrenogenital Penyakit yang disebabkan oleh kegagalan sebagian atau menyeluruh, satu atau beberapa enzim yang dibutuhkan untuk sintesis steroid 3) Hiperaldosteronisme a) Hiperaldosteronisme primer (Sindrom Cohn) Kelaianan yang disebabkan karena hipersekresi aldesteron autoimun b) Aldosteronisme sekunder Kelainan yang disebabkan karena hipersekresi rennin primer, ini disebabkan oleh hiperplasia sel juksta glomerulus di ginjal. b. Hipofungsi Kelenjar Adrenal Insufisiensi Adrenogenital : 1) Insufisiensi Adrenokortikal Akut (krisis adrenal) Kelainan yang terjadi karena defisiensi kortisol absolut atau relatif yang terjadi mendadak sehubungan sakit / stress. 2) Insufisiensi Adrenokortikal Kronik Primer (penyakit Addison) Kelainan yang disebabkan karena kegagaln kerja kortikosteroid tetapi relatif lebih penting adalah defisiensi gluko dan mineralokortikoid. 3) Insufisiensi Adreno Kortikal Sekunder Kelainan ini merupakan bagian dari sinsrom kegagalan hipofisis anterior respon terhadap ACTH terhambat atau menahun oleh karena atrofi adrenal.
2.2 Addison Disease 2.2.1 Definisi Penyakit Addison adalah ketidakadekuatan sekresi kortikosteroid dari cortex adrenal, yang diakibatkan kerusakan cortex adrenal (Digiulio, 2007). Addison disease adalah ketidakmampuan adrenal karena atrofi dan kerusakan kelenjar itu sendiri karena proses autoimun atau penyakit lainnya (Henberg, 2009). 2.2.2 Etiologi Addisons disease dapat muncul karena sejumlah penyebab: suatu kerusakan autoimun dari korteks adrenal, sebagai respon terhadap tuberkulosis (TB), amiloidosis, homoechomatosis, berikut insufisiensi adrenal (Ahmed et al, 2007). Menurut Cihakova (2001), Addisons disease terjadi ketika lapisan luar kelenjar adrenal (korteks adrenal) rusak, dan mengurangi kadar hormon yang dihasilkannya: 1. Masalah dengan sistem kekebalan tubuh Di Inggris, masalah dengan sistem kekebalan tubuh adalah penyebab paling umum dari addisons disease, sebanyak 70-90 % kasus. Addisons disease dapat berkembang jika sistem kekebalan tubuh menyerang kelenjar adrenal dan merusak korteks adrenal. Ketika 90 % dari korteks adrenal rusak, kelenjar adrenal tidak akan mampu menghasilkan cukup hormon steroid kortisol dan aldosteron. Setelah kadarnya mulai menurun maka seseorang dapat mengalami gejala addisons disease. 2. Genetika Penelitian telah menunjukkan beberapa orang dengan gen tertentu lebih mungkin untuk mengalami gangguan autoimun. Tidak jelas bagaimana gen ini menyebabkan addisons disease. Tetapi tidak berarti resiko terkena addisons disease meningkat jika Anda atau anggota keluarga dekat memiliki kondisi autoimun lain, seperti : vitiligo - kondisi kronis yang menyebabkan bercak putih untuk pada kulit, diabetes tipe 1, hipotiroidisme. 3. Penyebab lain Tuberkulosis (TB) adalah penyebab paling umum addisons disease di seluruh dunia. TB adalah infeksi bakteri yang kebanyakan mempengaruhi paru-paru tetapi juga dapat menyebar ke bagian lain dari tubuh Anda. Hal ini dapat menyebabkan addisons disease jika bakteri menyerang kelenjar adrenal. Hasil penyakit tuberkulosis Addison dari penyebaran hematogen dari infeksi dari tempat lain di tubuh dan penyakit extraadrenal biasanya terlihat. Adrenal awalnya diperbesar dengan granuloma epiteloid luas dan kaseasi, dan kedua korteks dan medula terpengaruh. Fibrosis terjadi 54
kemudian dan adrenal menjadi normal atau lebih kecil dalam ukuran dengan kalsifikasi jelas dalam 50 % kasus (Cihakova, 2001). Adrenal sering terlibat pada pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome ; adrenalitis dapat terjadi setelah infeksi cytomegalovirus atau mycobacterium atipikal , dan sarkoma Kaposi dapat mengakibatkan penggantian adrenal. Onset sering berbahaya, tetapi jika diuji, lebih dari 10 % pasien dengan AIDS akan menunjukkan respon kortisol subnormal mengikuti tes Synacthen singkat. Insufisiensi adrenal dapat diendapkan melalui administrasi seiring antiinfeksi yang tepat seperti ketoconazole (menghambat sintesis kortisol) atau rifampisin (meningkatkan metabolisme kortisol ). Jarang pasien dengan AIDS dan fitur insufisiensi adrenal ditemukan mengalami peningkatan beredar ACTH dan kortisol konsentrasi yang gagal untuk menekan secara normal setelah pemberian deksametason dosis rendah. Hal ini diduga mencerminkan " diakuisisi " bentuk resistensi glukokortikoid karena berkurangnya afinitas GR, tetapi penyebab yang mendasari masih belum diketahui (www. WilliamsTextbookofEndocrinology.com). 4. Kemungkinan penyebab lain dari addisons disease meliputi : a. Infeksi - seperti yang terkait dengan AIDS, atau infeksi jamur b. perdarahan - perdarahan sangat berat kelenjar adrenal, sepsis berat c. Kanker - jika sel-sel kanker dari tempat lain di tubuh Anda menyebar ke kelenjar adrenal d. amiloidosis - suatu penyakit dimana amiloid, protein yang dihasilkan oleh sel-sel sumsum tulang menumpuk di kelenjar adrenal dan merusaknya e. operasi pengangkatan kelenjar adrenal (adrenalektomi), misalnya untuk menghilangkan tumor f. cacat genetik dengan kelenjar adrenal, yang berarti kelenjar tidak berkembang dengan baik atau tidak dapat menghasilkan hormon
2.2.3 Klasifikasi Klasifikasi/tipe Addisons disease diantaranya Mayo Clinic (2012) : 1. Insufisiensi adrenal primer Kegagalan kelenjar adrenal untuk memproduksi hormon adrenocortical adalah paling umum akibat dari tubuh menyerang dirinya sendiri (penyakit autoimun). Untuk alasan yang tidak diketahui, sistem kekebalan tubuh memandang korteks adrenal sebagai asing. Penyebab lain kegagalan kelenjar adrenal mungkin termasuk : Tuberkulosis, infeksi lain dari kelenjar adrenal, penyebaran kanker ke kelenjar adrenal, perdarahan ke kelenjar adrenal. 2. Insufisiensi adrenal sekunder Insufisiensi adrenal juga dapat terjadi jika kelenjar pituitari Anda terkena penyakit. Kelenjar pituitari produksi hormon yang disebut hormon adrenokortikotropik (ACTH), yang merangsang korteks adrenal untuk memproduksi hormon-hormon tersebut. Produksi yang tidak memadai dari ACTH dapat menyebabkan kurangnya produksi hormon biasanya diproduksi oleh kelenjar adrenal, meskipun kelenjar adrenal tidak rusak. Penyebab lain yang lebih umum dari insufisiensi adrenal sekunder terjadi ketika orang-orang yang mengkonsumsi kortikosteroid untuk pengobatan kondisi kronis, seperti asma atau radang sendi, namun tiba-tiba berhenti mengkonsumsi kortikosteroid. 3. Addisonian crisis Jika Addisons disease tidak diobati, krisis addisonian dapat terjadi karena stres fisik, seperti cedera, infeksi atau penyakit.
2.2.4 Patofisiologi Hipofungsi adrenokortikal menghasilkan penurunan level mineralokortikoid (aldosteron), glukokortikoid (cortisol), dan androgen. Penurunan aldosteron menyebabkan kebanyakan cairan dan ketidakseimbangan elektrolit. Secara normal, aldosteron mendorong penyerapan Sodium (Na+) dan mengeluarkan potassium (K+) (Hanberg, 2009). Penurunan aldosteron menyebabkan peningkatan ekskresi sodium, sehingga hasil dari rantai dari peristiwa tersebut antara lain: ekskresi air meningkat, volume ekstraseluler menjadi habis (dehidrasi), hipotensi, penurunan kardiak output, dan jantung menjadi mengecil sebagai hasil berkurangnya beban kerja. Akhirnya, hipotensi menjadi memberat dan aktivitas kardiovaskular melemah, mengawali kolaps sirkulasi, shock, dan kematian. (Hanberg, 2009) Meskipun tubuh mengeluarkan sodium berlebih, ini mempertahankan kelebihan potassium. Level potassium lebih dari 7 mEq/L hasil pada aritmia, memungkinkan terjadinya kardiak arrest (Hanberg, 2009). Penurunan glukokortikoid menyebabkan meluasnya gangguan metabolic. Ingat bahwa glukokortikoid memicu glukoneogenesis dan memiliki efek anti- insulin. Sehingga, ketika glukokortikoid menurun, glukoneogenesis menurun, sehingga hasilnya hipoglikemia dan penurunan glikogen hati. Klien menjadi 57
lemah, lelah, anorexia, penurunan BB, mual, dan muntah. Gangguan emosional dapat terjadi, mulai dari gejala neurosis ringan hingga depresi berat. Di samping itu, penurunan glukokortikoid mengurangi resistensi terhadap stress. Pembedahan, kehamilan, luka, infeksi, atau kehilangan garam karena diaphoresis berlebih dapat menyebabkan krisi Addison (insufisiensi adrenal akut). Akhirnya, penurunan kortisol menghasilkan kegagalan untuk menghambat sekresi ACTH dari pituitary anterior (Hanberg, 2009). MSH menstimulasi melanosit epidermal, yang menghasilkan melanin, pigmen warna gelap. Penurunan sekresi ACTH menyebabkan peningkatan pigmentasi kulit dan membrane mukosa. Sehingga klien dengan penyakit Addison memiliki peningkatan level ACTH dan warna keperakan atau kecokelatan pun muncul. (Hanberg, 2009) Defisiensi androgen gagal untuk menghasilkan beberapa macam gejala pada laki-laki karena testes menyuplai adekuat jumlah hormone seksual. Namun, pada perempuan tergantung pada korteks adrenal untuk mensekresi androgen secara adekuat (Hanberg, 2009). Hormon-hormon tersebut disekresi oleh korteks adrenal yang penting bagi kehidupan. Orang dengan penyakit Addison yang tidak diobati akan berakhir fatal. (Hanberg, 2009) Kerusakan pada korteks adrenal mempengaruhi insufisiensi kortisol yang menyebabkan hilangnya glukoneogenesis, glikogen hati menurun yang mengakibatkan hipoglikemia, insufisiensi kortisol mengakibatkan ACTH dan sehingga merangsang sekresi melanin meningkat sehingga timbul MSH hiperpigmentasi. (Hanberg, 2009) Pada sekitar 70% dari semua kasus, atrofi ini diduga terjadi karena adanya gangguan autoimun. Dalam gangguan autoimun, sistem kekebalan tubuh, bertanggung jawab untuk mengidentifikasi penyerbu asing seperti virus atau bakteri dan membunuh mereka, sengaja dimulai untuk mengidentifikasi sel-sel dari korteks adrenal sebagai asing, dan menghancurkan mereka. Pada sekitar 20% dari semua kasus, perusakan korteks adrenal disebabkan oleh tuberkulosis. Itu sisa kasus penyakit Addison dapat disebabkan oleh infeksi jamur, seperti histoplasmosis, coccidiomycosis, dan kriptokokosis, yang mempengaruhi adrenal kelenjar dengan memproduksi merusak, massa tumor seperti disebut Granuloma; penyakit amiloidosis disebut, di zat tepung yang disebut amiloid diendapkan pada abnormal tempat seluruh tubuh, mengganggu fungsi struktur kelenjar adrenal oleh kanker (Camera, 2011). Pada sekitar 75% dari semua pasien, penyakit Addison cenderung menjadi sangat bertahap, perlahan-lahan berkembang penyakit. gejala signifikan tidak dicatat sampai sekitar 90% dari korteks adrenal telah dihancurkan. Yang paling umum termasuk gejala kelelahan dan hilangnya energi, penurunan nafsu makan, mual, muntah, diare, sakit perut, penurunan berat badan, lemah otot, pusing ketika berdiri, dehidrasi, tidak biasa bidang gelap (pigmen) kulit, dan freckling gelap. Dalam penyakit ini, kulit pasien tampak berwarna perunggu, dengan penggelapan lapisan mulut, vagina, dan rektum, dan gelap pigmentasi daerah sekitar puting susu (aereola). Sebagai dehidrasi menjadi lebih parah, tekanan darah akan terus untuk drop dan pasien akan merasa semakin lemah dan pusing. Beberapa pasien memiliki gejala kejiwaan, termasuk depresi dan mudah tersinggung.Perempuan 58
kehilangan kemaluan dan rambut ketiak, dan berhenti setelah menstruasi normal periode (Camera, 2011). Ketika pasien menjadi sakit dengan infeksi, atau ditekankan oleh cedera, penyakit ini tiba-tiba dan kemajuan pesat, menjadi hidup mengancam. Gejala dari krisis "Addisonian" termasuk jantung abnormal irama, rasa sakit parah di punggung dan perut, tak terkendali mual dan muntah, penurunan drastis dalam darah tekanan, gagal ginjal, dan pingsan. Tentang 25% dari pasien penyakit semua Addison diidentifikasi karena terhadap perkembangan krisis Addisonian (Camera, 2011). 2.2.5 Manifestasi Klinik Penyakit Addison ditandai dengan gejala awal mendadak progresif lambat seperti kelelahan, anoreksia, kelemahan, mual dan muntah, berat badan turun, pigmentasi kutaneus dan mukosa, spektrum bervariasi, tergantung pada durasi dan derajat hipofungsi adrenal, dari keluhan kelelahan kronik ringan sampai syok fulminan. (Isselbacher, 2000).
Biasanya pada waktu stress dan fungsi adrenal menjadi lebih terganggu, kelemahan berkembang sampai pasien terus kelelahan, yang mengharuskan istirahat di tempat tidur (Isselbacher, 2000). Hiperpigmentasi mungkin mencolok, tetapi jika gejala ini tidak tampak tidak menyingkirkan diagnosis. Gejala ini biasanya nampak sebagai bagian yang menghitam seperti perunggu, coklat atau coklat terkena sinar matahari pada bagian yang terpajan dan tidak terpajan seperti siku, atau lipatan tangan dan area yang berpigmen normal seperti areola payudara. Bercak hitam kebiruan mungkin tampak pada membran mukosa. Beberapa pasien mempunyai bintik hitam dan area ireguler vitiligo tampak secara paradoksal. Sebagai tanda awal, pasien dapat Gb. 2.4 Tanda dan Gejala Addison Disease www. medicastore.com, 2012 59
memperhatikan warna kecoklatan yang menetap setelah terpajan sinar matahari. (Isselbacher, 2000).
Hipotensi arterial dengan aksentuasi postural sering terjadi dan tekanan darah 80/50 atau kurang. Hipotensi ortostatik terjadi karena status cairan sedikit akibat defisiensi aldosteron. (Isselbacher, 2000). Abnormalitas fungsi gastrointestinal sering merupakan keluhan yang muncul. Gejala bervariasi dari anoreksia ringan dengan berat badan turun sampai nausea fulminan, vomitus, diare dan nyeri abdomen, yang mungkin sangat parah sehingga diragukan dengan abdomen akut. Selain itu pasien sering mengalami perubahan kepribadian, biasnya iritabilitas eksesif dan resah. Rambut pubis dan aksilaris mungkin berkurang pada perempuan akibat hilangnya produksi adrogen adrenal (Isselbacher, 2000).
Tabel 2.4 Manifestasi Klinik Addison Disease Symptom, Sign, or Laboratory Finding Frequency (%) SYMPTOM Weakness, tiredness, fatigue 100 Anorexia 100 Gastrointestinal symptoms 92 Nausea 86 Gb 2.5 Pigmentasi pada penyakit Addison. A, Tangan seorang wanita 18 tahun dengan sindrom polyendocrine autoimun dan penyakit Addison. Pigmentasi pada pasien dengan penyakit Addison sebelum (B) dan sesudah (C) pengobatan dengan hidrokortison dan fludrocortisone. Perhatikan keberadaan tambahan vitiligo. D, perubahan serupa juga terlihat pada seorang pria 60 tahun dengan penyakit tuberkulosis Addison sebelum dan setelah terapi kortikosteroid. E, bukal pigmentasi pada pasien yang sama. (B dan C milik Profesor C.R.W. Edwards.) www. WilliamsTextbookofEndocrinol ogy.com 60
Vomiting 75 Constipation 33 Abdominal pain 31 Diarrhea 16 Salt craving 16 Postural dizziness 12 Muscle or joint pains 6-13 SIGN Weight loss 100 Hyperpigmentation 94 Hypotension (<110 mm Hg systolic) 88-94 Vitiligo 10-20 Auricular calcification 5
2.2.6 Epidemiologi Di Amerika Serikat, penyakit addison terjdai pada 40-60 kasus per satu juta penduduk. Secara global, penyakit addison jarang terjadi. Bahkan hanya negara-negara tertentu yang memiliki data prevalensi dari penyakit ini. Prevalensi di Inggris Raya adalah 39 kasus per satu juta populasi dan di Denmark mencapai 60 kasus per satu juta populasi (Gugum, 2011). Mortalitas/morbiditas terkait dengan penyakit addison biasanya karena kegagalan atau keterlambatan dalam penegakkan diagnosis atau kegagalan untuk melakukan terapi pengganti glukokortikoid dan mineralokortikoid yang adekuat. Jika tidak tertangani dengan cepat, krisis addison akut dapat mengakibatkan kematian. Ini mungkin terprovokasi baik secara de novo, seperti oleh perdarahan kelenjar adrenal, maupun keadaan yang menjadi penyerta pada insufisiensi adenokortikal kronis atau yang tidak terobati secara adekuat (Gugum, 2011). Dengan onset lambat penyakit addison kronik, kadar yang rendah signifikan, non spesifik, tapi melemahkan, maka gejala dapat terjadi. Bahkan setelah diagnosis dan terapi, risiko kematian lebih dari 2 kali lipat lebih tinggi dengan penyakit addison. Penyakit kardiovaskuler, keganasan dan penyakit infeksi bertanggung jawab atas tingginya angka kematian (Gugum, 2011). www. WilliamsTextbookofEndocrinology.com 61
Penyakit addison predileksinya tidak berkaitan dengan ras tertentu. Sedangkan penyakit addison idiopatik autoimun cenderung lebih sering pada wanita dan anak-anak (Gugum, 2011). Usia paling sering pada penderita addison disease adalah orang dewasa antara 30-50 tahun. Tapi, penyakit ini tidak dapat timbula lebih awal pada pasien dengan sindroma polyglanduler autoimun, congenital adrenal hyperplasia (CAH), atau jika onset karena kelainan metabolisme rantai panjang asam lemak (Gugum, 2011).
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang Pada fase awal destruksi adrenal bertahap, tidak terdapat kelainan pada parameter laboratorium rutin, tetapi cadangan adrenal berkurang, seperti keluaran steroid basal mungkin normal, tetapi peningkatan subnormal terjadi setelah stress. Berikut hasil pemeriksaan diagnostik yang dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit Addison (Doenges, 2000) : a) Kadar hormon - Kortisol plasma : menurun dengan tanpa respons pada pemberian ACTH secara IM (primer) atau ACTH secara IV. - ACTH : meningkat secara mencolok (pada primer) atau menurun (sekunder). - ADH : meningkat. - Aldosteron : menurun. b) Elektrolit : kadar dalam serum mungkin normal atau natrium sedikit menurun sedangkan kalium sedikit meningkat. Walaupun demikian, natrium dan kalium yang abnormal dapat terjadi sebagai akibat tidak adanya aldosteron dan kekurangan kortisol (mungkin sebagai akibat dari krisis). c) Glukosa : hipoglikemia. d) Ureum/kreatinin : mungkin meningkat (karena terjadi penurunan perfusi ginjal). e) Analisa gas darah : asidosis metabolik. f) Sel darah merah : normositik, anemia normokromik (mungkin tidak nyata/terselubung dengan penurunan volume cairan) dan hematokrit meningkat (karena hemokonsentrasi). Jumlah limfosit mungkin rendah, eosinofil meningkat. g) Urine (24 jam) : 17-ketosteroid, 17-hidroksikortikoid, 17-ketogenik steroid menurun. Kadar kortisol bebas menurun. Catatan : kegagalan dalam pencapaian atau peningkatan kadar steroid urie setelah pemeriksaan dengan pemberian ACTH merupakan indikasi dari penyakit Addison primer (atrofi kelenjar adrenal yang permanen), walaupun peningkatan kadar (ACTH) memberikan kesan penyebab supresi hormon sekunder. Natrium urine meningkat. h) Sinar X : jantung kecil, klasifikasi kelenjar adrenal, atau TB mungkin akan ditemukan.
2.2.8 Penatalaksanaan Semua pasien dengan penyakit Addison harus menerima penggantian hormon spesifik. Karena kelenjar adrenal menunjukkan 3 kelas hormon umum, diantaranya glukokortikoid dan mineralokortikoid mempunyai kepentingan klinis primer, terapi penggantian harus mengkoreksi kedua defisiensi. Kortison (atau kortisol) adalah terapi utama. Dosis kortison bervariasi dari 12,5 sampai 50 mg/hari, dengan mayoritas pasien menerima 25 sampai 37,5 mg dalam dosis terbagi. Kortisol 30 mg/hari atau prednison 7,5 mg/hari dalam dosis terbagi juga dapat diberikan untuk terapi pengganti. Pasien dianjurkan menerima penggantian terapi pengganti glukokortikoid dengan makanan atau jika tidak praktis dengan susu atau antasid karena obat mungkin meningkatkan adisitas lambung. Hal ini penting karena jika steroid secara biologis aktif seperti kortisol, prednisolon, dan deksametason, dapat menggunakan efek lokal pada mukosa lambung. Selain itu, proporsi dosis yang lebih besar (seperti 25 mg kortison) diminum pada pagi hari, dan sisanya (12,5 mg kortison) diminum pada malam hari untuk merangsang irama adrenal diurnal normal. Beberapa pasien memperlihatkan insomnia, iritabilitas dan rangsangan mental setelah awal terapi, pada keadaan ini dosis harus dikurangi. Indikasi lain untuk dosis yang lebih kecil adalah hipertensi, diabetes mellitus atau tuberkulosis aktif. (Isselbacher, 2000) Jika jumlah kortison atau kortisol gagal menggantikan komponen mineralokortikoid kelenjar adrenal, hormon suplementasi biasanya diperlukan. Suplemen ini dilengkapi dengan pemberian fludrokortison oral harian dengan dosis 0,05 sampai 0,1 mg. Pasien harus juga diinstruksikan untuk menerima asupan natrium yang cukup (3 sampai 4 g/hari). Adekuasi terapi mineralokortikoid dapat dinilai dengan pengukuran tekanan darah dan elektrolit www. WilliamsTextbookofEndocrinology.com 63
serum, tekanan darah normal dan tanpa perubahan posisi, kadar nitrogen urea, kreatinin, kalium, natrium serum harus juga normal (Isselbacher, 2000).
Tabel 2.6 Jadwal terapi steroid untuk pasien Addisonian yang menjalani operasi mayor Infus kortisol, kontinu, mg/jam Kortisol (oral) Fludrokortison (oral), 8 pagi 8 pagi 3 sore Terapi harian rutin Sehari sebelum operasi Hari operasi Paska operasi : - Hari ke-1 - Hari ke-2 - Hari ke-3 - Hari ke-4 - Hari ke-5 - Hari ke-6 - Hari ke-7
10
5-7,5 2,5-5 2,5-5 atau 2,5-5 atau 20 20
40 40 40 20 20 10 10
20 20 20 20 10 0,1 0,1
0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 Isselbacher, Kurt et al. 2000. Harrison Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC Tabel 2.7 Penatalaksanaan Addison Disease Kolaborasi Keperawatan (HE)
1. Glukokortikoid harian (hidrokortison) penggantian (dua per tiga di pagi hari, sepertiga di sore hari 2. Mineralkortikoid harian (fludrocortisone) di pagi hari 3. aditif garam untuk kelebihan panas atau kelembaban 4. Peningkatan dosis kortisol untuk situasi buruk (pembedahan atau rawat inap)
1. gejala overdosis dan underdosis 2. kondisi yang memerlukan peningkatan obat (trauma, infeksi, pembedahan, krisis emosional) 3. Untuk mengambil tindakan relatif terhadap perubahan dalam pengobatan peningkatan dosis corticosteroid pemberian dosis besar intramuskuler kortikosteroid, termasuk demonstrasi dan kembali demonstrasi konsultasi dengan penyedia layanan kesehatan 4. pencegahan infeksi dan kebutuhan pengobatan yang tepat dan kuat infeksi yang ada 5. perlu untuk terapi penggantian hormon (kortikosteroid) seumur hidup 6. perlu untuk pengawasan medis seumur hidup 7. perlu untuk perangkat identifikasi medis Camera, Ian. M. 2011. Medical Surgical Nursing : Assessment and Management of Clinical Problems. Elsevier : Missouri 64
2.2.9 Komplikasi Pasien dengan insufisiensi adrenal berisko tinggi menjadi krisis Addison, dimana keadaan ini mengancam jiwa karena insufisiensi hormone adrenokortikol atau penurunan mendadak hormone ini(Camera,2011). Pemicu Krisis Addison menurut Camer (2011) adalah : 1. Stress Contohnya seperti infeksi, pembedahan, trauma, perdarahan, atau distress psikologi. 2. Penggantian mendadak terapi hormone kortikosteroid Dimana sering sekali terjadi pada pasien yang kurang pengetahuan tentang penggantrian terapi. 3. Setelah pembedahan adrenal 4. Kerusakan kelenjar pitiutari
Terjadinya krisis adrenal, gejala dari penurunan glukokortikoid dan mineral kortikoid hipotensi, takikardi, dehidrasi, hiponatremi, hiperkalemia, hipoglikemia, demam, kelemahan, kebingungan. Hipotensi bisa menyabakan syok. Kolaps berhubungan dengan insufisiensi adrenal sering terjadi karena tidak ada respon dari penggantian pengobatan (vasopresan dan penggantian cairan). Gejala dari saluran pencernaan bisanya terjadi muntah, diare, nyeri abdomen. Nyeri mungkin juga terjadi di punggung bawah atau kaki (Camera,2011). Krisis adrenal sering terjadi pada keadaan klinis seperti tercantum. Seperti telah disinggung pada pasien ddengan insufisiensi adrenokoterks kronis dapat mengalamai krisis akut setelah stress apapun yang menguras cadangan fisiologik mereka yang terbatas. Pasien yang mendapatkan terapi pemeliharaan kortikosteroid eksopgen, penghen tian mendadak kortikosteroid atau kegagalan meningkat dosis steroid sebagai respon terhadap suatu stres akut dapat memicu krisis adrenal serupa karena ketidakmampuan adrenal yang atrofik untuk menghasilkan hormone glukokortikoid (Kumar, 2007). Perdarahan adrenal massif dapat menghancurkan korteks adrenal sedemikian banyak sehingga terjadi insufisiensi adrenal korteks akut. Keadaan ini dapat terjadi pada pasien yang mendapat terapi pemeliharaan antikoagulan, pada pasien pasca operasi yang mengalami koagulasi intravaskuler diseminata, selama kehamilan, dan pada pasien yang menderita sepsis berat (syndrome waterhouse- friderichsen). syndrome waterhouse- friderichsen adalah perdarahan adrenal hebat dengan sepsis berat yang mengakibatkan Krisis adrenal. Pathogenesis syndrome ini belum jelas tetapi kemungkinan berkaitan denngan cedera vaskuler akibat endotoksin disertai koagulasi intravaskuler diseminata (Kumar, 2007). Syndorm katastrortik ini secara klasik dikaitkan dengan septicemia neurameningitis, tetapi juga dapat disebakan oleh organism lain, termasuk sepsis psedomnonas, pneumokokus, dan hemofilis influenza (Camera,2011). 1. Hiponatremia Hiponatremia (natrium dalam serum rendah) merupakan akibat logis dari gangguan reabsorbsi natrium dalam tubulus ginjal (Guyton & hall. 2008). Pada penyakit Addison kelenjar adrenal, hiponatremia diakibatkan oleh hilangnya 65
natrium ke dalam urin (akibat defisiensi aldosteron) dan gerakan menuju kompartemen intraseluler (Isselbacher, 2000). 2. Hiperkalemia Hiperkalemia diakibatkan oleh kombinasi defisiensi aldosteron, gangguan filtrasi glomeruler, dan asidosis (Isselbacher, 2000). Kelenjar adrenal tidak dapat menghasilkan hormon yang merangsang pembuangan kalium oleh ginjal dalam jumlah cukup sehingga sering menyebabkan hiperkalemia (Guyton & hall. 2008). 3. Diabetes mellitus Terapi glukokortikoid yang lama dapat menunjukkan atau memperburuk diabetes mellitus. Adanya diabetes mellitus atau gangguan toleransi glukosa dapat mempengaruhi keputusan untuk memberikan terapi hormon adrenal (Isselbacher, 2000). 4. Syok hipovolemik Defisiensi aldosteron dimanifestasikan dengan peningkatan kehilangan natrium melalui ginjal dan peningkatan reabsorpsi kalium oleh ginjal, kekurangan garam dapat dikaitkan dengan kekurangan air dan volume, sehingga hal tersebut dapat mengakibatkan syok hipovolemik (Guyton & hall. 2008).
2.2.10 Asuhan Keperawatan a. Pengkajian AKTIVITAS/ISTIRAHAT Gejala : Lelah, nyeri/kelemahan pada otot (terjadi perburukan setiap hari). Tidak mampu beraktivitas atau bekerja. Tanda : Peningkatan denyut jantung/denyut nadi pada aktivitas yang minimal. Penurunan kekuatan dan rentang gerak sendi. Depresi, gangguan konsentrasi, penurunan inisiatif/ide. Letargi. SIRKULASI Tanda : Hipotensi termasuk hipotensi postural Takikardia, disritmia, suara jantung melemah. Nadi perifer melemah. Pengisian kapiler memanjang. Ekstremitas dingin, cyanosis, dan pucat. Membran mukosa hitam keabu- abuan (peningkatan pigmentasi). INTEGRITAS EGO Gejala : Adanya riwayat faktor stress yang baru dialami, termasuk sakit fisik/pembedahan, perubahan gaya hidup. Ketidakmampuan mengatasi stress. Tanda : Ansietas, peka rangsang, depresi, emosi tidak stabil. ELIMINASI 66
Gejala : Diare sampai dengan adanya konstipasi. Kram abdomen. Perubahan frekuensi dan karakteristik urine. Tanda : Diuresis yang diikuti dengan oliguria. MAKANAN/CAIRAN Gejala : Anoreksia berat (gejala utama), mual/muntah. Kekurangan zat garam. Berat badan menurun dengan cepat. Tanda : Turgor kulit jelek, membran mukosa kering. NEUOSENSORI Gejala : Pusing, sinkope (pingsan sejenak), gemetar. Sakit kepala yang berlangsung lama yang diikuti oleh diaforesis. Kelemahan otot. Penurunan toleransi terhadap keadaan dingin atau stress. Kesemutan/lemah. Tanda : Disorientasi terhadap waktu, tempat dan ruang (karena kadar natrium rendah), letargi, kelelahan mental, peka rangsang, cemas, koma (dalam keadaan krisis). Parastesia, paralisis, astenia (pada keadaan krisis). Rasa kecap/penciuman berlebihan, ketajaman pendengaran meningkat. NYERI/KENYAMANAN Gejala : Nyeri otot, kaku perut, nyeri kepala. Nyeri tulang belakang, abdomen, ekstremitas (pada keadaan krisis). PERNAPASAN Gejala : Dispnea. Tanda : Kecepatan pernapasan meningkat, takipnea. Suara nafas ronkhi pada keadaan infeksi KEAMANAN Gejala : Tidak toleran terhadap panas. Tanda : Hiperpigmentasi kulit (coklat, kehitaman karena kena sinar matahari atau hitam seperti perunggu) yang menyeluruh atau berbintik-bintik. Peningkatan suhu ; demam yang diikuti dengan hipotermia (keadaan krisis). Otot menjadi kurus. Gangguan tidak mampu berjalan. 67
SEKSUALITAS Gejala : Adanya riwayat menopause dini, amenorea. Hilangnya tanda-tanda seks sekunder (misal : berkurangnya rambut- rambut pada tubuh) terutama pada wanita. Hilangnya libido. PENYULUHAN/PEMBELAJARAN Gejala : Adanya riwayat keluarga DM, TB, kanker. Adanya riwayat tidoiditis, DM, TB, anemia pernisiosa. Pertimbangan rencana pemulangan : Membutuhkan bantuan dalam hal obat, aktivitas sehari-hari (Doenges, 2000) b. Diagnosa 1. Kekurangan volume cairan b.d kekurangan natrium dan kehilangan cairan melalui ginjal, kelenjar keringat, saluran gastrointestinal (karena kekurangan aldosteron). 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d defisiensi glukokortikoid. 3. Intoleransi aktivitas b.d kelelahan akibat penurunan produksi metabolisme; ketidakseimbangan cairan, elektrolit dan glukosa. 4. Resiko terhadap penurunan curah jantung b.d menurunnya aliran darah vena/volume sirkulasi; berubahnya kecepatan, irama dan konduksi jantung (akibat ketidakseimbangan elektrolit). 5. Resiko tinggi harga diri rendah b.d adanya kondisi fisik yang memerlukan terapi sepanjang hidup; perubahan pada pigmentasi kulit. 6. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis, dan pengobatan b.d kurang pemajanan; kesalahan interpretasi informasi; keterbatasan kognitif. (Doenges, 2000)
c. Intervensi DX KEP. INTERVENSI RASIONAL 1. Kekurangan volume cairan b.d kekurangan natrium dan kehilangan cairan melalui ginjal, kelenjar keringat, saluran gastrointestinal (karena kekurangan 1. Kaji riwayat yang berhubungan dengan lama, intensitas dari gejala yang muncul seperti : muntah, pengeluaran urine berlebih. 2. Pantau tekanan darah, catat perubahan TD pada perubahan posisi, kekuatan nadi perifer. 1. Membantu memperkirakan penurunan volume total cairan. 2. Hipotensi postural merupakan bagian hipovolemia akibat kekurangan hormon aldosteron dan penurunan curah jantung sebagai akibat penurunan kortisol. Nadi mungkin 68
aldosteron). 3. Kaji pasien mengenai adanya rasa haus, kelelahan, nadi cepat, pengisian kapiler memanjang, turgor kulit jelek, membran mukosa kering. 4. Anjurkan cairan oral diatas 3000ml/hari sesegera mungkin sesuai dengan kemampuan klien. 5. Observasi adanya tanda- tanda kelelahan, krekels, edema, peningkatan frekuensi jantung. 6. Kolaborasi pemberian cairan NaCl 0,9% dan larutan glukosa. 7. Pasang kateter urine dan NGT sesuai indikasi. 8. Pantau pemeriksaan laboratorium (ureum/kreatinin). melemah/hilang. 3. Untuk mengindikasikan berlanjutnya hipovolemia dan mempengaruhi kebutuhan volume pengganti. 4. Adanya perbaikan pada saluran cerna dan kembalinya fungsi saluran cerna tersebut memungkinkan untuk memberikan cairan dan elektrolit melalui oral. 5. Penggantian cairan yang cepat dapat menimbulkan GJK pada adanya regangan jantung. 6. Dengan memberikan cairan NaCl 0,9% melalui IV sebanyak 500- 1000ml/jam dapat mengatasi kekurangan natrium. Larutan glukosa untuk menghilangkan hipoglikemia. 7. Memfasilitasi pengukuran haluaran yang akurat. 8. Peningkatan kadar ureum dan kreatinin merupakan indikasi terjadinya kerusakan tingkat sel karena dehidrasi. 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d defisiensi glukokortikoid.
1. Auskultasi bising usus dan kaji apakah ada nyeri perut, mual, muntah. 2. Catat adanya kulit dingin/basah, perubahan tingkat kesadaran, nadi cepat, nyeri kepala sempoyongan. 3. Pantau pemasukan makanan dan timbang berat badan. 4. Catat muntah 1. Kekurangan kortisol dapat menyebabkan gejala gastrointestinal berat yang mempengaruhi pencernaan dan absorbsi makanan. 2. Gejala hipoglikemia dengan timbulnya tanda tersebut mungkin perlu pemberian glukosa dan mengindikasi pemberian tambahan glukokortikoid. 3. Anoreksia, kelemahan dan kehilangan pengaturan metabolisme oleh kortisol 69
mengenai jumlah kejadian, atau karakteristik lainnya. 5. Berikan informasi mengenai menu pilihan. 6. Kolaborasi memberikan glukosa IV dan obat-obatan sesuai indikasi. 7. Kolaborasi pemberian glukokotikoid. terhadap makanan dapat mengakibatkan mal nutrisi. 4. Menentukan derajat absorpsi makanan. 5. Menu yang disukai dapat merangsang nafsu makan. 6. Memperbaiki hipoglikemia. 7. Merangsang glukoneogenesis. 3. Intoleransi aktivitas b.d kelelahan akibat penurunan produksi metabolisme; ketidakseimbanga n cairan, elektrolit dan glukosa.
1. Diskusikan tingkat kelemahan klien dan identifikasi aktivitas yang dapat dilakukan klien. 2. Pantau tanda vital sebelum dan setelah melakukan aktivitas. Observasi adanya takikardi, hipotensi, dan perifer yang dingin. 3. Diskusikan kebutuhan aktivitas dan rencanakan jadwal aktivitas dengan klien. Identifikasi aktivitas yang dapat menyebabkan kelelahan. 4. Sarankan pasien untuk menentukan masa/periode antara istirahat dan melakukan aktivitas. 5. Diskusikan cara menghemat tenaga, misal lebih baik beraktivitas sambil duduk dari pada berdiri. 1. Pasien biasanya telah mengalami penurunan tenaga, kelelahan otot. 2. Kolapsnya sirkulasi dapat terjadi sebagai akibat stress aktivitas jika curah jantung berkurang. 3. Memberikan harapan bahwa kemampuan untuk melakukan aktivitas yang baik akan kembali seperti semula. 4. Mengurangi kelelahan dan mencegah ketegangan pada jantung. 5. Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan mengurangi pengeluaran tenaga pada setiap kegiatan yang dilakukannya.
70
2.3 Krisis Adrenal 2.3.1 Definisi Krisis Adrenal (juga dikenal sebagai krisis Addisonian, insufisiensi adrenal akut) adalah konstelasi gejala yang mengindikasikan insufisiensi adrenal parah yang disebabkan oleh kadar cukup kortisol (ULCA, 2004). Ini mungkin hasil baik yang sebelumnya tidak terdiagnosis atau penyakit yang tidak diobati Addison, proses penyakit tiba-tiba mempengaruhi fungsi adrenal (seperti perdarahan adrenal), atau masalah kambuhan (misalnya infeksi, trauma) pada seseorang diketahui memiliki penyakit Addison. Ini adalah keadaan darurat medis dan berpotensi situasi yang mengancam jiwa yang memerlukan perawatan darurat (ULCA, 2004).
2.3.2 Epidemiologi Insidensi dari krisis adrenal sangat jarang yaitu : sekitar 4 dari 100.000 orang (Kirkland, 2006)
2.3.3 Etiologi Menurut Kummar, dkk (2007), penyebab terjadinya insufisiensi akut ini dikarenakakn beberapa hal, antara lain : a. Sindrom Waterhouse-Friderichsen Perdarahan adrenal massif dapat menghancurkan korteks adrenal sedemikian banyak sehingga terjadi insufisiensi adrenal korteks akut. Keadaan ini dapat terjadi pada pasien yang mendapat terapi pemeliharaan antikoagulan, pada pasien pasca operasi yang mengalami koagulasi intravaskuler diseminata, selama kehamilan, dan pada pasien yang menderita sepsis berat (syndrome waterhouse- friderichsen). syndrome waterhouse- friderichsen adalah perdarahan adrenal hebat dengan sepsis berat yang mengakibatkan Krisis adrenal. Pathogenesis syndrome ini belum jelas tetapi kemungkinan berkaitan denngan cedera vaskuler akibat endotoksin disertai koagulasi intravaskuler diseminata (Kumar, 2007). b. Penghentian mendadak terapi kortikosteroid jangka panjang Pasien yang mendapatkan terapi pemeliharaan kortikosteroid eksopgen, penghen tian mendadak kortikosteroid atau kegagalan meningkat dosis steroid sebagai respon terhadap suatu stres akut dapat memicu krisis adrenal serupa karena ketidakmampuan adrenal yang atrofik untuk menghasilkan hormone glukokortikoid (Kumar, 2007) c. Stres pada pasien yang sudah mengidap insufisiensi adrenal kronis Krisis adrenal sering terjadi pada keadaan klinis seperti tercantum. Seperti telah disinggung pada pasien ddengan insufisiensi adrenokoterks kronis dapat mengalamai krisis akut setelah stress apapun yang menguras cadangan fisiologik mereka yang terbatas. (Kumar, 2007)
Pemicu Krisis Addison menurut Camer (2011) adalah : 1. Stress Contohnya seperti infeksi, pembedahan, trauma, perdarahan, atau distress psikologi. 71
Gb. 2.6 Pathway Krisis Addison http://pages.zdnet.com/nana200 3/id129,html 2. Penggantian mendadak terapi hormone kortikosteroid Dimana sering sekali terjadi pada pasien yang kurang pengetahuan tentang penggantrian terapi. 3. Setelah pembedahan adrenal 4. Kerusakan kelenjar pitiutari
2.3.4 Patofisiologi
Kortek adrenal memproduksi 3 hormon steroid yaitu hormon glukokortikoid (kortisol), mineralokortikoid (aldosteron, 11-deoxycoticosterone) dan androgen (dehydroepiandrosterone). Hormon utama yang penting dalam kejadian suatu krisis adrenal adalah produksi dari kortisol dan adrenal aldolteron yang sangat sedikit (McPhee SJ, 2003) Kortisol meningkatkan glukoneogenesis dan menyediakan zat - zat melalui proteolisis, penghambat sintesis protein, mobilisasi asam lemak,dan meningkatkan pengambilan asam amino di hati. Kortisol secara tidak langsung meningkatkan sekresi insulin untuk mengimbangi hiperglikemi tetapi juga menurunkan sensitivitas dari insulin. Kortisol juga mempunyai efek anti inflamasi untuk mestabilkan lisosom, menurunkan respon leukositik dan menghambat produksi sitokin. Aktivitas fagositik dipertahankan tetapi sel mediated imunity hilang pada keadaan kekurangan kortisol dan mensupresi sintesis adrenokortikotropik hormon ( ACTH) (Joan Hoffman,2002). Aldosteron di keluarkan sebagai respon terhadap stimulasi dari angiotensin II melalui system renin angiotensin, hiperkalemi, hiponatremi dan antagonis dopamin. Efek nya pada target organ primer. Ginjal meningkatkan reabsorpsi dari 72
natrium dan sekresi dari kalium dan hidrogen. Mekanismenya masih belum jelas, peningkatan dari natrium dan kalium mengaktivasi enzim adenosine triphosphatase ( Na/K ATPase) yang bertangung jawab untuk trasportasi natrium dan juga meningkatkan aktivitas dari carbonic anhidrase, efek nya adalah meningkatkan volume intravaskuler. System renin angiotensin-aldosteron tidak dipengaruhi oleh glukokortikoid eksogen dan kekurangan ACTH mempuyai efek yang sangat kecil untuk kadar aldosteron kekurangan hormon adrenokortikal menyebabkan efek yang berlawanan dengan hormon ini dan menyebabkan gejala klinis yang dapat ditemukan pada krisis adrenal. (McPhee SJ, 2003)
2.3.5 Manifestasi Klinik Gambaran klinis berhubungan dengan tingkat onset dan keparahan kekurangan adrenal. Dalam banyak kasus, penyakit ini memiliki onset berbahaya dan diagnosis hanya dibuat ketika pasien menyajikan dengan krisis akut selama penyakit kambuhan. Insufisiensi adrenal akut atau krisis adrenal atau Addisonian adalah keadaan darurat medis yang bermanifestasi sebagai hipotensi dan kegagalan sirkulasi akut. Anoreksia mungkin merupakan gambaran awal, yang berkembang menjadi mual, muntah, diare, dan, kadang-kadang sakit perut. Demam mungkin hadir dan hipoglikemia dapat terjadi. Pasien menyajikan akut dengan perdarahan adrenal memiliki hipotensi, perut, panggul atau nyeri dada yang lebih rendah, anoreksia, dan muntah. Kondisi ini sulit untuk mendiagnosa tetapi bukti perdarahan okultisme (jatuh cepat hemoglobin), hiperkalemia progresif, dan shock harus waspada dokter untuk diagnosis (www.WilliamsTextbookOfEndocrinology.com). Tabel 2.7 Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Diagnostik Krisis Adrenal Manifestasi Klinis Krisis Adrenal Defisiensi Aldosteron Hiperkalemi Hiponatremi Hipovolemi BUN
Defisiensi Kortisol Hipoglikemi bising usus Tanda dan Gejala Anoreksia Mual muntah Diare Takikari Hipotensi Ortostatik Sakit Kepala Fatigue 73
tonus vaskuler Hiperkalsemi Camera, Ian. M. 2011. Medical Surgical Nursing : Assessment and Management of Clinical Problems. Elsevier : Missouri 2.3.6 Pemeriksaan Penunjang 1. Kadar Glukosa Data laboratorium memperlihatkan kadar glukosa darah yang rendah. Biasanya kadar natrium plasma juga rendah tetapi jarang dibawah 120 meq/L dan kadar kalium dalah meningkat, tetapi jarang diatas 7 meq.L. Penderita biasanya mengalami asidosis dengan kadar bikarbonat plasma antara 15-20 meq /L. Kadar ureum juga meningkat (Kirkland, 2005). 2. Kadar ACTH dan Kortisol Kemungkinan diagnosa juga dapat di lihat dari adanya eosinofilia dan limpositosis pada SADT, dan adanya gangguan kadar serum tiroid 4. Diagnosa paling spesifik yaitu dengan memeriksa kadar ACTH dan kortisol, jika terdapat banyak waktu. Serum kotisol biasanya kadarnya kurang dari 20 mcg/dl tetapi kita dapat menunggu untuk melakukan pemeriksaan ini bila pasien sudah dapat distabilkan. Jika akan dilakukan test untuk menstimulasi ACTH setelah memulai stess dose steroid, pastikanlah steroid sudah diganti ke dexametason karena tidak akan mempengaruhi test (Martin, 2008). Cara melakukan ACTH test adalah pertama tetapkan kadar kortisol plasma baseline, kemudian berikan ACTH 250 mcg intavena yang diberi tekanan kemudian pantau serum kortisol 30-60 menit setelah diberikan ACTH. Kenaikan kurang dari 9 mcg dapat dipikirkan sebagai insuficiensi adrenal. Pada foto thorax harus dicari tanda tanda tuberculosis, histoplasmosis, keganasan, sarkoid dan lymphoma (Hoffman, 2002). 3. CT Scan Pada pemeriksaan CT scan abdomen menggambarkan kelenjar adrenal mengalami perdarahan, atropi, gangguan infiltrasi, penyakit metabolik. Perdarahan adrenal terlihat sebagai bayangan hiperdens, dan terdapat pembesaran kelenjar adrenal yang bilateral (Hoffman, 2002). 4. EKG Pada pemeriksaan EKG mempelihatkan adanya pemanjangan dari interval QT yang dapat mengakibatkan ventikular aritmia, gelombang t inverted yang dalam dapat terjadi pada akut adrenal krisis (Hoffman, 2002). Pemeriksaan histologis tergantung dari penyebab kegagalan adrenal. Pada kegagalan adrenokotikal yang primer, terlihat gambaran infeksi dan penyakit infiltratif.Pada kegagalan adrenokotikal yang sekunder dapat menyebabkan atrofi 74
kelenjar adrenal. Gambaran dari perdarahan adrenal bilateral mungkin hanya ditemukan gambaran darah saja (Hoffman, 2002).
2.3.7 Penatalaksanaan Tujuan immadiate terapi adalah untuk mengelola teh hormon yang diperlukan dan mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit. Hidrokortison, 100 mg intravena, diberikan segera, diikuti oleh 100 mg setiap 6 sampai 8 jam. Resusitasi cairan juga segera dengan normal saline dan larutan dekstrosa 5%. Tingkat penggantian cairan dan elektrolit oleh tingkat deplesi volume, kadar elektrolit serum, dan respon klinis terhadap terapi (Morton, et al, 2009). Masalah medis atau bedah yang terkait dapat mengindikasikan kebutuhan untuk tekanan darah invasif dan pemantauan hemodinamik. Tujuan manajemen lain adalah untuk mencegah komplikasi. Ini termasuk tanda dan gejala ketidakseimbangan elektrolit (hiponatremi dan hiperkalsemi). Monitor pernafasan dan fungsi kardiovaskuler. Perawat mencari perubahan tekanan darah, denyut jantung dan irama, warna kulit dan temprature, CRT, dan CVP. Ini adalah risiko hipotensi ortostatik, bradikardia, dan dysrthmias. Perawat juga memantau tanda neuromuskuler, seperti kelemahan, berkedut, neuromuskuler, dan parasthesia (Morton, et al, 2009). Dukungan emosional, penjelasan sederhana, dan lingkungan yang cukup efektif dalam membantu pasien secara emosional melalui krisis fisiologis. Setelah krisis akut berakhir, pendidikan pasien adalah tujuan perawatan. Pasien pendidikan sangat diperlukan karena prognosis akhir tergantung pada kemampuan pasien untuk memahami dan menindaklanjuti dengan perawatan diri. Perawatan diri termasuk mengetahui rejimen pengobatan, faktor stres dan efeknya pada penyakit, dan tanda-tanda krisis yang akan datang, mengenakan tanda medis tag atau gelang, atau membawa kartu dompet, dan minum obat yang diresepkan (Morton, et al, 2009). Krisis adrenal , pasien membutuhkan suntikan langsung dari hidrokortison melalui pembuluh darah ( intravena ) atau otot ( intramuskular ) . Anda mungkin menerima cairan infus jika Anda memiliki tekanan darah rendah . Anda akan perlu pergi ke rumah sakit untuk perawatan dan pemantauan . Jika infeksi yang disebabkan krisis , Anda mungkin perlu terapi antibiotik(ULCA).
Terapi Kolaboratif menurut Huetther (2005) : 1. Cairan isotonik seperti NaCl 9% diberikan untuk menambah volume dan garam. 2. Jika penderita hipoglikemi dapat di berikan cairan dextrose 50% 3. Steroid IV secepatnya : dexametason 4 mg atau hydrokortisone 100 mg. 4. Setelah penderita stabil lanjutkan dengan dexametasone 4 mg IV tiap 12 jam atau hydrokortison 100 mg IV tiap 6-8 jam. 5. Obati penyakit dasarnya seperti infeksi dan perdarahan, untuk infeksi dapat diberikan antibiotik. 75
6. Untuk meningkatkan tekanan darah dapat diberikan dopamin atau norepineprin. 7. Terapi pengganti mineralokortikoid dengan fludricortisone
2.3.8 Asuhan Keperawatan Krisis Addison
a. Pengkajian Intervensi AKTIVITAS/ISTIRAHAT Gejala : Lelah, nyeri/kelemahan pada otot. Tidak mampu beraktivitas atau bekerja. Tanda : Takikardi, Penurunan kekuatan dan rentang gerak sendi. Letargi. SIRKULASI Tanda : Hipotensi postural Takikardia, disritmia, suara jantung melemah. Nadi perifer melemah. Pengisian kapiler memanjang. Ekstremitas dingin, cyanosis, dan pucat INTEGRITAS EGO Gejala : Adanya riwayat faktor stress yang baru dialami, termasuk sakit fisik/pembedahan, perubahan gaya hidup. Ketidakmampuan mengatasi stress. Tanda : Ansietas ELIMINASI Gejala : Diare Kram abdomen. Tanda : Diuresis yang diikuti dengan oliguria. MAKANAN/CAIRAN Gejala : Anoreksia berat (gejala utama), mual/muntah. Kekurangan zat garam. Berat badan menurun dengan cepat. Tanda : Turgor kulit jelek, membran mukosa kering. NEUROSENSORI Gejala : Pusing, sinkope (pingsan sejenak), gemetar. Sakit kepala yang berlangsung lama yang diikuti oleh diaforesis. Kelemahan otot. 76
Penurunan toleransi terhadap keadaan dingin atau stress. Kesemutan/lemah. Tanda : Disorientasi terhadap waktu, tempat dan ruang (karena kadar natrium rendah), letargi, kelelahan mental, peka rangsang, cemas, koma (dalam keadaan krisis). Parastesia, paralisis, astenia (pada keadaan krisis). NYERI/KENYAMANAN Gejala : Nyeri otot, kaku perut, nyeri kepala. Nyeri tulang belakang, abdomen, ekstremitas (pada keadaan krisis). PERNAPASAN Gejala : Dispnea. Tanda : Kecepatan pernapasan meningkat, takipnea. Suara nafas ronkhi pada keadaan infeksi KEAMANAN Gejala : Tidak toleran terhadap panas. Tanda : Hiperpigmentasi kulit Peningkatan suhu ; demam yang diikuti dengan hipotermia (keadaan krisis). Otot menjadi kurus. Gangguan tidak mampu berjalan. SEKSUALITAS Gejala : Adanya riwayat menopause dini, amenorea. Hilangnya tanda-tanda seks sekunder (misal : berkurangnya rambut- rambut pada tubuh) terutama pada wanita. Hilangnya libido. PENYULUHAN/PEMBELAJARAN Gejala : Adanya riwayat keluarga DM, TB, kanker. Adanya riwayat DM, TB, anemia pernisiosa. Pertimbangan rencana pemulangan : Membutuhkan bantuan dalam hal obat, aktivitas sehari-hari
b. Diagnosa 1) Kekurangan volume cairan b.d kekurangan natrium dan kehilangan cairan melalui ginjal, kelenjar keringat, saluran gastrointestinal (karena kekurangan aldosteron). 2) Resiko terhadap penurunan curah jantung b.d menurunnya aliran darah vena/volume sirkulasi; berubahnya kecepatan, irama dan konduksi jantung (akibat ketidakseimbangan elektrolit). 77
3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d defisiensi glukokortikoid.
c. DX KEP. INTERVENSI RASIONAL 4. Kekurangan volume cairan b.d kekurangan natrium dan kehilangan cairan melalui ginjal, kelenjar keringat, saluran gastrointestinal (karena kekurangan aldosteron). 9. Kaji riwayat yang berhubungan dengan lama, intensitas dari gejala yang muncul seperti : muntah, pengeluaran urine berlebih. 10. Pantau tekanan darah, catat perubahan TD pada perubahan posisi, kekuatan nadi perifer. 11. Kaji pasien mengenai adanya rasa haus, kelelahan, nadi cepat, pengisian kapiler memanjang, turgor kulit jelek, membran mukosa kering. 12. Anjurkan cairan oral diatas 3000ml/hari sesegera mungkin sesuai dengan kemampuan klien. 13. Observasi adanya tanda-tanda kelelahan, krekels, edema, peningkatan frekuensi jantung. 14. Kolaborasi pemberian cairan NaCl 0,9% dan larutan glukosa. 15. Pasang kateter urine dan NGT sesuai indikasi. 16. Pantau pemeriksaan laboratorium (ureum/kreatinin). 9. Membantu memperkirakan penurunan volume total cairan. 10. Hipotensi postural merupakan bagian hipovolemia akibat kekurangan hormon aldosteron dan penurunan curah jantung sebagai akibat penurunan kortisol. Nadi mungkin melemah/hilang. 11. Untuk mengindikasikan berlanjutnya hipovolemia dan mempengaruhi kebutuhan volume pengganti. 12. Adanya perbaikan pada saluran cerna dan kembalinya fungsi saluran cerna tersebut memungkinkan untuk memberikan cairan dan elektrolit melalui oral. 13. Penggantian cairan yang cepat dapat menimbulkan GJK pada adanya regangan jantung. 14. Dengan memberikan cairan NaCl 0,9% melalui IV sebanyak 500- 1000ml/jam dapat mengatasi kekurangan natrium. Larutan glukosa untuk menghilangkan hipoglikemia. 15. Memfasilitasi pengukuran haluaran yang akurat. 16. Peningkatan kadar 78
ureum dan kreatinin merupakan indikasi terjadinya kerusakan tingkat sel karena dehidrasi. 2. Resiko terhadap penurunan curah jantung b.d menurunnya aliran darah vena/volume sirkulasi; berubahnya kecepatan, irama dan konduksi jantung (akibat ketidakseimbangan elektrolit). 1. Auskultasi TD.Bandingkan kedua tangan dan ukur dengan posisi tidur, duduk, dan berdiri bila bisa. 2. Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi. 3. Catat terjadinya S3, S4. 4. Auskultasi bunyi napas. 5. Pantau frekuensi jantung dan irama. Catat disritmia. 6. Kolaborasi berikan oksigen tambahan sesuai indikasi. 7. Observasi ulang seri EKG. 8. Pantau data laboratorium : contoh GDA, elektrolit.
1. Hipotensi ortostatik terjadi karena status cairan sedikit akibat defisiensi aldosteron. 2. Penurunan curah jantung mengakibatkan menurunnya kelemahan/kekuatan nadi. Ketidakteraturan diduga disritmia, yang memerlukan evaluasi lanjut. 3. S3 biasanya dihubungkan GJK. 4. Krekels menunjukkan kongesti paru mungkin terjadi karena penurunan fungsi miokardia. 5. Frekuensi dan irama jantung berespon terhadap obat dan aktivitas sesuai dengan terjadinya komplikasi/disritmia yang mempengaruhi fungsi jantung atau meningkatkan kerusakan iskemik. 6. Kelebihan latihan meningkatkan konsumsi / kebutuhan oksigen. Meningkatkan jumlah sediaan oksigen untuk menurunkan disritmia lanjut. 7. Memberikan informasi sehubungan dengan kemajuan/perbaikan, keseimbangan elektrolit dan efek teraphi obat. 8. Adanya hipoksia menunjukkan kebutuhan 79
tambahan oksigen. Keseimbangan elektrolit, misal : hiperkalemia sangat besar berpengaruh pada jantung.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d defisiensi glukokortikoid.
8. Auskultasi bising usus dan kaji apakah ada nyeri perut, mual, muntah. 9. Catat adanya kulit dingin/basah, perubahan tingkat kesadaran, nadi cepat, nyeri kepala sempoyongan. 10. Pantau pemasukan makanan dan timbang berat badan. 11. Catat muntah mengenai jumlah kejadian, atau karakteristik lainnya. 12. Berikan informasi mengenai menu pilihan. 13. Kolaborasi memberikan glukosa IV dan obat-obatan sesuai indikasi. 14. Kolaborasi pemberian glukokotikoid. 8. Kekurangan kortisol dapat menyebabkan gejala gastrointestinal berat yang mempengaruhi pencernaan dan absorbsi makanan. 9. Gejala hipoglikemia dengan timbulnya tanda tersebut mungkin perlu pemberian glukosa dan mengindikasi pemberian tambahan glukokortikoid. 10. Anoreksia, kelemahan dan kehilangan pengaturan metabolisme oleh kortisol terhadap makanan dapat mengakibatkan mal nutrisi. 11. Menentukan derajat absorpsi makanan. 12. Menu yang disukai dapat merangsang nafsu makan. 13. Memperbaiki hipoglikemia. 14. Merangsang glukoneogenesis.
2.4 Kortikosteroid Terapi korkosteorid tidak di rekomendasikan untuk kondisi kronik minor. Terapi harus diberikan untuk penyakit yang beresiko menuju kematian atau penurunan fungsi tubuh permanen dan masa penyembuhan (Camera, 2011).
Efek terapi kortikosteroid : Banyak sekali efek dari kortikosteroid ini akan tetapi reaksi obat ini dapat memberikan keuntungan dalam beberapa situasi, obat ini juga dapat berlainan dengan efek yang diinginkan. Efek yang diharapkan dari terapi kortikosteroid antara lain (Camera, 2011) : 1. Antiinflamasi. 80
Kortikosteroid ini menurunkan kadar limfosit, monosit, dan eusinofil dengan cara meningkatkan pelepasan polimurfonuklear, limfosit, dari sumsum tulang, mencegah akumulasi leukosit selain inflamasi dan mencegah pelepasan substansi respon inflamasi (kinase, prostaglandin, histamine) dari leukosit. Hasilnya, gejala inflamasi dapat ditekan. 2. Imunosupresi Kortikosteroid menyebabkan atrofi jaringan limfoid, menekan respon imun sel mediasi, mengurangi produksi antibody. 3. Pengontrol tekanan darah Kortikosteroid berpotensial vasokonstriksi karena efek norepinefrin dan peningkatan reabsorbsi sodium ditubulus ginjal dan peningkatan ekskresi potasium dan hydrogen. Retensi sodium dan air menyebakan peningkatan volume darah dan membantu mengontrol tekanan darah. Mineral kortikoid memberikan efek langsung pada reabsorbsi sodium di tubulus ginjal dan hasilnya meningkatkan sodium dan retensi air. 4. Metabolisme karbohidrat dan protein Kortikosteroid memberikan efek pada insulin dan menyebabkan intoleransi glukosa dengan cara meningkatkan glikoneolisis dan resisten insulin. Kortikosteroid juga menstimulasi pembongkaran protein dari glukoneogenesis.
81
Camera, Ian. M. 2011. Medical Surgical Nursing : Assessment and Management of Clinical Problems. Elsevier : Missouri Tabel 2.8 Penyakit Yang Menggunakan Kortikosteroid Penyakit yang diterapkan dengan kortikosteroid Penggantian hormone Insufisiensi adrenal Hyperplasia adrenal konginetal
Penyakit Kolagen Arteritis Poliomiositis Poliarteritis nodusa Rheumatic arthritis Sistem Lupus Eritematosus Neurologi Pencegahan edema serebral dan peningkatan tekanan intracranial Trauma kepala
Penyakit saluran pencernaan Kolik Infeksi abdomen Penyakit Endokrin Hiperkalemia Tiroid Penyakit hati Hepatitis alkoholik Hepatitis autoimun Penyakit paru Pneumonia Asma PPOK Penyakit lain Penyakit kulit Leukemia, limpoma Imunosupresin Inflamasi Sindrom nefrotik
82
Camera, Ian. M. 2011. Medical Surgical Nursing : Assessment and Management of Clinical Problems. Elsevier : Missouri
Penekanan inflamasi dan respon imun mungkin dapat membantu dapat menyelamatkan hidup pasien anafilaksis dan resipien, tapi obat ini dapat menyebabkan pengaktifan kembali tuberculosis dan peningkatan resisten oleh infeksi lain dan kanker. Dalam beberapa kondisi, obat ini dapat menghambat respon anti bodi vaksin. efek samping yang berhubungan dengan terapi kortikosteroid (Camera, 2011):
Tabel 2.9 Efek Samping Kortikosteroid Efek samping kortikosteroid Timbulnya hipokalemia Timbulnya peptik ulser Atrofi otot dan kelemahan Intoleransi glukosa hipokalsemia yang berhubungan dengan efek anti vitamin D memperlambat terjadinya infeksi tapi infeksi akan terjadi lebih luas dan lebih cepat ke sel lain. Penekanan sintesis ACTH. Peningkatan tekanan darah karena peningkatan volume darah dan vasokonstriksi. Bisa menyebabkan Hipertensi yang mengakibatkan gagal jantung
Perhatian : 1. Ajarkan pasien untuk tidak menghentikan pengobatan secara tiba-tiba. 2. Monitor tanda-tanda infeksi 3. Ajarkan pasien diabetes untuk monitor gula darah secara teratur.
83
BAB 3 STUDI KASUS
3.1 Tinjauan Kasus KASUS : Ny. B (35 th) datang ke poli endokrin dengan keluhan mual, muntah, tidak nafsu makan selama 2 minggu, penurunan berat badan, kelemahan pada tubuh, pusing saat berdiri, keringat dingin. Terdapat hiperpigmentasi di daerah tangan, dan dada. Setelah dilakukan pengukuran tekanan darah didapatkan 90/60 mmHg.
3.2 Pengkajian 3.2.1 Identitas Nama : Ny. B Umur : 35 tahun Jenis kelamin : Perempuan Agama : Islam Alamat : Ds. Melati RT 09 RW 08 Kec.Mawar Pekerjaan : Swasta Pendidikan : SMA Tanggal MRS : 20 November 2013 Tanggal pengkajian : 20 November 2013 No.med Rec. : 1856302 Diagnosa medis : Hipofungsi kelenjar adrenal / Addison disease
3.2.2 Riwayat Kesehatan a. Keluhan Keluhan utama : tidak nafsu makan selama 2 minggu, mual dan muntah Keluhan yang menyertai : kelemahan otot, konstipasi. b. Riwayat kesehatan sekarang Pasien datang ke poli Endokrin di antar oleh keluarganya pada tanggal 20 November 2013 dengan keluhan mual, muntah, tidak nafsu makan selama 2 minggu, penurunan berat badan, kelemahan pada tubuh, pusing saat berdiri, keringat dingin. c. Riwayat kesehatan dahulu Pasien pernah di rawat dirumah sakit sebelumnya dan menderita tuberkulosis. d. Riwayat Kesehatan Keluarga Keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit yang sama seperti pasien. Pasien tidak mempunyai penyakit menurun seperti diabetes militus, hypertensi, dll. 84
3.2.3 Pola fungsi kesehatan 1. Pola Pernapasan Kecepatan pernapasan meningkat, takipnea, suara napas : vesikuler. 2. Pola Nutrisi Anoreksia, mual dan muntah. 3. Pola Eliminasi Ditemukan adanya konstipasi 4. Pola Aktivitas Lelah, kelemahan pada otot, dan tidak mampu beraktivitas/bekerja 5. Istirahat dan Tidur Perasaan yang tidak enak (malaise) 6. Memilih, mengenakkan, dan melepaskan pakaian Terdapat kelemahan secara umum, sehingga dalam memilih, mengenakkan dan melepaskan pakaian tidak dapat dilakukan sendiri 7. Suhu tubuh Normal 37 0 C 8. Personal hygine Klien kadang melakukan personal hygine sehubungan dengan kelemahan otot. 9. Menghindar dari Bahaya Dalam menghindar dari bahaya klien dibantu oleh keluarga. 10. Beribadah sesuai keyakinan Didoakan oleh keluarga, sobat dan kerabat yang seiman dengan klien. 11. Komunikasi Komunikasi lancar. 12. Melaksanakan dan mengerjakan sesuatu sesuai kebutuhan Klien kurang dapat melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. 13. Rekreasi Tidak dapat berekreasi sehubungan dengan kelemahan otot. 14. Belajar memuaskan keingintahuan yang mengarah pada kesembuhan Klien dan keluarga sering bertanya-tanya tentang proses penyakit.
3.2.4 Pemeriksaan fisik a) Keadaan Umum Kesadaran : komposmetis Keadaan umum : lemah b) Tanda tanda Vital TD : 90/60mmHg RR : 24 x/mnt S : 37 0 C 85
Nadi : 80x/mnt c) Sistem pernafasan (briting) Sesak nafas (-) Batuk (-) Pilek (-) Nyeri tenggorokan (-) Suara napas vesikuler Tidak ada nyeri dada Tidak ada tarikan dinding dada d) Sistem sirkulasi (blood) Jantung berdebar atau tremor (+) Pucat (+) Nyeri dada (-) Membran mukosa kering Nadi perifer lemah e) Sistem persyarafan (brain) Pusing (+) Menyeringai (-) Kejang (-) Penurunan toleransi, kesemutan/lemah. f) Sistem pencernaan (bowel) Penurunan nafsu makan (+) BAB tidak normal (tidak BAB selama hari 4 hari) Nyeri perut (-) Muntah, mual (+) Turgor kulit jelek Membran mukosa bibir kering Penurunan BB dari 52 kg menjadi 45 kg g) Sistem perkamihan (bledder) BAK normal (4X esehari, berwarna kuning dan berbau khas) h) Sistem muskuluskeletal (bone) Ada kelemahan anggota gerak Nyeri sendi (-) Nyeri otot (-) i) Sistem endokrin Destruksi kortek adrenal dapat dilihat dari foto abdomen, lab. Diagnostik ACTH meningkat. Integumen turgor kulit jelek, membrane mukosa kering, ekstremitas dingin, cyanosis, pucat, terjadi hyperpigmentasi dibagian distal ekstermitas dan buku buku pada jari siku dan membrane mukosa. j) Sistem reproduksi 86
Adanya riwayat aminorea, hilangnya tanda-tanda seks sekunder (berkurang rambut-rambut pada tubuh : rambut pubis tdak tumbuh, payudara tidak tumbuh)
3.2.5 Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium Natrium : 120 mEq / L Gula darah acak : 120 mg/dl Kalium : 6,5 mEq/L (hiperkalemia) Jumlah sel darah putih : 1200 juta/ul (leukositosis) Kortisol : (8-10 :18ug/dl,16-00 : 15ug/dl ) = kadar kortisol plasma rendah Aldosteron : wanita : 25 ug/dl BUN : 25 mg/dl Albumin 2,3 g/dl b. Pemeriksaan radiografi abdominal menunjukkan adanya klasifikasi di adrenal c. CT Scan Detektor klasifikasi adrenal dan pembesaran yang sensitive hubungannya dengan insufisifiensi pada tuberculosis, infeksi, jamur, penyakit infiltrasi maligna dan non maligna dan hemoragik adrenal. d. Gambaran EKG Tegangan Rendah aksis QRS vertical dan gelombang ST non spesifik abnormal sekunder akibat adanya abnomalitas elektrolik. 3.3 Analisis Data NO DATA PENYEBAB MASALAH 1. S : Pasien mengatakan nafsu makan kurang selama 2 minggu terakhir O : - Porsi makan tidak dihabiskan (5 sendok) - Mual, muntah - Membran mukosa kering - Turgor kulit jelek - BB turun dari 52 kg menjadi 45 kg dan TB 163 Defisiensi mineralkortrikoid
Hilangnya banyak ion natrium, ion korida dan air kedalam urin
Berkurangnya volume cairan ekstra sel
Hiponatremia, hiperkalemia
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh 87
cm - Albumin 2,3 g/dl - IMT = 47/2,65 = 16,9 Anoreksia, mual dan muntah
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh 2. S : Pasien mengatakan lemah dan tidak bisa beraktivitas O : - BB menurun - Pasien tampak lemah - Sebagian ADL pasien dibantu keluarga dan perawat - Tanda tanda Vital TD : 90/60mmHg RR : 24 x/mnt S : 37 0 C Nadi : 80x/mnt Defisiensi glukokortikoid
Sintesis Glokosa menurun dan mengurangi mobilisasi protein, dan lemak dari jarimgan sehingga akan membuat banyak
Fungsi metabolisme lain dari tubuh
Kelemahan
Intoleransi aktivitas Intoleransi aktivitas 3. S : Pasien mengatakan sulit BAB O : - Tidak pernah BAB selama 4 hari - Bising usus 5X/menit
Intake yang kurang dan perubahan absorbsi usus
Motilitas usus menurun
Gangguan pola eliminasi BAB Gangguan pola eliminasi BAB 4. S : Pasien mengatakan belum mengerti tentang penyakit dan pengobatannya O : Kurangnya informasi tentang penyakit
Pasien tidak mengerti tentang penyakitnya Kurangnya pengetahuan tentang penyakit dan pengobatan penyakit 88
3.4 Diagnosa Keperawatan 1) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh B/D anoreksia, mual dan muntah ditandai dengan : - Porsi makan tidak dihabiskan (5 sendok) - Mual, muntah - Membran mukosa kering - Turgor kulit jelek - BB turun dari 52 kg menjadi 45 kg dan TB 163 cm - Albumin 2,3 g/dl - IMT = 47/2,65 = 16,9 2) Intoleransi aktivitas B/D kelemahan otot ditandai dengan : - BB menurun - Pasien tampak lemah - Sebagian ADL pasien dibantu keluarga dan perawat 3) Gangguan pola eliminasi BAB b/d penurunan respon terhadap defekasi ditandai dengan : - Tidak pernah BAB selama 4 hari - Bising usus 5X/menit 4) Kurang pengertahuan tentang penyakit dan pengobatan penyakit b/d kurangnya informasi tentang penyakit dan pengobatannya yang ditandai dengan : - Sering bertanya tentang penyakit dan pengobatannya - Pasien tampak cemas
- Sering bertanya tentang penyakit dan pengobatannya - Pasien tampak cemas
Kurangnya pengetahuan tentang penyakit dan pengobatan penyakit 89
90
No DIAGNOSA TUJUAN KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL 1 Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh B/D anoreksia, mual dan muntah ditandai dengan : - Porsi makan tidak dihabiskan (5 sendok) - Mual, muntah - Membran mukosa kering - Turgor kulit jelek - BB turun dari 52 kg menjadi 45 kg dan TB 163 cm - Albumin 2,3 g/dl - IMT = 47/2,65 = 16,9 Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 hari, kebutuhan nutrisi terpenuhi secara adekuat. Kriteria hasil : - Pasien mengatakan nafsu makan meningkat - Porsi makan dihabiskan - Berat badan meningkat - Albumin = 3,2-5 g/dl - Membran mukosa lembab - Turgor kulit baik 15. Auskultasi bising usus dan kaji apakah ada nyeri perut, mual, muntah.
16. Pantau pemasukan makanan dan timbang berat badan.
17. Catat muntah mengenai jumlah kejadian, atau karakteristik lainnya. 18. Anjurkan pasien untuk mempertahankan kebersihan mulut dan gigi 19. Berikan informasi mengenai menu pilihan. 20. Beri porsi makan sedikit tetapi sering dengan diit TKTP 15. Kekurangan kortisol dapat menyebabkan gejala gastrointestinal berat yang mempengaruhi pencernaan dan absorbsi makanan. 16. Anoreksia, kelemahan dan kehilangan pengaturan metabolisme oleh kortisol terhadap makanan dapat mengakibatkan mal nutrisi. 17. Menentukan derajat absorpsi makanan.
18. Kebersihan oral yang baik dapat meningkatkan nafsu makan 19. Menu yang disukai dapat merangsang nafsu makan. 20. Mengetahui keadaan status nutrisi pasien dan memenuhi kebutuhan utrisi pasien
2 Intoleransi aktivitas B/D kelemahan otot ditandai dengan : - BB menurun - Pasien tampak lemah - Sebagian ADL pasien dibantu keluarga dan perawat Tujuan : Aktivitas klien kembali adekuat setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 hari. Kriteria hasil: - Pasien mengatakan bisa beraktivitas - Pasien dapat memperlihatkan 6. Diskusikan tingkat kelemahan klien dan identifikasi aktivitas yang dapat dilakukan klien. 7. Pantau tanda vital sebelum dan setelah melakukan aktivitas. Observasi adanya takikardi, hipotensi, dan perifer yang dingin. 6. Pasien biasanya telah mengalami penurunan tenaga, kelelahan otot.
7. Kolapsnya sirkulasi dapat terjadi sebagai akibat stress aktivitas jika curah jantung berkurang. 3.5 Intervensi Keperawatan 91
- Tanda tanda Vital TD : 90/60mmHg RR : 24 x/mnt S : 37 0 C Nadi : 80x/mnt peningkatan aktivitasnya - TTV TD : 120/80 mmHg RR : 12-20x/menit Suhu : 36,5-37,5 0 C Madi : 60-100x/menit 8. Bantu pasien melakukan aktivitas 9. Diskusikan kebutuhan aktivitas dan rencanakan jadwal aktivitas dengan klien. Identifikasi aktivitas yang dapat menyebabkan kelelahan. 10. Sarankan pasien untuk menentukan masa/periode antara istirahat dan melakukan aktivitas. 11. Diskusikan cara menghemat tenaga, misal lebih baik beraktivitas sambil duduk dari pada berdiri.
8. Membantu pasien untuk melakukan aktivitas 9. Memberikan harapan bahwa kemampuan untuk melakukan aktivitas yang baik akan kembali seperti semula.
10. Mengurangi kelelahan dan mencegah ketegangan pada jantung.
11. Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan mengurangi pengeluaran tenaga pada setiap kegiatan yang dilakukannya. 3 Gangguan pola eliminasi BAB b/d penurunan respon terhadap defekasi ditandai dengan : - Tidak pernah BAB selama 4 hari - Bising usus 5X/menit
Tujuan : Pola eliminasi BAB normal setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 hari. Kriteria hasil : - BAB normal 1-2 x/hari - Bising usus normal : 6- 12x/menit 1. Kaji pola eliminasi BAB 2. Jelaskan penyebab belum dapat BAB dan beri pendidikan kesehatan untuk mengkonsumsi makanan berserat 3. Berikan makanan yang tinggi serat dan minum air putih 1500- 2000 cc/hari 1. sebagai upaya untuk menetapkan intervensi lanjut 2. penjelasan dapat memberikan pengertian dan memotivasi pasien dalam mengkonsumsi makanan berserat 3. makanan tinggi serat dapat memperbaiki konsistensi feces dan merangsang peristaltik usus sehingga dapat mudah untuk proses BAB 4 Kurang pengertahuan Tujuan : 1. Kaji pengetahuan klien tentang 1. Mempermudah dalam memberikan 92
tentang penyakit dan pengobatan penyakit b/d kurangnya informasi tentang penyakit dan pengobatannya yang ditandai dengan : - Sering bertanya tentang penyakit dan pengobatannya - Pasien tampak cemas Pengetahuan pasien bertambah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 hari. Kriteria hasil : - Pasien dan keluarga dapat mengerti tentang penyakit dan pengobatannya serta dapat bekerjasama dengan baik - Pasien memahami tentang penyakit dan proses pengobatannya penyakitnya 2. Jelaskan tentang proses penyakit (tanda dan gejala), identifikasi kemungkinan penyebab. Jelaskan kondisi tentangklien 3. Jelaskan tentang program pengobatan dan alternatif pengobantan 4. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin digunakan untuk mencegah komplikasi 5. Diskusikan tentang terapi dan pilihannya 6. Eksplorasi kemungkinan sumber yang bisa digunakan/ mendukung 7. instruksikan kapan harus ke pelayanan 8. Tanyakan kembali pengetahuan klien tentang penyakit, prosedur perawatan dan pengobatan penjelasan pada klien
2. Meningkatan pengetahuan dan mengurangi cemas
3. Mempermudah intervensi
4. Mencegah keparahan penyakit
5. Memberi gambaran tentang pilihan terapi yang bisa digunakan 6. Membantu meningkatkan pengetahuan pasien .
7. Mencegah terjadinya komplikasi atau hal-hal yang tidak diinginkan 8. Mereviw kembali dan mengrtahui apakah pasien sudah mengerti tentang penyakitnya atau belum 93
DAFTAR PUSTAKA
Anonym.2013.Addisons disease Diakses tanggal 27-11-2013. http://www.nhsdirect.wales.nhs.uk/encyclopaedia/ch/article/addisonsdis ease/www.flyfishingdevon.co.uk Anonym. 2009. Addison Disease. Diaskes tanggal 27-11-2013. http://medicastore.com/penyakit/3307/Penyakit_Addison.html Anonym. 2011. Addisons. Diakses tanggal 26-11-2013 http://uvahealth.com/services/endocrine-system/conditions- treatments/179661 Bernard F, Outtrim J, Menon DK, Matta BF. 2006. Incidence of adrenal insufficiency after severe traumatic brain injury varies Brunner and Suddart. 2002. Keperawatan Medikal Bedah vol 2. Jakarta: EGC Camera, Ian. M. 2011. Medical Surgical Nursing : Assessment and Management of Clinical Problems. Elsevier : Missouri Cooper MS, Stewart PM. 2003. Corticosteroid insufficiency in acutely ill patients. N Engl J Med Gugum, Saung Kang http://drgugum.blogspot.com/2011/08/penyakit-addison-addisons- disease.html Doenges, Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC Guyton, Arthur C.2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed IX.Jakarta:EGC Guyton & hall. 2008. Kalium dalam cairan ekstraselular. Jakarta : EGC Hanberg, Allan. 2009. Medical Surgical Nursing : Clinical Management for Positive Outcome. 8ed. Elsevier :Missouri Huetther SE. 2005. Disorders of Adrenal Gland, Alteration of Hormonal Regulatin.In: Mc Cance KL, Huether SE. The biologic basis for diseases in adult and children. 5th Edition; Isselbacher, Kurt J. 2000. Harrison : Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Jakarta : EGC Joan Hoffman. 2002. Adrenal crisis / Crisis Addison / Adrenal Insuficiency in : Cushing`s Help and support. http://www.cushinghelp.com/911.htm Kirkland 2005 L. Adrenal Crisis; eMedicine. Diakses tanggal 27-11-2013. at:http://www.emedicine.com/med/topic65.htm 94
Kumar, R, et al. 2007. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC Kronenberg.2008. Diakses tanggal 27-11-2013. http://www.uptomed.ir/Digimed.ir/WilliamsTextbookOfEndocrinology/ WilliamsTextbookOfEndocrinology/HTML/88.htm Marina martin MD 2008 . Adrenal insufficiency; available. Diakses tanggal 27-11- 2013 at:http://www.ctm.stanford.edu/06-07/adrenalinsuff-martin-9-18- 06.pdf McPhee SJ. (2003). Disorders of the Adrenal Cortex. In: McPhee SJ,Linggapa VR,Ganong WF.eds. Pathophisiology of Diseases. 4th Edition .New York: McGraw-Hill Muhajirin. 2010. Krisis adrenal. Diakses tanggal 27-11-2013. http://khaidirmuhaj.blogspot.com/2010/08/krisis-adrenal-addisons.html Murray Robbert K,dkk.2003. Biokimia Harper Ed 25.Jakarta:EGC UCLA. 2012. Endocrine Surgery Encyclopedia. Diaskes tanggal 27-11-2013. http://endocrinesurgery.ucla.edu/patient_education_adm_acute_adrenal _crisis.html Price, Sylvia A.2001.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed 4 Buku 2.Jakarta:EGC Sloane, Ethel. (2003). Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta : EGC Speiser PW. Adrenal Krisis in : Pediatric Endocrinology.; Schhiner Children`s Hospital ; New York School of Medicie ; New York City, (2003); avilable at: http://www.caresfoundation.org/news-letter/sping 03 Sudoyo Aru W,dkk.2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 3 Ed 4.Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI Wahyu Rahmad Haryadie. 2013. Fisiologi adrenal . Diakses tanggal 26-11- 2013http://kampusdokter.blogspot.com/2012/12/disfungsi-kelenjar- adrenal.html Wikipedia, 2012. Diakses tanggal 27-11-2013. http://en.wikivet.net/Adrenal_Glands_-_Anatomy_%26_Physiology
sekresi kalium Memicu Sekresi ACTH dan absorpsi air Glukoneogenesis Merangsang melanin sekresi Na Vol darah Glikogen hati pigmen kulit/ dehidrasi Hipotensi CO hipoglikemi hiperpigmentasi
Pembedahan adrenal Mendapat terapi hormon kortikosteroid
Stress penggantian terapi yang mendadak
Menguras cadangan fisiologik
Insufisiensi adrenokorteks kronis
Risiko Curah Jantung Gangguan Citra Diri Kurang Volume Cairan Intoleransi Aktivitas Gangguan Nutrisi : Kurang Dari Kebutuhan Tubuh Gangguan Perfusi Jaringan Syok Hipovolemik Crisis addison