Вы находитесь на странице: 1из 53

3

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


CHRONI C KI DNEY DI SEASE (CKD)






DISUSUN OLEH
KELOMPOK 6

1.
2.
3.
4.
5.
6.


Gatra Satria
Kristina Blandina Wea
Maria Nining Kehi
Andrian Pujo Prastowo
Hamdan Hariawan
Ikhwan Nursani
131311123047
131311123049
131311123060
131311123061
131311123062
131311123063




PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2014

4

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunianya sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah
ditentukan.
Makalah ini merupakan salah satu tugas kelompok mahasiswa Keperawatan Program B Fakultas
Keperawatan Universitas Airlangga dalam mata kuliah Keperawatan Perkemihan II yang merupakan
rangkaian dari proses Kegiatan Belajar Mengajar.
Kami menyadari bahwa karena keterbatasan waktu dan pengetahuan yang kami miliki, dalam
pemaparan makalah ini masih terdapat kekurangan, untuk itu kami sangat mengharapkan saran dan
masukan yang bersifat membangun guna memperbaiki laporan ini agar menjadi lebih baik sehingga
dapat member manfaat bagi kami maupun orang lain.

Surabaya, Mei 2014
Penyusun

















5

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
i
ii

BAB 1


BAB 2










BAB 3
BAB 4

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
1.2 Tujuan
2.1 Anatomi Fisiologi
2.2 Pengertian
2.3 Klasifikasi
2.4 Etiologi
2.5 Manifestasi Klinis
2.6 Patofisiologi
2.7 Pemeriksaan penunjang
2.8 Penatalaksanaan
2.9 Komplikasi
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
TINJAUAN KASUS
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran

1
2
3
10
10
11
12
13
16
18
28
28

39

41
41
DAFTAR PUSTAKA 42














6

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gagal ginjal adalah gagalnya ginjal membuang metabolit yang terkumpul dari darah.
Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari
berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal. Gagal ginjal mengakibatkan gangguan
keseimbangan elektrolit, asam basa dan air. Gagal ginjal di klasifikasikan menjadi gagal
ginjal akut dan gagal ginjal kronis (Smeltzer, 2008; Tambayong, 2001).
Keadaan dimana Penurunan cepat/tiba-tiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal
disebut gagal ginjal akut. Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan konsentrasi
kreatinin serum atau azotemia (peningkatan konsentrasi BUN (blood Urea Nitrogen).
Setelah cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang
menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin, Sedangkan
dimana ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi
cairan tubuh yang berlangsung progresif, lambat, samar dan bersifat irreversible (biasanya
berlangsung beberapa tahun) di sebut dengan gagal ginjal kronik.
Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan masalah
kesehatan dunia dengan peningkatan insidensi, prevalensi serta tingkat morbiditas. Biaya
perawatan penderita CKD mahal dengan outcome yang buruk. Pada tahun 1995 secara
nasional terdapat 2.131 pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis dengan beban
biaya yang ditanggung Askes besarnya adalah Rp 12,6 milyar. Pada tahun 2000 terdapat
sebanyak 2.617 pasien dengan hemodialisis dengan beban yang ditanggung oleh Askes
sebesar Rp 32,4 milyar dan pada tahun 2004 menjadi 6.314 kasus dengan biaya Rp 67,2
milyar. Di banyak negara termasuk negara berkembang seperti Indonesia, angka kematian
akibat CKD atau end stage renal disease (ESRD) terus meningkat. Data di beberapa
bagian nefrologi di Indonesia, diperkirakan insidensi PGK berkisar 100-150 per 1 juta
penduduk dan prevalensi mencapai 200-250 kasus per juta penduduk. Menurut data
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000, glomerulonefritis merupakan
46,39% penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis, sedangkan diabetes melitus
insidennya 18,65 % di susul obstruksi/ infeksi ginjal 12,85% dan hipertensi 8,46%
(Firmansyah, 2010; Hidayati et al., 2008; Sudoyo, 2007)
7

Jika penyakit ini tidak dilakukan penatalaksanaan yang tepat maka akan mengarah
pada kematian. Dan salah satu penatalaksanaan yang tepat dalam menangani kasus ini
yaitu dengan meninjau secara konservatif tentang fungsi ginjal sedapat mungkin serta
melakukan dialysis atau transplantasi ginjal (Smeltzer, 2002).
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah supaya mahasiswa memahami :
1. Anatomi dan Fisiologi Ginjal
2. Definisi Chronic Kidney Disease (CKD)
3. Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD)
4. Etiologi Chronic Kidney Disease (CKD)
5. Manifestasi klinis Chronic Kidney Disease (CKD)
6. Patofisiologi dan WOC dari Chronic Kidney Disease (CKD)
7. Pemeriksaan penunjang Chronic Kidney Disease (CKD)
8. Penatalaksanaan Chronic Kidney Disease (CKD)
9. Komplikasi Chronic Kidney Disease (CKD)
10. Konsep Asuhan Keperawatan Chronic Kidney Disease (CKD)
11. Aplikasi asuhan keperawatan pada pasien dengan Chronic Kidney Disease (CKD)














8

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan
Secara anatomi, kedua ginjal terletak pada sisi dari kolumna tulang belakang antara
T12 dan L3. Ginjal kiri terletak agak lebih superior dibanding ginjal kanan. Permukaan
anterior ginjal kiri diselimuti oleh lambung, pancreas, jejunum, dan sisi fleksi kolon kiri.
Permukaan superior setiap ginjal terdapat kelenjar adreanal (Muttaqin, 2011).
Menurut Smeltzer (2008), organ ini terbungkus oleh jaringan ikat tipis yang dikenal
sebagai kapsula renis. Disebelah anterior, ginjal dipisahkan dari kavum abdomen dan
isinya oleh lapisan peritoneum. Di sebelah posterior, organ tersebut dilindungi oleh
dinding torak bawah. Darah dialirkan ke dalam setiap ginjal melalui arteri renalis dan
keluar dari dalam ginjal melalui vena renalis. Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis
dan vena renalis membawa darah kembali ke dalam vena kava inferior. Ginjal dengan
efisien dapat membersihkan bahan limbah dari dalam darah dan fungsi ini bisa
dilaksanakannya karena aliran darah yang melalui ginjal jumlahnya sangat besar, 25%
dari curah jantung.
Bagian unit fungsional terkecil dari ginjal adalah nefron. Ada sekitar 1 juta nefron
pada setiap ginjal di mana apabila dirangkai akan mencapai panjang 145 km (85 mil).
Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh karena itu pada keadaan trauma ginjal
atau proses penuaan akan terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap di mana jumlah
nefron yang berfungsi akan menurun sekitar 10% setiap 10 tahun, jadi pada usia 80 tahun
jumlah nefron yang berfungsi 40% lebih sedikit daripada usia 40 tahun. Nefron terdiri atas
glomerulus yang akan dilalui sejumlah cairan untuk difiltrasi dari darah dan tubulus yang
panjang di mana cairan yang difiltrasi diubah menjadi urine dalam perjalanannya menuju
pelvis ginjal (Muttaqin, 2011).
9


Sumber: Donna (2009)
Gambar 2.1 Anatomi Ginjal

Kecepatan ekskresi berbagai zat dalam urine menunjukkan jumlah ketiga proses ginjal
yaitu filtrasi glomerulus, reabsorpsi zat dari tubulus renal ke dalam darah, dan sekresi zat
dari darah ke tubuluus renal. Pembentukan urine dimulai dengan filtrasi sejumlah besar
cairan yang bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula bowmen. Kebanyakan zat
dalam plasma, kecuali untuk protein, difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada
filtrat glomerulus dalam kapsula bowmen hampir sama dengan dalam plasma. Ketika
cairan yang telah difiltrasi ini meninggalkan kapsula bowmen dan mengalir melewati
tubulus, cairan diubah oleh reabsorpsi air dan zat terlarut spesifik yang kembali ke dalam
darah atau oleh sekresi zat zat lain dari kapiler peritubulus ke dalam tubulus. Kemudian
disekresi dari peritubulus ke epitel tubulus dan menuju cairan tubulus. Sekresi merupakan
proses penting sebab filtrasi tidak mengeluarkan seluruh material yang dibuang dari
plasma.
10


Sumber: Donna (2009)
Gambar 2.2 Anatomi Nefron

Menurut Nursalam (2009), ureter merupakan saluran retroperitoneum yang
menghubungakan ginjal dengan kandung kemih. Kandung kemih berfungsi sebagai
penampung urine. Oragan ini berbentuk seperti buah pir atau kendi. Kandung kemih
terletak di dalam panggul besar, di depan isi lainnya, dan di belakang simpisis pubis.
Sebagian besar dinding kandung kemih tersusun dari otot polos yang dinamakan muskulus
detrusor. Kontraksi otot ini terutama berfungsi untuk mengosongkan kandung kemih pada
saat buang air kecil (urinasi).
Uretra muncul dari kandung kemih , pada laki-laki uretra berjalan lewat penis dan
pada wanita bermuara tepat di sebelah anterior vagina. Pada laki-laki, kelenjar prostat
yang terletak tepat di bawwah leher kandung kemih mengelilingi uretra di sebelah
posterior dan lateral. Sfingter urinarius eksterna merupakan otot volunter yang bulat untuk
mengendalikan proses awal urinasi (Smeltzer, 2002).
11

Menurut Smeltzer (2008), system urinarius secara fisiologis terdapat pada fungsi
utama ginjal yaitu mengatur cairan serta elektrolit dan komposisi asam basa cairan tubuh,
mengeluarkan produk akhir metabolik dari dalam darah dan mengatur tekanan darah. Di
bawah ini beberapa fungsi dari ginjal antara lain adalah sebagai berikut :
1. Pengaturan ekskresi asam
Katabolisme atau pemecahan protein meliputi produksi senyawa-senyawa yang
bersifat asam, khususnya asam fosfat dan sulfat. Disamping itu, bahan yang asam akan
dikonsumsi dengan jumlah tertentu setiap harinya. Berbeda dengan CO2, bahan ini
merupakan asam non-atsiri dan tidak dapat dieliminasi lewat paru. Karena
akumulasinya dalam darah akan menurunkan nilai PH (bersifat lebih asam) dan
menghambat fungsi sel, maka asam ini harus diekskresikan ke dalam urin. Seseorang
dengan fungsi ginjal yang normal akan mengekskresikan kurang lebih 70 mEq asam
setiap harinya. Ginjal dapat mngeksresikan sebagian asam ini secaralangsung ke
dalam urin sehingga mencapai kadar yang akan menuunkan nilai pH urin sampai 4,5
yaitu 1000 kali lebih asam daripada darah.
Biasanya lebih banyak asam yang harus dieliminasi dari dalam tubuh jika
dibandingkan dengan jumlah yang dapat diekskresikan langsung sebagai asam bebas
dalam urin. Pekerjaan ini dilaksanakan melalui ekskresi renal asam yang terikat pada
zat pendapar kimiawi. Asam (H+) disekresikan oleh sel-sel tubulus ginjal ke dalam
filtrat dan disini dilakukan pendaparan terutama oleh ion-ion fosfat serta amonia
(ketika didapar dengan asam, amonia akan berubah menjadi amonium). Fosfat
terdapat dalam filtrat glomerulus dan amonia dihasilkan oleh sel-sel tubulus ginjal
serta disekresikan ke dalam cairan tubuler. Melalui proses pendaparan, ginjal dapat
mngekskresikan sejumlah besar asam dalam bentuk yang terikat tanpa menurunkan
lebih lanjut nilai pH urin.
2. Pengaturan ekskresi elektrolit
1) Natrium
Jumlah elektrolit dan air yang harus dieksresikan lewat ginjal setiap harinya sangat
bervariasi menurut jumlah yang dikonsumsi. Seratus delapan puluh liter filtrat
yang terbentuk oleh glomerulus setiap harinya mengandung sekitar 1100 gr
natrium klorida. Seluruh elektrolit dan air kecuali 2 liter air dan 6 hingga 8 gram
natrium klorida, secara normal direabsorbsi oleh ginjal. Air dan filtrat mengikuti
12

natrium yang direabsorbsi untuk mempertahankan keseimbangan osmotik.
Kemudian air, natrium klorida, elektrolit lain dan produk limbah diekskresikan
sebagai urin. Jadi, lebih dari 99% air dan natrium yang disaring pada glomerulus
direabsorbsi ke dalam darah pada saat urin meninggalkan tubuh. Dengan mengatur
jumlah natrium yang direabsorbsi (dan dengan demikian air) ginjal dapat mengatur
volume cairan tubuh.
(1) Jika natrium diekskresikan dalam jumlah yang melebihi jumlah natrium yang
dikonsumsi maka pasien akan mengalami dehidrasi.
(2) Jika kalium dieksresikan dalam jumlah yang kurang dari jumlah kalium yang
dikonsumsi pasien akan menahan cairan.
Pengaturan jumlah natirum yang dieksresikan tergantung pada aldosteron yatu
hormon yang disintesis dan dilepas oleh korteks adrenal. Dengan terjadinya
peningkatan kadar aldosteron dalam darah, jumlah natrium yang diekskresikan ke
dalam urin menjadi lebih sedikit mengingat aldoteron meningkatkan reabsorbsi
natrium dalam ginjal.
Pelepasan aldoteron dari korteks adrenal terutama dikendalikan oleh
angiotensin yang merupakan hormon peptida yang dibuat dalam hati dan
diaktifkan dalam paru. Kadar angiotensin lebih lanjut dikendalikan oleh renin,
yaitu hormon yang dilepaskan dari sel-sel ginjal. Sistem yang kompleks ini akan
diaktifkan ketika tekanan di arteriol renal turun hingga di bawah nilai normal.
Sistem yang kompleks ini akan diaktifkan ketika tekanan dalam arteriol renal turun
hingga di bawah normal seperti yang terjadi pada keadaan syok dan dehidrasi.
Pengaktivan sistem ini akan menimbulkan efek peningkatan retensi air dan
peningkatan volume cairan intravaskuler. Hormon adrenokortikotropik juga
menstimulasi sekresi aldosteron tanpa tergantung pada perubahan cairan.
2) Kalium
Elektrolit lain yang konsentrasinya dalam cairan tubuh diatur oleh ginjal adalah
kalium, yaitu ion dengan jumlah yang besar di dalam sel. Ekskresi kalium oleh
ginjal akan meningkat seiring dengan meningkatnya kadar aldosteron sehingga
berbeda dengan efek aldosteron pada ekskresi natrium. Retensi kalium merupakan
akibat yang paling fatal dari gagal ginjal.

13

3. Pengaturan ekskresi air
Pengaturan jumlah air yang diekskresikan juga merupakan fungsi ginjal yang
penting. Akibat asupan air atau cairan yang besar, urin yang encer harus diekskresikan
dalm jumlah yang besar. Sebaliknya, jika asupan cairannya sedikit, urin yang akan
diekskresikan menjadi lebih pekat.
1) Osmolalitas
Derajat relatif pengenceran atau pemekatan urin dapat diukur dalam pengertian
osmolailtas. Istilah ini mrencerminkan jumlah partikel (elektrolit dan molekul
lainnya) yang larut dalam urin. Filtrat dalam kapiler glomerulus normalnya
memiliki osmolalitas yang sama dengan darah dengan nilai kurang lebih 300
mOsm/L (300 mmol/L). Ketika filtrat melewati tubulus dan saluran pengumpul
osmolalitasnya dapat berkisar dari 50-1200 mOsm/L yang mencerminkan
kemampuan pengenceran dan pemekatan yang maksimal dari ginjal.
Osmolalitas spesimen urin dapat diukur. Dalam pengukuran osmolalitas urin, yang
disebut larutan adalah komponen air dalam urin dan partikelnya yaitu elektrolit
serta produk akhir metabolisme. Apabila individu mengalami dehidrasi atau
kehilangan cairan maka dalam urin biasanya akan terdapat lebih sedikit air dan
secara proporsional lebih banyak partikel (yang menunjukkan osmolalitas yang
tinggi) yang membuat urin menjadi lebih pekat. Kalau seseorang mengekskresikan
air dengan jumlah yang besar ke dalam urin, maka partikel-partikel tersebut akan
diencerkan dan urin akan tampak encer.
Substansi tertentu dapat mengubah volume air yang diekskresikan dan dinamakan
sebagai substansi yang osmotik-aktif. Apabila substansi ini tersaring, substansi
tersebut akan menarik air lewat glomerulus serta tubulus dan meningkatkan
volume air. Glukosa dan protein merupakan dua contoh molekul yang osmotik
aktif.
Osmolalitas urin yang normal adalah 30-1100 mOsm/kg; sesudah terjadi retensi
cairan selama 12 jam, osmolalitas urin biasanya akan berkisar dari 500 hingga 850
mOsm/kg. Kisaran nilai-nilai normal yang luas ini membuat pemeriksaan tersebut
hanya berarti dalam situasi ketika kemampuan ginjal untuk memekatkan dan
mengencerkan terganggu.

14

2) Berat jenis urin
Berat jenis urin tidak begitu tepat dibandingkan osmolalitas urin dan
mencerminkan kuantitas maupun sifat partikel. Oleh karena itu protein, glukosa
dan bahan kontras yang disuntikkan secara intravena akan memberikan pengaruh
yang lebih besar pada berat jenis daripada osmolalitas. Berat jenis normal berkisar
dari 1,015 1,025 (bila asupannya normal).
3) Hormon Antidiuretik (ADH)
Pengaturan ekskresi air dan pemekatan urin dilaksanakan di dalam tubulus dengan
memodifikasi jumlah air yang direabsorbsi yang berhubungan dengan reabsorbsi
elektrolit. Filtrat glomerulus pada hakekatnya memiliki komposisi elektrolit yan g
sama seperti dalam plasma darah tanpa protein. Jumlah air yag direabsorbsi berada
di bawah kendali hormon antidiuretik (ADH/ vasopresor).
ADH merupakan hormon yang disekresikan oleh bagian posterior kelenjar
hipofisis sebagai respon terhadap perubahan osmolalitas darah. Dengan
menurunnya asupan air, osmolalitas darah cenderung meningkat dan menstimulasi
pelepasan ADH. Kemudian ADH bekerja pada ginjal untuk meningkatkan
reabsorbsi air dengan demikian mengambalikan osmolalitas darah ke keadaan
normal. Dengan asupan air yang berlebihan sekresi ADH oleh kelenjar hipofisis
akan ditekan dan dengan demikian, lebih sedikit air yang akan direabsorbsi oleh
tubulus ginjal. Situasi yang terakhir ini menyebabkan volume air meningkat
(diuresis). Kehilangan kemampuan untuk memekatkan dan mengencerkan urin
merupakan manifestasi penyakit ginjal yang paling dini. Pada keadaan ini akan
diekresikan urin yang encer dengan berat jenis yang tetap atau osmolalitas yang
tetap.
4. Otoregulasi tekanan darah
Pengaturan atau regulasi tekanan darah juga merupakan salah satu fungsi sistem
renal. Suatu homron yang dinamakan renin disekresikan oleh sel-sel jukstaglomerular
ketika tekanan darah turun. Suatu enzim akan mengubah renin menjadi angiotensin I
yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, yaitu senyawa vasokonstriktor paling
kuat. Vasokonstriksi menyebabkan peningkatan tekanan darah. Aldosteron
disekresikan oleh korteks adrenal sebagai reaksi terhadap stimulasi oleh kelenjar
15

hipofisis dan pelepasan ACTH sebagai reaksi terhadap perfusi yang jelek atau
peningkatan osmolalitas serum. Akibatnya adalah peningkatan tekanan darah.

2.2 Gagal Ginjal kronis
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolism
serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif
dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin,
2011).
Sedangkan menurut Smeltzer (2008), gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap
akhir (ERSD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
Ini dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes mellitus; glomerulonefritis
kronis; pielonefritis; hipertensi yang tidak dapat dikontrol; obstruksi traktus urinarius; lesi
herideter, seperti penyakit ginjal polikistik; gangguan vaskuler; infeksi; medikasi; atau
agens toksik. Lingkungan dan agens berbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal kronis
mencakup timah, cadmium, merkuri, dan kromium. Dialysis atau transplantasi ginjal
kadang-kadang diperlukan untuk kelangsungan hidup pasien.

2.3 Klasifikasi gagal ginjal kronis
Gagal ginjal kronik menurut Muttaqin (2011) selalu berkaitan dengan penurunan
progresif GFR. Stadium-stadium gagal ginjal kronik didasarkan pada tingkat GFR yang
tersisa dan meliputi hal-hal berikut :
1. Penurunan cadangan ginjal, yang terjadi apabila GFR turun 50% dari normal.
2. Insufisinensi ginjal, yang terjadi apabila GFR turun menjadi 20-35% dari normal.
Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena
beratnya beban yang mereka terima.
3. Gagal ginjal, yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal. Semakin banyak
nefron yang mati.
4. Gagal ginjal terminal, yang terjadi apabila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal.
Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Pada seluruh ginjal ditemukan jaringan
parut dan atrofi tubulus.
16

Sedangkan dalam buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
(2008), gagal ginjal kronik diklasifikasikan menjadi 5 stadium berdasarkan kemapuan
GFR pada ginjal :
Tabel 2.1 : Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
Category Terms GFR
1
2
3a
3b
4
5
Normal or high
Mildy decreased
Mildy to moderately decreased
Moderately to severely decreased
Severely decreased
Kidney failure
>90
60 89
45 59
30 44
15 29
< 15
Sumber : Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/ SMF Ilmu Penyakit Dalam (2008)

2.4 Etiologi
Menurut Muttaqin (2011), banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya
gagal ginjal kronik, akan tetapi, apapun sebabnya, respons yang terjadi adalah penurunan
fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan
GGK bisa disebabkan dari ginjal dan diluar ginjal :
1. Penyakit dari ginjal
1) Kista di ginjal: polcystis kidney
2) Penyakit pada saringan (glomerulus): glomerulonefritis
3) Infeksi kuman: pyelonefritis, ureteritis
4) Batu ginjal: nefrolitiasis
5) Trauma langsung pada ginjal
6) Keganasan pada ginjal
7) Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/striktur.
2. Penyakit umum di luar ginjal
1) Penyakit sistemik: diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi.
2) Dyslipidemia
3) SLE
4) Infeksi: TBC, paru, sifilis, malaria, hepatitis
5) Preeklampsia
17

6) Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar)
7) Obat-obatan :

2.5 Manifestasi klinis
Menurut Smeltzer (2008) manifestasi klinis gagal ginjal kronis adalah sebagai berikut:
1. Sistem pernapasan (B1/ Breathing)
1) Krekels
2) Sputum kental dan liat
3) Napas dangkal
4) Pernapasan kusmaul
2. Sistem Kardiovaskuler (B2/ Blood)
1) Hipertensi
2) Pitting edema (kaki, tangan, sakrum)
3) Edema periorbital
4) Friction rub perikardial
5) Pembesaran vena leher
3. Sistem neurologi (B3/Brain)
1) Kelemahan dan keletihan
2) Konfusi
3) Disorientasi
4) Kejang
5) Kelemahan pada tungkai
6) Rasa panas pada telapak kaki
7) Perubahan perilaku
4. Sistem Perkemihan
Ditemukan oliguria sampai anuria.
5. Sistem pencernaan
1) Napas berbau amonia
2) Ulserasi dan perdarahan pada mulut
3) Anoreksia, mual dan muntah
4) Konstipasi dan diare
5) Perdarahan dari saluran GI
18

6. Sistem integument (B6 /Integumen)
1) Warna kulit abu-abu, mengkilat
2) Kulit kering, bersisik
3) Pruritus
4) Ekimosis
5) Kuku tipis dan rapuh
6) Rambut tipis dan kasar
7. Sistem muskuloskeletal (B6 /Bone)
1) Kram otot
2) Kekuatan otot hilang
3) Fraktur tulang
4) Foot drop
8. Sistem resproduksi
1) Amenore
2) Atrofi testikuler

2.6 Patofisiologi
Secara ringkas patofisiologi gagal ginjal kronis dimulai pada fase awal gangguan,
keseimbangan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi
dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25%
normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-nefron sisa
yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa menigkatkan
kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi. Seiring dengan
makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa menghadapi tugas yang
semakin berat sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari
siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada
untuk meningkatkan reabdorpsi protein. Pada saat penyusutan progresif nefron-nefron,
terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah ginjal akan berkurang yang
menyebabkan penurunan fungsi renal (Muttaqin, 2011).
Fungsi renal menurun karena produk akhir metabolism protein tertimbun dalam darah,
sehingga mengakibatkan terjadinya uremia dan memengaruhi seluruh system tubuh.
Semakin banyak timbunan produksi sampah maka gejala semaklin berat. Gangguan
19

clearance renal terjadi akibat penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi. Penurunan
laju filtrasi glomerulus dideteksi dengan memeriksa clearance kreatinin urin tamping 24
jam yang menunjukkan penurunan clearance kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin
serum (Nursalam, 2009).
Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum
merupakan indicator yang paling sensitive dari fungsi renal karena substansi ini
diproduksi seacra konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal,
tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan
medikasi seperti steroid (Smeltzer, 2008).
Menurut Muttaqin (2011), terdapat beberapa respons gangguan pada GGK :
1. Ketidakseimbangan cairan
Mula-mula ginjal kehilangan fungsinya sehingga tidak mampu memekatkan urin
(hipothenuria) dan kehilangan airan yang berlebihan (polioria). Hipothenuria tidak
disebabkan atau berhubungan dengan penuruna jumlah nefron, tetapi oleh peningkatan
beban zat tiap nefron. Hal terjadi karena keutuhan nefron yang membawa zat tersebut
dan kelebihan air untuk nefron-nefron tersebut tidak dapat berfungsi lama. Terjadi
osmotic diuretic, menyebabkan seseorang menjadi dehidrasi.
Jika jumlah nefron yang tidak berfungsi meningkat, maka ginjal tidak mampu
menyaring urin (isothenuria). Pada tahap ini glomerulus menjadi kaku dan plasma
tidak dapat difilter dengan mudah melalui tubulus, maka akan terjadi kelebihan cairan
dengan retensi air dan natrium.
2. Ketidakseimbangan natrium
Ketidakseimbangan natrium merupakan masalah yang serius di mana ginjal dapat
mengeluarkan sedikitnya 20-30 mEq setiap hari atau dapat meningkat sampai 200
mEq per hari. Variasi kehilangan natrium berhubungan dengan intact nephron theory.
Dengan kata lain, bila terjadi kerusakan nefron, maka tidak terjadi pertukaran natrium.
Nefron menerima kelebihan natrium sehingga menyebabkan GFR menurun dan
dehidrasi. Kehilangan natrium lebih meningkat pada gangguan gastrointestinal,
terutama muntah dan diare. Keadaan ini memperburuk hiponatremia dan dehidrasi.
Pada GGK yang berat keseimbangan natrium dapat dipertahankan meskipun terjadi
kehilangan yang fleksibel pada nilai natrium. Orang sehat dapat pula meningkat di atas
500 mEq/hari. Bila GFR menurun di bawah 25-30 ml/menit, maka eksresi natrium
20

kurang dari 25 mEq/hari, maksimal eksresinya 150-200 mEq/hari. Pada keadaan ini
natrium dalam diet dibatasi yaitu sekitar 1-1,5 gram/hari.
3. Ketidakseimbangan kalium
Jika keseimbangan cairan dan asidosis metabolic terkontrol, maka hyperkalemia
jarang terjadi sebelum stadium IV. Keseimbangan kalium berhubungan dengan sekresi
aldosterone. Selama urin output dipertahankan, kadar kalium biadanya terpelihara.
Hyperkalemia terjadi karena pemasukan kalium yang berlebihan, dampak pengobatan,
hiperkatabolik (infeksi), atau hiponatremia. Hyperkalemia juga merupakan
karakteristik dari tahap uremia.
Hypokalemia terjadi pada keadaan muntah atau diare berat, pada penyakit tubuler
ginjal, dan penyakit nefron ginjal, di mana kondisi ini akan menyebabkan ekskresi
kalium meningkat. Jika hypokalemia persisten, kemungkinan GFR menurun dan
produksi NH3 meningkat; HCO3 menurun dan natrium bertahan.
4. Ketidakseimbangan asam basa
Asidosis metabolic terjadi karena ginjal tidak mampu mengekskresikan ion hydrogen
untuk menjaga pH darah normal. Disfungsi renal tubuler mengakibatkan
ketidakmampuan pengeluaran ion H dan pada umumnya penurunan ekskresi H+
sebanding dengan penurunan GFR. Asam yang secara terus-menerus dibentuk oleh
metabolisme dalam tubuh dan tidak difiltrasi secara efektif, NH3 menurun dan sel
tubuler tidak berfungsi. Kegagalan pembentukan bikarbonat memperberat
ketidakseimbangan. Sebagian kelebihan hydrogen dibuffer oleh mineral tulang.
Akibatnya asidosis metabolic memungkinkan terjadinya osteodistrofi.
5. Ketidakseimbangan magnesium
Magnesium pada tahap awal GGK adalah normal, tetapi menurun secara progresif
dalam ekskresi urin sehingga menyebabkan akumulasi. Kombinasi penurunan ekskresi
dan intake yang berlebihan pada hipermagnesiema dapat mengakibatkan henti napas
dan jantung.
6. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfor
Secara noirmal kalsium dan fosfor dipertahankan oleh paratiroid hormone yang
menyebabkan ginjal mereabsorpsi kalsium, mobilisasi kalsium dari tulang, dan depresi
reabsorpsi tubuler dari fosfor. Bila fungsi ginjal menurun 20-25% dari normal,
hiperfosfatemia dan hipokalsemia terjadi sehingga timbul hiperparathyroidisme
21

sekunder. Metabolism vitamin D terganggu dan bila hiperparathyroidisme berlangsung
dalam waktu lama dapat mengakibatkan osteorenal dystrophy.
7. Anemia
Penurunan Hb disebabkan oleh hal-hal berikut :
a. Keruskan produksi eritropoetin
b. Masa hidup sel darah merah pendek karena perubahan plasma
c. Peningkatan kehilangan sel darah merah karena ulserasi gastrointestinal, dialysis,
dan pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium.
d. Intake nutrisi tidak adekuat
e. Defisiensi folat
f. Defisiensi iron/zat besi
g. Peningkatan hormone paratiroid merangsang jaringan fibrosa atau osteoitis
fibrosis, menyebabkan produksi sel darah di sumsum menurun
Menurut Corwin (2000), kegagalan ginjal membentuk eritropoietin dalam jumlah yang
adekuat sering kali menimbulkan anemia dan keletihan akibat anemia berpengaruh
buruk pada kualitas hidup. Selain itu, anemia kronis menyebabkan penurunan
oksigensi jaringan di seluruh tubuh dan mengaktifkan refleks-refleks yang ditujukan
untuk meningkatkan curah jantung guna memperbaiki oksigenasi. Akhirnya,
perubahan tersebut merangsang individu yang menderita gagal ginjal mengalami gagal
jantung kongestif sehingga gagal ginjal kronis menjadi satu faktor resiko yang terkait
dengan penyakit jantung.
8. Ureum kreatinin
Urea yang merupakan hasil metabolic protein meningkat (terakumulsai) . kadar BUN
bukan indicator yang tepat dari penyakit ginjal sebab peningkatan BUN dapat terjadi
pada penurunan GFR dan peningkatan intake protein. Penilaian kreatinin serum adalah
indicator yang lebih pada gagal ginjal sebab kreatinin diekskresikan sama dengan
jumlah yang diproduksi tubuh.

2.7 Pemeriksaan diagnostik
Dalam Mutaqin (2011) disebutkan ada pengkajian diagnostik pada pasien dengan GGK
yaitu :

22

1. Laboratorium
a. Laju endap darah : meninggi yang diperberat oleh adanya anemia dan
hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom dan jumlah retikulosit yang
rendah.
b. Ureum dan kreatinin : meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 30 : 1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena
perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan
obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang : ureum lebih kecil dari
kreatinin pada diet rendah protein, dan tes klirens kreatinin yang menurun.
c. Hiponatremi : umumnya karena kelebihan cairan.
d. Hiperkalemia : biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan
menurunnya diuresis.
e. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia : terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin D
pada GGK.
f. Phosphate alkalin meninggi akibat gangguan metabolisme tulang , terutama
isoenzim fosfatase lindi tulang.
g. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia, umumnya disebabkan gangguan
metabolisme dan diet rendah protein.
h. Peningkatan gula darah akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada gagal
ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
i. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan peningkatan
hormon insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
j. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan Ph yang menurun,
BE yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya disebabkan retensi asam-basa
organik pada gagal ginjal.
2. Radiologi
a. Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu atau
adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal oleh sebab
itu penderita diharapkan tidak puasa.
b. Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu
misalnya usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
23

c. USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal , anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih
dan prostat.
d. Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vaskular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
e. EKG untuk melihat kemungkinan : hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).

2.8 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis
selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada gagal ginjal tahap akhir dan faktor
yang dapat dipulihkan (mis. Obstruksi) diidentifikasi dan ditangani (Smeltzer, 2008).
1. Terapi Pengganti Ginjal (TPG)/ Replacement Renal Teraphy (RRT)
a. Dialysis
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanankan proses
tersebut (Smeltzer, 2008). Menurut Muttaqin (2008) dialysis dapat dilakukan
untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yand serius, seperti hyperkalemia,
pericarditis, dan kejang. Dialysis memperbaiki abnormalitas biokimia;
menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas;
menghilangkan kecenderungan perdarahan; dan membantu penyembuhan luka.
Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/ SMF Ilmu Penyakit Dalam (2008)
bahwa dialysis dapat diberikan pada pasien gagal ginjal dengan stadium 5 yaitu
GFR < 15 dan jika ada uremia.
Pemberian dialysis juga diklasifikasikan oleh Smeltzer (2008) menurut waktu
pemberiannya yaitu dialysis akut dan dialysis kronik.
1) Dialysis akut
Dialysis akut diperlukan bila kadar kalium yang tinggi atau yang meningkat
(kalium serum > 6 mEq/L), klebihan muatan cairan atau edema pulmoner yang
mengancam, asidosis yang meningkat, perikarditis atau konfusi berat.
Tindakan ini juga digunakan untuk menghilangkan obat-obat tertentu atau
toksin lain (keracunan atau dosis obat yang berlebihan).
24

2) Dialysis Kronik
Sedangkan dialysis kronik dibutuhkan pada GGK (penyakit ginjal stadium
terminal) dalam keadaan sebagai berikut : terjadinya tanda-tanda dan gejala
uremia (ureum darah > 200 mg/L) yang mengenai seluruh sistem tubuh (mual,
serta muntah, anoreksia berat, peningkatan letargi, konfusi mental), kadar
kalium serum meningkat (> 6 mEq/L), muatan cairan berlebih yang tidak
responsif terhadap terapi diuretik serta pembatasan cairan, dan penurunan
status kesehatan yang umum. Disamping itu terdengarnya pericardial friction
rub mealalui auskultasi merupakan indikasi yang mendesak untuk dilakukan
dialisis.
Berdasarkan metode, dialysis dibagi menjadi dua yaitu (smeltzer, 2008) :
1) Hemodialysis (HD)
Hemodialisis adalah sebuah terapi yang menghilangkan sampah dan cairan
berlebih dari darah. Selama hemodialisis, darah dipompa melalui selang
lembut ke mesin dialisis yang akan menuju fliter khusus yang disebut dialyzer
(juga disebut ginjal buatan). Saat darah difiltrasi, darah akan dikembalikan ke
aliran darah. Untuk dapat disambungkan dengan mesin dialisis, pasien harus
mempunyai akses atau pintu masuk ke aliran darah. Terapi ini biasanya
dilakukan 3 kali seminggu. Tiap terapi berlangsung selama 3-5 jam.
Hemiodialisis dapat dilakukan di rumah atau di pusat HD. Pusat HD berlokasi
di dalam rumah sakir atau layanan kesehatan. Syarat melakukan HD di rumah
antara lain pasien harus memiliki cukup ruangan untuk peralatan dan cukup air
dan listrik untuk mengoperasikan mesin dialisis dan mesin purifikasi. Pasien
juga membutuhkan pendamping saat dialisis.
Indikasi Hemodialisis
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006)
umumnya indikasi dialisa pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG
< 15 ml/ menit) sehingga dialisis baru dianggap perlu dimulai bila dijumpai
salah satu dari hal di bawah ini :
a) Keadaan umum buruk dan gejala klinin nyata
b) Kalium serum > 6 mEq/L
c) Ureum darah > 200 mg/L
25

d) Ph darah < 7,1
e) Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
f) Fluid overloaded
g) dan peritoneal dialysis (PD).
Akses Hemodialisis
Jika pasien memilih HD, pasien perlu memiliki akses permanen atau pintu
masuk ke aliran darah. Ini dilakukan dengan pembedahan minor, biasanya pada
lengan. Ada dua jenis akses vascular permanen :
a) Fistula
Sebuah fistula direkomendasikan sebagai akses. Ini dibuat dengan
menggabungkan artei ke vena di dekatnya di bawah kulit untuk membuat
vaskuler yang lebih besar. Tipe ini dipilih karena mengakibatkan masalah
yang sedikit dan bertahan lama. Pasien harus dievaluasi oleh bedah
vaskuler minimal 6 bulan sebelum memulai dialisis. Dokter akan
melakukan pemeriksaan ultrasound untuk melihat pembuluh darah yang
ideal untuk fistula. Tindakan ini disebut dengan vessel mapping. Fistula
harus disiapkan terlebih dahulu (beberapa bulan sebelum dimuali dialisis),
sehingga ada waktu untuk penyembuhan dan siap untuk digunakan HD.







Gambar 2.3 : Fistula
Sumber : Smeltzer (2008)
b) Graft
Jika pembuluh darah tidak sesuai untuk dilakukan fistula, graft dapat
dilakukan. Tindakan ini menggabungkan arteri dan vena didekatnya dengan
selang lembut dari sintetik. Graft ini dimasukkan di bawah kulit.
chepalic vein
Radial artery
26



Gambar 2.4 : Graft
Sumber : Smeltzer (2008)
Selain itu terdapat juga akses vascular yang sifatnya temporer :
a) Kateter
Akses ketiga, disebut dengan kateter, dimasikkan ke dalam vena besar di
leher atau dada. Ujung dada selang berada diatas kulit luar tubuh. Tipe ini
umumnya digunakan untuk dialisis periode pendek. Kateter digunakn
menetap jika fistula atau graft tidak dapat dilakukan.

Gambar 2.5 : Kateter
Sumber : Smeltzer (2008)
2) Peritoneal Dialisis (PD)
Dalam Updates Clinical Practice Guidelines for Hemodialysis Adequacy
(2006) pada peritoneal dialisis (PD), darah dibersihkan di daam tubuh bukan di
luar tubuh pasien. Peritoneum bekerja sebagai filter alami. Cairan pembersih
yang disebut dialisat, dialirkan ke dalam abdomen melalui selang lembut yang
dinamakan kateter PD. Kateter dipasang melalui pembedahan minor. Sampah
Kateter
Median ubital
vein
Graft

Radial artery

27

dan kelebihan cairan keluar dari darah ke dalam cairan dialisar. Setelah bebera
jam, pasien mengalirkan cairan dialisat yang sudah digunakan dari abdomen
dan mengisi ulang dengan cairan pembersih yang baru untuk memulai proses
kembali. Mengeluarkan cairan yang telah digunakan dan mengisi cairan baru
membutuhkan waktu setengah jam dan hal ini disebut exchange. Peritoneal
dialisis dapat dilakukan di rumah, saat bekerja, di sekolah atau selama
perjalanan. Peritoneal dialisis merupakan terapi rumahan. Banyak pasien yang
memilih terapi ini merasa diberi fleksibilitas.
Indikasi (Smeltzer, 2008).
a) Pasien yang menjalani hemodialisis maintenance yang mempunyai masalah
seperti : gangguan fungsi atau kegagalan alat untuk akses vaskuler, rasa
haus yang berlebihan, hipertensi berat, sakit kepala pascadialisis, dan
anemia berat yang memerlukan transfusi.
b) Pasien yang menunggu operasi cangkok ginjal.
c) Penyakit ginjal stadium akhir akibat DM
d) Lansia
Prosedur
Seperti halnya tindakan yang lain, keputusan untuk memulai PD diputuskan oleh
pasien dan keluarga setelah konsultasi dengan dokter. Pasien bisa saja mengalami
kejadian akut yang mengharuskan pengobatan jangka pendek untuk memperbaiki
gangguan cairan dan elektrolit, atau mungkin mengalami ERSD membutuhkan
perawatan yang berkelanjutan. Berikut prosedur pelaksanaan PD (Smeltzer, 2008):
a) Persiapan pasien
Persiapan perawat kepada pasien dan keluarga terhadap tindakan PD adalah
tergantung status fisik dan psikologis pasien, pengalaman sebelumnya terhadap
dialysis, dan pemahaman terhadap prosedur. Perawat menjelaskan prosedur
kepada pasien dan membantu untuk mengambil keputusan dengan dasar berat
badan pasien, dan kadar serum elektrolit. Pasien dianjurkan untuk
mengosongkan kandung kemih dan usus untuk mengurangi risiko tusukan
organ internal selama tindakan. Agen antibiotic dengan spektrum luas
mungkin dapat diberikan untuk mencegah infeksi. Tindakan pemasangan
kateter peritoneal dapat dilakukan di dalam ruang radiologi, ruang operasi, atau
28

di tempat tidur. Hal tersebut tergantung situasi, dan perlu diberikan penjelasan
terlebih dulu ke pasien dan keluarga.
b) Persiapan alat
Selain mempersiapkan perlatan untuk tindakan PD, perawat juga berkonsultasi
dengan dokter untuk menentukan konsentrasi dari dialisat yang akan
digunakan dan obat-obatan yang akan ditambahkan. Heparin dapat
ditambahkan untuk mencegah pembentukan fibrin dan oklusi resultan dari
kateter peritoneal. kalium klorida dapat diresepkan untuk mencegah
hipokalemia. antibiotik dapat ditambahkan untuk mengobati peritonitis (radang
membran peritoneal) yang disebabkan oleh infeksi. Dan insulin reguler dapat
ditambahkan untuk pasien dengan diabetes.
c) Tindakan Memasukkan Kateter
Idealnya, memasukkan kateter peritoneal dilakukan di dalam kamar operasi
atau ruang radiologi untuk mempertahankan aseptic dan meminimalkan risiko
kontaminasi. Namun, dalam beberapa situasi, dokter dapat melakukan tindakan
ini di tempat ridur pasien menggunakan teknik aseptic. Kapanpun kateter
digunakan, perawatan secara hati-hati dan observasi terhadap perforasi usus
sangat penting untuk meminimalkan terjadinya komplikasi.
Exit side PD
Exit side PD merupakan kateter yang digunakan dalam prosedur PD. Kateter
yang digunakan untuk jangka panjang (misalnya, Tenckhoff, Swan, atau Cruz)
biasanya lembut dan fleksibel dan terbuat dari silikon dengan strip radiopak untuk
memungkinkan visualisasi pada x-ray. Kateter tersebut memiliki tiga bagian: (1)
bagian intraperitoneal, dengan banyak bukaan dan ujung terbuka untuk
membiarkan aliran dialisat bebas; (2) bagian subkutan yang masuk dari membrane
peritoneum melalui otot dan lemak subkutan ke kulit; dan (3) bagian eksternal
untuk koneksi ke sistem dialisat. Sebagian besar kateter ini memiliki dua cuff,
yang terbuat dari Dacron polyester. Fungsi dari Cuff ini untuk menstabilkan
kateter, pembatasan gerak, mencegah kebocoran, dan memberikan barrier terhadap
mikroorganisme (Smeltzer, 2008).


29

b. Transplantasi Ginjal
Dijelaskan dalam Smeltzer (2008) bahwa transplantasi ginjal telah menjadi terapi
pilihan bagi mayoritas pasien dengan penyakit renal tahap akhir. Pasien memilih
transplantasi ginjal dengan berbagai alasan, seperti keinginan untuk menghindari
dialisis atau untuk memperbaiki perasaan sejahtera dan harapan hidup untuk hidup
secara normal. Selain itu, biaya transplantasi ginjal yang sukses dibandingkan
dialisis adalah sepertiganya. Transplantasi ginjal melibatkan menanamkan ginjal
dari donor hidup yang sesuai dan cocok bagi pasien (mereka dengan antigen ABO
dan HLA yang cocok) akan lebih baik daripada transplan yang berasal dari donor
kadaver. Nefrektomi terhadap ginjal asli pasien dilakukan untuk transplantasi.
Ginjal transplan diletakkan di fosa iliaka anterior sampai krista iliaka pasien.
Ureter dari ginjal transplan ditanamkan ke kandung kemih atau dianastomosikan
ke ureter resipien.
1) Pre-operatif
(1) Tujuan
Mengembalikan status metabolik pasien ke kadar normal sedekat mungkin.
(2) Persiapan
Pemeriksaan fisik lengkap, sampel jaringan, sampel darah dan skrining
antibosi untuk menentukan kecocokan jaringan dari donor dan resipien.Tes
diagnostik dan traktus urinarius bawah perlu diteliti untuk mengkaji fungsi
leher kandung kemih dan mendeteksi refluk ureteeral.Pastikan pasien
bebas dari infeksi, koreksi juka ada penyakit gingiva dan karies gigi. Kaji
mekanisme koping, riwayat sosial dan sumber finansial. Riwayat psikiatrik
juga perlu dikaji.
(3) Intervensi
Penyuluhan preoperatif meliputi informasi higiene pulmoner pascaoperatif,
penatalksanaan nyeri, pembatasan diet, jalur intravena dan arteri, selang
dan ambulasi dini.




30

2) Post operatif
(1) Tujuan
Mmepertahankan homeostasis sampai ginjal transplan berfungsi dengan
baik. Ginjal yang dapat berfungsi merupakan tanda prognosis yang
menggembirakan.
(2) Penatalasanaan
Terapi imunosupresif dan antisipasi rejeksi tandur.
(3) Intervensi
Mengkaji rejeksi dan infeksi, memantau fungsi urinarius dan mencegah
komplikasi seperti ulserasi GI dan perdarahan akibat steroid, kolonissi
jamur di traktus GI (mulut) dan kandung kemih akibat kortikosteroid dan
antibiotik, penyakit kardiovaskuler dan kemungkinan timbulnya tumor atau
malignansi.
2. Pengendalian keseimbangan air dan garam
Pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urin. Yaitu produksi urin 24 jam
ditambah 500 ml. Asupan garam tergantung evaluasi elektroolit, umumnya dibatasi
40-120 mEq (920-2760 mg). Diet normal mengandung rata-rata 150 mEq. Furosemide
dosis tinggi masih dapat digunakan pada awal PGK, akan tetapi pada fase lanjut tidak
lagi bermanfaat dan pada obstruksi merupakan kontraindikasi. Penimbangan berat
badan, pemantauan produksi urin serta pencatatan keseimbangan cairan akan
membantu pengelolaan keseimbanagn cairan dan garam (PDDT, 2008).
Jika transfusi darah diperlukan, maka dapat diberikan selama hemodialysis, sehingga
kelebihan kadar kalium dapat diatasi. Pada penderita dengan anemia hemolitik atau
gagal ginjal yang lama, jika kadar hemoglobin turun sampai di bawah 7 g/L (70 g/L)
darah harus diberikan. Pada penderita hipervolemik, transfuse darah membawa resiko
penambahan volume lebih lanjut, yang dapat menyebabkan hipertensi, gagal jantung
kongestif, dan edem paru. Transfuse lambat (4-6 jam) dengan sel darah merah segar
terpampat (untuk meminimalkan pemberian jumlah kalium) (10 mL/kg) akan
mengurangi risiko hypervolemia. Bila ada hypervolemia berat, anemia harus dikoreksi
selama dialysis (Behrman, 2000)


31

3. Diet rendah protein dan tinggi kalori
Asupan protein dibatasi 0,6-0,8 gram/kgBB/hari. Rata-rata kebutuhan protein sehari
pada penderita GGK adalah 20-40 gram. Kebutuhan kalori minimal 35
kcal/kgBB/hari. Diet rendah protein tinggi kalori akan memperbaiki keluhan mual,
menurunkan BUN dan akan memperbaiki gejala. Selain itu diet rendah protein akan
menghambat progresivitas penurunan faal ginjal (PDDT, 2008).
Sedangkan menurut keluarga sehat hospital, diet rendah protein diberikan untuk pasien
penyakit ginjal kronik sebelum hemodialisis (pre-dialisis) dengan jumlah protein yang
boleh dikonsumsi adalah 0,6-0,75 g/kgberat badan/hari. Asupan garam yang
dianjurkan sebelum dialysis antara 2,5 5 gr garam/hari, pembatasan asupan kalium
dianjurkan bila kadar kalium dalam darah > 5,5 meq dan asupan kalium yang
dianjurkan adalah 40 mg/kgBB/hari. Bahan makanan yang tinggi kalium berupa umbi,
buah-buahan, kacang-kacangan, tidak dianjurkan mengkonsumsi : kentang, alpokat,
pisang, mangga, tomat, daun singkong, rebung, bayam.
4. Pengelolaan hipertensi
Berbeda dengan pengendalian hipertensi pada umumnya, pada PGK masalah
pembatasan cairan mutlak dilakukan. Target tekanan darah 125/75 mmHg diperlukan
untuk menghambat laju progresivitas penurunan faal ginjal. Penghambat ACE dan
ARB diharapkan akan mengahambat progresivitas PGK. Pemantauan faal ginjal
secara serial perlu dilakukan pada awal pengobatan hipertensi jika digunakan
penghambat ACE dan ARB. Apabila dicurigai adanya stenosis arteria renal,
penghambat ACE merupakan kontraindikasi (PPDT, 2008).
5. Pengendalian gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada PGK adalah hyperkalemia dan
asidosis. Hyperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah mengancam jiwa.
Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah hyperkalemia membahayakan
jiwa. Pencegahan meliputi :
a. Diet rendah kalium : menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) serta sayuran
berlebih.
b. Menghindari penggunaan diuretic K-sparring : furosemide, spironolactone.
Pengobatan hyperkalemia tergantung derajat kegawatannya
32

Gawat : glukonas calcicus intravena (10-20 ml 10% Ca gluconate); glukosa intravena
(25-50 %); insulin 10-20 unit; natrium bikarbonat intravena (25-100 ml 8,4 %
NaHCO3); dapat digunakan juga insulin kerja cepat 2 U yang dicampur dextrose 40%
25 cc, diberikan bolus IV.
Meningkatkan : Furosemid
Ekskresi kalium : K-exchange resin; dialysis
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air-hunger dan drowsiness. Pengobatan
intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada keadaan asidosis berat, sedangkan
jika tidak gawat dapat diberikan secara per-oral (PPDT, 2008).

2.9 Komplikasi
Komplikasi gagal ginjal kronis yang perlu menjadi perhatian perawat dan memerlukan
pendekatan kolaboratif untuk perawatan meliputi :
1. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, metabolisme asidosis, katabolisme, dan
asupan yang berlebihan (diet, obat-obatan, cairan).
2. Perikarditis pada PD, efusi perikardial, dan tamponade perikardial karena retensi
produk limbah uremic dan dialisis tidak memadai.
3. Hipertensi akibat retensi natrium dan air dan kerusakan sistem renin-angiotensin-
aldosteron system.
4. Anemia akibat penurunan produksi erythropoietin, penurunan RBC umur, perdarahan
di saluran pencernaan dari racun menjengkelkan dan pembentukan ulkus, dan
kehilangan darah selama hemodialysis.
5. Penyakit tulang dan kalsifikasi metastatik dan vaskular karena retensi fosfor, kalsium
serum rendah tingkat, metabolisme vitamin D abnormal, dan tinggi tingkat aluminium

2.10 Konsep Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronis
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian yang dapat dilakukan pada pasien dengan GGK dalam Muttaqin (2011)
meliputi :
a. Keluhan utama
Keluhan utama yang didapat bisanya bervariasi, mulai dari urine output sedikit
sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan
33

(anoreksia), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau ureum dan
gatal pada kulit.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Kaji onset penurunan urine output, penurunan kesadaran, perubahan pola nafas,
kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya nafas berbau amonia, da
perubahan pemenuhan nutrisi. Kaji sudah ke mana saja klien meminta
pertolongan untuk mengatasi masalahnya dan mendapat pengobatan apa.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit GGA, infeksi saluran kemih, payah jantung,
penggunaan obat-obat nefrotoksik, BPH, dan prostatekstomi. Kaji adanya riwayat
penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit
DM, penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi
penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian obat-obatan masa
lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat kemudian dokumentasikan.
d. Psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan dialisis akan
menyebabkan penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawwatan dan pengobatan menyebabkan pasien
mengalami kecemasan, gangguan konsep diri dan gangguan peran pada keluarga
(self esteem).
e. Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Klien bernapas dengan bau urine (fetor amonia) sering didapatkan pada fase
ini. Respon uremia didapatkan adanya adanya pernapasan Kusmaul. Pola nafas
cepat dan dalam merupakan upaya untuk melakukan pembuangan
karbondioksida yang menumpuk di sirkulasi.
2) B2 (Blood)
Pada kondisi uremia berat, tindakan auskultasi perawat akan menemukan
adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial. Didapatkan
tanda dan gejala gagal jantung kongestif, TD meningkat, akral dingin, CRT
>3detik, palpitasi, nyeri dada atau angina dan sesak nafas , gangguan irama
34

jantung, edema penurunan perfusi perifer sekunder dari penurunan curah
jantung akibat hiperkalemia dan gangguan konduksi elektrikal otot ventrikel.
Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia sebagai
akibat dari penurunan produksi eroteopoetin, lesi GI uremik, penurunan usia
sel darah merah dan kehilangan darah biasanya dari saluran GI, kecenderungan
mengalami perdarahan sekunder dari trombositopenia.
3) B3 (Brain)
Didapatkan penuruunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti proses
pikir dan disorientasi. Klien sering didapatkan adanya kejang, aadanya
neuropati perifer, burning feet syndrome, restless leg syndrome, kram otot dan
nyeri otot.
4) B4 (Bladder)
Penurunan urine output <400ml/hr sampai anuria, terjadi penurunan libido
berat.
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adnya mual dan muntah, anoreksia dan diare sekunder dari bau
mulut amonia, peradangan mukoa mulut, dan ulkus saluran cerna sehingga
sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
6) B6 (Bone)
Didapatkan adnaya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki
(memburuk saat malm hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi, pruritus,
demam(sepsis, dehidrasi), petekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang,
defosit fosfat kalsium pada kulit , jaringan lunak dan keterbatasan gerak sendi.
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum sekunder dari anemia dan
penurunan perfusi perifer dari hipertensi.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronik menurut Doenges
(2000), dan Smeltzer (2008) adalah :
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet
berlebihan dan retensi cairan dan natrium.
35

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
inadekuat, mual, muntah, anoreksia, pembatasan diet dan penurunan membrane
mukosa mulut.
c. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan cairan
mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik,
gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung, akumulasi toksik, kalsifikasi
jaringan lunak.
d. Perubahan proses fikir berhubungan dengan perubahan fisiologis seperti
akumulasi toksin (urea, amonia)
e. Resiko kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik dalam
kulit dan gangguan turgor kulit, gangguan status metabolik.
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
g. Kurang pengetahuan tentang pencegahan dan perawatan penyakit gagal ginjal
kronik berhubungan dengan keterbatasan kognitif, salah interpretasi informasi dan
kurangnya informasi.

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronik menurut Doenges
(2000), dan Smeltzer (2008) adalah:
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet
berlebihan dan retensi cairan dan natrium.
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan.
Kriteria hasil:
1) Menunjukkan perubahan-perubahan berat badan yang lambat.
2) Mempertahankan pembatasan diet dan cairan.
3) Menunjukkan turgor kulit normal tanpa edema.
4) Menunjukkan tanda-tanda vital normal.
5) Menunjukkan tidak adanya distensi vena leher.
6) Melaporkan adanya kemudahan dalam bernafas atau tidak terjadi nafas
pendek.
7) Melakukan hygiene oral dengan sering.
36

8) Melaporkan penurunan rasa haus.
9) Melaporkan berkurangnya kekeringan pada membrane mukosa mulut.
Intervensi:
1) Kaji status cairan
a) Timbang berat badan harian
b) Keseimbangan masukan dan haluaran
c) Turgor kulit dan adanya edema
d) Distensi vena leher
e) Tekanan darah, denyut dan irama nadi.
Rasional : Pengkajian merupakan dasar berkelanjutan untuk memantau
perubahan dan mengevaluasi intervensi.
2) Batasi masukan cairan
Rasional : Pembatasan cairan akan menentukan berat tubuh ideal, haluaran
urine dan respons terhadap terapi.
3) Identifikasi sumber potensial cairan
a) Medikasi dan cairan yang digunakan untuk pengobatan, oral dan
intravena
b) Makanan
Rasional : Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat
diidentifikasi
4) Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan.
Rasional : Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan.
5) Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan cairan.
Rasional : Kenyamanan pasien meningkatkan kepatuhan terhadap pembatasan
diet.
6) Tingkatkan dan dorong hygiene oral dengan sering.
Rasional : Hygiene oral mengurangi kekeringan membran mukosa mulut.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
inadekuat, mual, muntah, anoreksia, pembatasan diet dan penurunan membrane
mukosa mulut.
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat
37

Kriteria hasil :
1) Mengkonsumsi protein yang mengandung nilai biologis tinggi
2) Memilih makanan yang menimbulkan nafsu makan dalam pembatasan diet
3) Mematuhi medikasi sesuai jadwal untuk mengatasi anoreksia dan tidak
menimbulkan rasa kenyang
4) Menjelaskan dengan kata-kata sendiri rasional pembatsan diet dan
hubungannya dengan kadar kreatinin dan urea
5) Mengkonsulkan daftar makanan yang dapat diterima
6) Melaporkan peningkatan nafsu makan
7) Menunjukkan tidak adanya perlambatan atau penurunan berat badan yang
cepat
8) Menunjukkan turgor kulit yang normal tanpa edema, kadar albumin
plasma dapat diterima
Intervensi :
1) Kaji status nutrisi
a) perubahan berat badan
b) pengukuran antropometrik
c) nilai laboratorium (elektrolit serum, BUN, kreatinin, protein,
transferin dan kadar besi).
Rasional : Menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan
mengevaluasi intervensi.
2) Kaji pola diet dan nutrisi pasien
a) riwayat diet
b) makanan kesukaan
c) hitung kalori.
Rasional : Pola diet sekarang dan dahulu dapat dipertimbangkan dalam
menyusun menu.
3) Kaji faktor-faktor yang dapat merubah masukan nutrisi :
a) Anoreksia, mual dan muntah
b) Diet yang tidak menyenangkan bagi pasien
c) Depresi
d) Kurang memahami diet
38

Rasional : Menyediakan informasi mengenai faktor lain yang dapat diubah
atau dihilangkan untuk meningkatkan masukan diet.
4) Menyediakan makanan kesukaan pasien dalam batas-batas diet.
Rasional : Mendorong peningkatan masukan diet.
5) Tingkatkan masukan protein yang mengandung nilai biologis tinggi:
telur, produk susu, daging.
Rasional : Protein lengkap diberikan untuk mencapai keseimbangan
nitrogen yang diperlukan untuk pertumbuhan dan penyembuhan.
6) Anjurkan camilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium, diantara
waktu makan.
Rasional : Mengurangi makanan dan protein yang dibatasi dan
menyediakan kalori untuk energi, membagi protein untuk pertumbuhan dan
penyembuhan jaringan.
7) Ubah jadwal medikasi sehingga medikasi ini tidak segera diberikan
sebelum makan.
Rasional : Ingesti medikasi sebelum makan menyebabkan anoreksia dan
rasa kenyang.
8) Jelaskan rasional pembatasan diet dan hubungannya dengan penyakit
ginjal dan peningkatan urea dan kadar kreatinin.
Rasional : Meningkatkan pemahaman pasien tentang hubungan antara diet,
urea, kadar kreatinin dengan penyakit renal.
9) Sediakan jadwal makanan yang dianjurkan secara tertulis dan anjurkan
untuk memperbaiki rasa tanpa menggunakan natrium atau kalium.
Rasional : Daftar yang dibuat menyediakan pendekatan positif terhadap
pembatasan diet dan merupakan referensi untuk pasien dan keluarga yang
dapat digunakan dirumah.
10) Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama waktu makan.
Rasional : Faktor yang tidak menyenangkan yang berperan dalam
menimbulkan anoreksia
11) Timbang berat badan harian.
Rasional : Untuk memantau status cairan dan nutrisi.
12) Kaji bukti adanya masukan protein yang tidak adekuat :
39

a) Pembentukan edema
b) Penyembuhan yang lambat
c) Penurunan kadar albumin
Rasional : Masukan protein yang tidak adekuat dapat menyebabkan
penurunan albumin dan protein lain, pembentukan edema dan perlambatan
penyembuhan.
c. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan
cairan mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik,
gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidakseimbangan elektrolit,
hipoksia), akumulasi toksik (urea), kalsifikasi jaringan lunak (deposit Ca
+
fosfat)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan curah jantung dapat
dipertahankan
Kriteria Hasil :
1) Tanda-tanda vital dalam batas normal: tekanan darah: 90/60-130/90
mmHg, nadi 60-80 x/menit, kuat, teratur.
2) Akral hangat
3) Capillary refill kurang dari 3 detik
4) Nilai laboratorium dalam batas normal (kalium 3,5-5,1 mmol/L, urea 15-
39 mg/dl)
Intervensi :
1) Auskultasi bunyi jantung dan paru, evaluasi adanya edema perifer atau
kongesti vaskuler dan keluhan dispnea, awasi tekanan darah, perhatikan
postural misalnya : duduk, berbaring dan berdiri.
Rasional : Mengkaji adanya takikardi, takipnea, dispnea, gemerisik, mengi
dan edema.
2) Evaluasi bunyi jantung akan terjadi friction rub, tekanan darah, nadi
perifer, pengisisan kapiler, kongesti vaskuler, suhu tubuh dan mental.
Rasional : Mengkaji adanya kedaruratan medik.
3) Kaji tingkat aktivitas dan respon terhadap aktivitas.
Rasional : Ketidakseimbangan dapat mengangu kondisi dan fungsi
jantung.
40

4) Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium yaitu kalium.
Rasional : Menurunkan tahanan vaskuler sistemik.
d. Perubahan proses fikir berhubungan dengan perubahan fisiologis seperti
akumulasi toksin (urea, amonia)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien dapat mempertahankan
tingkat mental atau terjadi peningkatan tingkat mental
Kriteria hasil :
1) Tidak terjadi disorientasi terhadap orang, tempat dan waktu
2) Tidak mengalami gangguan kemampuan dalam mengambil keputusan
3) Tidak terjadi perubahan perilaku misalnya peka, menarik diri, depresi
ataupun psikosis
4) Tidak terjadi gangguan lapang perhatian misalnya, penurunan kemampuan
untuk mengemukakan pendapat
5) Nilai laboratorium dalam batas normal (ureum) 15-39 mg/dl, kreatinin 0,6-1,3
mg/dl)
Intervensi :
1) Kaji luasnya gangguan kemampuan berfikir, memori dan orientasi serta
perhatikan lapang pandang.
Rasional : Memberikan perbandingan untuk mengevaluasi perkembangan atau
perbaikan gangguan.
2) Pastikan dari orang terdekat tingkat mental klien biasa.
Rasional : Beberapa perbaikan dalam mental, mungkin diharapkan dengan
perbaikan kadar urea, kreatinin, elektrolit dan pH serum yang lebih normal.
3) Berikan orang terdekat informasi tentang status klien.
Rasional : Dapat membantu menurunkan kekacauan dan meningkatkan
kemungkinan komunikasi dapat dipahami.
4) Komunikasikan informasi dengan kalimat pendek dan sederhana.
Rasional : Perbaikan peningkatan atau keseimbangan dapat mempengaruhi
kognitif atau mental.
5) Tingkatkan istirahat adekuat dan tidak mengganggu periode tidur.
Rasional : Gangguan tidur dapat menganggu kemampuan kognitif lebih lanjut.
6) Awasi pemeriksaan labolatorium misalnya urea dan kreatinin.
41

Rasional : Perbaikan hipoksia dapat mempengaruhi kognitif.
7) Berikan tambahan O
2
sesuai indikasi
Rasional : Perbaikan hipoksia dapat mempengaruhi kognitif.
e. Resiko kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik dalam
kulit dan gangguan turgor kulit(edema, dehidrasi), gangguan status metabolic,
sirkulasi(anemia dengan iskemia jaringan), neuropati perifer
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi integritas kulit
Kriteria Hasil :
1) Klien menunjukkan perilaku atau tehnik untuk mencegah kerusakan atau
cidera kulit
2) Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
3) Tidak terjadi edema
4) Gejala neuropati perifer berkurang
Intervensi :
1) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor dan perhatikan adanya
kemerahan, ekimosis, purpura.
Rasional : Mengetahui adanya sirkulasi atau kerusakan yang dapat
menimbulkan pembentukan dekubitus atau infeksi.
2) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa.
Rasional : Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan pada tingkat seluler.
3) Inspeksi area tubuh terhadap edema.
Rasional : Jaringan edema lebih cenderung rusak atau robek.
4) Ubah posisi dengan sering menggerakkan klien dengan perlahan, beri
bantalan pada tonjolan tulang.
Rasional : Menurunkan tekanan pada edema, meningkatkan peninggian aliran
balik statis vena sebagai pembentukan edema.
5) Pertahankan linen kering, dan selidiki keluhan gatal.
Rasional : Menurunkan iritasi dermal dan resiko kerusakan kulit.
6) Pertahankan kuku pendek
Rasional : Menurunkan resiko cedera dermal.

42

f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialysis.
Tujuan : Berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi
Kriteria Hasil :
1) Menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu.
2) Berpartisipasi dalam program pengobatan.
3) Menunjukkan ekspresi rileks dan tidak cemas.
Intervensi :
1) Kaji faktor yang menyebabkan keletihan :
a) Anemia
b) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
c) Retensi produk sampah
d) Depresi
Rasional : Menyediakan informasi tentang indikasi tingkat keletihan
2) Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat
ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi.
Rasional : Meningkatkan aktivitas ringan/sedang dan memperbaiki harga
diri.
3) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat.
Rasional : Mendorong latitan dan aktivitas dalam batas-batas yang dapat
ditoleransi dan istirahat yang adekuat.
4) Anjurkan untuk beristirahat setelah dialysis.
Rasional : Dianjurkan setelah dialysis, yang bagi banyak pasien sangat
melelahkan.
g. Kurang pengetahuan tentang pencegahan dan perawatan penyakit gagal ginjal
kronik berhubungan dengan keterbatasan kognitif, salah interpretasi informasi dan
kurangnya informasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien menyatakan pemahaman
tentang kondisi atau proses penyakit dan pengobatan.
Kriteria Hasil :
1) Menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu.
2) Berpartisipasi dalam program pengobatan.
43

3) Menunjukkan ekspresi rileks dan tidak cemas.
Intervensi :
1) Diskusikan tentang manifestasi klinik yang mungkin muncul pada klien dan
cara perawatannya.
Rasional : Mengurangi kecemasan klien dan membeikan pemahaman dalam
perawatannya
2) Kaji ulang tentang tindakan untuk mencegah perdarahan dan informasikan
pada klien misalnya penggunaan sikat gigi yang halus, memakai alas kaki atau
sandal jika berjalan-jalan, menghindari konstipasi, olah raga atau aktivitas
yang berlebihan.
Rasional : Menurunkan resiko cedera sehubungan dengan perubahan faktor
pembekuan atau penurunan jumlah trombosit.
3) Kaji ulang pembatasan diet, termasuk fosfat (contoh : produk susu, unggas,
jagung, kacang) dan magnesium (contoh : produk gandum, polong-polongan).
Rasional : Pembatasan fosfat merangsang kelenjar paratiroid untuk
pergeseran kalsium dari tulang (osteodistrofi ginjal) dan akumulasi
magnesium dapat mengganggu fungsi neurologis dan mental.
4) Diskusikan tentang terapi pengobatan yang diberikan.
Rasional : Memberikan pemahaman tentang fungsi obat dan memotivasi klien
untuk menggunakannya
5) Identifikasi keadaan yang memerlukan evaluasi medik segera.
Rasional : Memberi penanganan segera tentang kondisi-kondisi yang
memerlukan penanganan medik.









44

BAB 3
TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN
Tanggal pengkajian : 1 Mei 2014, 14.00 WIB
Diagnosa medis : CKD Stage IV
1. Biodata
a. Identitas pasien
Nama : Tn. M
Umur : 52 tahun
Jenis : Laki-laki
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Status Perkawinan : Tidak kawin
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Buruh Bangunan
Alamat : Wonosalam Demak
Tanggal masuk : 27-04-2014
No Register : 59xxxxx
b. Penanggung Jawab
Nama : Nn.M
Umur : 27 tahun
Jenis Klamin : Perempuan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawati Home Industri
Hub dengan pasien: Anak Kandung
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh sesak nafas dan badan terasa lemas.
b. Riwayat penyakit sekarang
Satu minggu yang lalu pada tanggal 27/04/2014 klien hanya ingin kontrol/periksa
penyakit yaitu gagal ginjal yang telah tiga bulan dialaminya di RSDK. Klien
45

mengatakan mengalami kekambuhan jika minum air terlalu banyak. Jika kambuh
pasien mengalami sesak nafas lamanya bisa sehari penuh, bila sesak nafas yang
bisa dilakukan oleh pasien dirumah yaitu dengan tidur di dekat kipas angin
sehingga udara lebih cepat masuk dan sesak berkurang. Selain itu pasien juga
mengalami bengkak pada tangan dan kakinya serta mengalami gangguan dalam
BAK, yaitu BAK tidak lancar, air kencing sedikit dan warna coklat pekat.
Karena pada saat periksa keadaan pasien dalam kondisi memburuk sehingga
dokter memutuskan untuk rawat inap.
c. Riwayat Perawatan dan Kesehatan Dahulu
Klien mengatakan pernah dirawat dirumah sakit dengan gagal ginjal stage 2, dan
terakhir saat ini dirawat di RSDK. klien mempunyai riwayat penyakit Hipertensi
sejak 6 tahun yang lalu dan klien mengatakan tidak pernah memperhatikan
makanan yang dapat menyebabkan hipertensi dan tidak pernah memeriksakan
tekanan darahnya. Klien mengatakan tekanan darah yang diingatnya terakhir
160/100 mmHg.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Klien mengatakan dikeluarganya tidak ada keluarga yang mengalami sakit ginjal,
jantung dan hipertensi.
3. Pola Kesehatan Fungsional
a. Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Pasien mengatakan dirinya mengalami gagal ginjal. Tetapi klien tidak tahu apa
yang menyebabkan kekambuhan gagal ginjalnya, dan tidak tahu tentang cara
perawatannya. Sebelum sakit pasien mengatakan sering minum-minuman
berenergi seperti (extrajos, hemaviton dll), dan jarang minum air putih. Pasien
tidak menghiraukan tentang kesehatannya. Setelah sakit Tn. M baru menyadari
dan menyesali perbuatan buruknya.
b. Pola Nutrisi Metabolik
Sebelum sakit : Pasien makan 3 kali sehari, makan habis 1 porsi
mengkonsumsi nasi, sayur, lauk, buah, nafsu makan baik, minum 3-4 gelas perhari
air putih dan mengkonsumsi kopi hitam 3 gelas perhari.
Selama sakit : Pasien makan 3 kali sehari, porsi sedikit, tidak habis 1 porsi,
habis 2-3 sendok makan. Minum 1 gelas belimbing, pasien merasakan mual-mual
46

Sehingga nafsu makan pasien menurun.
c. Pola eliminasi
Sebelum sakit : Pasien BAB 1 kali perhari, warna kuning, konsistensi lunak.
BAK 3-4 kali perhari, warna kuning jernih.
Selama sakit : Pasien BAB 1 kali per 3 hari, konsistensi agak keras, BAK
lewat selang kateter, jumlah urine dalam 24 jam adalah 35 cc, warna keruh.
d. Pola Latihan dan Aktivitas
Sebelum sakit : Pasien mengatakan dapat melakukan aktivitas sehari-hari
tanpa bantuan orang lain dan tidak ada gangguan rasa sakit.
Selama sakit : Pasien mengatakan aktivitasnya dibantu keluarga, karena
sesak napas pasien kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari - harinya selain itu
pasien juga mengeluh lemah, letih dan lesu.
e. Pola Istirahat dan Tidur
Sebelum sakit : Pasien tidur pada malam hari selama 7 jam.
Selama sakit : selama dirawat dirumah sakit Pasien mengatakan tidak bisa
tidur karena sesak yang dialaminya
f. Pola Persepsi Sensori dan Kognitif
Kondisi klien gelisah, terkadang tidak bisa tenang, dan bicara irasional.
g. Pola Hubungan dengan Orang Lain
Sebelum dan selama sakit hubungan dengan orang lain baik, orang terdekat ibu
dan kakak.
h. Pola Reproduksi dan Seksual
Pasien mempunyai status belum nikah termasuk usia remaja dan tidak ada
gangguan dalam seksual.
i. Persepsi Diri dan Konsep Diri
Pasien merasa gelisah dan cemas, keluarga berusaha memberi dorongan kepada
pasien, supaya pasien cepat sembuh dan segera pulang ke rumah.
j. Pola Mekanisme Koping
Bila ada masalah pasien biasanya cenderung diam dan tidak mau menceritakan
masalahnya kepada keluarganya.
k. Pola Nilai dan Keyakinan
Pasien beragama islam, ibadah sholat 5 waktu tidak tentu.
47

l. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sesak, gelisah.
Tingkat kesadaran : Apatis
m. TTV
TD : 170/110 mmHg
N : 80 kali/menit
RR : 28 kali/ menit
T : 37,5
0
C
n. Pengukuran antropometri
BB : 58 Kg (sebelum sakit)
BB : 60 Kg (saat sakit)
TB : 160 cm
LILA : 30 cm
o. Pemeriksaan Fisik
Kepala : Mesocephal, tidak ada luka
Rambut : Hitam, bersih.
Mata : Konjungtiva palpebr a anemis.
Hidung : Bersih, ada pemakaian O
2 kanul 6 lpm (masker)

Telinga : Kemampuan mendengarkan baik.
Mulut : Bibir pucat.
Leher dan Tenggorok: Trakea posisi di garis tengah, Tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid, Tidak teraba pembesaran kelenjar limfe pembesaran JVP N+2
Dada dan Thorak: Dada simetris, tidak ada luka
Paru-paru : I : Simetris Statis Dinamis. klien tampak sesak, napas pendek,
klien berbaring dengan posisi semi fowler, klien bernafas dengan
menggunakan bibir, adanya cuping hidung, bau amonia. .
Pa : Taktil Fremitus teraba kanan kiri lemah
Pe : Redup
Au : Ve Ro
Ve
Ve Ro

48

Jantung : I : Iktus cordis tidak tampak
Pa : Iktus cordis teraba di IC VI linea mid clavicula
Pe : Redup
Aa : Terdengar BJ 1 dan BJ 2 terdapat bunyi tambahan murmur.
Abdomen : I : acites, mual dan muntah 1x sehari
Aa : Bising Usus (+), frekuensi 4x/menit
Pa : pada fluid wave tes terdapat adanya getaran cairan
Pe : shifting dullness positif
Genital: Terrpasang kateter tanggal 1-05-2014, tidak ada infeksi pada area
pemasangan kateter. Warna coklat pekat dan bau menyengat. UO; (02-05-
2014/07.00-09.00) 20cc.
p. Pengukuran balance cairan
Tanggal Input Output Balance cairan
2/5/2014
(jam 14.00-21.00)
Minum 150 ml
Makan 50 ml
Infuse 200 ml
Total 300 ml
Urin 10 ml
BAB
IWL 36,25
Total 46, 25 ml



(+) 253,75 ml
(21.00-07.00) Minum 50 ml
Makan 50 ml
Infuse 250 ml
Total 350 ml
Urin 15 ml
BAB
IWL 36,25
Total 51,25 ml



(+) 298,75 ml
2/5/2014
(07.00-14.00)
Minum 150 ml
Makan 50 ml
Infuse 200 ml
Total 400 ml
Urin 10 ml
BAB
IWL 36,25
Total 46,25 ml



(+) 353,75 ml
(+) 906,25 ml

49

Ekstremitas: Kekuatan otot menurun, adanya edema grade 2+ pada kaki dan
tangan, CRT 4 detik.
Kulit: Kering bersisikma pada tangan dan kaki, klien sering menggaruk kulitnya
karena gatal.
q. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
1. Hematologi
Hemoglobin 7 mg/dl (L: 13.5-18.0 ; P: 11.5-16.0 mg/dl)
Hematocrit 21 mg/dl (L: 40-47% ; P: 38-42%)
Eritrosit 3,5 juta/mmk
MCH 24 pg
MCV 75,3 Fl
2. Kimia klinik
Ureum 153 mg/dl
Kreatinin 9,8 mg/dl
Protein total 6,0 g/dl
Albumin 2 g/dl
Calcium 8,1 g/dl
3. Elektrolit
Natrium 140 mmol/L (135 145 mmol/l)
Kalium 5 mmol/L (3.5 5.5 mmol/l)
Clorida 108 mmol/L
4. Analisa gas darah
pH 6
PCO2 30 mmHg
PO2 82 mmHg
SaO2 89%
HCO3 20 mEq/L
Interpretasi : asidosis metabolic kompensasi respiratorik
Pemeriksaan radiologi
Hasil Rontgen Thorax COR: CTR tidak dapat dinilai, Apeks jantung bergeser ke
50

laterokauadal
Pulmo: Tampak bercak keturunan pada kedua pulmo, Diafragma kanan setinggi
kosta IX posterior, Sinus kostofrenikus kanan kiri lancip, Adanya cairan di rongga
alveolus
Kesan: Suspek kardiomegali (CV), Adanya cairan dalam pulmo.
Pemeriksaan USG pada kedua ginjal didapatkan kedua ginjal mengecil.
Terapi:
O
2
6 lpm (masker)
Injeksi lasix kurang lebih 3x40 mg
Injeksi nitrocyn 20 gr dinaikkan perlahan
Hemobion 2x1 (250 mg) per oral
Kalitake 3x5 gr.
r. Analisis Data
Data Etiologi Problem
DS :
Pasein mengatakan BAK
tidak lancar, air kencing
sedikit dan warnanya
keruh. Tangan dan kaki
bengkak
DO :
Edema pada tangan dan
kaki; acites; turgor kulit
tidak elastis; CRT pada
ekstremitas atas dan
bawah 4 detik;
BB : 58 Kg
Suara nafas paru bagian
Kanan terdengar ronkhi,
Input cairan > output Kelebihan volume cairan
51

dan suara nafas paru
sebelah kiri terdengan
vesikuler.
Foto rontgen kesan
Adanya cairan di rongga
alveolus
USG : tampak kedua
ginjal mengecil
DS :
Pasien mengeluh lemah,
letih, lesu
DO :
TD : 170/110 mmHg
N : 80x/menit
Bibir pucat, konjungtiva
palpebral anemis, CRT
ektremitas atas dan
bawah 4 detik
Hb : 7 g/dl; Ht : 21 %;
eritrosit : 3,5 juta/mmk;
PO2 : 82
SaO2 :89%
Suplai oksigen ke
jaringan menurun
Gangguan perfusi
jaringan perifer
DS :
Pasien mengatakan mual
dan tidak nafsu makan
DO :
Intake tidak adekuat Gangguan pemenuhan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
52

Pasien makan porsi
sedikit, tidak habis 1
porsi, habis 2-3 sendok
makan.
Protein total : 6,0 mg/dl;
globulin : 2,95 mg/dl
Albumin : 2,0 mg/dl
BB : 58 kg

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan b.d suplai O2 ke jarungan turun.
2. Kelebihan volume cairan b.d input cairan lebih besar daripada output
3. Gangguan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake tidak adekuat.
C. Rencana Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan b.d input cairan lebih besar daripada output
Tujuan : Volume cairan dalam keadaan seimbang
Kriteria Hasil : Tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output cairan
a. Timbang berat badan setiap hari R/ mengetahui status cairan, dan untuk
memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi.
b. batasi masukan cairan sebanyak 900 ml per hari agar tercapai balance
cairan yang ditentukan R/ Pemberian cairan yang adekuat akan
mempertahankan homeostatis fungsi Ginjal dan tidak memperberat beban kerja
ginjal.
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan R/
pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan
cairan
d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama
pemasukan dan haluaran R/ untuk mengetahui keseimbangan input dan output
e. Kolaborasi persiapan pemberian tindakan dialysis R/ pasien dengan kalium
serum > 6 mengindikasikan untuk dilakukan tindakan dialysis
53

f. Koloaborasi pemberian terapi Injeksi lasix kurang lebih 3x40 mg Kalitake
3x5 gr R/ membantu mengurangi kelebihan volume cairan

2. Gangguan perfusi jaringan b.d suplai O2 ke jarungan turun.
Tujuan: Perfusi jaringan adekuat
Kriteria Hasil: CRT kurang dari 2 detik
Intervensi :
a. Dorong latihan aktif dengan rentang gerak sesuai toleransi R/ meningkatkan
sirkulasi perifer
b. kolaborasi pemberian O2 6 lpm R/ meningkatkn suplai o2

3. Gangguan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake tidak adekuat.
Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat
Kriteria Hasil: Menunjukan protein albumin stabil.
Intervensi:
a. Berikan makanan sedikit tapi sering R/ Porsi lebih kecil dapat meningkatkan
masukan makanan
b. Berikan terapi diit sesuai ninstruksi R/ meningkatkan protein albumin
c. Berikan perawatan mulut sering R/ Menurunkan Ketidaknyamanan dan
mempengaruhi masukan makanan.












54

BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang
progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah.
Banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronik, akan tetapi,
apapun sebabnya, respons yang terjadi adalah penurunan fungsi ginjal secara progresif.
Dan gagal ginjal kronik juga dapat memberikan tanda dan gejala secara sitemik bagi tubuh
serta masalah keperawatan berupa Kelebihan volume cairan berhubungan dengan
penurunan haluaran urine, diet berlebihan dan retensi cairan dan natrium, perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat, mual, muntah,
anoreksia, pembatasan diet dan penurunan membrane mukosa mulut, resiko penurunan
curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan cairan mempengaruhi sirkulasi,
kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik, gangguan frekuensi, irama, konduksi
jantung, akumulasi toksik, kalsifikasi jaringan lunak, resiko kerusakan intregitas kulit
berhubungan dengan akumulasi toksik dalam kulit dan gangguan turgor kulit, gangguan
status metabolic dan Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi
produk sampah dan prosedur dialisis.
Salah satu penatalaksanaan medis pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah
dialysis. Dialysis juga dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yand
serius, seperti hyperkalemia, pericarditis, dan kejang. Dialysis memperbaiki abnormalitas
biokimia; menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas;
menghilangkan kecenderungan perdarahan; dan membantu penyembuhan luka
4.2. Saran
1. Bagi mahasiswa supaya memberikan asuhan keperawatan yang tepat kepada pasien
dengan Chronic Kidney Disease (CKD) sesuai dengan perkembangan ilmu.
2. Bagi institusi agar dapat mengembangkan konsep asuhan keperawatan pada pasien
dengan Chronic Kidney Disease (CKD).
3. Bagi tenaga kesehatan agar menerapkan asuhan keperawatan yang tepat kepada pasien
dengan Chronic Kidney Disease (CKD) sesuai dengan perkembangan ilmu.

55

DAFTAR PUSTAKA


Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3. EGC : Jakarta.

Behrman, kliegman, Arvin. 2000. Ilmu kesehatan anak edisi 15. EGC : Jakarta.

Doenges, Marylin E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed 3. EGC : Jakarta.

Firmansyah, Adi. 2010. Usaha Memperlambat Perburukan Penyakit Ginjal Kronik ke
Penyakit Ginjal Stadium Akhir. PPDS Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia : Jakarta.

Hidayati et al. (2008). Hubungan antara Hipertensi, Merokok dan Minuman Suplemen
Energi, dan Kejadian Penyakit Ginjal Kronik. Berita Kedokteran Masyarakat, Volume
24 Nomor 2. Diakses 23 April 2014 dari http://berita-kedokteran-
masyarakat.org/index.php/BKM/article/view/139/64.

Jodhpur, Rajasthan. 2014. Management of Hypertension in CKD. Reed Elsevier India Pvt.
Lta.

Mutaqien & Kumala. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Salemba
Medika : Jakarta.

Nursalam, 2000. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan.
Salemba Medika : Jakarta.

Smeltzer, Susanne C & Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. EGC
: Jakarta

Sudoyo, A. W dkk. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi V. Pusat Penerbitan IPD FK UI : Jakarta.

Tambayong. 2001. Anatomi dan Fisiologi Untuk Keperawatan. EGC : Jakarta.

Вам также может понравиться