Вы находитесь на странице: 1из 12

Deep Vein

Trombosis (DVT) adalah kondisi yang ditandai aktivasi kaskade


pembekuan darah yang menyebabkan terbentuknya trombus pada
vena profunda terutama terjadi pada extremitas. DVTmerupakan bagian dari
kelainan pembekuan darah yang disebut tromboemboli vena. DVT dapat terbentuk
sebagian atau total menutupi lumen vena profunda. DVT dapat terjadi di semua
vena besar, tetapi yang paling umum terjadi pada daerah
iliofemoral. DVTdapat disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah,
hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena (stasis ) yang dikenal dengan
trias virchow. Kerusakan dari dinding pembuluh darah akan menghambat
endotelium untuk menghambat pembekuan darah dan fibrinolisis lokal. Stasis vena
oleh karena immobilisasi yang lama atau karena obstruksi vena dapat menghambat
pemecahan faktor koagulan.


DVT merupakan kelainan vaskular paling umum ketiga setelah penyakit arteri
koroner dan stroke.Insiden DVT kira-kira sebesar 0,1% dari jumlah penduduk setiap
tahunnyaInsiden rendah pada usia muda dan paling tinggi pada usia lanjut.
Insidennya meningkat 30 kali lipat dibanding dekade yang lalu. Insiden tahunan
DVT di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih 50/100.000
populasi/tahun. Diperkirakan 600.000 kasus trombo emboli vena terjadi di amerika
serikat dan dua pertiga merupakan trombosis DVT. DVT dengan komplikasinya
emboli pulmonal merupakan penyebab kesakitan dan kematian yang
signifikan. Untuk meminimalkan risiko fatal terjadinya komplikasi emboli paru,
diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan. Kematian dan
kecacatan dapat terjadi sebagai akibat kesalahan diagnosa, kesalahan terapi dan
perdarahan karena penggunaan antikoagulannyang tidak tepat, oleh karena itu
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan.

FAKTOR RISIKO
DVT sebagai salah satu manifestasi dari Venous Thromboembolism (VTE)
memiliki beberapa faktor risiko antara lain faktor demografi/lingkungan (usia tua,
imobilitas yang lama), kelainan patologi (trauma, hiperkoagulabilitas kongenital,
antiphospholipid syndrome, vena varikosa ekstremitas bawah, obesitas, riwayat
tromboemboli vena, keganasan), kehamilan, tindakan bedah, obat-obatan
(kontrasepsi hormonal, kortikosteroid). Meskipun DVT umumnya timbul karena
adanya faktor risiko tertentu, DVT juga dapat timbul tanpa etiologi yang jelas (
idiopathic DVT).
RIsiko terjadinya DVT akan meningkat dengan bertambahnya usia, riwayat
keluarga menderita DVT, perokok, dehidrasi, kanker, vena varikosa, operasi,
penyakit jantung dan pernafasan, obesitas dan kehamilan. Studi tentang riwayat
keluarga dan anak kembar menunjukkan faktor genetika berpengaruh sekitar 60%
risiko DVT. Defisiensi anti thrombin, protein C dan protein S merupakan faktor risiko
yang kuat pada DVT. Estrogen sebagai obat keluarga berencana telah terbukti dapat
meningkatkan terjadinya resiko pembentukan pembekuan darah sebesar tiga
sampai empat kali lipat.Menurut American Heart Association insiden terjadinya DVT
pada pasien postpartum tiga kali lebih besar dibandingkan terjadinya emboli
paru. Imobilitas yang berkepanjangan akan menyebabkan gangguan aliran darah
dan akhirnya mempermudah terjadinya pembekuan darah. Sehingga risiko DVT
akan meningkat pada individu-individu yang mengalami imobilisasi yang lama
seperti pasien operasi besar, seseorang yang melakukan perjalanan jauh maupun
seorang sopir. Dari penelitian yang dilakukan Golhaber dkk yang mengikutsertakan
5.451 pasien yang terdiagnosis DVT melalui ultrasound didapatkan co-morbiditas
hipertensi (50%), riwayat pembedahan dalam 3 bulan (38%), immobilitas dalam 30
hari (34%), kanker (32%) dan obesitas (27 %).

PATOGENESIS
Menurut Rudolph Virchow pada tahun 1859, patofisiologi vena trombosis akut
/ DVT akut meliputi kombinasi dari tiga faktor (yang kemudian dikenal dengan Trias
Vircow) yaitu adanya stasis aliran darah, jejas pada endotel pembuluh darah vena
dan keadaan hiperkoagulabilitas.
Stasis aliran darah (penurunan aliran darah vena) akan menyebabkan
terjadinya interaksi yang berlebihan yang akan menyebabkan ketidakseimbangan
antara faktor koagulan dan faktor anti koagulan, Immobilisasi yang lama seperti
pada pasien post operatif, paralisis dan orang yang menjalani perjalanan jauh
dengan menggunakan pesawat (economy class syndrome) akan menyebabkan
Aliran darah yang lambat terutama saat melewati katup vena akan menyebabkan
adesi leukosit dan hipoksia lokal juga memicu jejas endotel dan faktor
hiperkoagulabilitas. Hal ini akan menyebabkan peningkatkan terjadinya tombosis
.

Setiap trauma baik minor maupun mayor yang menyebabkan kerusakan
pembuluh darah akan menyebabkan iritasi dan inflamasi yang akan meningkatkan
faktor pembekuan darah. Pada keadaan normal platelet tidak akan terikat pada
endothelium karena endothelium yang tidak terstimulasi tidak mempunyai receptor
untuk mengikat platelet dan juga endothelium mempunyai kemampuan
memproduksi Nitric oxide dan prostacyclin untuk mempertahankan platelet dalam
keadaan tidak aktif dan mempengaruhi ikatannya. Ketika lapisan endothelium telah
hilang maka platelet akan terpapar dengan subendothelium yang mempunyai
receptor. Ikatan antara platelet dengan subendothelium ini dimediasi
oleh glycoprotein (GP) Ib-IX-V yang terikat melalui faktor von Willebrand. Perlekatan
platelet terhadap endotel vaskuler akan mengaktivasi platelet dan menyebabkan
sintesis dan pelepasan (degranulasi) berbagai mediator agregasi platelet,
termasuk thromboxane A2 (TxA2),adenosine diphospate (ADP) dan 5-
hydroxytryptamine (5HT atau serotonin). Mediator ini meningkatkan ekspresi
glycoprotein IIb/IIIa receptor yang berikatan dengan fibrinogen dan menyebabkan
agregasi platelet. Dari penelitian yang dilakukan oleh Brill menunjukkan bahwa
faktor Von Willebrand berperan penting terhadap terjadinya adesi platelet pada
trombosis vena. Defisiensi faktor Von Willebrand akan mencegah terjadinya
trombosis.
Keadaan hiperkoagulabilitas disebabkan berkurangnya fibrinolisis dan
meningkatnya prokoagulan. Hiperkoagulabilitas biasa terjadi pada kondisi post
operasi, trauma, keganasan, kehamilan, penggunaan kontrasepsi oral dan desifiensi
protein C dan S. Pemakaian kontrasepsi hormonal (estrogen) yang lama dapat
menurunkan antitrombin III dan protein S, meningkatkan aktivasi faktor VII dan X.
Juga menurunkan thrombomodulin dan menurunkan aktivasi protein C. Keganasan
seperti adenocarcinoma pada kanker paru (sindrom Trousseau) dapat menyebabkan
keadaan hiperkoagulabilitas melalui interaksi sel tumor dan produknya dengan sel
inang. Interaksi tersebut menghilangkan mekanisme protektif yang mencegah
terbentuknya trombus. Sel tumor merangsang faktor prokoagulan dengan
mensekresi tromboplastin jaringan yang merupakan kofaktor dengan faktor VIIa
yang mengaktifkan faktor X. Selain itu sel tumor juga melepaskan protease yang
merangsang faktor pembekuan. Pada keganasan terjadi peningkatan faktor V, VIII,
IX, X .

PENATALAKSANAAN DEEP VEIN THROMBOSIS (DVT)
Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam (deep
vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan perivena (Wakefield,
2008). DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan
aliran darah vena (stasis) yang dikenal dengan trias virchow (JCS Guidelines, 2011; Bailey, 2009;
Hirsh, 2002). DVT merupakan kelainan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah penyakit koroner
arteri dan stroke (Patterson, 2011). DVT terjadi pada kurang lebih 0,1% orang/tahun. Insidennya
meningkat 30 kali lipat dibanding dekade yang lalu. Insiden tahunan DVT di Eropa dan Amerika
Serikat kurang lebih 50/100.000 populasi/tahun (JCS Guidelines, 2011). Faktor resiko DVT antara lain
faktor demografi/lingkungan (usia tua, imobilitas yang lama), kelainan patologi (trauma,
hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid syndrome, vena varikosa ekstremitas bawah,
obesitas, riwayat tromboemboli vena, keganasan), kehamilan, tindakan bedah, obat-obatan
(kontrasepsi hormonal, kortikosteroid) (JCS Guidelines, 2011; Goldhaber, 2010; Sousou, 2009; Bailey,
2009). Meskipun DVT umumnya timbul karena adanya faktor resiko tertentu, DVT juga dapat timbul
tanpa etiologi yang jelas (idiopathic DVT) (Bates, 2004; Hirsh, 2002). Untuk meminimalkan resiko
fatal terjadinya emboli paru diagnosis dan panatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan. Kematian
dan kecacatan dapat terjadi sebagai akibat kesalahan diagnosa, kesalahan terapi dan perdarahan
karena penggunaan antikoagulan yang tidak tepat, oleh karena itu penegakan diagnosa dan
penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan (Bates, 2004; Hirsh, 2002).

DIAGNOSIS
DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral (iliac DVT dan femoral DVT) dan tipe perifer (DVT pada
vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan gejala dan tanda klinis serta derajat keparahan
drainase vena DVT dibagi menjadi DVT akut dan kronis. Diagnosis DVT ditegakkan berdasarkan
anamnesis, gejala dan tanda yang ditemukan pada pemeriksaan fisik serta ditemukannya faktor
resiko (Bates, 2004). Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan warna kulit
(phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue leg) (JCS Guidelines, 2011). Skor
dari Wells (tabel 1) dapat digunakan untuk stratifikasi (clinical probability) menjadi kelompok resiko
ringan, sedang atau tinggi (JCS Guidelines, 2011; Hirsh, 2002).
Tabel-1. Skor Wells (Hirsh, 2002)



Pasien dengan DVT dapat memiliki gejala dan tanda yang minimal dan tidak khas karenanya
pemeriksaan tambahan seringkali diperlukan untuk menegakkan diagnosa (Hirsh, 2002).
Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Nilai prediktif negatif
pemeriksaan D-dimer pada DVT lebih dari 95%, pemeriksaan ini bersifat sensitif tapi tidak spesifik,
sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis DVT (Adam, 2009; Wolberg, 2009).
Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold
standard), namun pemeriksaan non invasive ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran
angiografi pada kondisi tertentu. USG Doppler memberikan sensitivitas 95% dan spesifisitas 96%
untuk mendiagnosa DVT yang simptomatis dan terletak pada bagian proksimal akan tetapi
pada isolated calf vein thrombosis sensitivitasnya hanya 60% dan spesifisitasnya kurang lebih 70%
(JCS Guidelines, 2011; Righini, 2007; Hirsh, 2002: Ramzi, 2004). Jika dengan metode pemeriksaan
USG doppler dan D-dimer diagnosis DVT belum dapat ditegakkan maka magnetic resonance
venography(MRV) harus dilakukan (JCS Guidelines, 2011). Algoritme diagnosis DVT dapat dilihat
pada gambar-1.


TERAPI INISIAL
Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang makin luas dan
emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya sindrom post
trombotik. Kombinasi heparin dan antikoagulan oral merupakan terapi inisial dan drug of choice DVT
(Key, 2010; Scarvelis , 2006; Ramzi, 2004; Bates, 2004).
Gambar-1. Algoritme diagnosis DVT (Hirsh, 2002)



Unfractionated Heparin (UFH)
Unfractionated heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat tapi harus diberikan secara
intravena. UFH berikatan dengan antitrombin dan meningkatkan kemampuannya untuk
menginaktivasi faktor Xa dan trombin (Mackman, 2010; Deitcher, 2009). Dosis Unfractionated
heparin berdasarkan berat badan dan dititrasi sesuai kadar activated partial-thromboplastin
time (APTT). Dosis heparin yang disesuaikan berdasarkan berat badan dan APTT dapat dilihat pada
tabel-2. Target APTT yang diinginkan adalah antara 1,5 sampai 2,3 kali kontrol. Respon antikoagulan
dari UFH berbeda pada tiap-tiap individu karena obat ini berikatan secara nonspesifik dengan plasma
dan protein sel. Efek samping meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi inisial resiko
terjadinya perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung pada dosis, usia, penggunaan bersama
dengan antitrombotik atau trombolitik. Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien.
Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5 hari setelah penggunaanya bersama warfarin jika
target International Normalized Ratio (INR) dari prothrombin clotting time lebih dari 2,0 (Ramzi,
2004; Bates, 2004).
Low Molecular Weight heparin (LMWH)
Low Molecular Weight Heparin (LMWH) bekerja dengan cara menghambat faktor Xa melalui ikatan
dengan antitrombin (Mackman, 2011). LMWH merupakan antikoagulan yang memiliki beberapa
keuntungan dibanding UFH antara lain respon antikoagulan yang lebih dapat diprediksi, waktu paruh
yang lebih panjang, dapat diberikan sub kutan satu sampai dua kali sehari, dosis yang tetap, tidak
memerlukan monitoring laboratorium. LMWH banyak menggantikan peranan UFH sebagai
antikoagulan (Deitcher, 2009; Hirsh, 2002).
Tabel-2. Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APTT
(Ramzi, 2004)

Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi dibanding penggunaan
UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan darah, riwayat stroke perdarahan,
metastase ke central nervous system(CNS), kehamilan peripartum, operasi abdomen atau ortopedi
dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan aman
dan efektif terutama jika pasien edukatif serta ada sarana untuk memonitor. Penggunaan LMWH
pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan trombosis masif, memiliki
kecenderungan perdarahan yang tinggi seperti usia tua, baru saja menjalani pembedahan, riwayat
penyakit ginjal dan liver serta memiliki penyakit penyerta yang berat (Hirsh, 2002; Bates, 2004;
Ramzi, 2004). LMWH diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu pada penderita ganguan fungsi
ginjal perannya dapat digantikan oleh UFH (Mackman, 2011; Key, 2010).
Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin selama empat sampai lima hari
dan dihentikan jika kadar INR setelah penggunaanya bersama warfarin mencapai 2 atau lebih.
Enoxaparin (lovenox) adalah LMWH pertama yang dikeluarkan oleh U.S. Food and Drug
Administration(FDA) untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB, dua kali sehari. Dalteparin (Fragmin)
hanya digunakan untuk terapi profilaksis dengan dosis 200 IU/kgBB/hari dalam dosis terbagi dua kali
sehari. Tinzaparin (Innohep) diberikan dengan dosis 175 IU/kgBB/hari (Ramzi, 2004). Pilihan lain
adalah penggunaan fondaparinux (Arixtra). Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja
menghambat faktor Xa dan trombin (Mackman, 2011). Dapat digunakan sebagai profilaksis dan
terapi pada kondisi akut dengan dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg), atau 10 mg (BB >100
kg) secara subkutan, satu kali perhari (Mackman, 2011; Buller, 2004).

TERAPI JANGKA PANJANG
Setelah terapi inisial dengan UFH atau LMWH, terapi antikoagulan dilanjutkan dengan pemberian
derivat kumarin sebagai profilaksis sekunder untuk mencegah kekambuhan (Bates, 2004). Warfarin
adalah obat yang paling sering diberikan. Warfarin adalah antagonis vitamin K yang
menghambat vitamin K-dependent clotting factor (faktor II, VII, IX, X) melalui hambatan terhadap
enzimvitamin K epoxide reductase (Dietrich, 2009). Dosis awal yang diberikan adalah 5 mg pada hari
pertama sampai hari keempat, dosis dititrasi tiap 3 sampai 7 hari dengan target kadar INR berkisar
2,0 sampai 3,0. Dosis yang lebih kecil (2-4 mg) diberikan pada usia tua, BB rendah dan kondisi
malnutrisi (Bates, 2004; Hirsh, 2002).
Therapeutic window warfarin sangat sempit sehingga monitoring INR secara berkala diperlukan
untuk mencegah trombosis rekuren dan efek samping perdarahan. INR sebaiknya diperiksa 2 kali per
minggu selama 1 sampai 2 minggu awal penggunaan, diikuti 1 kali perminggu untuk 4 minggu
berikutnya, lalu tiap 2 minggu sekali untuk 1 bulan berikutnya dan akhirnya tiap sebulan sekali jika
target INR tercapai dan pasien dalam kondisi optimal (Bates, 2004; Hirsh, 2002). Penggunaan LMWH
sebagai terapi alternatif jangka panjang sedang dievaluasi. LMWH memiliki beberapa keuntungan
dibanding warfarin yaitu tidak memerlukan monitoring INR sehingga cost effective dan dapat
digunakan jika ada kesulitan akses laboratorium, LMWH juga memiliki onset dan offset of
action yang lebih cepat daripada warfarin, lebih efektif pada trombosis pasien kanker dan kasus
rekurensi trombosis pada penggunaan warfarin jangka lama. Akan tetapi kelemahan LMWH adalah
penggunaannya yang tidak nyaman bagi pasien karena harus diberikan subkutan disamping
harganya yang mahal (Hirsh, 2002: Bates, 2004).
Warfarin sebagai terapi jangka panjang DVT memiliki banyak kelemahan antara lain onset of
action yang lambat, dosis yang bervariasi antar individu, interaksi dengan banyak jenis obat dan
makanan, therapeutic window yang sempit sehingga membutuhkan monitoring ketat. Oleh
karenanya dibutuhkan agen antikoagulan oral yang baru dan lebih baik untuk menggantikannya. Ada
beberapa macam antikoagulan baru yang telah banyak dipakai sebagai profilaksis DVT seperti
rivaroxaban (inhibitor faktor Xa), apixaban (inhibitor faktor Xa) dan dabigatran etexilate (inhibitor
trombin) tetapi belum ada yang digunakan sebagai terapi pada DVT akut. Secara teori obat
antikoagulan baru memiliki kelebihan dibanding warfarin antara lain onset of action yang cepat dan
tidak membutuhkan terapi inisial dengan antikoagulan parenteral, tapi belum ada penelitian tentang
hal ini. Kekurangan obat antikoagulan baru adalah tidak adanya antidotum yang spesifik terehadap
efek samping perdarahan sehingga penggunaan obat-obat ini masih memerlukan penelitian lebih
lanjut, selain itu harganya jauh lebih mahal dari warfarin (Key, 2010; Garcia, 2010; Mackman, 2010).
DURASI PENGGUNAAN ANTIKOAGULAN
Durasi penggunaan antikoagulan tergantung pada resiko terjadinya perdarahan dan rekurensi dari
trombosis. Resiko perdarahan selama terapi inisial dengan UFH atau LMWH kurang lebih 2-5%,
sedangkan pada penggunaan warfarin kurang lebih 3% pertahun. Annual case fatality rate pada
penggunaan antikoagulan adalah 0,6%. Case fatality rate rekurensi DVT kurang lebih 5% (Hirsh,
2002). Banyak studi membandingkan keuntungan dan kekurangan pemberian oral vitamin K
antagonis jangka panjang (>3 bulan) karena adanya fakta bahwa kejadian DVT sebenarnya
merupakan kasus kronik dengan angka rekurensi jangka panjang yang cukup signifikan (<50% setelah
10 tahun penghentian antikoagulan) (Key, 2010; Zhu, 2009). Terapi antikoagulan yang inadekuat
dapat meningkatkan resiko terjadinya rekurensi dan sindroma post trombotik (Zhu, 2009).
Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien dengan faktor resiko reversibel
memiliki resiko rekurensi yang rendah setelah terapi antikoagulan selama 3 bulan, sebaliknya pada
pasien DVT idiopatik/unprovoked yang hanya diterapi selama 3 bulan memiliki resiko rekurensi
sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian prospektif dan ekstrapolasi dari penelitian terhadap
resiko rekurensi setelah episode awal trombosis, pasien dapat diklasifikasikan menjadi kelompok
resiko rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi (Bates, 2004; Hirsh, 2002)
Tabel-4. Kategori resiko rekurensi dan rekomendasi durasi terapi (Hirsh, 2002)


TERAPI TROMBOLITIK
Trombolitik memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan mengembalikan patensi vena lebih
cepat daripada antikoagulan (Bates, 2004). Trombolitik dapat diberikan secara sistemik atau lokal
dengan catheter-directed thrombolysis (CDT). Terapi trombolitik pada episode akut DVT dapat
menurunkan resiko terjadinya rekurensi dan post thrombotic syndrome (PTS) (Key, 2010; Kahn,
2009). Serine protease inhibitor endogen seperti urokinase dan rekombinan tissue plasminogen
activator (r-TPA) menggantikan fungsi streptokinase sebagai obat pilihan pada terapi trombolitik
sistemik dengan efek samping yang lebih minimal, akan tetapi banyak pusat-pusat kesehatan lebih
memilih menggunakan alteplase (Patterson, 2010). Trombolitik sistemik dapat menghancurkan
bekuan secara cepat tapi resiko perdarahan juga tinggi. Penggunaan trombolitik dengan CDT akan
menghasilkan konsentrasi lokal yang lebih tinggi daripada secara sistemik dan secara teori
seharusnya dapat meningkatkan efikasinya dan menurunkan resiko perdarahan (Patterson, 2010;
Scarvelis, 2006; Bates, 2004).
Resiko terjadinya perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding penggunaan
heparin (Bates, 2004; Patterson, 2010). Indikasi dilakukan trombolisis antara lain trombosis luas
dengan resiko tinggi terjadi emboli paru, DVT proksimal, threatened limb viability, adanya
predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis yang baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih
dari 6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi dilakukan trombolisis (Patterson, 2010;
Scarvelis, 2006). Kontraindikasi trombolisis antara lain bleeding diathesis/trombositopeni, resiko
perdaraham spesifik organ (infark miokard akut, trauma serebrovaskular, perdarahan
gastrointestinal, pembedahan, trauma), gagal hati atau gagal ginjal, keganasan (metastase otak),
kehamilan, stroke iskemi dalam waktu 2 bulan, hipertensi berat yang tidak terkontrol (SBP>180
mmHg, DBP>110 mmHg) (JCS Guiedelines, 2011; Patterson, 2010).
CDT dilakukan dengan tuntunan ultrasound sehingga dapat meminimalkan terjadinya komplikasi dan
punksi multipel pembuluh darah (Patterson, 2010). Protokol tindakan trombolisis dapat dilihat pada
tabel 3.
Pemilihan untuk dilakukan trombolisis atau tidak, pemilihan agen trombolitik, penggunaan venous
stenting tambahan dan inferior vena cava filter(IVC) berbeda-beda pada tiap pusat kesehatan. IVC
tidak rutin dilakukan dan umumnya hanya dipakai sementara, penggunaannya dilakukan pada
kondisi tertentu seperti adanya kontraindikasi penggunaan antikoagulan dan timbulnya DVT pada
penggunaan rutin antikoagulan. Penggunaanya harus melalui diskusi tim multidisiplin dan kasus per
kasus (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates, 2004). Pemasangan stent endovaskular pada saat
dilakukan CDT dapat dilakukan pada kasus tertentu seperti adanya kelainan anatomi yang mendasari
timbulnya DVT (May-Thurner syndrome). Pada sindrom ini vena iliaka komunis ditekan oleh arteri
iliaca komunis sehingga terjadi tekanan dan kerusakan pembuluh darah. Penyebab lain yaitu
kompresi oleh tumor daerah pelvis, osteofit, retensi urin kronik, aneurisma arteri iliaka,
endometriosis, kehamilan, tumor uterus (Patterson, 2010).Aspiration thrombectomy juga dapat
dilakukan bersama CDT pada kasus tertentu. Terapi antikoagulan tetap harus dilakukan setelah
tindakan trombolisis untuk mencegah progresivitas dan munculnya kembali trombus (JCS Guidelines,
2011; Patterson, 2010).

TERAPI NON FARMAKOLOGIS
Terapi non farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence based nya. Latihan
dan compression dapat mengurangi pembengkakan, nyeri serta mengurangi insiden terjadinya post
thrombotic syndrome (PTS). Penggunaancompression stockings selama kurang lebih 2 tahun dimulai
2-3 minggu ketika diagnosa DVT ditegakkan menurunkan resiko timbulnya PTS. Peranancompression
stockings atau intermitten pneumatic compression (IPC) dalam mencegah PTS belum sepenuhnya
dimengerti, namun penggunaannya telah digunakan secara luas. Compression stockings sebaiknya
digunakan pada pasien dengan gejala berat dan mereka yang memiliki fungsi vena yang jelek (JCS
Guidelines, 2011; Kahn, 2009; Bates, 2004).
Tabel-3. Protokol trombolisis pada DVT (Patterson, 2010)


TROMBEKTOMI
Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut tetapi terdapat kontraindikasi
trombolitik atau gagal dengan trombolitik maupunmechanical thrombectomy, lesi yang tidak dapat
diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan untuk
penggunaan antikoagulan. Trombus divena iliaka komunis dipecah dengan kateter embolektomi
fogarty dengan anestesi lokal. Trombus pada daerah perifer harus dihilangkan dengan cara
antegrade menggunakan teknik milking dan esmarch bandage.Kompresi vena iliaka harus diatasi
dengan dilatasi balon dan atau stenting. Setelah tindakan pembedahan, heparin diberikan selama 5
hari dan pemberian warfarin harus dimulai 1 hari setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan
setelah pembedahan. Untuk hasil yang maksimal tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan kurang
dari 7 hari setelah onset DVT. Pasien dengan phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk
tujuan dekompresi kompartemen dan perbaikan sirkulasi (JCS Guidelines, 2011).
POSTTHROMBOTIC SYNDROME (PTS)
Postthrombotic syndrome adalah komplikasi kronik dari DVT. Kurang lebih sepertiga dari pasien DVT
akan timbul komplikasi PTS, 5-10% menjadi PTS berat dengan gejala ulserasi vena (Kahn, 2009).
Diagnosis PTS merupakan diagnosis klinis yang didasarkan pada timbulnya gejala berupa kelemahan
tungkai, nyeri, edema, gatal, kram, parestesi pada tungkai bawah, memberat pada aktivitas, berdiri,
berjalan dan membaik dengan istirahat. Gejala ini disebabkan karena hipertensi vena yang persisten
(karena obstruksi intravena residual) atau insufisiensi valvular vena (Key 2010; Kahn, 2009). Pada
pemeriksaan fisik didapatkan edema, teleangiektasi peri-malleolar, ektasis vena, hiperpigmentasi,
kemerahan, sianosis, ulkus. The Subcommittee on Control of Anticoagulation of the Scientific and
Standardization Committee of the International Society on Thrombosis and
Hemostasis merekomendasikan penggunaan skala villalta untuk diagnosis PTS. Compression
Ultrasonography dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan kecurigaan PTS
tanpa ada riwayat DVT sebelumnya (Kahn, 2009).
Penatalaksanaan PTS meliputi penggunaan elastic compression stockings(ECS) untuk mengurangi
edema dan keluhan, intermitten pneumatic compressionefektif untuk PTS simptomatik berat, agen
venoaktif seperti aescin atau rutosides memberikan perbaikan gejala jangka pendek. Compression
therapy, perawatan kulit dan topical dressings digunakan untuk ulkus vena (Kahn, 2009). PTS dapat
dicegah dengan penggunaan tromboprofilaksis pada pasien resiko tinggi, rekurensi trombus
ipsilateral dicegah dengan pemberian antikoagulan yang tepat dosis dan durasi,
menggunakan elastic compression stocking selama kurang lebih 2 tahun setelah diagnosis DVT
ditegakkan. Peran trombolisis pada pencegahan PTS belum diketahui secara jelas. Peranan CDT
dalam rangka prevensi PTS juga membutuhkan evaluasi lebih lanjut (Kahn, 2009).
Tabel-5. Skala PTS Villalta





RINGKASAN
Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam (deep
vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan perivena, disebabkan
oleh disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena. Faktor
resiko DVT antara lain faktor demografi/lingkungan (usia tua, imobilitas yang lama), kelainan
patologi (trauma, hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid syndrome, vena varikosa
ekstremitas bawah, obesitas, riwayat tromboemboli vena, keganasan), kehamilan, tindakan bedah,
obat-obatan (kontrasepsi hormonal, kortikosteroid). Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri
dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue leg).
Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold
standard), namun pemeriksaan non invasive ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran
angiografi pada kondisi tertentu. Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis
DVT. Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang makin luas
dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya sindrom
post trombotik. Kombinasi heparin dan antikoagulan oral (warfarin) merupakan terapi inisial
dandrug of choice DVT. Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Indikasi
dilakukan trombolisis antara lain trombosis luas dengan resiko tinggi terjadi emboli paru, DVT
proksimal, threatened limb viability, adanya predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis yang
baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada
kontraindikasi dilakukan trombolisis. Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT
iliofemoral akut tetapi terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik
maupun mechanical thrombectomy, lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus
sukar dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan. Terapi non
farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence based nya.

Вам также может понравиться

  • Pengertian Resistor Dan Jenis
    Pengertian Resistor Dan Jenis
    Документ9 страниц
    Pengertian Resistor Dan Jenis
    Gusthyn Rhyuuee
    Оценок пока нет
  • Agustin SAP Merokok
    Agustin SAP Merokok
    Документ9 страниц
    Agustin SAP Merokok
    Gusthyn Rhyuuee
    100% (2)
  • Agustin SOP Kompres Hangat Jahe
    Agustin SOP Kompres Hangat Jahe
    Документ4 страницы
    Agustin SOP Kompres Hangat Jahe
    Gusthyn Rhyuuee
    100% (1)
  • Agustin SAP Diet Asam Urat
    Agustin SAP Diet Asam Urat
    Документ13 страниц
    Agustin SAP Diet Asam Urat
    Gusthyn Rhyuuee
    Оценок пока нет
  • Fungsi Perawat Gerontik
    Fungsi Perawat Gerontik
    Документ30 страниц
    Fungsi Perawat Gerontik
    Gusthyn Rhyuuee
    Оценок пока нет
  • Deep Vein
    Deep Vein
    Документ12 страниц
    Deep Vein
    Gusthyn Rhyuuee
    Оценок пока нет
  • Nefrotoksik
    Nefrotoksik
    Документ2 страницы
    Nefrotoksik
    Gusthyn Rhyuuee
    Оценок пока нет
  • Alat Bantu Berjalan Pasien
    Alat Bantu Berjalan Pasien
    Документ4 страницы
    Alat Bantu Berjalan Pasien
    Gusthyn Rhyuuee
    Оценок пока нет
  • Macam Kruk
    Macam Kruk
    Документ2 страницы
    Macam Kruk
    Gusthyn Rhyuuee
    Оценок пока нет
  • Fraktur Mandibula 2
    Fraktur Mandibula 2
    Документ19 страниц
    Fraktur Mandibula 2
    Gusthyn Rhyuuee
    Оценок пока нет
  • Nefrotoksik
    Nefrotoksik
    Документ2 страницы
    Nefrotoksik
    Gusthyn Rhyuuee
    Оценок пока нет
  • Askep Selulitis
    Askep Selulitis
    Документ26 страниц
    Askep Selulitis
    Gusthyn Rhyuuee
    75% (4)
  • DVT
    DVT
    Документ20 страниц
    DVT
    Gusthyn Rhyuuee
    Оценок пока нет