Faktor prediksi suksesnya penyelenggaraan dan keamanan Pemilu, menjadi magnet bagi investor untuk masuk. Investor sudah cukup dewasa, Indonesia sekarang bukanlah Indonesia yang dulu, sehingga berita-berita negative yang menakut-nakuti investor selama akan, sedang dan setelah berlangsungnya pemilu, seperti hantu hutang Dolar AS yang akan jatuh tempo akan membuat Rupiah akan terpuruk dan lain-lain, seolah- olah sudah tidak ditakuti. Pasar Modal Bukti menunjukkan sejak sejak sebulan terakhir investasi di pasar modal Indonesia naik cukup tajam. Sejak 18 Maret 2009 terdapat 20 hari Bursa. Selama 20 hari Bursa hanya 4 hari terjadi penurunan indek, berarti terjadi 16 kali kenaikan di IHSG BEI. Belum ada sebulan investasi asing di SUN naik Rp2,51 triliun, dibanding akhir Maret 2009 yang menjadi Rp82,34 triliun, begitu pula investasi saham. Transaksi harian yang sebelumnya di bawah Rp1 triliun telah naik di atas Rp3 triliun, bahkan sempat mencapai di atas Rp5 triliun. Kondisi tersebut menunjukkan kondisi Bullish sedang berjalan. Selama 2009, dapat kita ketahui bahwa dari closing akhir 2008 hingga 17 April 2009, IHSG BEI naik 20,61% dari 1.355,407 menjadi 1.634,790, Indeks LQ 45 naik 20,32% dari 270,231 menjadi 325,166, Indeks JII naik 23,47% dari 216,188 menjadi 266,933. Sementara itu Indeks AII (Airlangga Islamic Index) yang dihitung pada akhir 2008, naik paling tinggi sebesar 25,13%, dari 100 menjadi 125,137. Rupiah Akibat psikologis atas persepsi kelancaran pemilu adalah penguatan Rupiah. Penguatan ini adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Beberapa kalangan menganggap Rupiah adalah exotic currency. Bisa jadi dianggap exotic, karena yang melemahkan rupiah diindikasikan adalah orang Indonesia sendiri. Why? Karena selama orde baru (orba), siapapun mendapatkan untung kalau memegang aset dalam Doalr AS, karena setiap tahun Rupiah terdevaluasi. Di jaman orba, Rupiah hampir tiap tahun terdevaluasi 5% per Dolar AS. Hal ini karena purchasing power Rupiah terhadap Dolar AS sangatlah lemah. Ibaratnya bila investor asing berinvestasi US$1 juta dengan menkonversi Dolar AS ke Rupiah, maka paling tidak si investor harus siap rugi 5% tiap tahun, atau kalau mau untung 5%, itu baru impas. Jadi untungnya harus lebih dari 5%. Karena itu, orang kaya di Indonesia yang mengerti hal tersebut selama periode orba banyak menempatkan dananya dalam bentuk Dolar AS. Begitu pula investor asing selalu meminjamkan dananya dalam bentuk valas, khususnya Dolar AS. Saat 1997-1998, Rupiah sempat terdevaluasi hingga Rp16.000 per Dolar AS, meski akhirnya menguat kembali di kisaran Rp9.000 per Dolar AS. Selama 10 tahun terakhir, relatif Rupiah cukup kuat di kisaran Rp9.000 hingga Rp10.000 per Dolar AS. Kalaupun menguat atau melemah, relatif akan kembali ke kisaran tersebut. Mengapa demikian? Karena banyak perubahan di ekonomi dunia. Diantaranya munculnya Euro sebagai saingan Dolar AS dalam 10 tahun terakhir, melemahnya Dolar AS akibat biaya perang (dengan Iraq dan lainnya) dan krisis keuangan, secara regional menguatnya ekonomi China, Korea dan India termasuk ASEAN, wajah demokrasi Indonesia yang semakin maju, masuknya dana asing ke Indonesia luar biasa, naiknya harga-harga komoditas yang diproduksi Indonesia menjadi salah satu hal yang menguatkan Indonesia dibanding dulu. Jadi pemilik dana lokal yang biasa menempatkan dana dalam Dolar AS, sekarang harus berpikir ulang. Dolar AS saat ini belum tentu memiliki purchasing power yang bagus terhadap Rupiah seperti dulu. Tepat setahun yang lalu, 21 April 2008, Rupiah berada di posisi sekitar Rp9.184 per Dolar AS. Kalau saat ini, 20 April 2009 di kisaran Rp10.715 Dolar AS, berarti melemah sekitar 16,6% selama setahun. Beruntung menguat, karena Rupiah di tanggal 24 November 2008 sempat di Rp12.550 per Dolar AS. Tepat sebulan yang lalu tanggal 19 Maret 2009, Rupiah berada di posisi sekitar Rp11.964 per Dolar AS. Berarti selama sebulan terakhir Rupiah menguat 11,6%. Pelemahan setahun terakhir maupun penguatan sebulan terakhir telah banyak menimbulkan kebingungan banyak pihak, mulai eksportir, importer, produsen, konsumen, maupun berbagai komponen bangsa. Intinya sering teori supply and demand tidak berlaku. Sering terjadi anomali-anomali. Ketika inflasi naik, seharusnya suku bunga naik, faktanya bisa sebaliknya. Peran Bank Indonesia (BI) untuk menjaga nilai tukar dan inflasi, juga akhirnya kurang dapat berjalan, ketika terjadi anomali-anomali tersebut. Karena itu, perlu dipikir ulang rezim nilai tukar Rupiah dengan sebuah konsep untuk menjaga stabilitas Rupiah, agar pelbagai pihak yang telah bekerja keras dengan keringat (sektor riil) tidak kebingungan lagi menghadapi rezim kurs seperti sekarang ini. Investasi caleg VS saham Pemilu Legislatif (pileg) DPD, DPR RI, DPRD I dan DPRD II telah usai, namun perhitungan belum usai. Pemilu yang diikuti ribuan calon legislatif (caleg) itu masih menyisakan beberapa hal yang memerlukan penyelesaian masalah untuk dituntaskan. Persepsi yang berkembang, masalah tersebut nampaknya akan teratasi. Partai-partai yang lolos ke Senayan nampaknya sudah terdeteksi, hanya sembilan partai. Pileg kali ini adalah sebuah euphoria politik yang luar biasa dan akan menjadi pelajaran bagi siapa saja yang ingin masuk dunia politik. Investasi menjadi caleg tak ubahnya seperti investasi di pasar modal. Ketika keliru memilih saham, maka akan sulit mendapat untung bahkan kerugian yang didapat. Kerugian itu bisa sementara, namun juga bisa selamanya. Rugi sementara, kalau dalam lima tahun mendatang tetap bertahan di partai tersebut sambil terus memasarkan diri ke masyarakat atau pindah partai lain yang lebih menjanjikan, dengan harapan terpilih saat Pemilu 2014. Rugi selamanya, kalau sudah kapok menjadi caleg selamanya. Sama ketika membeli saham, salah memilih berinvestasi saham karena harganya turun, maka pilihannya ada dua, menahan saham sampai ke harga semula atau sambil melakukan averaging. Rugi selamanya kalau akhinya kapok investasi di saham dengan menjual saham pada posisi rugi. Salah satu resiko lain, rugi yang tidak bisa kembali modalnya kalau partai pilihannya dilikuidasi. Sementara itu kalau investor saham, rugi dan modal tidak kembali kalau perusahaan yang sahamnya dibeli, dilikuidasi. Namun, ke depan kalau boleh memilih, investasi di partai atau saham Blue Chip, akan lebih aman dibanding partai atau saham yang bukan Blue Chip. Paling tidak, sembilan partai yang terdeteksi saat ini dapat diibaratkan Partai Blue Chip. Kalau di pasar modal sembilan saham terdeteksi Blue Chip saat ini adalah TLKM, BBCA, BBRI, ASII, UNVR, PGAS, BMRI, INCO, ISAT dan ADRO. Ini bukan berarti investasi menjadi caleg di partai atau saham non Blue Chip tidak bagus. Masing-masing menawarkan risk, cost and return sendiri-sendiri. Keberanian Dalam beberapa pekan mendatang, sepanjang tidak ada gejolak sosial lokal atau internasional, nampaknya pasar modal akan tetap menuju arah naik. Ibarat bola salju keberanian untuk berinvestasi mulai kembali, ketakutan mulai berkurang, percaya diri mulai membaik, dan bola salju keberanian ini kalau semakin membesar yang ditandai banyaknya konversi valas ke Rupiah, baik dari asing langsung maupun lokal, maka Rupiah dan pasar modal akan semakin menguat. Indikasi lain, saham-saham yang sering dikategorikan saham politik , karena pemiliknya politisi dan duduk di pemerintahan, juga naik tajam dalam sepekan terakhir, setelah pileg usai. BNBR yang awal pekan kedua 2009 harganya di pasar negosiasi masih di kisaran Rp30 per saham, dalam dua hari kemarin telah naik hingga di-auto reject di hari pertama dan di hari kedua kenaikan mencapai Rp87, meski ditutup di Rp76 per saham atau naik sekitar 150% selama dua hari. Begitu pula saham kelompok usaha ini seperti UNSP, BTEL, ELTY, BUMI, ENRG dan DEWA. Butuh keberanian untuk berinvestasi di saat pelbagai berita positif dan negatif bercampur jadi satu. Namun nampaknya berita positif lebih mengemuka. Global sukuk Indonesia pun laku. Jadi masihkah anda tetap ragu terhadap Rupiah dan saham? Selamat berinvestasi. leo.herlambang@gmail.com