Disusun Oleh : Maria (12.0304) Dhini P (12.0265) Putri Indah (12.0309) Kartika Herriyati (12.0280) Ratna Yunita W (12.0273) Supartiningrum (12.0255) Yuniar Fajarwati (11.0183)
AKADEMI FARMASI THERESIANA SEMARANG 2014
Akfar Theresiana Page 1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Masyarakat Indonesia belum sepenuhnya memperhatikan tentang produk peternakan yang dikonsumsi sudah terbebas dari residu kimia (antibiotik, alfatoxin, dioxin) dan mikrobiologi berbahaya seperti salmonella. Peran pemerintah seharusnya lebih dominan dalam melindungi konsumen. Hal ini dapat dilakukan dengan pengontrolan produk-produk peternakan melalui system HACCP (Hazard Analyis and Critical Control Points) sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah tersusun secara sistematis dan disepakati bersama agar masyarakat aman mengkonsumsi produk-produk peternakan Pangan asal ternak sangat dibutuhkan manusia sebagai sumber protein. Protein hewani menjadi sangat penting karena mengandung asam-asam amino yang dibutuhkan manusia sehingga akan lebih mudah dicerna dan lebih efisien pemanfaatannya. Namun demikian, pangan asal ternak tidak aman dapat membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu keamanan pangan asal ternak merupakan persyaratan mutlak (Winarno, 1996). Dampak residu ada tiga macam yaitu dampak toxisitas, mikrobiologi, imonotologi. Residu bisa menjadi toxik atau racun bagi organ-organ yang biasa digunakan untuk mengeliminasi antibiotik, ginjal, hati, dan organ-organ peredaran darah. Dampak mikrobiologi bagi tubuh terjadi apabila kita mengkonsumsi produk peternakan secara terus-menerus sehingga residu terakumulasi di dalam tubuh yang bisa menyebabakan resistensi bakteri Akfar Theresiana Page 2
tertentu dalam jangka waktu yang panjang, misalnya penisilin yang terakumlasi sehingga tubuh sudah resisten terhadap obat penisilin. Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri.cHampir semua pabrik pembuat makanan ternak menambahkan obat hewan berupa antibiotika ke dalam pakan ternak sehingga sebagian besar pakan ternak komersial yang beredar di Indonesia mengandung antibiotika (Bahri,2000) Pemakaian antibiotika yang terus menerus dan tidak memperhatikan waktu henti pemberian antibiotika (with drawal time) dalam bidang peternakan akan menyebabkan terdapatnya residu antibiotika dalam produk hewani, yang mana hal ini dapat menyebabkan reaksi hipersensitifitas, resistensi dan kemungkinan keracunan (Yuningsih, 2005). Antibiotika tetrasiklin memang cukup luas digunakan di peternakan karena antibiotika ini memiliki spektrum luas yang mampu membunuh kuman gram positif dan gram negatif serta mampu membunuh kuman patogen yang tidak efektif dengan antibiotika lain sehingga sering menjadi pilihan dalam pengobatan penyakit di samping harganya juga lebih terjangkau (Hamide et al, 2000). Selain itu antibiotika golongan penisilin adalah antibiotika yang sering ditambahkan dalam pakan dan efektif dalam menstimulasi laju pertumbuhan pada ternak muda (Maynard dan Loosli, 1969) Masalah residu antibiotik pada pangan asal hewan berkaitan dengan praktik yang kurang baik dalam penggunaan antibiotik di peternakan. Akfar Theresiana Page 3
Antibiotik saat ini banyak digunakan untuk pengobatan (terapi) dan pemacu pertumbuhan (growth promotor). Penggunaan antibiotik yang tidak memperhatikan masa henti obat (withdrawal time), akan menimbulkan residu antibiotik pada produk hewan (Donkor et al. 2011). 1.2 Tujuan Penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotika tetrasiklin pada daging ayam yang dijual dipasar tradisional wilayah Semarang Selatan. 1.3 Manfaat Penelitian. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang cirri ciri daging ayam yang mengandung residu antibiotika. Menambah wawasan dengan mengetahui dampak yang diakibatkan dari penggunaan antibiotika untuk pangan ternak. Meningkatkan kewaspadaan dalam mengonsumsi daging ayam yang mengandung residu Antibiotika. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kandungan residu Antibiotik tetrasiklin yang terdapat pada daging ayam.
Akfar Theresiana Page 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibiotika Antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh berbagai jasad renik bakteri, jamur dan aktinomises, yang dapat berkhasiat menghentikan pertumbuhan atau membunuh jasad renik lainnya (Subronto dan Tjahajati, 2001). Antibiotika yang diperoleh secara alami dari mikroorganisme disebut antibiotika alami, antibiotika yang disintesis di laboratorium disebut antibiotika sintetis. Antibiotika yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan dimodifikasi dilaboratorium dengan menambahkan senyawa kimia disebut antibiotika semisintetis (Subronto dan Tjahajati, 2011). Penggolongan Antibiotika berdasarkan spectrum aktivitasnya : 1. Antibiotika dengan spectrum luas, efektif baik terhadap Gram Positif maupun Gram negatif, contoh : turunan tetrasiklin, turunan amfenicol, turunan aminoglikosida, turunan makrolida, turunan rifampisin, beberapa Turunan penisiilin, seperti ampisilin amoxicillin, bakampicilin, karbenisipillin, hetasillin, , pivampisillin, sulbenisillin, dan tikarsillin, dan sebagian besar turunan sefalosporin. 2. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadapa bakteri gram positif, contohnya : basitrasin, eritromisin, sebagian besar turunan penicillin, seperti benzilpenisilin, penicillin G prokain, penicillin V, fenitisillin K, metisilin Na, nafsillin Na, oksasilin Na, kloksasillin Na, Akfar Theresiana Page 5
dikloksasilin Na dan flosasilin Na, turunan linkosamida, asam fusidat dan beberapa turunan sefalosporin. 3. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan terhadap mycrobacteriae (antituberkoluse) , contohnya : rifampisin, streptomycine, kanamisine, sikloserin, viomisin dan kapreomisin. 4. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap gram negatif, contohnya : kolistin, polimiksin B sulfat dan sulfomisin. 5. Antibiotika yang aktif terhadap jamur (anti jamur), contohnya : griseofulvin dan antibiotika polien, seperti nistatin, amfoterisin B dan kandistatin. 6. Antibiotika yang aktif terhadap neoplasma (antikanker), contohnya : antinomisin, bleomisin, daunorubisin, doksorubisin, mitomisin, dan mitramisin. ( Siswandono, 1995) 2.1.1 Tetrasiklin Rumus Strultur
Tetrasiklin memiliki rumus molekul C 22 H 24 N 2 O 8 .HCl dengan berat molekul 480,6. Tetrasiklin merupakan serbuk hablur, kuning, tidak berbau, agak higroskopis. Stabil di udara tetapi pada pemaparan terhadap cahaya matahari yang kuat dalam udara lembab menjadi gelap. Larut dalam air, dalam alkali hidroksida dan dalam larutan karbonat, sukar larut dalam etanol, praktis tidak larut dalam kloroform dan eter. Tetrasiklin mudah Akfar Theresiana Page 6
membentuk garam dengan ion Na + dan Cl - sehingga kelarutannya menjadi lebih baik ( Depkes RI, 1995) Tetrasiklin merupakan kelompok antibiotika yang dihasilkan oleh jamur Streptomyces aureofasiens atau S. rimosus. Tetrasiklin bersifat bakteriostatik dengan daya jangkauan (spektrum) luas, dengan jalan menghambat sintesis protein dengan cara mengikat sub unit 30 S dari pada ribosom sel bakteri. Pada unggas tetrasiklin digunakan untuk mengatasi infeksi CRD (Chronic Respiratory Diseasis), erisipclas dan sinusitis (Subronto dan Tjahjati, 2001).
2.2 Penggunaan Antibiotika dalam Perternakan Pemberian antibiotika pada hewan dalam peternakan skala besar umumnya diberikan melalui air minum dan dapat diikuti dengan pemberian antibiotika melalui pakan (Martaleni, 2007). Umumnya pemberian antibiotika yang diberikan pada ayam lebih banyak diberikan secara massal dibandingkan pemberian secara individual (Doyle, 2006). Hal ini dilakukan untuk membuat hewan tetap produktif meskipun mereka hidup dalam kondisi berdesakan dan tidak higienis (Bahri dkk, 2000) Pada usaha peternakan modern, imbuhan pakan (food suplement) sudah umum digunakan oleh peternak. Suplement ini dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan efisiensi pakan dengan mengurangi mikroorganisme pengganggu (patogen) atau meningkatkan Akfar Theresiana Page 7
populasi mikroba yang menguntungkan yang ada di dalam saluran pencernaan (Rahayu, 2009). Apabila peternak yang menggunakan pakan tersebut tidak memperhatikan aturan pemakaiannya, diduga kuat produk ternak mengandung residu antibiotika yang dapat mengganggu kesehatan manusia, antara lain berupa resistensi terhadap antibiotika tertentu, reaksi alergi dan kemungkinan keracunan (Yuningsih., dkk, 2005). Beberapa negara mengizinkan pemberian berbagai jenis antibiotika, termasuk golongan tetrasiklin, neomisin, basitrasin, dan preparat sulfa untuk diberikan secara berkala pada peternakan ayam tetapi golongan ini tidak diizinkan diberikan melalui pakan ternak di Indonesia (Martaleni, 2007). 2.3 Residu Antibiotika. Residu obat adalah sisa dari atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan/ ternak setelah pemakaian obat hewan (Rahayu, 2009) Pemberian antibiotika sebagai pakan ternak yang diberikan dalam waktu yang cukup lama dengan tidak memperhatikan aturan pemberiannya akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh ternak sehingga menyebabkan terdapatnya residu pada jaringan tubuh ternak ( Oramahi,2004) Residu Antibiotika yang terakumulasi memiliki konsentrasi yang berbeda beda antara jaringan dari tubuh ternak satu dengan yang lainnya ( Bahri dkk, 2005)
Akfar Theresiana Page 8
2.4 Batas Toleransi Residu Antibiotik. Keamanan pangan asal ternak berkaitan erat dengan pengawasan pemakaian antibiotika dan obat hewan yang tergolong obat keras perlu memperhatikan waktu henti sehingga diharapkan residu tidak ditemukan lagi atau berada di bawah Batas Maksimum Residu (BMR). Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI No. 01-6366-2000), batas maksimum residu antibiotika dalam makanan yang masih boleh dikonsumsi untuk residu antibiotika tetrasiklin adalah 0,1 ug/g. 2.5 Penentuan Residu Antibiotik Dalam Sample Makanan Metode penentuan multi-residu yang semakin penting, untuk control residu dalam produk makanan. Metode ini menguntungkan dibandingkan dengan metode residu untuk senyawa tunggal karena metode ini lebih mudah dilakukan dan lebih murah dalam hal penggunaan pereaksi. Metode analisa untuk melakukan uji kualitatif terhadap residu dalam sampel makanan memiliki kriteria seperti metode memberikan hasil yang akurat, memiliki sensitifitas yang baik ,reprodusibel, biaya pengerjaannya murah, kemampuan untuk mendeteksi analit yang akan dianalisis (Shankar et al, 2010) Prosedur penyiapan sampel sangat menentukan dalam analisa secara kromatografi (Rohman, 2009). Penyiapan sampel dari bahan yang memiliki matriks yang komplek seperti daging, ginjal atau hati sangat diperlukan supaya hasil uji kualitatif memiliki sensitifitas yang baik Akfar Theresiana Page 9
(Shankar, 2010). Ekstraksi pada sampel bertujuan mengurangi atau menghilangkan adanya partikulat dari matriks sampel sehingga akan mengganggu proses analisa terutama menggunakan analisa secara kromatografi (Rohman, 2009) Penyiapan sampel dari daging biasanya dimulai dengan tahap pemotongan, menghaluskan sampel, menghomogenisasi, dan ekstraksi dengan larutan organik (Shankar, 2010). 2.6 Teori Kromatografi Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani Rusia Mecheal Tsweet pasa tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna dalam tanaman dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dalam kolom gelas yang berisi kalsium karbonat. Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase) (Rohman, 2007). Teknik kromatografi telah berkembang dan telah digunakan untuk memisahkan dan mengkuantifikasi berbagai macam komponen yang kompleks, baik komponen organik maupun komponen anorganik. Pemisahan senyawa biasanya menggunakan beberapa teknik kromatografi. Pemilihan teknik kromatografi sebagian besar bergantung pada sifat kelarutan senyawa yang akan dipisahkan (Anonim (b), 2009). Semua kromatografi memiliki fase diam (dapat berupa padatan, atau kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak (berupa cairan atau gas). Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponen- Akfar Theresiana Page 10
komponen yang terdapat dalam campuran. Komponen komponen yang berbeda bergerak pada laju yang berbeda (Anonim (b), 2009). 2.6.1 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi karena didukung oleh kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sangat sensitive dan beragam sehingga mampu menganalisis berbagai cuplikan secara kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran (Ditjen POM, 1995). KCKT merupakan metode yang sering digunakan untuk menganalisis senyawa obat. KCKT dapat digunakan untuk pemeriksaan kemurnian bahan obat, pengawasan proses sintesis dan pengawasan mutu (quality control) (Ahuja and Dong, 2005). 2.7 Proses pemisahan Kromatrografi Cair Kinerja Tinggi : Pemisahan analit dalam kolom kromatografi berdasarkan pada aliran fase gerak yang membawa campuran analit melalui fase diam dan perbedaan interaksi analit dengan permukaan fase diam sehingga terjadi perbedaan waktu perpindahan setiap komponen dalam campuran (Kazakevich and Lobrutto, 2007) Menurut Meyer (2004) seperti yang ditunjukkan proses pemisahan yang terjadi di dalam kolom dapat dilihat pada gambar 1 yaitu contohnya, campuran dua komponen dimasukkan ke dalam sistem kromatografi Akfar Theresiana Page 11
(partikel dan ). Di mana komponen cenderung menetap di fase diam dan komponen lebih cenderung di dalam fase gerak. Masuknya eluen (fase gerak) yang baru ke dalam kolom akan menimbulkan kesetimbangan baru, molekul sampel dalam fase gerak diadsorpsi sebagian oleh permukaan fase diam berdasarkan pada koefisien distribusinya, sedangkan molekul yang sebelumnya diadsorpsi akan muncul kembali di fase gerak. Setelah proses ini terjadi berulang kali, kedua komponen akan terpisah. Komponen yang lebih suka dengan fase gerak akan berpindah lebih cepat daripada komponen yang cenderung menetap di fase diam, sehingga komponen akan muncul terlebih dahulu dalam kromatogram, kemudian diikuti oleh komponen (Meyer, 2004). 2.8 Titrasi Bebas Air ( TBA ) Kurang lebih 250 mg tetrasiklin hidroklorid yang ditimbang seksama, larutkan dalam 30 ml asam asetat glasial. Tambahkan 10 ml raksa (II) asetat 5% b/v dalam asam asetat glacial dan 20 ml dioksan. Titrasi dengan asam perklorat 0,1 N dengan 3 tetes Kristal violet sampai warna hijau. HIPOTESIS Berdasarkan Rumusan masalah diatas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut : a. daging ayam yang beredar dipasar tradisional wilayah Semarang Selatan mengandung residu Antibiotika. b. Pemanasan daging ayam mempengaruhi kandungan residu Antibiotika. Akfar Theresiana Page 12
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Rumus Struktur
3.2 Hubungan Struktur dan Aktivitas Tetrasiklin 1. Gugus farmakofor dengan aktivitas biologis penuh adalah senyawa semisintetik sansiklin. Sansiklin mengandung struktur yang dibutuhkan untuk pembentukan kelat dan dipandang mempunyai peran penting pada pengangkutan turunan tetrasiklin ke dalam sel bakteri dan penghambatan biosintesis protein di dalam sel. 2. Pengaturan linier dari empat cincin adalah prasyarat untuk dapat menimbulkan aktivitas biologis. Konfigurasi pusat kiral pada C-4, C-4a dan C-12a sangat penting untuk aktivitas sedang konfigurasi pada C-5a dan C-6 kemungkinan dapat berubah-ubah. Akfar Theresiana Page 13
3. Adanya dua sistem elektron yang berbeda (gugus kromofor fenoldiketon dan trikarbonilmetan) cukup penting untuk aktivitas antibakteri. Perluasan atau pengurangan gugus kromofor menyebabkan penurunan atau hilangnya aktivitas. Substituen yang dapat meningkatkan kemampuan donor elektron dari gugus fenol diketon akan meningkatkan aktivitas. 4. Adanya gugus 4-dimetilamino penting untuk pembentukan ion Zwitter, untuk distribusi optimum dalam tubuh dan untuk aktivitas in-vivo. Hilangnya gugus tersebut menyebabkan senyawa kehilangan aktivitas. 5. Pada gugus 2-karbonamid, hanya gugus karbonil yang penting untuk aktivitas. Satu atom H pada gugus amida dapat diganti dengan gugus lain tanpa kehilangan aktivitas. 6. Daerah hidrofob dari C-5 sampai C-9 dapat dirubah dengan cara yang bervariasi. Asal tidak mempengaruhi bentuk konformasi esensialnya. Modifikasi pada C-6 dan C-7 menghasilkan turunan yang mempunyai stabilitas kimia yang lebih besar, memperbaiki sifat farmakokinetik dan meningkatkan aktivitas antibakteri. 3.3 Metode Uji Kualitatif ( TBA) Sampel paha, hati dan telur dihomogenisasi menggunakan homogeniser. Kertas cakram dilembabkan dengan cara disisipkan pada homogenat, selanjutnya kertas cakram diletakkan di atas media agar yang telah dicampur dengan biakan bakteri uji. Media diinkubasi pada suhu 37 o C selama Akfar Theresiana Page 14
16 18 jam. Sampel dinyatakan positif mengandung residu antibiotik, bila zona hambat yang terbentuk lebih besar atau sama dengan 1 cm (dengan paper disc) yang diukur dengan caliper. Jika sampel dinyatakan positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan secara kuantitatif untuk menghitung kandungan residu menggunakan KCKT. 3.4 Metode Uji Kuantitatif ( KCKT ) Sampel yang dinyatakan positif secara kualitatif ditimbang sebanyak 5 g, ditambah dengan 30 mL dapar MC-Ilvaine EDTA dimasukkan ke dalam tabung sentrifus 50 mL dan dihomogenkan kemudian disentrifus pada 4000 rpm selama 15 menit. Supernatan dipisahkan,tahapan ini diulangi sebanyak 2 kali, masing-masing dengan 20 mL dan 10 mL larutan dapar MC-Ilvaine EDTA terhadap sedimen. Supernatan disatukan dan dialirkan ke dalam catridge SepPak C-18 yang sebelumnya telah diaktifkan terlebih dahulu dengan 20 mL metanol dan 20 mL air suling. Kemudian catridge SepPak C- 18 dicuci dengan 20 mL air suling, selanjutnya dielusi dengan 10 mL larutan asam oksalat 0,01 M dalam metanol. Sebanyak 50L larutan ini disuntikkan ke dalam HPLC menggunakan kolom C-18 dengan detector UV-350 nm, laju alir 1 mL/menit dan fase gerak berupa campuran metanol, asetonitril dan asam oksalat dihidrat 0,01 M (1:1:8).
Akfar Theresiana Page 15
3.5 Hasil Pengujian. Hasil pemeriksaan secara kualitatif dengan metode titrasi bebas air menunjukkan bahwa terdapat 3 sampel paha (SFP-047, SFP-048 dan SFP-049) dari 73 sampel (4,1%) dan 2 sampel hati (SFH-020 dan SFH-022) dari 72 sampel (2,7%) adalah positif mengandung residu antibiotik golongan tetrasiklin. Hasil pemeriksaan secara kualitatif pada telur ayam adalah negatif, hal ini menunjukkan bahwa telur ayam tidak mengandung residu antibiotik golongan tetrasiklin Hasil uji konfirmasi secara kuantitatif dengan HPLC terhadap sampel daging dan hati ayam yang positif mengandung residu antibiotik golongan tetrasiklin ternyata tidak terdeteksi adanya residu tersebut atau di bawah batas deteksi (0,01 mg/kg). Hal ini menunjukkan bahwa sampel paha dan hati ayam yang positif secara uji kualitatif tersebut tidak mengandung residu antibiotik golongan tetrasiklin namun kemungkinan mengandung residu antibiotik golongan lain. Oleh karena itu perlu dilakukan uji lanjutan terhadap antibiotik golongan lain baik secara kualitatif maupun kuantitatif (dengan HPLC). Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI No. 01-6366 200), batas maksimum residu antibiotik golongan tetrasiklin dalam Akfar Theresiana Page 16
daging yang masih boleh dikonsumsi adalah 0,1 mg/kg (ppm) dan dalam telur adalah 0,05 mg/kg (ppm). 3.6 KESIMPULAN Hasil uji analisa residu tetrasiklin dalam daging ayam yang beredar di pasar tradisional wilayah Semarang Selatan pada uji Kualitatif menggunakan metode TBA, hasil positif ditunjukan dengan adanya perubahan warna dari sample dan uji kuantitatif sample menggunakan metode KCKT dimana hasil positif didapat dari jumlah data yang keluar
Akfar Theresiana Page 17
DAFTAR PUSTAKA.
Doyle , M. E, 2006. Veteriany Drug Residues In Processed Meat Potensial Health Risk Reviews Of The Scientific Literatur. Food Research Institute. Maynard,L.A dan J.K. Loosli.1969. Animal Nutrition. Fifth Ed. McGraw Hill Book Co. Inc.,New York. P. 240-245 Subronto dan Tjahajati.I. 2001. Ilmu Penyakit Ternak, II A. Universitas Gajah Mada, Jogjakarta Subronto dan Tjahajati, 2001. Pedoman Pengobatan pada Hewan Ternak Siswandono dan Soekardjo, B. 1995. Kimia Medisinal. Universitas Airlangga, Surabaya Ahuja, S., and M.W. Dong. (2005). Handbook of Pharmaceutical Analysis by HPLC. Volume 7. New York : Elsevier Academic Press : 35