Вы находитесь на странице: 1из 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inkontenesia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau
terjadi di luar keinginan (Brunner and Suddarth,2002). Gangguan ini sering terjadi pada wanita yang
pernah melahirkan (multipara). Diduga di sebabkan oleh perubahan otot dan fasis di dasar panggul.
Kebanyakan penderita inkontensia telah menderita desensus dindiing depan vagina disertai sisto-
uretrokel. Tetapi kadang-kadang di jumpai penderita dengan prolapsus total uteris dan vagina
dengan kontinensia urine yang baik. Angka kejadian bervariasi karena tidak banyak yang dilapaorkan
dan di obati. Di Amerika Serikat di perkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami gangguan
ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan berat gangguan meningkat
dengan bertambahnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahunn atau lebih didapatkan kejadian 10%
sedangkan pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalensi meningkat sampai pada 16% pada
wanita lebih dari usia 65 thn. Pada multipara di dapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan anak 1
mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.
Diperkirakan prevalensi inkontinensia urine berkisar antara 15 30% usia langjut di
masyarakat dan 20 30% geriatri yang di rawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan
kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinenya 25 30% saat berumur 65-70 thn. Masalah
inkontinensia urine ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan
pria. Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah.
Perubahan tersebut merupakan predisposis bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi tidak
menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua.
Pada wanita umumnya inkontiinensia merupakan inkontinensia stress, artinya keluarnya
urin semata-mata hanya karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang di temukan adanya
inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi mendadak. Keinginan ini demikian
mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar kecil penderita telah membasahkan celananya.
Jenis inkontinensia ini di kenal karena adanya gangguan neuropatik pada kandung kemih. Sistitis
yang sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai penyebab inkontinensia stres
dan desakan secara bersamaan.







BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi Fisiologi Sistem perkemihan pada Lansia
A. Perubahan Ginjal Pada Lansia
Pada lansia ginjal berukuran lebih kecil dibanding ginjal pada usia mudah. Pada usia 90 thn
berat berkurang 20 30% atau 110 150 gram bersamaan dengan pengurangan ukuran ginjal.
Pada studi kasus dari McLachlan dan Wasserman bahwa panjang ginjal berkurang 0,5 cm per
dekade setelah mencapai usia 50 thn. Dengan bertambahnya usia, banyak jaringan hilang dari
korteks ginjal, glomerulus dan tubulus. Jumlah total glomerulus berkurang 30 40% pada usia 80
thn, dan permukaan glomerulus berkurang secara progresif setelah 40 thn, dan yang terpenting
adalah terjadi penambahan dari jumlah jaringan sklerotik. Meskipun kurang dari 1% glomerolus
sklerotik usia muda, presentase ini meningkat 10 30% pada usia 80 thn. Terdapat beberapa
perubahan pada pembuluh darah ginjal pada lansia. Pada korteks ginjal, aeteri aferen dan eferen
cenderung untuk atrofi yang berarti terjadi pengurangan jumlah darah yang terjadi di glomerulus.
Atrofi arteri aferen dan eferen pada jukstaglomerulus terjadi tidak simetris sehingga timbul fistel.
Jadi ketika aliran darah di korteks berkurang, aliran farah fi jukstaglomerulus akan meningkat. Ini
berpengaruh pada konsentrasi urin yang berkurang pada usia langjut akibat ganguan pengaturan
sistem keseimbagan.

B. Perubahan Aliran darah Ginjal pada Lansia
Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter per menit darah
dari 40% hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600 ml/mnt. Normalnya 20% dari plasma di
saring di glomerulus dengan GFR 120 ml/mnt atau sekitar 170 liter/hari. Penyaringan terjadi di
tubular ginjal dengan lebih dari 99% ginjal yang terserap kembali meninggalkan pengeluaran urine
terakhir 1 1,5 L/hari. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, memperlihatkan bahwa aliran
darah ginjal pada usia 80 thn hanya menjadi 300 ml/mnt. Pengurangan dari aliran darah giinjal
terutama dari korteks. Pengurangan aliran darah ginjal mungkin sebagai hasil dari kombinasi
pengurangan curah jantung dan perubahan dari hilus besar, arcus aorta dan arteri interlobaris yang
berhubungan dengan usia.

C. Perubahan Fungsi Ginjal Pada Lansia
Pada lansia banyak fungsi hemostasis dari ginjal yang berkurang, sehingga merupakan
presisposisi untuk terjadinya gagal ginjal. Ginjal yang sudah tua tetap memiliki kempuan untuk
memenuhi kebutuhan cairan tubuhh dan fungsi hemostasis, kecuali bila timbul beberapa penyakit
yang dapat merusak ginjal. Penurunan fungsi ginjal mulai terjadi pada saat seseorang memasuki usia
30 thn dan 60 thn, fungsi ginjal menurun sampai 50 % yang diakibatkan karena berkurangnya nefron
dann tidak adanya kemampuan untuk regenerasi. Beberapa hal yang berkaitan dengan faal ginjal
pada lanjut usia antara lain : (cox, Jr dkk, 1985)
1. Fungsi konsentrasi dan pengeceranmenurun.
2. Keseimbangan elektrolit dan asam lebih mudah terganggu bila dibandingkan dengan usia
mudah.
3. Ureum darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi ureum yang menurun.
4. Kreatinin darah normal karena produksi yang menurun serta massa otot yang berkurang
5. Maka yang paling tepat untuk menilai faal ginjal pada lanjut usia adalah dengan memeriksa
Creatinine Clearance.
6. Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun sejak usia 30 thn.

D. Perubahan Lanjut Filtrasi Glomerulus pada Lansia
Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtarasi glomerulus (GFR).
Pada usia lanjut terjadi penurunan GFR. Hal ini dapat disebabkan karena total aliran darah ginjal
dan pengurangan dari ukuran dan jumlah glomerulus. Pada beberapa penelitian yang
mengunakan bermacam macam metode, menunjukkan bahwa GFR tetap stabil setelah usia
remaja hingga usia remaja hingga usia 30 35 thn, kemudian menurun hingga 8 10 ml/mnt
/1,73 m2 dekade. Penurunan bersihan kreatinin dengan usia tidak berhubungan dengan
peningkatan konsentrasi kreaatinin serum. Produksi kreatinin sehari hari (dari pengeluaran
kreatinin dan urin) menurun sejalan dengan bersihan kreatinin. Untuk menilai GFR / Creatinine
clearance rumus dibawah ini cukup akurat bila digunakan pada usia lanjut.
Creatining Clearance (pria) = (140 umur) x BB (kg) ml/mnt 72 x serum creatinin (ml/dl)
Creatinin Clearence (wanita) = 0,85 x CC pria.

E. Perubahan Fungsi Tubulus Pada Lansia
Aliran plasma ginjal yang efektif (terutama tes eksresi PAH) menurun sejalan dari usia 40 ke
90-an. Umumnya filtrasi tetap ada pada usia muda, kemudian berkurang tetapi tidak terlalu
banyak pada usia 70, 80 dan 90 tahunan. Trasnport maksimal tubulus untuk tes ekskresi PAH
(paraaminohipurat) menurun progresif sejalan dengan peningkatan usia dan penuruna GFR.
Penemuan ini mendukung hipotesis untuk menentukan jumlah nefron yang masih berfungsi,
sehingga hipotesis yang menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan gangguan
pada transport tubulus, tetapi berhubungan dengan atropi nefron sehingga kapasitas total unutk
tansport menurun.
Transpot glukosa oleh ginjal dievaluasi oleh Miller, McDOnal dan Shiock padakelompok usia
antara 20 90 tahun. Transport maksimal Glukosa (TmG) diukur dengan metode clearance.
Pengurangan TmG sejalan dengan GFR oleh karena itu rasio GFR : TmG tetap pada beberapa
dekade. Penemuan ini mendukung hipotesis jumlah nefron yang masih berfungsi, kapasitas total
untuk trasport menurun sejalan dengan atrofi nefron. Sebaliknya dari penurunan TmG , abang
ginjal untuk glokosa menigkat sejalan dengan peningkatan usia. Ketidak sesuaian ini tidak dapat
dijelaskan tetapi mungkin dapat disebabkan karena kehilangan nefron secara selektif.

F. Perubahan Pengaturan Kesimbangan Air pada Lansia
Perubahan fungsi ginjal berhubungan dengan usia, dimana peningkatan usia maka
pengaturan metabolisme air menjadi terganggu dimana sering terjadi pada langjut usia. Jumlah
total air dalam tubuh menurun sejalan dengan peningkatan usia. Penurunan ini lebih berarti
pada perempuan dari pada laki laki, prinsipnya adalah penurunan indeks masa tubuh karena
terjadinya peningkatan jumlah lemak dalam tubuh. Pada langjut usia, untuk mesekresi sejumlah
urin atau kehhilangan air dapat meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler dan
menyebabkan penurunan volume yang mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif. Pusat
pusat yang mengatur perasaan haus tibul terletak pada daerah yang menghasilkan ADH di
hypothalamus.
Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang bila dibandingkan dengan usia
muda yang meyebabkan konsentrasi urin juga berkurang, kemampuan ginjal pada kelompok
lanjut usia untuk mencairkan dan mengeluarkan kelebihan air tidak di evaluasi secara intensif.
Orang dewasa sehat mengeluarkan 80% atau lebih dari air yang di minum (20 ml/kg BB) dalam 5
jam.



2.2 ASUHAN KEPERAWATAN PADA INCONTINENSIA URINE
1. Pengertian
Inkontenensia urin merupakan eleminasi urin dari kandung kemih yang tidak terkendali atau
terjadi di luar keinginan ( Brunnes and Suddarth, 2002)
Inkontinesia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali pada waktu
yang tidak di kehendaki tampa memperhatikan frekwensi dan jumlahnya yang
mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya (FKUI, 2006).
Menurut Internasional Continence Sosiety, inkontinesia urin adalah kondidi kelaurnya urin
tak terkendali yang dapat didemonstrasikan secara obyektif dan menimbulkan gangguann
hygiene dan social.
2. Klasifikasi
Klasifikasi inkontinesia urine menurut (H. Alimun Azis, 2006)
a. Inkontinesia Dorongan
Inkontinesia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran
urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat untuk berkemih.
b. Inkontinesia Total
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin terus menerus dan
tidak dapat diperkirakan.
c. Inkontinesia Stres
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami kehilangann urinn kurang dari 50 ml,
terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen.
d. Inkontinensia Refleks
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang tidak
dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih
mencapai jumlah tertentu.
e. Inkontinensia Fungsional
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tampa disadari dan
tidak dapat diperkirakan.

3. Etiologi
Etiologi inkontinesia urine menurut (soeparman & Waspadji Sarwono, 2001) :
a. Poliura, noktoria
b. Gagal jantung
c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun
d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh :
1) Penurunan produksi estrogen menyebabkan atropin jaringan uretra dan efek akibat
melahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot otot dasar panggul.
2) Perokok, minum alkohol
3) Obesitas
4) Infeksi saluran kemih.
4. Tanda dan Gejala
a. Tanda tanda inkontinesia urine menurut (H. Alimun Aziz, 2006)
1) Inkontinesia Dorongan
a) Seering miksi
b) Spasme kandung kemih
2) Inkontinesia Total
a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
b) Tidak ada distensia kandung kemih
c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3) Inkontinensia Stres
a) Adanya urine menetes dan peningkatan tekanan abdomen
b) Adanya dorongan kemih
c) Sering miksi
d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah
4) Inkontinensia refleks
a) Dorongan untuk berkemih
b) Merasa bahwa kandung kemih penuh
c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak di hambat pada interval.
5) Inkontinesia Fungsional
a) Adanya dorongan untuk berkemih.
b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.

5. Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain :
1. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem perkemihan vesika Urinaria (kandung
kemih). Kapasitas kandung kemih yang nomal sekitar 300 600 ml. Dengan sensasi
keinginan untuk berkemih diantara 150 350 ml. Berekemih dapat ditunda 1 -2 Jam
sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau miksi terjadi pada
otot detrusor kontraksi dan sfingter internal dan sfingter esternal relaksasi yang
membuka uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua urine dikeluarkan dengan
proses ini. Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan tetapi residu urine 50 ml atau
kurang diangap adekuat. Jumlahh yang lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya
retensi urine. Perubahan yang lain pada proses penuaan adalah terjadinya kontraksi
kandung kemih tampa disadari. Wanita lansia, terjadi penurunan produksi estrogen
menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan meyebabkan penuruna
pada otot otot dasar (Stanley M & Beare G Patricia, 2006)
2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih. Terjadi
hambatan pengeluaran urin dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam
kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfinter yang terganggu
menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin.

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penuunjang Inkontinesia Urine menurut ( Soeparman & Waspadji S,
2001). Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tampa mengunakan alat alat
mahal. Sisa sisa urin paskah berkemih perlu di perkirakan pada pemeriksaan fisik.
Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultarasound atau katerisasi urin.
Merembesnya urine pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi
tersebut harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan
untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posis litotomi
atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Imformasi yang dapat
diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya
kontraksi kandung kemih tidak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
a. Elektrolit, ureum, Creatinin, glukosa dan kalsium dikaji untuk menentukan fungsi
ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliura. Tes laboratorium tambahan
seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosasitol.
b. Catatan berkemih dilakukann untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini
digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah untuk mencatat waktu dan urin
saat mengalami inkontinesia urine dan tidak inkontinesia urine, dan gejala
berkaitan dengan inkontinesia urine. Pencatatan pola berkemih tersebut
dilakukan selama 1 3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan unutk memantau
respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeiutik karena dapat
menyadarkan pasien faktor pemicu.

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinesia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko, mempertahankan
homeostasis, mengontrol inkontinesia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelviks
dan pembedahan.
Dari beberapa hal di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu
berkemih dan jumlah urine yang keluar, baik yang keluar secara normal maupun yang keluar
karena tak tertahan, selai itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
b. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinesia urin,
seperti hiperpalsia prostat, ISK, diuretik, gula darah tinggi, dll. Adapun terap yagn dapat
dilakukan adalah melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6 7x/hari.
Lansia diharapkan menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia
dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula mula setiap jam
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2 3 jam.
Membiasakan berkemih pada waktu waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan
lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengaajari lansia mengenal kondisi berkemih
mereka serta dapat memberitahhukan kepaa petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.
Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan
latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang
ulang.
Adapun cara cara mengontraksikan otot dasar panggul adalah dengan cara :
Berdiri dilantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul
digoyangkan kekanann dan kekiri 10x, kedepan dan kebelakang 10x. Gerakan seolah
olah memotong feses saat kita buang air besar dilakukan 10x. Hal ini dilakukan agar otot
dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.
c. Terapi Farmakologi
Obat obat yang dapat diberikan pada inkontinesia urgenci adalah antikolinergik seperti
Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada inkontinesia stress
diberikann alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine agonis seperti Bethanechol atau
alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi dan terapi diberika secara
singkat.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinesia tipe stress dan urgensi, bila terapi non
farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.



8. Asuhan Keperawatan Inkontinensia Urine
1. Pengkajian
Adapun data data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan klien
dengan diagnosa medis Inkontinesia Urine :
1) Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat dan diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada klien Inkontinesia Urine keluhan keluhan yang ada adalah nokturia, Urgenci,
disuria, poliuria, oliguria dan staguri.
3) Riwayat penyakit sekarang
Memuattentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha yang
telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhuhbungan dengan ISK yang berulang, penyakit kronis
yang pernah diderita.
5) Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari sala satu anggota keluarga yang menderita
penyakit Inkontinesia Urine, adakah anggota keluarga yang menderita DM,
Hipertensi.
6) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang digunakan adalah B1 B6
a) B1 (breathing)
Kaji adanya gangguan pola nafas, sianosis karena suplay oksigen menurun. Kaji
ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
b) B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien binnggung dan gelisah.
c) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d) B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena
adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai
keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik
lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan
disuriah akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya. Palpasi :
Rasanya nyeri di dapat daerah supra pubik/pelvis, seperti rasa terbakar di uretra
luar sewaktu kencing/dapat juga diluar waktu kencing.
e) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, adanya nyeri tekan abdomen,
adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
f) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ektermitas yang
lain, adakah nyeri pada persendiaan.

9. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eleminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensai untuk berkemih da
kehilangan kemanpuan unutk menghambat kontraksi kandung kemih.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang lama.
3. Resiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan iritasi konstan oleh urine.
4. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat.

10. INTERVENSI
No Diagnosa Tujuan Intervensi rasional
1. Ganggua eleminasi
urin b.d tidak
adanya sensasi
untuk berkemih dan
kehiilangan
kemanpuan untuk
menghambat
kontraksi kandung
kemih.
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 2x24
jam
diharapkan
klien akan
bisa
melaporkan
suatu
pengurangan
atau
pengeluaran
inkontinensia

2.














Intervensi


11. Intervensi
1) Diagnosa 1.
Gangguan eleminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensai untuk berkemih da
kehilangan kemanpuan unutk menghambat kontraksi kandung kemih.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan bisa melaporkan
suatu pengurangan atau penghilangan Inkontinesia
Kriteria Hasil : klien dapat menjelaskann penyebab inkontinesia da rasional
penatalaksanaan.
Intervensi :
1. Kaji kebiasaan berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
R : berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensia kandung kemih.
2. Ajarkan unutk membatasi masukan cairan selama malam hari.
R : pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enurasis.
3. Bila terjadi inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang telah direncanakan
R : kapasitas kandung kemih mungkinn tidak cukup untuk menampung volume urine
sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih
4. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran, ulangi
dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengann klien berdiri jika tidak
ada kebocoran yang lebih dulu.
R : unutk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.
5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan 2000
ml, kecuali harus dibatasi
R : hidrasi Optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu ginjal.
6. Kolaborasi dengan dokter dalam ngkaji efek medikasi dan tentuka kemungkinan
perubahan obat, dosis /jadwal pemberian obat untuk menurunkan frekwensi
inkontinensia.
2) Diagnosa 2
Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinesia, imobilisasi dalam waktu yang lama
Tujuann : setelah di lakukan tindakan diharapkan klien dapat berkemih dengan nyaman.
Kriteia Hasil :
Urine jernih, urinalisis dalam baatas normal, kultur urine menunjukan tidak adnya
bakteri.
Intervensi :
1. Berikann perwatan perineal dengan air sabun setiap shif. Jika pasien inkontinesia
cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R : untuk mencegah kontaminasi uretra.
2. Jika dipasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari dan setelah
buang air besar.
R : kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik
ke saluran perkemihan.
3. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan seudah kontak langsung,
pamakaian sarung tangan) bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang terjadi
(memberikan perawatan perianal, pengosongan kantung drainase urine,
penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik aseptik bila melakukan
katerisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling.
R : untuk mencegah kontaminasi silang.
4. Kecuali dikontra indikasi, ubah posisi pasien setiap 2 jam dan anjurkan masukkan
sekurang kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulans sesuai dengan
kebutuhan.
R : unutk mencegah stasis urine.
5. Lakukan tindakann untuk memelihara asam urine
Tingkatkan masukan sari buah berri
Berikan obat-obat untuk meningkatkan asam urine.
R : asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari buah berri
diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman urine. Peningkatan masukan
sari buah dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran kemih.
3) Diagnosa 3
Resiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan irigasi kontan urine
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan integritas kulit teratasi
Kriteria hasil :
Jumlah bakteri <100.000/ml
Kulit peristoma tetap utuh
Suhu 37
o
C
Urine jernihh dengan sedimen minimal.
Intervensi
1. Pantau penampilan kulit peristomal setiap 8 jam.
R : untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang
diharapkan
2. Ganti wafer stomeshesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan kulit
bersih dan kering sebelum pemasangan wafer yang baru. Potong lubang wafer
kira kira setengah inci lebih besar dari diameter stoma untuk menjamin
ketepatann ukuran kantung yang benar benar menutupi kulit periostoma.
Kosongkan katung urostomi bila telah seperempat atau setengah penuh.
R : peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan
kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit periostmal terhadap asam
urine dapat menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.
4) Diagnosa 4
Resiko kekurangan volume cairan tubuh erhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkann volume caiaran seimbang
Kriteria hasil : pengeluaran urine tepat, BB 50 kg.
Intervensi :
1. Awasi TTV
R : pengawasan invansif di perlukan untuk mengkaji volume intravaskuler,
khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
2. Catat pemasukan dan pengeluaran
R : untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan pengganytian cairan dan penurunan
resiko kelebihan cairan.
3. Awasi berat jenis urin
R : untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urine.
4. Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
R : membantu periode tampa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan yang
terbatas dan menurunkan rasa haus
5. Timbang BB setiap hari
R : untuk mengawasi status cairan.

12. Evaluasi
Evaluasi keperawatan terhadap gangguan inkontinensia dapat dinilai dari adanya
kemampuan dalam :
a) Miksi dengan normal, ditunjukan dengan kemampuan berkemih sesuai dengan asupan
cairan dan pasien mampu berkemih tampa menggunakan obat, kompresi pada kantong
kemih atau kateter.
b)
c) Mempertahankan integritas kulit, ditunjukan dengan adanya perineal kering tanpa
imflamasi dan kulit disekitar uterostomi kering,
d) Memberikann rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria, tidak ditemukan
adanya distensia kandung kemih dan adanya ekspresi senang.
e) Melakukan bledder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frewensi inkontinesia
dan mampu berkemih disaat ingin berkemih.

























BAB V
A. Kesimpulan
Inkontinensia urine merupakan merupakan keluhan yang banyak di jumpai pada lanjut usia.
Prevelensinya meningkat dengan bertambahnya umur, lebih banyak didapatkan pada wanita
dan penderita penderita usia lanjut yang dirawat di bangsal akut.
Inkontinensia urien mempunyai kemungkan besar untuk disembuhkan, terutama pada
penderita dengan mobilitas dan status mental yang cukup baik. Perawatan inkontinensia
urine harus dilaksanakan dengan cara bledder training/ senam kegel dengan kolaborasi.
Bahkan bila tidak di obati sempurna, inkontinensia selalu diupayakan lebih baik, sehingga
kualitas hidup penderita meningkat dan meringankan beban yang merawat. Pengelolaan di
inkontinensia urine dimulai antara lain dengan membedakan apakah secara garis besar
penyebabnya dari segi urologik atau masaalah neurologik. Kemudian penting untuk
diketahui apakah inkontinensia terjadi secara akut/kronik/ persisten. Inkontinesia biasanya
reversible, berhubungan dengan penyakit akut yang sedang di derita, dan akan baik lagi bila
penykit penyakit akut tersebut sudah disembuhkan. Sedang pengobatan yang optimal dari
inkontinesia persisten tergantung pada tipe inkontinesia yang di derita.

B. Saran
Masalah inkontinensia sering terjadi pada lansia. Oleh karena itu perawat juga harus
memahami proses menua baik secara fisiologik maupun psikologi untuk membantu dan
merawat lansi dengan inkontinensia urine dengan maksimal.
Menganjurkan pada lansia agar tetap melaksanakan senam kegel secara teratur. Bagi
keluarga atau pengasuh harus dapat memotifasi pasien agar dapat selalu melakukan senam
kegel secara teratur.

Вам также может понравиться