Вы находитесь на странице: 1из 5

Pertanian Dalam Kota (Urban Farming)

leave a comment
Menurut definisi Badan Pusat Statisik, sektor pertanian adalah salah satu sektor dari
sembilan sektor lapangan usaha lainnya dalam penghitungan produk domestik
regional bruto (PDRB), yang penyajiannya dibedakan dalam 9 sektor meliputi Sektor
Pertanian, Sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor Industri Pengolahan, Sektor
Listrik, Gas, dan Air Bersih, Sektor Konstruksi, Sektor Perdagangan, Hotel, dan
Restoran, Sektor Angkutan dan Komunikasi, Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa
Perusahaan, dan Sektor Jasa-jasa.
Berdasarkan definisi BPS tersebut, Sektor pertanian terdiri dari 5 subsektor meliputi
Subsektor Tanaman Bahan Makanan (Tabama), Subsektor Perkebunan, Subsektor
Peternakan, Subsektor Kehutanan, dan Subsektor Perikanan. Subsektor tanaman bahan
makanan mencakup komoditi tanaman bahan makanan seperti padi, jagung, ketela
pohon, ketela rambat, kacang tanah, kacang kedele, sayur-sayuran, buah-buahan,
kentang, kacang hijau, tanaman pangan lainnya, dan hasil produk ikutannya. Termasuk
pula di sini hasil dari pengolahan yang dilakukan secara sederhana oleh petani yang
bersangkutan seperti beras tumbuk, gaplek, dan sagu. Termasuk dalam kategori di
sini adalah usaha tanaman hias.
Subsektor perkebunan terbagi menjadi tanaman perkebunan rakyat dan tanaman
perkebunan besar. Tanaman perkebunan rakyat mencakup komoditi tanaman
perkebunan yang diusahakan oleh rakyat seperti jambu mete, kelapa, kopi, kapok,
kapas, tebu, tembakau dan cengkeh. Cakupan tersebut termasuk produk ikutannya
dan hasil-hasil pengolahan sederhana seperti minyak kelapa rakyat, tembakau olahan,
kopi olahan dan teh olahan. Tanaman perkebunan besar mencakup kegiatan yang
memproduksi komoditi perkebunan yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan
besar. Komoditi yang dicakup diantaranya karet, teh, kopi, kakao, minyak sawit, inti
sawit, tebu, rami, serat manila dan sebagainya.
Subsektor peternakan mencakup produksi ternak besar, ternak kecil, unggas maupun
hasil ternak, seperti sapi, kerbau, babi, kambing. domba, telur, susu segar, serta hasil
pemotongan ternak.
Subsektor perikanan mencakup semua hasil dari kegiatan perikanan laut, perairan
umum, tambak, kolam, sawah, dan keramba, serta pengolahan sederhana
(pengeringan, pengasapan, dan penggaraman ikan).
Studi mengenai pertanian kota pada saat ini berkembang cukup pesat khususnya yang
ada kaitannya dengan permasalahan kesehatan masyarakat, serta untuk
mengantisipasi permasalahan ketahanan pangan, banjir, penurunan panas kota,
efisiensi energi, kualitas udara, perubahan iklim, hilangnya habitat, dan pencegahan
kejahatan (Mazeereuw, 2005)
2.2. Pertanian Dalam Kota (Urban Farming)
Urban farming adalah suatu aktivitas pertanian di dalam atau di sekitar perkotaan yang
melibatkan ketrampilan, keahlian dan inovasi dalam budidaya dan pengolahan
makanan. Hal utama yang menyebabkan munculnya aktivitas ini adalah upaya
memberikan kontribusi pada ketahanan pangan, menambah penghasilan masyarakat
sekitar juga sebagai sarana rekreasi dan hobi (Enciety, 2011).
Definisi Urban Farming sendiri menurut Balkey M dalam www.berkebun-
yuuk.blogspot.com (2011) adalah Rantai industri yang memproduksi, memproses dan
menjual makanan dan energi untuk memenuhi kebutuhan konsumen kota. Semua
kegiatan dilakukan dengan metoda using dan re-using sumber alam dan limbah
perkotaan.
Manfaat Urban farming:
1. Urban Farming memberikan kontribusi penyelamatan lingkungan dengan
pengelolaan sampah Reuse dan Recycle,
2. Membantu menciptakan kota yang bersih dengan pelaksaan 3 R (reuse, reduse,
recycle) untuk pengelolaan sampah kota,
3. Dapat menghasilkan O2 dan meningkatkan kualitas lingkungan kota,
4. Meningkatkan Estetika Kota,
5. Mengurangi biaya dengan penghematan biaya transportasi dan pengemasan,
6. Bahan pangan lebih segar pada saat sampai ke konsumen yang merupakan
orang kota,
7. Menjadi penghasilan tambahan penduduk kota.
Model-model urban Farming :
1. Memanfaatkan lahan tidur dan lahan kritis,
2. Memanfaatkan Ruang Terbuka Hijau (Privat dan Publik),
3. Mengoptimalkan kebun sekitar rumah,
4. Menggunakan ruang (verticultur).
Menurut Mazeereuw (2005), pertanian di dalam kota mempengaruhi aspek ekonomi,
kesehatan, sosial dan lingkungan kota. Dengan adanya urban farming akan ada
manfaat meningkatnya kesejahteraan, keadilan, kebersamaan, kenyamanan, kualitas
kehidupan, dan kelestarian lingkungan hidup. Studi tentang urban farming pada saat
ini telah berkembang dalam kaitannya dengan permasalahan kesehatan masyarakat,
serta untuk mengantisipasi permasalahan ketahanan pangan, banjir, penurunan panas
kota, efisiensi energi, kualitas udara, perubahan iklim, hilangnya habitat, dan
pencegahan kejahatan.
Definisi pertanian kota (urban farming) (Bagian Kesra pemkot Surabaya, 2010) telah
berkembang dan bervariasi dalam literatur namun yang sering diacu adalah yang
dikembangkan oleh Aldington (1997), FAO (1999), Mougeot (1999), Nugent (1997).
Dari berbagai definisi yang dikembangkan tersebut, pertanian kota (selain urban
farming juga ada yang mengistilahkan dengan Urban Agricultur) didefinisikan sebagai
usaha tani, pengolahan dan distribusi dari berbagai komoditas pangan, termasuk
sayuran dan peternakan di dalam atau pinggir kota di daerah perkotaan.
Ketahanan Pangan
Pada awalnya konsep ketahanan pangan dibuat dalam konteks yang sempit yaitu
ketahanan pangan tidak mensyaratkan untuk melakukan swasembada produksi
pangan karena tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Pengertian ketahanan
pangan dalam lingkup sempit adalah suatu negara bisa menghasilkan kemudian
mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan barang-barang
industri kemudian membeli komoditas pangan di pasar internasional. Sebaliknya,
negara yang melakukan swasembada produksi pangan pada level nasional namun
masih dijumpai masyarakatnya yang rawan pangan karena ada hambatan akses dan
distribusi pangan (Stevens et al., 2000 dalam Hanani, 2010). Pengertian tersebut
menunjukkan bahwa ketersediaan pangan pada level nasional tidak secara otomatis
menjamin ketahanan pangan pada level individu dan rumah tangga
Sen,1981 (dalam Hanani, 2010) menunjukkan kesalahan paradigma kaum Malthusian
yang beralasan bahwa ketidaktahanan pangan dan kelaparan adalah soal produksi dan
ketersediaan semata. Sen mampu menunjukkan bahwa kerawanan pangan dan
kelaparan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas pangan (pendapatan,
kesempatan kerja, sumberdaya ekonomi lainnya) bahkan ketika produksi pangan
berlimpah berdasarkan pengamatan di India dan Afrika. Oleh karena itu produksi
pangan bukan determinan tunggal ketahanan pangan, melainkan hanyalah salah satu
faktor penentu.
Selain pengertian bentuk sempit, pada saat ini konsep ketahanan pangan sudah
mengalami banyak perkembangan dan bermacam-macam pemahaman. Dari berbagai
pemahaman yang ada, yang paling banyak digunakan sebagai acuan adalah definisi
dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger (1992) yakni akses semua
orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat (secure access at all
times to sufficient food for a healthy life).
Berikut disajikan beberapa definisi ketahanan pangan yang sering diacu (Hanani,
2010):
1. i. Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996: kondisi
terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman,
merata dan terjangkau.
2. ii. USAID (1992): kondisi ketika semua orang pada setiap saat
mempunyai akses secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh kebutuhan
konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif.
3. iii. FAO (1997): situasi dimana semua rumah tangga mempunyai
akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh
anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami
kehilangan kedua akses tersebut.
4. iv. Mercy Corps (2007): keadaan ketika semua orang pada setiap
saat mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap terhadap
kecukupan pangan, aman dan bergizi untuk pemenuhan gizi sesuai dengan
seleranya untuk hidup produktif dan sehat.
2.4. Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang dilakukan oleh Bagian Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Kota Surabaya
(2010) berjudul Evaluasi Pelaksanaan Urban Farming dapat dibuat kesimpulan yaitu
secara umum pelaksanaan urban farming bermanfaat bagi masyarakat yang mencapai
71,4% masyarakat yang merasakan manfaat urban farming. Tingkat keberhasilan juga
ditandai dengan keberhasilan panen yang mencapai 64,7% dengan pemanfaatan 38,3%
dikonsumsi sendiri, 2,3% dijual, serta kombinasi dijual dan dikonsumsi sendiri
mencapai 38,3% dengan rata-rata waktu perawatan 3-4 bulan. Meski urban farming
tidak ditujukan untuk produksi masal namun dari program tersebut telah
menghasilkan/memberi tambahan pendapatan rata-rata >Rp. 90.000 (26,3%) dan
rata-rata tambahan pendapatan <Rp. 10.000 (24,1%) setiap panen.
Penelitian Nuhfil Hanani AR yang berjudul Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota (2010)
menunjukkan bahwa di Amerika pertanian kota mempunyai peranan dalam
pengurangan kemiskinan, kerawanan pangan dan mengatasi permasalahan sampah.
Pertanian kota dapat menjamin ketersediaan pangan yang segar dan bergizi,
sehingga meningkan asupan sayuran dan buah dan dapat menghemat pengeluaran
15-30 persen anggaran pada pangan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
pertumbuhan penduduk dan meningkatnya urbanisasi merupakan tantangan pada
masa mendatang. Oleh karena itu, pertanian kota di Indonesia perlu dipikirkan untuk
dikembangkan dalam rangka mengantisipasi permasalahan kesehatan masyarakat,
ketahanan pangan, banjir, penurunan panas kota, efisiensi energi, kualitas udara,
perubahan iklim, hilangnya habitat, dan pencegahan kejahatan.
Penelitian oleh Dr. Jaegopal Hutapea dan Ali Zum Mashar, SP dengan judul Ketahanan
Pangan dan Teknologi Produktivitas Menuju Kemandirian Pertanian Indonesia dapat
disimpulkan :
1. Laju pertumbuhan produksi pangan nasional dalam dasa warsa terakhir rata-
rata cenderung terus menurun sedangkan laju pertumbuhan jumlah penduduk
terus meningkat yang berarti semakin meningkat ketergantungan pangan
nasional pada impor merupakan bahaya laten bagi kemandirian dan ketahanan
pangan nasional.
2. Produksi pangan yang terus menurun lebih disebabkan karena: produktivitas
hasil budidaya petani rata-rata masih rendah dan perluasan areal lahan
pertanian stagnan serta lahan yang ada cenderung menurun kualitasnya
sehingga perlu upaya mengatasi permasalahan tersebut dengan terobosan yang
konstruktif dalam produktivitas dan perluasan lahan.
Upaya memacu pertumbuhan produksi pangan dengan membuka areal Lahan
pertanian baru yang dapat di gunakan untuk pertanian produktif.

Вам также может понравиться