Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
1. Pharyngitis
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh
virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin, dan lain-lain.
Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring dan menimbulkan reaksi inflamasi
lokal. Penyakit ini banyak menyerang anak usia sekolah, orang dewasa dan jarang
pada anak umur kurang dari 3 tahun. Penularan infeksi melalui sekret hidung dan
ludah (droplet infection) (Rusmarjono et al, 2007).
1.a. Gejala Klinis
Pada stadium awal, terdapat hiperemia (seperti pada gambar 1), kemudian
edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal
atau berbentuk mukus, dan kemudian cenderung menjadi kering dan dapat melekat
pada dinding faring. Dengan hiperemia, pembuluh darah dinding faring menjadi
melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna putih, kuning, abu-abu terdapat pada
folikel atau jaringan limfoid (George L. Adams, 1997).
Gambar 1. Mukosa faring hiperemis
gambar 1. tonsila palatina hiperemis
1.b. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui manifestasi klinis berupa demam sampai 400 C,
rasa gatal/ kering di tenggorokan, lesu, nyeri sendi, odinofagia, anoreksia dan otalgia.
Bila laring terkena suara akan menjadi serak. Pada pemeriksaan fisik tampak faring
hiperemis, tonsil membengkak, terdapat detritus (tonsilitis folikularis). Kelenjar
submandibula membengkak dan nyeri tekan, terutama pada anak-anak (Arif Mansjoer
et al, 2001).
1.c. Pemeriksaan Penunjang
Kultur dan uji resistensi bila perlu.
1.d. Terapi
1.d.i. Outcome
Mengatasi gejala secepat mungkin, membatasi penyebaran infeksi serta
membatasi komplikasi.
1.d.ii. Terapi Pokok
Terapi antibiotika ditujukan untuk faringitis yang disebabkan oleh
Streptococcus grup A, sehingga penting sekali untuk dipastikan penyebab
faringitis sebelum terapi dimulai. Terapi dengan antibiotika dapat dimulai lebih
dahulu bila disertai dengan kecurigaan yang tinggi terhadap bakteri sebagai
penyebab, sambil menunggu hasil pemeriksaan kultur. Terapi dini dengan
antibiotika menyebabkan resolusi dari tanda dan gejala yang cepat.
Namun perlu diingat adanya 2 fakta berikut :
-Faringitis oleh Streptococcus Grup A biasanya sembuh dengan
sendirinya, demam dan gejala lain biasanya menghilang setelah 3-4 hari
meskipun tanpa antibiotika.
-Terapi dapat ditunda sampai dengan 9 hari sejak tanda pertama kali
muncul dan tetap dapat mencegah komplikasi.
Sejumlah antibiotika terbukti efektif pada terapi faringitis oleh
Streptococcus Grup A, yaitu mulai dari Penicillin dan derivatnya, cefalosporin
maupun makrolida. Penicillin tetap menjadi pilihan karena efektivitas dan
keamanannya sudah terbukti, spektrum sempit serta harga yang terjangkau.
Amoksisilin menempati tempat yang sama dengan penicilin, khususnya pada
anak dan menunjukkan efektivitas yang setara. Lama terapi dengan antibiotika
oral rata-rata 10 hari untuk memastikan eradikasi Streptococcus, kecuali pada
azitromin hanya 5 hari. Berikut ini adalah panduan pemilihan antibiotika yang
dapat digunakan.
Tabel 1. Antibiotika pada terapi faringitis oleh karena Streptococcus Grup
A
Lini pertama : Penicilin G (untuk
pasien yang tidak
dapat
menyelesaikan
terapi oral selama
10 hari)
1 x 1,2 juta U
i.m.
1 dosis
Penicilin VK Anak: 2-3 x 250mg
Dewasa: 2-3 x
500mg
10 hari
Amoksisilin
(Klavunat) 3 x
500mg selama 10
hari
Anak: 3 x 250mg
Dewasa: 3 x 500mg
10 hari
Lini kedua Eritromisin (untuk
pasien alergi
penicilin)
Anak: 4 x 250mg
Dewasa: 4 x 500mg
10 hari
Azitromisin atau
klaritromisin
5 hari
Cefalosporin
generasi satu atau
dua
Bervariasi sesuai
gen
10 hari
Levofloksasin
(hindari untuk anak
maupun wanita
hamil)
Untuk infeksi yang menetap atau gagal, maka pilihan antibiotika yang tersefia adalah
eritromisin, cefaleksin, klindamisin ataupun amoksisilin-klavunat.
Tabel 2. Pilihan antibiotika pada terapi faringitis yang gagal
terapi faringitis non-streptococcus meliputi terapi suportif dengan
menggunakan parasetamol atau ibuprofen, disertai kumur menggunakan larutan
Rute pemberian dosis Lama terapi
Oral
Klindamycin
Anak : 20-30 mg/kg/hari
terbagi dalam 3 dosis.
Dewasa: 600mg/hari
terbagi dalam 2-4 dosis
10 hari
10 hari
Amoksisilin-clavunat acid
Anak : 40mg/kg/hari
terbagi dalam 3 dosis
Dewasa: 3x500mg/2 kali
sehari
10 hari
10 hari
Parenteral dengan atau
tanpa oral
Benzathine
penicilin G
Benzathine penicilin G
with rifampin
1x1,2 juta U i.im.
Rifampicin: 20mg/kg/hari
terbagi dalam 2dosis
1 dosis
4 hari
garam hangat atau gargarisma khan. Jangan menggunakan aspirin pada anak-
anak karena dapat meningkatkan risiko Reye's syndrome. Tablet hisap yang
mengandung antiseptik untuk tenggorokan dapat pula disarankan.
1.d.ii. Terapi Pendukung
Analgesik seperti ibuprofen
Antipiretik
Kumur dengan larutan garam, gargarisma khan
Lozenges/tablet hisap untuk nyeri tenggorokan
2. Tonsilitis
2.a. Gejala Klinis
Gejala klinis dalam tonsilitis Kronis yaitu : 1) Sangkut menelan. Dalam
penelitian mengenai aspek epidemiologi faringitis mendapatkan dari 63 penderita
Tonsilitis Kronis, sebanyak 41,3% diantaranya mengeluhkan sangkut menelan
sebagai keluhan utama (Timbo, 1998). 2)Bau mulut (halitosis) yang disebabkan
adanya pus pada kripta tonsil. Pada penelitian tahun 2007 di Sao Paulo Brazil,
mendapatkan keluhan utama halitosis atau bau mulut pada penderita Tonsilitis Kronis
didapati terdapat pada 27% penderita (Dalrio, 2007). 3) Sulit menelan dan sengau
pada malam hari (bila tonsil membesar dan menyumbat jalan nafas) (Dhingra, 2008;
Shnayder, 2008). 4) Pembesaran kelenjar limfe pada leher. 5)Butiran putih pada tonsil
(Brodsky, 2006)
2.b. Penatalaksanaan
2.b.i. Medikamentosa
yaitu dengan pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika
yang bermanfaat pada penderita tonsil kronis cephaleksin ditambah
metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau
abses), amoksisilin dengan asam klavulanat (jika bukan disebabkan
mononukleosis) (Adam, 1997; Lee, 2008)
2.b.ii. Operatif
Dengan tindakan tonsilektomi (Adam, 1997; Lee, 2008). Pada penelitian
Khasanov et al mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan tonsilitis
kronis didapatkan data bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan
diagnosa tonsilitis kronis, sebanyak 36 penderita mendapatkan penatalaksanaan
tonsilektomi (Khasanov et al, 2006).
3. Tonsilofaringitis
3.a. Gejala Klinis
Secara umum, gejala tonsilofaringitis Streptococcus Hemoliticus Grup A
(SBHGA) adalah sakit tenggorok, malaise, demam, dan sakit kepala. Beratnya gejala
tergantung pada virulensi dan kemampuan menyebar bakteri penyebabnya.
Virulensi SBHGA, enzyme dan toksinnya menyebabkan bakteri mampu
menyebar ke seluruh mukosa dan submukosa tonsil dan faring, terutama dinding
posterior faring dan fossa tonsilaris. Virulensi dan kemampuan menyebar bakteri
SBHGA yang tinggi menyebabkan derajat trauma infeksi pada mukosa dan
submukosa tonsil dan faring juga tinggi, reaksi inflamasi yang terjadi juga cukup kuat
dan tanda yang muncul berupa:
1. Vaodilatasi dan neo vaskularisasi terjadi merata pada dinding posterior faring dan
plika tonsilaris.
2. Edema jaringan interstitiel, prostaglandin yang terbentuk menyebabkan timbulnya
rasa sakit tenggorok yang disebut 'sore throat'
3. SBHGA juga mampu mencapai pembuluh darah dan limfonodi regional sehingga
menimbulkan demam tinggi mendadak
4. Linfadenitis servikalis
3.b. Tatalaksana
3.b.i. Tonsilofaringitis Akut
Tatalaksana tonsilofaringitis akut meliputi terapi non0farmakologis dan
farmakologis. Untuk terapi non-farmakologis pada pasien diberikan edukasi
untuk istirahat yang cukup, mempertahankan hidrasi yang cukup, dan menjaga
kebersihan rongga mulut agar tidak terjadi infeksi sekunder yang dapat terjadi
akibat menurunnya sistem imun lokal. Selain itu, apabila pasien mengeluhkan
asupan makanan yang berkurang akibat keluhan nyeri menelan, pasien dapat
diedukasi untuk memakan makanan dengan konsistensi lunak.
Terapi farmakologis pada pasien ini adalah:
Pemberian antibiotik. Antibiotik pilihan sebagai lini pertama infeksi
SBHGA adalah golongan penicilin. Pada pasien ini dapat diberikan
penicilin V, karena sebagai antibiotik lini pertama, penicilin V telah
terbukti memiliki efikasi dan keamanan yang baik, spektrum yang
sempit serta harga yang relatif murah dibandingkan antibiotik golongan
lain. Namun sebelum diberikan, penting untuk ditanyakan dalam
anamnesis adanya riwayat hipersensitivitas atau alergi pada pasien dan
keluarganya, juga kemungkinan adanya riwayat terhadap penicilin
sebelumnya. Apabila didapatkan riwayat hipersensitivitas terhadap
golongan penicilin, alternatif antibiotik yang dapat diberikan adalah
golongan sefalosporin atau makrolid.
Pemberian analgesik dan antipiretik, pada pasien dapat diberikan
parasetamol, karena memiliki efek antipiretik dan analgesik.
DAFTAR PUSTAKA
Bisno Alan et al. Practice Guidelines for the Diagnosis and Management of group A
Streptococcal Pharyngitis. Clin infect Dis;2002;35:113-125.
Cotran RS, Kumar V, Robbin SL. Robbins Pathologic basis of the diseases. 4
th
ed.
WB Saunders Company, Philadelphia. 1989 : 342-54.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27640/4/Chapter II.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37568/4/Chapter II.pdf
Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI). Acute Pharyngitis. Bloomington
(MN): Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI);2003.27)
Ransome F. Pharyngitis acute and chronic. In: Balantyne H, Groove J. (eds.) Scott-
Brown's Disease of the ear, nose, and throat. Vol. IV. 4
th
ed. Butter-Worth,
london. 1979: 241-48.
Richer Monique, Deschenes michel. Upper respiratory tract infection.
Pharmacotherapy A Patophysiologic Approach.5th ed.2001:1869-83.
Wong DM, Blumberg DA, Lowe LG. Guidelines for the use of antibiotics in acute
upper respiratory tract infection. Am Fam physician, 2006;76:956-66