Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
(3)
Variabel normal standar Z dapat diartikan sebagai berapa kali deviasi standar suatu
nilai variabel random menyimpang dari rata ratanya. Lebih dari 99% area banyak yang
berada dibawah distribusi terlampir dalam range - 3 x + 3 yang dikenal dengan 6-
sigma limits (Taha, 1997).
Memilih satu distribusi untuk satu asumsi adalah salah satu dari tahap yang dilakukan
dalam membuat satu model Crystal Ball. Crystal Ball memiliki 22 distribusi yang terdiri dari
kontinyu dan diskret yang dapat digunakan untuk menggambarkan satu asumsi, dimasukkan
sebagai distribusi pilihan yang dapat digunakan untuk kombinasi range (data) kontinyu dan
diskrit.
a. Distribusi kontinyu mengansumsikan semua nilai dalam range (rentang) termasuk
juga range yang tanpa batasan (tidak terhingga). Distribusi ini memiliki lengkungan
yang halus dan berbentuk kurva padat (solid).
11
b. Distribusi probabilitas diskrit menggambarkan suatu perbedaan terbatas pada
umumnya adalah bilangan bulat. Distribusi ini menyerupai kolom ketinggian yang
berbeda satu dengan yang lainnya.
Tabel 2. Distribusi pada Crystal Ball
Distribusi Kondisi Aplikasi Contoh
a. Nilai rata rata
kemungkinan
besar paling sering
muncul
b. Simetrikal dengan
nilai tengah
c. Nilai
kemungkinan
besar lebih dekat
dengan nilai
tengah
dibandingkan nilai
terjauh
Fenomena Natural Tinggi manusia,
Tingkat Reproduksi,
Inflasi
a. Nilai maksimum
dan minimum
ditetapkan
b. Pada rentangan
terdapat sebuah
nilai
kemungkinan
besar , segitiga
terbentuk dari
nilai maksimum
dan minimum
Ketika diketahui
nilai maksimum,
minium dan
kemungkinan
besar sangat
berguna pada
penggunaan data
yang terbatas
Perkiraan penjualan,
Jumlah mobil yang
terjual dalam
seminggu, Jumlah
persediaan, Harga
pemasaran
a. Nilai atas dan
bawah tidak
terbatas
b. Distribusi positif
berbentuk miring
dengan sebagian
besar nilai berada
di dekat batas
bawah
c. Logaritma natural
dari distribusi
adalah distribusi
normal
Situasi dimana nilai
positif berbentuk
miring
Harga Real Estate ,
Harga Stok, Skala
pembayaran,
Ukuran reservoir
minyak
12
a. Nilai minimum
ditentukan
b. Nilai maksimum
ditentukan
c. Semua nilai dalam
rentang yang sama
mungkin terjadi
d. Seragam diskrit
merupakan nilai
ekuivalen diskrit
dari distribusi
seragam
Jika diketahui
rentang dan semua
nilai yang mungkin
adalah
kemungkinan yang
sama
Penaksiran harga
Real Estate,
Kebocoran pada
pipa
a. Untuk masing
masing percobaan,
hanya dua hasil
yang mungkin
terjadi, biasanya
berhasil atau gagal
b. Probabilitas sama
untuk setiap
percobaan
c. Distribusi Yes No
ekuivalen
terhadap distribusi
binomial dengan
satu kali
percobaan
Menggambarkan
nilai dari waktu
yang mungkin
terjadi pada
percobaan dengan
nilai yang tetap,
juga digunakan
pada logika
Boolean ( benar /
salah atau hidup /
mati)
Nilai dari sisi 10
kali pelemparaan
sebuah koin,
kemungkinan
terjadinya kegagalan
atau keberhasilan.
a. Rentang antara
nilai maksimum
dan minimum
berada diantara 0
dan nilai positif
b. Bentuknya dapat
dispesifikasi
dengan dua nilai
positif, yaitu alfa
dan beta
Menampilkan
variabilitas
terhadap sebuah
rentang yang tetap,
menjelaskan data
empiris
Menampilkan
reabilitas dari
perangkat suatu
perusahaan
a. Nilai minimum
dan maksimum
ditentukan
b. Pada rentangan
terdapat sebuah
nilai
kemungkinan
besar , segitiga
Ketika diketahui
nilai maksimum
dan minimum, nilai
kemungkinan
besar , sangat
berguna pada data
yang terbatas
Hampir sama
dengan segitiga,
terutama pada
manajemen proyek
13
terbentuk dari
nilai maksimum
dan minimum,
formula
BetaPERT
merupakan kurva
yang diperhalus
pada bagian dasar
segitiga
a. Distribusi
menggambarkan
waktu diantara
kejadian
b. Distribusi tidak
dipengaruhi
kejadian
sebelumnya
Menggambarkan
kejadian yang
terjadi secara acak
Rentang waktu
panggilan telepon,
waktu kedatangan
konsumen
a. Kejadian yang
mungkin dari
suatu pengukuran
yang tidak terbatas
b. Kejadian yang
berdiri sendiri
c. Nilai rata rata
dari kejadian
adalah konstan
dari setiap unit
Diterapkan pada
kuantitas fisikal,
seperti waktu
diantara kejadian
dimana proses
kejadian tidak
sepenuhnya acak
Permintaan dari
suatu barang yang
terjual pada waktu
pemesanan, proses
metereologi
a. Fleksibilitas
distribusi ini dapat
mengasumsi sifat
dari distribusi
lainnya
b. Ketika bentuk dari
parameter sama
dengan 1, ini
identik dengan
distribusi
Eksponensial ,
ketika sama
dengan maka
identik dengan
Rayleigh
Kuantitas fisik atau
uji kegagalan
Kegagalan pada
sebuah studi
reabilitas,
menghilangkan
kekuatan bahan
pada sebuah uji
kontrol
14
Kondisi dan parameter
kompleks.
Menjelaskan nilai
terbesar
( Maksimum
ektrim) atau nilai
terkecil dari sebuah
respon pada suatu
waktu ataupun
penghilangan
kekuatan material
Nilai banjir terbesar
atau terkecil, curah
hujan, dan gempa
bumi
Kondisi dan parameter
kompleks
Menjelaskan
pertumbuhan
Pertumbuhan
populasi yang
sebagai fungsi
waktu, suatu reaksi
kimia
a. Nilai titik tengah
merupakan nilai
kemungkinan
besar
b. Secara simetrikal
merupakan nilai
rata rata
c. Menyerupai
distribusi normal
ketika derajat
kebebasan sama
dengan atau lebih
besar dari 30
Data ekonomi Nilai pertukaran
Kondisi dan parameter
kompleks Lihat Fishman,
G. Springer Series in
Operations Research. NY:
Springer- Verlag, 1996
Menganalisis
distribusi lainnya
yang berhubungan
dengan fenomena
empris
Menyelidiki
distribusi yang
berhubungan
dengan kota, ukuran
populasi, besarnya
perusahaan, dan
fluktuasi harga
a. Nilai dari
kemungkinan
suatu kejadian
adalah tidak
terbatas
b. Kejadian yang
yang tidak
berhubungan
dengan kejadian
lainnya
c. Nilai rata rata
Menjelaskan nilai
dari waktu kejadian
yang terjadi pada
interval yang
diberikan (
biasanya waktu)
Jumlah panggilan
telepon setiap
waktu, jumlah
kerusakan pada
material
15
kejadian dari satu
unit ke unit
lainnya adalah
sama
a. Jumlah satuan
ditetapkan
b. Sampel ukuran (
jumlah percobaan
) merupakan
sebuah porsi dari
populasi
c. Probabilitas dari
keberhasilan
berubah setelah
setiap percobaan
dilakukan
Menjelaskan
jumlah waktu dari
suatu peristiwa
terjadi dalam suatu
percobaan dengan
jumlah yang
ditetapkan, namun
percobaan
tergantung dari
hasil percobaan
sebelumnya
Kemungkinan suatu
bagian yang dipilih
menjadi rusak dari
suatu kotak
a. Jumlah dari
percobaan tidak
ditetapkan
b. Percobaan
berlanjut hingga
ke- r kali sukses (
percobaan tidak
pernah kurang dari
r)
Probabilitas
kesuksesan dari
satu percobaan ke
percobaan lain
adalah sama
Model distribusi
jumlah percobaan
atau kegagalan
hingga ke r
hingga kesuksesan
terjadi
Jumlah dari
penawaran sebelum
mengakiri 10
pesanan
a. Jumlah dari
percobaan tidak
tetap
b. Percobaan
berlanjut hingga
keberhasilan yang
pertama
Probabilitas
keberhasilan dari
satu percobaan ke
percobaan lain
adalah sama
Menjelaskan
jumlah dari
percobaan hingga
keberhasilan
pertama terjadi
Jumlah pemutaran
roulette, jumlah
sumur yang digali
sebelum
menemukan minyak
16
a. Distribusi yang
sangat fleksibel ,
digunakan untuk
menampilkan
sebuah situasi
yang tidak dapat
dijelaskan oleh
distribusi lain
b. Dapat berbentuk
diskrit atau
kontinu
c. Digunakan untuk
memasukkan
seluruh nilai data
dari sebuah
rentang sel
(Sumber : User Manual for Crystal Ball. 2008)
2.6.2 Uji Goddes of Fit
Satu cara yang cepat untuk memeriksa apakah suatu himpunan data mentah tertentu sesuai
dengan distribusi teoritis tertentu adalah dengan membandingkan secara grafik distribusi empiris
kumulatif dengan fungsi kepadatan kumulatif yang bersesuain dari distribusi teoritis yang
bersangkutan. Jika kedua fungsi tersebut tidak memperlihatkan deviasi yang berlebihan, terdapat
kemungkinan yang cukup besar bahwa distribusi teoritis itu sesuai dengan data mentah tersebut.
Gagasan untuk membandingkan distribusi empiris dan distribusi teoritis adalah dasar untuk
uji Kolmogrov Smirnov. Uji ini yang hanya dapat diterapkan untuk variabel acak kontinyu,
memanfaatkan sebuah statik untuk menerima atau menolak distribusi yang dihipotesis dengan
tingkat signifikan tertentu (Taha, 1997)
Uji statistik lainnya yang berlaku untuk variable acak diskrit maupun kontinyu adalah uji
chi- kuadrat atau Chi- square. Uji ini didasari oleh perbandingan fungsi kepadatan probabilitas
daripada fungsi kepadatan kumulatif seperti dalam uji Kolmogrov Sminorv. Langkah perama
dalam prosedur chi- kuadrat adalah mengembangkan sebuah histogram frekuensi. Dengan
menggambarkan histrogram frakuensi secara visual dapat diputuskan fungsi kepadatan teoritis
mana yang paling sesuai dengan data dalam bentuk histogram tersebut. Uji ini didasari oleh
pengukuran jumlah deviasi antara fungsi kepadatan empiris dan teoritis. Untuk mencapai tugas
ini, anggap [
- 1,
i= 1,2,..,m (4)
Dimana m adalah jumlah sel yang dipergunakan dalam mengembangkan fungsi kepadatan
empiris. Dengan diketahui ni, sebuah ukuran deviasi antara frekuensi empiris dan yang diamati
dihitung sebagai berikut :
2
=
(
)
2
=1
(5)
17
Dimana
2
cenderung chi- kuadrat secara asimtut m . Angka derajat dari chi-
kuadrat adalah m-k-1, dimana k adalah jumlah parameter yang diestimasi dari data mentah untuk
dipergunakan dalam mendefinisikan distribusi teoritis yang bersangkutan. Misalnya, untuk
menggunakan distribusi eksponensial sebagai distribusi teoritis yang dihipotesiskan untuk
histogram empiris, nilai mean dari variable acak ekponensial dari data mentah perlu diestimasi.
Ini berarti bahwa k= 1 dalam kasus distribusi eksponensial (Taha,1997)
Dengan menganggap
2
m-k-1, 1- sebagai nilai chi kuadrat untuk derajat kebebasan m
k-1 dan tingkat signifikasi hipotesis nol yang menyatakan bahwa data mentah yang diamati
ditarik dari distribusi teoritis f(t) diterima jika
2
<
2
m-k-1, 1- jika tidak hipotesis tersebut
ditolak.
2.6.3 Tornado Chart
Tornado chart adalah salah satu alat bantu yang disediakan oleh Crystal Ball yang dapat
berguna untuk mengukur dampak dari model variabel pada suatu waktu yang bersamaan pada
target forecast. Hasilnya ditampilkan dengan Tornado Chart dan Spider Chart. Metode ini
berbeda dengan metode berbasis korelasi yang terdapat di Crystal Ball, alat ini menguji setiap
asumsi, variabel keputusan, preseden atau sel secara independen. Ketika menganalisi satu
variabel, alat ini mem beku kan variabel lainnya sebesar nilai basis mereka. Ini mengukur
pengaruh dari setiap variabel di forecast cell ketika memindahkan efek dari variabel lain. Metode
ini juga dikenal dengan one-at-a-time-pertubation atau parametric analysis .
Tornado Chart berguna untuk :
a. Mengukur nilai sensitivitas dari suatu variable yang ditetapkan pada saat
penggunaan Crystal Ball
b. Dengan cepet menyaring variabel pada model yang telah dibangun untuk
menentukan kandidat terbaik yang kemudian ditetapkan sebagai asumsi atau
decision variables.
Gambar 1. Grafik tornado (User Manual for Crystal Ball. 2008)
Tornado chart menguji jarak dari setiap variabel pada persentil yang dispesifikasi dan
kemudian menghitung nilai forecast (ramalan) dari setiap poin. Tornado chart mengilustrasikan
perubahan antara nilai maksimum dan minimum dari nilai forecast (ramalan) setiap variabel.
Variabel yang menyebabkan perubahan nilai terbesar akan muncul pada bagian paling atas dan
variabel yang menyebabkan perubahan paling kecil akan muncul dibagian paling bawah. Variabel
18
yang terdapat dibagian atas memiliki efek terbesar terdahadap forecast (peramalan) dan variable
dibagian bawah memiliki efek yang paling kecil atau sedikit di forecast (peramalan).
Batang batang yang terdapat disebelah variabel mewakili selang perubahan nilai forecast
terhadap variabel yang diujikan. Yang berada disebelah batang tersebut adalah nilai dari variabel
variabel yang menghasilkan perubahan terbesar pada nilai forecast. Warna dari batang
mengindikasikan arah dari hubungan antara variabel variabel dengan forecast (ramalan). Untuk
variabel yang memiliki efek positif atau peningkatan nilai terhadap forecast (peramalan)
ditunjukkan dengan warna biru akan menuju arah kanan dan yang menghasilkan penurunan nilai
akan kearah kiri dan diindikasikan dengan warna merah. Pada saat hubungan antara variabel
dengan forecast (peramalan) tidak terjadi peningkatan atau penurunan yang signifikan hal ini
disebut dengan non- monotomic. Dengan kata lain apabila nilai minimum atau maksimum dari
rentang forecast tidak terjadi di titik akhir ekstrim pada rentangan uji terhadap variabel, maka
variabel memiliki hubungan non- monotonic dengan forecast (peramalan).
Gambar 2. Grafik non monotonic (User Manual For Crystal Ball. 2008)
19
III. METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan pada bulan Maret Juni 2012 di PT. Krakatau Tirta Industri,
Cilegon, Banten.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Microsoft Excel dan Crystal Ball
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian adalah berupa data sekunder terdiri dari :
a. Data Harian Hasil Jar Test yang dilakukan oleh Laboratorium Kualitas Air PT.
Krakatau Tirta Industri dari tahun 2001 hingga 2012
b. Data laporan penggunaan alumunium sulfat cair di lapangan
c. Data produksi alumunium sulfat cair
d. Data untuk perhitungan biaya produksi dan harga pokok produksi alumunium sulfat
cair
3.3 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efisiensi dari penggunaan alumunium sulfat cair
sebagai koagulan pada proses koagulasi di PT. Krakatau Tirta Industri. Beberapa tahapan yang
dilakukan pada penelitian ini:
3.3.1 Menentukan Dosis Optimum Alumunium Sulfat Bubuk dan Cair
Dengan menggunakan grafik di Microsoft Excel dilakukan perbandingan antara turbiditas
dengan pH dan turbiditas dengan warna sesuai dengan nilai yang diperoleh dari pencatatan hasil
jar test. Grafik dibuat dengan membandingkan nilai sebelum dan sesudah dilakukan jar test atau
pembubuhan koagulan. Data hasil jar test yang digunakan dari tahun 2008 2010 untuk
alumunium sulfat bubuk sedangkan untuk alumunium sulfat cair adalah data sembilan bulan masa
operasi pabrik alumunium sulfat cair (Juli 2011 April 2012). Dari grafik yang diperoleh
dilakukan perhitungan efisiensi dan alkalinitas dosis optimumnya. Langkah yang sama dilakukan
untuk menentukan dosis optimum alumunium sulfat cair.
Nilai efisiensi diperoleh dengan menggunakan persamaan :
=
x 100% (6)
dan nilai alkalinitas diperoleh dengan menggunakan persamaan (7) :
1. Diketahui bahwa 6 buah mol HCO
3
-
digunakan untuk masing masing mol
aluminium yang ditambahkan
2. Nilai mol / L aluminium yang digunakan :
Dosis (
mg
L
alum )
BM alum
20
3. mol/ L HCO
3
-
yang digunakan
6 (Nilai mol / L aluminium)
4. Konversi ke Mg/ L
= (mol/ L HCO
3
-
) (BM HCO
3
-
)
= (mol/ L HCO
3
-
) (61 gr/ mol)
3.3.2 Melakukan Probabilitas Dosis Aluminium Sulfat Bubuk dengan Kualitas Air
Nilai akhir dari probabilitas yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk grafik yang akan
menampilkan gambaran dari nilai probabilitas dosis, parameter air yang terdiri dari warna,
kekeruhan dan kandungan zat organik. Dari data jar test yang diperoleh kemudian diolah dengan
menggunakan Crystal Ball sehingga diperoleh nilai probabilitasnya. Nilai probabilitas yang dicari
pada penelitian kali ini adalah probabilitas 90%.
1. Langkah awal yang dilakukan adalah dengan meyusun data dosis aluminium sulfat
bubuk yang diberikan, warna, kekeruhan atau turbiditas dan kandungan zat organik
dari rentang tahun 2001 hingga 2011. Data untuk masing masing variabel (dosis,
warna, kekeruhan dan kandungan zat organik) disusun per bulan dari tahun 2001
hingga 2011. Pengolahan dilakukan satu persatu seperti diwalai dengan dosis untuk
bulan januari 2001 2011 dilanjutkan dengan dosis untuk bulan februari tahun 2001
hingga 2011 begitu seterusnya dilanjutkan juga untuk parameter lainnya dengan
cara yang sama. Lalu dengan menggunakan Crystal Ball dilakukan Define
Assumption dengan menggunakan distribusi normal
Gambar 3. Distribusi Normal
21
Gambar 4. Kurva Distribusi Normal Crystal Ball
2. Distribution of Fit yang dipilih adalah Normal dan Chi Square untuk Goddes
of Fit nya dan dan masukkan Range dengan data yang telah disusun, misal dosis
bulan Januari dari tahun 2001 hingga 2011 yang diatur secara horizontal.
Gambar 5. Fit Distribution yang Dipilih
22
Gambar 6. Pemilihan Probability
3. Dari nilai percentiles tersebut tersaji nilai percentiles dari 0% hingga 100% dari data
tersebut
Gambar 7. Nilai Percentiles yang diperoleh
4. Dari nilai nilai percentile yang diperoleh tersebut kemudian dapat diperoleh grafik
probabilitas untuk masing masing variabel yang diuji.
3.3.3 Sensitivitas Alumunium Sulfat dengan Kekeruhan dan Warna
Dengan menggunakan grafik Microsoft Excel data berupa dosis aluminium sulfat baik
aluminium sulfat bubuk dan cair dibandingkan dengan parameter kualitas air yakni warna dan
kekeruhan sehingga dapat terlihat sensitivitas dari peningkatan atau penurunan dosis terhadap
warna dan kualitas air.
23
3.3.4 Perhitungan Biaya Produksi dan Harga Pokok Produksi Alumunium Sulfat Cair
Perhitungan biaya produksi dilakukan dengan menjumlahkan seluruh variabel yang terdiri
dari :
a. Bahan baku ( Alumina Basah/ Alumina Kering, Asam Sulfat)
b. Biaya listrik
c. Biaya penyusutan
d. Biaya tenaga kerja
e. Biaya perawatan
Untuk penjumlahan harga satuan dikalikan dengan jumlah total masing masing variabel.
Untuk perhitungan penyusutan digunakan Metode garis lurus :
d=
PF
n
(6)
Dimana :
d = depresiasi / penyusutan
P = harga perolehan
F = nilai residu / nilai sisa
n = umur ekonomis
3.3.5 Perhitungan Biaya Produksi dan Harga Pokok Produksi Alumunium Sulfat Cair
Berdasarkan Nilai di Lapangan
Variabel yang digunakan sama dengan variabel yang digunakan pada perhitungan biaya
produksi dan harga pokok produksi alumunium sulfat cair, namun ada sedikit tambahan dengan
mengalikan jumlah hari produksi setiap bulannya yang dilakukan oleh pihak pabrik.
a. Bahan baku ( Alumina Basah/ Alumina Kering, Asam Sulfat)
b. Biaya listrik
c. Biaya penyusutan
d. Biaya tenaga kerja
e. Biaya perawatan
Untuk penjumlahan harga satuan dikalikan dengan jumlah total masing masing variabel.
Untuk perhitungan penyusutan digunakan Metode Garis Lurus :
d=
PF
n
(7)
Dimana :
d = depresiasi / penyusutan
P = harga perolehan
F = nilai residu / nilai sisa
n = umur ekonomis
24
3.3.6 Perhitungan Biaya Alumunium Sulfat Powder dan Cair per
air
Perhitungan biaya alumunium sulfat powder dan cair per m
3
air memerlukan data :
a. Harga Pokok Produksi untuk semua aluminium sulfat yang diperoleh dari
perhitungan 3.3.4
b. Rasio pemakaian yang diperoleh dari perbandingan nilai dosis yang diberikan
antara di lapangan dan di laboratorium ( jar test)
c. Nilai PPM
d. Nilai produksi air
e. Nilai pemakaian alumunium yang diperoleh dari perkalian nilai PPM dengan
produksi air
f. Nilai perbandingan pemakaian alumunium sulfat cair dengan aluminium sulfat
powder
g. Biaya produksi baik dengan alumina basah, alumina kering dan alumunium
powder yang diperoleh dari perkalian harga pokok produksi dengan jumlah
pemakaian alumunium
h. Biaya m
3
air diperoleh dengan membagikan nilai dari biaya produksi dengan
jumlah produksi air
Perhitungan ini disajikan dalam bentuk tabel dan menggunakan bantuan Microsoft Excel.
3.3.7 Perhitungan Sensitivitas
Perhitungan ini dilakukan dengan menggunakan bantuan Crystal Ball. Data yang diperlukan
adalah data untuk mengitung biaya produksi yakni :
a. Harga satuan bahan baku dan jumlah bahan baku yang diperlukan
b. Biaya penyusutan
c. Biaya tenaga kerja
d. Biaya listrik
e. Biaya perawatan
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan Crystal Ball yang disajikan dalam Tornado
Chart. Data variabel biaya produksi merupakan median (nilai tengah) selanjutnya dilakukan
asumsi untuk menentukan nilai minimum dan maksimum untuk masing masing variabel
tersebut. Untuk nilai tengah asumsi yang digunakan pada saat Define Asumption adalah
triangular. Untuk nilai maksimum dan minimum yang digunakan adalah nilai yang diasumsikan
sebelumnya. Nilai yang dijadikan Forecast adalah nilai dari harga pokok produksi yang
diperoleh.
25
Prosedur penelitian dalam bentuk diagram alir dsajikan pada Gambar 9 berikut ini :
Tahap I Tahap II Tahap III
Analisa kebutuhan dan harga koagulan optimal Variabel proses koagulasi Menentukan pola
Gambar 8. Metode penelitian untuk menentukan nilai dosis koagulan optimal
Melakukan analisa terhadap
kebutuhan dan dosis koagulan
cair serta parameter kualitas air
yang ingin dicapai
Pengumpulan Data
Menghitung kriteria
berhasil pemilihan
kombinasi koagulan
secara kualitas dan harga
Menentukan kriteria
berhasil pemilihan
kombinasi dosis
koagulan
Menentukan
variable proses
koagulasi
Membangun fungsi tujuan
optimum dosis koagulan
Mengukur prioritas
variabel proses koagulasi
Pilihan alternatif dosis koagulan
yang akan digunakan
Membangun prioritas variabel
operasi untuk menentukan pola
operasi
Menghitung total besaran
kesuksesan dari setiap alternatif
operasi
Menentukan Nilai
Optimal
26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Perusahaan
4.1.1 Profil Perusahaan
PT Krakatau Tirta Industri yang didirikan pada tanggal 28 Februari 1996, merupakan
anak perusahaan yang sahamnya 99,99% dimiliki oleh PT Krakatau Steel (Persero) dan 0,01%
dimiliki oleh PT Krakatau Industrial Estate Cilegon (PT KIEC). Perusahaan ini sebelumnya
merupakan unit penunjang kegiatan operasional PT Krakatau Steel (Persero) dalam bidang
penyediaan air bersih yang mulai beroperasi sejak 1978. Sebagian besar air bersih yang
dihasilkan digunakan untuk kebutuhan industri dan sebagian lain untuk kebutuhan masyarakat
kota Cilegon.
Air baku yang diolah diambil dari sungai Cidanau yang bersumber dari danau alam Rawa
Dano. Air kemudian dialirkan menggunakan pipa diameter 1,4 m sepanjang 28km untuk
diolah menjadi air bersih di unit pengolahan air, yang terdiri dari beberapa tahapan proses yaitu
koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi, yang diikuti dengan netralisasi dan desinfeksi.
Kapasistas yang terpasang di unit pengolahan air saat ini adalah sebesar 2.000 liter /det, dan
digunakan 60% untuk utilisasinya.
4.1.2 Instalasi Pengolahan Air Minum PT. Krakatau Tirta Industri
Proses pengolahan air yang dilakukan oleh PT. KTI terlihat pada Gambar 10 yang
menampilkan proses dari sumber air baku hingga air dapat didistribusikan ke konsumen. Proses
pengolahan air terdiri dari beberapa tahap yakni koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi,
netralisasi dan desinfeksi.
Gambar 9. Diagram alir proses pengolahan air
PT. Krakatau Tirta Industri (Sumber PT. KTI)
Air baku dari sungai Cidanau di Pump Station I (PS I) sepanjang 27,2 km dipompa ke
Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAL) Krenceng, dialirkan ke Distribution Structure (bak
Raw Water
Intake
Cidanau
Sand Trap
Surge
Tank
Pump Station
I
By Pass &
Sump Pump
Krenceng Reservoir
Pump
Station II
27.2 km
Alum
Sulphate
Shock Chlorine
Distribution
Structure
Shock
Chlorine
Sludge
Blow of
Sump
Accelator Clarifier
Distribution
Chamber
Vaccum Tank
Sludge Field
Green Leaf
Filter
Wash Water
Outlet Sump
Reservoir
Pump
Station III
Pump
Station IV
Consumer
Water Tower
Lime Hydrate
Chlorine
Bak Penampung
Backwash
27
pembagi) yang berfungsi untuk mengalirkan air yang datang dari Cidanau maupun Waduk
(Pump Station II) ke instalasi pengolahan air dan jika debitnya melebihi kebutuhan pengolahan
maka sebagian akan dialirkan ke waduk. Dari bak pembagi air baku masuk ke Distribution
Chamber, pada bak ini ditambahkan larutan koagulan alumunium sulfat. Setelah diberi
koagulan air masuk ke Accelator (3 unit) dan terjadi proses koagulasi,flokulasi serta sedimentasi
dan menghasilkan lumpur slurry yang ditampung di sludge field sebanyak 3 unit dengan
kapasitas tampung 12.000 m
3
/unit, dengan cara diuapkan secara alami maka akan didapatkan
lumpur padat. Kemudian lumpur padat secara berkala diambil dan dikumpulkan ditempat
penampungan akhir/ limbah padat yang berada di sekitar Waduk Krenceng.
Air dari Accelator mengalir secara gravitasi masuk ke Green Leaf Filter (5 unit filter, tiap
unit filter memiliki 4 sel filter sehingga total filter sebanyak 20 sel filter) terjadi proses aerasi,
disini air proses mengalami kontak langsung dengan udara luar guna mengurangi bau, warna dan
kation yang terlarut (Fe, Al, Mn) dalam air proses. Pada proses filtrasi di Green Leaf Filter
digunakan media filter pasir yang berfungsi untuk menyaring sisa partikel yang tidak
mengendap pada proses sedimentasi, setelah pasir jenuh oleh partikel, maka filter harus dicuci
dengan sistem cuci balik (backwash). Air backwash sebanyak 600 m
3
/sel mengalir melewati
kanal ditampung dalam bak penampungan air backwash yang berfungsi untuk menampung air
backwash yang akan diproses kembali masuk dalam Distribution Chamber.
Air setelah mengalami proses filtrasi secara fisik sudah jernih namun perlu ditambahkan
larutan kapur untuk proses netralisasi dan penambahan gas klorin untuk membunuh kuman dan
bakteri yang berbahaya bagi kesehatan sepert bakteri E. Coli. Air bersih ditampung dalam bak
penampungan air bersih (reservoir) dan sebelum air bersih didistribusikan ke konsumen, air
dianalisa secara rutin di laboratorium PT. Krakatau Tirta Industri sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan No.416/MENKES/PER/IX/1990 mengenai syarat syarat dan pengawasan
kualitas air.
4.2 Dosis Aluminium Sulfat dengan Kualitas Air
4.2.1 Mekanisme Koagulasi di dalam Air
Koloid adalah sekelompok atom atau molekul berukuran sangat kecil yang tidak dapat
diendapkan secara gravitasi namun tetap terlarut dalam air. Karena terlarut, koloid bersifat stabil.
Stabilitas ini disebabkan oleh terjadinya tolak - menolak diantara partikel koloid (Sincero, 2003).
Secara umum koagulasi merupakan proses kimia dimana ion- ion yang muatannya berlawanan
dengan muatan koloid dimasukkan ke dalam air, sehingga meniadakan kestabilan koloid. Dalam
suatu suspensi koloid mengendap (bersifat stabil) dan terpelihara dalam keadaan terdispensi
karena memiliki gaya elektrostatis yang diperoleh dari ionisasi bagian permukaan serta adsorpsi
ion ion dari larutan sekitar. Bila koagulan ditambahkan kedalam air, reaksi yang terjadi antara
lain:
a. Pengurangan zeta potensial (potensial elektrostatis) sehingga suatu titik dimana gaya van
der walls dan agitasi yang diberikan menyebabkan partikel yang tidak stabil bergabung
serta membentuk flok
b. Agresi partikel melalui rangkaian inter partikulat diantara berbagai kelompok reaktif pada
koloid
c. Penangkapan partikel kolid negatif oleh flok flok hidroksida yang mengendap
Pada penggunaan alumunium sulfat sebagai koagulan, air baku harus memilki alkanitas
yang memadai agar dapat bereaksi dengan alumunium sulfat menghasilkan flok hidriksida.
Reaksi kimia sederhana pada pembentukan flok adalah sebagai berikut:
28
Al
2
(SO
4
)
3
. 14 H
2
o + 3 Ca (HCO
3
)
2
2 Al (OH)
3
+ 3 CaSO
4
+ 14 H
2
O + 6 CO
2
Pemilihan koagulan sangat penting agar tercapainya proses koagulasi yang baik. Jenis
koagulan yang biasanya digunakan adalah koagulan garam logam dan koagulan polimer kationik.
Contoh dari koagulan logam diantaranya adalah
a. Aluminium sulfat (Al
2
(SO
4
)
3
. 14 H
2
O), nilai 14 bervariasi dari 13 18
b. Feri klorida (FeCl
3
)
c. Fero klorida (FeCl
2
)
d. Feri sulfat ( Fe
2
(SO
4
)
3
)
Koagulan garam logam yang biasa digunakan adalah tawas atau aluminium sulfat dan
koagulan polimer atau sintesis contohnya adalah
a. Poli Aluminium Klorida (PAC)
b. Sitosan
c. Currie flock
Koagulan yang digunakan oleh PT. KTI adalah aluminium sulfat bubuk dengan
konsentrasi 8% dan aluminium sulfat cair dengan konsentrasi 17% yang merupakan koagulan
baru yang digunakan sejak Juli 2011. Pembubuhan dosis koagulan pada proses koagulasi
mengacu pada hasil dari jar test yang dilakukan di laboratorium kualitas air PT. KTI setiap
harinya dengan batas toleransi peningkatan dosis di bak koagulasi sebesar 5 10 ppm.
Prosedur jar test yang dilakukan oleh PT. KTI sama seperti prosedur jar test yang biasa
dilakukan. Terdapat enam buah batang pengaduk yang masing masing mengaduk satu buah
gelas dengan kapasitas satu liter. Satu buah gelas berfungsi sebagai kontrol dan kondisi operasi
dapat bervariasi diantara lima gelas yang tersisa. Pengadukan dilakukan dengan kecepatan 65
rpm. Pengujian dilakukan setiap harinya, sejak tahun 2007 jar test dalam satu hari dilakukan
sebanyak 3 shift yang awalnya hanya dilakuakn 1 shift per hari. Pencatatan hasil jar test berupa
beberapa parameter seperti pH, turbiditas, konduktivitas dan warna serta dosis koagulan yang
diberikan.
4.2.2 Penentuan Dosis Aluminium Sulfat Bubuk
Penentuan dosis optimum koagulan untuk aluminium sulfat bubuk dapat dilakukan dengan
membandingkan nilai parameter air (pH, warna dan turbiditas) sebelum dan sesudah dilakukan
jar test. Dengan menggunakan data tahun 2008, 2009 dan 2010 diperoleh beberapa grafik yang
menampilkan penurunan nilai parameter air untuk masing masing dosis yang diberikan.
Dilakukan pengelompokan berdasarkan dosis yang diberikan agar dapat terlihat grafik air
sebelum dan sesudah dilakukan jar test. Dosis optimum terlihat dari grafik setelah dilakukan jar
test yang menghasilkan nilai turbiditas terendah dengan pH mendekati 7. Dosis dapat dikatakan
optimum apabila dilakukan perbandingan terhadap parameter warna adalah apabila dosis
aluminium sulfat bubuk yang diberikan dapat menurunkan nilai warna air hingga mencapai nilai
20 PtCo (standar nilai warna air bersih PT. KTI).
a. Tahun 2008
Pemberian dosis koagulan aluminium sulfat bubuk yang terjadi selama tahun 2008
berkisar antara 40 115 ppm. Hasil parameter air terbaik yang diperoleh pada tahun 2008
adalah pada saat pemberian dosis koagulan aluminium sulfat bubuk sebesar 55 ppm.
Penurunan nilai turbiditas sangat signifikan hingga mencapai nilai minimum sebesar 4
NTU. Nilai tertinggi turbiditas air sebelum diberikan koagulan mencapai 225 NTU.
Sedangkan untuk pH setelah dilakukan jar test terjadi penurunan namun penurunan nilai
tersebut masih mendekati angka 7 dan scenderung berada diatas nilai 6, pH air bersih
29
terbaik yang diperoleh adalah 6,96 dengan nilai pH tertinggi sebelum jar test sebesar 8,31.
Grafik penurunan terlihat pada Gambar 10 dan Gambar 11.
Gambar 10. Turbiditas vs pH sebelum jar test tahun 2008 dosis 55 ppm
Gambar 11. Turbiditas vs pH sesudah jar test tahun 2008 dosis 55 ppm
Nilai warna air tertinggi sebelum dilakukan jar test mencapai 1167 PtCo dengan
nilai terendah 94 PtCo. Dengan dosis 55 ppm yang diberikan selama tahun 2008 nilai
standar warna sebesar 20 PtCo selalu tercapai. Perbandingan antara turbiditas dan warna
sebelum dilakukan jar test ditampilkan pada Gambar 12.
30
Gambar 12. Turbiditas vs warna sebelum jar test tahun 2008 dosis 55 ppm
Nilai warna setelah diberikan koagulan selalu mencapai nilai 20 PtCo. Gambar 13
menampilkan grafik ketika nilai 20 PtCo tercapai. Perbandingan dilakukan dengan
turbiditas. Walau terjadi keragaman dalam pemberian dosis koagulan namun nilai akir
yang diperoleh selalu sama yaitu 20 PtCo sehingga grafik untuk menggambarkan
penurunan warna selalu sama bentuknya seperti Gambar 13 yakni berupa garis lurus
dengan nilai dari sumbu- y nya yang tetap yakni 20 PtCo.
Gambar 13. Turbiditas vs warna sesudah jar test tahun 2008 dosis 55 ppm
b. Tahun 2009
Rentang nilai dosis koagulan aluminium sulfat bubuk yang diberikan selama tahun
2009 adalah 22 105 ppm. Hasil dari parameter terbaik yang diperoleh pada tahun 2009
adalah ketika dosis koagulan yang diberikan sebesar 60 ppm. Nilai turbiditas tertinggi
sebelum dilakukan pemberian koagulan mencapai 278 NTU dan nilai pH tertingginya
sebesar 7,7 seperti terlihat pada Gambar 15. Penurunan nilai turbiditas setelah dilakukan
jar test mencapai nilai 4 NTU dengan pH tertinggi 6,79. Nilai pH yang diperoleh secara
garis besar cenderung mendekati 7.
31
Gambar 14. Turbiditas vs pH sebelum jar test tahun 2009 dosis 60 ppm
Nilai pH yang diperoleh cukup baik karena cenderung berada diatas 6 dengan nilai
pH terendah yang diperoleh sebesar 5,9. Gambar 14 menampilkan perbandingan kualitas air
setelah dilakukan jar test dengan membandingkan pH dan turbiditas.
Gambar 15. Turbiditas vs pH sesudah jar test tahun 2009 dosis 60 ppm
Nilai tertinggi parameter warna sebelum diberikan koagulan mencapai 1480 PtCo
dan nilai terendah 87 PtCo seperti yang terlihat pada Gambar 16. Nilai 20 PtCo berhasil
dicapai dengan pemberian dosis koagulan alumunium sulfat bubuk sebesar 60 ppm.
32
Gambar 16. Turbiditas vs Warna sebelum jar test tahun 2009 dosis 60 ppm
c. Tahun 2010
Rentang nilai dosis koagulan aluminium sulfat bubuk yang diberikan selama tahun
2010 adalah 45- 85 ppm. Hasil dari parameter air terbaik yang diperoleh pada tahun 2010
adalah ketika dosis koagulan yang diberikan sebesar 55 ppm. Nilai turbiditas tertinggi
sebelum dilakukan pemberian koagulan mencapai 284NTU dan nilai pH tertingginya
sebesar 7,39 seperti terlihat pada Gambar 17. Penurunan nilai turbiditas terendah setelah
dilakukan jar test mencapai nilai 1,75 NTU dengan pH tertinggi 6,43. Nilai pH yang
diperoleh secara garis besar cenderung mendekati 6,5.
Gambar 17. Turbiditas vs pH sebelum jar test tahun 2010 dosis 55 ppm
33
Gambar 18. Turbiditas vs pH sesudah jar test tahun 2010 dosis 55 ppm
Nilai tertinggi parameter warna sebelum diberikan koagulan mencapai 1530 PtCo
dan nilai terendah sebesar 112 PtCo seperti yang terlihat pada Gambar 19. Dengan
pemberian dosis koagulan aluminium sulfat bubuk sebesar 55 ppm nilai 20 PtCo selalu
berhasil dicapai.
Gambar 19. Turbiditas vs warna sebelum jar test tahun 2010 dosis 55 ppm
Dari Gambar 12 dan 19 yang menampilkan perbadingan antara nilai turbiditas
dengan warna terlihat semakin meningkatnya nilai turbiditas maka nilai warna juga
meningkat, menandakan bahwa nilai turbiditas dan niai warna saling mempengaruhi. Hal
ini mungkin saja terjadi karena nilai warna di suatu perairan dipengaruhi oleh nilai
turbiditas dan kandungan zat organik yang terdapat didalamnya.
Hasil perbandingan parameter air dari tahun 2008, 2009 dan 2010 terlihat parameter air
terbaik yang diperoleh ketika koagulan aluminium sulfat bubuk yang diberikan sebesar 55 dan 60
ppm. Tahun 2008 dengan dosis sebesar 55 ppm dapat diperoleh nilai turbiditas yang baik (cukup
rendah) sebesar 4 NTU dengan pH yang cenderung mendekati 7, pada tahun 2009 dengan dosis
sebesar 60 ppm dapat diperoleh nilai turbiditas yang cukup rendah yakni 4 NTU dan pH
cenderung berada di atas nilai 6 dan mendekati angka 7. Untuk tahun 2010 dengan dosis 55 ppm
dapat diperoleh turbiditas dengan nilai terendah sebesar 1,75 dan pH yang cenderung berada di
atas 5,5 dan mendekati angka 6,5. Untuk parameter warna kedua dosis baik 55 maupun 60 ppm
tetap mampu mencapai angka 20 PtCo.
34
Dapat ditarik kesimpulan bahwa dosis yang optimum diberikan adalah sebesar 60 ppm,
karena selain nilai pH yang diperoleh lebih cenderung mendekati angka 7 juga nilai turbiditas
yang diperoleh cukup rendah, sebesar 4 NTU. Pemberian dosis 55 ppm cukup memberikan
penurunan yang signifikan terhadap parameter turbiditas, namun bila melihat pH yang diperoleh
cukup rendah dibandingkan dengan pemberian dosis 60 ppm, maka dosis optimum koagulan
aluminium sulfat bubuk yang tepat adalah sebesar 60 ppm.
Dengan mengacu pada data hasil jar test pada tahun 2009 dengan dosis koagulan
aluminium sulfat bubuk yang diberikan sebesar 60 ppm maka dapat diperoleh nilai efisiensi pH
dan turbiditas dari pemberian dosis 60 ppm tersebut dengan menggunakan persamaan (6). Untuk
pH diperoleh efisiensi sebesar 11,82% dan efisiensi turbiditas sebesar 99,32%. Dengan
diperolehnya nilai efisiensi untuk turbiditas yang hampir mendekati 100% ini dapat disimpulkan
bahwa dosis 60 ppm pemberian koagulan aluminium sulfat bubuk sangat efisien untuk penurunan
nilai turbiditas air.
4.2.3 Penentuan Dosis Aluminium Sulfat Cair
Langkah langkah yang dilakukan untuk menentukan dosis yang optimum pada
penggunaan koagulan aluminium sulfat cair sama dengan langkah langkah yang dilakukan
untuk menentukan dosis optimum aluminium sulfat bubuk. Data hasil jar test yang digunakan
adalah data sejak alumunium sulfat cair mulai digunakan sebagai koagulan yakni sejak bulan Juli
tahun 2011 hingga April 2012. Dilihat dari konsentrasi aluminium sulfat cair sebesar 17% maka
dosis yang diberikan pada proses koagulasi dua kali lebih besar dibandingkan dosis yang
diberikan untuk penggunaan aluminium sulfat bubuk (konsentrasi 8%). Aluminium sulfat cair
belum sepenuhnya digunakan sebagai koagulan pada proses koagulasi.
Gambar 20. Turbiditas vs pH sebelum jar test dosis100 ppm
35
Gambar 21. Turbiditas vs pH sesudah jar test dosis100 ppm
Dari data hasil jar test yang diperoleh nilai dosis yang diberikan sebesar 100, 110, 115 dan
120 ppm. Dari keempat dosis tersebut, dosis 100 ppm yang memberikan nilai hasil yang cukup
baik dengan nilai turbiditas yang yang rendah yakni 5,07 NTU dan nilai pH yang mendekati 6,5
seperti terlihat pada Gambar 22. Untuk parameter warna sebelum diberi koagulan aluminium
sulfat cair parameter nilai tertinggi mencapai 472 PtCo. Setelah diberi koagulan sebesar 100 ppm,
nilai standar 20 PtCo selalu tercapai. Pada pemberian koagulan aluminium sulfat cair dengan
dosis 110, 115 dan 120 nilai 20 PtCo tetap tercapai. Maka dapat disimpulkan baik dengan
menggunakan aluminium sulfat bubuk dan cair, nilai standar untuk parameter air sebesar 20 PtCo
selalu tercapai. untuk efisiensi dengan menggunakan persamaan (6) diperoleh nilai efisiensi
turbiditas sebesar 85,8% dan untuk pH sebesar 19,8%.
Gambar 22. Turbiditas vs warna sebelum jar test dosis100 ppm
Pada Gambar 22 yang merupakan perbandingan antara turbiditas dan pH sesudah jar test,
terlihat seiring meningkatnya nilai turbiditas maka nilai pH menurun. Hal ini dapat disebabkan
oleh mekanisme Al
2
SO
4
didalam air.
Aluminium sulfat atau tawas dengan rumus kimia Al
2
S0
4
.11H
2
O atau 14 H
2
O atau 18 H
2
O
umumnya yang digunakan adalah 18H
2
O. Semakin banyak ikatan molekul hidrat maka semakin
banyak ion lawan yang nantinya akan ditangkap akan tetapi umumnya tidak stabil. Pada pH lebih
besar dari 7 terbentuk Al (OH)
2+
, Al (OH)
2
4+
, Al
2
(OH)
2
4+
. Pada pH >7 terbentuk Al (OH)
-4
.
Flok-flok Al (OH)
3
mengendap berwarna putih.
36
Gugus utama dalam proses koagulasi adalah senyawa aluminat yang optimum pada pH
netral. Apabila pH tinggi atau boleh dikatakan kekurangan dosis maka air akan nampak seperti air
baku karena gugus aluminat tidak terbentuk secara sempurna. Akan tetapi apabila pH rendah atau
kelebihan dosis maka air akan tampak keputih putihan karena terlalu banyak konsentrasi alum
yang cenderung berwarna putih. Dalam cartesian terbentuk hubungan parabola terbuka, sehingga
memerlukan dosis yang tepat dalam proses penjernihan air. Reaksi aluminium dalam larutan
dapat dituliskan.:
Al
2
S0
4
+ 6 H
2
O Al ( OH )
3
+ 6 H
+
+ SO
4
2-
Reaksi ini menyebabkan pembebasan ion H
+
dengan kadar yang tinggi ditambah oleh
adanya ion aluminium. Ion Aluminium bersifat amfoter sehingga bergantung pada suasana
lingkungan yang mempengaruhinya. Karena suasananya asam maka alumunium akan juga
bersifat asam sehingga pH larutan menjadi turun. Warna dan kekeruhan pada air dapat berkurang
apabila suasana dalam air bersifat asam. Karena telah terjadi penurunan pH diakibatkan dari
reaksi alumunium sulfat dengan air yang terjadi maka suasana air menjadi lebih asam dari
sebelumnya, dan penurunan warna pun dapat terjadi.
4.2.4 Hubungan Dosis Koagulan dengan Kadar Alkalinitas di dalam Air
Alkalinitas adalah kapasitas air untuk menetralkan tambahan asam tanpa menurunkan pH
larutan. Alkalinitas terdiri dari ion ion bikarbonat (HCO
3
-
), karbonat (CO
3-
) dan hidroksida
(OH
-
) yang merupakan penyangga (buffer) terhadap pengaruh keasaman. Apabila aluminium
sulfat (Al
2
(SO
4
)
3
.14 H
2
O) ditambahkan kedalam air yang mengandung alkalinitas, reaksi yang
akan terjadi adalah sebagai berikut :
Al
2
(SO
4
)
3
.14 H
2
O + 6 HCO
3
2 Al (OH
3
) . 3H
2
O(s) + 6CO
2
+ 8 H
2
O + 3SO
4
2-
Masing masing mol aluminium yang ditambahkan menggunakan enam buah mol
alkalinitas dan menghasilkan enam molekul karbon dioksida. Reaksi ini menyebabkan pergeseran
kesetimbangan karbon dan menurunkan pH.
Dosis optimum untuk penggunaan aluminium sulfat bubuk adalah sebesar 60 ppm,
diperoleh nilai alkalinitas sebesar 37,2 mg / L. Dengan menggunakan persamaan (7) langkah
langkah perhitungannya sebagai berikut :
1. Diketahui bahwa 6 buah mol HCO
3
digunakan untuk masing
masing mol alum yang ditambahkan
2. Nilai mol / L alum yang digunakan :
60mg /L alum
BM alum
=
60 mg /L
594 g/mol .1000 mg /g
= 1,01 x 10
-4
mol/ L
3. mol/ L HCO
3
-
yang digunakan
6(1,01 x 10
-4
mol/ L) = 6,06 x 10
-4
mol/ L
4. ke Mg/ L
= (6,06 x 10
-4
mol/ L) (BM HCO
3
-
)
= (6,06 x 10
-4
mol/ L) (61 gr/ mol)
= 37,2 mg / L HCO
3
-
37
Perhitungan alkalinitas juga dilakukan dengan langkah yang sama seperti pada perhitungan
alkalinitas untuk penggunaan aluminium sulfat bubuk. Dosis optimum aluminium sulfat cair
adalah sebesar 100 ppm maka perhitungan alkalinitasnya :
1. Diketahui bahwa 6 buah mol HCO
3
-
digunakan untuk masing masing mol
aluminium yang ditambahkan
2. Nilai mol / L aluminium yang digunakan :
60mg /L alum
BM alum
=
100mg /L
594 g/mol .1000 mg /g
= 1,68 x 10
-4
mol/ L
3. mol/ L HCO
3
-
yang digunakan
6 (1,68 x 10
-4
mol/ L) = 1,01 x 10
-3
mol/ L
4. Konversi ke Mg/ L
= (1,01 x 10
-3
mol/ L) (BM HCO
3
-
)
= (1,01 x 10
-3
mol/ L) (61 gr/ mol)
= 61,6 mg / L HCO
3
Dari perhitungan diperoleh baik pada penggunaan aluminium sulfat cair dan aluminum sulfat
bubuk nilai alkalinitas yang diperoleh lebih besar dari 20 ppm hal ini menunjukkan bahwa
perairan tersebut relatif stabil terhadap perubahan asam atau basa sehingga kapasitas buffer basa
lebih stabil.
4.2.5 Probabilitas 90% Dosis Aluminium Sulfat Bubuk dengan Kualitas Air
Kualitas air yang dibandingkan dengan dosis aluminium bubuk yakni warna (PtCo),
turbiditas (NTU) dan zat organik (Mg/l) dari tahun 2001 2011. Grafik probabilitas
menggambarkan trend baik dari penggunaan dosis aluminium sulfat bubuk yang diberikan dan
parameter air yang dituju. Dengan menggunakan Forecast yang terdapat pada Crystal Ball maka
dapat terlihat gambaran besarnya kemungkinan suatu nilai muncul pada suatu waktu tertentu.
Probabilitas 90% ini menampilkan trend munculnya nilai tersebut (besarnya dosis, nilai zat
organik, nilai turbiditas dan warna) selama rentang waktu 10 tahun.
Gambar 23. Grafik probabilitas 90% dosis aluminium sulfat bubuk vs warna
Terlihat bahwa grafik warna pada Gambar 23 yang cenderung stabil berada dikisaran nilai
dua puluh yang merupakan standar nilai warna PT. KTI. Walaupun terjadi peningkatan ataupun
penurunan dosis aluminium sulfat yang diberikan namun standar nilai warna yang dituju tetap
dapat diperoleh. Nilai 20 ini selalu diperoleh dengan pemberian dosis berapapun di rentang waktu
sepuluh tahun tersebut. Dapat dikatakan bahwa aluminium sulfat bubuk sensitif terhadap
38
parameter warna, sehingga apabila nilai parameter warna pada air baku tinggi, aluminium sulfat
bubuk adalah koagulan yang tepat digunakan pada proses koagulasi.
Gambar 24. Grafik probabilitas 90% dosis aluminium sulfat bubuk vs turbiditas
Gambar 24 menampilkan grafik probabilitas 90% pemberian dosis dan nilai parameter
turbiditas. Pemberian dosis koagulan aluminium sulfat bubuk mengalami fluktuasi menyebabkan
kestabilan nilai turbiditas yang diperoleh. Dapat dikatakan aluminium sulfat bubuk sensitif
terhadap parameter turbiditas, maka apabila nilai turbiditas air baku tinggi koagulan aluminium
sulfat bubuk tepat untuk digunakan.
Gambar 25. Grafik probabilitas 90% dosis aluminium sulfat bubuk vs zat organik
Gambaran probabilitas pemberiaan dosis dan parameter kandungan zat organik
ditampilkan pada Gambar 25. Baik dosis maupun kandungan zat organik mengalami fluktuasi
setiap bulannya selama sepuluh tahun. Pada beberapa keadaan seperti pada bulan Mei, Juni dan
November peningkatan dosis yang diberikan tidak menurunkan kandungan zat organik yang
diperoleh.
Pemberian dosis aluminium sulfat bubuk yang fluktuatif ini sangat bergantung pada
keadaan dari kualitas air baku yang akan diolah. Pada bulan November terlihat peningkatan yang
signifikan dari nilai peberian dosis. Hal ini disebabkan pada bulan November disetiap tahunnya
merupakan bulan dengan curah hujan yang cukup tinggi sehingga mempengaruhi kualitas dari air
baku. Dari Gambar 23 dan Gambar 24 terlihat bahwa nilai dari parameter warna dan turbiditas
39
tetap stabil dan sesuai dengan standar nilai air bersih PT. KTI meskipun pada bulan November
parameter kualitas air baku dan dosis koagulan yang diberikan meningkat. Hal lain terlihat pada
Gambar 25 yang menampilkan peningkatan nilai dosis koagulan juga diiringi peningkatan nilai
kandungan zat organik. Maka dapat dikatakan bahwa aluminium sulfat bubuk sensitif terhadap
parameter warna dan turbiditas sehingga apabila kedua parameter tersebut pada air baku yang
akan diolah tinggi, dengan menggunakan aluminium sulfat bubuk nilai standar nilai air bersih
untuk keduanya dapat dicapai.
4.2.6 Sensitivitas Koagulan Dengan Parameter Air
Penggunaan aluminium sulfat cair yang dosisnya dua kali lipat dari dosis aluminium sulfat
bubuk yang diberikan. Hal ini diperoleh dari perbedaan konsentrasi aluminium sulfat tersebut,
dimana aluminium sulfat cair dengan konsentrasi 8% dan alumunium sulfat bubuk dengan
konsentrasi 17%. Berdasarkan bahan baku yang digunakan sejak masa beroperasinya, alumina
kering hanya digunakan pada bulan desember tahun 2011. Parameter yang dibandingkan dengan
dosis adalah warna dan turbiditas. Besarnya pengaruh masing masing koagulan terhadap
parameter dapat dilihat pada tabel sensitivitas berikut :
Tabel 3.Sensitivitas koagulan aluminium sulfat bubuk
Keterangan Sensitivitas Minimal Maksimum Mean Standar
Deviasi
Warna
2011
-1,50 25,7 1070 319,87 100,3
Warna
2012
-33,68 19,6 1724 844,32 319,07
Turbiditas
2011
-0,6 -1,21 441,98 37,167 30,85
Turbiditas
2012
-8,32 18,68 276,86 140,51 66,96
Tabel 4.Sensitivitas koagulan aluminium sulfat cair
Keterangan Sensitivitas Minimal Maksimum Mean Standar
Deviasi
Warna
2011
-1,21 25.7 672 353,35 114,21
Warna
2012
11,59 185 2275 1067,28 390,32
Turbiditas
2011
0,096 11,06 186,60 36,21 30,99
Turbiditas
2012
2,34 20,70 376,91 171,04 71,345
Nilai sensitivitas diperoleh dengan membagi nilai delta parameter dengan dosis yang
diberikan. Nilai delta itu sendiri adalah selisih antara nilai parameter air baku dan nilai parameter
40
setelah diberikan koagulan. Dari tabel terlihat bahwa sensitivitas baik untuk warna dan turbiditas
pada penggunaan aluminium sulfat bubuk bernilai negatif, hal ini menandakan bahwa walaupun
kualitas air meningkat (dimana nilai penurunan parameter air baku dan air hasil jar test
mengalami penurun yang cukup besar) apabila jumlah dosis ditambahkan, namun nilainya tidak
sebesar saat pemberian dosis yang lebih rendah. Dapat dikatakan bahwa dengan dosis yang lebih
rendah diperoleh nilai delta (selisih penurunan nilai kualitas) yang lebih besar. Dan untuk
sensitivitas yang bernilai postif hal ini menandakan bahwa dengan semakin tingginya dosis yang
diberikan maka semakin besar nilai delta (selisih penurunan nilai kualitas air) yang diperoleh.
4.3 Perhitungan Biaya dan Harga Pokok Produksi Aluminium Sulfat Cair
Tabel 5.Perhitungan biaya produksi aluminium sulfat menggunakan alumina basah
Uraian Satuan Jumlah Harga (Rp) Biaya (Rp)
Alumina Basah Kg 1421 1.760 2.500.960
Asam Sulfat Kg 2024 1.430 2.894.320
Biaya Listrik Kwh/batch 150 1.000 300.000
Biaya
Penyusutan
Rp 605.700,12
Biaya Tenaga
kerja
Rp 2 3.725.747 124.191,57
Biaya Perawatan Rp 2.000.000 66.666,67
Total Rp 6.491.838,36
Tabel 6.Perhitungan biaya produksi aluminium sulfat menggunakan alumina kering
Uraian Satuan Jumlah Harga (Rp) Biaya (Rp)
Alumina Kering Kg 1512 3.200 4.838.400
Asam Sulfat Kg 2024 1.430 2.894.320
Biaya Listrik Kwh/batch 150 1.000 300.000
Biaya Penyusutan Rp 605.700,12
Biaya Tenaga kerja Rp 2 3.725.747 124.191,57
Biaya Perawatan Rp 2.000.000 66.666,67
Total Rp 8.829.278,36
Dari Tabel 4 dan Tabel 5 diperoleh biaya produksi untuk aluminium sulfat cair dengan
menggunakan alumina basah sebesar Rp 6.491.838,36 per produksi dan Rp 8.829.278,36 per
produksi dengan menggunakan alumina kering. Dengan jumlah produksi sebesar 5.739 kg per
41
produksi maka diperoleh nilai untuk harga pokok produksi sebesar Rp 1.131,17/ kg untuk
aluminium sulfat dengan alumina basah dan Rp 1.538,46 / kg untuk aluminium sulfat cair dengan
alumina kering. Dari perhitungan ini terlihat bahwa harga aluminium sulfat cair sebagai koagulan
baik dengan menggunakan alumina kering atau basah lebih murah dibandingkan dengan harga
aluminium sulfat bubuk yang harganya Rp 1.760 / kg. Namun perlu dilakukan perhitungan
berdasarkan keadaan yang sebenarnya dilapangan, maka perhitungan harga pokok produksi ini
baik dengan alumina kering dan alumina basah harus disesuaikan dengan hari produksi pabrik
aluminium cair dalam memproduksi aluminium sulfat cair setiap bulannya agar lebih terlihat nilai
sebenarnya dari harga pokok aluminium sulfat cair tersebut.
Tabel 7. Harga Pokok Produksi Aluminium Sulfat Cair
Bulan Jumlah Hari Produksi
(Hari )
Harga Pokok Produksi
(Rp/kg)
Juli 2011 6 2209,94
Agustus 2011 8 1440.25
Sepetember 2011 15 1211,97
Oktober 2011 10 1282,33
November 2011 8 1152,77
Desember 2011 9 1034,39
Januari 2012 10 1075,44
Februari 2011 17 994,04
April 2011 21 1026,71
Gambar 26. Grafik harga pokok produksi aluminium sulfat cair
Dari Gambar 26 terlihat penurunan harga pokok produksi aluminium sulfat cair seiring
dengan meningkatnya hari produksi aluminium sulfat cair itu sendiri. Namun terlihat pada bulan
April 2012 terjadi peningkatan harga dibandingkan bulan Februari 2012 meskipun jumlah hari
produksinya meningkat, hal ini disebabkan oleh pengaruh yang cukup besar dari jumlah
aluminium sulfat cair yang digunakan. Jumlah konsum aluminium cair disini digunakan sebagai
faktor pembagi dari biaya produksi setiap bulannya sehingga dapat diperoleh harga pokok
produksinya.
42
Tabel 8. Tabel Konsumsi Aluminium Sulfat Cair
Bulan Konsumsi Aluminium Cair
(Kg)
Juli 2011 26.276
Agustsu 2011 48.227
Sepetember 2011 90.205
Oktober 2011 63.049
November 2011 60.254
Desember 2011 98.145
Januari 2012 69.882
Februari 2012 121.440
April 2012 139.764
Apabila jumlah hari produksi meningkat maka biaya produksi pun akan meningkat namun
hal lain yang mempengaruhi nilai akhir dari harga pokok produksi itu sendiri adalah jumlah
aluminium cair yang digunakan. Terlihat bahwa apabila hari produksi setiap bulannya lebih dari
17 hari maka dapat menyebabkan kenaikan harga pokok produksi aluminium sulfat sebab biaya
produksinya akan jauh meningkat dan harga pokok tersebut dapat turun lebih murah apabila
konsum aluminium yang digunakan juga sangat besar. Sebab nilai dari konsum aluminium yang
berfungsi sebagai pembagi. Jumlah hari produksi apabila dilihat dari harga pokok produksi yang
diperoleh setiap bulannya yang tepat adalah apabila diatas 10 hari sehingga harga yang diperoleh
tidak jauh berbeda dengan harga yang diperoleh dari perhitungan harga pokok produksi senilai Rp
1.100,31 / kg. Penggunaan alumina basah ataupun alumina kering sebagai bahan baku belum
dapat dianalisis lebih lanjut karena penggunaan alumina kering sebagai bahan baku hanya di
bulan Desember tahun 2011 saja selama sembilan bulan pabrik aluminium sulfat beroperasi. Dan
pada bulan tersebut harga pokok produksi yang diperoleh lebih rendah dari perhitungan harga
pokok produksi sebelumnya. Harga pokok produksi alum sulfat cair pada bulan Maret tidak dapat
diperoleh disebabkan keadaan dilapangan dimana pada bulan tersebut tidak dilakukan produksi
aluminium sulfat sehingga selama sebulan penuh koagulan yang digunakan adalah aluminium
sulfat bubuk.
Agar biaya produksi dapat semakin spesifik maka perlu dilakukan perhitungan biaya
produksi aluminium sulfat cair untuk per m
3
air produksi. Dengan menggunakan asumsi produksi
air sebesar 100.000 m
3
maka diperoleh perhitungan sebagai berikut
43
Tabel 9. Biaya Produksi Per m3 Air
Keterangan Satuan Alumina Basah Alumina Kering Aluminium
Sulfat Bubuk
Harga Pokok
Produksi
Rp/ kg 1.131,17 1538,46 1.760
Koefisien 2,125 2,125 1
Rasio Pemakaian 1,008 1,016 1
PPM Pemakaian ppm 107.10 107.95 50
Produksi Air m
3
100.000 100.000 100.000
Pemakaian
Aluminium
Ton 10,710 10,795 5
Perbandingan
Dengan Alum
Bubuk
Ton 5,04 5,3 5
Biaya Produksi Rp 5.559.526 7.923.500 8.800.000
Biaya produksi per
m
3
Rp 55 79 88
.
4.4 Sensitivitas Biaya
4.4.1 Sensitivitas Harga Pokok Produksi Alumina Basah
Gambar 27. Diagram sensitivitas harga pokok produksi alumina basah
44
Gambar 28. Tornado Chart HPP alumina basah
Dengan menggunakan Crystal Ball dilakukan uji untuk mengetahui sensitivitas dari harga
pokok produksi aluminium sulfat cair baik dengan menggunakan alumina basah dan alumina
kering.dengan memasukkan variabel asumsi pada distribusi Triangular dan Normal. Pada Gambar
28 terlihat Tornado Chart yang menunjukkan besarnya nilai dari variabel yang mempengaruhi
perubahan nilai harga pokok produksi alum sulfat cair dengan bahan baku alumina basah.
Variabel yang memiliki nilai sensitivitas tertinggi adalah asam sulfat sebesar 51%, alumina basah
sebesar 15,5 %, tenaga kerja 10%, listrik 1,5 % , perawatan 0,7%, jumlah produksi -2,9 dan
penyusutan -6,6% seperti yang terlihat pada Gambar 22. Perubahan harga pokok produksi
aluminium sulfat cair dengan bahan baku alumina basah sangat dipengaruhi atau paling sensitiv
terhadap harga asam sulfat. Kenaikan HPP asam sulfat dengan alumina basah paling maksimum
yang dapat diterima adalah hingga menjadi Rp 1.200 /kg.
Apabila harga asam sulfat meningkat menjadi Rp 3.093.857 atau sebesar 23,7% maka
HPP asam sulfat dengan menggunakan alumina basah menjadi Rp 1.200. begitu juga dengan
variabel alumina basah apabila terjadi kenaikan harga menjadi Rp 2.5593.562 atau sebesar 3,7%
maka HPP asam sulfat dengan alumina basah menjadi Rp 1.200/ kg begitu juga terhadap variabel
lainnya. Kenaikan HPP pada saat itu ditentukan oleh perubahan dari satu variabel produksi saja,
bukan dari keseluruhan variabel secara bersamaan. Biaya penyusutan dan biaya tenaga kerja jika
dilihat pada Tornado Chart berada pada bagian bawah (urutan keenam dan ketujuh) grafik hal ini
cukup menjelaskan bahwa pengaruh dari perubahan harga yang mungkin terjadi pada varibael
variabel tersebut tidak memberikan dampak yang begitu signifikan terhadap perubahan HPP dan
nilai dari ketiga variabel tersebut cenderung tetap (biaya tetap) atau biasa disebut dengan keadaan
non- monotomik.
Biaya perawatan berada pada urutan keempat cukup memberikan dampak terhadap HPP
karena biaya perawatan mempengaruhi dari biaya overhead pabrik, dan biaya perawatan dapat
berubah- ubah setiap waktunya tergantung pada keadaan pabrik apabila pabrik mengalami
45
kerusakan alat atau sebagainya. Biaya listrik berada pada urutan ketiga hal ini dapat dilihat dari
pengaruh kemungkina perubahan harga satuan listrik sehingga dapat menyebabkan perubahan
pula pada biaya listrik yang harus dikelurakan. Pada saat pelaksanaan penggunaan alumina basah
sebagai bahan baku dalam memproduksi aluminium sulfat variabel yang perlu mendapat
perhatian khusus adalah asam sulfat dan harga dari alumina basah itu sendiri. Karena kedua
variabel ini yang menunjukkan nilai sensitivitas yang cukup tinggi.
4.4.2 Sensitivitas Harga Pokok Produksi Alumina Kering
Dengan cara yang sama dilakukan juga uji sensitivitas HPP aluminium sulfat basah dengan
menggunakan bahan baku berupa alumina kering.
Gambar 29. Tornado Chart HPP alumina kering
Gambar 30. Diagram sensitivitas harga pokok produksi alumina kering
Dari gambar 30 terlihat bahwa urutan variabel yang diperoleh hampir sama dengan
tornado chart yang diperoleh untuk uji HPP alumina basah. Perbedaan yang terlihat berada pada
46
urutan variabel pertama yaitu alumina kering dan asam sulfat berada di urutan kedua. Alumina
kering dengan nilai sensitivitas sebesar 35,7 %, asam Sulfat 33,7 %, Perawatan 16,4 %, Listrik
1,3%, biaya penyusutan 0 %, biaya tenaga kerja -0,4%, dan jumlah produksi sebesar -8,3%.
Apabila harga alumina kering meningkat menjadi Rp 5.047.568 atau sebesar 4,3% dan
juga harga asam sulfat meningkat menjadi Rp 3.093.857 atau sebesar 23,7 % maka dapat
menyebabkan peningkatan HPP asam sulfat dengan alumina kering menjadi Rp 1.650 dari HPP
awal sebesar Rp 1.538,46 / kg atau sebesar 7,23% . Sama dengan HPP asam sulfat dengan
alumina basah biaya penyusutan dan biaya tenaga kerja jika dilihat pada Tornado Chart berada
pada bagian bawah (urutan keenam dan ketujuh) grafik hal ini cukup menjelaskan bahwa
pengaruh dari perubahan harga yang mungkin terjadi pada varibael variabel tersebut tidak
memberikan dampak yang begitu signifikan terhadap perubahan HPP dan nilai dari ketiga
variabel tersebut cenderung tetap (biaya tetap) atau biasa disebut dengan keadaan non-
monotomik. Biaya perawatan berada pada urutan keempat cukup memberikan dampak terhadap
HPP karena biaya perawatan mempengaruhi dari biaya overhead pabrik, dan biaya perawatan
dapat berubah- ubah setiap waktunya tergantung pada keadaan pabrik apabila pabrik mengalami
kerusakan alat atau sebagainya. Biaya listrik berada pada urutan ketiga hal ini dapat dilihat dari
pengaruh kemungkina perubahan harga satuan listrik sehingga dapat menyebabkan perubahan
pula pada biaya listrik yang harus dikelurkan.
Jumlah dari produksi aluminium sulfat itu sendiri juga member pengaruh terhadap HPP
aluminium sulfat cair baik alum sulfat cair dengan alumina basah ataupun alumina kering. Hal itu
dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah produksi akan semakin menurunkan nilai HPP
aluminium sulfat. Dari kedua uji yang telah dilakukan pada saat memproduksi alum sulfat baik
dengan bahan baku alumina basah ataupun kering hal yang harus diperhatikan adalah harga dari
asam sulfat, dari kedua tornado chart yang diperoleh asam sulfat menempati urutan teratas,
sehingga selain dari harga alumina itu sediri harga asam sulfat memberikan pengaruh yang besar
terhadap perubahan HPP yang mungkin terjadi.
Dapat dikatakan bahwa harga dari bahan baku sangat mempengaruhi dari harga pokok
produksi yang diperoleh. Dalam industri pembelian bahan baku turut menunjang keberhasilan
produksi. Berdasarkan itu, dapat dijelaskan bahwa perusahaan tidak akan berhasil memproduksi
barang berkualitas baik apabila bahan baku yang digunakannya berkualitas buruk, meskipun
dalam proses produksi telah didukung oleh mesin yang berteknologi modern serta metode dan
sumber daya manusia yang baik (Djatmiko, 2012). Secara kualitas, berdasarkan uji kualitas
parameter air yang telah dilakukan, bahan baku yang digunakan dalam memproduksi aluminium
sulfat cair sudah cukup memadai, karena kualitas air yang diolah sudah memenuhi kriteria
perusahaan. Dan secara harga selama 9 bulan sejak beroperasinya pabrik aluminium sulfat bubuk
biaya produksi untuk aluminium sulfat bubuk lebih rendah dibandingkan dengan biaya produksi
aluminium sulfat cair.
47
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Penggunaan aluminium sulfat bubuk sebagai koagulan paling mempengaruhi penurunan
nilai parameter zat organik. Dalam keadaan tertentu pengaruh pemberian kadr dosis
aluminium sulfat bubuk tidak mempengaruhi penurunan nilai parameter air yang diolah.
Sehingga secara kualitas air yang diperoleh pemilihan aluminum sulfat bubuk sebagai
koagulan sudah tepat dan sesuai dengan kriteria kualitas air PT. Krakatau Tirta Industri.
2. Dosis optimum untuk penggunaan aluminium sulfat bubuk adalah sebesar 60 ppm dan
untuk aluminium sulfat cair sebesar 100 ppm.
3. Harga Pokok Produksi (HPP) aluminium sulfat cair baik dengan alumina basah ataupun
dengan alumina kering terbukti lebih murah dibandingkan aluminium sulfat bubuk.
Selama sembilan bulan masa operasi pabrik aluminium sulfat cair terlihat bahwa
semakin meningkatnya jumlah hari produksi aluminium sulfat cair semakin menurunkan
harga pokok produksinya.
4. Berdasarkan uji sensitivitas, variabel yang paling mempengaruhi kenaikan HPP
aluminium sulfat dengan bahan baku alumina basah adalah asam sulfat dan untuk
alumina kering adalah harga alumina kering itu sendiri.
5. Selama sembilan bulan masa penggunaan aluminium sulfat cair sebagai koagulan, baik
secara kualitasdan biaya produksi layak untuk dilanjutkan penggunaannya.
5.2 Saran
Peningkatan hari produksi aluminium sulfat cair sebaiknya dimaksimalkan sehingga harga pokok
produksi aluminium sulfat cair dapat lebih stabil dan tetap lebih murah dibandingkan aluminium sulfat
bubuk. Penggunaan aluminium sulfat bubuk sebaiknya tidak dihentikan sama sekali, aluminium sulfat
bubuk tetap digunakan sebagai koagulan pada keadaan tertentu, terutama pada keadaan dimana air
baku yang akan diolah memiliki nilai warna dan zat organik yang tinggi yang biasanya terjadi pada
musim penghujan.
48
DAFTAR PUSTAKA
Djatmiko, M. Budi. 2012. Studi Kelayakan Bisnis. Bandung : Thabi Press
Effendi, Heffni. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan.
Yogyakarta: Kanisius
Feasibility Study Pabrik Aluminium Sulfat Cair PT. Krakatau Tirta Industri
Hansen, Don R.; Mowen Maryen M. 2009. Akutansi Manajerial. Jakarta : Salemba Empat
Kemmer, Frank. N.2002. The Nalco Water Handbook 3
rd
edition. New York : McGrawHill
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.907/Menkes/ SK/ VII/ 2002
Kristianarso, Alloysius Adimas. 2009. Kondisi Kualitas Perairan di Sungai Cihideung [Skripsi].
Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK, IPB Press
Laporan Harian Hasil Jar Test Laboratorium Kualitas Air PT. Krakatau Tirta Industri tahun 2001 -
2012
Laporan Harian Penggunaan Bahan Baku Produksi Aluminium Sulfat Cair
Lin, Sun Dar. 2007. Water and Wastewater Calculations Manual, 2