A. Pendahuluan Hukum lahir dari suatu dimensi sosial yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Untuk merumuskan hukum yang bersumber dari nilai masyarakat Indonesia adalah bagaimana menciptakan hukum yang responsif yang mampu mengimplementasikan keinginan dari bangsa Indonesia. Bahwa pilar utama lainnya dalam membentuk hukum yang responsif adalah bagaimana membentuk pemahaman yang baik dan menyeluruh kepada aparat penegak hukum dalam memahami dan menjalankan aturan yang berlandaskan pada prinsip nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, bukan hanya sekedar menjadi boneka Undang-undang. Hukum responsif selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam jiwa bangsa Indonesia yakni !ancasila, yaitu pencerminan nilai kemanusiaan dan nilai keadilan. "engenai lahirnya teori hukum ini dilatararbelakangi dengan munculnya masalah-masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyagunaan kekuasaan yang melanda #merika $erikat pada tahun %&'(-an. Hukum yang ada pada saat itu ternyata tidak cukup untuk mengatasi keadaan tersebut. )i tengah rangkaian kritik atas realitas krisis otooritas hukum itulah, *onet-+elnick mengajukan model hukum responsif. !erubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan tatanan hukum yang responsif. kebutuhan ini sesungguhnya telah menjadi tema utama dari semua ahli yang sepaham dengan semangat fungsional, pragmatis, dan semangat purposif ,berorientasikan tujuan-, sepertinya .oscou !ound, para penganut paham realisme hukum dan kritikus-kritikus kontemporer. % $ebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, *onet dan +elnick membedakan tiga klasi/kasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum rere!"#$, hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakan represif dan melindungi integritas dirinya (hukum %&%n%m$, dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum re!%n!"#$. diantara ketiga tipe tersebut, *onet dan +elnick berargumen bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. *onet dan +elnick lewat hukum .esponsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan- % http011id.scribd.com1doc1%2332(34%15eori-$istem-Hukum-6riedman % ketentuan sosial dan aspirasi publik. $esuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan- perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik. 7epedulian pada akomodasi sosial. "enyebabkan teori ini tergolong dalam wilayah sosiological juurisprudence dan realist jurisprudence. )ua aliran tersebut pada intinya menyatakan kajian hukum yang lebih empirik melampaui batas-batas formalisme, perluasaan pengetahuan hukum, dan peran kebijakan dalam putusan hukum. )alam diskripsi buku Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, karangan !hilippe *onet dan !hilip $el8nick, diperkenalkan ,introduction- oleh .obert 7agan, dinyatakan bahwa0 Year by year, law seems to penetrate ever larger realms of social, political, and economic life, generating both praise and blame. Nonet and Selnic!"s Law and Society in Transition e#plains in accessible language the primary forms of law as a social, political, and normative phenomenon. They illustrate with great clarity the fundamental di$erence between repressive law, riddled with raw con%ict and the accommodation of special interests, and responsive law, the reasoned e$ort to realie an ideal of polity. To ma!e &urisprudence relevant, legal, political, and social theory must be reintegrated. 's a step in this direction, Nonet and Selnic! attempt to recast &urisprudential issues in a social science perspective. They construct a valuable framewor! for analying and assessing the worth of alternative modes of legal ordering. The volume"s most enduring contribution is the authors" typology(repressive, autonomous, and responsive law. This typology of law is original and especially useful because it incorporates both political and &urisprudential aspects of law and spea!s directly to contemporary struggles over the proper place of law in democratic governance. )n his new introduction, Robert '. *agan recasts this classic te#t for the contemporary world. +e sees a world of responsive law in which legal institutions(courts, regulatory agencies, alternative dispute resolution bodies, police departments(are periodically studied and redesigned to improve their ability to ful,ll public e#pectations. Schools, business corporations, and governmental bureaucracies are more fully pervaded by legal values. Law and Society in Transition describes ways in which law changes and develops. )t is an inspiring vision of a politically responsive form of governance, of special interest to those in sociology, law, philosophy, and politics - .
)alam bahasa Indonesia, pengertian artinya, yaitu0 $eiring berjalannya waktu, peran hukum lebih besar untuk menembus atas kehidupan sosial, politik, dan ekonomi, yang menghasilkan persetujuan dan pertentangan. )an $el8nick dan *onet9s menjelaskan transisi hukum di masyarakat dalam akses pembentukan 3 http011www.ama8on.com1:aw-$ociety-5ransition-5oward-.esponsi;e1dp1(<='4(=>34, dipublikasi 3> #pril 3((%. 3 hukum sebagai sebuah fenomena normatif sosial, dan politik. "ereka menggambarkan dengan susah kejelasan perbedaan yang mendasar antara hukum represif, penuh dengan kon?ik baku dan akomodasi kepentingan khusus, dan responsif hukum, beralasan tersebut upaya untuk menyadari sebuah pemerintahan ideal. Untuk membuat yurisprudensi yang rele;an, hukum, politik, dan sosial teori harus reintegrasi. $ebagai langkah dalam arah ini, *onet dan $el8nick mencoba untuk kembali jurisprudential isu-isu dalam sebuah ilmu sosial perspektif. "ereka membangun sebuah berharga kerangka kerja untuk menganalisis dan menilai nilai mode alternatif memesan. hukum @olume 9 kontribusi yang paling abadi adalah penulis 9 typology(repressive, , otonom dan responsif hukum. Ini typology hukum yang asli dan terutama berguna karena menggabungkan kedua politik dan jurisprudential aspek hukum dan berbicara langsung ke tempat yang kontemporer berjuang selama hukum tata kelola pemerintahan yang demokratis )alam pengantar baru, .obert #. 7agan recasts teks ini klasik untuk dunia kontemporer. )ia melihat dunia responsif hukum di mana lembaga-pengadilan hukum, lembaga regulator, sengketa alternatif resolusi tubuh, polisi departemen-yang secara berkala belajar dan didesain ulang untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk memenuhi ekspektasi masyarakat. $ekolah, bisnis korporasi dan birokrasi pemerintah lebih lengkap diresapi oleh nilai-nilai hukum. Hukum dan masyarakat dalam transisi menjelaskan cara di mana hukum berubah dan berkembang. Itu adalah inspirasi ;isi politik responsif bentuk pemerintahan, minat khusus dalam $osiologi, hukum, /lsafat dan politik. !enjelasan di atas dapat dipahami, bahwa terbentuknya tatanan hukum dimulai dari suatu dimensi sosial yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Untuk merumuskan hukum yang bersumber dari nilai masyarakat Indonesia adalah bagaimana menciptakan hukum yang responsif yang mampu mengimplementasikan keinginan dari bangsa Indonesia. Bahwa pilar utama lainnya dalam membentuk hukum yang responsif adalah bagaimana membentuk pemahaman yang baik dan menyeluruh kepada aparat penegak hukum dalam memahami dan menjalankan aturan yang berlandaskan pada prinsip nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, bukan hanya sekedar menjadi boneka Undang-undang. Hukum responsif selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam jiwa bangsa Indonesia yakni !ancasila, yaitu pencerminan nilai kemanusiaan dan nilai keadilan. !ermasalahan yang esensial dalam penegakan hukum di Indonesia bukan hanya semata-mata terhadap produk hukum yang tidak responsif, melainkan juga berasal dari faktor aparat penegak hukumnya. Untuk meletakkan pondasi penegakan hukum, maka pilar yang utama adalah penegak hukum yang 2 mampu menjalankan tugasnya dengan integritas dan dedikasi yang baik. 7arena sepanjang sapu kotor belum dibersihkan, maka setiap pembicaraan tentang keadilan akan menjadi omong kosong belaka, as long as the dirty broom is not cleaned, any tal! of &ustice will be empty.,#hmad #li, 3((%-<>-. B. K%n!e Te%r" Hukum Re!%n!"# dan Pendaa& Ahl" Istilah hukum yang responsif dipopularkan oleh !hilippe *onet dan !hilip $el8nick di dalam karya mereka yang berjudul Law and Society in Transition towards Responsive Law. Istilah tersebut digunakan mereka berdua sebagai kritik terhadap teori hukum yang lebih mengedepankan sisi formalitas dan mengesampingkan realitas. )alam pandangan *onet dan $el8nick, sebagaimana dikemukakan oleh .obert #.7agan di dalam pengantar edisi terbaru karya *onet dan $el8nick tersebut, hukum seringkali tampil membatasi dan sangat rigid ,constricting and rigid-. 2 $ifat hukum yang demikian itu disebabkan selama ini teori-teori hukum dibangun secara khas, di atas teori-teori tentang otoritas yang bersifat implisit. Ide kedaulatan hukum, dalam amatan *onet dan $el8nick, merupakan contoh dari teori-teori otoritas tersebut. "enurut catatan keduanya, perhatian dan kontro;ersi sering muncul di dalam kajian hukum yang mengiringi krisis otoritas yang mengguncang institusi-institusi publik. 7edaulatan hukum ,rule of law-, demikian tegas *onet dan $el8nick, dalam masyarakat moderen tidak kalah otoriternya dibandingkan dengan kedaulatan orang1penguasa ,rule of men- di dalam masyarakat pramoderen. > *onet dan $el8nick mencatat dua fenomena hukum yang sangat kontras di #merika $erikat pada dekade tahun %&=(-an. )i satu sisi beberapa pengadilan dan beberapa bagian dari profesi hukum menjadi juru bicara bagi kelompok yang tidak beruntung. "ereka menafsirkan misi mereka sebagai bentuk perluasan hak dan pemenuhan janji konstitusi yang tersembunyi, di samping juga sebagai gerakan ad;okasi sosial dan hukum demi kepentingan publik. Upaya kelompok tersebut memperoleh dukungan publik yang sangat luas. #kan tetapi, di sisi lain pada saat yang bersamaan, hukum justru bertindak represif terhadap setiap sikap kritis yang muncul. '
2 .obert.#.7agan, Introduction to Transaction Edition, dalam !hilippe *onet dan !hilip $el8nick, Law and Society in Transition Towards Responsive Law, ,*ew Aersey05ranscation !ublishers,3((%-, hal ;iii. > )bid. ' ibid, hal.<. $ebagaimana dijelaskan oleh .obert #.7agan, *onet dan $el8nick menggambarkan bagaimana goncangan akibat krisis otoritas itu terjadi di #merika pada periode %&=(-an ketika lembaga legislatif dan yudikatif memperkenalkan beberapa kebijakan baru yang memuat ambisi politik dan mempengaruhi sistem hukum #merika > 7risis itu pada gilirannya melahirkan kritik terhadap hukum yang dipandang tidak memadai dirinya sebagai sarana perubahan dan sarana mewujudkan keadilan substantif.43 7ritik tersebutBdengan merujuk kepada pendapat $atjipto .ahardjoBlebih tepat bila dialamatkan kepada pandangan Hans 7elsen yang melihat hukum secara murni. 7elsen, seperti dikemukakan oleh $atjipto .ahardjo, menolak pandangan yang mengintegrasikan hukum dengan bidang- bidang lainnya. 7elsen berpendapat, alles ausscheiden mochte, was nicht u dem e#a!t als Recht bestimmten .egenstande gehort ,$emua hal yang tidak berhubungan dengan hukum harus dikeluarkan-. =
7ekeliruan besar, jika tidak dikatakan sebagai kegagalan dari doktrin- doktrin hukum yang lebih berorientasikan ketertiban selama ini ialah kecenderungan untuk menyederhanakan persoalan dan menolak secara total perspektif yang berkembang di luar hukum. "enurut *onet dan $el8nick, selama ini terdapat ketegangan di antara dua pendekatan terhadap hukum, yaitu kebebasan dan kontrol sosial. *onet dan $el8nick menamakan pendekatan kebebasan sebagai pandangan yang risiko rendah tentang hukum dan ketertiban. !andangan ini menekankan betapa besarnya sumbangan stabilitas hukum terhadap suatu masyarakat yang bebas dan betapa berisikonya sistem yang berdasarkan otoritas dan kewajiban sipil. < !erspektif ini, menurut *onet dan $el8nick, melihat hukum sebagai unsur yang sangat penting dari tertib sosial dengan tidak mengesampingkan sumber-sumber kontrol lainnya, tapi sumber- sumber itu tidak dapat diandalkan untuk menyelamatkan masyarakat dari kesewenang-wenangan. 4 !erspektif ini berpandangan bahwa perubahan akan datang melalui proses politik bukan dari pelaksanaan atau kebebasan agen-agen hukum ,seperti hakim, jaksa, pengacara, dan polisi- yang merespon tuntutan- tuntutan hukum yang bersifat partisan. $ingkatnya, perspektif ini menghendaki pemisahan yang tegas antara politik dan hukum. $ementara itu, pendekatan kontrol sosial menekankan pada potensi kelenturan dan keterbukaan institusi- $erikat. Contoh yang diambil oleh keduanya adalah di negara-negara bagian $elatan. !emerintah negara bagian dan pengadilan setempat mengubah undang-undang yang mengharuskan penggunaan teknologi yang dapat mengurangi tingkat pencemaran dan kecelakaan kerja. !ada saat yang lain, pengadilan juga menolak permohonan hak kaum wanita untuk melakukan aborsi. 7agan mencatat peningkatan jumlah permohonan uji materi terhadap undang-undang negara bagian dalam kurun waktu %&=( sampai dengan %&4( dari 34( permohonan per tahun menjadi 3<.((( permohonan per tahun. !erubahan angka tersebut menurutnya, mengindikasikan adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap penerapan hukum oleh pemerintah. :ihat .obert # 7agan, op.cit, hal.D;ii-D;iii. = $atjipto .ahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, cetakan kedua ,Eogyakarta0 Fenta !ublishing, 3((&-, hal.<. < !hilippe *onet dan !hilip $el8nick, loc.cit, hal.< 4 )bid ' institusi. !andangan ini, menurut *onet dan $el8nick, tidak peduli terhadap otoritas. !endekatan kontrol sosial menolak untuk menyamakan hukum dengan ketertiban. 7onsep GketertibanH dipahami sebagai sesuatu yang bersifat problematik. 7etertiban tercipta berdasarkan harapan-harapan yang secara historis berubah, beriring dengan kontro;ersi dan tingkah laku yang ekspresif. !erspektif kontrol sosial menilai hukum sebagai sumber bagi kritik dan sebagai instrumen dari perubahan. !erspektif ini meyakini sistem otoritas akan dapat melestarikan dirinya jika terbuka terhadap rekonstruksi dalam konteks bagaimana pihak yang diperintah mampu memaknai hak-hak mereka dan meninjau kembali komitmen moral mereka. $ebagaimana dicatat oleh *onet dan $el8nick, untuk menjadi responsif sistem itu perlu terbuka dalam banyak hal dan perlu mendorong partisipasi. "enurut perspektif ini, pembangkangan politik perlu dihadapi dengan sikap toleran dan dengan kesediaan untuk merundingkan landasan baru bagi otoritas. )engan sikap keterbukaan tersebut, garis pemisah antara politik dan hukum tidaklah tegas. $etidaknya akan terjadi persentuhan antara ad;okasi dan keputusan hukum dengan kebijakan publik yang kontradiktif. *onet dan $el8nick mengkuali/kasi perspektif itu sebagai pandangan berisiko tinggi tentang hukum dan ketertiban. & $ebagai jalan keluar mengatasi carut marut hukum yang demikian, *onet dan $el8nick mengajukan sebuah tawaran yang mengintegrasikan pemahaman hukum dengan perspektif sosial untuk0 ,%- mempertegas pentingnya hukum dan ,3- mencari alternatif lain selain dari pemaksaan dan penindasan. %( Berangkat dari fakta di atas, *onet dan $el8nick mengklasi/kasi hukum ke dalam tiga jenis0 hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif. Hukum represif, dalam amatan kedua guru besar itu, berpandangan bahwa keberadaan hukum semata tidak akan menjamin tegaknya keadilan, apalagi keadilan substantif. $ebaliknya setiap tertib hukum memiliki potensi represif sebab hingga tingkat tertentu ia akan selalu terikat pada status Iuo dan membuat kekuasaan menjadi efektif. %% $ecara sederhana, *onet dan $el8nick mengkategorikan hukum represif sebagai produk kekuasaan pemerintahan yang represif. "engenai kekuasaan pemerintahan itu pun, kedua guru besar itu mende/nisikannya sebagai kekuasaan yang tidak memperhatikan orang-orang yang diperintah atau kekuasaan yang dilaksanakan tidak untuk kepentingan & !hilippe *onet dan !hilip $el8nick, op.cit, hal.<-4 %( ibid, hal.%( %% ibid, hal.33 = orang yang diperintah. #kibatnya, posisi mereka yang diperintah menjadi rentan dan lemah. %3 7lasi/kasi hukum yang selanjutnya adalah hukum otonom. )engan munculnya hukum otonom ini, tertib hukum menjadi sumber daya untuk menjinakkan perilaku represif kekuasaan. "unculnya konsep rule of law menjadi milestone keberadaan hukum otonom tersebut. Rule of law menggambarkan kon;ergensi antara hukum dan politik. "engenai masalah ini, "ahfud ".). di bagian yang telah lalu, telah menjelaskan tipologi hubungan hukum dan politik. )i le;el tertentu, begitu pendapat "ahfud, hukum merupakan produk kompromi politik yang kemudian ditaati atau mengikat politik itu sendiri. %2 *onet dan $el8nick menegaskan bahwa independensi institusi-institusi hukum menjadi syarat mutlak rule of law tersebut. )engan kondisi seperti itu, hukum otonom dapat disimpulkan sebagai hukum yang menjembatani ,mediator- kepentingan kekuasaan dan kepentingan publik. 7lasi/kasi yang terakhir adalah hukum responsif. .aison dHetre dari tipikal hukum ini adalah bagaimana hukum mampu merespon kebutuhan-kebutuhan sosial. Hukum responsif, dengan menggunakan analisis .oscoe !ound berangkat dari logika yang berlawanan dari hukum represif atau otonom. 5eori !ound, sebagaimana dikutip oleh *onet dan $el8nick, mengenai kepentingan- kepentingan sosial merupakan sebuah usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan suatu model hukum yang responsif. %> !enjelasan :loyd of Hamstead berikut kiranya dapat membantu kita memahami apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh !ound dan para pendukungnya dari aliran sociological &urisprudence mengenai hukum0 6urther, sociological jurist tend to be skeptical of the rules presented in the teDtbooks and concerned to see what really happens, the law in action. $ociological jurist also tend to espouse relati;ism. 5hey reject the belief of naturalism that an ultimate theory of ;alues can be foundJ they see reality as socially constructed with no natural guide to the solution of many con?icts. $ociological jurist also belie;e in the importance of harnessing the techniIues of the social sciences, as well as the knowledge called from sociological research, towards the erection of a more eKecti;e science of law. :astly, there is an abiding concern with social justiceL %' :ebih lanjut, *onet dan $el8nick mengemukakan bahwa lembaga responsif menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk memperbaiki diri. Untuk bisa memperoleh sosok seperti itu, %3 ibid. %2 "ahfud ".), op.cit, hal.%= %> !hilippe *onet dan !hilip $el8nick, op.cit, hal.42. %' :ihat :ord :loyd of Hamstead, Introduction to Aurisprudence, ,:ondon0$te;en and $ons,%&4'-, hal.'>4-'>& < tegas keduanya, sebuah institusi memerlukan sebuah panduan ke arah tujuan. 5ujuan tersebut menetapkan standar untuk mengkritisi praktik yang sudah mapan dan oleh sebab itu dapat membuka jalan untuk melakukan perubahan. %= Untuk memperjelas uraiannya tentang tiga tipikal hukum tersebut *onet dan $el8nick membuat tabel sebagai berikut %< 0 HUKUM REPRESIF HUKUM OTONOM HUKUM RESPONSIF 5ujuan hukum ketertiban legitimasi kompetensi :egitimasi 7etahanan sosial dan tujuan negara 7eadilan prosedur al 7eadilan substantif !eraturan 7eras dan rinci namu n berlaku lemah terhadap pembuat hukum :uas dan rinciJ mengikat penguasa maupun yang dikuasai. $ubordinat dari prinsip dan kebijakan !ertimbang an #d hoc, memudahka n mencapai tujuan d an bersifat partikular. $angat melekat paa otoritas legalJ rentan terhadap formalisme dan legalisme. !urposif ,berorienta si tujuan-J perluas an kompetensi kognitif. )iskresi $angat lu as, oportunistik. )ibatasi oleh peraturanJ delegasi yang sempit :uas, tetapi tetap ses uai dengan tujuan. !aksaan Mkstensif, dibata si secara lemah )ikontrol oleh batasan-batasan hukum. !encarian positif ba gi berbagai alternatif seperti insentif sistem kewajiban yang mam pu bertahan. "oralitas "oralitas komunal , moralisme huku m, moralitas pembatasa n "oralitas kelembagaan, yakni dipenuhi dengan integritas proses hukum. "oralitas sipil, moralitas kerja sama. !olitik Hukum subo dinat terhadap politik kekuasaan. Hukum independen dari politik, pemisahan kekuasa an 5erintegrasinya aspira si hukum dan politi k, keberpaduan kekuasaa n. Harapan akan 7etaatan 5anpa syarat, ketidaktaatan per se dihukum sebagai pembangkangan. !enyimpangan peraturan yang dibenarkan, misalnya untuk menguji ;aliditas undang- !embangkangan dilih at dari aspek bahaya substantif, dipandang sebagai gugatan terhadap legitimasi. %= !hilippe *onet dan !hilip $el8nick, op.cit, hal.4< %< ibid, hal.%& 4 undang atau perintah. !artisipasi !asif, kritik dilihat sebagai ketidaksetiaan. #kses dibatasi oleh prosedur baku, munculnya kritik atas hukum #kses diperbesar dengan integrasi ad;okasi hukum dan sosial )i Indonesia, sebagaimana dicatat oleh :.". Fandhi di dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ilmu hukum Uni;ersitas Indonesia, gagasan untuk mengembangkan hukum responsif muncul sebagai kesimpulan seminar yang diadakan dalam rangka '( tahun Badan !embinaan Hukum *asional ,B!H*- pada tahun %&&'. %4 Ide pengembangan hukum yang responsif itu dimaksudkan untuk mengatasi kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi di masyarakat. )engan merujuk kepada pendapat *onet dan $el8nick, :.".Fandhi berpendapat bahwa agar hukum menjadi responsif, sistem hukum dalam banyak hal hendaknya terbuka terhadap tantangan, mendorong partisipasi, dan selalu sigap menghadapi masalah-masalah yang timbul karena munculnya kepentingan-kepentingan baru di dalam masyarakat. %& Hasil pertemuan B!H* pada bulan Aanuari %&&'Bsebagaimana dikutip oleh FandhiBberkesimpulan bahwa salah satu pola pikir yang melandasi $istem Hukum *asional adalah keterbukaan sistem tersebut ,open-, tapi dengan batasan tidak sedemikian terbuka. $istem Hukum yang terlalu terbuka berpotensi tidak mampu menegakkan nilai-nilai /lsafat, budaya dan hukum yang menunjukkan jati diri bangsa Indonesia. 7arena itu, B!H* berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan keterbukaan itu adalah keterbukaan yang terikat oleh paradigma dan nilai-nilai yang disepakati bersama. 3( Untuk itu, $istem Hukum *asionalB demikian tegas kesimpulan B!H*Bharus menggambarkan interaksi dengan lingkungannya baik nasional maupun internasional. B!H* berpendapat bahwa yang menjadi masalah di dalam pembangunan hukum itu, terlebih dalam pembentukan hukum, adalah menentukan batas keterbukaan. )engan mengutip pendapat *onet dan $el8nick, menurut :.".Fandhi, ketegangan antara keterbukaan dan integritas merupakan masalah sentral dalam pembangunan hukum. Fandhi berkesimpulan %4 :.".Fandhi, Harmonisasi Hukum "enuju Hukum .esponsif, !idato !engukuhan Aabatan Furu Besar 5etap pada 6akultas Hukum Uni;ersitas Indonesia %> Nktober %&&', hal.2. )iunduh dari Ohttp011www.digilib.ui.ac.idP %& ibid, hal.%= 3( ibid & bahwa hukum yang berusaha mengatasi ketegangan itu disebut responsif, yaitu hukum yang mampu menunjukkan kesanggupannya beradaptasi secara bertanggung jawab. )alam kaitan itu, Fandhi membedakan hukum responsif dengan hukum yang terbuka dan adaptif. 3% Fandhi berpendapat bahwa pencaharian materi hukum responsif dilakukan dengan menggunakan tiga asas, yaitu harmonisasi, keadilan dan sesuai tujuan, serta kepastian hukum. 33
"eskipun hukum responsif terlihat ideal, bukan berarti ia tidak lepas dari kekurangan. Fandhi berpendapat bahwa hukum responsif berpretensi menimbulkan bertumpuknya berbagai lembaga hukum dengan tujuan yang saling berbenturan. 7uat kemungkinan masing-masing akan mementingkan diri sendiri apalagiBtegas FandhiBdengan sikap yang picik dan kaku sehingga sulit mengikuti upaya harmonisasi. 7ondisi itu akan berimplikasi pada tidak berdayanya pemerintah di dalam menghadapi kon?ik kepentingan, disorientasi pembangunan, dan pengabaian kepentingan umum. 32 Untuk menutupi kekurangan tersebut, Fandhi merekomendasikan bahwa lembaga- lembaga hukum memerlukan pengawasan dalam penggunaan kewenangan- kewenangannya. "enurutnya, hukum responsif mendalilkan bahwa bahaya kesewenang-wenangan dan ketidakadilan bukan terletak pada keterpaduan kekuasaan, tapi pada kekuasaan sekecil apapun tanpa pengawasan efektif. 3>
Nleh karena itu, politik pembangunan hukum nasional antara 3((>-3((&, sebagaimana dikemukakan oleh $atya #rinanto, diarahkan pada kebijakan untuk memperbaiki, di antaranya substansi ,materi- hukum dan struktur ,kelembagaan- hukum, melalui upaya-upaya sebagai berikut0 3' %. "enata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk memperhatikan tertib perundang- undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki perundang- undangan, dan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasionalJ 3. "elakukan pembenahan struktur hukum melalui penguatan kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparanJ menyederhanakan 3% )bid. 33 )bid, hal. /0. 32 )bid. 3> )bid 3' $atya #rinanto, !olitik !embangunan Hukum *asional dalam Mra !asca .eformasi, hal.3'. !idato !engukuhan Aabatan Furu Besar tetap !ada 6akultas Hukum Uni;ersitas Indonesia, %4 "aret 3((=. Copy naskah atas sei8in penulis pada perkuliahan !olitik Hukum di !rogram !ascasarjana Ilmu Hukum Uni;ersitas Indonesia Nktober 3((4. %( sistem peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak kepada kebenaranJ memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan hukum nasional. $edangkan menurut pendapat $abian Utsman, :ektor $osiologi Hukum $5#I* !alangkaraya, hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. )alam tipe hukum ini, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat dalam peraturan dan kebijakan, karena pada dasarnya teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. 5eori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. 3= Hukum responsif tidak hanya berorientasi pada rules, tapi juga logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. )an ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan ad;okat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis. !roduk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi indi;idu ataupun kelompok masyarakat, dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. #rtinya, produk hukum itu bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. )alam model pengembangannya ,de;elopmental model-, hukum responsif berupaya memecahkan persoalan mendasar dalam membangun sistem politik- hukum, di mana tanpa adanya sistem politik-hukum ini mustahil bagi perkembangan hukum dan politik untuk bergerak ke arah yang lebih baik. !enerapan hukum responsif tidak terlepas dari integrasi yang dekat antara hukum dan politik. Qujud dari integrasi yang sangat dekat ini adalah adanya subordinasi langsung dari institusi-institusi hukum terhadap elite-elite yang berkuasa, baik di sektor publik maupun swasta. 3= http011www.ruangbaca.com1ruangbaca1R dokyS"j#wN#SSTdokmS")gSTdokdS"8MSTdigSEUAjaFl3+U"STonS@UD5TuniIS*8I ', Lihat $abian Utsman, Menuju enegakan Hukum Responsi!, Cetakan I ,Eogyakarta 0 !ustaka !elajar, Auli 3((4- %% 7arena selama ini, disadari atau tidak, selain tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, keberadaan hukum juga menjadi ancaman bagi masyarakat. !ada kondisi inilah hukum responsif mengisyaratkan bahwa penegakan hukum tidak dapat dilakukan setengah-setengah. "enjalankan hukum tidak hanya menjalankan undang-undang, tetapi harus memiliki kepekaan sosial. $udah waktunya para aparat penegak hukum responsif sebagai landasan diberlakukannya keadilan sejati dari kenyataan-kenyataan sosial yang terjadi di masyarakat. '. Te%r" Imlemen&a!" d" Ind%ne!"a( Per"%de Pa!)a Kemerdekaan !ama" Per"%de Orde Baru 7eberadaan hukum responsif dalam atmosfer wacana hukum di Indonesia tidak terlepas dari tahapan-tahapan perkembangan pemikiran hukum di Indonesia yang berkorelasi erat kondisi sosial politik yang melingkupinya. 7hud8aifah )imyati membagi tahapan perkembangan pemikiran hukum di Indonesia menjadi tiga periode ,78ud8aifah )imyati, 3((>0 %%<-0 *. Per"%de Pa!)a Kemerdekaan (*+,-.*+/0$ !asca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada dasarnya para pemuka-- pemuka Indonesia bersemangat untuk melepaskan diri dari pengaruh dan ide-ide kaum kolonial, dengan keyakinan bahwa ini adalah saat yang tepat untuk membawa subtansi hukum rakyat yang selama ini terjajah, kearah hukum yang bersumber pada hati nurani bangsa Indonesia. $egala upaya dilakukan demi terwujudnya peraturan yang terlepas sama sekali dari pengaruh hukum kolonial salah satunya adalah dengan menggali dari sumber hukum adat. 5ipologi pemikiran pada periode ini mengarahkan pemikiran pada hukum adat. Hal ini tersirat dalam pemikiran-pemikiran $oepomo tentang konsep hukum yang mengandung semangat memperjuangkan hukum adat dan cenderung resisten terhadap hukum Barat yang dianggap melemahkan hukum nasional. $ebagai akibatnya, terjadilah peneguhan ideologi hukum yang bermuara pada hukum adat sebagai embrio hukum nasional merupakan langkah untuk menggantikan hukum kolonial ,7hud8aifah )imyati, 3((>0 %2&-. )alam banyak pemikirannya $oepomo berkeyakinan bahwa dengan melepaskan diri dari pengaruh hukum Barat Indonesia akan mampu melakukan perbaikan internal melalui peneguhan budaya hukum yang tentunya hal itu hanya dapat dijumpai dalam hukum adat sebagai identitas bangsa Indonesia. !emikir hukum lain yang banyak menyumbangkan konsep-konsep hukum pada periode ini adalah $oekanto. "enurut beliau hukum adat harus dikaji dan harus ditemukan, oleh karena itu tidak perlu untuk menonjolkan baik buruknya hukum adat. Beliau mengakui bahwa eksistensi dan artikulasi nilai-nilai hukum adat yang digali dari khasanah budaya Indonesia yang intrinsik, lebih penting %3 dan sangat memadai untuk mengembangkan pemikiran hukum agar mendapatkan perlakuan yang sama dengan hukum modern yang dikembangkan negara-negara lain ,7hud8aifah )imyati,3((>0%>=-. Usaha untuk menjadikan hukum adat sebagai sumber pembentukan hukum nasional terus dilakukan, walaupun akhirnya usaha ini terbilang belum cukup berhasil, sebab pada kenyataannya memang sulit melepaskan diri secara utuh dari hukum peninggalan kolonial Belanda. $oetandyo Qignyosoebroto berpendapat bahwa kesulitan ini antara lain disebabkan faktor proses realisasi ide hukum adat sebagai jiwa hukum nasional tidak sesederhana model-model strategiknya dalam doktrin. 7esulitan timbul bukan hanya karena keragaman hukum rakyat yang umumnya tak terumus secara eksplisit itu saja, akan tetapi juga karena sistem pengelolaan hukum yang modern meliputi tata organisasi, prosedur-prosedur dan asas-asas doktrin pengadaan dan penegakannya telah terlanjur tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial yamg tidak mudah dirombak atau digantikan begitu saja dalam waktu singkat. "embangun hukum nasional dengan bermula dari titik nol, apalagi dari suatu kon/gurasi baru yang masih harus ditemukan terlebih dahulu, jelaslah kalau tidak mungkin ,$oetandyo Qignyosoebroto, %&&'0 %44-. )emikianlah tipologi hukum Indonesia pada periode awal kemerdekaan, semangat nasionalisme yang kental sangat mempengaruhi pemikiran hukum yang tercipta pada saat itu. Qalaupun akhirnya cita-cita untuk menjadikan hukum adat sebagai budaya hukum nasional yang bersumber pada budaya bangsa belum dapat terealisasi disebabkan beberapa faktor sebagaimana disampaikan oleh beberapa pakar hukum terutama mereka yang sangat konsen terhadap hukum adat. 1. Per"%de Tran!"!" (*+/0.*+20$ $etelah pasca kemerdekaan yang kental dengan semangat menghidupkan hukum adat sebagai sumber hukum nasional yang ternyata juga tidak mudah sampai pada cita-cita itu karena alasan keragaman hukum rakyat yang umumnya tak terumus secara eksplisit dan sistem pengelolaan hukum yang modern meliputi tata organisasi, prosedurprosedur dan asas-asas doktrin pengadaan dan penegakannya telah terlanjur tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial yang tidak mudah dirombak atau digantikan begitu saja dalam waktu singkat. "uncul arah pemikiran hukum yang cenderung formalistik yang mengutamakan peneguhan pada asas-asas yang ketat pada format-format postulat hukum ,7hud8aifah )imyati, 3((>0 %'3-. Hal ini dapat terlihat pada pemikiran hukum yang disampaikan "r. )jokosoetono yang berpendapat perlunya dibentuk suatu biro konstitusi yang %2 memiliki tugas untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan dari partai politik sebagai bentuk keinginan dan cita-cita mereka, selain itu beliau juga mengusulkan penyempurnaan Undang-Undang )asar $ementara. 5okoh lain yang juga ikut menyumbangkan pemikirannya yaitu "r. Ha8airin yang banyak menyampaikan pemukiran formalistiknya dengan jargon hukum baru, beliau beranggapan bahwa kesatuan hukum pada hakikatnya sejalan dengan cita-cita dan semangat bangsa Indonesia dengan cara mengambilnya dari khasanah budaya bangsa dengan menyadari watak dan realitas kemajemukan masyarakat Indonesia yang tercermin dalam hukum adat yang beragam di tiap-tiap daerah, pemikiran lain dari beliau juga agar pembinaan hukum nasional berlandaskan hukum adat yang sesuai dengan perkembangan kesadaran rakyat Indonesia dan tidak menghambat terciptanya masyarakat adil dan makmur ,7hud8aifah )imyati, 3((>0 %'3-. )ari pemikiran para tokoh periode transisi atau pasca kemerdekaan ini dapat dilihat arah pemikiran hukum yang relatif lebih formalistik dengan mengedepankan kepentingan bangsa Indonesia dalam konteks negara yang diakui kedaulatannya, sehingga diperlukan konstitusi yang secara legal diakui oleh negara-negara di dunia. 3. Per"%de Era Orde Baru (*+20.*++0an$ 7arakteristik pemikiran hukum pada periode ini sama halnya dengan periode-periode lain yang tidak terlepas dari kondisi yang melingkupinya. 7ecenderungan pemikiran-pemikiran hukum pada periode ini lebih dipandang sebagai pemikiran yang bersifat transformatif, artinya pemikiran yang bukan hanya menyentuh aspek-aspek normatif dan doktrinal semata melainkan berusaha mentransformasikan fenomenafenomena hukum dari aras empirik tentang keharusan untuk membicarakan hukum dalam konteks masyarakat yang dikontruksikan kedalam tataran teoritik /loso/s. ,7hud8aifah )imyati, 3((>0%=%-. 5okoh yang menyampaikan pemikirannya tentang hukum pada periode ini adalah "ochtar 7usumaatmadja, beliau berpandangan bahwa dalam beberapa dasawarsa terakhir telah banyak berubah sebagai akibat perubahan besar dalam masyarakat dan tekanan-tekanan yang disebabkan pertambahan penduduk. :ebih lanjut disampaikan bahwa hukum merupakan salah satu alat pembaharuan masyarakat, pemikiran ini setidaknya diilhami oleh pemikiran-pemikiran .oscoe !ound yang mengintroduksikan bahwa law as a tool of sosial engineering yang di *egara Barat pertama kali dipopulerkan oleh apa yang dikenal sebagai aliran 1ragmatic Legal Realism. Bagi beliau hukum itu harus peka terhadap perkembangan masyarakat dan bahwa hukum itu harus disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah ,"ochtar 7usumaatmadja, %&<=0 3-. !emikiran "ochtar 7usumaatmadja yang berpendapat bahwa hukum merupakan salah satu alat pembaharuan masyarakat, pemikiran ini setidaknya %> diilhami oleh pemikiran-pemikiran .oscoe !ound yang mengintroduksikan bahwa law as a tool of sosial engineering yang di *egara Barat pertama kali dipopulerkan oleh apa yang dikenal sebagai aliran !ragmatic :egal .ealism. Bagi beliau hukum itu harus peka terhadap perkembangan masyarakat dan bahwa hukum itu harus disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah ,"ochtar 7usumaatmadja, %&<=0 3-. 5okoh lain yang banyak menyampaikan pemikirannya pada periode ini adalah $atjipto .ahardjo, dalam banyak pemikirannya $atjipto .ahardjo mencoba memberikan konsep-konsep hukum yang berbeda dari apa yang selama ini dijadikan pandangan umum oleh pakar-pakar hukum. Beliau berpandangan bahwa hukum di Indonesia belum mampu mengakomodir perubahan sosial dan pembangunan yang terus berjalan seiring dengan hubungan Indonesia sebagai negara yang berdaulat dengan negara-negara di dunia. Bentuk ketidakberdayaan atau ketidakmampuan hukum Indonesia tercermin pada pola pengambilan hukum yang berasal dari Barat tanpa mengkritisinya dan menerimanya seolah-olah sebagai suatu model yang absolut normatif, serta mempergunakannya sebagai ukuran absolut untuk menilai kehidupan hukum di Indonesia. 5entunya tindakan seperti ini akan memberikan efek buruk bagi bangsa Indonesia terutama terkait perkembangan hukum. $ebab bagaimanapun hukum adat yang pada periode pasca kemerdekaan merupakan nilai yang diharapkan mampu menjadi sumber hukum nasional, karena disanalah terkandung hati nurani bangsa. #dapun gagasan atau pandangan yang beliau sampaikan tentang perlunya perubahan secara radikal dalam pemikiran hukum yang selama ini berkembang, menuju ke arah pemikiran yang berorientasi kepada konsep *egara Berdasar Hukum yang berbasis sosial bukan hanya berbasis yuridis. Beliau mencoba menggunakan sudut pandang sosiologis dalam mengkontruksi hukum, suatu hal yang selama ini belum banyak digunakan oleh pemikir-pemikir hukum di Indonesia. Fagasan lain yang disampaikan antara lain perlunya Indonesia beralih dari cara penegakan hukum sebagaimana yang selama ini dijalankan, yaitu model penegakan hukum yang bersifat formal-positi;is yang dianggap hanya mampu untuk menjelaskan keadaan serta proses-proses normal seperti di antisipasi oleh hukum positif, sedangkan untuk menjelaskan suasana kemelut dan keguncangan yang terjadi di Indonesia hukum positif masih memiliki keterbatasan. Hal ini bisa dilihat pada kemampuan hukum untuk menangani misalnya masalah korupsi, sampai saat ini belum ada hasil yang memuaskan. Nleh karena itu $atjipto .ahardjo memberikan sebuah gagasan baru model penegakan hukum Indonesia dengan model hukum progresif. !rogresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Fagasan hukum progresif ini beliau utarakan pertama kali dihadapan publik pada tahun 3((3 lewat tulisan %' beliau dalam salah satu harian ibukota. 7ompas, %' Auni 3((3. !ertama kali disampaikan pada pertemuan alumni program doktor hukum U*)I! tahun 3((>. Fagasan hukum progresif merupakan kristalisasi pemikiran beliau selama mengkaji dinamika perkembangan hukum di Indonesia. Fagasan mengenai hukum progresif diakui memang bukan merupakan hal yang baru, namun lebih merupakan kristalisasi pemikiran beliau dalam beberapa kurun waktu yang cukup panjang. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan 8aman, mampu menjawab perubahan dengan segala dasar didalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri. Hukum progresif lebih mengunggulkan aliran realisme hukum dan penggunaan optik sosiologis dalam menjalankan hukum. $ebab cara kerja analitis yang berkutat dalam ranah hukum positif tidak akan banyak menolong hukum untuk membawa Indonesia keluar dari keterpurukannya ,$atjipto .ahardjo,3((>0=-. $eyogyanya penegak hukum bahkan kita semua harus berani keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang hanya bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan an-sich. $ebab hukum bukanlah sematamata ruang hampa yang steril dari konsep-konsep non hukum. Hukum harus pula dilihat dari perspektif sosial, perilaku yang senyatanya dan dapat diterima oleh dan bagi semua insan yang ada didalamnya. "eski tak jarang penerimaan itu sendiri tak selalu bermakna sama bagi semua. Hukum bukan hanya urusan ,business of rules-, tetapi juga perilaku ,matter of behavior-. Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya, dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia. Hukum progresif berbagi paham dengan legal realism dan freirechtslehre oleh karena hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. $elain itu juga disampaikan bahwa hukum progresif dekat dengan sociological jurisprudence dari .oscoe !ound karena kehadiran hukum dikaitkan pada tujuan sosialnya. 7edekatan hukum progresif dengan interessen&urisprudene, aliran hukum yang muncul di Aerman sekitar awal abad keduapuluh karena aliran ini mengatakan bahwa hakim tidak bisa dibiarkan untuk hanya melakukan kontruksi logis dalam membuat keputusan. $ebab cara demikian akan menjauhkan hukum dari kebutuhan hidup yang nyata. 7edekatan hukum progresif dengan teori hukum alam terletak pada kepeduliannya terhadap hal-hal yang oleh Hans 7elsen disebut sebagai meta &uridical. 5eori hukum alam mengutamakan the search of justice dari pada %= lainnya. Hukum progresif mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar dari pada menafsirkan hukum dari sudut logika dan peraturan. Hubungan hukum progresif dengan 2ritical Legal Studies ,C:$- yang muncul di #merika tahun %&<< yang langsung menusuk jantung pikiran hukum #merika yang dominan, yaitu suatu system hukum liberal yang didasarkan pada pikiran politik liberal. Hukum progresif juga menggandeng kritik terhadap sistem hukum yang liberal itu, karena hukum di Indonesia juga turut mewarisi sistem tersebut. #kan tetapi hukum progresif memiliki basis yang lebih luas dari tujuan yang lebih luas pula dibandingkan C:$ ,$atjipto .ahardjo,3((>0=-. :ebih lanjut $atjipto .ahardjo menyampaikan bahwa pemahaman hukum secara legalistik positi;is dan berbasis peraturan tidak mampu menangkap kebenaran. )alam ilmu hukum yang legalistis-positi;is, hukum sebagai pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, dan deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. )alam konteks hukum Indonesia, doktrin dan ajaran hukum demikian yang masih dominan ,$atjipto .ahardjo,3((=0D-. "odel penegakan hukum !rogresif memiliki pekerjaan dengan banyak dimensi antara lain0 pertama, dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif, idealnya mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum ,hakim, jaksa, ad;okat, dan lain-lain- yang memiliki ;isi dan /lsafat yang mendasari penegakan hukum progresif. #rtinya, /lsafat yang tidak bersifat liberal, tetapi lebih cenderung kepada ;isi komunal. 7epentingan dan kebutuhan bangsa lebih diperhatikan dari pada bermain-main dengan pasal, doktrin, dan prosedur. 7edua, kebutuhan akan semacam kebangunan dikalangan akademis, intelektual, dan ilmuwan serta teoretisi hukum Indonesia. Ide utama hukum progresif adalah membebaskan manusia dari belenggu hukum. Hukum berfungsi memberi panduan bukan justru membelenggu, manusia-manusialah yang berperan lebih penting ,$atjipto .ahardjo,3((=0 =4-. "enurut kesimpulan penulis, ide hukum progresif bermula dari hukum responsif, hal ini dapat dilihat dalam buku yang ditulis oleh $atjipto .ahardjo pada tahun %&4(-an yang telah mengadopsi buku yang ditulis oleh !hilippe *onet dan !hilip $el8nick pada tahun %&<4. )ari sinilah dapat dikatakan awal mula masuknya konsepsi hukum responsif yang disampaikan *onet dan $el8nick ke Indonesia dengan berlatar belakang kondisi #merika saat itu di era %&<(an, yang kemudian mulai dikembangkan di Indonesia melalui pemikiran yang dibawa oleh $atjipto .ahardjo lewat gagasan hukum progresifnya. Beliau memberikan istilah berbeda tentang hukum responsif yaitu hukum progresif. #kan tetapi secara tegas beliaupun menyampaikan bahwa hukum progresif memiliki tipe responsif ,$atjipto .ahardjo, 3((>03-. $ecara implisit $atjipto .ahardjo mencoba menyampaikan bahwa teorisasi hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan asal-usul sosial sebagai basis %< ditemukannya teori hukum yang memiliki nilai, tradisi yang khas ke Indonesiaan. )engan demikian, teori hukum Indonesia merupakan cermin dari apa, bagaimana, dan kemana tujuan hukum Indonesia itu. "enurut beliau hukum tidak pernah beroperasi dalam keadaan hampa lingkungan dan senantiasa akan terjadi saling memasuki antara hukum dan lingkungannya. )ari konsepsi hukum yang disampaikan kedua pemikir hukum ini dapatlah dilihat bahwa konsepsi hukum responsif dikontruksi oleh dua ma8hab hukum yang belakangan cukup dikenal perkembangannya. !emikiran $atjipto .ahardjo dengan konsep hukum progresifnya yang menyatakan bahwa hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan 8aman, mampu menjawab perubahan dengan segala dasar didalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri. 7eyakinan beliau terhadap sosiologi hukum sebagai alat bantu dalam mendekontruksi pemikiran hukum semakin mengkristalkan pemikiran bahwa konsepsi hukum responsif yang digagas !hilippe *onet dan $el8nick memang didukung oleh mad8hab sociological jurisprudence yang memberi kemampuan bagi institusi hukum untuk secara lebih menyeluruh dan cerdas mempertimbangkan fakta-fakta sosial dimana hukum itu berproses dan diaplikasikan. 7onsep !hilippe *onet dan $el8nick, juga melengkapi konsep yang dikemukakan :awrence 6riedman, jika dikaji permasalahan penegakan hukum di Indonesia, terletak pada 2 faktor, Integritas aparat penegak hukum, produk hukum, dan tidak dilaksanakannya nilai-nilai !ancasila oleh aparat penegak hukum dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. :ebih lanjut :awrence 6riedman mengemukakan 2 aspek yang menjadi dasar keterpurukan hukum suatu negara adalah struktur, substansi dan kultur. 7etiga pisau analisis 6riedman tersebut, apabila dikombinasikan dengan keterpurukan penegakan hukum yang ada di Indonesia, maka sangatlah tepat bilamana teori :awrence 6riedmann, menjadi kajian teori analisis penulis, mengingat berbicara mengenai sistem hukum, maka kita tidak akan terlepas dari 2 ,tiga- komponen sistem hukum tersebut yakni 0 $truktur, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain 7epolisian dengan para !olisinya, 7ejaksaan dengan para Aaksanya, !engadilan dengan para HakimnyaJ $ubstansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. 7ultur Hukum yaitu opini- opini, kepercayaan-kepercayaan ,keyakinan-keyakinan-, kebiasaankebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum. ,:awrence ". 6riedman, %&<' 0 %%-%=-. "engenai struktur hukum, terhadap aparat penegak hukum, seharusnya berusaha mendapatkan tingkat ketidakpercayaan masyarakat, hal ini bisa %4 didapat dari kinerja penegakan hukum tersebut, menunjukkan kinerja yang baik serta mengaplikasikan nilai-nilai !ancasila dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. *edua, adalah keterpurukan hukum dalam hal $ubstansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis sudah ketinggalan 8aman dan merupakan produk peninggalan penjajah Belanda, sehingga dirasakan kurang aspiratif dalam menyerap keinginan masyarakat Indonesia, dan tidak selaras dengan nilai-nilai !ancasila, seperti kebiasaan-kebiasaan atau praktek suap-menyuap merupakan kebiasan dalam penegakan hukum di Indonesia. !roblematika penegakan hukum diartikan sebagai permasalahan yang timbul dari penegakan supremasi hukum di Indonesia yang memerlukan jawaban atas permasalahan tersebut. !ermasalahan penegakan hukum di Indonesia bukan hanya merupakan fenomena yang ada di permukaan saja, melainkan telah merasuki sum-sum sistem hukum itu sendiri. !enegakan hukum di Indonesia seringkali tidak seiring sejalan dengan apa yang diinginkan. Hukum di Indonesia tidak menjadi panglima melainkan menjadi alat politik maupun alat kekuasaan. 7arena sebagai panglima, hukum harus mampu menjawab, memutuskan, ataupun menyelesaikan suatu kasus atau perkara tanpa terpengaruh oleh tendensi atau kepentingan apapun yang melekat di dalamnya. 1roblemati!a penegakan hukum di Indonesia sangat sulit untuk dirunut, bagaikan mencari sampul pangkal atau ujung dari suatu lingkaran, sehingga membuat kejahatan semakin berdaulat di dalam dunia hukum maupun dunia !eradilan di Indonesia. !ermasalahan penegakan hukum di Indonesia sering kali diawali dalam dunia peradilan, ma/a peradilan sering kali menjadi faktor utama dalam permasalahan penegakan hukum tersebut, karena ma/a peradilan bersifat sistemik dan merasuki sum-sum penegakan hukum. 7etua "ahkama 7onstitusi, "ahfud ") dalam !olitik Hukum di Indonesia, mengatakan bahwa 0 L"ereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang- wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukm yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.,"ahfud "), 3((% 0%-. 7eterpurukan penegak hukum yang ada saat ini diawali oleh terpuruknya dekadensi moral aparat penegak hukum, konsep atau metode berpikir 34oney %& 5riented6 sedianya dapat diubah menjadi mindset Service 5riented without 4oney6. $ehingga dibutuhkan reformasi hukum tidak hanya dalam hal pembaruan Undang-Undang atau substansi hukumnya ,legal substance reform7, tetapi juga pembaruan struktur hukum ,legal structure reform7 dan pembaruan budaya hukum ,legal ethic and legal science8education reform7, bahkan dalam situasi saat ini, pembaruan aspek immateriil dalam hukum yaitu pembaruan budaya hukum, etika 1 moral hukum, aparatur penagak hukum, serta ilmu 1 pendidikan hukum dapat dilakukan pembaruan untuk mewujudkan hukum yang dicita-citakan 9ius constituendum7. ,Barda nawawi arief, 3(%(-=-. Hakikat !embaruan 1 pembangunan hukum bukan terletak pada aspek formal dan lahiriah ,seperti terbentuknya Undang-Undang baru, struktur kelembagaan baru, bertambahnya bangunan 1 sarana peradilan, mekanisme 1 prosedur baru- melainkan justru terletak pada aspek immateriil, yaitu bagaimana membangun budaya dan nilai-nilai kejiwaan dalam hukum sehingga melahirkan penegak keadilan yang berintegritas baik dan memiliki sifat kemanusiaan dan rasa keadilan dalam dirinya, yang akan mendorong terciptanya penegakan hukum yang lebih baik menuju ke arah hukum responsif yang bersendikan nilai nilai !ancasila. !embaharuan sistem hukum atau yang menurut penulis merupakan sistem hukum berbasis Indonesia :uriprudence tersebut, diharapkan mampu menyerap aspirasi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Hukum tersebut harus sejalan dengan perkembangan yang hidup dalam masyarakat, tidak semata- mata mengedepankan penjatuhan hukuman sebagai solusi atas permasalahan hukum yang ada, melainkan berupaya menyelesaikan masalah melalui jalan musyawarah, bukankah penyelesaian masalah melalui peradilan untuk kasus- kasus kecil akan lebih membuat cost recovery negara membengkak dan menambah pekerjaan baru bagi aparat penegak hukum itu sendiri. $trategi pembangunan hukum responsif dimulai dengan membangun supremasi hukum sebagai pintu utama sebuah bangsa dalam melahirkan suatu !onsesi, bahwa hukum menjadi garda depan dalam menciptakan keamanan dan stabilitas suatu bangsa. *amun hukum yang ada saat ini hanya dipahami sebagai suatu aturan yang bersifat kaku, dan menekankan pada aspek the legal system, tanpa melihat kaitan antara hukum dengan persoalan-persoalan yang hidup dalam suatu masyarakat. 5eori pemikiran hukum responsif dihadirkan oleh !hilippe *onet dan !hilip $el8nick yang secara garis besar mengupas tiga klasi/kasi dasar dari hukum 3( dalam masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan kekuasaan represif ,hukum represif-, hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represif dan melindungi integritas dirinya ,hukum otonom-, dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respons terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat ,hukum responsif-. )ari ketiga klasi/kasi tipe hukum tersebut di atas, maka tipe hukum responsif adalah tipe hukum yang paling tepat dalam membangun sistem hukum di Indonesia yang tipikal masyarakatnya cenderung mengedepankan permusyawaratan sebagai jalan dalam menyelesaikan suatu permasalahan. ,!hilip *onet dan !hilip $el8nick, %&<4 0'>-. *amun menurut penulis makalah ini, pada masa Nrba, hukum responsif belum mampu menjawab1merespon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, karena, pertama, !ancasila hanya digunakan sebagai alat untuk menjalankan kekuasaan melalui apa yang disebut dengan !enataran !> ,pedoman, penghayatan, dan pengamalan !ancasila- yang implementasinya didorong, terikat secara kelembagaan masyarakat dan diawasi oleh eksekutif. $edangkan lembaga-lembaga negara, memang telah ditata sesuai dengan format UU) %&>', tetapi fungsi dan peranannya belum maksimal karena sangat dominannya eksekutif. eksekutif inil mempunyai peran yang dominan pengaruhnya terhadap legislatif dan eksekutif, sampai pada penguatan posisi !residen $oeharto yang memerinah terus-menerus selama 2( tahun dan menjadi /gur sentral dalam pengendalian kehidupan politik Indonesia. *edua, tersumbatnya partisipasi berpendapat dalam konteks yang lebih luas ikut andil dalam partai politik, tetapi pemerintah menyerdahanakan parpol menjadi tiga saja ,menurut pemerintah Folkar bukan partai, padahal hakekatnya adalah partai- dengan tidak dimungkinkan atau ditolerir partai baru, dan peranan pengendalian oleh pemerintah melalui konsep pembinaan yang dalam praktek mejurus ke campur tangan. $trategi eksekutif untuk menang perpolitikan adalah membesarkan Folkar sebagai perpanjangan tangan #B.I dan birokrasi ,#B.I melalui konsep dwi fungsi, baik dalam kehidupan pemerintah, maupun dalam kehidupan politik masyarakat-, sebaliknya pengecilan parpol sehingga tercipta suatu sistem kepartaian yang hegemonik. D. Te%r" Imlemen&a!" d" Ind%ne!"a Per"%de Re#%rma!" $eiring berjalannya waktu, perundang-undangan mengalami perkembangan, karena setiap perundang-undangan yang disahkan, yaitu dalam tingkatan hierarki mulai undang-undang sampai peraturan daerah, tentu tidak 3% luput dari responsif masyarakat. )alam responsif masyarakat mulai pembentukan, re;isi, sampai dengan harmonisasi perundang-undangan harus didasarkan pada pondasi hukum yang dinamakan konstitusi. Implementasi hukum responsif yang sangat fundamental pada masa periode reformasi ini adalah dibentuknya "ahkamah 7onstitusi, karena perkembangan demokrasi di Indonesia agar tidak kebablasan adalah demokrasi yang menghormati dan berpijak pada konstitusi. !embentukan lembaga ini didasarkan pada UU) %&>' yang menegaskan bahwa kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang )asar. )itegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. $ejalan dengan prinsip ketatanegaraan diatas, maka salah satu substansi penting perubahan UU) %&>' adalah keberadaan "ahkamah 7onstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraaan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilakasanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita- cita demokrasi. 7eberadaan "7 juga sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan dimasa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. $ebenarnya harus dimengerti alasan /loso/ pembentukan "ahkamah 7onstitusi berbeda dengan terbentuknya "ahkamah 7onstitusi di negara lain, misalnya di !erancis, yang secara /loso/ historis dasar pembentukannya karena ketidakpercayaan masyarakat !erancis terhadap lembaga peradilan yang disebabkan kinerja masa lalu lembaga peradilan yang tidak lebih sebagai tangan kanan pemerintah.Auga pertimbangan bahwa uji materi undang- undang terhadap undang- undang dasar bukan hanya persoalan hukum, tetapi persoalan politik sehingga jika memberi kewenangan uji materiil kepada lembaga peradilan yang ada sama halnya memberi ruang inter;esi lembaga peradilan pada lembaga legislatif. )alam perspektif Qimar dikatakan bahwa ide pembentukan "ahkamah 7onstitusi sebenarnya berkaca pada kasus impeachment mantan !residen #bdurahman Qahid. !roses pencopotan tersebut dimunculkan dan diputuskan oleh kompromi politik belaka, tanpa ada pembuktian pelanggaran terhadap konstitusi secara jelas. "aka dibuatlah "ahkamah 7onstitusi untuk mengadili hal tersebut, sehingga pemberhentian presiden tidak hanya diputuskan oleh aspek politis semata. 33 :ahirnya "ahkamah 7onstitusi dapat dikatakan sebagai salah satu keberhasilan kaum reformis dalam mereformasi hukum di Indonesia. #danya "ahkamah 7onstitusi merupakan konsekuansi untuk menjamin tegaknya prinsip negara hukum modern dan memperkuat sistem demokrasi negara modern. )engan terbentuknya "ahkamah 7onstitusi ini diharapkan dapat terwujudnya penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik. "engutip #/uka Hadjar dkk, ada empat hal yang melatarbelakangi pembentukan "ahkamah 7onstitusi, yaitu 0 *. Paham k%n!&"&u!"%nal"!me Eaitu suatu paham yang menganut adanya pembatasan kekuasaan. !aham ini memiliki dua esensi, yaitu0 pertama sebagai konsep negara hukum , bahwa hukum mengatasi kekuasaan negara, hukum akan melakukan kontrol terhadap politik, bukan sebaliknya. 7edua adalah konsep hak- hak sipil warga negara menyatakan bahwa kebebasan warga negara dan kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi. 1. Se4a5a" Mekan"!me check and ba"ances $ebuah sistem pemerintahan yang baik, antara lain ditandai adanya mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan. Check and balances memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindarkan tindakan- tindakan hegemoni, tirani dan sentralisasi kekuasaan untuk menjaga agar tidak terjadi tumpang tindi antar kewenangan yang ada. )engan berdasarkan pada prinsip negarahukum, maka sistem kontrol yang rele;an adalah sistem kontrol judicial. 3. Pen6elen55araan ne5ara 6an5 4er!"h $istem pemerintahan yang baik meniscayakan adanya penyelengaraan yang bersih, transparan dan partisipatif. ,. Perl"ndun5an &erhada Hak A!a!" Manu!"a 7ekuasaan yang tidak terkontrol seringkali melakukan tindakan semena- mena dalam penyelenggaraan negara dan tidak segan- segan melakukan pelanggaran terhadap H#". )isamping keempat alasan tersebut, keberadaan "ahkamah 7onstitusi sejalan dengan 7etetapan "!. tentang Faris- Faris Besar Haluan *egara ,FBH*- 5ahun %&&&-3((>, bersifat integrated, rule of law, accountability, dan transparancy. 7eberadaan "ahkamah 7onstitusi merupakan konsekuensi logis dari negara yang menjamin tegaknya prinsip negara hukum dan sistem demokrasi modern. 7eberadaan "ahkamah 7onstitusi merupakan jawaban dari 32 keinginan rakyat untuk memiliki aturan undang- undang yang berpihak pada rakyat kecail atau berpihak pada keadilan, karena selama ini banyak sekali produk perundang- undangan yang dibentuk hanya berdasarkan kepentingan politik jangka pendek, tidak mempunyai ;isi dan misi kedepan sehingga masyarakat tidak berdaya. "ahkamah 7onstitusi mengakomodasi kepentingan rakyat yang diperlakukan tidak adil dengan dibuatnya undang- undang yang bertentangan dengan UU) %&>' sehingga rakyat dapat mengajukan judicial re;iew. Men5ena" Ke7enan5an Mahkamah K%n!&"&u!" )i Indonesia pengaturan hukum tentang &udicial review menjadi suatu hal yang diperdebatkan secara serius sejak founding fathers membicarakan tentang undang- undang dasar yang akan diberlakukan apabila Indonesia merdeka. #pakah akan memasukkan &udicial review atau tidak dalam konstitusinya. $epanjang sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia, kebebasan kekuasaan kehakiman selalu mengalami pasang surut, artinya selalu menjadi perdebatan tergantung kondisi sosial politik yang melingkupi sistem peradilan dan kekuasaan kehakiman. "ahkamah 7onstitusi merupakan hal yang baru, namun mengenai sistem negara hukum, sudah sejak berdiri Indonesia menganut negara hukum. Hal ini tercantum dengan jelas dalam penjelasan UU) %&>' yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berlandaskan atas hukum ,rechstaat-, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka ,machstaat-. 3< $ebelum amandemen UU) %&>', kewenangan kekuasaan kehakiman ,peradilan- berada pada "ahkamah agung, sebagaimana diatur dalam pasal 3> UU) %&>'. 7ewenangan ini diatur dalam peraturan perundangan yang lain yaitu pasal %% ayat ,>- 7etetapan "!. .I *o. III1"!.1%&<4 tentang 7edudukan dan Hubungan 5ata 7erja :embaga 5ertinggi *egara dan1atau #ntar :embaga 5inggi *egara yang berbunyi 0 "ahkamah #gung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang- undangan dibawah undang- undang. $elain itu diatur juga dalam pasal 2% UU *N. %> 5ahun %&4' tentang "ahkamah #gung dan pasal 3= UU *o. %> 5ahun %&<( Ao 27 Republik Indonesia, Penjelasan Undang- Undang Dasar 194. 3> Undang- Undang *o. 2% 5ahun %&&& tentang 7etentuan !okok- !okok 7ekuasaan 7ehakiman. 34
Hak menguji secara materi terhadap undang- undang merupakan suatu kewenangan yang diberikan kepada badan peradilan untuk menguji apakah suatu peraturan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. 7ewenangan ini diberikan kepada "ahkamah #gung agar peraturan yang dibuat oleh lembaga legislatif dan eksekutif dapat diuji apakah sesuai atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi. 7ewenangan "ahkamah #gung dalam hak menguji materiil terhadap peraturan perundang- undangan dibatasi hanya terhadap peraturan- peraturan dibawah undng- undang. !elaksanaan hak menguji undang- undang ,judicial re;iew-dalam prakteknya belum optimal karena masih menggandung kelemahan- kelemahan. Hak menguji yang menjadi wewenang "ahkamah #gung terbatas kepada peraturan perundang- undangan dibawah undang- undang, yang artinya tidak sepenuhnya berada dibawah kendali "ahkamah #gung, tetapi masih dibawah kendali birokrasi politik. .umusan seperti ini cermin kondisi yang terjadi saat itu, yaitu terjadinya tarik menarik antara dua kekuatan yang berlawanan dalam pembahasan pada saat menyusun undang- undang yang pertama memuat masalah judicial re;ciew yakni undang- undang *o. %> 5ahun %&<( tentang !okok- !okok 7ekuasan 7ehakiman yaitu, antara pihak yang menghendaki "ahkamah #gung mandiri dengan kelompok yang menentang "ahkamah #gung mandiri. $alah satu pasal yang diamandemen adalah pasal 3> UU) %&>' yang mengatur kewenangan lembaga peradilan atau kekuasaan kehakiman. 7ewenangan lembaga peradilan atau kekuasaan kehakiman ditambah dengan memuat aturan tentang "ahkamah 7onstitusi yaitu pasal 3>C yang antara lain mengatur wewenang untuk melakukan pengujian undang- undang terhadap UU), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UU), memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 3&
2! "urip#o, $e%enang &ahka'ah (ons#i#usi &enguji Undang- Undang, h##p)**%%%.se#neg.go.id 29 Republik Indonesia, Undang- Undang Dasar 194. 3' $ehubungan dengan pemberian kewenangan pada "ahkamah 7onstitusi tersebut, )!. dan pemerintah membuat UU *o. 3> 5ahun 3((2 tentang "ahkamah 7onstitusi pasal %( yang berbunyi 0 2( %. "ahkamah 7onstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat /nal untuk0 a. menguji undang- undang terhadap UU) *egara .epublik Indonesia 5ahun %&>'. b. "emutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UU) *egara .epublik Indonesia 5ahun %&>'. c. "emutus pembubaran partai politik. d. "emutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 3. "ahkamah 7onstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat )!. bahwa presiden dan1 atau wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan1 atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan1 atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang )asar *egara .epublik Indonesia 5ahun %&>'. 2. 7etentuan sebagaimana dimaksud pada ayat ,3- berupa 0 a. !engkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang- undang. b. 7orupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang- undang. c. 5indak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara ' ,lima- tahun atau lebih. d. !erbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat presiden dan1 atau wakil presiden e. 5idak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan1atau wakil presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal = Undang- Undang )asar *egara .epublik Indonesia5ahun %&>'. 3+ Republik Indonesia, Undang- Undang #en#ang &ahka'ah (ons#i#usi, UU ,o. 24 -ahun 2++3. 3= !asal %% berbunyi 0 Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal %(, "ahkamah 7onstitusi berwenang memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. 2% 5erkait dengan kewenangannya, Aimly #sshiddiIie menyatakan bahwa sepanjang dalam praktek bernegara, putusan "ahkamah 7onstitusi harus dikonstruksi selalu benar. "ahkamah 7onstitusi adalah institusi dengan ciri khusus, yaitu sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir yang mengadili atau menguji undang- undang. 7eberadaan "ahkamah 7onstitusi sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir dengan putusan yang bersifat /nal dan mengikat tidak memberi kesempatan kepada warga untuk mengajukan keberatan pada lembaga peradilan lebih tinggi. 7ontribusi warga negara yang bisa mempengaruhi putusan "ahkamah 7onstitusi dapat diberikan pada saat proses pengujian undang- undang dilaksanakan. !ada saat itu semua pihak dapat berargumen sesuai dengan keyakinan dan pemikirannya terkait dengan produk hukum yang sedang diuji. !ara pihak juga berhak mengajukan ahli untuk mendukung dalil mereka. 5erkait mekanisme kontrol terhadap "ahkamah 7onstitusi, pada dasarnya hakim konstitusi bisa diberhentikan jika telah melanggar kode etik, pemberhentian itu diatur dalam undang- undang *o. 3> 5ahun 3((2 tentang "ahkamah 7onstitusi, yaitu dengan membentuk dewan kehormatan yang berwenang menangani pelanggaran kode etik oleh hakim konstitusi. 23 Kedudukan K%n!&"&u!" dalam S"!&em Perad"lan d" Ind%ne!"a "engenai kedudukan "ahkamah 7onstitusi disebutkan dalam Undang- Undang *o. 3> 5ahun 3((2 pasal 3 yang berbunyi 0 22 "ahkamah 7onstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 31 Ibid. 32 .i'l/ 0sshiddi1ie, Pu#usan &ahka'ah (ons##i#usi "elalu 2enar, h##p)**%%%.an#ara.3o.id 33 Republik Indonesia, Undang- Undang -en#ang &ahka'ah (ons#i#usi, UU ,o. 24 -ahun 2++3. 3< !erubahan pasal 3> UU) %&>' mengakibatkan lahirnya lembaga baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh UU) %&>' yaitu "ahkamah 7onstitusi dan 7omisi Eudisial. 7edua lembaga baru tersebut diatur dalam Bab IU tentang 7ekuasaan 7ehakiman, namun demikian tidaklah dapat disimpulkan bahwa dengan adanya perubahan tersebut pelaksana kekuasaan kehakiman menurut UU) %&>' setelah perubahan dilakukan oleh tiga lembaga, Eaitu0 "ahkamah #gung, "ahkamah 7onstitusi dan 7omisi Eudisial. !engaturan 7omisi Eudisial terdapat dalam pasal 3>B yang termasuk dalam Bab IU 7ekuasaan 7ehakiman, namun demikian pasal 3> hasil perubahan telah memberi batasan apa yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman sebagimana dirumuskan dalam ayat ,%- yang menyatakan 0 7ekuasaan kehakiman merupakan kekuasan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. !asal 3>B UU) perubahan menyatakan bahwa 7omisi Eudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 2> )ari rumusan tersebut jelas bahwa 7omisi Eudisial tidak menjalankan peradialan sehingga tidak termasuk sebagai kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh pasal 3> ayat ,%- tersebut diatas. )engan demikian UU) setelah perubahan mengenal dua pelaksana kekuasaan kehakiman yaitu "ahkamah #gung yang termasuk didalamnya badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah "ahkamah 7onstitusi."ahkamah #gung dan "ahkamah 7onstitusi merupakan lembaga negara yang diperlukan untuk melaksanakan prinsip negara hukum, sedangkan 7omisi Eudisial meripakan lembaga negara yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas good corporate go;ernance. 2' Untuk susunan keanggotaan "ahkamah 7onstitusi, disebutkan dalam pasal > Undang- Undang "ahkamah 7onstitusi yang berbunyi 0 2= 34 Republik Indonesia, Undang- Undang Dasar 194. 3 Dr. 4arjono, "4., &56., &ahka'ah (ons#i#usi Dala' "is#e' (e#a#anegaraan Republik Indonesia, h##p)**%%%.legali#as.org 37 Republik Indonesia, Undang- Undang #en#ang &ahka'ah (ons#i#usi, UU ,o. 24 -ahun 2++3. 34 %. "ahkamah 7onstitusi mempunyai & ,sembilan- orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan 7eputusan !residen. 3. $usunan "ahkamah 7onstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan < ,tujuh- orang anggota hakim konstitusi. 2. 7etua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 2 ,tiga- tahun. >. $ebelum ketua dan wakil ketua "ahkamah 7onstitusi terpilih sebagimana dimaksud pada ayat ,2-, rapat pemilihan ketua dan wakil ketua "ahkamah 7onstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua usianya. '. 7etentuan mengenai tata cara pemilihan ketua dan wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat ,2- diatur lebih lanjut oleh "ahkamah konstitusi. $ebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman, "ahkamah konstitusi memiliki ;isi yaitu menegakkan konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. $edangkan misinya antara lain, menegakkan "ahkamah 7onstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang terpercaya serta membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi. 2< E. Ke!"mulan Bahwa hukum responsif sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial, dimana respon tersebut dinilai baik, bila didasarkan1sesuai dengan semangat konstitusi yang di dalamnya terdapat nilai- nilai !ancasila sebagai dasar /lsafat1ideologi bangsa.
37 8isi dan &isi &ahka'ah (ons#i#usi, h##p)**%%%.'ahka'ahkons#i#usi.go.id 3&