Budaya birokrasi yang berkembang di suatu daerah tertentu tidak
dapat dilepaskan dari budaya serta lingkungan sosial yang melingkupinya. Lingkungan sosial masyarakat memiliki sistem norma, sistem nilai, sistem kepercayan, adat kebiasaan, bahkan pandangan hidup yang telah dipahami oleh para anggota masyarakatnya sebagai sesuatu yang baik dan benar. Sistem norma dan nilai tersebut diakui sebagai penuntun atau acuan dalam bersikap dan bertingkah laku bagi warga masyarakatnya. Oleh karena itu, budaya masyarakat dan budaya birokrasi merupakan dua hal yang selalu mewarnai kehidupan anggotanya, hanya penerapannya yang berbeda. Birokrasi dan sistem yang dikembangkan di dalam secara alamiah akan menjalin interaksi dengan lingkungan sosial budaya masyarakat tempat birokrasi tersebut beroperasi. Birokrasi bukan merupakan organisasi yang beroperasi dalam ruang hampa, melainkan selalu dan secara kontinu terjadi proses tarik menarik sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya asimilasi dan akulturasi antara birokrasi dengan kultur masyarakat. Kultur birokrasi pemerintahan yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan masyarakat ternyata tidak dapat dilakukan secara efektif oleh birokrasi di Indonesia. Secara struktural, kondisi tersebut merupakan implikasi dari sistem politik Order Baru yang telah menempatkan birokrasi lebih sebagai instrumen politik kekuasaan daripada sebagai agen pelayanan publik, sedangkan secara kultural, kondisi tersebut lebih disebabkan akar sejarah cultural feodalistik birokrasi, seperti masih diadopsinya budaya priyayi yang sangat bersifat paternalistic. Menurut Koentjaraningrat (1987), sebutan priyayi dalam masyarakat jawa khususnya menunjukkan suatu status sosial yang sangat tinggi, bahkan cenderung sangat eksklusif. Aktualisasi dari sistem nilai priyayi (borjuis) membawa efek psikologis pada aparat birokrasi. Birokrasi beserta aparatnya cenderung mengasumsikan sebagai pihak yang harus dihormati oleh masyarakat. Birokrasi tidak merawa berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat karena birokrasi bukan sebagai pelayan. Akan tetapi, justru sebaliknya, masyarakatlah yang harus melayani dan mengerti keinginan birokrasi. Corak budaya agraris yang masih dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung mengembangkan budaya harmoni sosial dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang masih berbasis pada kultur agraris tersebut, sentiment komunal lebih menonjol dalam bentuk komitmen untuk selalu menghindari konflik. Konflik harus dijauhkan dari kehidupan masyarakat karena dapat mengganggu harmoni sosial. Pola sikap dan perilaku birokrasi dan masyarakat sampai saat ini terlihat masih terpengaruh pada budaya tersebut. Sikap aparat birokrasi yang tidak berani melakukan kritik kepada pimpinan atau masyarakat, yang enggan untuk menuntut haknya atas perlakuan aparat birokrasi yang merugikan kepentingannya, menunjukkan masih dianutnya corak budaya agraris-tradisional oleh birokrasi dan masyarakat. Sentralisme birokrasi telah membentuk pola pemerintahan yang bersifat hierarkis-birokratis sehingga terkesan sangat kaku dan menjadi tidak responsive terhadap tuntutan perkembangan dalam masyarakat. Birokrasi menjadi institusi yang seolah-olah tidak mampu mendengar dan melihat serta memperhatikan aspirasi masyarakat, bahkan terkesan mengabaikan kepentingan masyarakat. Birokrasi seolah-olah menjadi kekuatan besar, tanpa ada kekuatan lain yang mampu mengontrolnya. Sentralisme birokrasi telah menyebabkan birokrasi menempatkan publik berada di bawah, bukannya ditempatkan sebagai mitra bagi birokrasi yang terus dikembangkan keberadaannya dalam rangka pencapaian good governance dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sentralisme birokrasi telah menyebabkan birokrasi terjebak dalam pengembangan kultur organisasi yang lebih berorientasi vertikal daripada kultural horizontal yang lebih berorientasi kepada kepentingan publik. Sentralisme dalam birokrasi telah menyebabkan terjadinya patologi dalam bentuk berbagai tindak penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan birokrasi (Dwiyanto, 2000). Patologi birokrasi muncul karena norma dan nilai-nilai yang menjadi acuan bertindak birokrasi lebih berorientasi ke atas, yaitu pada kepentingan politik kekuasaan, bukannya kepada publik. Berbagai kebijakan pembangunan pemerintah yang selalu ditentukan oleh pemerintah pusat menunjukkan kuatnya budaya sentralisme dalam birokrasi. Kondisi tersebut mengakibatkan birokrasi semakin kurang sensitif terhadap nilai, aspirasi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Birokrasi menjadi kurang fleksibel sehingga kebijakan yang diterapkan kurang responsive terhadap kondisi masyarakat daerah yang memiliki masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang bersifat spesifik. Bentuk kekuasaan yang sentralistik menimbulkan adanya kultur birokrasi yang kaku dan berkembanganya fenomena suka atau tidak suka dalam birokrasi. Birokrasi tidak mampu mengembangkan sistem kerja fleksibel, bahkan birokrasi tidak mampu mengembangkan semangat kerja sama dalam menyelengarakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik. Koordinasi menjadi suatu kegiatan yang sangat sulit dilakukan birokrasi apabila kegiatan pelayanan publik yang dilakukan melibatkan lintas bidang, seksi, instansi, atau departemen. Lemahnya pembentukan semangat kerja sama dalam birokrasi menyebabkan seorang aparat birokrasi tidak dapat atau enggan mengerjakan pekerjaannya diluar tugas rutinnya. Apabila terdapat pegawai yang tidak masuk kerja karena berhalangan, pegawai lain tidak dapat menggantikannya sehingga kemacetan pelayanan sering kali terjadi. Dampak dari kondisi tersebut adalah masyarakat pengguna jasa pula yang ada akhirnya banyak dirugikan. Penerapan dan pemahaman juklak dan juknis secara kaku menyebabkan birokrasi tingkat bawah kurang mampu berinisiatif dalam mengambil keputusan. Birokrasi yang hirerakis memiliki dampak pada adanya perasaan takut aparat birokrasi terhadap pimpinan. Pola kepemimpinan dalam birokrasi lebih menampilkan sosok sebagai penguasa daripada sebagai seorang manajer. Ketakutan aparat birokrasi untuk melakukan inisiatif dan inovasi pelayanan erat kaitannya dengan adanya perasaan takut melakukan kesalahan dan takut akan ditegur oleh atasannya. Oleh karena itu, aparat birokrasi cenderung berusaha bertindak sesuai dengan pedoman-pedoman yang sudah ditentukan dan menghindari melakukan diskresi sekalipun hal tersebut terkadang jelas diperlukan. Dari semua uraian di atas, sistem nilai dan norma budaya yang berlaku pada suatu masyarakat sangat mewarnai kehidupan birokrasi. Elite birokrasi yang menempatkan dirinya lebih tinggi daripada bawahan dan masyarakat pengguna jasa merupakan kelompok eksklusif yang perlu dihormati dan dihargai karena merupakan figure yang berkuasa, yang dapat menentukan nasib orang lain. Budaya birokrasi yang selama ini dikembangkan adalah budaya yang lebih menekankan pada kekuasaan, bukan pada pelayanan. Fenomena ini menjadi faktor dominan yang menghambat proses kinerja pelayanan publik. Demikian juga dengan sistem nilai, norma budaya dan simbol-simbol yang memperkuat kekuasaan dan posisi aparat birokrasi. Nilai dan simbol yang diterapkan dalam kehidupan sosial aparat birokrasi lebih menunjukkan fenomena yang menonjolkan pada status sosial tinggi. Simbol-simbol yang ada dalam birokrasi memberikan ciri dari kekuasaan seseorang. Budaya birokrasi yang ada di Sumatera Barat, daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan pada hakikatnya memiliki persamaan antara satu dengan lainnya. Persamaan tersebut adalah pandangan tentang kedudukan aparat birokrasi yang memiliki status sosial lebih tinggi di mata masyarakat. Penempatan kedudukan aparat yang lebih tinggi tersebut berakibat pada sikap dan perilaku aparat. Berbagai patologi yang muncul disebabkan oleh keadaan ini, antara lain, dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa, petugas cenderung kurang memperhatikan kepentingan pengguna jasa. Posisi pengguna jasa dalam pelayanan sebenarnya adalah subjek pelayanan yang artinya pengguna jasa harus dilayani dan diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Namun, tampaknya kondisi yang terjadi adalah sebaliknya yang posisi pengguna jasa hanyalah objek pelayanan yang tidak memiliki kewenangan untuk memperoleh pelayanan yang baik. Budaya birokrasi di ketiga daerah tersebut telah memberikan pengaruh negatif terhadap citra pelayanan publik di Indonesia yang lambat dan berbelit-belit.