TENTANG PELAKSANAAN PEKERJAAN KEFARMASIAN PADA FASILITAS PELAYANAN KEFARMASIAN
Di Susun Oleh : Amalia Prawitasari NIM 12.0266 Desi Retnowati NIM 12.0302 Kartika Herriyati NIM 12.0282 Kisworo Untari NIM 12.0307 Putri Indah Asmarawati NIM 12.0309 Yuniar Fajarwati NIM 11.0183
AKADEMIK FARMASI THERESIANA SEMARANG 2014 Kasus : Pada pasal 21, 22, dan 24 PP NO 51 Tahun 2009 disebutkan mengenai pelaksanaan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, dalam realita sekarang apakah Peraturan Pemerintah tersebut sudah bisa diterapkan atau malah tidak tidak diterapkan sama sekali. Bagaimana pendapat anda mengenai pasal tersebut bila dibandingkan dengan realita pelaksanaan didalm masyarakat dan apa saran yang bisa diusulkan demi meningkatkan pelayanan kefarmasian yang lebih baik. Penjabaran Kasus : 1. Pasal 21 PP NO 51 Tahun 2009 a. Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian. b. Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker. c. Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat Apoteker, Menteri dapat menempatkan Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK pada sarana pelayanan kesehatan dasar yang diberi wewenang untuk meracik dan menyerahkan obat kepada pasien. d. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut jenis Fasilitas Pelayanan Kefarmasian ditetapkan oleh Menteri. e. Tata cara penempatan dan kewenangan Tenaga Teknis Kefarmasian di daerah terpencil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. 2. Pasal 22 PP NO 51 Tahun 2009 Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek, dokter atau dokter gigi yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai wewenang meracik dan menyerahkan obat kepada pasien yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 3. Pasal 24 PP NO 51 Tahun 2009 Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat: mengangkat seorang Apoteker pendamping yang memiliki SIPA. mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien; dan. menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Analisa Kasus : Dari beberapa pasal yang paparkan diatas dalam realitanya banyak sekali yang menyimpang dengan yang terjadi dalam pelayanan kefarmasian akan tetapi ada juga yang sudah berlangsung sesuai dengan peraturan pemerintahan yang berlaku seperti pelayanan kefarmasian Bahwa apoteker hendaknya menerapkan standar pelayanan kefarmasian hal ini dipertegas dengan adanya SOP dari setiap instalasi farmasi atau sarana pelayanan kefarmasian yang telah dibuat dan diterapkan oleh pelaksana kefarmasian dan sumber daya manusia yang bersangkutan. Akan tetapi SOP yang dibuat oleh seorang apoteker juga harus berpegang teguh dengan PP yang berlaku dan akan berbeda peraturannya menurut jenis pelayanan kefarmasian yang berlaku, apabila di RS akan d berlakukan standar pelayanan kefarmasian menurut KEMENKES RI NO 1197 tentang standart pelayanan kefarmasian di RS dan tentunya RS sendiri juga memilik SOP untuk menunjang kegiatan pemerintah dalam pelayanan kefarmasian. Kemudian Apoteker juga mempunyai peran aktif dalam mengrektrut Apoteker pendamping untuk kelancaran operasional pelayanan kefarmasian ( tiap shift ) dan telah memiliki SIPA yang digunakan sebagai bukti profesi dan jaminan kerja. Selanjutnya pelayanan kefarmasian juga telah berlangsung dengan sangat baik mengenai kekosongan perbekalan farmasi baik oral maupun topikal, seorang apoteker berhak mengganti dengan merek dagang yang lain tetapi komposisi yang sama daan atau dengan mereng dagang ( generik berlogo ) yang telah di konsultasikan / perizinan dari dokter maupun keluarga pasien sehingga pasien pendapatkan fasilitas yang lebih nyaman dan cepat ( tidak perlu mencari obat tersebut ke apotek lain jika masih bsa diganti ) Akan tetapi kendala yang dihadapi mengenai Sumber Daya Manusia terutama dalam bidang kesehatan dan kefarmasian sangat minim. Hal ini dapat terlihat dari penyimpangan pasal yang terpapar d atas mengenai penyerahan resep hampir disemua sarana pelayanan kefarmasian dilakukan oleh TTK bukan seorang Apoteker baik golongan Narkotika, Psikotropika, keras hingga perkusor.sehingga peran aktif apoteker sangat minimum hal ini dikarenakan jumlah apoteker yang berada di apotek sangat sedikit / tidak memadahi terlebih seorang apoteker juga tidak menetap di apotek tsb ( biasanya pada apotek kecil/ pinjam nama) dan bahkan jika terdapat seorang apoteker lengkap dengan Apingnya kerap kali juga menyimpang dimana Apoteker lebih fokus dalam pengadaan perbekalan farmasi yang masih bisa dikerjakan oleh TTK daripada pengecekan ulang dan penyerahan obat kepada pasien. Kemudian pemerataan TTK maupun Apoteker sangat kurang memadahi realita yang terjadi didaerah perkotaan di Papua masih saja terdapat PUSKESMAS tanpa didampingi seorang Apoteker penanggung jawab bahkan seorang TTK untuk mendampingi apoteker, sedangkan fasilitas yang tersedia di PUSKESMAS cukup lengkap seperti pelayanan rawat inap, IDG, Rawat jalan, Dokter umum, dokter gigi, dan konsultasi gizi. Dimana kelengkapan fasilitas tersebut sangat membutuhkan peran aktif kefarmasian dalam pelayanan kesehatan terutama perbekalan farmasi. akan tetapi karena minimnya SDM kefarmasian menimbulkan penimbunan pekerjaan oleh dokter maupun perawat yang berlaku sehingga pelayanan kesehatan mengalami penurunan ( konsultasi dengan dokter sangat dibatasi ) hal inilah yang menyebabkan masyarakat cemderung mengabaikan kesehatan dan memilih alternatif pengobatan herbal dan keterbatasan akses daerah menjadikan TTK enggan untuk ditempatkan diluar pulau. Dan berbanding terbalik dengan Penyimpangan yang terjadi dalam pelayanan kefarmasian diperkotaan dimana seorang dokter praktek menyediakan perbekalan farmasi, meracik dan menyerahkan obat kepada pasien untuk mendapatkan omset yang lebih tinggi dari sekedar praktek dokter yang berjalan seperti biasa, bahkan di Semarang cukup banyak ditemui kejadian seperti ini. Akan tetapi keberlangsungan PP mengenai dokter atau dokter gigi yang memiliki STR serta mempunyai wewenang mengenai meracik dan menyerahkan obat kepada pasien sesuai UU di daerah terpencil cukup berlangsung baik dan terprogram sangat baik.
Tanggapan dan Saran Mengenai Kasus : Untuk menambah jumlah SDM kususnya untuk Apoteker ( pembagian menurut sift : 1 APA, 2/1 Aping ) atau jika tetap berlangsung demikian maka adanya pelimpahan tugas kepada TTK dalam proses penyerahan dan konsultasi obat dengan pemberian kompensasi lebih untuk TTK misalnya prosentase uang resep lebih besar daripada Apoteker atau tunjangan lain yang dianggap lebih baik untuk jasa dari tugas seorang TTK. Jika SDM Apoteker terlalu sedikit dan keberadaannya tidak tetap diharapkan hadir setiap hari untuk memantau pengeluaran resep baik secara fisik maupun non fisik ( komputer) sehingga meminimalis kesalahan dalam peresepan. Pembinaan bagi calon TTK dan Apoteker mengenai keikut sertaan dalam pelayanan kefarmasian terutama dalam bidang pelayanan kesehatan sehingga peran serta pelakasan dan SDM kefarmasian siap untuk ditempatkan dimanapun terlebih daerah terpencil yang membutuhkan pelayanan kefarmasian cukup memadahi serta menunjang kesehatan. Oleh karena itu baik TTK atau Apoteker tidak takut jika kehabisan laha pekerjaan serta peran serta pemerintah dalam menunjang kegiatan seperti diatas seperti jaminan kesehatan, tunjangan, dll untuk memotivasi calon TTK dan Apoteker. Dan yang paling penting bagaimana pemerintah mampu memberikan jaminan kemanan serta kelancaran pelayanan kefarmasian untuk daerah terpencil dengan cara perbaikan infrastruktur yang lebih baik sehingga akses distribusi perbekalan farmasi juga tidak terlalu sulit dan membutuhkan waktu yang lama.
Kesimpulan : Peran serta Pemerintah sangat dibutuhkan dalam berlangsungnya kegiatan kesehatan demi tercapainya keluarga yang sehat, dan peran aktif dari SDM kefarmasian sangat menunjang hal tersebut terutama dalam pelayanan kefarmasian. kedepannya kami berharap adanya sumbangsih dari masyarakat mengenai pelayanan kesehatan yang dirasakan selama ini mulai dari pelaksannanya hingga tataleksananya dan keikutsertaan peran aktif baik dari TTK maupun Apoteker, dokter, bidan, perawat, tenaga medis, dokter gigi dan tenaga kesehatan yang terkait demi keberlangsungan program kesehatan sehingga kendala kendala atau hambatan yang terjadi selama ini sanggup dipecahkan. Dengan ada pemerintahan baru ini yang lebih mementingkan suara rakyat mampu menunjang dan meningkatkan pelayanan kesehatan dimanapun daerahnya karena kesehatan itu lebih penting dari segalanya. Jika kita(SDM kesehatan), pemerintah dan masyarakat hanya menerima menjalankan dan mengeluh dibelakang maka tidak akan ada hasil dan kesepakatan yang dicapai kemudian peningkatan mutu pendidikan dari kefarmasian sangat diperhatikan sehingga seorang calon TTK atau Apoteker tidak menjadi pribadi yang induvidualis menlainkanyga kreatif, bertanggung jawab dan melakukan profesianya dengan berlandaskan kemausiannya sehingga kompensasi yang nantinya sanggup diberikan pemerintah dapat dirasa cukup untuk membayar tanggung jawab tersebut. Penangan infrasutrutur dan akses kesehatan sebaiknya juga dijadikan bahan pertimbangan sebagai penunjang Pelayanan kesehatan sehingga TTK dan Apoteker mampu berperan aktif dalam kegiatan pelaksanaan kefarmasian di daerah terpencil.