Вы находитесь на странице: 1из 6

TUGAS UNDANG UNDANG KESEHATAN III

NO 51 PASAL 21, 22, DAN 24


TENTANG PELAKSANAAN PEKERJAAN KEFARMASIAN
PADA FASILITAS PELAYANAN KEFARMASIAN

Di Susun Oleh :
Amalia Prawitasari NIM 12.0266
Desi Retnowati NIM 12.0302
Kartika Herriyati NIM 12.0282
Kisworo Untari NIM 12.0307
Putri Indah Asmarawati NIM 12.0309
Yuniar Fajarwati NIM 11.0183

AKADEMIK FARMASI THERESIANA
SEMARANG
2014
Kasus :
Pada pasal 21, 22, dan 24 PP NO 51 Tahun 2009 disebutkan mengenai pelaksanaan
pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, dalam realita sekarang apakah
Peraturan Pemerintah tersebut sudah bisa diterapkan atau malah tidak tidak diterapkan sama
sekali. Bagaimana pendapat anda mengenai pasal tersebut bila dibandingkan dengan realita
pelaksanaan didalm masyarakat dan apa saran yang bisa diusulkan demi meningkatkan
pelayanan kefarmasian yang lebih baik.
Penjabaran Kasus :
1. Pasal 21 PP NO 51 Tahun 2009
a. Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian,
Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian.
b. Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh
Apoteker.
c. Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat Apoteker, Menteri dapat menempatkan
Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK pada sarana pelayanan
kesehatan dasar yang diberi wewenang untuk meracik dan menyerahkan obat kepada
pasien.
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menurut jenis Fasilitas Pelayanan Kefarmasian ditetapkan
oleh Menteri.
e. Tata cara penempatan dan kewenangan Tenaga Teknis Kefarmasian di daerah
terpencil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
2. Pasal 22 PP NO 51 Tahun 2009
Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek, dokter atau dokter gigi yang
telah memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai wewenang meracik dan menyerahkan
obat kepada pasien yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3. Pasal 24 PP NO 51 Tahun 2009
Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian,
Apoteker dapat:
mengangkat seorang Apoteker pendamping yang memiliki SIPA.
mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen
aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien;
dan.
menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas
resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Analisa Kasus :
Dari beberapa pasal yang paparkan diatas dalam realitanya banyak sekali yang
menyimpang dengan yang terjadi dalam pelayanan kefarmasian akan tetapi ada juga yang sudah
berlangsung sesuai dengan peraturan pemerintahan yang berlaku seperti pelayanan kefarmasian
Bahwa apoteker hendaknya menerapkan standar pelayanan kefarmasian hal ini dipertegas
dengan adanya SOP dari setiap instalasi farmasi atau sarana pelayanan kefarmasian yang telah
dibuat dan diterapkan oleh pelaksana kefarmasian dan sumber daya manusia yang bersangkutan.
Akan tetapi SOP yang dibuat oleh seorang apoteker juga harus berpegang teguh dengan PP yang
berlaku dan akan berbeda peraturannya menurut jenis pelayanan kefarmasian yang berlaku,
apabila di RS akan d berlakukan standar pelayanan kefarmasian menurut KEMENKES RI NO
1197 tentang standart pelayanan kefarmasian di RS dan tentunya RS sendiri juga memilik SOP
untuk menunjang kegiatan pemerintah dalam pelayanan kefarmasian.
Kemudian Apoteker juga mempunyai peran aktif dalam mengrektrut Apoteker
pendamping untuk kelancaran operasional pelayanan kefarmasian ( tiap shift ) dan telah
memiliki SIPA yang digunakan sebagai bukti profesi dan jaminan kerja. Selanjutnya pelayanan
kefarmasian juga telah berlangsung dengan sangat baik mengenai kekosongan perbekalan
farmasi baik oral maupun topikal, seorang apoteker berhak mengganti dengan merek dagang
yang lain tetapi komposisi yang sama daan atau dengan mereng dagang ( generik berlogo ) yang
telah di konsultasikan / perizinan dari dokter maupun keluarga pasien sehingga pasien
pendapatkan fasilitas yang lebih nyaman dan cepat ( tidak perlu mencari obat tersebut ke apotek
lain jika masih bsa diganti )
Akan tetapi kendala yang dihadapi mengenai Sumber Daya Manusia terutama dalam
bidang kesehatan dan kefarmasian sangat minim. Hal ini dapat terlihat dari penyimpangan pasal
yang terpapar d atas mengenai penyerahan resep hampir disemua sarana pelayanan kefarmasian
dilakukan oleh TTK bukan seorang Apoteker baik golongan Narkotika, Psikotropika, keras
hingga perkusor.sehingga peran aktif apoteker sangat minimum hal ini dikarenakan jumlah
apoteker yang berada di apotek sangat sedikit / tidak memadahi terlebih seorang apoteker juga
tidak menetap di apotek tsb ( biasanya pada apotek kecil/ pinjam nama) dan bahkan jika terdapat
seorang apoteker lengkap dengan Apingnya kerap kali juga menyimpang dimana Apoteker lebih
fokus dalam pengadaan perbekalan farmasi yang masih bisa dikerjakan oleh TTK daripada
pengecekan ulang dan penyerahan obat kepada pasien.
Kemudian pemerataan TTK maupun Apoteker sangat kurang memadahi realita yang
terjadi didaerah perkotaan di Papua masih saja terdapat PUSKESMAS tanpa didampingi seorang
Apoteker penanggung jawab bahkan seorang TTK untuk mendampingi apoteker, sedangkan
fasilitas yang tersedia di PUSKESMAS cukup lengkap seperti pelayanan rawat inap, IDG, Rawat
jalan, Dokter umum, dokter gigi, dan konsultasi gizi. Dimana kelengkapan fasilitas tersebut
sangat membutuhkan peran aktif kefarmasian dalam pelayanan kesehatan terutama perbekalan
farmasi. akan tetapi karena minimnya SDM kefarmasian menimbulkan penimbunan pekerjaan
oleh dokter maupun perawat yang berlaku sehingga pelayanan kesehatan mengalami penurunan (
konsultasi dengan dokter sangat dibatasi ) hal inilah yang menyebabkan masyarakat cemderung
mengabaikan kesehatan dan memilih alternatif pengobatan herbal dan keterbatasan akses daerah
menjadikan TTK enggan untuk ditempatkan diluar pulau. Dan berbanding terbalik dengan
Penyimpangan yang terjadi dalam pelayanan kefarmasian diperkotaan dimana seorang dokter
praktek menyediakan perbekalan farmasi, meracik dan menyerahkan obat kepada pasien untuk
mendapatkan omset yang lebih tinggi dari sekedar praktek dokter yang berjalan seperti biasa,
bahkan di Semarang cukup banyak ditemui kejadian seperti ini.
Akan tetapi keberlangsungan PP mengenai dokter atau dokter gigi yang memiliki STR
serta mempunyai wewenang mengenai meracik dan menyerahkan obat kepada pasien sesuai UU
di daerah terpencil cukup berlangsung baik dan terprogram sangat baik.

Tanggapan dan Saran Mengenai Kasus :
Untuk menambah jumlah SDM kususnya untuk Apoteker ( pembagian menurut sift : 1
APA, 2/1 Aping ) atau jika tetap berlangsung demikian maka adanya pelimpahan tugas kepada
TTK dalam proses penyerahan dan konsultasi obat dengan pemberian kompensasi lebih untuk
TTK misalnya prosentase uang resep lebih besar daripada Apoteker atau tunjangan lain yang
dianggap lebih baik untuk jasa dari tugas seorang TTK.
Jika SDM Apoteker terlalu sedikit dan keberadaannya tidak tetap diharapkan hadir setiap
hari untuk memantau pengeluaran resep baik secara fisik maupun non fisik ( komputer) sehingga
meminimalis kesalahan dalam peresepan.
Pembinaan bagi calon TTK dan Apoteker mengenai keikut sertaan dalam pelayanan
kefarmasian terutama dalam bidang pelayanan kesehatan sehingga peran serta pelakasan dan
SDM kefarmasian siap untuk ditempatkan dimanapun terlebih daerah terpencil yang
membutuhkan pelayanan kefarmasian cukup memadahi serta menunjang kesehatan. Oleh karena
itu baik TTK atau Apoteker tidak takut jika kehabisan laha pekerjaan serta peran serta
pemerintah dalam menunjang kegiatan seperti diatas seperti jaminan kesehatan, tunjangan, dll
untuk memotivasi calon TTK dan Apoteker.
Dan yang paling penting bagaimana pemerintah mampu memberikan jaminan kemanan
serta kelancaran pelayanan kefarmasian untuk daerah terpencil dengan cara perbaikan
infrastruktur yang lebih baik sehingga akses distribusi perbekalan farmasi juga tidak terlalu sulit
dan membutuhkan waktu yang lama.

Kesimpulan :
Peran serta Pemerintah sangat dibutuhkan dalam berlangsungnya kegiatan kesehatan
demi tercapainya keluarga yang sehat, dan peran aktif dari SDM kefarmasian sangat menunjang
hal tersebut terutama dalam pelayanan kefarmasian.
kedepannya kami berharap adanya sumbangsih dari masyarakat mengenai pelayanan
kesehatan yang dirasakan selama ini mulai dari pelaksannanya hingga tataleksananya dan
keikutsertaan peran aktif baik dari TTK maupun Apoteker, dokter, bidan, perawat, tenaga medis,
dokter gigi dan tenaga kesehatan yang terkait demi keberlangsungan program kesehatan
sehingga kendala kendala atau hambatan yang terjadi selama ini sanggup dipecahkan. Dengan
ada pemerintahan baru ini yang lebih mementingkan suara rakyat mampu menunjang dan
meningkatkan pelayanan kesehatan dimanapun daerahnya karena kesehatan itu lebih penting dari
segalanya.
Jika kita(SDM kesehatan), pemerintah dan masyarakat hanya menerima menjalankan dan
mengeluh dibelakang maka tidak akan ada hasil dan kesepakatan yang dicapai kemudian
peningkatan mutu pendidikan dari kefarmasian sangat diperhatikan sehingga seorang calon TTK
atau Apoteker tidak menjadi pribadi yang induvidualis menlainkanyga kreatif, bertanggung
jawab dan melakukan profesianya dengan berlandaskan kemausiannya sehingga kompensasi
yang nantinya sanggup diberikan pemerintah dapat dirasa cukup untuk membayar tanggung
jawab tersebut.
Penangan infrasutrutur dan akses kesehatan sebaiknya juga dijadikan bahan
pertimbangan sebagai penunjang Pelayanan kesehatan sehingga TTK dan Apoteker mampu
berperan aktif dalam kegiatan pelaksanaan kefarmasian di daerah terpencil.

Вам также может понравиться