Вы находитесь на странице: 1из 10

KEUNIKAN SUMBERDAYA HAYATI PAPUA

(oleh: frans wanggai)


Abstrak
Papua memiliki sumberdaya hayati yang sangat beragam. Keragaman sumberdaya
hayati tersebut dijumpai di berbagai tipe ekosistem yang menyebar mulai dari terumbu
karang, daerah estuaria, rawa, danau, daerah savana, dataran rendah, dataran tinggi
sampai ke daerah alpin. Dari sebaran tipe ekosistem tersebut membuat sumberdaya
hayatinya menjadi spesifik dan unik. Dari sisi pengelolaan keunikan sumberdaya
hayati tersebut menuntut adanya pendekatan khusus ditinjau dari sisi keberlanjutan
lingkungan, keberlanjutan sumberdaya hayati, keberlanjutan ekonomi dan
keberlanjutan sosial.
Kata Kunci: Unik, Sumberdaya hayati, Biogeografi, Ekosistem, Plasma nutfah,
Indikator keberlanjutan
I. Pendahuluan
Hutan hujan tropis khususnya Indonesia menyimpan ratusan juta spesies yang
merupakan sumber plasma nutfah yang belum diteliti dan diidentifikasi maupun
diketahui kegunaannya. Karena hutan sebagai satu ekosistem maka sumberdaya hayati
meliputi flora dan fauna yang sangat beragam, mulai dari tumbuhan berkayu sampai
yang merambat maupun cendawan serta berbagai jenis satwaliar, membuat Indonesia
menyimpan sejumlah plasma nutfah yang sangat beragam di dunia. Potensi tersebut
merupakan salah satu tantangan besar bagi para pakar baik di perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat, lembaga-lembaga penelitian maupun para pakar di
pemerintahan untuk memberikan perhatian dalam hal: melindungi (konservasi),
meneliti, memahami dan memanfaatkan bagi kepentingan umat manusia.
Menurut Mittermeier dan Mittermeier dalam buku Megadiversity diungkapkan
bahwa Brazil dan Indonesia merupakan dua negara di dunia yang kaya akan
keragaman hayati (biodiversity). Memang Brazil lebih unggul dalam hal biota
terestrial dan akuatik (air tawar), sedangkan Indonesia selain biota terestrial dan
akuatik tetapi juga lebih unggul dalam hal biota perairan laut (marine biodiversity).
Hal ini disebabkan karena proses biogeografi Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh
flora-fauna Australis dan Indo-Malaya. Indonesia yang terletak antara benua Australia
dan Asia serta samudera Pasifik dan Hindia membuat Indonesia kaya akan
sumberdaya hayati terestrial, akuatik darat dan laut (marine). Secara singkat dapat
dikatakan bahwa dengan posisi geografis yang demikian tak dapat dipungkiri lagi,
telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari dua negara terbesar di dunia
yang kaya akan tipe-tipe ekosistem dengan keragaman hayati yang sangat tinggi.
Kekayaan keragaman hayati yang demikian diperlihatkan oleh spesies-spesies
dari famili seperti: (-) mamalia sebanyak 515 spesies dan 39 % dari jumlah tersebut
adalah endemik dan setara dengan 12 % dari mamalia dunia; (-) reptilia sebanyak 511
spesies dan 150 dari jumlah tersebut adalah endemik serta (-) amphibia tercatat
sebanyak 270 spesies dan 100 spesies dari jumlah tersebut adalah endemik, serta
jumlah reptilia dan amphibia tersebut secara bersama-sama mewakili 7,3 % dari
populasi dunia; (-) keragaman burung tercatat sebanyak 1.531 spesies dan 397 dari
jumlah tersebut adalah endemik dan secara keseluruhan mewakili 17 % dari populasi
burung di dunia; (-) keragaman primata sebanyak 35 spesies dan jumlah ini masih
sedikit jika dibandingkan dengan jumlah spesies primata di Afrika dan Madagaskar.
Dari sisi keragaman tumbuh-tumbuhan berkayu tercatat sebanyak 38.000
spesies serta keragaman palma tercatat sebanyak 477 spesies dan dari jumlah palma
tersebut terdapat 225 spesies adalah endemik. Dari tumbuhan berkayu 38.000 spesies
tercatat 350 spesies adalah dari genera dipterocarpaceae dan 155 spesies adalah
endemik Kalimantan. Singkatnya dikatakan bahwa keragaman tumbuh-tumbuhan
kawasan barat Indonesia dikelompokkan dalam flora Indo-Malesia dan keragaman
tumbuh-tumbuhan kawasan timur Indonesia dikelompokkan dalam flora Australis
karena kedua-duanya berkaitan erat dengan proses biogeografi Indonesia pada masa
lampau.
Khusus bagi Papua, susunan flora dan faunanya sangat rumit karena merupakan
campuran dari pertemuan antara dua daerah pembagian zoogeografi yaitu daerah
Orient dan daerah Australia. Ringkasan penyebaran flora dan fauna secara sederhana
disajikan dalam Gambar 1. Garis Wallacea (garis zoogeografi yang ditarik sepanjang
batas Timur dari paparan Sunda) menunjukkan batas paling Barat dari penyebaran
binatang mamalia asal Australia, yaitu binatang berkantong (marsupilalia). Garis ini
juga menunjukkan sejauh mana hewan dari daerah Asia dapat menyebar melalui
daratan pada waktu permukaan laut masih rendah. Garis Lydekker yang ditarik
sepanjang batas Timur dari paparan Sahul, menunjukkan batas paling Timur untuk
penyebaran sebagian besar spesies hewan Asia. Garis Weber dibuat dengan maksud
sebagai bidang keseimbangan yaitu di sebelah Timur unsur fauna daerah Australia
yang paling banyak, sedangkan pada sisi Barat dari garis Wallacea, unsur fauna daerah
Asia yang dominan. Daerah antara
garis Wallacea dan Lydekker
mengandung campuran antara bentuk-
bentuk fauna Asia dan Australia yang
dikenal sebagai daerah Wallacea,
menurut penjelajah alam Alfred
Russel Wallace. Semua pulau dari
daerah Wallacea (Filipina, Sulawesi,
Maluku, Timor dan Nusa Tenggara)
dahulu merupakan bagian dari
lempengan oseanik yang tidak pernah
berhubungan dengan lempengan
Sunda maupun lempengan Sahul dan
muncul karena letusan gunung berapi
(Whitmore, 1981).
Gambar 1. Biogeografi Papua
II. KEUNIKAN SUMBERDAYA HAYATI PAPUA
Secara khusus tampak bahwa keeratan kaitan dengan proses biogeografi masa
lampau membuat sumberdaya hayati Papua menjadi unik. Dikatakan unik karena
memiliki sejumlah spesies sumberdaya hayati yang tergolong dalam kelompok sub-
divisi timur dari pembagian flora Indo-Malesia dan flora Australis yang sangat kaya.
Diungkapkan bahwa keragaman sumberdaya hayati tersebut juga merupakan sumber
keragaman plasmanutfah yang belum banyak diketahui, namun sangat bermanfaat
bagi umat manusia dan pengembangan ilmu pengetahuan (van Balgooy, 1971).
Tentunya kondisi lingkungan Papua dengan variasi topografi, mulai dari pulau,
estuaria dan mangrove, rawa, datar, bergelombang, bergunung yang menyebar sampai
ketinggian 4.884 m di atas permukaan laut, membuat Papua mengandung pemusatan
kehidupan flora yang kaya dan lengkap di seluruh Indonesia (Womersly, 1978).
Namun tidak seperti hutan hujan di Kalimantan, terutama anggota Dipterocarpaceae,
di Papua hanya dijumpai 3 marga (8 spesies) tumbuh pada ketinggian 600 1.400 m
di atas permukaan laut jika dibandingkan dengan 9 marga (350 spesies) di
Kalimantan.
Keunikan Ekosistem Hutan. Kawasan hutan Papua (termasuk Papua Barat,
menurut Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 891/Kpts-II/1999
tentang Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Papua) seluas 42.224.840 ha yang
terdiri dari: hutan lindung 10.619.090 ha; hutan pelestarian dan perlindungan
alam/hutan konservasi 8.025.820 ha; hutan produksi terbatas 2.054.110 ha, hutan
produksi tetap 10.585.210 ha, hutan produksi konversi 9.262.130 ha dan kawasan
perairan yang terdiri dari danau, sungai dan estuaria 1.678.480 ha. Hutan produksi
tetap terdiri dari: hutan primer 7.833.055 ha (74 %), hutan bekas tebangan 952.669 ha
(9 %), hutan rusak dan tanah kosong 1.799.486 ha (17 %). Kawasan hutan Papua
tersebut sangat unik karena secara geografis menyebar dari daerah pulau dan pantai
hingga daerah alpin membuat Papua memiliki tipe-tipe ekosistem yang lengkap di
Indonesia. Dikatakan memiliki tipe-tipe ekosistem yang lengkap dan unik karena
terdiri dari: ekosistem pulau dan terumbu karang, ekosistem pantai, ekosistem estuaria
dan mangrove, hutan rawa dan gambut, hutan sagu, hutan hujan dataran rendah, hutan
savanna dan padang rumput, hutan hujan dataran tinggi dan ekosistem alpin. Tiap tipe
ekosistem memberikan layanan yang sangat unik pada lingkungan seperti: menjaga
keseimbangan unsur-unsur biokimia dalam alam, mengatur keseimbangan suhu
atmosfer bumi yang erat kaitannya dengan perubahan iklim global, menjaga
keseimbangan garis pantai dari abrasi akibat deburan ombak, menyediakan sejuta
plasma nutfah sebagai sumber keragaman hayati dan sejumlah layanan lainnya. Di sisi
lain, akumulasi dampak pemanfaatan hutan dan sumberdaya hayati lainnya secara
berlebihan menyebabkan terganggunya fungsi ekosistem alam turut memberi
sumbangan pada perubahan iklim global.
Flora. Flora pegunungan yang khas di Papua seperti Nothofagus spp., jenis-jenis
daun jarum yang endemik antara lain Podocarpus sp., Agathis sp., dan Araucaria sp.,
semuanya merupakan jenis kayu yang berharga. Namun keragaman flora yang besar
dengan kelangkaan Dipterocarpaceae membuat pengusahaan hutan di Papua
memerlukan pertimbangan yang matang agar pengusahaan tersebut menguntungkan,
tetapi hutannya tetap lestari. Jenis-jenis kayu berharga lain adalah Dracontomelum sp.,
Diospyros sp., Intsia sp., Pometia sp., Octomeles sp., Canarium sp., Calophyllum sp.,
dan lain-lain. Jenis-jenis tumbuhan lain sangat beragam seperti mangrove (bakau),
cemara, nipah, pandan, rotan dan sagu, mempunyai arti tersendiri bagi kehidupan
masyarakat Papua. Terdapat sejumlah jenis tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan
oleh penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti: obat-obatan,
narkotik, bangunan rumah, perahu, ukir-ukiran, pakaian upacara adat dan lain-lain.
Dari sisi tumbuhan ephifit, maka anggrek merupakan kelompok tumbuhan tidak
berkayu yang sangat menarik dari pulau Papua. Miller (1978) mengungkapkan bahwa
terdapat 130 marga dengan lebih dari 2.770 jenis yang telah terdokumentasi dan
sebagian besar adalah Dendrobium dan Bulbophyllum. Dikemukakan bahwa
kelompok ini meliputi hampir sepertiga dari seluruh jenis tumbuhan berbunga di pulau
Papua. Daerah penyebarannya luas sekali, dan beberapa anggrek tanah yang dapat
tumbuh sampai ketinggian 3.750 m di atas permukaan laut.
Di samping anggrek, terdapat pula Rhododendron dengan bunga yang cantik
dan menarik. Berbagai tumbuhan merambat dengan bunga yang menawan seperti
flame of Papua (Mucuna novaguinensis) merupakan jenis tumbuhan endemik pulau
Papua menghiasi tajuk-tajuk pohon hutan dataran rendah. Selain itu terdapat sejumlah
jenis jahe hutan dengan warna jingga dan merah jambu yang sangat indah, paling
tidak dapat dikoleksi dan dikembangkan sebagai tanaman hias. Demikian pula selain
jahe-jahean terdapat sejenis tumbuhan perambat yang disebut kantong semar
(Nepenthes). Kantong semar umumnya dijumpai pada tanah-tanah yang miskin hara
nitrogen. Pada bibir kantong berwarna-warni terdapat lapisan cairan manis yang
menarik semut dan serangga lain yang sedang menikmati manisan tersebut, dapat
jatuh ke dalam kantong yang berisi larutan enzim, kemudian dicerna dan diserap oleh
jaringan tubuh tanaman. Di atas lantai hutan terutama pada batang pohon yang telah
lama mati dan sedang mengalami proses pelapukan terdapat berbagai jenis jamur yang
belum banyak diketahui orang. Hanya beberapa jenis yang baru diketahui manfaatnya
sehingga dibudidayakan untuk keperluan konsumsi maupun untuk diperdagangkan.
Fauna. Secara umum fauna Papua dapat dikelompokkan dalam kelompok
mamalia, burung, reptil dan amfibia, ikan, serangga dan binatang invertebrata. Fauna
Papua berkaitan erat dengan daerah zoogeografi Australia dan Asia serta pertemuan
kehidupan yang terjadi antara dua daerah zoogeografi besar tersebut yang saat ini
memberikan gambaran tentang sejarah geologi masa lalu, perubahan iklim serta
perpindahan faunanya. Petocz (1987) mengungkapkan bahwa terdapat 93 bentuk
endemis mamalia dengan rincian 41 jenis dari kalangan monotremata dan marsupilalia
dan 52 jenis dari kalangan kelelawar serta binatang pengerat.
Mamalia. Fauna mamalia di Papua baru sedikit diketahui yaitu sebanyak 164
spesies dan telah didokumentasikan. Jika dibandingkan dengan PNG sebanyak 227
spesies (Conservation International, 1999), maka perlu dilakukan penelitian-penelitian
lagi. Dengan demikian jumlah tersebut mungkin akan lebih banyak lagi bila diadakan
survei lebih lanjut. Sebagian besar dari literatur yang ada lebih banyak membahas
tentang hasil-hasil penelitian taksanomis, sedangkan penelitian ekologisnya masih
sedikit.
Burung. Jenis-jenis burung yang dijumpai di Papua tercatat sebanyak 717
spesies termasuk 602 jenis yang bersarang di atas tanah dan pohon serta di antaranya
terdapat 290 jenis yang endemik (Beehler, Pratt dan Zimmerman, 1986). Burung-
burung tersebut sebagian besar tergolong fauna Australia, tetapi sebagian lagi
termasuk fauna Asia seperti rangkong papua (Aceros plicatus), betet (Yellow faced
minor) dan lain-lain. Tentu saja burung yang paling indah bulunya dan menarik adalah
burung cenderawasih (Paradisae) yang banyak diburu dan diperdagangkan terutama
jatannya. Selain burung cenderawasih, burung kakatua jambul kuning, nuri, elang,
bangau, raja udang, numdur, mambruk dan lain-lain
Reptilia. Binatang melata menunjukkan keanekaragaman jenis yang besar,
namun belum banyak yang dapat diinformasikan. Berdasarkan perkiraan terakhir,
jumlah binatang melata terdapat sebanyak 253 reptilia dengan rincian 89 jenis ular,
150 jenis kadal, dua jenis buaya, enam jenis penyu dan enam jenis kura-kura.
Amfibia. Jenis amfibi yang ada, semuanya berupa katak, dan jumlah yang telah
diidentifikasi mencapai 174 jenis tetapi mungkin lebih dari 200 jenis (Petocz, 1987).
Habitat yang basah dan lembab dalam lingkungan hutan hujan tropika Papua
menunjang berkembang-biaknya katak. Beberapa jenis yang dapat hidup sampai pada
ketinggian 3.800 m di atas permukaan laut.
Serangga. Jenis serangga yang dijumpai di Papua diduga sebanyak 50.000
sampai 100.000, namun tidak seorangpun yang mengetahui dengan pasti (Petocz,
1987). Jenis kupu-kupu yang berwarna-warni diduga melebihi 5000 jenis. Papua
terkenal dengan kupu-kupu sayap burungnya yang besar (Ornithopteridae) yang pusat
perkembangannya di pegunungan Arfak dan daerah danau Anggi serta Teluk
Wondama di kepala burung pulau Papua. Kelompok laba-laba yang tercatat lebih dari
800 jenis. Selain itu kelompok serangga yang paling besar adalah kumbang yang
jenisnya mungkin mencapai 30.000 jenis, demikian pula belalang dan lain-lain.
Singkatnya, serangga dan kehidupannya memberi tantangan yang luar biasa bagi para
ilmuan di bidang entomologi untuk melakukan berbagai penelitian.
Ikan. Ikan merupakan sumberdaya hayati yang beraneka ragam disebabkan
karena pulau Papua terletak di pusat dua daerah samudera Indo-Pasifik. Diperkirakan
kemungkinan kepulauan Malesia, Indonesia dan Filipina pernah merupakan pusat
evolusi kemudian tersebar menghuni seluruh daerah Indo-Pasifik (Carcasson, 1977
dalam Petocz,1987). Jenis ikan komersial penting adalah cakalang, selar kuning,
kembung, tenggiri, kakap, dan kerapu. Selain itu tercatat 158 jenis ikan air tawar
(Allen dan Cross, 1982).
Molusca. Molusca meliputi bentuk-bentuk campuran mulai dari binatang koral
laut sampai binatang tingkat rendah yang hidup di tanah, belum banyak diteliti,
meliputi kima, kerang dan siput laut. Binatang tingkat rendah lainya terutama udang
dan kepiting merupakan jenis komersial penting.
Dari gambaran singkat tersebut di atas, baik di Papua maupun Indonesia
secara keseluruhan, tampak bahwa semua keragaman sumberdaya hayati tersebut
merupakan sumber plasma nutfah yang perlu diteliti, terutama bagi: para
taksanomis, para etnobotanis, para ekopharmakologis, para pencinta tanaman
hias, para pencinta ternak dan lain-lain.
III. KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HAYATI
Hutan di Papua dengan kekhasannya yang tersendiri memiliki peluang-
peluang dalam pemanfaatan dan pengembangannya. Walaupun dari segi potensi
kayu komersil yang dikandungnya hanya termasuk berpotensi rendah sampai
sedang, namun sampai saat ini kenyataannya, minat pengusaha hutan untuk
memanen hasil hutan berupa kayu masih menjadi incaran para investor (HPH).
Hal ini membuktikan bahwa selama ini pengusahaan kayu di hutan Papua masih
menguntungkan. Pada beberapa kasus, berhentinya suatu perusahaan HPH lebih
banyak disebabkan oleh adanya benturan kepentingan dengan masyarakat pemilik
hak ulayat di sekitar hutan dan peraturan pengelolaan hutan di Indonesia.
Dengan kondisi potensi dan penyebaran tegakan komersil demikian,
tentunya dalam pencapaian prinsip kelestarian dalam pengelolaan hutan sangat
diperlukan adanya perencanaan yang matang. Pembuatan blok dan petak
tebangan, penyiapan peta yang memadai mencakup keadaan sebaran pohon
komersial layak tebang, topografi, penyiapan jaringan jalan angkut dan sarad,
sehingga dalam proses pengeluaran hasil tebangan dari dalam hutan dapat
dilakukan seefiesien mungkin sekaligus dapat menekan sekecil mungkin
kerusakan yang akan ditimbulkan merupakan kegiatan-kegiatan pokok dalam
proses eksploitasi hutan. Namun dalam kenyataannya perencanaan demikian
belum sepenuhnya dilakukan oleh para pemegang HPH.
Di sisi lain hasil hutan non kayu seperti sagu merupakan salah satu
sumberdaya hayati yang tersebar luas di daerah rawa Papua. Sagu merupakan
salah satu makanan pokok masyarakat Papua, tumbuh di daerah rawa dengan
produksi pati per batang berkisar antara 40 sampai 90 kg. Hutan sagu di Papua
secara alami tersebar di daerah Sentani dan sekitarnya, Sarmi, Waropen, Wasior,
Inanwatan, Bintuni, Mimika sampai Merauke.
Pemanfaatan sagu sebagai salah satu produk hutan non kayu memiliki
peluang yang sangat besar. Hal in tentunya harus dikaji dari aspek potensi sebaran
sagu alam di Papua serta permintaan atau kebutuhan aci sagu dari berbagai negara
terutama Jepang, Korea dan Cina yang melebihi 20.000 ton/tahun .
Pengetahuan tentang potensi hasil hutan non kayu lainnya seperti: kayu
lawang, masoi, rotan dan gaharu juga masih sangat sedikit. Namun demikian
dengan mengamati berbagai sentra produksi di Papua untuk komoditi tersebut
mengindikasikan bahwa potensi hasil hutan non kayu tersebut cukup menjanjikan.
Kegiatan pengambilan hasil hutan ini masih merupakan kegiatan ekstrasi hasil
hutan secara tradisional, sehingga kelestarian produksinya tidak dapat
dipertahankan. Contoh kasus pada industri penyulingan kayu lawang di daerah
Ransiki, Manokwari tidak dapat berlanjut karena semakin sulitnya mendapatkan
bahan baku kulit kayu lawang. Pengambilan kulit kayu lawang dengan melakukan
penebangan tanpa adanya penanaman kembali menyebabkan semakin sedikitnya
tegakan kayu lawang di daerah yang mudah dijangkau.
Kekayaan dalam keragaman hayati dan keindahan alam Papua merupakan
modal yang sangat besar untuk memperoleh keuntungan darinya tanpa
meninggalkan prinsip kelestarian sunberdaya hutan. Banyaknya kawasan lindung
di Papua jelas merupakan strategi yang baik untuk menjaga kelestarian
sumberdaya alam/hutan yang ada. Namun dalam pengelolaannya belum
dilaksanakan secara maksimal sehingga manfaat lain yang seharusnya dirasakan
dengan adanya kawasan lindung tersebut belum dapat dirasakan sepenuhnya.
Peluang ekowisata ke depan juga menjanjikan selama lokasi ekowisata yang
ditawarkan dapat dijangkau dengan mudah. Demikian pula sarana dan prasarana
di lokasi tersebut tersedia dengan memadai.
Erat kaitan dengan pemanfaatan, maka hendaknya diperhatikan prinsip
keberlanjutan dari sumberdaya alam yang dimanfaatkan. Prinsip pemanfaatan
yang berkelanjutan didasarkan pada pandangan bahwa sumberdaya alam
memiliki batas kemampuan untuk menerima dampak dari kegiatan manusia.
Batas ekosistem dan sumberdaya untuk mendukung peri kehidupan yang ada
disebut sebagai Daya Dukung Alami (Soemarwoto, 1992). Daya dukung Alami
Ekosistem Sumberdaya alam memiliki ambang batas tertentu, apabila dalam
proses pembangunan atau kegiatan manusia yang memanfaatkan ekosistem dan
sumberdaya alam melebihi ambang batas daya dukung alami, maka proses
kehidupan tidak dapat berlanjut. Wanggai (2007), mengemukakan bahwa prinsip
dasar dari pembangunan berkelanjutan hendaknya mengakomodasikan aspek-
aspek: lingkungan, keanekaragaman hayati, kepentingan ekonomi serta
rasionalisasi dan kepentingan sosial budaya (komunitas) dalam proses
pengelolaan. Pemahaman tentang konsep pendekatan pengelolaan tersebut secara
diagram digambarkan dalam bagan alir Gambar 2. Wanggai (2005)
mengungkapkan tentang prinsip pendekatan tersebut hendaknya dielaborasi agar
indikator pembangunan berkelanjutan harus jelas. Indikator pembangunan
tersebut meliputi:
1. Keberlanjutan ekologi. Prinsip ini menyaratkan kegiatan pembangunan
harus memelihara keberlanjutan stok (biomass) sehingga volume atau
jumlah yang diambil/dipanen tidak melebihi daya dukung tetapi harus
mampu meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem.
2. Keberlanjutan sosial ekonomi. Prinsip ini mensyaratkan bahwa setiap
upaya pembangunan harus memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan
pelaku maupun pemilik sumberdaya alam baik pada tingkat individu
maupun kelompok.
3. Keberlanjutan komunitas. Prinsip ini mensyaratkan bahwa pembangunan
dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya alam harus memperhatikan
keberlanjutan jenis sumberdaya alam yang dimanfaatkan, agar mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata dan berkeadilan.
4. Keberlanjutan kelembagaan. Prinsip ini mensyaratkan bahwa kelembagaan
atau sektor yang memanfaatkan berbagai sumberdaya alam harus menjamin
terpeliharanya aspek finansial dan administrasi yang sehat. Keberlanjutan
kelembagaan ini merupakan prasyarat bagi ketiga prinsip pembangunan
sektor di atas.
Kriteria Pemanfaatan Berkelanjutan. Kriteria yang dijadikan sebagai ukuran
Pemanfaatan Sumberdaya alam Berkelanjutan di berbagai tempat dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Integritas Ekologi. Kebijakan dan usaha-usaha berbagai aktivitas
pembangunan di wilayah atau lokasi tertentu hendaknya mampu
mempertahankan sistem penyangga kehidupan, melestarikan keanekaragaman
hayati dan meyakinkan bahwa pemanfaatan potensi sumberdaya alam baik di
darat maupun dalam perairan harus sesuai dan dapat menjamin tingkat
produktivitas ekosistem secara berlanjut.
2. Berkeadilan. Usaha-usaha pemanfaatan sumberdaya alam di manapun harus
dilakukan dengan upaya memperjuangkan kesamaan kesempatan dan
pengakuan untuk mendapatkan kebutuhan dasar di antara individu, keluarga,
kelompok sosial, kelompok adat, gender, generasi dan komponen ekosistem.
3. Integritas Budaya. Membantu mengangkat, menumbuhkan dan melestarikan
kembali kearifan tradisional masyarakat setempat dalam kaitannya dengan
pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan ekosistem baik di darat maupun di
perairan seperti yang diekpresikan dalam upacara adat, seni dan upacara ritual.
4. Membangun Kapasitas Masyarakat. Kebijakan dan Usaha-Usaha
pembangunan di Tanah Papua atau di mana pun di Indonesia harus mampu
mendorong kemampuan lokal untuk berpartisipasi dalam keseluruhan proses
melalui pola kemitraan yang saling menguntungkan, sehingga kriteria lain
seperti pemenuhan kebutuhan dasar, pemerataan, integritas ekologi dan
integritas budaya dapat terwujud.
5. Keterpaduan, Keseimbangan dan Keselarasan. Kebijakan dan Usaha-usaha
Pembangunan harus dirumuskan secara terrencana untuk mencapai
keterpaduan, keseimbangan dan keselarasan yang besar antar faktor-faktor
kunci seperti antara ekonomi dan kelestarian lingkungan, antara ekonomi dan
sosial, antara sosial dan ekonomi, bahkan antara ekonomi, sosial, lingkungan
dan teknologi yang diadopsi dalam pembangunan.
Kebijakan
Pengelolaan
Lingkungan Sumberdaya
Hayati
Ekonomi Sosial
Kualitas
Tanah, Air
dan Udara
Keaneka-
ragaman
Hayati
Peranserta
Masyarakat
Setempat
Keseimba-
ngan Eko-
sistem
Proses
Produksi
kayu
olahan
Program2
Konservasi
Tanah dan
Air
----------------
AMDAL Ke-
giatan2
Kehutanan
Keanekara-
gaman:
--------------
Ekosistem
--------------
Spesies
------------
Genetik
Gangguan
dan stress
------------
Pemulihan
-------------
Pertumbuh
-an dan
biomas
Persaing-
an pasar
-----------
Manfaat
bagi
rakyat
-----------
Devisa
Hak Ulayat
--------------
Tatanan
Budaya
Masyarakat
--------------
Hutan
Rakyat dll.
Gambar 2. Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya Hayati
PUSTAKA
Allen, G. A. and N. J. Cross. 1982. Rainbowfishes of Australia and Papua New
Guinea. T.H.F. Publications, New Yersey.
Beehler, B.M.; T.K. Pratt dan D.A. Zimmerman. 1986. Birds of New Guinea.
Princenton University Press. Princenton.
Conservation International. 1999. Lokakarya Penentuan Prioritas Konservasi
Keanekaragaman Hayati Irian Jaya. C.I, Jayapura.
Dohar, A. G. and Dessy Anggraeni. 2006. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam
di Kepulauan Raja Ampat. Conservation International Indonesia.
Jayapura.
Marshall, A. J and B. M. Beehler. The Ecology of Papua. Vol I dan II. Periplus
Editions (HK) Ltd. Hong Kong.
Miller, A. 1978. Orchids of Papua New Guinea. ANU Press, Canberra.
Petocz, R.G. 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan di Irian Jaya. Strategi
Pemanfaatan Sumberdaya Alam Secara Rasional. PT. Temprint, Jakarta.
Petocz, R.G. 1994. Mamalia Darat Irian Jaya. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Soemarwoto, O. 1992. Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wanggai, F. 2005. Konsep Dasar Pembangunan Berkelanjutan. Makalah
Disampaikan Pada Lokakarya Pembangunan Berkelanjutan di Provinsi
Papua. Bapedalda Provinsi Papua, Jayapura.
Wanggai, F. 2007. Perencanaan Hutan. Seri I Pengelolaan Hutan Berkelanjutan.
Universitas Negeri Papua. Manokwari.
Whitmore, T.C. 1981. Wallaces Line and Plate Tectonic. Clarendon Press, Oxford.
Womersly, J. S. 1978. Handbook of The Flora of Papua New Guinea. Vol. I.
Melbourne University Press. Melbourne.
Van Balgooy, M.M. J. 1971. Plant Geography of The Pacific. Groen En Zoon,
Leiden.

Вам также может понравиться