Вы находитесь на странице: 1из 7

Akselerasi Komoditas Kimia Jelang AEC 2015

Masyarakat Ekonomi ASEAN atau


lebih dikenal dengan Asean
Economic Community (AEC)
diwartakan sebagai sebagai model
integrasi ekonomi dalam satu
kawasan ASEAN. Semenjak
diputuskannya AEC 2015 melalui
konferensi ASEAN di Bali pada tahun
2003 lalu, integrasi ditujukan
sebagai modal awal untuk
memperkuat pasar tunggal sembari
menanti kawasan ekonomi eropa
tahun 2020. Dalam pelaksanaan AEC, negara-negara anggota harus memegang
teguh prinsip pasar terbuka (open market), berorientasi ke luar (outward looking),
dan ekonomi yang digerakkan oleh pasar (market drive economy) sesuai dengan
ketentuan multilateral. Artinya, mulai 1 Januari 2016 kelak aliran perdagangan,
jasa, investasi, modal, dan pekerja akan siap berlalu lintas dalam kawasan dengan
jumlah penduduk 600 juta jiwa ini.
Liberalisasi perdagangan akan berimplikasi pada semakin ketatnya persaingan
dalam perebutan peluang pasar antar negara, khususnya pada perindustrian.
Dalam analisis ekonomi oleh lembaga Support for Economic Analysis Development
in Indonesia (SEADI), tahun 2011 ekspor Indonesia ke ASEAN+6 mencapai 66% total
ekspor. Walaupun mayoritas ekspor didominasi dengan bahan mentah, kondisi
perdagangan ini berhasil menghindarkan Indonesia dari krisis Eropa tahun 2008
silam. Lebih dari itu, AEC dapat dijadikan kesempatan bagi Indonesia untuk
menunjukkan kemampuan dalam merespon tekanan ekonomi dunia.

Sumber : Support for Economic Analysis Development in Indonesia (SEADI), 2012
66%
10%
8%
16%
ASEAN + 6 (Australia,
China, Korsel, Jepang,
Selandia Baru, India)
EU27
Amerika Serikat
Lain-lain
Berdasarkan data yang yang dilansir World Economic Forum (WEF) dalam The
Global Competitiveness Report 2013-2014, Indonesia menempati peringkat 38
dari 148 negara, sedangkan pada 2012-2013 Indonesia menempati posisi 50.
Meskipun naik 12 peringkat dari tahun sebelumnya, jika dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN, Indonesia masih menempati peringkat ke-5. Empat negara
ASEAN lainnya memiliki peringkat di atas Indonesia yaitu Singapura (urutan 2),
Malaysia (24), Brunei Darussalam (26), dan Thailand (37). Enam negara lainnya
yang berada di bawah Indonesia ditempati Filipina (urutan 59), Vietnam (70), Laos
(81), Kamboja (88), dan Myanmar (139). Tercatat hingga saat ini Indonesia mengisi
hampir 45% (250 juta jiwa) kursi penduduk ASEAN sehingga berkah (land of
opportunities) atau musibah (loss of opportunities) menjadi pilihan yang harus
ditentukan sebelum industri kimia domestik tergerus dalam persaingan 1 tahun
mendatang.
Dalam industri kimia dikenal suatu istilah yang akrab disebut komoditas.
Menurut Komisi Perdagangan Internasional tahun 2003, komoditas adalah barang
yang diproduksi dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan pasar global.
Umumnya, barang komoditas memiliki tingkat spesifikasi yang seragam sehingga
persaingan antar komoditas sejenis menjadi ketat. Dengan demikian, harga dan
nilai tambah dari suatu komoditas akan dikontrol oleh permintaan dan pasokan
suatu kawasan. Mengulik kembali pada sejarah pada tahun pada awal abad ke-19,
revolusi industri pernah bergulir dengan kencang untuk menghasilkan berbagai
komoditas penunjang kebutuhan pada masa itu. Namun, pada awal abad ke-20
terjadi pergeseran tren industri, dimana faktor kapasitas dan varian kebutuhan
yang beragam menuntut pelaku industri kimia untuk menghasilkan berbagai
macam produk. Alhasil semenjak di awal tahun 2000, sebagian industri kimia
bertransformasi menjadi industri bahan turunan (derivative chemicals) dengan
permintaan yang semakin meningkat tiap tahunnya. Industri yang menghasilkan
komoditas kimia murni hanya dapat bertahan jika kapasitasnya jauh melampaui
rival sejenisnya atau dengan kata lain monopoli pasar. Masa globalisasi yang serba
terkoneksi sekarang ini menjadikan industri kimia multiproduk dan bernilai tambah
(value added product) terhitung lebih berprospek dibandingkan konsep lama abad
ke-19.
Konsultan
Produk
Hilir
Komoditas
Mentah
1975
Konsultan
Produk
Hilir
Komodita
s Mentah
2000
(Gambar Peluang Kerja yang Dicari oleh Lulusan Teknik Kimiampada tahun 1975
dan 2000 di Inggris dan A.S.)
Sumber : Cussler dan Moggridge, 2001
Sejalan dengan fenomena globalisasi tersebut, kekhawatiran akan tibanya masa
AEC 2015 telah berusaha diantisipasi oleh Kementerian Perindustrian Nasional
dengan mencanangkan berbagai program hilirisasi industri dari berbagai
komoditas unggulan. Program hilirisasi dimaksudkan untuk menyelamatkan
komoditas ekspor yang rentan terpuruk jika harga pasar jatuh. Hilirisasi komoditas
juga diharapkan dapat menyeimbangkan defisit perdagangan Indonesia yang
terbesar sepanjang sejarah pada 2013 silam selain juga untuk membuka peluang
usaha dan lapangan kerja. Hingga saat ini, terdapat beberapa komoditas unggulan
yang akan menjadi tulang punggung berkembangnya pasar industri Indonesia
dalam AEC 2015. Program yang telah dipetakan dalam strategi ekonomi nasional
ini didasari oleh produktivitasnya yang relatif lebih tinggi dibandingkan negara
ASEAN lainnya. Percepatan industri kimia Indonesia diterjemahkan dalam sebuah
strategi ekonomi hilirisasi industri berbasis agro (pertanian), migas, dan mineral.
Kecocokan tanah dan
tingginya produktivitas
untuk menghasilkan
minyak mentah sawit
(crude palm oil/ CPO)
telah menghantarkan
Indonesia sebagai
penghasil CPO terbesar di
dunia. Hal ini yang
menjadikan kelapa sawit
sebagai salah satu komoditas unggulan pada program hilirisasi agro industri.
Surutnya pertentangan akan komoditas kelapa sawit sebagai bentuk deforestasi
hutan sejak satu dekade yang lalu telah membuat bisnis sawit menjadi peluang
yang menggiurkan bagi para investor saat ini. Dengan total lahan CPO yang
tersebar di sepanjang nusantara sejumlah 13,5 juta hektar, dapat dikonversi kelapa
sawit menjadi 26 juta ton pada tahun 2012 lalu. Walaupun demikian, dalam pohon
industri kelapa sawit masih terdapat banyak peluang industri yang berpotensi
untuk meningkatkan rasio keuntungan selain daripada produksi CPO. Sebut saja
komoditas bahan jadi yang masih diimpor Indonesia dari Malaysia seperti minyak
goreng sebanyak 35 ribu ton dalam periode Januari-Juni 2013 lalu. Padahal dari
segi produktivitasnya, kelapa sawit Indonesia melampaui produksi kelapa sawit
Malaysia yang notabene berada di puncak kedua penghasil CPO dunia.
Keniscayaan untuk hilirisasi industri sawit semakin dipertegas dengan Peraturan
Presiden No.5 Tahun 2006 akan berkembangnya biodiesel dari CPO dalam negeri
untuk mensubstitusi 5% kebutuhan bahan bakar diesel di nusantara. Dua contoh
produk turunan tersebut belum termasuk produk-produk potensial lainnya seperti
deterjen, pelumas, farmasi, bahan oleokimia, dan oleofood. Oleh sebabnya, kluster
industri hilir kelapa sawit telah disiapkan pemerintah dalam Peraturan Presiden
No.28 Tahun 2008, khususnya di tiga provinsi potensial yaitu Riau, Sumatera Utara,
dan Kalimantan Timur. Selain kelapa sawit, agro industri karet, kakao, dan gula
juga harus diamankan posisinya di masa yang akan datang. Karet dan kakao punya
peluang yang bagus mengingat masing-masing menempati produksi kedua dan
ketiga terbesar di dunia. Industri gula sesuai program revitalisasi akan ditingkatkan
kapasitasnya dengan pembaharuan teknologi pabrik dan perluasan lahan
penanaman tebu hingga 400 ribu hektar. Swasembada gula pada tahun 2014 yang
mencapai angka 5,7 juta ton harus dipercepat agar komoditas nasional ini tidak
berubah menjadi barang impor Indonesia pada AEC 2015. Level kegentingan
hilirisasi industri berada pada kategori tinggi untuk komoditas agro yang selama
ini jumlah ekspornya mayoritas dalam bentuk mentahan.
Agro industri Indonesia dapat
berkembang dengan pesat sejalan
dengan berkembangnya industri
penunjangnya yaitu pupuk. Untuk
mendukung berhasilnya hilirisasi
industri agro sesuai dengan rencana
Kementrian Perindustrian, perlu
ditekankan bahwa komoditas pupuk
memainkan peranan penting dalam
menggenjot kapasitas dan kualitas
produksi pupuk nasional yang hampir
mencapai 20 juta ton (Urea, NPK, dan organik) pada tahun 2012 lalu. Kekuatan inti
penghasil pupuk nasional ditampuk oleh BUMN PT Pupuk Indonesia (Persero) yang
mengkoordinir aktivitas produksi dari sekian tujuh anak perusahaan pupuk di
Indonesia. PT Pupuk Indonesia (Persero) merupakan produsen pupuk terbesar di
Asia Tenggara dengan total aset pada tahun 2011 sebesar Rp. 39,31 triliun. Hingga
saat ini, PT Pupuk Indonesia (Persero) dan tujuh anak perusahaannya
mengoperasikan 14 pabrik urea dan 13 pabrik amoniak di lokasi yang tersebar di
Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Umumnya beberapa pabrik tersebut sudah
terbilang uzur karena telah beroperasi hampir enam dekade semenjak PT Pupuk
Indonesia (Persero) dibentuk. Kontradiksi antara kebutuhan pasokan pupuk yang
meningkat serta menurunnya performa pabrik mengharuskan program revitalisasi
industri pupuk dilakukan pada lima pabrik yang membutuhkan penanganan
khusus. Revitalisasi
ditargetkan mampu
meningkatkan kapasitas
produksi dengan pendirian
dan integrasi pabrik-pabrik
baru. Untuk beberapa
pabrik, pembaharuan
teknologi pabrik yang sudah berdiri (existing) dilakukan untuk meremajakan pabrik
yang umurnya sudah terlalu tua dari segi produksi dan efisiensi energi. Sejalan
dengan pemutakhiran teknologi pabrik pupuk, industri petrokimia yang
berhubungan juga turut diekspansi dengan pengembangan kawasan industri
petrokimia Teluk Bintuni, Papua. Kawasan industri ini dicanangkan akan
memproduksi ammonia, urea, metanol, dan polipropilen dengan nilai investasi
mencapai US$ 2 Miliar. Hilirisasi industri petrokimia dalam negeri harus diamankan
bersamaan dengan revitalisasi karena produk-produknya merupakan bahan baku
bagi industri strategis seperti plastik, tekstil, pestisida, dan lainnya. Satu hal yang
perlu dijadikan penentu suksesnya pengembangan industri petrokimia adalah
pasokan bahan baku, terutama gas alam. Koordinasi dan rancangan pabrik
petrokimia harus diawali dengan studi kelayakan yang akurat, sebagai contoh ialah
pendirian pabrik regasifikasi tepat di atas kawasan pabrik Liquified Natural Gas
(LNG) Arun (Aceh) untuk menyuplai gas alam daerah Sumatera pada Oktober 2014
kelak.
Selain industri agro dan
petrokimia, industri mineral
Indonesia juga dijadikan
sektor unggulan yang dapat
mengiringi AEC 2015.
Terlepas dari adanya
panggung perdebatan terkait
UU Minerba, Indonesia
menurut Badan Pusat
Statistik tahun 2012 telah
memiliki sejumlah
peningkatan ekspor yang
cukup signifikan dalam sektor mineral. Sebagai gambaran, dalam kurun tahun
2008-2011, ekspor bauksit meningkat dari 8 juta ton menjadi 39 juta ton, nikel dari
4 juta ton menjadi 34 juta ton, dan bijih besi dari 1,5 juta ton menjadi 12 juta ton.
Selama ini, dengan peningkatan ekspor yang mencapai 500-800% dalam kurun 5
tahun terakhir tidak hanya melemahkan inovasi teknologi sektor mineral, namun
juga meninggalkan masalah sosial dan isu lingkungan yang mengkhawatirkan. Hal
ini perlu dijadikan sorotan penting mengingat mineral ialah sumber daya alam
yang tidak dapat diperbaharui (non renewable). Melalui hilirisasi industri yang
diamanatkan dalam UU No.4 tahun 2009, diharapkan komoditas bahan jadi yang
diekspor dapat memberikan kontribusi finansial yang besar terhadap nilai tambah
produk akhir. Hilirisasi yang dilakukan dapat berupa pengembangan industri
pengolahan maupun industri pemurnian (smelter). Berbagai kebijakan yang
disusun oleh pemerintah sebaiknya menjadi undangan baik bagi perusahaan
tambang di Indonesia untuk menggeluti industri hilir. Pembukaan peluang investasi
skala besar pada tahun 2012-2013 sebesar US$ 17,5 Miliar pada komoditas besi
dan baja menjadi sinyal positif bagi hilirisasi mineral Indonesia. Pengambilalihan PT
Inalum di penghujung tahun 2013 juga memantapkan pengolahan bauksit dalam
negeri agar tidak hanya diekspor dalam bentuk bahan mentah.
Semakin dekatnya waktu yang tersisa sebelum permulaan AEC diinisiasi menuntut
persiapan harus dilakukan sejak dini. Adanya jarak pemisah antara kebutuhan
(needs) dan sumber daya (resources) perlu dijembatani dengan percepatan
pengembangan teknologi yang memadai. Perlu dijadikan pertimbangan bahwa
pergerakan industri kimia sangat bergantung bukan hanya terkait dukungan dana
selama ini, namun juga memerlukan insinyur teknik kimia sebagai motor
penggerak utama dalam rekayasa teknologi. Bentangan luas nusantara juga
mengisyaratkan sinergisasi kebijakan pasar di Indonesia untuk mendukung potensi
komoditas yang berbeda-beda antar daerah. Pembangungan infrastruktur
pendukung seperti pasokan energi yang tersebar serta kemudahan akses
penjualan produk juga harus dijadikan faktor utama dalam keberhasilan
transformasi industri kimia. Peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan akan
berjalan kurang optimal apabila hanya dilakoni dari pelaku bisnis yang terlibat
langsung dengan industri terkait. Kesadaran akan era globalisasi dalam iklim
persaingan mengundang para akademisi dan profesional untuk mengisi wadah
kontribusi dalam AEC 2015 kelak. Muara keilmuan rekayasa yang dituju oleh
perguruan tinggi sebaiknya merupakan turunan langsung dari visi industri kimia
Indonesia di masa depan. Bentuk kesiapan modern dari tiga simpul utama ABG
(Academic-Business-Government) dalam industri Indonesia bukan hanya akan
memperluas pasar saing industri kimia, namun juga melahirkan keinginan untuk
meningkatkan kapabilitas sarjana rekayasa. Mahasiswa teknik kimia sebagai calon
pemain baru dalam industri kimia dihadapkan pada titik adrenalin yang sama pada
2015 kelak. Semangat akselerasi industri kimia Indonesia harus dapat
tersampaikan hingga tatanan terbawah selagi ajang untuk unjuk kemampuan
masih terbuka lebar.

Oleh Lugas Raka Adrianto






Referensi :
Anonim. 2013. Indonesia dan Perkebunan Kelapa Sawit dalam Isu
Lingkungan Global. Tim Penulis Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia
Kementrian Negara Riset dan Teknologi. 2006. Buku Putih Energi Indonesia
2005-2025
Cussler, E.L.; Moggridge, G.D. 2001. Chemical Product Design. United
Kingdom : Cambridge University Press
SEADI. 2013. Impact of ASEAN Capital Market Integration on Indonesias
Capital Marketand Economy
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Kemenperin. 2012. Bahan
Presentasi (Revitalisasi Industri Pupuk, revitalisasi industri gula,
Pengembangan klaster industri petrokimia, dan pengembangan klaster
indusri hilir kelapa sawit)
Klaus Schwab. 2013. Global Competitiveness Report 2013-2014. World
Economy Forum
http://pupuk-indonesia.com/id/
http://www.kemenperin.go.id/
http://www.bumn.go.id/
http://www.bps.go.id/
http://www.usitc.gov/publications/332/pub3590.pdf
http://pertambangan.kaltimprov.go.id/

Вам также может понравиться