Вы находитесь на странице: 1из 9

Lemahnya Penanganan ABK di Indonesia

Nico Nugraha Hadinata 121110040


Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang mengalami kemunduran fisik
dan/atau mental. Mereka memiliki hambatan berkomunikasi, bersosisalisasi, dan
kesulitan berpikir. Mereka butuh perhatian dan perlindungan ekstra. Mereka tidak untuk
dihindari dan disingkirkan. ABK dengan manusia normal pada umumnya mempunyai
kedudukan yang setara. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Akan tetapi,
ABK tidak mempunyai kemampuan untuk memperjuangkan hal tersebut. Itulah salah
satu penyebab sehingga ABK kurang mendapatkan perhatian dan menjadi semakin
terkucilkan. Tidak hanya itu, faktor eksternal seperti keterbatasan dana, keterbatasan
jumlah terapis, dan mindset orang tua juga menjadi faktor penghambat. Dukungan dari
semua pihak diharapkan untuk mempercepat proses penyembuhan mereka dan
meningkatkan penanganan ABK di Indonesia.
Pendahuluan
Menurut Undang-Undang Nomer 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat,
Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan / atau mental,
yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari (a) penyandang cacat fisik; (b)
penyandang cacat mental; dan (c) penyandang cacat fisik dan mental. Dalam hal ini,
penyandang cacat akan lebih difokuskan pada penyandang cacat mental yang
selanjutnya akan dijelaskan dengan sebutan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Dengan bahasa yang lebih sederhana, anak berkebutuhan khusus adalah anak
yang mengalami kelainan fisik, psikomotor, dan/atau afektif yang menyebabkan
perkembangan otak yang lambat dan kesulitan berkomunikasi dengan lingkungan di
sekitarnya. Anak berkebutuhan khusus biasanya mulai dapat diidentifikasi saat berusia 3
tahun.
Menurut Udayana, anak berkebutuhan khusus umumnya mengalami hambatan
dalam berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya, berkomunikasi, dan berpikir. ABK
mengalami kesulitan dalam bermain dengan teman-teman sebayanya, kurang dapat
bersosialisasi dengan lingkungan, dan kurang fokus. Dalam hal kesulitan berkomunikasi,
ABK yang diidap sejak kecil pasti akan terlambat bicara, berbicara pun tidak terlihat ada
maksud yang jelas. Kejadian yang mungkin terjadi saat ABK mengalami kelambatan
berpikir adalah terlalu fokus pada suatu benda sehingga tidak dapat dipisahkan dan
terpaku pada kegiatan yang tidak berguna misalnya keliling taman berkali-kali atau diam
di tempat selama seharian penuh.
Tidak semua anak berkebutuhan khusus mengalami kemunduran mental
dan/atau fisik. Beberapa ABK malah memiliki tingkat kepintaran di atas rata-rata dan
menjadi seorang yang jenius dari teman-teman yang seusia dengannya. ABK mempunyai
beragam karakteristik yang perlu penanganan yang berbeda.
Selama ini, sebagian besar dari kita pasti ada yang belum pernah bertatap muka
secara langsung dengan ABK. Menurut Anda, mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah
karena jumlahnya yang sedikit? Ataukah Anda merasa risih untuk mau mendekat dan
bergaul dengan ABK?
Dengan segala kelemahan yang ada, selama ABK masih berstatus sebagai warga
Negara Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia, mereka masih mempunyai
kedudukan yang sama dengan manusia normal pada umumnya. Mereka mempunyai
hak dan kewajiban yang sama dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Hak itu wajib
mereka dapatkan dan kewajiban wajib untuk dilaksanakan. Tidak dapat dipungkiri,
perbedaan yang mencolok antara Anak Berkebutuhan Khusus dan manusia lain pada
umumnya hanya terletak pada kelainan yang disandangnya sehingga mereka
membutuhkan perhatian ekstra yang berbeda.
Maka, ada 2 pertanyaan yang muncul dalam pemikiran saya. Yang pertama,
apakah benar hak dan kewajiban mereka sama? Kedua, sejauh mana tindakan
penanganan untuk ABK di Indonesia?
Manusia memang makhluk yang egois. Manusia normal hanya memikirkan apakah
ABK dapat merasakan apa yang kami rasakan. ABK susah untuk diajak berkomunikasi,
mereka susah untuk diajari, kami lelah untuk bergaul dengannya, mereka berbeda
dengan manusia normal. Mindset itulah yang perlu diubah. Di jaman yang modern ini,
orang yang bijaksana adalah orang yang memikirkan apakah manusia normal dapat
merasakan apa yang ABK rasakan.
Hal ini disebabkan oleh mindset orang yang sudah terdoktrin. ABK adalah anak
yang harus dihindari, anak yang tidak boleh didekati, dan anak yang tidak berguna.
Mindset tersebut perlu diubah. Mengubah mindset seseorang tidak semudah seperti
membalikkan telapak tangan karena mindset tersebut sudah melekat dalam pikiran
masing-masing individu. Pemikiran yang benar adalah memberikan dukungan dan
perhatian khusus kepada ABK yang berada di sekitar kita. Dengan cara apa pemikiran itu
diubah?
Seperti disebutkan di atas, setiap orang berhak untuk memperoleh hak dan
berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban, termasuk ABK. Dalam Undang-Undang
Nomer 4 Tahun 1997, secara singkat dijelaskan bahwa ABK mempunyai beberapa hak
dasar, yaitu hak menerima pendidikan, hak memperoleh pekerjaan, hak memperoleh
kesamaan perlakuan, akses yang baik untuk mobilitas, hak mendapatkan rehabilitasi,
bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial, hak untuk mengembangkan
diri melalui bakat dan minat.
Bahasan
ABK memiliki kedudukan yang sama dengan manusia normal. Hak mereka sama,
kewajibannya juga sama, walau implementasi nilai-nilai hak dan kewajiban tidak selalu
sama. Dimana letak ketidaksamaannya? Ketidaksamaannya terletak pada orang yang
mempunyai proporsi hak dan kewajiban yang tidak seimbang. Banyak orang yang
menerima hak yang lebih banyak daripada yang seharusnya ia dapat, sementara itu
banyak orang yang melakukan kewajiban lebih banyak tanpa mendapatkan hak yang
layak. ABK yang mengalami gangguan mental tentu tidak dapat mengucapkan
permintaan agar haknya dipenuhi. Hal ini menyebabkan, kelompok ABK menjadi
kelompok minoritas yang tersingkirkan.
Contoh nyatanya adalah hak untuk mendapatkan kasih sayang. Semua orang
memang berhak mendapatkan hak itu, akan tetapi hak yang diterima anak
berkebutuhan khusus dan anak normal pasti berbeda. Ada yang memberikan kasih
sayang dalam bentuk materi, misalnya uang, mainan, perhiasan, dan kendaraan, ada
pula orang yang memberikan kasih sayang dengan benutuk perhatian, menemani
ngobrol, dan lain sebagainya. Pemberian hak ini tentu berbeda, padahal kasih sayang
tidak dapat diukur dengan materi.
Banyak orang yang tidak memperhatikan dan mengabaikan hak dasar yang berhak
dimiliki anak berkebutuhan khusus. Manusia memang tidak lepas dari salah dan dosa,
mereka dengan egoisnya merenggut hak milik ABK. Manusia tidak berusaha mengerti
bahwa masih banyak yang lebih membutuhkan bantuan dari kita.
Gangguan yang diidap oleh ABK bukanlah gangguan permanen. Dengan
melakukan terapi/penanganan yang tepat, penyembuhan ABK dapat berlangsung lebih
cepat. Akan tetapi, proses penanganan masyarakat terhadap ABK dapat dibilang sangat
lambat. Di satu sisi lain, kelompok ABK tidak dapat menuntut apapun untuk
mempercepat penanganan terhadap ABK. Di sisi lain, kelemahan penanganan ABK diikat
oleh banyak hal. Akibatnya, penanganan terhadap ABK tidak dapat berjalan dengan
efektif dan optimal.
Pemberian layanan terapi bagi ABK memang penting, tetapi banyak persoalan-
persoalan yang mengakar yang menjadi susah untuk dihapuskan. Persoalan inilah yang
tidak terlihat tetapi menjadi perhatian utama untuk diselesaikan Lemahnya penanganan
terhadap anak berkebutuhan khusus di Indonesia yang menyebabkan lambatnya proses
terapi/penyembuhan disebabkan oleh beberapa hal. Mulai dari segi politik, sosial,
ekonomi, budaya, hingga pendidikan.
Pertama, jumlah terapis di Indonesia yang sangat kurang. Dibandingkan dengan
negara lain, pertumbuhan jumlah ABK di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah
terapis yang ada. Terbukti, satu terapis harus memberikan pengajaran untuk banyak
ABK, sehingga pengajarannya menjadi kurang maksimal. Hal yang lebih memprihatinkan,
ada yang tidak memiliki tenaga terapis di daerah tersebut. Orang tua tidak bisa berbuat
apa-apa sehingga memberikan layanan pendidikan kepada ABK sebisanya. Secara
umum, tidak dibutuhkan keahlian yang khusus dalam menjadi terapis. Akan tetapi,
hanya sedikit masyarakat yang mempunyai pemikiran untuk dapat membantu memberi
layanan pendidikan kepada ABK.
Kedua, kondisi finansial dari keluarga yang memiliki ABK. Memang, ada beberapa
sekolah/orang yang memberikan pendidikan gratis, tetapi jumlahnya sangat terbatas.
Beberapa sekolah non-formal pun berusaha untuk memberikan pendidikan khusus bagi
ABK. Bagi keluarga yang mampu, biaya yang dikeluarkan mungkin tidak menjadi
masalah. Akan tetapi, ABK juga ada yang berasal dari keluarga yang tidak mampu.
Mencari uang untuk memberi makan saja sulit, apalagi melakukan terapi bagi anaknya
yang menjadi ABK. Orang tua pasti akan mengutamakan kebutuhan primer terlebih
dahulu. Ada juga sekolah non-profit yang menerima banyak ABK atas dasar sosial, akan
tetapi sekolah ini masih akan diragukan keberlangsungannya di masa mendatang.
Maksudnya, jika donatur berhenti untuk mendonasikan uangnya atau biaya yang
dikeluarkan orang tua ABK masih kurang mencukupi. Hal ini disebabkan karena biaya
yang digunakan untuk membiayai ABK selama melakukan terapi tidak murah.
Ketiga, kurang jelasnya jenis terapi yang tepat untuk ABK. Terapis tidak
mengetahui jenis terapi apa yang tepat yang seharusnya diberikan untuk ABK. Hal ini
disebabkan kurangnya penyuluhan dari pemerintah atau kelompok terkait untuk
menjelaskan layanan yang tepat untuk meningkatkan percepatan. Kebutuhan terapi
untuk ABK yang hiperaktif berbeda dengan ABK yang pasif. Layanan terapi bagi ABK yang
susah belajar berbeda dengan ABK yang susah untuk mengendalikan emosi. Karena
kurangnya terapis, terapis yang ada hanya bisa memberikan layanan yang sama untuk
setiap ABK yang memiliki banyak karakteristik. Memang, terapis yang dibutuhkan tidak
hanya sekedar hanya bisa mengajar, akan tetapi juga memiliki keahlian yang sesuai
dengan kondisi dari anak tersebut. Akan tetapi, karena jumlahnya yang memang
terbatas, kondisi seperti ini masih tetap diterima asalkan pendidikan untuk ABK tidak
terbengkalai.
Keempat, kurang meratanya tempat pendidikan bagi ABK di Indonesia. Para ahli
terapis yang dapat membantu penyembuhan ABK hanya terpusat di Jakarta atau kota
besar lainnya. Sementara itu, masih banyak ABK yang tidak tertangani di kota-kota kecil.
ABK tidak dilarang untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin, mereka berhak
mengenyam pendidikan sesuai dengan kemampuan ABK itu sendiri. Mereka berhak
menempuh pendidikan di jenjang SMP walaupun umur mereka bukan lagi saatnya SMP.
Akan tetapi, jika tempat pendidikan yang cocok untuk ABK memang tidak disediakan, hal
ini yang menjadikan kelemahan dalam penanganan ABK.
Kelima, pengaruh kebijakan orang tua. Orang tua yang tahu anaknya mengalami
gejala ABK, tidak mau membawanya untuk terapi untuk berbagai hal. Mereka
merawatnya sendiri tanpa ada layanan terapi yang jelas yang dapat menyembuhkan itu.
Misalnya, tidak mau ketahuan tetangga, malu mempunyai ABK, mengganggap bisa
menyelesaikan sendiri, dan kerepotan mengurus anak. Orang tua ABK sendiri yang
memang melarang ABK untuk melakukan terapi. Tidak semua gangguan fisik dan/atau
mental yang diidap oleh ABK didapatnya dari lahir. Pengaruh negatif orang tua yang
mendidik anaknya dengan keras dan penyiksaan menyebabkan kemunduran
perkembangan otak dan mempengaruhi kondisi psikologis ABK itu sendiri. Kurangnya
perhatian dari orang tua dan keluarga terdekat menyebabkan lemahnya penanganan
untuk ABK.
Sebuah contoh, seorang ABK dibiarkan begitu saja oleh orang tuanya. Orang
tuanya begitu ketakutan jika ketahuan memiliki ABK. Oleh sebab itu, mereka
menyembunyikan anaknya di dalam rumah dan tidak mengizinkan ABK untuk bergaul
dengan teman-teman sebayanya. Kalaupun begitu, mereka pasti tidak dihiraukan di
masyarakat sekitarnya. Teman-teman sebayanya juga akan malas untuk mengajak
bermain karena rintangan yang dia pikul. Tetangga mungkin juga akan melarang
anaknya untuk bergaul dengan ABK. Itulah sebabnya ABK menjadi orang yang pemurung
dan penutup. Lambatnya penanganan ini tidak hanya berasal dari eksternal, tetapi juga
berasal dari lingkungan terdekat, yaitu keluarga.
Keenam, walaupun sudah banyak sekolah umum yang menerima ABK. Tetapi
pelaksanaannya masih belum terintegrasi dengan baik. Pembelajarannya masih sama
dengan pengajaran di luar sekolah. Pendidikan seharusnya dilaksanakan dengan tidak
membeda-bedakan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sehingga tidak ada
siswa normal yang berani untuk mengejek dan meremehkan ABK. Itulah alasan mengapa
orang tua ABK masih ragu untuk memasukkan anaknya sekolah inklusi.
Ketujuh, kurangnya akses yang memadai untuk anak berkebutuhan khusus.
Apakah karena ABK tidak dapat melakukan apa-apa, sehingga mereka tidak
mendapatkan kehidupan yang layak? Tentu tidak. ABK juga berhak untuk menikmati
fasilitas umum yang disediakan pemerintah, misalnya halte, rumah sakit, dan tempat
umumnya tanpa ada diskriminasi. Tidak adanya akses yang baik untuk ABK
menyebabkan ABK tidak bisa mengembangkan kemampuannya dan mempercepat
penyembuhannya.
Simpulan
Dari berbagai macam penyebab kelemahan penanganan untuk anak
berkebutuhan khusus di Indonesia, maka ada beberapa solusi konkret yang dapat
diimplementasikan.
Peningkatan promosi sekolah atau lembaga yang menerima ABK dan melakukan
pelatihan kepada terapis dari ahlinya adalah solusi yang cukup mudah untuk
diwujudkan. Barangkali sudah banyak orang yang tergerak hatinya untuk segera
membantu melayani pendidikan bagi ABK tetapi tidak mengetahui dimana lokasinya.
Pembuatan website atau jejaring sosial dapat membantu memperkenalkan tempat ke
masyarakat luas.
Pelatihan kepada terapis ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah terapis di
Indonesia. Mengajak teman-teman terdekat untuk mau bergabung menjadi terapis
sementara secara sukarela juga salah satu solusi yang cukup membantu. Pelatihan ini
juga dapat memperluas lokasi penyebaran terapis agar dapat penyebaran tingkat
pendidikan dapat lebih merata.
Selain itu, mendirikan sekolah non profit dengan dukungan finansial yang kuat
dari para donatur loyal agar masyarakat tidak mampu masih dapat menyekolahkan
anaknya yang berkebutuhan khusus tanpa harus mengeluarkan banyak biaya. Jika dirasa
pemerintah tidak cukup membantu, mengadaptasi cara terapi ABK dari luar negeri dan
menerapkannya pada anak-anak dalam negeri merupakan cara yang lebih mudah. Tidak
semua terapi dapat digunakan tetapi dapat diadaptasikan pada anak berkebutuhan
khusus dengan bijaksana.
Pendekatan personal kepada orang tua ABK adalah cara yang paling pas untuk
mengubah mindset yang salah. Anak berkebutuhan khusus bukanlah hal yang perlu
dicemaskan, ditakuti, bahkan dihindari. Anak berkebutuhan khusus membutuhkan
dukungan dari orang terdekat untuk dapat mempercepat proses penyembuhan itu
sendiri.
Dengan berbagai hal yang menyebabkan kelemahan penanganan ABK, maka
selanjutnya adalah semangat berjuang dari ABK untuk dapat sembuh lebih cepat dengan
pelaksanaan terapi. ABK harus menyadari bahwa kedudukannya setara dengan manusia
normal. Hak-haknya tidak lagi ditindas dan orang lain tidak lagi diremehkan. ABK akan
mempunyai hak yang benar-benar setara dengan manusia normal dan bebas untuk
mengekspresikan kemauannya dengan berbuat hal positif.
ABK tidak selamanya terpuruk dalam gangguan mental. Beberapa diantaranya
berhasil keluar dari masalah-masalah tersebut dan telah memiliki kedudukan hak dan
kewajiban yang setara. Mereka berhasil menamatkan pendidikan di universitas, dapat
melakukan pekerjaan apa yang manusia normal lakukan, meniti karir dan menjadi orang
yang sukses. Dengan dukungan dari semua pihak, maka lambatnya penanganan untuk
ABK di Indonesia akan segera diatasi.


DAFTAR PUSTAKA
Saerodji, Fahmi. 2008. Hari HAM dan Aksesibilitas Penyandang Cacat, (Online),
(http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=917,
diakses tanggal 12 Desember 2012).
Udayana, Pande. 2011. Hakekat Anak Berkebutuhan Khusus, (Online),
(http://vantheyologi.wordpress.com/2011/02/25/hakekat-anak-berkebutuhan-
khusus/, diakses tanggal 12 Desember 2012).
Wibisono, Ribath. 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997
Tentang Penyandang Cacat, (Online),
(http://ribathwibisono.blogspot.com/2012/02/uu.html, diakses tanggal 12
Desember 2012).

Вам также может понравиться