Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang mengalami kemunduran fisik dan/atau mental. Mereka memiliki hambatan berkomunikasi, bersosisalisasi, dan kesulitan berpikir. Mereka butuh perhatian dan perlindungan ekstra. Mereka tidak untuk dihindari dan disingkirkan. ABK dengan manusia normal pada umumnya mempunyai kedudukan yang setara. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Akan tetapi, ABK tidak mempunyai kemampuan untuk memperjuangkan hal tersebut. Itulah salah satu penyebab sehingga ABK kurang mendapatkan perhatian dan menjadi semakin terkucilkan. Tidak hanya itu, faktor eksternal seperti keterbatasan dana, keterbatasan jumlah terapis, dan mindset orang tua juga menjadi faktor penghambat. Dukungan dari semua pihak diharapkan untuk mempercepat proses penyembuhan mereka dan meningkatkan penanganan ABK di Indonesia. Pendahuluan Menurut Undang-Undang Nomer 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat, Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan / atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari (a) penyandang cacat fisik; (b) penyandang cacat mental; dan (c) penyandang cacat fisik dan mental. Dalam hal ini, penyandang cacat akan lebih difokuskan pada penyandang cacat mental yang selanjutnya akan dijelaskan dengan sebutan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Dengan bahasa yang lebih sederhana, anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami kelainan fisik, psikomotor, dan/atau afektif yang menyebabkan perkembangan otak yang lambat dan kesulitan berkomunikasi dengan lingkungan di sekitarnya. Anak berkebutuhan khusus biasanya mulai dapat diidentifikasi saat berusia 3 tahun. Menurut Udayana, anak berkebutuhan khusus umumnya mengalami hambatan dalam berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya, berkomunikasi, dan berpikir. ABK mengalami kesulitan dalam bermain dengan teman-teman sebayanya, kurang dapat bersosialisasi dengan lingkungan, dan kurang fokus. Dalam hal kesulitan berkomunikasi, ABK yang diidap sejak kecil pasti akan terlambat bicara, berbicara pun tidak terlihat ada maksud yang jelas. Kejadian yang mungkin terjadi saat ABK mengalami kelambatan berpikir adalah terlalu fokus pada suatu benda sehingga tidak dapat dipisahkan dan terpaku pada kegiatan yang tidak berguna misalnya keliling taman berkali-kali atau diam di tempat selama seharian penuh. Tidak semua anak berkebutuhan khusus mengalami kemunduran mental dan/atau fisik. Beberapa ABK malah memiliki tingkat kepintaran di atas rata-rata dan menjadi seorang yang jenius dari teman-teman yang seusia dengannya. ABK mempunyai beragam karakteristik yang perlu penanganan yang berbeda. Selama ini, sebagian besar dari kita pasti ada yang belum pernah bertatap muka secara langsung dengan ABK. Menurut Anda, mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah karena jumlahnya yang sedikit? Ataukah Anda merasa risih untuk mau mendekat dan bergaul dengan ABK? Dengan segala kelemahan yang ada, selama ABK masih berstatus sebagai warga Negara Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia, mereka masih mempunyai kedudukan yang sama dengan manusia normal pada umumnya. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Hak itu wajib mereka dapatkan dan kewajiban wajib untuk dilaksanakan. Tidak dapat dipungkiri, perbedaan yang mencolok antara Anak Berkebutuhan Khusus dan manusia lain pada umumnya hanya terletak pada kelainan yang disandangnya sehingga mereka membutuhkan perhatian ekstra yang berbeda. Maka, ada 2 pertanyaan yang muncul dalam pemikiran saya. Yang pertama, apakah benar hak dan kewajiban mereka sama? Kedua, sejauh mana tindakan penanganan untuk ABK di Indonesia? Manusia memang makhluk yang egois. Manusia normal hanya memikirkan apakah ABK dapat merasakan apa yang kami rasakan. ABK susah untuk diajak berkomunikasi, mereka susah untuk diajari, kami lelah untuk bergaul dengannya, mereka berbeda dengan manusia normal. Mindset itulah yang perlu diubah. Di jaman yang modern ini, orang yang bijaksana adalah orang yang memikirkan apakah manusia normal dapat merasakan apa yang ABK rasakan. Hal ini disebabkan oleh mindset orang yang sudah terdoktrin. ABK adalah anak yang harus dihindari, anak yang tidak boleh didekati, dan anak yang tidak berguna. Mindset tersebut perlu diubah. Mengubah mindset seseorang tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan karena mindset tersebut sudah melekat dalam pikiran masing-masing individu. Pemikiran yang benar adalah memberikan dukungan dan perhatian khusus kepada ABK yang berada di sekitar kita. Dengan cara apa pemikiran itu diubah? Seperti disebutkan di atas, setiap orang berhak untuk memperoleh hak dan berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban, termasuk ABK. Dalam Undang-Undang Nomer 4 Tahun 1997, secara singkat dijelaskan bahwa ABK mempunyai beberapa hak dasar, yaitu hak menerima pendidikan, hak memperoleh pekerjaan, hak memperoleh kesamaan perlakuan, akses yang baik untuk mobilitas, hak mendapatkan rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial, hak untuk mengembangkan diri melalui bakat dan minat. Bahasan ABK memiliki kedudukan yang sama dengan manusia normal. Hak mereka sama, kewajibannya juga sama, walau implementasi nilai-nilai hak dan kewajiban tidak selalu sama. Dimana letak ketidaksamaannya? Ketidaksamaannya terletak pada orang yang mempunyai proporsi hak dan kewajiban yang tidak seimbang. Banyak orang yang menerima hak yang lebih banyak daripada yang seharusnya ia dapat, sementara itu banyak orang yang melakukan kewajiban lebih banyak tanpa mendapatkan hak yang layak. ABK yang mengalami gangguan mental tentu tidak dapat mengucapkan permintaan agar haknya dipenuhi. Hal ini menyebabkan, kelompok ABK menjadi kelompok minoritas yang tersingkirkan. Contoh nyatanya adalah hak untuk mendapatkan kasih sayang. Semua orang memang berhak mendapatkan hak itu, akan tetapi hak yang diterima anak berkebutuhan khusus dan anak normal pasti berbeda. Ada yang memberikan kasih sayang dalam bentuk materi, misalnya uang, mainan, perhiasan, dan kendaraan, ada pula orang yang memberikan kasih sayang dengan benutuk perhatian, menemani ngobrol, dan lain sebagainya. Pemberian hak ini tentu berbeda, padahal kasih sayang tidak dapat diukur dengan materi. Banyak orang yang tidak memperhatikan dan mengabaikan hak dasar yang berhak dimiliki anak berkebutuhan khusus. Manusia memang tidak lepas dari salah dan dosa, mereka dengan egoisnya merenggut hak milik ABK. Manusia tidak berusaha mengerti bahwa masih banyak yang lebih membutuhkan bantuan dari kita. Gangguan yang diidap oleh ABK bukanlah gangguan permanen. Dengan melakukan terapi/penanganan yang tepat, penyembuhan ABK dapat berlangsung lebih cepat. Akan tetapi, proses penanganan masyarakat terhadap ABK dapat dibilang sangat lambat. Di satu sisi lain, kelompok ABK tidak dapat menuntut apapun untuk mempercepat penanganan terhadap ABK. Di sisi lain, kelemahan penanganan ABK diikat oleh banyak hal. Akibatnya, penanganan terhadap ABK tidak dapat berjalan dengan efektif dan optimal. Pemberian layanan terapi bagi ABK memang penting, tetapi banyak persoalan- persoalan yang mengakar yang menjadi susah untuk dihapuskan. Persoalan inilah yang tidak terlihat tetapi menjadi perhatian utama untuk diselesaikan Lemahnya penanganan terhadap anak berkebutuhan khusus di Indonesia yang menyebabkan lambatnya proses terapi/penyembuhan disebabkan oleh beberapa hal. Mulai dari segi politik, sosial, ekonomi, budaya, hingga pendidikan. Pertama, jumlah terapis di Indonesia yang sangat kurang. Dibandingkan dengan negara lain, pertumbuhan jumlah ABK di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah terapis yang ada. Terbukti, satu terapis harus memberikan pengajaran untuk banyak ABK, sehingga pengajarannya menjadi kurang maksimal. Hal yang lebih memprihatinkan, ada yang tidak memiliki tenaga terapis di daerah tersebut. Orang tua tidak bisa berbuat apa-apa sehingga memberikan layanan pendidikan kepada ABK sebisanya. Secara umum, tidak dibutuhkan keahlian yang khusus dalam menjadi terapis. Akan tetapi, hanya sedikit masyarakat yang mempunyai pemikiran untuk dapat membantu memberi layanan pendidikan kepada ABK. Kedua, kondisi finansial dari keluarga yang memiliki ABK. Memang, ada beberapa sekolah/orang yang memberikan pendidikan gratis, tetapi jumlahnya sangat terbatas. Beberapa sekolah non-formal pun berusaha untuk memberikan pendidikan khusus bagi ABK. Bagi keluarga yang mampu, biaya yang dikeluarkan mungkin tidak menjadi masalah. Akan tetapi, ABK juga ada yang berasal dari keluarga yang tidak mampu. Mencari uang untuk memberi makan saja sulit, apalagi melakukan terapi bagi anaknya yang menjadi ABK. Orang tua pasti akan mengutamakan kebutuhan primer terlebih dahulu. Ada juga sekolah non-profit yang menerima banyak ABK atas dasar sosial, akan tetapi sekolah ini masih akan diragukan keberlangsungannya di masa mendatang. Maksudnya, jika donatur berhenti untuk mendonasikan uangnya atau biaya yang dikeluarkan orang tua ABK masih kurang mencukupi. Hal ini disebabkan karena biaya yang digunakan untuk membiayai ABK selama melakukan terapi tidak murah. Ketiga, kurang jelasnya jenis terapi yang tepat untuk ABK. Terapis tidak mengetahui jenis terapi apa yang tepat yang seharusnya diberikan untuk ABK. Hal ini disebabkan kurangnya penyuluhan dari pemerintah atau kelompok terkait untuk menjelaskan layanan yang tepat untuk meningkatkan percepatan. Kebutuhan terapi untuk ABK yang hiperaktif berbeda dengan ABK yang pasif. Layanan terapi bagi ABK yang susah belajar berbeda dengan ABK yang susah untuk mengendalikan emosi. Karena kurangnya terapis, terapis yang ada hanya bisa memberikan layanan yang sama untuk setiap ABK yang memiliki banyak karakteristik. Memang, terapis yang dibutuhkan tidak hanya sekedar hanya bisa mengajar, akan tetapi juga memiliki keahlian yang sesuai dengan kondisi dari anak tersebut. Akan tetapi, karena jumlahnya yang memang terbatas, kondisi seperti ini masih tetap diterima asalkan pendidikan untuk ABK tidak terbengkalai. Keempat, kurang meratanya tempat pendidikan bagi ABK di Indonesia. Para ahli terapis yang dapat membantu penyembuhan ABK hanya terpusat di Jakarta atau kota besar lainnya. Sementara itu, masih banyak ABK yang tidak tertangani di kota-kota kecil. ABK tidak dilarang untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin, mereka berhak mengenyam pendidikan sesuai dengan kemampuan ABK itu sendiri. Mereka berhak menempuh pendidikan di jenjang SMP walaupun umur mereka bukan lagi saatnya SMP. Akan tetapi, jika tempat pendidikan yang cocok untuk ABK memang tidak disediakan, hal ini yang menjadikan kelemahan dalam penanganan ABK. Kelima, pengaruh kebijakan orang tua. Orang tua yang tahu anaknya mengalami gejala ABK, tidak mau membawanya untuk terapi untuk berbagai hal. Mereka merawatnya sendiri tanpa ada layanan terapi yang jelas yang dapat menyembuhkan itu. Misalnya, tidak mau ketahuan tetangga, malu mempunyai ABK, mengganggap bisa menyelesaikan sendiri, dan kerepotan mengurus anak. Orang tua ABK sendiri yang memang melarang ABK untuk melakukan terapi. Tidak semua gangguan fisik dan/atau mental yang diidap oleh ABK didapatnya dari lahir. Pengaruh negatif orang tua yang mendidik anaknya dengan keras dan penyiksaan menyebabkan kemunduran perkembangan otak dan mempengaruhi kondisi psikologis ABK itu sendiri. Kurangnya perhatian dari orang tua dan keluarga terdekat menyebabkan lemahnya penanganan untuk ABK. Sebuah contoh, seorang ABK dibiarkan begitu saja oleh orang tuanya. Orang tuanya begitu ketakutan jika ketahuan memiliki ABK. Oleh sebab itu, mereka menyembunyikan anaknya di dalam rumah dan tidak mengizinkan ABK untuk bergaul dengan teman-teman sebayanya. Kalaupun begitu, mereka pasti tidak dihiraukan di masyarakat sekitarnya. Teman-teman sebayanya juga akan malas untuk mengajak bermain karena rintangan yang dia pikul. Tetangga mungkin juga akan melarang anaknya untuk bergaul dengan ABK. Itulah sebabnya ABK menjadi orang yang pemurung dan penutup. Lambatnya penanganan ini tidak hanya berasal dari eksternal, tetapi juga berasal dari lingkungan terdekat, yaitu keluarga. Keenam, walaupun sudah banyak sekolah umum yang menerima ABK. Tetapi pelaksanaannya masih belum terintegrasi dengan baik. Pembelajarannya masih sama dengan pengajaran di luar sekolah. Pendidikan seharusnya dilaksanakan dengan tidak membeda-bedakan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sehingga tidak ada siswa normal yang berani untuk mengejek dan meremehkan ABK. Itulah alasan mengapa orang tua ABK masih ragu untuk memasukkan anaknya sekolah inklusi. Ketujuh, kurangnya akses yang memadai untuk anak berkebutuhan khusus. Apakah karena ABK tidak dapat melakukan apa-apa, sehingga mereka tidak mendapatkan kehidupan yang layak? Tentu tidak. ABK juga berhak untuk menikmati fasilitas umum yang disediakan pemerintah, misalnya halte, rumah sakit, dan tempat umumnya tanpa ada diskriminasi. Tidak adanya akses yang baik untuk ABK menyebabkan ABK tidak bisa mengembangkan kemampuannya dan mempercepat penyembuhannya. Simpulan Dari berbagai macam penyebab kelemahan penanganan untuk anak berkebutuhan khusus di Indonesia, maka ada beberapa solusi konkret yang dapat diimplementasikan. Peningkatan promosi sekolah atau lembaga yang menerima ABK dan melakukan pelatihan kepada terapis dari ahlinya adalah solusi yang cukup mudah untuk diwujudkan. Barangkali sudah banyak orang yang tergerak hatinya untuk segera membantu melayani pendidikan bagi ABK tetapi tidak mengetahui dimana lokasinya. Pembuatan website atau jejaring sosial dapat membantu memperkenalkan tempat ke masyarakat luas. Pelatihan kepada terapis ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah terapis di Indonesia. Mengajak teman-teman terdekat untuk mau bergabung menjadi terapis sementara secara sukarela juga salah satu solusi yang cukup membantu. Pelatihan ini juga dapat memperluas lokasi penyebaran terapis agar dapat penyebaran tingkat pendidikan dapat lebih merata. Selain itu, mendirikan sekolah non profit dengan dukungan finansial yang kuat dari para donatur loyal agar masyarakat tidak mampu masih dapat menyekolahkan anaknya yang berkebutuhan khusus tanpa harus mengeluarkan banyak biaya. Jika dirasa pemerintah tidak cukup membantu, mengadaptasi cara terapi ABK dari luar negeri dan menerapkannya pada anak-anak dalam negeri merupakan cara yang lebih mudah. Tidak semua terapi dapat digunakan tetapi dapat diadaptasikan pada anak berkebutuhan khusus dengan bijaksana. Pendekatan personal kepada orang tua ABK adalah cara yang paling pas untuk mengubah mindset yang salah. Anak berkebutuhan khusus bukanlah hal yang perlu dicemaskan, ditakuti, bahkan dihindari. Anak berkebutuhan khusus membutuhkan dukungan dari orang terdekat untuk dapat mempercepat proses penyembuhan itu sendiri. Dengan berbagai hal yang menyebabkan kelemahan penanganan ABK, maka selanjutnya adalah semangat berjuang dari ABK untuk dapat sembuh lebih cepat dengan pelaksanaan terapi. ABK harus menyadari bahwa kedudukannya setara dengan manusia normal. Hak-haknya tidak lagi ditindas dan orang lain tidak lagi diremehkan. ABK akan mempunyai hak yang benar-benar setara dengan manusia normal dan bebas untuk mengekspresikan kemauannya dengan berbuat hal positif. ABK tidak selamanya terpuruk dalam gangguan mental. Beberapa diantaranya berhasil keluar dari masalah-masalah tersebut dan telah memiliki kedudukan hak dan kewajiban yang setara. Mereka berhasil menamatkan pendidikan di universitas, dapat melakukan pekerjaan apa yang manusia normal lakukan, meniti karir dan menjadi orang yang sukses. Dengan dukungan dari semua pihak, maka lambatnya penanganan untuk ABK di Indonesia akan segera diatasi.
DAFTAR PUSTAKA Saerodji, Fahmi. 2008. Hari HAM dan Aksesibilitas Penyandang Cacat, (Online), (http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=917, diakses tanggal 12 Desember 2012). Udayana, Pande. 2011. Hakekat Anak Berkebutuhan Khusus, (Online), (http://vantheyologi.wordpress.com/2011/02/25/hakekat-anak-berkebutuhan- khusus/, diakses tanggal 12 Desember 2012). Wibisono, Ribath. 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, (Online), (http://ribathwibisono.blogspot.com/2012/02/uu.html, diakses tanggal 12 Desember 2012).