P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e K a m p u n g B e n a | 1
Kabupaten Ngada adalah sebuah kabupaten di bagian
tengah pulau Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, dengan ibukota kabupaten adalah kota Bajawa. Luas wilayah 3.037,9 km dengan jumlah penduduk 250.000 jiwa. Kabupaten Ngada memiliki tiga suku besar, yaitu suku Nagekeo, yang sebagian besar tinggal di kabupaten Nagekeo; suku Bajawa; dan suku Riung. Masing-masing suku ini mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri yang masih dipertahankan sampai saat ini, seperti: rumah adat, ritual adat, dialek atau logat bahasa daerah (dialek) yang berbeda satu sama lainnya, tarian, pakaian adat dan lain-lain. Dalam budaya Ngada, rumah adat (sao) memiliki peranan penting dalam pola kemasyarakatan. Seorang Ngada (ata dua) adalah bagian dari suatu rumah adat, yang berarti anggota klan (ana woe). Sao diberi nama leluhur pendirinya, dan nama tersebut ditulis pada jenang pintu (pene) rumah diam (one). Siapa yang berhak menghuni sao diatur oleh kepala suku, dan para mosalaki. Keberadaan sao selain ada kaitannya dengan woe, juga selalu berhubungan dengan berdirinya bhaga dan ngadhu di loka masing-masing. Oleh sebab itu, di halaman tengah (kisanata) kampung-kampung adat di Ngada, dijumpai bangunan ngadhu dan bhaga selain bangunan batu megalith ture dan nabe, serta makam-makam dari orang-orang yang berjasa untuk kampung. Keunikan arsitektur kampung-kampung adat di wilayah budaya Ngada, serta tangkasnya tarian Caci yang selalu dipentaskan pada perayaan syukur panen, dan pesta tradisional tahun baru Reba menurut penanggalan adat suku-suku yang ada di Ngada, maka pantas kiranya daerah Ngada dimasukkan ke dalam World Heritage Tentative List UNESCO, tanggal 19 Oktober 1995 dalam kategori kebudayaan. Sistem sosial masyarakat dibangun dari jalinan hubungan kekerabatan dalam pengertian orang Ngada. Hubungan kekerabatan yang baik diungkapkan dalam bahasa Ngada sebagai tuka mogo, tuka ghi, ura mogo, yang artinya keseluruhan orang-orang yang mempunyai seorang ibu asal bersama, atau bapa asal bersama, atau ibu-bapa asal yang sama. Tuka mogo - rahim ibu yang sama, tekanannya pada hubungan erat didalam keluarga dekat. Sedang, tuka ghi - menyatakan hubungan keluarga yang lebih jauh. Ura mogo - menyatakan hubungan keluarga yang lebih jauh lagi, sampai ke masa kehidupan yang lalu, jaman leluhur mereka. Dengan demikian, pengertian kekerabatan dipahami lebih luas dari sekedar hubungan Ine ema nee ana, ibu bapa dan anak, tetapi juga termasuk hubungan ebu nusi, yang artinya relasi spiritual dengan kakek, nenek moyang, leluhurnya, dan seterusnya. Hubungan sosial masyarakat juga mengenal tingkat atau lapis sosial. Gae adalah lapis sosial tertinggi, gae meze adalah klas tertinggi dalam kelompok masyarakat. Kemudian gae kisa, sebagai lapis sosial tengah, dan are au adalah lapis sosial rendah, atau rakyat biasa. Secara budaya, sistem kekerabatan tersebut terekspresi secara baik dalam peri kehidupan budaya, seni tari, seni ukiran, seni patung, seni tenun, seni puisi, seni suara, seni membangun, dan lain-lain. Ungkapan budaya itu dilihat sebagai simbol-simbol, baik dalam gerak, gambar, patung, serta tatanan kata dan bahasa. Kekerabatan dalam arti yang lebih transendental, yaitu hubungan orang-orang adat dengan leluhurnya, diungkap secara budaya dalam setiap pesta adat, atau
P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e K a m p u n g B e n a | 2 ritual adat. Mereka selalu mendahulukan kurban persembahan untuk disajikan kepada leluhur terlebih dahulu, dengan menaruhnya di bhaga, dan di ngadhu. Harapan yang dimohonkan kepada leluhur ialah agar para leluhur turut menyertai setiap rencana besar dalam keluarga, klan, suku, dan lain-lain, termasuk dalam hal rencana membangun rumah adat. Rumah adat (sao) di wilayah permukiman tradisional Ngada menjadi sangat penting fungsi dan perannya dalam membangun kesatuan hidup bersama. Fungsi rumah adat sebagai rumah tinggal untuk keluarga-keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan, dengan segala aktifitas kehidupan sehari-hari maupun aktifitas ritual adat. Rumah adat terdiri dari dua bagian utama, yakni rumah diam, disebut one dalam bahasa Ngada, dan bangunan serambi, atau beranda, disebut teda dalam bahasa Ngada. Rumah diam berupa satu kamar multi guna, yang dipakai untuk tidur, memasak, makan, dan juga tempat mengadakan perundingan mengenai masalah-masalah keluarga yang penting. Lantai kamar berbentuk bujur sangkar, dengan ukuran satu depa, atau satu bentang tangan nenek moyang, atau kurang lebih 3.50 - 4.00 meter. Dinding kamar dibuat dengan tujuh lembar papan kayu fai yang disusun berjajar rapat, dan pada sisi depan dinding rumah diam itu terdapat pintu sorong (pere pene) ditengah-tengah. Pada tiga dinding lainnya, khususnya pada sisi tengah adalah lembar papan yang paling lebar (ube kedu). Jajaran papan kayu dengan ukuran kelebarannya yang berlain-lainan, dan disusun berjajar pada rumah diam, ada yang memiliki jarak antara papan susunan pertama dan kedua adalah 5 - 6 cm untuk tujuan ventilasi udara, dan disebut sebagai mata pape. Ada tiga mata pape yang menjadi target untuk diteliti, sehubungan dengan maraknya pemekaran kamar di samping kiri dan kanan rumah diam di wilayah Ngada. Meskipun tidak dibatasi secara tegas oleh dinding, tirai transparan, tetapi pada prinsipnya diatur pendaerahan pada kamar multi guna itu. Daerah di pojok sebelah kanan pintu rumah diam bagian dalam dibuat tempat perapian, disebut juga dapur tradisional (tolo lapu) langsung diatas lantai anyaman bambu (naja). Tempat perapian berupa peninggian lantai dengan ukuran kurang lebih satu setengah meter persegi, dibatasi oleh papan kayu (ube lapu), diisi tanah dan tiga batu (watu lika). Diatasnya terdapat rak penyimpanan kayu bakar (kae) dengan konstruksi menggantung di konstruksi atap. Pada masa lalu, rak penyimpanan kayu bakar tersebut didukung oleh tiang kayu (duke kae) pada sudutnya, sehingga kae bertambah kokoh untuk ditempati perkakas dapur yang lainnya. Dihadapan tempat perapian arah jam dua belas ada daerah perempuan (papa bhoko ana fai), dimana pada daerah tersebut diletakkan tempat perhiasan (pedho loda), dan menjadi tempat terhormat, tempat tidur perempuan. Diantara papa bhoko dan lapu lika terdapat ruang antara yang disebut dhiri, tempat duduk ibu bekerja di dapur. Kemudian, daerah di arah jam Sembilan, disebut sebagai papa lewa, yang merupakan tempat laki-laki (ana saki) duduk pada waktu diselenggarakan ritual adat di dalam rumah diam, atau tempat duduk orang-orang dengan tingkat sosial paling rendah. Bagian pojok depan papa lewa, atau di pojokan di sisi sebelah kiri pintu disebut roro, yang artinya tempat menyimpan air. Orang yang terhormat, mosalaki yang paling bersih, kepala suku, atau ketua adat, akan
P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e K a m p u n g B e n a | 3 memiliki keistimewaan tempat duduk, yaitu lokasinya di depan papan kayu utama (ube kedu) di bawah simbol adat mataraga. Mataraga juga berfungsi sebagai tempat perletakan benda-benda adat, benda- benda bertuah, dan alat-alat perang. Keberadaan benda-benda tersebut menyimbolkan kehadiran leluhur, yang sejak awal berdirinya kampung adat bertanggungjawab atas keselamatan warga kampung (isi woe). Kehadiran nenek moyang dan leluhur direpresentasikan sebagai sua dan bhoko yang selalu tergantung di matarga, dan merupakan benda adat yang diletakkan diantara tombak (gala) dan parang/golok (sau), perangkat pelindung kegiatan mencari nafkah, sebagaimana yang ditunjukkan pada gambar perspektif terpotong berikut ini.
Sumber : Susetyarto, 2011
P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e K a m p u n g B e n a | 4 1. Kampung Bena 852'40.45"S 12059'8.18"E Kampung Bena yang terletak di lembah gunung Inerie adalah salah satu perkampungan vernakular di kabupaten Ngada yang masih utuh dan terpelihara dengan baik. Di kampung adat Bena terdapat sembilan suku atau klan (woe) dengan jumlah penduduk 320 jiwa, serta 65 KK. Sembilan klan tersebut adalah Bena, Ago, Ngadha, Kopa, Dizi Kae (Dizi A), Dizi Azi (Dizi B), Deru Kae (Deru A), Deru Azi (Deru B), dan Wato. Arndt (2009) mencatat pada awalnya ada sebelas klan, yang mana terdiri atas sembilan klan yang sudah disebut terdahulu dan dua tambahan klan, yakni: Siga, dan Raba. Klan Siga saat ini bermukim di kampung adat Tololela, lokasinya berada 2 km lebih jauh dan lebih rendah dari kampung adat Bena. Sedangkan, klan Raba hingga disertasi ini ditulis belum diketahui dimana keberadaannya. Keunikan kampung Bena dibandingkan dengan komunitas vernakular lainnya adalah sistem kekerabatan yang dianut, yaitu berdasarkan garis ibu (matrilinear). Sistem kekerabatan itu tercermin pada ruang kampung dan bentuk arsitekturnya. Pada dasarnya pola kampung adat Bena sama dengan permukiman vernakular di wilayah Ngada lainnya, yaitu rumah- rumah yang berderet mengelilingi halaman tengah yang berbentuk segi empat yang disebut kisaloka, atau pada umumnya di wilayah Ngada disebut sebagai kisanata. Kisaloka di kampung adat Bena yang berkontur terbagai dalam sembilan loka, yaitu daerah atau halaman depan kelompok rumah adat, yang dibatasi oleh turap batu, untuk menunjukkan area loka dari klan yang bersangkutan. Ke- sembilan loka tersebut adalah loka Dizi Azi, loka Kopa, loka Ago- Ngadha, loka Bena, loka Deru, loka Wato, loka Dizi Kae, dan loka Seu, yang satu dengan lainnya dibatasi oleh batu (ture), yang disusun alami secara berderet dan/atau bertumpuk. Ture terbesar ada di loka Seu, di bagian depan kampung adat Bena, disebut sebagai ture Bupati. Sembilan loka yang terhimpun didalam kisaloka itu, secara umum terkelompokkan menjadi dua loka besar, yaitu: (1) loka Lau, daerah kampung adat Bena yang letaknya lebih ke bawah, ke arah loka Seu, dan (2) loka Zele, daerah kampung adat Bena yang letaknya lebih ke atas, ke arah Bowoza. Batas antara dua loka tersebut adalah ture kecil di depan rumah ibadat (kapel). Lahan permukiman vernakular Bena, terdiri dari halaman tengah yang dikelilingi oleh rumah-rumah adat, dengan bangunan adat bhaga dan ngadhu yang berdiri di loka masing-masing di halaman tengah itu. Bagian loka yang merupakan halaman depan sao disebut wewa sao, yang merupakan area sirkulasi milik bersama pada bagian samping rumah disebut piro sao, dan yang merupakan bagian belakang rumah disebut logo sao. Kampung adat Bena masih asli ini, lokasi belum pernah pindah tempat sejak berdirinya, kurang lebih 1200 tahun yang lalu. Rumah- rumah adat berdiri di lahan berkontur, dan jika musim hujan rawan longsor tanahnya, sehingga penduduk membuat turap pada kisa loka yang memiliki perbedaan ketinggian tanah cukup signifikan. Misalnya, turap ture bupati di bagian depan kampung adat Bena, yang mempunyai beda ketinggian 4.30 meter dengan loka Dizi Azi.
P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e K a m p u n g B e n a | 5 Demikian pula, ture bena, yang menerus dengan ture ago-ngadha, yang membatasi loka Bena dan loka Ago-Ngadha dengan loka Dizi Azi, memiliki beda ketinggian 2 meter. Pada setiap loka, terdapat watu woe atau watu terelengi, suatu lempengan batu besar berbentuk lingkaran ceper, yang diletakkan diatas susunan tiang batu megalith, dan difungsikan sebagai altar persembahan kurban kepada leluhur. Ture besar itu diyakini sebagai makam leluhur pendiri kampung dari setiap suku. Di kampung adat Bena hanya terdapat enam buah ture, yang terletak di loka Bena, loka Ago- Ngadha (2 buah), loka Kopa, loka Deru, dan loka Dizi. Hal itu menunjukan, bahwa ketiga suku lainnya adalah suku baru yang bergabung di kampung adat Bena. Rumah-rumah adat yang berkelompok menurut suku/klan masing-masing memiliki empat tipologi bentuk, yaitu: (1) rumah adat perempuan (sao saka puu), (2) rumah adat laki-laki (sao saka lobo), (3) rumah adat anak perempuan (sao kaka puu), dan rumah adat anak laki-laki (sao kaka lobo). Secara fisik, ada perbedaan pada denah dan tampak bangunan dalam hal dimensi/ ukuran rumah diam (one), dan ornamen bubungan atapnya (nedhu). Ukuran denah rumah diam yang paling besar ada pada sao puu adalah 16 meter persegi, sedangkan paling kecil ada pada sao lobo, yakni 12.25 meter persegi. Arsitektur vernakular Bena kekhasannya adalah dalam membedakan tipologi rumah sesuai dengan dalam keluarga ini lebih kompleks daripada kampung-kampung adat lain di Ngada, karena sistem kekerabatan matrilinear masih dianut dengan kuat. Dengan sistem yang mengikuti garis perempuan, maka hak menghuni rumah diberikan kepada perempuan, atau keturunan dari garis ibu, bisa anak perempuannya, atau juga saudari perempuannya. Anak laki- laki dari keturunan keluarga mempunyai hak bicara didalam musyawarah keluarga, dan boleh tinggal di rumah itu selama masih lajang, atau boleh menggarap kebun untuk kesejahteraan dirinya. Tetapi, hasil kebun harus dibagi adil dengan anggota keluarga yang memiliki hak menggarap kebun. Sao saka puu ditandai dengan oranamen Anaie, miniatur bhaga, simbol perempuan, pada bubungan atapnya yang berbentuk seperti silinder. Sao saka lobo ditandai dengan oranamen Ata, boneka laki-laki sedang mengangkat tombak dan parang, simbol laki-laki, pada bubungan atapnya yang berbentuk seperti silinder. Sedangkan, rumah-rumah adat yang tidak memakai ornamen diatas bubungan atapnya, disebut sebagai sao kaka lobo, atau sao kaka puu. Selain itu, rumah disebut sebagai rumah adat jika didalam one dipasang mataraga, dan pada mataraga itu terdapat sua dan bhoko warisan nenek moyang pendiri rumah adat, juga termasuk gala dan sau . Bilamana rumah di kampung Bena tidak memiliki sua dan bhoko, maka rumah itu merupakan rumah biasa. Bangunan adat bhaga dan ngadhu berdiri di loka masing- masing suku, dan keberadaanya berhubungan dengan woe, dan menjadi simbol keberadaan suku/klan di kampung adat Bena. Kegiatan dan mata pencaharian komunitas adat di Bena adalah bertani, berkebun, berburu, dan para perempuannya pada siang hari membuat tenun ikat di serambi rumah (teda wewa). Kegiatan menenun hanya dilakukan di siang hari atau di suasana terang langit
P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e K a m p u n g B e n a | 6 yang cukup untuk melakukannya. Itulah mengapa kegiatan menenun biasanya dikerjakan di teda wewa, atau di kolong teda wewa jika rumah adat memiliki lantai panggung yang tinggi. Mereka tidak bekerja di ruang yang kurang penerangan alaminya, semacam di teda one atau one. Hingga penelitian ini selesai dikerjakan dicatat bahwa aliran listrik PLN belum masuk ke Kampung Bena. Jadi, untuk penerangan pada malam hari mereka menggunakan tenaga diesel, atau lampu minyak tanah. Hal inilah yang antara lain menjadi kendala yang harus diantisipasi peneliti bagaimana teknik pengambilan gambar harus dilakukan di ruang one dan teda one, terlebih lagi jika malam hari.
P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e K a m p u n g B e n a | 7
Pola Kampung Bena
P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e K a m p u n g B e n a | 8 2. Kampung Nage 853'9.61"S 121 0'29.44"E
Kisanata dan Nabe, Nage
Kampung Nage memiliki banyak keunikan pada arsitektur vernakularnya. latar budayanya, dan pada konsep yang melandasi arsitektur dan lingkungan binaan yang tercipta.Kampung nage diyakini sebagai sebuah daratan yang muncul di tengah-tengah lembah pegunungan Jerebuu, Flores. Sebagai batasan kemunculan itu adalah sederetan pohon-pohon bambu yang mengelilingi kampung ini. Selain bamboo, kampung Nage menghasilkan tanaman vanili, kemiri, merica, kelapa, kopi, dan alang-alang untuk mengganti atap rumah adat. Kampung ini memiliki jenis bangunan altar batu,
Ngadhu dan Bagha, Nage
yang disebut Nabe, dipakai untuk persembahan korban bagi wujud tertinggi. Kampung Nage mengandalkan sumber air (panas) dari gunung Irenie, atau aliran air pegunungan yang ada di sekitarnya. Sebagaimana dengan keyakinan masyarakat Ngada pada umumnya, masyarakat adat Kampung nage adalah anak dari dua gunung berapi di sekitar lokasi, yakni: Gunung Inerie (ibu Agung) dan Gunung Surulaki (gunung laki-laki). Kampung Nage didiami oleh kurang lebih 42 KK, yang berasal dari dua suku, yakni: Suku Tegu dan Suku Metu. Oleh sebab itu, kisanata dibagi dua loka, dimana
P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e K a m p u n g B e n a | 9 loka yang ada disebelah bawah disebut sebagai Loka Metu, sedangkan loka sebelah atas disebut sebagai Loka Tegu. Jumlah rumah adat ada 42 rumah, 30 diantaranya terletak di wilayah Nage besar, dan dua belas rumah adat lainnya berada di Nage kecil, yakni daerah perluasan yang berada di sebelah barat. Daerah sebelah barat lebih rendah (wewa) daripada daerah sebelah timur, sehingga posisi Ulu ada di wilayah loka Tegu. Dengan demikian, berdasarkan sumbu ritual, maka keluar kampung adalah dari wilayah Tegu ke wilayah Metu, dan sebaliknya masuk kampung diawali dari wilayah Metu ke wilayah Tegu. Pada Kisanata, terdapat bangunan Ngadhu, Bagha, Peo, dan Nabe. Bentuk kisanata yang memanjang, dan adanya dua pasang Ngadhu dan bagha, dua watu peo, dan satu susunan batu nabe, maka kisanata pada waktu pesta adat Reba tetap terasa luas. Perletakan bagha sebagai simbol perempuan selalu menghadap kearah ulunua. Sedangkan, Ngadhu selalu berada di depan bagha, dengan kedua tangan Ngadhu memegang senjata menghadap kearah kearah bagha. Di depan Ngadhu terdapat watu peo, yang berfungsi untuk mengikatkan hewan korban. Bentuk bagha sebenarnya sama dengan bentuk one, rumah inti. Pintu pada bangunan bagha selalu terbuka menandakan perempuan. Sedangkan, bentuk ngadhu, atau madhu, yang artinya makmur, sebenarnya merupakan simbol peringatan terhadap nenek moyang laki-laki. Ngadhu harus kuat, maka di dalam pembangunannya digunakan kayu dari suatu pohon yang memiliki akar tiga cabang, dan pada waktu memasukkan ketiga akar tersebut sebagai bagian pondasi disertai tiga hewan yang dikubur secara hidup-hidup bersamaan dengan penanaman tiang ngadhu. Sedangkan, yang dimaksud dengan Nabe Tegu adalah altar batu yang dimiliki oleh suku Tegu, dan berfungsi untuk memperingati nenek moyang kampung pendiri kampung Nage. Nabe tegu hanya dipakai pada saat upacara Rebha, dan sesunggunya Nabe Tegu adalah sacral karena simbol dari arwah nenek moyang pendiri kampung.
P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e K a m p u n g B e n a | 10
Sumber: Tim Expedisi Arsitektur Hijau, 2004 Pola Kampung Nage
P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e K a m p u n g B e n a | 11 3. Kampung Gurusina 853'45.78"S 12059'27.89"E Kampung adat Gurusina adalah salah satu kampung vernakular di daerah Jere buu dengan kekayaan budaya Ngada yang masih bisa dikembangkan untuk pariwisata. Kelebihan kampung adat Gurusina adalah cukup mudah diakses oleh mobil atau sepeda motor, meskipun dengan kondisi jalan bergelombang, sehingga kampung Gurusina yang lebih dekat dengan ibukota kecamatan Jere buu dan dekat dengan kota Aimere menawarkan alternatif wisata yang lebih pendek waktu tempohnya, dari pada ke kampung Bena yang cukup jauh dan lebih tinggi letaknya. Kunjungan wisata ke Gurusina juga dapat dikombinasikan dengan paket kunjungan ke kampung adat Bena, sebagai dampak yang baik atas ketenaran nama kampung adat Bena bagi turis mancanegara, yang datang ke lembah gunung Inerie mencari lingkungan alam yang indah, udara segar, hawa sejuk - termasuk melihat hutan bambu yang rapi - dan pulang melewati desa Tololela. Meskipun jarak jangkau dan aksesibilitas saat ini mudah, tetapi banyaknya jalan tembus dapat menyebabkan pengunjung pemula tersesat di hutan. Pada musim penghujan, setelah hujan deras turun, embun dapat membuat jalan hampir tidak terlihat, dan karenanya sangat dianjurkan untuk pejalan kaki berpengalaman untuk melakukan eksplorasi ini dengan pemandu lokal. Rumah tradisional Gurusina yang berdiri mengelilingi kisanata, halaman tengah yang luas, yang menampilkan beberapa pasang bhaga dann ngadhu, watu lenggi, dan altar batu leluhur. Desa ini didirikan pada sekitar tahun 1934 oleh orang-orang yang datang dari dataran tinggi. Saat ini, ada sekitar 33 keluarga tinggal di kampung adat Gurusina, warga adat dari tiga klan, yakni: klan Ago ka'e, klan Ago Gasi, dan klan Kabi. Sesuai dengan adat Ngada, marga masing-masing memiliki sendiri sao Pu'u (asli atau rumah 'batang'), sebuah sa'o lobo (bungsu atau rumah 'tip'), seorang ngadhu, dan sebuah bhaga, sebuah kuil leluhur. Dalam penyebutan ini, makna simbolis lebih terasa daripada di kampung lain. Pemakaian kata seorang ngadhu lebih kuat dalam cara pengungkapan personifikasinya seorang penjaga bangunan suci bhaga, simbol perempuan, daripada istilah sebuah ngadhu saja. Ngadhu dalam arsitekturnya memang sebuah bangunan berbentuk payung peneduh, dengan tiang kokoh yang didukung oleh tiga akar yang kuat, dan memiliki jenjang leher dan kepala diatas bentuk atapnya yang bulat dari material bahan ilalang. Filosofi grafisnya adalah gambaran seorang laki-laki kuat yang menjagai kuil, atau bhaga di depannya, yang pintunya selalu terbuka untuk siapa saja yang
P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e K a m p u n g B e n a | 12 datang memerlukan permohonan kepada leluhur. Mata pencaharian penduduk kampung adat Gurusina sebagaimana lahan pekerjaan di kecamatan Jere Buu lainnya adalah tanaman pokok jagung, umbi-umbian, kelapa, dan pisang, serta kopi, cengkeh, kemiri, dan kakao sebagai tanaman yang populer. Tenun ikat merupakan kegiatan sehari-hari penting bagi wanita Gurusina. Seperti di komunitas adat lainnya di seluruh kabupaten Ngada dan bagian lain dari pulau Flores, penduduk kampung adat Gurusina dibagi dalam tiga kasta yang berbeda. Kewenangan kelas penguasa, disebut ga'e, klas social yang diperoleh karena keturunan mereka dari nenek moyang asli kampung adat Gurusina. Rakyat klas tengah disebut dengan ga'e kisa. Sedangkan, klas masyarakat bawah disebut so'o - yang dimanfaatkan untuk menjadi semacam penjaga/pengamanan rumah. Sanksi berat pada masa lalu akan diterapkan pada wanita yang menikah dengan pria dari status klas sosal yang lebih rendah. Sanksi terberat yang diterima adalah perempuan tersebut tidak menerima waris apapun dari leluhurnya, bahkan dibuang dari anggota klan, keluar dari kampung Gurusina. Saat ini, kasta so'o tidak ada lagi, dan batas sosial dari sistem kasta pada umumnya hampir dibubarkan. Hal ini dilakukan setelah mereka menyadari bahwa sistem lapis sosial semacam itu membawa dampak pada semakin berkurangnya orang-orang dari klas sosial gae sebagai pihak yang berhak atas rumah adat. Jika jumlah mereka semakin sedikit, berarti biaya perawatan, pesta adat, rekonstruksi, dan upaya pelestarian kampung adat menjadi semakin besar untuk ditanggung sedikit kelompok gae yang ada.
P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e K a m p u n g B e n a | 13
Pola Kampung Gurusina
P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e K a m p u n g B e n a | 14 4. Kampung Tololela 853'37.57"S 12058'57.58"E
Kampung Tololela adalah salah satu kampung vernakular di sekitar kampung Bena yang ada di daerah Jere buu dengan ketinggian permukaan tanah yang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kampung Bena. Survey menempuh jelajah penelitian meso ke kampung adat Tololela setelah peneliti melakukan perjalanan ke kampung Gurusina. Dari Gurusina, letak kampung Tololela terlihat jauh diatas ketinggian pegunungan, karena letak Gurusina itu sesungguhnya dibawah, dan akan jelas terlihat setelah mencapai ujung kampung Tololela yang berudara bersih itu. Pada waktu menjelajah untuk mencapai kampung ini, peneliti sekaligus melewati uma milik penduduk, yang menanam kayu hoja (laki-laki), dan kayu fai (perempuan), serta banyak hutan bambu, yang menanam bambu jenis betho, guru, piri, dan bentang ladang ilalang, yang sengaja ditanam untuk menyiapkan material pengganti bahan bangunan rumah adat. Gambar tersebut dibawah ini adalah lahan uma, kebun milik klan penyedia material bahan bangunan konstruksi rumah adat di daerah Jere buu. Uma moni merupakan kebun milik Yakobus Titu,Sao Jawa Tena, Woe Ngada.
Keindahan kampung Tololela terdapat pada kebersihannya dan udara segar yang dimilikinya. Kampung yang memiliki warga adat hanya 21 KK ini memiliki 31 rumah adat, yang terkelompok dalam 2 suku (woe) saja. Secara keseluruhan, kampung ini mempunyai jumlah penduduk 94 jiwa, yang terdiri atas 43 orang laki- laki, dan 51 orang perempuan. Kampung Tololela, (tolo artinya tinggi, lela artinya kampung) memiliki kekhasan arsitektur pada ornamen yang dibuat, khususnya seni grafis pada dinding one sebelah luar, di kanan dan kiri pintu (pene). Ornamen ukir (weti) gambar tanduk kerbau dan nama sao pada jenang pintu, dipadu dengan gambar ayam jago hitam yang sedang berkokok diatas, unggas putih yang sedang menegakkan kepala, serta kuda hitam di papan kabapere merupakan contoh kreasi grafis arsitektur yang dilakukan oleh arsitek tradisional (lima padhe) dari kampung adat Tololela.
P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e K a m p u n g B e n a | 15 Bentuk atap sama dengan bentuk atap rumah adat kampung Bena, dimana atap ilalang menerus hingga teda one. Sedangkan atap lenga hanya sampai di teda moe. Bentuk keindahan arsitektur vernakular yang secara detail terpelihara sendiri oleh kesadaran jiwa penduduknya merupakan kekayaan budaya kabupaten Ngada yang masih bisa dikembangkan untuk pariwisata. Kelebihan kampung adat Tololela adalah cukup mudah diakses oleh mobil atau sepeda motor, meskipun dengan kondisi jalan berkelok tajam, terjal, dan berbahaya rawan longsor atas bukit-bukit disebelahnya. Mengingat aksesibilitas kampung Tololela lebih dekat dengan Gurusina, Jere buu, dan kota kecamatan Aimere, maka alternatif perjalanan wisata bisa dibuat lebih pendek dalam waktu tempohnya, dari pada ke kampung Bena lebih dahulu yang cukup jauh dan lebih tinggi letaknya. Kunjungan wisata ke Tololela juga dapat dikombinasikan dengan paket kunjungan ke kampung adat Bena, sebagai dampak yang baik atas ketenaran nama kampung adat Bena bagi turis mancanegara, yang datang ke lembah gunung Inerie mencari lingkungan alam yang indah, udara segar, hawa sejuk - termasuk melihat hutan bambu yang rapi. Meskipun jarak jangkau dan aksesibilitas saat ini mudah, tetapi banyak jalan tembus keluar masuk kebun/hutan yang sangat menarik untuk anak muda melakukan jelajah medan.
P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e K a m p u n g B e n a | 16
Pola Kampung Tololela
P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e K a m p u n g B e n a | 17 DAFTAR PUSTAKA
Kampung Nage, Arsitektur Hijau UNPAR, 2004 Disertasi: Arsitektur Vernakuler Keberlanjutan Budaya di Kampung Bena Flores, Bambang Susetyarto, 2013