Вы находитесь на странице: 1из 9

Kilas Balik Tahun 2009

Berjayanya Korporasi, Terpuruknya Ekologi

Oleh :
Firdaus Cahyadi
Knowlegde Sharing Officer (KSO)
OneWorld, Indonesia

www.satudunia.net Page 1
Lanjutkan Lumpur Lapindo….

Tahun 2009 adalah puncak dari kemenangan PT.


Lapindo Brantas dalam kasus semburan lumpur di
Porong, Sidoarjo.

Pada tahun 2009, kasus lumpur Lapindo akhirnya tak


berlanjut ke peradilan, menyusul diterbitkannya Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Polda
Jatim pada 5 Agustus 2009.

Keputusan Polda Jatim untuk mengeluarkan SP3 itu


sempat mendapat kecaman cukup keras dari Komnas
HAM. “SP3 yang terpaksa dikeluarkan oleh Polda
Jatim itu merupakan preseden buruk bagi penegakan
hukum di Indonesia,” ungkap Komisioner Komnas
HAM Syafrudin Ngulma Simeulue dalam pesan
singkatnya kepada SatuDunia.net (8/8).

Menurut Syafrudin, ada kesan betapa lemahnya negara dihadapan korporasi. “Dengan
kata lain, negara telah gagal melindungi warganya dalam kasus Lapindo ini,” tegasnya.
Anehnya, SP3 itu dimunculkan setelah beredar dokumen rahasia Medco, mitra kerja
Lapindo di Porong, yang menyatakan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo terkait dengan
aktivitas pengeboran, bukan terkait dengan gempa di Yogyakarta.

Keanehan bertambah, ketika SP3 kasus pidana Lapindo justru diterbitkan beberapa bulan
sebelum mantan petinggi Group Bakrie Aburizal Bakrie maju sebagai kandidat Ketua
Umum Partai Politik Golkar. Kini Aburizal Bakrie telah resmi menjadi ketua umum
partai warisan Orde Baru.

Penyesatan Informasi Kasus Lumpur Lapindo

Bila kita mengikuti kasus lumpur Lapindo, maka kita akan menemukan berbagai
kejanggalan yang menyelimuti kasus ini. Berbagai keganjilan itu ditutupi dengan
serangkaian penyesatan informasi yang dilakukan secara sistematis.

Tak heran bila kasus ini sarat dengan penghilangan hak atas informasi publik. Sebelum
pengeboran, saat terjadinya semburan lumpur hingga setelah lumpur menenggelamkan
Porong, masyarakat sering menerima penyesatan informasi.

“Dalam kasus Lapindo, hak publik yang pertama kali hilang adalah hak atas informasi,”
ujar Anggota Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM)
Syafruddin Ngulma Simeulue dalam diskusi offline di kantor SatuDunia, pada 15 April
2009. “Harusnya sebelum pengeboran, masyarakat diiformasikan mengenai kemungkinan
resiko terjadinya kecelakaan pengeboran,” ungkapnya.

www.satudunia.net Page 2
Bahkan, lanjut Syafruddin Ngulma Simeulue,
sampai kini di dalam dokumen tata ruang
Sidoarjo itu tidak dikenal Blok Brantas.
“Tragisnya Imam Utomo, Gubernur Jawa Timur
saat itu pernah menyatakan tidak perlu merubah
tata ruang untuk memberikan ijin pengeboran di
blok Brantas,” katanya, “Padahal dalam setiap
pengeboran itu memiliki resiko tinggi terhadap
terjadinya kecelakaan dan resiko itu tidak
diinformasikan ke masyarakat,”

“Dalam temuan Tim Investigasi Komnas HAM


pun dengan jelas menyebutkan adanya indikasi
kuat dugaan pelanggaran hak atas informasi
public dalam kasus Lapindo,” jelasnya.

Tidak adanya informasi yang akurat mengenai resiko terjadinya kecelakaan industri
pengeboran dalam kasus Lapindo ini juga diperkuat oleh laporan audit Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Dalam laporan auditnya, BPK menyebutkan bahwa berdasarkan hasil
penelahaan dokumen usulan dan evaluasi pemboran diketahui bahwa PT. Lapindo
Brantas maupun evaluasi BP Migas tidak memasukkan aspek risiko kemungkinan
terjadinya mud volcano di wilayah Jawa Timur atau di daerah Sidoarjo.

Setelah terjadinya semburan lumpur panas, Lapindo baru memetakan detail sesar di
permukaan Banjar Panji (BJP)-1 pada bulan Agustus 2006. Interpretasi pemetakan sesar
tersebut menunjukkan adanya pola penyebaran daerah bencana yang sirkuler
mengelilingi titik semburan.

Adanya potensi risiko pemboran akan menembus gunung lumpur dan adanya
sesar/patahan ternyata tidak dimasukkan dalam prognosa pemboran maupun evaluasi
pemboran. Berdasarkan dokumen yang ada, prognosa maupun evaluasi pemboran hanya
memasukkan aspek risiko pemboran dalam bentuk loss, kick, maupun blowout.

Singkat kata, tidak ada informasi yang mencukupi mengenai kondisi geologi yang
beresiko menimbulkan bencana ekologi jika dilakukan pengeboran di wilayah Porong.
Kondisi geologi mengenai adanya potensi bencana justru baru dipetakan dan kemudian
diinformasikan setalah muncul semburan lumpur.

******

www.satudunia.net Page 3
Hilangnya Hak Konsumen atas Informasi Produk Rekayasa Genetik

Siang itu, Fendi, sebut saja begitu, hendak pergi ke Masjid


untuk menunaikan sholat Jum’at. Namun, tiba-tiba sekujur
tubuhnya mengalami gatal-gatal. Badannya tiba-tiba panas,
kepalanya pun pening. Akhirnya, ia mengurungkan niatnya
berangkat ke masjid.

Sebelum kejadian itu ia sempat makan di sebuah resto di


kawasan Jakarta Selatan. Istri dan adiknya meduga bahwa ia
alergi terhadap salah satu jenis makanan yang disantapnya di sebuah resto sebelumnya.

Alergi, mungkin penyakit yang selama ini kita anggap remeh. Namun bila tidak segera
memperoleh penanganan yang tepat penyakit itu bisa juga membahayakan, paling tidak
penyakit itu akan memaksa kita istirahat. Itu artinya, akktivitas kita akan terhambat.

Makanan yang kita makan sehari-hari berpotensi untuk menimbulkan penyakit alergi
tersebut. Terlebih jika yang kita makan adalah produk makanan hasil rekayasa genetika
(transgenik). “Produk pangan yang mengandung bahan transgenic, berpotensi
menimbulkan alergi pada tubuh kita,“ ujar Ilyani S. Andang, Aktivis Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI) dalam sebuah diskusi di kantor SatuDunia, akhir Juli 2009
lalu.

Celakanya, lanjut Ilyani, kita sebagai konsumen di Indonesia tidak mengetahui apakah
produk yang kita makan itu mengandung bahan transgenik atau tidak. “Tidak ada
pelebelan terhadap produk pangan yang mengandung transgenik di Indonesia,” tegasnya.

Dilanggarnya hak konsumen atas informasi itu nampaknya membuat gerah, aktivis YLKI
itu. “Padahal pemerintah telah memiliki instrumen hukum terkait perdaran produk
pangan transgenic,” jelasnya, “Undang Undang (UU) Pangan Nomor 7 tahun 1996 pasal
13 ayat 1 secara jelas mewajibkan pangan rekayasa genetika terlebih dahulu
memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan sebelum diedarkan,”

Selain itu, lanjut Ilyani, Peraturan Pemerintah (PP) tentang Label & Iklan Pangan Tahun
1999 dalam pasal 35 juga mewajibkan produk pangan transgenik memakai label
transgenik. “Penandaan tersebut dapat dilakukan baik dengan kata-kata maupun dengan
logo,” tegasnya.

Tirani Informasi dan Kejayaan Industri Rekayasa Genetik

Persoalan pengabaian hak atas informasi bukan hanya terjadi pada saat produk rekayasa
genetic siap dikonsumsi oleh konsumen. Pengabaian hak itu sudah terjadi pada saat uji
coba produknya.

Vandana Shiva, ahli fisika yang memilih menjadi seorang aktivis lingkungan hidup,
dalam buku Biotechnology and The Environment menuliskan bahwa pada tahun 1986, uji

www.satudunia.net Page 4
vaksin rabies hasil rekayasa genetika pada ternak di
Argentina dilakukan tanpa persetujuan pemerintah dan
rakyat Argentina. Departemen Kesehatan Argentina
menduga para pekerja yang merawat ternak (sapi) yang
telah divaksinasi telah terinfeksi vaksin hidup.

Sementara menurut situs www.crt-online.org, pada


tahun 2000, sebanyak 90 organisasi masyarakat sipil
menggugat Badan Pangan dan Obat Amerika Serikat
karena dinilai menyembunyikan dokumen tentang efek
samping dan kematian yang berkaitan dengan
penggunaan hewan transgenik untuk mengganti organ
dan jaringan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga,


terbitan Balai Pustaka (2005) menuliskan istilah tirani
adalah kekuasaan yang digunakan dengan sewenang-
wenang.

Jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia itu maka dapat dikatakan bahwa
industri produk transgenik dapat dikatagorikan telah melakukan tirani terkait dengan
informasi.

Kenapa bisa demikian? Sebagaimana diketahui bahwa persoalan rekayasa genetik tidak
bisa dipisahkan dengan persoalan ilmu biologi , khususnya tentang genetic, yang
informasi mengenai hal tersebut hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Segelintir
orang atau institusi tersebut adalah orang-orang yang mendalami ilmu tentang genetika.

Rupanya, industri produk transgenic yang memiliki kekuasaan pengetahuan mengenai


genetic telah melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap produk-produk yang
dihasilkannya. Mereka mencoba mamanfaatkan ketidakpahaman sebagian masyarakat
dunia terhadap ilmu genetika dengan melakukan uji coba produk hasil rekayasa
genetiknya.

Bukan hanya sebatas uji coba. Untuk menghindari citra buruknya di depan konsumen.
Para pendukung produk transgenic juga melakukan penghalusan istilah rekayasa genetic.

Dr. Mae Wan Ho, seorang pelopor dalam pemikiran dalam bidang fisika organisme,
dalam bukunya yang berjudul ‘Genetic Engineering; Dream or Nightmare’,
menyebutkan bahwa indusrti transgenic telah berkampanye untuk mengganti istilah
rekayasa genetik menjadi modifikasi genetika. “Hal itu disebabkan karena istilah
rekayasa terdengar kurang ramah dan menakutkan,” sebutnya.

www.satudunia.net Page 5
Kejayaan Industri Transgenik

Berbicara mengenai industri rekayasa genetic tidak lengkap rasanya bila tidak
membicarakan masalah bisnis dari produk ini. Dari tahun ke tahun ternyata bisnis produk
rekayasa genetic itu semakin besar.

Sumber: Freedonia, dikutip dalam the economist, “The World in 2003 Edition” Desember 2002

Bukan hanya dalam area pertanian transgenic yang makin meluas dari tahun ke tahun tapi
juga penjualan produk transgenik.

Sumber: Freedonia, dikutip dalam the economist, “The World in 2003 Edition” Desember 2002

www.satudunia.net Page 6
Sumber: Freedonia, dikutip dalam the economist, “The World in 2003 Edition” Desember 2002

Bisnis produk transgenic juga merambah Indonesia. Tidak adanya kebijakan pelebelan
terhadap produk pangan transgenic menjadikan negeri ini pasar yang menggiurkan bagi
industri transgenic. “Karena tidak ada pengawasan terhadap impor produk makanan segar
dan juga pelebelan pada kemasannya, dapat dikatakan negeri ini telah manjadi tong
sampah dari produk pangan transgenic,” ujar aktivis Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) Ilyani S Andang seperti dikutip satudunia.net.

Laporan United States Department of Agriculture (USDA) menyebutkan nilai ekspor


produk transgenik Amerika Serikat ke Indonesia tahun 2004 mencapai 600 juta dolar AS.
Produk transgenik itu terdiri dari kedelai, jagung dan kapas.

Pertanyaan berikutnya, tentu saja adalah siapa para penguasa industry transgenic
tersebut? Benih tanaman rekayasa genetika ternyata hanya dikuasai oleh tiga perusahaan
multi nasional. “Monsanto menguasai 91%, sisanya 9% dikuasai oleh Syngenta &
Aventis Cropsience,” tegas Ilyani, “Lantas, dapatkah pangan dunia hanya diserahkan
kepada ketiga korporasi multi-nasional ini?”

*****

Ketika Jakarta Kecanduan Mal

Bila kita berjalan di Jakarta, maka tempat yang paling mudah kita temui adalah pusat
perbelanjaan atau mal, sementara tempat yang paling susah ditemui adalah taman kota
alias ruang terbuka hijau (RTH). Meskipun sudah dipenuhi oleh mal, namun tidak
menyurutkan Jakarta untuk terus menambah jumlah pusat perbelanjaan itu.

Data Jones Lang LaSalle menyebutkan bahwa hingga tahun 2011 bakal hadir 14 mall
baru di Jakarta. Dengan total ruangan yang ditawarkan untuk sewa seluas 650 ribu m3.

www.satudunia.net Page 7
Sebelumnya, hasil riset Procon Indah yang dipublikasikan pada tahun 2008 lalu
menyebutkan bahwa hingga tahun 2010 terdapat 13 pembangunan proyek pusat
perbelanjaan baru di Jakarta.

Menurut riset tersebut, 40 persen penambahan pusat perbelanjaan akan berada di Jakarta
Utara, 20 persen akan berada di Jakarta Selatan dan 18 persen di Central Business
District (CBD) Jakarta. Sisanya akan tersebar di berbagai daerah di Jakarta lainnya. Luas
pusat perbelanjaan di Jakarta pun diperkirakan akan mencapai 3,33 juta m2.

Kejayaan Bisnis Mal dan Terpuruknya Ekologi Kota

Dampak nyata dari meningkatnya jumlah


dan luasan pusat perbelanjaan di Jakarta
adalah makin hilangnya daerah resapan air
di kota ini. Pengalihfungsian kawasan RTH
dan daerah resapan air lainnya menjadi pusat
perbelanjaan dan kawasan komersial lainnya
adalah fakta yang tidak bisa dilepaskan dari
sejarah gelap pembangunan kawasan
komerisal termasuk mal-mal di kota Jakarta.

Hutan kota di kawasan Senayan, misalnya.


Rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan seluas 279 hektare ini
sebagai ruang terbuka hijau. Di atasnya hanya boleh berdiri bangunan publik dengan luas
maksimal sekitar 16 persen dari luas total. Namun, di kawasan itu kini telah muncul
Senayan City (pusat belanja yang dibuka pada 23 Juni 2006), Plaza Senayan (pusat
belanja dan perkantoran, dibuka 1996), Senayan Trade Center, Ratu Plaza (apartemen 54
unit dan pusat belanja, dibangun pada 1974), dan bangunan megah lainnya.

Pengalihfungsian RTH secara besar-besaran menjadi kawasan komersial oleh para


pemilik modal besar juga terjadi di kawasan Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter.
Tapi sejauh ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mengambil tindakan terhadap para
pemilik modal besar tersebut. Celakanya, sejarah gelap pembangunan kota Jakarta terus
menerus diulang hingga kini oleh Pemprov DKI Jakarta.

Padahal data dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta
tahun 2007 menyebutkan bahwa menyusutnya daerah resapan air, baik berupa situ
maupun ruang terbuka hijau, oleh aktivitas pembangunan telah menyebabkan dari 2.000
juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun, hanya 26,6 persen yang
terserap dalam tanah. Sementara itu, sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian (run off)
yang berpotensi menimbulkan banjir di perkotaan.

Bukan hanya itu, pengambilan air tanah secara besar-besaran ditambah beban bangunan
di atas kota Jakarta telah menyebabkan penurunan permukaan tanah di kota ini beberapa

www.satudunia.net Page 8
sentimeter dalam setiap tahunnya. Artinya, potensi banjir di Jakarta akan semakin besar
dengan penambahan 13 pusat perbelanjaan baru itu.

Sementara biaya sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh banjir di kota ini tidaklah
kecil. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) misalnya, memperkirakan
kerugian akibat bencana banjir, yang melanda wilayah Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) pada tahun 2007 lalu, mencapai Rp 8 triliun. Dari
jumlah itu, Bappenas merinci, kerugian dari rumah penduduk yang rusak sebesar Rp 1,7
triliun, dan infrastruktur Rp 600 miliar. Sementara, kerugian dari sektor industri,
perbankan serta usaha kecil menengah diperkirakan mencapai Rp 2 triliun.

Selain itu, penambahan jumlah mal-mal baru juga akan menambah kemacetan lalu lintas
di Jakarta. Hal itu dikarenakan pengunjung dari pusat perbelanjaan itu sebagian besar
adalah konsumen berkendaraan pribadi. Meningkatnya kemacetan lalu lintas ini bukan
hanya akan mengurangi waktu produktif warga kota melainkan juga meningkatkan biaya
kesehatan akibat polusi udara yang ditimbulkannya.

Terkait dengan kemancetan lalu lintas di Jakarta,


sebuah studi menyebutkan bahwa kemacetan lalu
lintas di Jakarta telah menimbulkan kerugian
ekonomi sebesar Rp 5,5 triliun (SITRAMP, 2004).
Bahkan dengan metode yang berbeda, hasil
penelitian Yayasan Pelangi pada 2003 menyebutkan
bahwa kemacetan lalu lintas di DKI telah
menyebabkan kerugian akibat kehilangan waktu
produktif yang jika dinominalkan akan mencapai Rp
7,1 triliun.

Sementara polusi udara yang diakibatkan oleh


meningkatnya kemacetan lalu lintas juga telah menim
bulkan peningkatan biaya kesehatan yang sangat tinggi. Hasil kajian Bank Dunia
menemukan dampak ekonomi akibat polusi udara di Jakarta sebesar Rp 1,8 triliun.

Dapat dibayangkan betapa berat beban yang harus dipikul oleh warga Jakarta dengan
makin bertambahnya jumlah mal di kota ini. Paradigma pembangunan usang yang
dipakai oleh para pengambil kebijakan di Pemprov DKI Jakarta benar-benar telah
membuat kota ini mengalami kolaps. Sayangnya informasi mengenai rencana tata ruang
kota Jakarta masih sulit diakses oleh publik. Mekanisme partisipasi publik pun juga
belum jelas.

*****

www.satudunia.net Page 9

Вам также может понравиться