Вы находитесь на странице: 1из 33

MAKALAH

Profesi Kependidikan
Pelecehan Seksual, Bully Dan Kekerasan Di Dunia Pendidikan Indinesia

Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Profesi Kependidikan sebagai
syarat kelulusan tugas akhir semester








Ari Arianto Bermani Putra
1203173/2012



PENDIDIKAN TEKNIK OTOMOTIF
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2014



KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, karuniaNya kepada penulis sehinnga dapat menyelesaikan tulisan ini,.
Shalawat dan salam senantiasa tercurah ad nabi Muhammad SAW beserta kelurga dan
sahabatnya. Alhamdulillah makalah polusi lingkungan yang berjudul polusi udara dapat
penulis selesaikan.
Selama proses penulisan makalah ini, bnyak pihak yang membantu dan
membimbing sehingga penulis bisa menyelesaikan tulisan, untuk itu penulis ucapkan
banyak terimakasih kepada orangtua penulis yang senantiasa mendoakan anaknya, serta
terima kasih kepada teman-teman dan semua orang yang telah berjasa dalam penulisan
makalah ini.
Penulis menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan
dikarenakan kurangnya pemahaman dan pengalaman penulis dalam menyelesaikan
makalah ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan mohon maaf kepada pembaca.
Penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun daripembaca demi
kelancaran penulisan berikutnya.
Terlepas dari segala kekurangan tulisan ini penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat dan memberi pemahaman kepada pembaca mengenai kasus dan cara
memenimalisir pelecehan seksual , bully serta kekerasan di dunia pendidikan

Padang, 28 September 2014

Penulis







DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ..ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB. I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah ...................................................................... 1
B. Batasan masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 2
D. Manfaat penulisan .............................................................................. 3
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tujuan dan Funsi Pendidikan ............................................................. 4
B. UU Perlindungan Anak Dari Pelecehan Seksual ............................... 5
BAB III PEMBAHASAN
A. Pelecehan Seksual di Dunia Pendidikan ........................................... 11
B. Bully dan Kekerasan di Dunia Pendidikan ...................................... 16
BAB IV PENUTUP
A. Saran Penanggulangan masalah ........................................................... 25
B. Kesimpulan ............................................................................................ 30



BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dunia pendidikan adalah sebuah tempat untuk menimba ilmu, merubah
sikap perilku dan pemikiran seseorang. Dunia pendidikan harus mampu
menciptakan pribadi yang bermoral dan berkualitas. Berdasarkan kurikulum
2013 telah dicantumkan point utama dalam sebuah pendidikan merubah sikap,
dalam artian menuju yang lebih baik, guna mencerdaskan anak bangsa.
Sangat disayangkan akhir-akhir ini dunia pendidikan di Indonesia
tercoreng dengan banyaknya kasus negative di dunia pendidikan itu sendiri
adapun beberapa yang menjadi berita hangat saat in adalah pelecehan sekssual,
bully dan anarkis dalam dunia pendidikan. Ketiga kasus tersebut sangat tidak
berperikemanusiaan, lantas siapa yang harus disalahkan?. Tentu jika kita hanya
mencari siapa yang bersalah dan siapa yang bertanggung jawab atas kejadian
tersebut, maka kejadian ini akan terus menjamur dimasa yang akan datang.
Dalam hal ini penulis ingin membahas tentang bagaimana menanggulangi,
setidaknya meminimalisisr kasus tersebut di dunia pendidikan Indonesia.
Komisi Nasional Perlindungan Anak menyatakan kekerasan seksual
terhadap anak di Ibu Kota mengalami peningkatan. Sekretaris Jenderal Komnas
Anak Samsul Ridwan mengatakan peningkatan itu terjadi hampir setiap
tahunnya. Kecenderungannya tiap tahun meningkat, kata Samsul kepada
Tempo, Sabtu, 10 Mei 2014.
Komnas Anak mencatat sebanyak 342 kasus kekerasan terhadap anak
terjadi di Jakarta pada Januari-April 2014. Sebanyak 52 persen atau sekitar 175
kasus merupakan kejahatan seksual. Sedangkan sepanjang 2013 tercatat ada 666
kasus kekerasan anak yang terjadi di Jakarta, dengan 68 persennya merupakan
kekerasan seksual.
Pengawasan seorang siswa tidak hanya peran guru dan orang tua, satu
atau dua orang saja tapi hal ini menjadi tanggung jawab semua pihak dan
1


masyarakat sekitar guna mengontrol perkembangan siswa dan segala tindak
tanduk yang dilakukan siswa baik di lingkung rumah tangga, lingkungan
sekolah dan lingkungan masyarakat. Lingkungan yang paling rentan dan sangat
mempengaruhi seorang anak adalah di lingkungan masyarakat, karena di
lingkungan masyarakat seorang akan merasa bebas dari pengawasan guru dan
orangtuanya sendiri, sehingga factor pergaulan di lingkungan masyarakat
sangat mudah masuk dalam dunia seseorang. Jika lingkungan masyarakat
cenderungmemberikan pemahaman yang positif pada seseorang maka dia akan
dengan senantiasanya menerimanya. Begitupun sebaliknya jika lingkuangan
tempat bergaulnya penuh dengan hal-hal yang negatif , maka tidak tertutup
kemungkinan seorang akan terbawa kedalamnya.

B. BATASAN MASALAH
Dari uraian diatas sudah terdapat beberapa masalah dalam dunia pendidikan
yang sedang marak diperbincangkan untuk itu dalam tulisan ini penulis
membatasi masalah pada
1. Apa saja yang dimaksud dengan pelecehan seksual, bully dan anarkis
didunia pendidikan Indonesia.
2. Apa saja yang menjadi factor penyebab terjadinya pelecehan seksual, bully
dan anarkis didunia pendidikan Indonesia.
3. Bagaimana cara mengatasi masalah pelecehan seksual, bully dan anarkis
didunia pendidikan Indonesia.
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan ini adalah
a. Untuk memenuhi syarat kelulusan matakuliah profesi kependidikan
yang sedang penulis jalani
b. Menghimbau kepada pembaca untuk bekerja sama menangani masalah
pelecehan seksual, bully dan anarkis didunia pendidikan Indonesia.

D. MANFAAT PENULISAN
2


a. Memberikan wawasan mengenai kasus pelecehan seksual, bully dan
anarkis didunia pendidikan Indonesia kepada pembaca.
c. Tulisan ini bisa dijadikan salah satu alternative dalam pemecahan
masalah pelecehan Memberikan wawasan mengenai kasus pelecehan
seksual, bully dan anarkis didunia pendidikan Indonesia yang penulis
kemukakan.


















3


BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tujuan dan Fungsi Pendidikan
Pendidikan diupayakan dengan berawal dari manusia apa adanya
(aktualisasi) dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang apa adanya
(potensialitas), dan diarahkan menuju terwujudnya manusia yang seharusnya atau
manusia yang dicita-citakan (idealitas). Tujuan pendidikan itu tiada lain adalah
manusia yang beriman dan bertaqwa kapada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat,
cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya; mampu memenuhi
berbagai kebutuhan secara wajar, mampu mngendalikan hawa nafsunya;
berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya. Implikasinya, pendidikan harus
berfungsi untuk mewujudkan (mengembangkan) berbagai potensi yang ada
pada manusia dalam konteks dimensi keberagaman, moralitas, moralitas,
individualitas/personalitas, sosialitas dan keberbudayaan secara menyeluruh dan
terintegrasi. Dengan kata lain, pendidikan berfungsi untuk memanusiakan manusia.
Tujuan Pendidikan Nasional, sesuai dengan Tap MPRS No.
XXVI/MPRS/1966 tentang Agama, pendidikan dan kebudayaan, maka dirumuskan
bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia Pancasila sejati
berdasarkan pembukaan UUD 1945. Selanjutnya dalam UU No. 2 tahun 1989
ditegaskan lagi bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
berkepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Fungsi pendidikan adalah menghilangkan segala sumber penderitaan rakyat
dari kebodohan dan ketertinggalan. Sedangkan menurut UUSPN No.20 tahun 2003
menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.

4


B. UU PERLINDUNGAN ANAK DARI PELECEHAN SEKSUAL
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-
Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 telah dijelaskan bahwa tindak
pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan sebuah
kejahatan kesusilaan yang bagi pelakunya harus diberikan hukuman yang setimpal.
Maksudnya dengan dijatuhkan hukuman kepada si pelaku sehingga dapat kiranya
tindakan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dapat dicegah sehingga
perbuatan tersebut tidak terjadi lagi.
Pasal 50 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa ada empat tujuan penjatuhan
hukuman yaitu:
1. Untuk mencegah terjadinya tindak pidana dengan menegakkan norma- norma
hukum demi pengayoman masyarakat.
2. Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang lebih baik dan berguna.
3. Untuk menyelesaikan komplik yang ditimbulkan oleh tindak pidana
(memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai).
4. Untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Adapun dalam KUHP, pasal- pasal yang mengatur tentang hukuman bagi
pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur terdapat dalam pasal
287, dan 292 KUHP:
1. Pasal 287 ayat (1) KUHP berbunyi:
5


Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan,
padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima
belas tahun, atau umurnya tidak jelas, bahwa ia belum waktunya untuk dikawin,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Tapi apabila perbuatan persetubuhan itu menimbulkan luka-luka atau
kematian maka bagi sipelaku dijatuhkan hukuman penjara 15 tahun, sebagai mana
yang telah ditetapakan dalam pasal 291 KUHP.

2. Pasal 292 KUHP:
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama
kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa,
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Sedangkan di dalam Undang -Undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, ada dua pasal yang mengatur tentang ancaman hukuman bagi
pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur yaitu pasal 81 dan pasal 82.
1. Pasal 81 yang bunyinya:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300. 000. 000,
00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000, (enam puluh juta
rupiah).


2. Pasal 82 yang bunyinya:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300. 000. 000, 00 ( tiga ratus
juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60. 000. 000, 00 (enam puluh juta rupiah).
Dari paparan pasal- pasal tentang hukuman bagi pelaku pelecehan
seksual terhadap anak di bawah umur tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa hukuman bagi si pelaku bervariasi, bergantung kepada perbuatannya
yaitu apabila perbuatan tersebut menimbulkan luka berat seperti tidak
berfungsinya alat reproduksi atau menimbulkan kematian maka hukuman bagi
si pelaku akan lebih berat yaitu 15 tahun penjara. Tetapi apabila tidak
menimbulkan luka berat maka hukuman yang dikenakan bagi si pelaku adalah
hukuman ringan.
Tindak pidana pelecehan seksual yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain yang bukan isterinya merupakan delik aduan yang
maksudnya adalah bahwa hanya korbanlah yang bisa merasakannya dan lebih
berhak melakukan pengaduan kepada yang berwenang untuk menangani kasus
tersebut.
Hal pengaduan ini juga bisa dilakukan oleh pihak keluarga korban
atau orang lain tetapi atas suruhan si korban. Cara mengajukan pengaduan itu


ditentukan dalam pasal 45 HIR dengan ditanda tangani atau dengan lisan.
Pengaduan dengan lisan oleh pegawai yang menerimanya harus ditulis dan
ditanda tangani oleh pegawai tersebut serta orang yang berhak mengadukan
perkara .
Adapun mengenai delik aduan dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu:
delik aduan absolut dan delik aduan relatif.
1. Delik aduan absolut adalah delik (peristiwa pidana) yang hanya dapat dituntut
apabila ada pengaduan. Dan dalam pengaduan tersebut yang perlu dituntut
adalah peristiwanya sehingga permintaan dalam pengaduan ini harus berbunyi:
saya meminta agar tindakan atau perbuatan ini dituntut. Delik aduan absolut
ini tidak dapat dibelah maksudnya adalah kesemua orang/ pihak yang terlibat
atau yang bersangkut paut dengan peristiwa ini harus dituntut. Karena yang
dituntut di dalam delik aduan ini adalah peristiwa pidananya.
2. Delik aduan relatif adalah delik (peristiwa pidana) yang dituntut apabila ada
pengaduan. Dan delik aduan relatif ini dapat dibelah karena pengaduan
ini diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, tetapi yang dituntut
di sini adalah orang-orang yang bersalah dalam peristiwa ini.
Berdasarkan penjelasan tentang delik aduan di atas, maka penulis
menggolongkan bahwa tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah
umur merupakan delik aduan relatif, karena yang dituntut di sini adalah orang
yang telah bersalah dalam perbuatan tersebut.
Dengan demikian untuk dapat di tuntut dan dilakukan pemidanaan
terhadap pelaku tindak pidana pelecehan seksual, maka syarat utama adalah


adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan. Apabila tidak ada pengaduan dari
pihak yang dirugikan maka pelaku tindak pidana tersebut tidak dapat dituntut
atau dijatuhi pidana kecuali peristiwa tersebut mengakibatkan kematian sesuai
dengan pasal 287 KUHP. Pemidanaan bagi pelaku tindak pidana pelecehan
seksual terhadap anak di bawah umur baru dapat dilakukan apabila syarat-
syarat untuk itu terpenuhi seperti adanya pengaduan dan di pengadilan
perbuatan tersebut terbukti.
Apabila tindak pidana pelecehan seksual itu dapat dibuktikan bahwa
orang yang diadukan benar telah melakukannya, maka pidana yang diatur dalam
Pasal 287 KUHP dapat diterapkan. Kemudian yang menjadi penentu dijatuhi
hukuman adalah terbuktinya perbuatan itu di pengadilan. Dan dalam
pembuktian itu harus ada sekurang-kurangnya dua alat bukti dan disertai dengan
keyakinan hakim.
Mengenai pembuktian ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) pasal 183 yang menyatakan bahwa:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan juga hakim
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Adapun yang dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah alat bukti
yang ditetapkan dalam Pasal 184 KUHAP yang menyatakan bahwa:
1. Alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli


c. Alat bukti petunjuk
d. Keterangan terdakwa.
2. Hal yang secara umum yang telah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Yang dimaksud dengan keterangan saksi di sini adalah: apa yang
disampaikan atau dinyatakan oleh saksi di sidang pengadilan tentang peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, atau yang ia alami sendiri dengan
menyebutkan alasan dari pengetahuannya ini. Dan keterangan ahli yang
dimaksudkan adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang atau jelas
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan yang dinyatakan di sidang
pengadilan. Sedangkan yang dimaksud dengan alat bukti petunjuk adalah:
perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaian, baik antara yang
satu dengan yang lainnya, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, bahwa
telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Dan yang dimaksud
dengan keterangan terdakwa adalah: apa yang disampaikan atau yang
dinyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang
ia ketahui sendiri. Adapun yang dimaksud dengan hal yang secara umum telah
diketahui adalah keadaan dari diri si korban yang dapat dilihat langsung yaitu
dengan adanya tanda-tanda kehamilan atau sebagainya.







BAB III
PEMBAHASAN

A. PELECEHAN SEKSUAL DI DUNIA PENDIDIKAN
Akhir-akhir ini kasus pelecehan seksual sangat kerap terjadi didunia
pendidiakn dan tak jarang menimpa anak usia dini dan remaja menuju dewasa.
Dalam kasus pelecehan seksual yang dilakukan guru terhadap murid dan atau
murid sesama murid, sangat mencoreng citra pendidikan di Indonesia, tak hanya
di mata nasional tapi juga di mata dunia melalui media.
Secara umum pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan
yang terkait dengan seks yang tidak diinginkan, termasuk permintaan untuk
melakukan seks, dan perilaku lainnya yang secara verbal ataupun fisik merujuk
pada seks. Pelecehan seksual dapat terjadi di mana saja baik tempat umum
seperti bis, pasar, sekolah, kantor, maupun di tempat pribadi seperti rumah.
Walaupun secara umum wanita sering mendapat sorotan sebagai korban
pelecehan seksual, namun pelecehan seksual dapat menimpa siapa saja. Korban
pelecehan seksual bisa jadi adalah laki-laki ataupun perempuan. Korban bisa
jadi adalah lawan jenis dari pelaku pelecehan ataupun berjenis kelamin yang
sama. Pelaku pelecehan seksual bisa siapa saja terlepas dari jenis kelamin,
umur, pendidikan, nilai-nilai budaya, nilai-nilai agama, warga negara, latar
belakang, maupun status sosial. Korban dari perilaku pelecehan sosial
dianjurkan untuk mencatat setiap insiden termasuk identitas pelaku, lokasi,
waktu, tempat, saksi, dan perilaku yang dilakukan yang dianggap tidak
menyenangkan. Serta melaporkannya ke pihak yang berwenang.
Adapun pelecehan seksual dalam pendidikan adalah perilaku yang tidak
diinginkan yang bersifat seksual yang mengganggu kemampuan siswa untuk
mempelajari, belajar, bekerja, atau berpartisipasi dalam kegiatan sekolah.
Pelecehan seksual melibatkan berbagai perilaku dari gangguan ringan sampai
kekerasan seksual dan perkosaan. Efek kekerasan seksual terhadap si korban,


antara lain depresi, gangguan stres pascatrauma, kegelisahan, kecenderungan
untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa dewasa, dan dan cedera fisik untuk
anak di antara masalah lainnya.
Mari kita lihat dengan kacamata lebih jernih. Logikanya, jika memang
benar ini kasus pelecehan, maka kita bisa asumsikan bahwa kondisi Si Guru ini
melakukan pemaksaan kepada siswa perempuannya. Akan tetapi bisa juga,
barangkali Si Siswi ini juga sebenarnya memiliki perasaan suka sebagaimana
seorang perempuan dewasa kepada laki-laki dewasa. Dengan kata lain, mereka
berdua suka sama suka. Mengingat, kepergian mereka dalam kondisi berdua
sudah terjadi berkali-kali. Karena, jika merupakan pemaksaan, kalaupun Si
Siswi tersebut menolak untuk diajak pergi, menilik usianya yang sudah baligh,
tentu agak janggal jika ia tidak bisa menyatakan penolakan tersebut.
Adapun beberapa penyebab terjadinya pelecehan seksual di dunia
pendidiakan adalah:
a. perilaku pedophilia dilakukan secara bekerjasama dan berulang-ulang pada
korban. Ini memberikan kesimpulan bahwa tidak adanya pengawasan
terhadap anak-anak di sekolah
b. Adanya budaya permisif di sekolah, membuat pelaku pedophilia bebas
untuk melakukan aksinya. Karena berdasarkan laporan salah satu media
bahwa budaya barat seperti berciuman dan berpelukan adalah perilaku yang
umum terjadi di sekolah
c. Orangtua tidak memberikan perhatian kepada setiap anak dengan penuh agar
segala perubahan perilaku yang dialami anak dapat terdeteksi
d. Toilet yang terlalu jauh buat anak usia dini yang harus ditempuh dengan
berjalan kaki cukup lama juga menjadi peluang bagi pelaku pedophilia.
Harusnya toilet untuk anak-anak selayaknya berada dalam jangakauan
pengawasan guru, pendampingan guru, asisten guru dan tutor di kelas
e. Adanya kelainan seksual pada seorang pelaku
f. Adanya sikap yang bisa mengundang perbuatan seksual oleh siswi terhadap
kaum laki-laki
g. Dll
6


Serta adapun beberapa akibat yang terjadi pada anak sekolah adalah
sebagai berikut:
a. Kerusakan psikologi
Pelecehan seksual anak dapat mengakibatkan kerugian baik jangka
pendek dan jangka panjang, termasuk psikopatologi di kemudian hari.
Dampak psikologis, emosional, fisik dan sosialnya meliputi depresi,
gangguan stres pasca trauma, kegelisahan, gangguan makan, rasa rendah
diri yang buruk, gangguan identitas pribadi dan kegelisahan; gangguan
psikologis yang umum seperti somatisasi, sakit saraf, sakit kronis,
perubahan perilaku seksual, masalah sekolah/belajar; dan masalah perilaku
termasuk penyalahgunaan obat terlarang, perilaku menyakiti diri sendiri,
kekejaman terhadap hewan, kriminalitas ketika dewasa dan bunuh diri. Pola
karakter yang spesifik dari gejala-gejalanya belum teridentifikasi. dan ada
beberapa hipotesis pada asosiasi kausalitas ini
Efek negatif jangka panjang pada perkembangan korban yang
mengalami perlakuan berulang pada masa dewasa juga terkait dengan
pelecehan seksual anak. Hasil studi menyatakan ada hubungan sebab dan
akibat dari pelecehan seksual masa kanak-kanak dengan kasus
psikopatologi dewasa, termasuk bunuh diri, kelakuan anti-sosial,
Studi telah membentuk hubungan sebab akibat antara masa kanak-
kanak pelecehan seksual dan daerah tertentu tertentu psikopatologi dewasa,
termasuk kecenderungan bunuh diri, kelakuan anti-sosial, gangguan
kejiwaan paska trauma, kegelisahan, dan kecanduan alkohol. Orang dewasa
yang mempunyai sejarah pelecehan seksual pada masa kanak-kanak,
umumnya menjadi pelanggan layanan darurat dan layanan medis dibanding
mereka yang tidak mempunyai sejarah gelap masa lalu. Sebuah studi yang
membandingkan perempuan yang mengalami pelecehan seksual masa
kanak-kanak dibanding yang tidak, menghasilkan fakta bahwa mereka
memerlukan biaya perawatan kesehatan yang lebih tinggi dibanding yang
tidak.
7


Anak yang dilecehkan secara seksual menderita gerjala psikologis
lebih besar dibanding anak-anak normal lainnya; sebuah studi telah
menemukan gejala tersebut 51 sampai 79% pada anak-anak yang
mengalami pelecehan seksual, Resiko bahaya akan lebih besar jika pelaku
adalah keluarga atau kerabat dekat, juga jika pelecehan sampai ke hubungan
seksual atau paksaan pemerkosaan, atau jika melibatkan kekerasan fisik.
Tingkat bahaya juga dipengaruhi berbagai faktor seperti masuknya alat
kelamin, banyaknya dan lama pelecehan, dan penggunaan kekerasan. The
social stigma of child sexual abuse may compound the psychological harm
to children, dan pengaruh yang merugikan akan kecil dampaknya pada
anak-anak yang mengalami pelecehan seksual namun memiliki lingkungan
keluarga yang mendukung atau mendampingi paska pelecehan.

b. gangguan stress dan trauma
Kekerasan terhadap anak, termasuk pelecehan seksual, pelecehan
terutama kronis mulai dari usia dini telah ditemukan berhubungan dengan
perkembangan tingkat gejala disosiatif yang meliputi amnesia untuk
kenangan terhadap tindak kekerasan. Tingkat disosiasi telah ditemukan
berhubungan dengan laporan pelecehan seksual dan fisik yang luar
biasaKetika pelecehan seksual yang berat (penetrasi, beberapa pelaku,
berlangsung lebih dari satu tahun) telah terjadi, gejala disosiatif bahkan
lebih menonjol.
Pelecehan seksual terhadap anak secara independen memprediksi
jumlah gejala untuk PTSD yang menampilkan orang, setelah
mengendalikan variabel yang mungkin mengganggu, menurut Widom
(1999), yang menulis "pelecehan seksual, mungkin lebih dari bentuk-bentuk
lain dari trauma masa kecil, menyebabkan masalah disosiatif. Temuan
PTSD ini hanya mewakili sebagian dari gambaran gejala sisa psikiatri
jangka panjang yang terkait dengan korban anak usia dini seperti gangguan
kepribadian antisosial, penyalahgunaan alkohol, dan bentuk lain dari
psikopatologi." Anak-anak dapat mengembangkan gejala gangguan stress
8


pasca trauma akibat pelecehan seksual anak, bahkan tanpa cedera aktual
atau yang mengancam atau yang menggunakan tindak kekerasan.
c. Kerusakan fisik
1. Cedera
Tergantung pada umur dan ukuran anak, dan tingkat kekuatan
yang digunakan, pelecehan seksual anak dapat menyebabkan luka
internal dan pendarahan. Pada kasus yang parah, kerusakan organ
internal dapat terjadi dan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan
kematian. Herman-Giddens dan lainnya menemukan enam hal tertentu
dan enam kasus kemungkinan kematian akibat pelecehan seksual anak
di Carolina Utara antara tahun 1985 dan 1994. Para korban berkisar di
usia dari 2 bulan sampai 10 tahun. Penyebab kematian termasuk trauma
pada alat kelamin atau dubur dan mutilasi seksual.
b. Infeksi
Pelecehan seksual pada anak dapat menyebabkan infeksi dan
penyakit menular seksual. Tergantung pada umur anak, karena
kurangnya cairan vagina yang cukup, kemungkinan infeksi lebih tinggi.
c. Kerusakan neurologis
Penelitian telah menunjukkan bahwa stres traumatis, termasuk
stres yang disebabkan oleh pelecehan seksual menyebabkan perubahan
penting dalam fungsi dan perkembangan otak
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pelecehan seksual anak
yang parah mungkin memiliki efek yang merusak pada perkembangan
otak. Ito et al. (1998) menemukan "perbedaan besaran otak sebelah kiri
dan kanan secara asimetris dan otak kiri lebih besar terjadi pada subyek
yang mengalami pelecehan;" Teicher et al. (1993) menemukan bahwa
kemungkinan peningkatan "gejala seperti epilepsi lobus temporal" pada
subyek yang mengalami pelecehan; Anderson et all. (2002) mencatat
perbedaan relaksasi yang tidak normal sewaktu pemeriksaan NMR
(Nuclear magnetic resonance) cerebellar vermis pada otak orang dewasa
9


yang mengalami pelecehan seksual masa kecil. Teicher et al. (1993)
menemukan bahwa anak pelecehan seksual dapat dikaitkan dengan
berkurangnya luas corpus callosum; berbagai studi telah menemukan
hubungan berkurangnya volume dari hippocampus kiri dengan
pelecehan seksual anak; dan Ito et al. (1993) menemukan kelainan
elektrofisiologi meningkat pada anak-anak mengalami pelecehan
seksual.
B. BULLY dan KEKERASAN di DUNIA PENDIDIKAN
Akhir-akhir ini dunia pendidikan kita kerap diwarnai kekerasan dan
mengarah pada aksi kriminal. Fungsi pendidikan untuk menyebarkan nilai-nilai
perdamaian tercoreng aksi individu yang lebih menggunakan cara-cara
kekerasan dibanding dialog.
Tawuran antarpelajar, penyiksaan rekan sekolah, pembunuhan, bahkan
penyimpangan seks, beritanya menyebar ke relung hati. Ini merefleksikan ulang
sejauh mana pendidikan berperan dalam meminimalkan tindakan-tindakan
biadab tersebut.
Apa yang terjadi dalam dunia pendidikan kita sebenarnya merupakan
cermin dari yang terjadi dalam masyarakat sesungguhnya. Saat kekerasan
menjadi satu-satunya solusi, ketika negara melalui aparatusnya sudah
kehilangan kepercayaan diri dan tidak lagi dihormati warga, rakyat pun akan
memutuskan tindakannya sendiri.
Komunikasi Tersumbat
Akar masalah kekerasan pun semakin beragam, kendati semuanya
bermuara pada satu masalah utama, yakni tersumbatnya jalur komunikasi dalam
memecahkan masalah. Satu demi satu berbagai persoalan mengemuka. Konflik
industrial perburuhan, konflik atas nama agama, konflik perebutan aset sumber
daya alam, premanisme, kekerasan terhadap anak sekolah, pemerkosaan, dan
konflik-konflik lain yang semua berujung dengan kekerasan.


Berbagai fenomena kekerasan tersebut menunjukkan peran pemerintah
semakin melemah dalam menciptakan harmoni kehidupan berbangsa. Bahkan,
dapat dinilai pemerintah tidak seolah memiliki kemauan politik untuk
mengatasi masalah mendasar sebab-sebab timbulnya kekerasan. Itu dapat
dilihat dari semakin intensnya kekerasan yang semakin meningkat dan
menyebar ke seluruh penjuru Tanah Air.
Apa yang dikhawatirkan adalah kekerasan semakin membudaya dan
dijadikan sebagai contoh satu-satunya pemecahan masalah yang efektif.
Kondisi ini tentu saja amat berbahaya ketika masyarakat menilai hanya dengan
cara kekerasan masalah bisa diatasi. Masyarakat menilai saluran hukum sudah
tidak bisa lagi dipercaya menjadi jembatan untuk mencari keadilan.
Hukum tak lagi memiliki kekuatan untuk menciptakan keadilan dan
kemakmuran masyarakat. Hukum dipercaya berpihak hanya kepada mereka
yang memiliki kekuasaan dan mereka yang memiliki harta berlimpah. Hukum
bisa dibeli dan diintervensi. Pasal-pasalnya mudah dibengkokkan untuk
memihak. Keadilan digadaikan untuk kepentingan pribadi. Pemilik keadilan
dalam hukum adalah gerombolan mafia.
Jalan Pintas Kekerasan
Dari itu semua, kekerasan menjadi jalan pintas yang efektif dipilih guna
memecahkan masalah yang ada. Saluran komunikasi untuk mendapatkan
keadilan sudah dikuasai mafioso. Budaya kekerasan pun berkembang semakin
meluas, baik dalam kehidupan publik maupun privat. Akibatnya, rasa aman
menjadi barang langka di Nusantara ini. Segala kehidupan kita begitu dekat
dengan aroma kekerasan.
Kekerasan dalam berbagai bentuk, menjadi motif sebagian perilaku
budaya masyarakat hingga kini merupakan mainstream yang mereduksi tata nila
kepribadian dan memberikan kesan betapa iklim solidaritas manusia belum
sepenuhnya mampu memiliki kepribadian saling mencintai.


Dalam konteks agama, walaupun wacana pluralisme dan toleransi ini
sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, praktiknya tidaklah
semudah yang dipikirkan dan dibicarakan. Walaupun sudah terdapat kesadaran
bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama, melainkan oleh kekuatan
bersama, pandangan atas agamaku dan keyakinanku justru sering menjadi
dasar dari berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan.
Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika,
praktik di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu. Masih
banyak persoalan keagamaan dan kemasyarakatan di Indonesia yang
menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas, dan toleransi
antarumat beragama di Indonesia.
Definisi bullying merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris.
Istilah Bullying belum banyak dikenal masyarakat, terlebih karena belum ada
padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia (Susanti, 2006). Bullying
berasal dari kata bully yang artinya penggertak, orang yang mengganggu orang
yang lemah.
Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali dipakai
masyarakat untuk menggambarkan fenomena bullying di antaranya adalah
penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan, atau
intimidasi (Susanti, 2006).
Suatu hal yang alamiah bila memandang bullying sebagai suatu
kejahatan, dikarenakan oleh unsur-unsur yang ada di dalam bullying itu sendiri.
Rigby (2003:51) menguraikan unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian
bullying yakni antara lain keinginan untuk menyakiti, tindakan negatif,
ketidakseimbangan kekuatan, pengulangan atau repetisi, bukan sekedar
penggunaan kekuatan, kesenangan yang dirasakan oleh pelaku dan rasa tertekan
di pihak korban.
Pengertian tersebut didukung oleh Coloroso (2006: 44-45) yang
mengemukakan bahwa bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut;
10


1. Ketidakseimbangan kekuatan (imbalance power). Bullying bukan
persaingan antara saudara kandung, bukan pula perkelahian yang
melibatkan dua pihak yang setara. Pelaku bullying bisa saja orang yang
lebih tua, lebih besar, lebih kuat, lebih mahir secara verbal, lebih tinggi
secara status sosial, atau berasal dari ras yang berbeda;
2. Keinginan untuk mencederai (desire to hurt). Dalam bullying tidak ada
kecelakaan atau kekeliruan, tidak ada ketidaksengajaan dalam pengucilan
korban. Bullying berarti menyebabkan kepedihan emosional atau luka fisik,
melibatkan tindakan yang dapat melukai, dan menimbulkan rasa senang di
hati sang pelaku saat menyaksikan penderitaan korbannya;
3. Ancaman agresi lebih lanjut. Bullying tidak dimaksudkan sebagai peristiwa
yang hanya terjadi sekali saja, tapi juga repetitif atau cenderung diulangi;
4. Teror. Unsur keempat ini muncul ketika ekskalasi bullying semakin
meningkat. Bullying adalah kekerasan sistematik yang digunakan untuk
mengintimidasi dan memelihara dominasi. Teror bukan hanya sebuah cara
untuk mencapai bullying tapi juga sebagai tujuan bullying.
Bullying juga dikenal sebagai masalah sosial yang terutama ditemukan
di kalangan anak-anak sekolah. Dalam bahasa pergaulan kita sering mendengar
istilah gencet-gencetan atau juga senioritas. Meskipun tidak mewakili suatu
tindakan kriminal, bullying dapat menimbulkan efek negatif tinggi yang dengan
jelas membuatnya menjadi salah satu bentuk perilaku agresif (Duncan, 1999).
Banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai bullying. Seperti
pendapat Olweus (1993) dalam pikiran rakyat, 5 Juli 2007: Bullying can
consist of any action that is used to hurt another child repeatedly and without
cause. Bullying merupakan perilaku yang ditujukan untuk melukai siswa lain
secara terus-menerus dan tanpa sebab.
Rigby (2005; dalam Anesty, 2009) merumuskan bahwa bullying
merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan dalam aksi,
menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh
seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuar, tidak bertanggung jawab,
11


biasanya berulang dan dilakukan dengan perasaan senang (Retno Astuti, 2008:
3).
Beberapa ahli meragukan pengertian-pengertian di atas bahwa bullying
hanya sekedar keinginan untuk menyakiti orang lain, mereka memandang
bahwa keinginan untuk menyakiti seseorang dan benar-be nar menyakiti
seseorang merupakan dua hal yang jelas berbeda. Oleh karena itu para psikolog
behavioral menambahkan bahwa bullying merupakan sesuatu yang dilakukan
bukan sekedar dipikirkan oleh pelakunya, keinginan untuk menyakiti orang lain
dalam bullying selalu diikuti oleh tindakan negatif.
Olweus (1993; dalam Anesty, 2009) mengemukakan bahwa dalam
formulasi awal mengenai definisi bullying, bullying merupakan negative
actions on the part of one or more other students. Olweus (1993) juga
menambahkan bahwa bullying terbukti saat sulit bagi siswa yang menjadi
korban bullying untuk mempertahankan diri. Hal tersebut didukung oleh
pernyataan Craig dan Pepler (1998), yang mengartikan bullying sebagai
"tindakan negatif secara fisik atau lisan yang menunjukkan sikap permusuhan,
sehingga menimbulkan distress bagi korbannya, berulang dalam kurun waktu
tertentu dan melibatkan perbedaan kekuatan antara pelaku dan korbannya.
Olweus (1993; dalam Anesty, 2009) memaparkan contoh tindakan
negatif yang termasuk dalam bullying antara lain;
1. Mengatakan hal yang tidak menyenangkan atau memanggil seseorang
dengan julukan yang buruk;
2. Mengabaikan atau mengucilkan seseorang dari suatu kelompok karena
suatu tujuan;
3. Memukul, menendang, menjegal atau menyakiti orang lain secara fisik;
4. Mengatakan kebohongan atau rumor yang keliru mengenai seseorang atau
membuat siswa lain tidak menyukai seseorang dan hal-hal semacamnya.
Unsur ketidakseimbangan kekuatan dari bullying juga diperdebatkan
sebagai sesuatu yang terikat secara situasional (Rigby, 2002:34). Karena
12


ketidakseimbangan kekuatan sewaktu-waktu bisa saja berubah saat korban
memperoleh keterampilan untuk mempertahankan diri dan pelaku kehilangan
para pendukungnya. Olweus (1993) memberikan klarifikasi untuk unsur ini,
yakni dengan menuliskan bahwa Itis not bullying when two student of about
the sa me strange or power argue or fight. Pengertian tersebut sangat membantu
dalam menetapkan konteks dari ketidakseimbangan kekuatan yang terdapat
dalam bullying. Ketidakseimbangan kekuatan yang nyata terlihat saat beberapa
bentuk bullying terjadi, seperti pengucilan, penyebaran rumor, dan sarkasme
yang menyakitkan dari sekelompok orang terhadap satu orang. Oleh karena itu,
ketidakseimbangan kekuatan dalam bullying merupakan hal yang nyata apabila
ketidakseimbangan itu sendiri terikat oleh suatu konteks dan mengalir atau
berkelanjutan selama periode waktu yang lama.
Meskipun unsur-unsur yang membedakan bullying dari beragam bentuk
kekerasan lainnya sudah cukup jelas, namun masih muncul banyak pertanyaan
tentang bagaimana membedakan bullying dari agresi atau perilaku agresif.
Untuk membedakan antara bullying dan perilaku agresi terkadang nampak
seperti membelah sehelai rambut, sangat sulit. Berkowitz (1986; dalam Rigby
2002:30) mengartikan agresi sebagai perilaku menyakiti yang bertujuan
terhadap orang lain.
Rigby (2002; dalam Anesty, 2009) menyatakan agresi merupakan
situasi saat seseorang memperoleh sesuatu dengan menggunakan kekuatan
namun dominansinya terhadap target atau korban merupakan hal yang
insidental dan tidak disengaja, sementara bullying merupakan situasi akhir yang
diinginkan dan dicapai melalui penggunaan kekuatan secara bertujuan untuk
menyakiti orang lain dan untuk menunjukkan dominansi seseorang terhadap
orang lain. hasil akhir dari bullying lebih dapat diprediksi dibanding hasil akhir
dari agresi.
Untuk membedakan bullying dari agresi juga dapat dilihat dari seberapa
sering agresi tersebut terjadi. Karena beberapa ahli memandang bullying
sebagai agresi yang berulang Rigby (2002; dalam Anesty, 2009). Olweus (1993;
dalam Anesty, 2009) menulis bahwa bullying terjadi saat korban mengalami
13


tindakan negatif yang berulang dan terus-menerus; Besag (2005)
mengemukakan bahwa dalam bullying selalu ada serangan yang berulang.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat diperoleh kesimpulan
bahwa bullying merupakan bentuk tindakan kekerasan yang repetitif, cenderung
diulang, dilakukan berkali-kali atau terus-menerus selama periode waktu
tertentu. Olweus (1993) menspesifikan repetition dalam definisi bullying di
awal untuk mengecualikan insiden-insiden minor atau kejadian-kejadian tidak
serius yang kadang-kadang terjadi. Kendatipun demikian, Olweus juga
mengindikasikan bahwa hal serius tunggal di dalam keadaan tertentu harus
dianggap sebagai bullying.
Berdasarkan studi kerjasama yang dilakukan Olweus dan Rolland (1970
dalam Rigby, 2002:32), diperoleh kesepakatan mengenai kriteria operasional.
Agar dapat disebut sebagai bullying, maka agresi atau bentuk kekerasan lainnya
harus terjadi sedikitnya sekali dalam seminggu atau lebih selama periode waktu
satu bulan. Dari pengertian yang telah dikemukakan, dapat dilihat bahwa pada
dasarnya bullying adalah suatu perilaku agresif yang sengaja dilakukan dengan
motif tertentu. Suatu perilaku agresif dikategorikan sebagai bullying ketika
perilaku tersebut telah menyentuh aspek psikologis korban. Jadi, bullying ialah
suatu perilaku sadar yang dimaksudkan untuk menyakiti dan menciptakan terror
bagi orang lain yang lebih lemah.
Bullying disebut perilaku sadar karena perilaku ini dilakukan secara
berulang, terorganisir dan memiliki tujuan yaitu untuk menciptakan teror bagi
korban.
Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa kebanyakan definisi bullying
dikategorikan sebagai suatu sub bagian dari perilaku agresif yang melibatkan
suatu maksud untuk menyakiti orang lain (Camodeca et al. 2003; Olweus 1978;
Rivers & Smith, 1994; Smith & Thompson, 1991; dalam Nuraini, 2006).
Bullying disebut sebagai sub bagian dari perilaku agresif karena di
dalamnya melibatkan agresi atau serangan. Rivers dan Smith (1994, dalam
Saripah, 2010) mengidentifikasi tiga tipe agresi yang termasuk dalam bullying:
14


Agresi fisik langsung, agresi verbal langsung, dan agresi tidak langsung. Agresi
langsung mencakup perilaku-perilaku yang jelas seperti memukul, mendorong,
dan menendang. Agresi verbal langsung mencakup penyebutan nama dan
ancaman. Agresi tidak langsung melibatkan perilaku-perilaku seperti
menyebarkan rumor dan menceritakan cerita-cerita. Agresi langsung itu secara
eksplisit diperlihatkan dari agresor ke korban sedangkan agresi tidak langsung
melibatkan pihak ketiga.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bullying
merupakan serangan berulang secara fisik, psikologis, sosial, ataupun verbal,
yang dilakukan dalam posisi kekuatan yang secara situasional didefinisikan
untuk keuntungan atau kepuasan mereka sendiri. Bullying merupakan bentuk
awal dari perilaku agresif yaitu tingkah laku yang kasar. Bisa secara fisik, psikis,
melalui kata-kata, ataupun kombinasi dari ketiganya. Hal itu bisa dilakukan oleh
kelompok atau individu. Pelaku mengambil keuntungan dari orang lain yang
dilihatnya mudah diserang. Tindakannya bisa dengan mengejek nama, korban
diganggu atau diasingkan dan dapat merugikan korban.
Dalam beberapa tindakan yang dilakukan dalam bully ada beberapa
tindakan yang menunjukkan adanya indicator kekerasan fisik yang dilakukan
seseorang terhadap individu lainnya. Di dunia pendidikan kasus yang paling
sering terjadi adalah pada anak baru yang mengalami tindakan kekerasan dari
senior dan tak jarang tindakan kekerasan tersebut berujung kematian pada
korban, sungguh memprihatinkan di negar Indonesia yang terkenal dimata duni
dengan budaya local yang ari serta bersahabat, tapi di dunia pendidikannya di
nodai oleh hal-hal yang tak sepatutnya terjadi.
Belum lama bebrapa tahun terakhir sering terjadi kasus tauran antar
pelajar, sangat disayangkan saat ini sudah bertambah kasus kekerasan terhadap
individu. Jika menilik dari berbagai kasus tersebut menunjukkan betapa
banyaknya kekurangan dalam dunia pendidikan Indonesia yang buth
pembenahan yang sangat serius agar kasus tersebut bisa di minmalisir.
Ada bebrapa penyebab terjadinya bullydan kekerasan di dunia
pendidikan
15


1. Adanya rasa senioritas yang memiliki kekuasaan lebih di banding juniornya.
2. Adanya unsur balas dendam atas apa yang pernah dialami pelaku sendiri
oleh senior sebelumnya.
3. Adanya masalh pribadi antar individua dan antar kelompok dengan individu
yang memicu konflik sehingga memancing terjadinya kekerasan

Dunia pendidikan saat sekarng merupakan cerminanan bangsa ini untuk
masa depan. Akan kahbangsa ini menjadi lebih baik di masa depan jika tunas-
tunas bangsa yang tumbuh dan berkembang saat ini dilumuri noda kekerasan
dan kriminalitas. Tentunya ini akan menjadi pekerjaan rumah yang serius dan
harus di tanggulangi bersama baik di pihak dunia pendidiakan, keluarga dan
masyarakat.
















AB IV
PENUTUP
A. SARAN PEMECAHAN MASALAH
1. cara mencegah pelecehan seksual pada anak
Berikut beberapa langkah yang bisa Anda lakukan untuk mencegah
terjadinya kekerasan seksual pada anak Anda:
Jangan berikan pakaian yang terlalu terbuka karena bisa menjadi
rangsangan bagi tindakan pelecehan seksual;
Tanamkan rasa malu sejak dini dan ajarkan si kecil untuk tidak membuka
baju di tempat terbuka, juga tidak buang air kecil selain di kamar mandi;
Jaga si kecil dari tayangan pornografi baik film atau iklan;
Ketahui dengan siapa anak Anda menghabiskan waktu dan temani ia saat
bermain bersama teman-temannya. Jika tidak memungkinkan maka sering-
seringlah memantau kondisi mereka secara berkala;
Jangan membiarkan anak menghabiskan waktu di tempat-tempat terpencil
dengan orang dewasa lain atau anak laki-laki yang lebih tua;
Jika menggunakan pengasuh, rencanakan untuk mengunjungi pengasuh
anak Anda tanpa pemberitahuan terlebih dahulu;
Beritahu anak agar jangan berbicara atau menerima pemberian dari orang
asing;
Dukung anak jika ia menolak dipeluk atau dicium seseorang (walaupun
masih keluarga), Anda bisa menjelaskan kepada orang bersangkutan bahwa
si kecil sedang tidak mood. Dengan begitu anak Anda belajar bahwa ia
berwewenang atas tubuhnya sendiri;
Dengarkan ketika anak berusaha memberitahu Anda sesuatu, terutama
ketika ia terlihat sulit untuk menyampaikan hal tersebut;
Berikan anak Anda waktu cukup sehingga anak tidak akan mencari
perhatian dari orang dewasa lain.
Untuk anak yang lebih besar:


Ajarkan penggunaan internet yang aman - berikan batasan waktu baginya
dalam menggunakan internet, selalu awasi situs-situs yang ia buka. Jelaskan
juga bahwa tidak semua orang yang ia kenal di internet sebaik yang ia kira,
jadi ia tak boleh sembarangan memberi informasi atau bercerita kepada
mereka;
Minta anak untuk segera memberitahu Anda jika ada yang mengirimkan
pesan atau gambar yang membuat anak tak nyaman;
Awasi juga penggunaan gadget seperti seperti ponsel atau smartphone
jangan sampai anak terekspos dengan hal berbau porno melalui alat-alat
tersebut meskipun tidak disengaja karena bisa berdampak pada
perkembangan seksual anak.
Memberi pendidikan seks pada anak sejak dini
Mengajarkan pendidikan seks dan informasi terkait upaya pelecehan
seksual pada anak memang tidak mudah tapi harus dilakukan sedini mungkin
(mulai usia 2 atau 3 tahun) agar anak terhindar dari tindakan pelecehan seksual.
Anak-anak yang kurang pengetahuan tentang seks jauh lebih mudah dibodohi
oleh para pelaku pelecehan seksual. Berikut beberapa tips dalam memberi
pendidikan seks pada anak.
Untuk anak usia kurang dari 3 tahun Tanpa Anda sadari, Anda sudah
memberikan pendidikan seks pada si kecil pada saat mengajarinya
membersihkan alat kelaminnya dengan benar setelah buang air kecil (BAK)
maupun buang air besar (BAB) sendiri. Hal ini sangatlah baik karena secara
tidak langsung mengajari anak untuk tidak sembarangan mengizinkan orang
lain membersihkan alat kelaminnya.
Untuk anak 3 - 5 tahun Ajarkan tentang privasi bagian tubuhnya yang
bersifat pribadi, yang hanya boleh disentuh oleh dirinya sendiri, Anda, dan
orang lain dengan ijin/kehadiran Anda - misalnya pada waktu ke dokter,
jelaskan bahwa dokter hanya mau memeriksa karena itu boleh memegangnya.
Tidak perlu mengganti istilah-istilah sensitif dengan bahasa anak-anak supaya


anak tidak bingung dan tidak malu membicarakan kondisi yang berkaitan
dengan bagian pribadi tubuhnya sendiri.
Untuk anak 5 - 8 tahun
Berikan pengertian tentang sentuhan salah yang harus mereka hindari.
Sentuhan yang menyenangkan dan baik adalah ciuman saat pamit ke
sekolah, pelukan selamat datang dari sekolah, dan juga berjabat tangan
dengan orang lain. Sentuhan yang buruk berupa sentuhan pada bagian
pribadi anak dan anak harus diajarkan untuk menolak dan memberi tahu
Anda jika mengalami sentuhan yang buruk ini;
Jadilah tempat berlindung bagi si kecil dan lakukan pembicaraan singkat
dari waktu ke waktu. Yakinkan si kecil bahwa ia bisa memberi tahu Anda
kapan saja saat ia merasa bingung atau takut akan sesuatu, termasuk jika ada
yang menyentuhnya dengan cara yang tidak benar atau yang membuatnya
merasa risih. Anak perlu tahu bahwa ada yang suka meraba anak-anak atau
menyuruh anak-anak meraba mereka dengan cara yang buruk dan mengerti
bahwa hal itu merupakan perbuatan yang salah. Ajarkan anak untuk berani
menolak, menjauh dan menghindar dari orang seperti itu. Peringatan ini
hanya untuk kewaspadaan saja, tidak perlu membuat anak-anak cemas,
ketakutan atau mencurigai semua orang dewasa;
Hilangkan perasaan bersalah - yakinkan si kecil bahwa bukan salahnya jika
ada yang bersikap secara seksual terhadapnya dan ia harus memberitahu
Anda dengan segera. Hal ini bisa bisa menangkal senjata utama para pelaku
pelecehan, yaitu berusaha membuat anak merasa bersalah, malu atau takut.
Untuk anak 8 - 12 tahun
Tekankan keamanan diri sendiri. Mulai diskusikan aturan perilaku
seksual yang diterima oleh keluarga. Sampaikan pendidikan seksual secara
terbuka namun tidak vulgar sesuai dengan tingkat pemahamannya. Persiapkan
diri Anda juga karena ketika anak diajarkan mengenai seks, anak akan kristis
dan ingin tahu tentang segala hal. Jangan melarang ia bertanya tentang hal-hal


tersebut dengan alasan ia masih kecil atau alasan lainnya sebaliknya berikan
jawaban yang jelas sesuai usianya.
Untuk remaja
Tekankan keamanan diri sendiri. Diskusikan pemerkosaan, pemerkosaan
saat kencan, penyakit menular seksual, dan kehamilan yang tidak
diinginkan;
Ajak anak bicara tentang seksualitas. Pada tahap ini, anak mungkin
terintimidasi oleh teman-temannyatermasuk dalam hal-hal yang bersifat
seksual. Agar ia tidak mencari tahu ke sumber yang salah, buat anak merasa
nyaman untuk membahas hal ini dengan Anda. Cari cara dan waktu yang
tepat untuk membicarakannya tanpa membuatnya malu. Tegaskan juga
bahwa bukan salahnya jika ada orang yang berbuat tidak senonoh
terhadapnya;
Berikan penjelasan sejak dini kepada anak tentang siapa saja orang dewasa
yang juga dapat ia percayai (selain Anda) pada saat ia mengalami kejadian
buruk seperti kekerasan seksual jika ia ragu bercerita pada Anda.

2. Cara penanggulangan kekerasan di dunia pendidikan
Untuk mengurangi dan menanggulangi tindakan kekerasan didina
pendidikan adalh menumbuhkan rasa mencintai sesame dan menghargai
perbedaan. Walau sudah sering dinyatakan kita merupakan bangsa yang sangat
menghargai perbedaan dan tidak menggunakan jalan kekerasan untuk
menyelesaikan masalah, itu semua di lapangan kerap hanyalah sebuah
kebohongan. Begitu mudahnya menistakan perbedaan dengan cara membakar
tempat suci ibadah agama tertentu dan menghakimi keyakinan lain sebagai
sesat.
Akar masalah semua ini adalah kebencian. Kebencian inilah awal mula
sektarianisme. Kita tidak mengakui adanya sektarianisme di negeri Pancasila
ini. Tetapi, kenyataan di lapangan justru semangat sektarianisme dan kebencian
itulah yang selalu hidup dan mengobarkan aroma kekerasan.


Dalam pendidikan, penyebaran nilai-nilai kebencian ini begitu mudah
ditemukan. Anak didik secara tidak sadar diajarkan untuk abai terhadap
perbedaan. Potensi kebencian pun semakin membesar dan akan meledak saat
mendapatkan pemicunya.
Mengamati berbagai kekerasan yang terjadi di Tanah Air, beragam
kegundahan pun muncul. Kita bertanya mengapa bangsa ini begitu mudah
kehilangan kesantunan, keramahan, dan penghargaan terhadap perbedaan.
Mengapa sebagai anak bangsa kita mudah marah, tersinggung, merusak milik
orang lain, membunuh, dan membakar? Mengapa perilaku kekerasan begitu
cepat menjadi model dalam menyelesaikan segala masalah di negeri ini?
Hal mendasar yang bisa ditanyakan dalam hal ini adalah apakah
kekerasan itu merupakan wujud pendangkalan dalam memahami dan
mengaktualisasikan ajaran agama. Disebut pendangkalan, sebab tidak ada nilai
agama mana pun yang mengajarkan kekerasan. Setiap agama mengajarkan
hidup damai. Namun, kata damai mudah diucapkan, tapi begitu sulit
diterapkan.
Para tokoh agama kembali perlu mengingatkan, semua agama
mengajarkan cinta kasih antarsesama manusia. Untuk itu, semua umat
beragama menolak berbagai bentuk kekerasan apa pun alasannya. Tokoh agama
perlu menegaskan, sebagai sesama manusia warga sebangsa untuk senantiasa
menggunakan spirit persaudaraan dan kekeluargaan dalam bentuk dialog dari
hati ke hati ketika menyelesaikan berbagai permasalahan.
Hal yang terpenting, para tokoh agama perlu mengajak setiap umatnya
untuk tidak mudah terprovokasi informasi yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan dalam menyikapi kehidupan sosial masyarakat.
Seluruh umat beragama di Indonesia hendaknya senantiasa menjaga kerukunan
dan keharmonisan dalam kemajemukan. Jadi, bangsa Indonesia dapat menjadi
teladan bagi bangsa lain.
Selain itu, pemerintah dan aparat keamanan agar cepat tanggap dan
cermat dalam membaca situasi. Itu karena konflik yang terjadi secara berulang
merupakan wujud lemah dan lambannya pemerintah dan aparat keamanan
membaca situasi dan kondisi serta dinamika yang berkembang. Pemerintah dan


aparat keamanan wajib melindungi segenap warga negara dan memberi rasa
aman sebagai perwujudan hak asasi setiap warga negara.
Pembangunan karakter bangsa adalah upaya cita-cita bersama untuk
mewujudkan kemanusiaan dan keadilan sebagai alat pemersatu kebangsaan.
Kondisi kesenjangan ekonomi, faktor kebijakan, peran dominan mayoritas yang
tidak menghargai minoritas, serta pelecehan terhadap martabat kemanusiaan
dan keadilan membuat manusia mudah frustrasi. Rasa frustrasi akut tersebut
akan membawa bencana bagi negeri ini karena tiadanya harapan akan masa
depan.

3. Pengotrolan media
Tanpa disadari media yang canggih saat ini juga ikut campur tangan
berkembangnya kriminalitas di dunia pendidikan. Contohnya saja banyaknya
video yang beredar di media online yang mempertontonkan kasus kriminalitas,
sehingga menimbulkan dorongan pada sang penonton untuk melakukan hal
serupa dalam dunia pendidikan untuk itu pemerintah harus memperhatikan
media dengan membatasi penayangan video yang berindikasi kekerasan,
pelecehan seksual dan tindak criminal lainnya.
B. KESIMPULAN
Dari tulisan diatas dapat diambil bebrapa kesimpulan antaranya :
1. Dunia pendidikan Indonesia harus melakukan pembenahan yang mendasar
untuk mencegah terjadinya tindakan- tindakan yang dapat mencoreng citra
pendidikan.
2. Nilai dan norma agama harus ditanamkan sejak dini pada seseorang sehingga
dirinya mampu membentengi kehidupannya dengan iman.
3. Dalam dunia pendidikan harus menanamkan rasa saling cinta mencintai, harga
menghargai terutama terhadap berbagai perbedaan, kekurangan dan kelebihan
sesama.

Вам также может понравиться