Вы находитесь на странице: 1из 26

BAB I

PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia sejak dahulu sudah melakukan pengobatan secara
tradisional hingga sekarang. Kekayaan tumbuhan Indonesia yang berkhasiat
sebagai tanaman obat sangat berlimpah dan banyak digunakan sebagai obat
tradisional, maka obat tradisional perlu dikembangkan karena banyak kandungan
zat aktif yang menguntungkan. Seiring berkembangnya prinsip back to nature,
masyarakat sekarang ini semakin menyukai dan menyenangi ramuan bahan alami
dibandingkan obat kimia. Hal ini karena ramuan bahan alami lebih ekonomis,
mudah didapat dan tidak menimbulkan efek samping yang sangat toksik.
Walaupun demikian, perlu pembuktian melalui penelitian dan pengkajian ilmiah
oleh pakar farmakognosi (ahli obat alam) perihal khasiat kandungan dan
keamanannya pada manusia.
Pengembangan di bidang kesehatan terutama sangat diperlukan peran
aktif masyarakat untuk mencapai kemampuan hidup sehat. Salah satu cara agar
dapat sehat adalah dengan membudayakan pemanfaatan tanaman berkhasiat obat
sebagai obat alternatif yang sekarang lebih dikenal dengan istilah Obat Asli
Indonesia.
Penggunaan sediaan granul memiliki kelebihan dibandingkan bentuk
sediaan obat lain, yaitu dalam hal kepraktisan dan kemudahan dalam
penggunaannya. Sediaan granul adalah gumpalan-gumpalan partikel yang lebih
kecil, umumnya berbentuk tidak merata dan menjadi seperti partikel-partikel
tunggal yang lebih besar, ukurannya berkisar antara ayakan mesh 4 -12, namun
dari bermacam - macam ukuran lubang ayakan dapat dibuat sesuai dengan
keinginan dan tujuan pemakaian. Granulasi merupakan proses pengubahan
campuran serbuk menjadi granul yang lebih bebas mengalir dibandingkan dengan
serbuk awalnya (Ansel, 1989).
Pegagan (Centella asiatica (L) Urban) adalah salah satu dari 10 jenis
tanaman terlaris di dunia yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai
2
tanaman obat. Jenis Pegagan yang banyak dijumpai adalah Pegagan Merah dan
Hijau. Pegagan Merah dikenal dengan antanan kebun atau antanan batu karena
banyak ditemukan di daerah bebatuan, kering dan terbuka. Sedangkan Pegagan
Hijau sering banyak dijumpai di daerah pesawahan dan disela-sela rumput.
Tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah Pegagan Hijau, karena
mempunyai kandungan zat asiatikosida yang lebih banyak dibandingkan dengan
pegagan merah (Endah dkk, 2003 dalam Haryadi, 2010).
Adanya kandungan senyawa asiatikosida, glikosida, tanin, terpen,
saponin, flavonoid, serta garam mineral seperti kalium, natrium, magnesium,
kalsium dan besi (Prasetya, 2006), membuat pegagan berkhasiat sebagai obat
untuk memperbaiki dan merevitalisasi pembuluh darah dan sel-sel yang rusak
dalam tubuh, menurunkan tekanan darah tinggi, dan penyembuhan penyakit HIV
melalui peningkatan ketahanan tubuh pasien (Mariam dan Yusron, 2005). Selain
itu juga pegagan memiliki khasiat antioksidan, antiinflamasi, antibiotik,
antidemam, antidiuretik dan keratolitik (Paimin, 2001 dalam Haryadi, 2010).
Asiatikosida merupakan triterpenoid glikosida yang didapat dari tanaman
pegagan (Centella asiatika (L.) Urban) yang biasanya digunakan untuk
pengobatan. Aktivitasnya antara lain untuk merevatilisasi pembuluh darah,
meningkatkan perbaikan dan penguatan sel-sel, stimultan pertumbuhan kuku,
rambut, jaringan ikat dan dapat melawan virus herpes simplek 1 dan 2,
Mycobacterium tuberculosis dan neuroprotectant. Asiatikosida juga mempunyai
aktivitas sebagai antioksidan yang cukup besar (Yonet, 2010). Selain itu
berdasarkan hasil penelitian Herlina (2010), pemberian total triterpen pegagan 32
mg/kg BB dapat meningkatkan fungsi kognitif belajar dan mengingat pada mencit
jantan albino.
Hasil penelitian Haryadi (2010), pegagan diekstraksi dengan etanol 30%
dan rendemen ekstrak pegagan berkorelasi dengan kapasitas antioksidan di mana
semakin tinggi kadar rendemen ekstrak maka kapasitas antioksidannya semakin
tinggi. Kapasitas antioksidan berkorelasi dengan profil spektrogram FTIR di mana
semakin tinggi kapasitas antioksidannya maka jumlah serapan pada bilangan
3450-3251 cm
-1
semakin banyak.
3
Penelitian-penelitian tentang isolasi asiatikosida telah banyak dilakukan.
Asiatikosida dapat diisolasi dari ekstrak air. Untuk mendapatkan senyawa murni
dilakukan partisi antara senyawa halogenik yaitu kloroform dengan senyawa yang
kandungan alkoholnya tinggi. Bagian alkohol dicuci dengan NaOH dan untuk
rekristalisasi digunakan etil asetat. Dalam penelitian tersebut penetapan kadar
kemurnian asiatikosida ditetapkan dengan HPLC dan diperoleh kadar sebesar 84
% (Barbosa et al., 2008). Penelitian yang lain menunjukkan bahwa asiatikosida
dapat diisolasi dari ekstrak metanol dengan metode kromatografi kolom dengan
menggunakan kombinasi fase gerak antara etil asetat dan metanol, sedangkan
untuk penetapan kadar asiatikosida dapat menggunakan metode kromatografi cair
kinerja tinggi atau HPLC dan diperoleh kadar sebesar 2,56 g/ml (Zainol et al.,
2008 dalam Yonet, 2010).
Berdasarkan penelitian tersebut, maka ekstrak pegagan akan
dikembangkan ke arah bentuk sediaan yang praktis dan mudah digunakan, yaitu
sediaan granul instan. Dibuat beberapa formula granul instan kemudian dilakukan
evaluasi untuk mendapat kriteria granul instan yang terbaik. Hasil formulasi
granul instan terbaik diidentifikasi dengan HPLC (High Performance Liquid
Chromatography) untuk mengetahui kandungan asiatikosidanya.

1.2. Tujuan Penelitian
1. Membuat formulasi granul instan dari ekstrak herba pegagan sebagai
minuman kesehatan.
2. Menentukan kandungan asiatikosida dari simplisia basah, ekstrak kering
dan granul instan ekstrak herba pegagan.

1.3. Hipotesis
1. Ekstrak pegagan dapat dibuat formulasi granul instan.
2. Kandungan asiatikosida menurun selama proses pengolahan.
3. Ada perbedaan jumlah kandungan asiatikosida pada simplisia basah,
ekstrak kering dan granul instan ekstrak herba pegagan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban)
2.1.1 Deskripsi dan Morfologi Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban)
Pegagan tergolong herba berbatang pendek, sehingga dianggap tidak
mempunyai batang. Pegagan merupakan tanaman herba tahunan yang tumbuh
menjalar dan berbunga sepanjang tahun. Pegagan termasuk famili Umbilliferae
(Apiaceae) merupakan tanaman herba atau terna menahun tanpa batang tetapi
dengan rimpang pendek dan stolon-stolon yang merata. Daun tunggal tersusun
dalam roset yang terdiri dari 2 sampai 10 daun, kadang-kadang agak berambut;
tungkai daun panjang sampai 50 mm, helai daun berbentuk ginjal, lebar dan
bundar dengan garis tengah 1 cm sampai 7 cm, tepi daun bergerigi. Perbungaan
berupa paying tunggal 3 atau sampai 5 bersama-sama atau ke luar dari ketiak daun
kelopak, gagang perbungaan 5 mm sampai 50 mm, lebih pendek daripada tangkai
daun. Bunga umumnya 3, daun pelindung 2 panjang 3-4 mm bentuk bundar telur
tajuk berwarna merah lembayung panjang 1-1,5 mm, lebar sampai 0,75 mm. Buah
pipih lebar kurang lebih 7 mm dan tinggi kurang lebih 3 mm berwarna kuning
kecoklatan berdinding agak tebal (DepKes RI, 1977). Gambar herba pegagan
dapat di lihat pada Gambar 1.






Gambar 1. Herba Pegagan (Centelle asiatica (L.) Urban)
(Sumber: Majalah Swadaya, 2003)
Jenis Pegagan yang banyak dijumpai adalah Pegagan Merah dan Pegagan
Hijau. Pegagan Merah dikenal dengan antanan kebun atau antanan batu karena
5
banyak ditemukan di daerah bebatuan, kering dan terbuka. Pegagan Merah
tumbuh merambat dengan stolon dan tidak mempunyai batang. Sedangkan
Pegagan Hijau sering banyak dijumpai di daerah pesawahan dan disela-sela
rumput. Tempat yang disukai pegagan hijau yaitu tempat yang lembab dan
terbuka atau agak ternaungi. Tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah
Pegagan Hijau, karena mempunyai kandungan zat asiatikosida yang lebih banyak
dibandingkan dengan pegagan merah (Endah dkk, di dalam Haryadi 2010).
Tanaman pegagan dapat diperbanyak dengan menggunakan stolon dan akar
tunggang. Stolon berakar/bertunas dipotong-potong sepanjang 2,5 cm dan ditanam
langsung. Dalam waktu 14 hari tanaman sudah tumbuh (Winarto, 2007 dalam
Haryadi, 2010).

2.1.2 Ekologi dan Penyebaran
Pegagan tumbuh liar di seluruh Indonesia serta daerah beriklim tropik.
Pada umumnya dari dataran rendah hingga ketinggian 2500 m di atas permukaan
laut. Tumbuh di tempat yang terbuka atau sedikit kenaungan. Pada tanah yang
lembab dan subur seperti padang rumput, tepi parit, diantara batu-batu, di tepi
jalan dan tembok (Winarto, 2007 dalam Haryadi, 2010).

2.1.3 Kandungan dan Khasiat
Adanya kandungan senyawa asiatikosida, glikosida, tanin, terpen,
saponin, flavonoid, serta garam mineral seperti kalium, natrium, magnesium,
kalsium dan besi (Prasetya, 2006), sehingga Pegagan berkhasiat sebagai obat
untuk memperbaiki dan merevitalisasi pembuluh darah dan sel-sel yang rusak
dalam tubuh, menurunkan tekanan darah tinggi, dan penyembuhan penyakit HIV
melalui peningkatan ketahanan tubuh pasien (Mariam dan Yusron, 2005), selain
itu juga Pegagan memiliki khasiat antioksidan, antiinflamasi, antibiotik,
antidemam, antidiuretik dan keratolitik (Paimin, 2001 dalam Haryadi, 2010).

6
2.2 Asiatikosida
Asiatikosida merupakan triterpenoid glikosida yang didapat dari tanaman
pegagan (Centella asiatika L. Urban) yang biasanya digunakan untuk pengobatan.
Asiatikosida ini mempunyai nama lain madecasol. Struktur molekul dari
asiatikosida C48H78O19. dan mempunyai berat molekul 959,19 (Robinson, 1998
dalam Yonet, 2010).


Gambar 2. Struktur kimia Asiaticosida
(Sumber: Angga, 2010)
Asiatikosida merupakan suatu senyawa terpenoid karena mempunyai
ciri-ciri: branching yakni bercabang dengan gugus metil, itu menandakan gugus
metil berasal dari salah satu dimetil isopren, jika membentuk cincin aromatis
maka berbentuk tidak wajar, terdiri dari 2-8 x C5. Artinya jumlah atom karbonnya
5 x 2 sampai dengan 8 atau mendekati karena kehilangan 1 atom C, banyak
terdapat karbon asimetrik, yakni empat atom yang terikat atom karbon berbeda,
tidak simetris, bukan cermin. Atom O mulai dari 0 sampai multiple gugus OH
(hidroksil) dan = O (karbonil), artinya jumlah atom oksigen tidak tentu.
Berdasarkan strukturnya (Gambar 2). Asiatikosida merupakan senyawa yang
bersifat kurang polar karena banyaknya rantai karbon dan mempunyai panjang
gelombang yang rendah karena tidak mempunyai gugus rangkap terkonjugasi
(kromofor) sehingga memerlukan energi yang tinggi untuk bereksitasi karena
lebih tingginya selisih energi antara HOMO (Orbital Molekul Terhuni Tertinggi)
dan LUMO (Orbital Molekul Kosong Terendah) dibandingkan dengan senyawa
yang mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi. Aktivitasnya antara lain sebagai
perevitalisasi pembuluh darah sehingga peredaran darah ke otak menjadi lancar,
7
meningkatkan perbaikan dan penguatan sel-sel, stimultan pertumbuhan kuku,
rambut, jaringan ikat dan dapat melawan virus herpes simplek 1 dan 2,
micobacterium tuberculosis dan neuroprotectant. Selain itu asiatikosida juga
mempunyai aktivitas sebagai antioksidan yang cukup besar (Annisa, 2006 dalam
Yonet, 2010).

2.3 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat
larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair
(DepKes RI, 2000). Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan
massa atau serbuk yang tersedia diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku
yang telah ditentukan (DepKes RI, 1995).
Pada penelitian ini jenis ekstraksi yang digunakan adalah ekstraksi dengan
cara maserasi. Ekstraksi cara maserasi merupakan pengekstrak simplisia dengan
menggunakan pelarut dan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan (DepKes RI, 2005). Keuntungan dari cara maserasi yaitu
peralatan yang digunakan sangat sederhana dan mudah dikerjakan sedangkan
kekuranganya yaitu waktu yang dibutuhkan untuk ekstraksi lama dan
penyariannya kurang sempurna.

2.4.Granul Instan
Granul adalah gumpalan-gumpalan dari partikel-partikel yang kecil.
Umumnya berbentuk tidak merata dan menjadi seperti partikel tunggal yang lebih
besar. Ukuran biasanya berkisar antara ayakan 4-12, walaupun demikian dari
macam-macam ukuran lubang ayakan mungkin dapat dibuat tergantung pada
tujuan pemakaiannya (Ansel, 1989). Definisi dari granulasi adalah proses
pembuatan granul yang bertujuan untuk meningkatkan aliran serbuk dengan jalan
membentuknya menjadi bulatan atau agregat dalam bentuk yang beraturan yang
disebut granul (Lachman, 1988). Sedangkan menurut Ansel (1989), proses
8
pengubahan campuran dari bentuk serbuk menjadi granul akan memperbaiki daya
alir sediaan.
Bentuk granul biasanya lebih stabil secara fisik dan kimia daripada
serbuk saja. Granul biasanya lebih tahan terhadap pengaruh udara. Selama granula
lebih mudah dibasahi (wetted) oleh pelarut daripada beberapa macam serbuk yang
cenderung akan mengambang diatas permukaan pelarut, sehingga granula lebih
disukai untuk dijadikan larutan (Ansel, 1989).
Menurut Voight (1995) beberapa syarat yang harus dimiliki granul
diantaranya adalah mempunyai bentuk dan warna yang homogen, memiliki
distribusi butiran yang sempit dan tidak lebih dari 10% mengandung komponen
berbentuk serbuk, memiliki daya alir yang baik, mudah larut dalam air.
Pembuatan granul dapat dibedakan menjadi 2 cara yaitu : granulasi basah
dan kering. Granulasi basah dibuat dengan cara zat berkhasiat, dan zat pengisi
dicampur baik-baik, lalu dibasahi dengan larutan pengikat, bila perlu ditambah
bahan pewarna. Setelah itu diayak menjadi granul, dan dikeringkan pada suhu 40-
50
0
C. Granulasi kering khusus digunakan untuk bahan-bahan yang tidak dapat
diolah dengan metode granulasi basah, karena kepekaannya terhadap uap air. Pada
metode granulasi kering: zat aktif, zat pengisi, dan zat bahan pengikat, dicampur
dan di slugged atau kompresi menjadi tablet. Setelah itu tablet dipecah menjadi
granul dan kemudian diayak kembali.

2.5 Bahan Tambahan Granul Instan
Bahan tambahan yang digunakan pada pembuatan granul instan antara
lain serbuk gula pasir, laktosa, Amylum Manihot dan Corn Starch.
1. Gula Pasir (Sukrosa)
Serbuk hablur berwarna putih, tidak berbau, rasa agak manis, stabil di
udara. Larutannya netral terhadap lakmus. Sangat mudah larut dalam air, lebih
mudah larut dalam air mendidih, sukar larut dalam etanol, tidak larut dalam
kloroform dan eter (Depkes RI, 1995).


9
2. Laktosa
Serbuk atau massa hablur, keras, putih atau putih krem, tidak berbau, rasa
sedikit manis, stabil di udara, tetapi mudah menyerap bau. Sangat mudah larut
dalam air, lebih mudah larut dalam air mendidih, sukar larut dalam etanol,
tidak larut alam klorofom dan dalam eter. Titik leleh 160
0
-186
0
C. Digunakan
sebagai pengisi (Depkes RI, 1995).
3. Amylum Manihot
Amylum Manihot adalah cadangan makanan utama yang merupakan
gabungan dari 2 polisakarida yaitu amilopektin (-amilosa) yang merupakan
polimer rantai bercabang dan amilosa (-amilosa) yang berantai lurus.
Amylum Manihot merupakan pati dari umbi akar Manihot utillisima Pohl
(Euphorbiaceae). Amylum Manihot bersifat inert dan dapat dicampur dengan
hampir semua obat tanpa menimbulkan terjadinya reaksi.
Amylum Manihot berbentuk serbuk sangat halus berwarna putih dan
memiliki sifat higroskopik, dimana kelarutannya mudah terdispersi dalam air
membentuk larutan koloidal, tidak larut dalam etanol, dalam eter dan dalam
pelarut organik lain.
Amylum Manihot dapat digunakan sebagai bahan pengikat dalam bentuk
mucilago dengan konsentrasi larutan 5-10% larutan, memiliki pH antara 6,5
dan 8,5. Larutan Amylum Manihot harus digunakan selagi hangat, karena bila
digunakan dibawah suhu 45
0
C akan membentuk gel. Amylum Manihot akan
membentuk granul dan tablet yang cukup keras dengan laju desintregasi
secara perlahan (Depkes, 1995 dan American Pharmaceutical Association,
1986).
4. Corn Starch
Corn Starch adalah hidrokarbon alam yang dapat dibagi menjadi
polisakarida anionik atau nonionik yang berupa serbuk yang bearasal dari
tanaman Zea Mays (Poaceae). Corn Starch berupa serbuk sangat halus dan
berwarna putih dan praktis tidak larut dalam air dingin dan dalam etanol.
Dibidang farmaseutika digunakan sebagai bahan pengemulsi, demulsan,
10
suspending agent, stabilizer, zat pengental dan bahan dalam troches, 5%
larutan memiliki pH 4,5-5,0.
Larutan Corn Starch memiliki viskositas yang rendah jika dilakukan
pemanasan larutan yang lama karena terjadi polimerisasi. Dalam bentuk
larutan digunakan sebagai bahan pengikat dengan konsentrasi larutan 10-
15%. Larutan akan membentuk tablet yang cukup keras, dengan larutan
bermuatan negatif. Dapat pula menggunakan konsentrasi 5-25% b/b. Corn
strach tidak bercampur dengan adrenalin, aminopirin, bismuth subnitrat,
boraks, garam ferri, morfin, timol, dan vanilin. Kelebihan Corn strach dari
bahan pengikat lainnya adalah relatif murah, dapat mengentalkan serta
menstabilkan granul sampai menjadi sediaan tablet (American Pharmaceitical
Association, 1986)

2.6 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi / HPLC
HPLC secara mendasar merupakan perkembangan tingkat tinggi dari
kromatografi kolom. Selain dari pelarut yang menetes melalui kolom dibawah
gravitasi, didukung melalui tekanan tinggi sampai dengan 400 atm. Ini
membuatnya lebih cepat (Clark, 2007).
HPLC memperbolehkan penggunaan partikel yang berukuran sangat kecil
untuk material terpadatkan dalam kolom dimana akan memperluas luas
permukaan yang akan berinteraksi antara fase diam dan molekul-molekul yang
melintasinya. Hal ini memungkinkan pemisahan yang lebih baik dari komponen-
komponen dalam campuran. Pemisahan mekanisme adsorbsi yang terjadi
termasuk dalam jenis mekanisme absorbsi dan sekitar 90% menggunakan fase
diam silika. Pada silika terdapat gugus hidroksi yang akan berinteraksi dengan
solut. Gugus silanol pada silika mempunyai reaktifitas yang berbeda, sehingga
solut dapat terikat secara kuat dan dapat juga menyebabkan tailing. Pada
mekanisme adsorbsi solut-solut akan tertahan karena adanya adsorbs pada
permukaan gugus aktif silanol dan akan terelusi sesuai dengan urutan polaritasnya
(Yonet, 2010).
11
Instrumentasi HPLC pada dasarnya terdiri atas delapan komponen pokok
yaitu: (1) wadah fase gerak, (2) sistem penghantaran fase gerak, (3) alat untuk
memasukkan sampel, (4) kolom, (5) detektor, (6) wadah penampung buangan fase
gerak, (7) tabung penghubung, dan (8) suatu komputer atau integrator atau
perekam (Sudjadi, 2007).


























12
BAB III
BAHAN DAN METODE


3.1Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai April 2011 di
Laboratorium Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Pakuan, Bogor. .

3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah herba pegagan
yang berasal dari koleksi Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, NH3,
CHCl
3
, H
2
SO
4
2M, H
2
SO
4
pekat, serbuk magnesium, HCl, HCl 1%, EtOH, FeCl
3

10%, CH
3
COOH anhidrat, etanol 30%, akuades, pereaksi (Meyer, Dragendorf,
Buchardad, wagner, Lieberman, dan FeCl
3
). Laktosa, aquades, Amylum Manihot,
Corn Starch, gula halus.

3.2.2 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: grinder, buchi
syncore, evaporator Buchi Heathly Bath B-490, neraca analitik, corong, cawan
krus , hot plate, oven, tanur, moisture balance, flowmeter, freeze dryer, HPLC,
kain penyaring, gelas piala, pengaduk, gelas ukur, stopwatch, ayakan dengan
berbagai ukuran mesh serta alat-alat gelas dan alat-alat umum lainnya yang lazim
digunakan di dalam laboratorium kimia.

3.3 Metode
3.3.1 Analisis Pendahuluan
Dilakukan analisis pendahuluan terhadap sampel untuk mengetahui
identitas dan gambaran umum mengenai sampel yang diuji.
13
3.3.1.1 Determinasi Tumbuhan
Determinasi tanaman dilakukan di Herbarium Bidang Botani Pusat
Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jalan Raya
Jakarta-Bogor Km.46, Cibinong 16911.

3.3.1.2 Preparasi Sampel
Herba pegagan dibersihkan dari kotoran yang menempel, kemudian
dicuci bersih dan dikeringkan di bawah sinar matahari secara tidak langsung
(dengan ditutup kain hitam) selama 1 minggu. Setelah kering digiling dan diayak
menggunakan mesh 40 (DepKes RI, 1985).

3.3.2. Karakterisasi Simplisia
3.3.2.1 Penetapan Kadar Air Simplisia
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode gravimetri. Sebanyak 2
gram simplisia ditimbang dan dimasukkan kedalam krus tertutup yang
sebelumnya dipanaskan pada suhu 105
0
C selama 30 menit dan telah ditara,
pemanasan dilakukan sampai bobot tetap (DepKes RI, 2000). Kadar air simplisia
herba pegagan tidak lebih dari 7,6% (DepKes RI, 1977).
a (c b)
Kadar air simplisia = x 100%
a
Keterangan : a = bobot awal serbuk
b = bobot wadah
c = bobot akhir penimbangan

3.3.2.2 Penetapan Kadar Abu
Sebanyak 2 gram serbuk dimasukkan ke dalam krus yang sudah ditara,
kemudian pijarkan dalam tanur pada suhu 700
0
C sampai terjadi abu, dinginkan
dan timbang. Kadar abu herba pegagan tidak lebih dari 19% (DepKes RI,1977).
Bobot Akhir Simplisia
Kadar abu total = x 100%
Bobot Awal Simplisia
14
3.3.3 Ekstraksi
3.3.3.1 Pembuatan Ekstrak
Ekstrak herba pegagan dibuat dengan cara maserasi, yaitu 1 kg serbuk
herba pegagan dimasukkan kedalam bejana, kemudian dituangi dengan 5 liter
etanol 30%, ditutup dan dibiarkan selama 3 hari kemudian dilakukan pengocokan
sekali-kali agar terdistribusi merata, sari diserkai dan ampas diperas. Ampas
ditambah etanol 30% secukupnya diaduk dan diserkai, sehingga diperoleh seluruh
sari sebanyak 10 liter. Bejana ditutup dan didiamkan selama 2 hari. Kemudian
endapan dipisahkan. Semua maserat dikumpulkan dan dilakukan penguapan
rendah suhu 50
0
C dengan syncore dan dilanjutkan dengan vaccum dry. Sehingga
diperoleh ekstrak kental (DepKes RI, 1985). Dilanjutkan dengan freeze dry untuk
membuat ekstrak kering.

3.3.3.2 Rendemen Ekstrak
Rendemen ekstrak etanol dihitung dengan membandingkan berat awal
simplisia dan berat akhir ekstrak yang dihasilkan.
Cara perhitungannya :
Bobot ekstrak yang diperoleh
Rendemen Ekstrak = x 100%
Bobot awal simplisia

3.3.3.3 Uji Fitokimia
Uji Fitokimia yang dilakukan terhadap simplisia dan ekstrak herba
pegagan yaitu meliputi:
a. Senyawa golongan alkaloid
Sebanyak 1000 mg sampel (simplisia/ekstrak) ditambahkan beberapa
tetes NH
3
dan tambahkan 5 ml CHCl
3
kemudian saring, lalu filtratnya
ditambahkan H
2
SO
4
2 M. Lapisan asam dibagi dalam tiga tabung. Tabung
pertama diuji dengan pereaksi Dragendrof terbentuknya warna jingga, tabung
kedua ditambahkan pereaksi Mayer terbentuknya warana putih dan tabung
15
ketiga ditambahkan pereaksi Wagner terbentuknya warna coklat menunjukkan
adanya senyawa alkaloid (DepKes RI, 1977).
b. Senyawa golongan flavonoid
Sebanyak 100 mg simplisia/ekstrak ditambah 100 ml air panas, kemudian
didihkan selama 5 menit, disaring sehingga diperoleh filtrat yang digunakan
sebagai larutan percobaan. Ke dalam 5 ml larutan percobaan ditambahkan
serbuk magnesium dan HCl:EtOH (1:1), selanjutnya ditambahkan amil alkohol
dikocok dengan kuat dan dibiarkan hingga memisah. Terbentuknya warna
merah, kuning, atau jingga dalam larutan amil alkohol menunjukkan adanya
senyawa golongan flavonoid (DepKes RI, 1977).
c. Senyawa golongan tanin
Sebanyak 100 mg simplisia/ekstrak diencerkan dengan air dan larutan
tersebut ditambahkan pereaksi FeCl
3
10%. Terbentuknya warna biru tua atau
hijau kehitaman menunjukkan adanya golongan tanin (DepKes RI, 1977).
d. Senyawa golongan saponin
Sebanyak 100 mg simplisia/ekstrak dimasukkan ke dalam tabung lalu
diencerkan dengan air, kemudian dikocok kuat selama 10 menit. Terbentuknya
busa yang stabil dalam tabung reaksi menunjukkan adanya senyawa golongan
saponin, bila ditambahkan 1 tetes HCl 1% busa tetap stabil (DepKes RI, 1977).
e. Senyawa golongan steroid/triterpenoid
Sebanyak 1000 mg simplisia/ekstrak ditambahkan EtOH panas,
kemudian disaring filtratnya dipanaskan hingga kering kemudian ditambahkan 1
ml dietil eter kocok hingga homogen. Kemudian buat 2 tabung kepada masing-
masing tabung ditambahkan 1 tetes H
2
SO
4
pekat dan 1 tetes CH
3
COOH
anhidrat. Terbentuknya warna hijau atau biru menunjukkan adanya senyawa
golongan steroid dan terbentuknya merah atau ungu triterpernoid (DepKes RI,
1977).

3.3.4 Pembuatan Granul Instan dari Ekstrak Herba Pegagan
Formulasi pembuatan granul instan dari ekstrak herba pegagan, disajikan
seperti dalam Tabel 1. Berat granul tiap Formula sebanyak 12 g.
16
Tabel 1. Formulasi granul instan ekstrak herba pegagan
Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3
Ekstrak kering herba pegagan 1,6 g 1,7 g 1,8 g
Gula halus 6 g 6 g 6 g
Laktosa 2,48 g 2,38 g 2,28 g
Amylum Manihot 0,12 g 0,12 g 0,12 g
Corn Srarch 1,8 g 1,8 g 1,8 g

Sejumlah massa granul seperti ekstrak pegagan, gula halus, laktosa dan
Corn Starch ditimbang sesuai tabel diatas, lalu diayak menggunakan ayakan mesh
30 dan dicampur sampai homogen. Tambahkan larutan pengikat (Amylum
Manihot yang telah disuspensikan) diaduk sampai terbentuk massa yang kompak,
kemudian diayak dengan ayakan mesh 8, granul yang terbentuk hasil pengayakan
di keringkan dalam oven bersuhu 50 C selama 24 jam. Granul yang telah kering
diayak kembali dengan ayakan mesh 12.

3.3.5 Evaluasi Granul Instan
Evaluasi granul instan meliputi: uji aliran granul, uji sudut istirahat, uji
kadar air, uji ukuran partikel, uji kelarutan, uji derajat keasaman.
3.3.5.1 Uji Aliran Granul
Uji aliran granul dilakukan dengan sebanyak 25 g granul dilewatkan ke
dalam alat Flowmeter sampai masa granul melewati corong, kemudian dicatat
waktunya. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali. Penghitungan daya aliran
granul dilakukan menggunakan rumus:

M
f =
T
Keterangan: f = Daya aliran (gram/detik)
T = Waktu (detik)
M = Massa Granul (gram)





17
Tabel 2. Tipe Aliran Berdasarkan Harga Daya Alir
Harga daya alir (f) Keterangan
>10 Bebas mengalir
4 - 10 Mudah mengalir
1,4 - 4 Kohesif
<1,4 Sangat kohesif
(Aulton, 1988).

3.3.5.2 Uji Sudut Istirahat
Penentuan sudut istirahat dilakukan dengan memasukkan sejumlah massa
granul kedalam corong. Massa yang jatuh akan membentuk kerucut, lalu diukur
tinggi dan diameter kerucut. Percobaan ini dilakukan sebanyak 3 kali. Tipe aliran
berdasarkan sudut istirahat dapat dilihat pada Tabel 3.
Rumus yang digunakan untuk menentukan sudut diam.
Tan
-1
= h
r
h

r


Tabel 3. Tipe Aliran berdasarkan Sudut Diam.
Sudut Istirahat () Keterangan
< 25
0
Sangat Mudah Mengalir
25
0
<<40
0
Mudah Mengalir
>40
0
Sukar Mengalir
(Aulton,1988).

3.3.5.3 Uji Kadar Air Granul
Pemeriksaan kadar air granul dilakukan dengan menggunakan Moisture
Balance. Setiap formula dimasukkan 1 g granul instan ekstrak herba pegagan ke
dalam alat yang telah disiapkan, pada suhu 105
0
C selama 10 menit. Kemudian
catat kadar yang tertera pada Moisture Balance.



18
3.3.5.4 Uji Distribusi Ukuran Partikel
Granul yang sudah terbentuk diayak menggunakan mesh 8 hingga mesh
100 untuk mengetahui persentase ukuran partikel pada setiap Formula.
Ukuran Patikel % = Jumlah lolos diayak X 100%
Jumlah keseluruhan

3.3.5.5 Uji Kelarutan
Sebanyak 10 g granul instan dimasukkan kedalam air 120 ml, kemudian
dihitung dengan stopwatch, sampai keseluruhan granul instan larut dan catat
waktu yang tertera dalam stopwatch.

3.3.5.6 Uji Derajat Keasaman (pH)
Pengukuran derajat keasaman (pH) diukur dengan menggunakan pH
meter. Sebelum pH meter digunakan dilakukan standarisasi terlebih dahulu
menggunakan larutan buffer pH 4 dan 7. Granul sebanyak 10 g dilarutkan ke
dalam 120 ml air. Elektroda pH meter dicelupkan ke dalam larutan sampel,
kemudian dilakukan pembacaan pH sampel setelah dicapai nilai yang tetap.

3.3.5.7 Uji Kesukaan (Hedonic test).
Uji kesukaan dilakukan terhadap 30 orang panelis dengan usia 17 tahun
keatas dan sebelumnya para panelis tidak mengkonsumsi makanan atau minuman
yang dapat mempengaruhi penilaian. Para panelis diminta mencicipi dan menilai
rasa, bau dari sampel granul instan sebanyak 10 g yang telah dilarutkan dengan air
120 ml. Para panelis diharapkan untuk mengisi kertas kuisioner yang telah
disediakan.
Waktu selang untuk mencicipi formula 1 dengan yang lain kurang lebih 1
menit dan setelah mencicipi granul instan diharapkan panelis minum air putih atau
berkumur sebelum mencicipi formula lainnya.

3.3.5.8 Rancangan Percobaan.
Dalam percobaan ini data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL). Rumus :
19
Yij = + Ti + Eij
Keterangan : Yij = respon terhadap perlakuan ke I pada plot ke- j
= rata-rata (nilai tengah) respon
Ti = pengaruh perlakuan ke I yang akan kita uji
Eij = pengaruh faktor sendom yang menapat perlakuan ke I dengan
ulangan ke j
(Mattjik dan Sumertajaya, 2000)

Tabel 4. Daftar Analisis Ragam untuk RAL
Sumber ragam DB JK KT F hitung
Antar
Perlakuan
t -1 Xi.
2
/r-(X..)
2
/rt JK2/Db2
KT 2/KT3

Galat t (r -1)
(Xij
2
-Xi
2
)
r
JK3/Db3
Total rt-1 Xij
2
-(X..)
2
/rt
(Sumber: Mattjik dan Sumertajaya, 2000)

Keterangan :
DB :Derajat Bebas
JK : Jumlah Kuadrat
KT : Kuadrat Tengah

Tabel 5. Kaidah Keputusan
Hasil analisis Kesimpulan analisis Kesimpulan penelitian
1. Fh < F.05
Tidak nyata
(non significant)
Terima Ho (tidak ada
perbedaan pengaruh antar
perlakuan
2. F.05 < Fh < F.01
Nyata
(significant)
Tolak Ho (ada perbedaan
pengaruh antar perlakuan)
3. Fh > F.01
Sangat nyata
(Higly significant)
Tolak Ho (ada perbedaan
sangat nyata antar perlakuan)
(Sumber: Mattjik dan Sumertajaya, 2000)


20
3.3.6 Analisis asiatikosida dengan menggunakan HPLC (High Performance
Liquid Chromatography)
Uji HPLC dilakukan untuk mengetahui kadar asiatikosida dalam
simplisia basah, ekstrak kering dan granul instan herba pegagan. Komposisi
gradien (eluen) metanol-asetonitril kolom fase terbalik (reversed phase) C-18 (RP-
18) dan detektor Photo Dioda Array untuk merunut keberadaan senyawa utama.
Kemudian dilakukan isolasi senyawa utama dengan HPLC preparatif, Pada
penggunaan HPLC preparatif, dibuat gradien seoptimal dan sesingkat mungkin
dengan cara mengubah atau mengganti konsentrasi eluen.(Yonet, 2010)






























21

DAFTAR PUSTAKA

American Pharmaceitical Association, 1986. Handbook of Pharmaceutical
Excipient. Washington.

Ansel. H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sedian Farmasi. Edisi IV Jakarta: UI Press.
Hal. 605-607

Aulton, M. E. 1988. The Science of Dosage from Design. Churvil livingstone.
Edinburgh.

Dalimartha, S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid 2. Jakarta : Trubus
Agriwidya. halm 71-77

Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi III. Direktorat
Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta.

______. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Direktorat Pengawasan Obat dan
Makanan. Jakarta.

______. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Direktorat Pengawasan Obat dan
Makanan. Jakarta.

_______. 2000. Acuan Sediaan Herbal. Direktorat Pengawasan Obat dan
Makanan. Jakarta.

_______. 2000. Parameter standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat
Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta.

Endah, L. 2003. Pegagan. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal: 3-23

Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia: Penentuan Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan (Padmawinata K, penerjemah). ITB. Bandung. hal.84-94.

Haryadi, Dida. 2010. Korelasi Rendemen, Kadar Abu, Dan Kapasitas Antioksidan
Dengan Profil Spektrogram FTIR Ekstrak Pegagan (Centella asiatica (L.)
Urban.). Universitas Pakuan. Bogor

Herlina. 2010. Pengaruh Triterpen Total Pegagan (Centella asiatica(L)Urban)
Terhadap Fungsi Kognitif Belajar dan Mengingat pada Mencit Jantan
Albino(Mus musculus). Universitas Sriwijaya. Sumatera Selatan
(http://jpsmipaunsri.files.wordpress.com diakses 9 Januari 2011)

22
Howard, A. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Jakarta :
UI Press.

Hutapea, J.R. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia, Jilid II. Departemen
Kesehatan RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta.

Lachman, 1989. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jilid II dan III. Terjemahan
Suyatmi. Universitas Indonesia. Jakarta.

Lemmens. 1995. Plant Resources of South-East Asia No.5(2). Timber Trees:
Minor Commercial Timbers. Blackhuys Publisher. Leiden. 152-161.

Mulja, M. 1995. Analisis Instrumen. Universitas Airlangga. Surabaya. hal. 236-
256

Prasetya, Prita. 2006. Analisis Mutu dan Kandungan Kimia Pegagan. Laporan
Kerja Praktik BALITRO. Bogor.

Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. hal.323-
417.

Salfiani, Seli. 2008. Penentuan Fraksi Ekstrak Etanol Herba Pegagan (Centelle
aciatica (L) Urban) yang Mengandung Asiatikosida dan Aktivitasnya
sebagai Anti Bakteri. Universitas Pakuan. Bogor.

Soerbito, S. 1991. Analisis Senyawa Obat. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati.
ITB. Bandung.

Sutarno. H dan T. Atmowidjojo. 2001. Tantangan Pengembangan dan Fakta
Jenis Tanaman Rempah. Prosea Indo-Yayasan Prosea. Jakarta.

Sutrisno, B. 1974. Farmakognosi Edisi IV. Pharmascience Pacific. Jakarta. hal.
108-119.

Underwood, AL. 2002. Analisis Kimia kuantitatif. Edisi Keenam Jakarta:
Erlangga. hlm 382-404

Wallis, T.E. 1960. Text Book Of Pharmacognocy Fourth Edition. J.A.
CHURCHILL L
TD
. London..

Yonet T I, Dhimas. 2010. Isolasi Asiaticosida dari Herba Pegagan (Centella
asiatica. L. Urban) dan Pnetapan Kadarnya Menggunakan HPLC.
Universitas Muhamadiyah, Surakarta (http://etd.eprints.ums.ac.id/9011
diakses 15 Januaru 2011)

23































24
Lampiran 1. Alur Penelitian































Pengumpulan bahan baku

Pegagan
Pembuatan
simplisia
Pembuatan serbuk
Ekstraksi ( Metode maserasi dengan pelarut etanol 30% )

Ekstrak kental
Ekstrak Kering
Karakterisasi ekstrak pegagan ( secara organoleptis,
pemeriksaan kadar air )
Ekstrak Cair
Bahan tambahan ( laktosa, gula halus, Corn Starch,
Amylum Manihot)
Formulasi granul instan ( Formula 12 g)

Granulasi
Evaluasi Granul (Uji aliran, uji sudut istirahat, kadar air granul, distribusi
ukuran partikel, kelarutan, derajat keasaman (pH), Uji kesukaan)
Pemeriksaan bahan baku

Penentuan kadar asiatikosida menggunakan HPLC
25
Lampiran 2. Preparasi Sampel

Simplisia herba pegagan

Penyerbukan (menggunakan saringan mesh 40)

1 kg serbuk simplisia herba

Maserasi dengan etanol 30 %

Filtrat

Dikentalkan dengan sincore rotavapor dan dikeringkan dengan freeze dry


Ekstrak kering herba pegagan








disaring
26
Lampiran 3. Skema Fitokimia






















Simplisia/Ekstrak Herba
Pegagan
Uji Fitokimia
Alkaloid Flavonoid Saponin
Steroid/Tri
terpenoid
Tanin
Pereaksi
Dragendorf
(+) Terbentuk
Endapan
Jingga
Pereaksi
Mayer (+)
Terbentuk
Endapan
Putih
Pereaksi
Wagner (+)
Terbentuk
Endapan
Coklat




(+)
Terbentuknya
Warna merah
Jingga
Penambahan
1 ml HCl 2N
(+)
Terbentuk
Buih
(+) Steroid
Terbentuk
Warna
Hijau/biru
(+)
Triterpenoid
Terbentuk
Warna
Merah/Ungu
(+)
Terbentuk
Warna Hijau
kehijauan

Вам также может понравиться