Вы находитесь на странице: 1из 8

TUGAS KONSEP DASAR MANUSIA

KONSEP DIRI

DISUSUN OLEH :

NAMA

: HAMIDAH RETNO WARDANI

NIM

: 1111011024

PRODI S-1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2012

KONSEP DIRI

1. Konsep Diri Pada Pasien Fraktur


Fraktur terjadi ketika tulang tidak mampu lagi menahan tekanan yang
diberikan kepadanya (Wong, 2003). Fraktur sering terjadi karena kondisi tulang yang
masih rawan untuk tumbuh dan berkembang. Fraktur yang sering terjadi adalah
fraktur epifisis atas dan suprakondilar, humerus, leher radikal, fraktur lengan atas,
femur, dan tibia bagian ekstremitas bawah (Hidayat, 2006). Fraktur pada anak usia
sekolah sering kali disebabkan oleh cedera bersepeda-mobil/skateboard. Anak remaja
rentan terhadap trauma mustipel dan parah karena remaja mengendarai sepeda dan
sepeda motor dan terlibat atkif dalam olah raga (Wong, 2008).
Pada remaja yang mengalami fraktur dapat terjadi perubahan-perubahan baik
fisik maupun psikologis. Perubahan fisik yang dialami yaitu penurunan kemampuan
dalam pergerakan, dalam Setiap perubahan dalam kesehatan dapat menjadi stressor
yang mempengaruhi konsep diri. Perubahan fisik dalam tubuh menyababkan
perubahan citra tubuh, identitas, ideal diri, dan harga diri juga dapat dipengaruhi
(Potter, 2005). Soetjiningsih (2004) menambahkan bahwa

perubahaan-perubahan

usia remaja menempatkan remaja pada suatu keadaan yang disebut sebagai krisis
identitas (Erikson, 2008). Apabila remaja memperoleh peran dalam masyarakat, maka
remaja akan menemukan identitasnya. Sebaliknya remaja yang tidak dapat
menyelesaikan krisis identitasnya dengan baik, remaja mengalamiketidakmampuan
memperoleh peran dan menemukan diri. Hal ini mengakibatkan remaja akan menjadi
apa saja dari pada tidak mempunyai identitas diri, sehingga Universitas Sumatera
Utara mereka cenderung memainkan peran yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ideal
dan tatanan kehidupan dalam masyarakat (negative identity formation).
Selanjutnya Potter (2005) menyatakan bahwa orang yang memiliki konsep diri
positif berarti memiliki penerimaan diri dan harga diri yang positif. Mereka
menganggap dirinya berharga dan cenderung menerima diri sendiri sebagaimana
adanya. Sebaliknya, orang yang memiliki konsep diri negatif, menunjukkan
penerimaan diri yang negatif pula. Mereka memiliki perasaan kurang berharga yang
menyebabkan perasaan benci atau penolakan terhadap diri sendiri. Berdasarkan
perubahan-perubahan fisik dan psikologis tersebut, maka sangatlah penting bagi

remaja untuk mengetahui konsep diri yang mengalami fraktur agar remaja dapat
bersikap tenang, tidak cemas, minder (harga diri rendah), dan tidak stres atau
memiliki konsep diri positif dalam proses pengobatan dan pergaulan dengan teman
sebaya/kelompok maupun dalam menjalani kehidupan sehari-harinya akibat lamanya
proses penyembuhan fraktur, membuat remaja tidak dapat mengikuti pertumbuhan
dan perkembangannya, karena pada masa remaja ikatan emosional dengan lingkungan
keluarga menjadi berkurang dan remaja sangat membutuhkan kebebasan emosional
dari orang tua, misalnya dalam hal memilih teman, ataupun melakukan aktivitas.
Besarnya peran sebaya/kelompok dapat membahayakan pembentukan
identitas, karena remaja akan lebih mementingkan perannya sebagai anggota
kelompok dari pada nilainilai yang dibawanya dari keluarga, maka hal tersebut dapat
menyulitkan dan menghambat perkembangan kepribadian remaja (Soetjiningsih,
2004).
2. Konsep Diri Pada Pasien Luka Bakar
Luka bakar merupakan salah satu luka yang paling sering di alami oleh
manusia selain luka karena jatuh atau karena kecelakaan. Luka bakar terjadi akibat
tubuh kontak dengan sumber panas, penyebabnya bisa karena sumber panas ataupun
suhu dingin yang tinggi, sumber listrik, bahan kimiawi, cahaya, radiasi dan friksi.
Berbagai macam aktifitas manusia seperti memasak, menggunakan kendaraan
bermotor terkadang secara tidak sengaja bisa menyebabkan kulit kita terkena api,
memegang kompor atau alat memasak yang dalam keadaan panas atau tersenggol
knalpot menyebabkan terjadinya luka bakar pada kulit (Endah, 2005). Perawatan yang
panjang pada luka bakar sering membuat pasien menjadi putus asa.
Penyembuhan luka yang tidak sempurna dan cacat, bisa membatasi aktivitas
fisik maupun mengganggu citra diri pasien. Selain mengalami gangguan fisik pasien
luka bakar juga mengalami masalah kecemasan akibat sekuele dari emosinya dan
gejala yang timbul bias bermacam-macam, diantaranya depresi, anxietas, delirium dan
gangguan stress pasca trauma. Hal seperti ini bisa berdampak pada timbulnya
berbagai gangguan kejiwaan, karena penderita tidak saja mengalami penderitaan fisik,
tetapi juga bisa meluas dan berdampak pada psikologis dan sosial (Yanuardhini,
2007).

Dampak sosial akibat luka bakar bisa menimbulkan keresahan yang sangat
mendalam tidak hanya pasien, akan tetapi juga pada keluarga, masyarakat bahkan
negara. Rasa takut berlebihan terhadap keadaan ini dirasakan masih tetap berakar
pada seluruh lapisan masyarakat. Oleh karenanya rasa takut yang berlebihan dan
prasangka terhadap kondisinya, adakecenderungan penderita atau mantan penderita
diperlakukan tidak manusiawi seperti ditolak oleh keluarganya, ditinggalkan oleh
suami atau istrinya, dibuang secara paksa, diusir dari perkampungan, dikucilkan atau
dipasung oleh keluarga, dikeluarkan dari sekolah, ditolak untuk bekerja, mendapat
perlakuan kejam, dihina dan biasanya penderita tidak mengeluh bila hal ini terjadi,
bahkan cenderung mengikuti perlakuan yang ada, dengan alasan untuk melindungi
keluarga. (Pelupessy, 2010 dikutip dari Stuart & Sudeen,2005).
Dari sekian banyak permasalahan yang muncul, masalah psikologis
merupakan masalah yang paling serius bagi penderita luka bakar. Menurut Endah
(2008) pada symposium mini luka bakar di rumah sakit pertamina perhatian terhadap
psikologis pasien-pasien luka bakar ini masih sangat kurang, ini dibuktikan dengan
tidak adanya laporan atau penelitian gangguan stres pasca trauma pada pasien luka
bakar yang terjadi di Indonesia. Indonesia tidak memiliki data berapa besarnya
gangguan stres pasca trauma pada pasien-pasien luka bakar. Sementara itu dengan
kondisi kesehatan yang demikian akan menjadi sumber stressor bagi pasien, sehingga
dapat mempengaruhi konsep dirinya, begitu pula dengan kecacatan yang timbul
akibat dari penyakit ini dapat mempengaruhi body imge penderita tersebut. Perubahan
fisik pada tubuh seseorang dapat menyebabkan perubahan citra tubuh, dimana
identitas dan harga diri juga dapat dipengaruhi, sering menggangu peran, dapat
mengganggu identitas dan harga diri seseorang.
Penderita luka bakar sendiri akan merasa rendah diri, merasa tertekan batin,
takut menghadapi keluarga dan masyarakat karena sikap penerimaan mereka
terkadang yang kurang wajar tersebut (Endah, 2008). Citra tubuh (body image) adalah
gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana
seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang ia pikirkan dan
rasakan terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, dan bagaimana kira-kirapenilaian
orang lain terhadap dirinya. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan, belum
tentu benar-benar merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih merupakan
hasil penilaian diri yang bersifat subyektif (Honigman & Castle, 2006). Sejak lahir

individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima stimulus dari orang lain,


kemudian mulaimemanipulasi lingkungan dan mulai sadar dirinya terpisah dari
lingkungan. Persepsi seseorang dalam tubuhnya seharusnya sejalan dengan persepsi
orang lain di sekitarnya, sehingga mampu membentuk konsepsi yang mantap tentang
tubuh dan dirinya (Keliat, 2003). Untuk menghadapi keadaan seperti ini seseorang
harus beradaptasi dengan kondisi tubuhnya. Respons adaptif psikologis terhadap
stresor disebut juga sebagai mekanisme koping (Potter, 2005).
Mekanisme koping dilihat sebagai proses yang dinamis dari usaha pemecahan
masalah. Perilaku koping sebagai respon yang dimunculkan akan berbeda antara
individu satu dengan individu lain. Perbedaan kemampuan yang dimiliki masingmasing individu akan memunculkan mekanisme koping yang berbeda pula. Respon
individu dapat bervariasi tergantung pengetahuannya tentang perilaku koping
(Ihdaniyati dan Winarsih, 2008).
Dengan mekanisme yang positif, pasien dapat mengidentifikasi kemampuan
yang dimiliki, menilai kemampuan diri yang dapat digunakan, membuat rencana
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, melaksanakan kegiatan sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki, dan dapat memanfaatkan sistim pendukung yang ada
(Viela,2010). Penggunaan mekanisme koping yang positif pada penderita luka bakar
yang mengalami kecacatan akan dapat membantu mengurangi permasalahan citra
tubuh (body Image) yang muncul pada dirinya atau paling tidak dapat menyesuaikan
diri dengan perubahan yang terajadi padanya (Pelupessy, 2010). Pada penelitian oleh
Madianos MG dkk, di Athena (2000) pada pasien luka bakar, angka prevalensi dari
seluruh gangguan psikiatri adalah sebesar 46,6%. Gangguan psikologis pada pasienpasien luka bakar merupakan salah satu gangguan kejiwaan yang telah banyak di
telitioleh peneliti luar negeri. Perry (2003) menemukan angka lebih tinggi untuk
gangguan stress pasca trauma pada pasien luka bakar yaitu dalam 2 bulan pertama di
temukan 35,5%, bulan ke enam ditemukan 40% dan bulan ke dua belas di temukan
45,2%.
3. Konsep Diri Pada Pasien Kanker Payu Dara
Konsep Diri dan Perceived Social Support Wanita yang Mengalami Penyakit
Kanker Payudara. Kanker payudara tidak hanya berhubungan dengan fenomena
biologis semata, melainkan juga berhubungan dengan fenomena

psikologis bagi

wanita yang mengalaminya. Hawari (2004) mengemukakan bahwa setiap organ tubuh

tidak hanya mempunyai arti dalam pengertian biologis-fungsional bagi kelangsungan


hidup tubuh, melainkan juga secara bio-psikologis mempunyai arti tersendiri.
Payudara tidak hanya merupakan organ penyusuan bagi bayi saat wanita melahirkan,
namun terlebih lagi merupakan organ daya tarik (attractiveness), baik bagi wanita
maupun pria, dan memainkan peran dalam identitas seksual wanita. Oleh karena itu,
gangguan atau perubahan pada payudara yang disebabkan oleh proses kanker dan
pengobatan medis yang dilakukan untuk 52 mengobati kanker dapat mempengaruhi
citra tubuh atau diri fisik penderitanya, terutama apabila kanker telah mencapai
stadium lanjut.
Citra tubuh atau diri fisik adalah gambaran yang dimiliki seseorang mengenai
penampilan fisiknya dan kesan yang ditampilkan pada orang lain (Hurlock, 1979).
Citra tubuh atau diri fisik merupakan bagian penting dari gambaran yang dimiliki
seseorang atau yang disebut dengan konsep diri. Gambaran seseorang terhadap diri
fisiknya mempengaruhi gambaran seseorang terhadap diri psikologisnya. Keliat
(1998) menjelaskan bahwa seseorang dapat merasa tidak cocok atau tidak puas
menjalankan perannya dalam kehidupan karena adanya transisi peran yang
diakibatkan oleh pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan sakit. Transisi ini
dicetuskan oleh kondisi kehilangan bagian tubuh, perubahan ukuran bentuk,
penampilan, atau fungsi tubuh, serta prosedur medis dan keperawatan. Transisi peran
sehat-sakit ini menjadi stresor pencetus terjadinya perubahan konsep diri pada
seseorang. Hal tersebut dapat terjadi pada wanita yang mengalami penyakit kanker
payudara.
Doenges et al. (2004), Hawari (2004), dan Keliat (1998) mengemukakan
bahwa penyakit kanker payudara dapat mempengaruhi konsep diri pada wanita yang
mengalaminya. Sutherland dan Orbach (Hawari, 2004) menjelaskan bahwa suatu
tindakan operatif yang radikal, yang mengakibatkan hilangnya bagian tubuh akibat
menderita kanker payudara, mempunyai nilai psikologis bagi wanita yang
mengalaminya, sehinggga tidak dapat dihindarkan terjadi pula perubahanperubahan
terhadap konsep diri pada diri wanita tersebut. 53 Hasil penelitian kuantitatif yang
dilakukan oleh Hartati (2008) terhadap 33 wanita penderita kanker payudara di
Rumah Sakit Umun Pusat Haji Adam Malik Medan menunjukkan bahwa 87,9%
penderita memiliki konsep diri negatif dan 12,1% memiliki konsep diri positif.
Penderita yang memiliki konsep diri negatif memiliki pandangan negatif terhadap

tubuhnya, merasa tidak dapat menjalankan Perannya sebagai ibu dan istri, dan merasa
kanker payudara menghalangi mereka dalam bergaul dengan orang-orang di
sekelilingnya. Namun, hasil penelitian tersebut tidak menggali faktor-faktor yang
mempengaruhi konsep diri wanita penderita kanker payudara. Dalam menghadapi
perubahan yang terjadi selama masa sakit, baik dari segi fisik maupun psikologis yang
diakibatkan oleh proses penyakit dan efek pengobatan medis yang dijalani, wanita
yang mengalami penyakit kanker payudara membutuhkan adanya dukungan sosial.
Cutrona dan Russell (1990) dan Keliat (1998) menjelaskan bahwa stresor yang harus
dihadapi oleh individu yang menderita penyakit kronis, seperti kanker, bukan hanya
perubahan fisik atau penampilannya, melainkan juga masalah biaya, hubungan
dengan orang lain, dan kehilangan prestasi atau kemampuan diri. Ancaman dari
penyakit itu sendiri, seperti kekambuhan dan kematian, juga menjadi stresor bagi
mereka (Baradero, 2007). Masalah-masalah tersebut menimbulkan suatu kebutuhan
pada diri individu yang mengalaminya, yaitu kebutuhan akan adanya dukungan sosial.
Dukungan sosial dalam pengertian di sini adalah dukungan sosial yang
dirasakan oleh seseorang atau yang disebut dengan perceived social support. 54
Cohen et al. (2000) menjelaskan bahwa perceived social support sering ditemukan
bertindak sebagai pelindung stres (stress-buffering). Dengan

stressbuffering,

keyakinan-keyakinan terhadap dukungan (perceived social support) dapat mengurangi


atau melenyapkan reaksi afektif terhadap kejadian penuh tekanan, mengurangi respon
fisiologis terhadap kejadian, atau mencegah maupun mengubah respon-respon
perilaku maladaptif. Dalam konteks penelitian ini, perceived social support dapat
mengurangi atau melenyapkan reaksi afektif penderita terhadap keadaan-keadaan
menekan yang terjadi selama mengalami penyakit kanker payudara. Keadaan
menekan tersebut seperti biaya pengobatan dan perawatan yang mahal, perubahan
fisik akibat proses penyakit dan efek samping dari pengobatan medis yang dijalani
(radiasi, kemoterapi, operasi), rasa sakit berkepanjangan selama menjalani
pengobatan medis, bayangan terhadap kematian, dan lain-lain.
Beberapa literatur menunjukkan bahwa pentingnya perceived social support
(dukungan sosial yang dirasakan) pada pasien-pasien dengan penyakit kronis.
Komproe et al. (Manne, 2003) mengemukakan bahwa dukungan yang dirasakan ada
ketika dibutuhkan berhubungan dengan tingkat gejala depresi yang rendah pada
wanita yang menjalani operasi kanker payudara. Alferi et al. (Manne 2000)

mengemukakan bahwa dukungan emosional dari teman-teman dan dukungan


instrumental dari suami diprediksikan menurunkan tingkat distres pada wanita
penderita kanker payudara pasca pembedahan.
Pentingnya perceived social support terhadap konsep diri seseorang juga
ditekankan oleh Cohen dan McKay (Cohen

et al., 1984). Mereka 55

menghipotesakan bahwa efek menguntungkan dari dukungan sosial sebagian besar


ditengahi secara kognitif, dalam arti bahwa persepsi dukungan dapat mempengaruhi
interpretasi seseorang terhadap stresor, pengetahuan tentang strategi coping, dan
konsep diri. Hipotesa tersebut juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Pearlin
(1987) bahwa dukungan sosial, terutama functional support atau perceived social
support, merupakan salah satu mediator yang efektif dalam mendukung konsep diri
seseorang maupun elemen utama dari konsep diri,
seperti harga diri.

Вам также может понравиться