Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
KONSEP DIRI
DISUSUN OLEH :
NAMA
NIM
: 1111011024
KONSEP DIRI
perubahaan-perubahan
usia remaja menempatkan remaja pada suatu keadaan yang disebut sebagai krisis
identitas (Erikson, 2008). Apabila remaja memperoleh peran dalam masyarakat, maka
remaja akan menemukan identitasnya. Sebaliknya remaja yang tidak dapat
menyelesaikan krisis identitasnya dengan baik, remaja mengalamiketidakmampuan
memperoleh peran dan menemukan diri. Hal ini mengakibatkan remaja akan menjadi
apa saja dari pada tidak mempunyai identitas diri, sehingga Universitas Sumatera
Utara mereka cenderung memainkan peran yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ideal
dan tatanan kehidupan dalam masyarakat (negative identity formation).
Selanjutnya Potter (2005) menyatakan bahwa orang yang memiliki konsep diri
positif berarti memiliki penerimaan diri dan harga diri yang positif. Mereka
menganggap dirinya berharga dan cenderung menerima diri sendiri sebagaimana
adanya. Sebaliknya, orang yang memiliki konsep diri negatif, menunjukkan
penerimaan diri yang negatif pula. Mereka memiliki perasaan kurang berharga yang
menyebabkan perasaan benci atau penolakan terhadap diri sendiri. Berdasarkan
perubahan-perubahan fisik dan psikologis tersebut, maka sangatlah penting bagi
remaja untuk mengetahui konsep diri yang mengalami fraktur agar remaja dapat
bersikap tenang, tidak cemas, minder (harga diri rendah), dan tidak stres atau
memiliki konsep diri positif dalam proses pengobatan dan pergaulan dengan teman
sebaya/kelompok maupun dalam menjalani kehidupan sehari-harinya akibat lamanya
proses penyembuhan fraktur, membuat remaja tidak dapat mengikuti pertumbuhan
dan perkembangannya, karena pada masa remaja ikatan emosional dengan lingkungan
keluarga menjadi berkurang dan remaja sangat membutuhkan kebebasan emosional
dari orang tua, misalnya dalam hal memilih teman, ataupun melakukan aktivitas.
Besarnya peran sebaya/kelompok dapat membahayakan pembentukan
identitas, karena remaja akan lebih mementingkan perannya sebagai anggota
kelompok dari pada nilainilai yang dibawanya dari keluarga, maka hal tersebut dapat
menyulitkan dan menghambat perkembangan kepribadian remaja (Soetjiningsih,
2004).
2. Konsep Diri Pada Pasien Luka Bakar
Luka bakar merupakan salah satu luka yang paling sering di alami oleh
manusia selain luka karena jatuh atau karena kecelakaan. Luka bakar terjadi akibat
tubuh kontak dengan sumber panas, penyebabnya bisa karena sumber panas ataupun
suhu dingin yang tinggi, sumber listrik, bahan kimiawi, cahaya, radiasi dan friksi.
Berbagai macam aktifitas manusia seperti memasak, menggunakan kendaraan
bermotor terkadang secara tidak sengaja bisa menyebabkan kulit kita terkena api,
memegang kompor atau alat memasak yang dalam keadaan panas atau tersenggol
knalpot menyebabkan terjadinya luka bakar pada kulit (Endah, 2005). Perawatan yang
panjang pada luka bakar sering membuat pasien menjadi putus asa.
Penyembuhan luka yang tidak sempurna dan cacat, bisa membatasi aktivitas
fisik maupun mengganggu citra diri pasien. Selain mengalami gangguan fisik pasien
luka bakar juga mengalami masalah kecemasan akibat sekuele dari emosinya dan
gejala yang timbul bias bermacam-macam, diantaranya depresi, anxietas, delirium dan
gangguan stress pasca trauma. Hal seperti ini bisa berdampak pada timbulnya
berbagai gangguan kejiwaan, karena penderita tidak saja mengalami penderitaan fisik,
tetapi juga bisa meluas dan berdampak pada psikologis dan sosial (Yanuardhini,
2007).
Dampak sosial akibat luka bakar bisa menimbulkan keresahan yang sangat
mendalam tidak hanya pasien, akan tetapi juga pada keluarga, masyarakat bahkan
negara. Rasa takut berlebihan terhadap keadaan ini dirasakan masih tetap berakar
pada seluruh lapisan masyarakat. Oleh karenanya rasa takut yang berlebihan dan
prasangka terhadap kondisinya, adakecenderungan penderita atau mantan penderita
diperlakukan tidak manusiawi seperti ditolak oleh keluarganya, ditinggalkan oleh
suami atau istrinya, dibuang secara paksa, diusir dari perkampungan, dikucilkan atau
dipasung oleh keluarga, dikeluarkan dari sekolah, ditolak untuk bekerja, mendapat
perlakuan kejam, dihina dan biasanya penderita tidak mengeluh bila hal ini terjadi,
bahkan cenderung mengikuti perlakuan yang ada, dengan alasan untuk melindungi
keluarga. (Pelupessy, 2010 dikutip dari Stuart & Sudeen,2005).
Dari sekian banyak permasalahan yang muncul, masalah psikologis
merupakan masalah yang paling serius bagi penderita luka bakar. Menurut Endah
(2008) pada symposium mini luka bakar di rumah sakit pertamina perhatian terhadap
psikologis pasien-pasien luka bakar ini masih sangat kurang, ini dibuktikan dengan
tidak adanya laporan atau penelitian gangguan stres pasca trauma pada pasien luka
bakar yang terjadi di Indonesia. Indonesia tidak memiliki data berapa besarnya
gangguan stres pasca trauma pada pasien-pasien luka bakar. Sementara itu dengan
kondisi kesehatan yang demikian akan menjadi sumber stressor bagi pasien, sehingga
dapat mempengaruhi konsep dirinya, begitu pula dengan kecacatan yang timbul
akibat dari penyakit ini dapat mempengaruhi body imge penderita tersebut. Perubahan
fisik pada tubuh seseorang dapat menyebabkan perubahan citra tubuh, dimana
identitas dan harga diri juga dapat dipengaruhi, sering menggangu peran, dapat
mengganggu identitas dan harga diri seseorang.
Penderita luka bakar sendiri akan merasa rendah diri, merasa tertekan batin,
takut menghadapi keluarga dan masyarakat karena sikap penerimaan mereka
terkadang yang kurang wajar tersebut (Endah, 2008). Citra tubuh (body image) adalah
gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana
seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang ia pikirkan dan
rasakan terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, dan bagaimana kira-kirapenilaian
orang lain terhadap dirinya. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan, belum
tentu benar-benar merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih merupakan
hasil penilaian diri yang bersifat subyektif (Honigman & Castle, 2006). Sejak lahir
psikologis bagi
wanita yang mengalaminya. Hawari (2004) mengemukakan bahwa setiap organ tubuh
tubuhnya, merasa tidak dapat menjalankan Perannya sebagai ibu dan istri, dan merasa
kanker payudara menghalangi mereka dalam bergaul dengan orang-orang di
sekelilingnya. Namun, hasil penelitian tersebut tidak menggali faktor-faktor yang
mempengaruhi konsep diri wanita penderita kanker payudara. Dalam menghadapi
perubahan yang terjadi selama masa sakit, baik dari segi fisik maupun psikologis yang
diakibatkan oleh proses penyakit dan efek pengobatan medis yang dijalani, wanita
yang mengalami penyakit kanker payudara membutuhkan adanya dukungan sosial.
Cutrona dan Russell (1990) dan Keliat (1998) menjelaskan bahwa stresor yang harus
dihadapi oleh individu yang menderita penyakit kronis, seperti kanker, bukan hanya
perubahan fisik atau penampilannya, melainkan juga masalah biaya, hubungan
dengan orang lain, dan kehilangan prestasi atau kemampuan diri. Ancaman dari
penyakit itu sendiri, seperti kekambuhan dan kematian, juga menjadi stresor bagi
mereka (Baradero, 2007). Masalah-masalah tersebut menimbulkan suatu kebutuhan
pada diri individu yang mengalaminya, yaitu kebutuhan akan adanya dukungan sosial.
Dukungan sosial dalam pengertian di sini adalah dukungan sosial yang
dirasakan oleh seseorang atau yang disebut dengan perceived social support. 54
Cohen et al. (2000) menjelaskan bahwa perceived social support sering ditemukan
bertindak sebagai pelindung stres (stress-buffering). Dengan
stressbuffering,