Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
200 TABLET
I.
Formula:
R/ CTM
II.
2 mg
50 : 50
Mg-stearat
1%
Talk
2%
Metoda Pembuatan:
Kempa Langsung
IV. Monografi:
IV. 1.
Zat Aktif
Rumus molekul
: C16H19CIN2. C4H4O4
Bobot molekul
: 390,87
Pemerian
Kelarutan
: Larut dalam 4 bagian air, dalam 10 bagian etanol (95%) P dan dalam 10
bagian kloroform P, sukar larut dalam eter P.
Penggunaan terapi
: Antihistaminikum
Penyimpanan
IV. 2.
Bahan Pendukung
Avicel
Pemerian
Kegunaan
Kelarutan
: Sedikit larut dalam 5% b/v larutan sodium hidroksi, praktis tidak larut
dalam air, asam encer, dan pelarut organik lainnya.
: Higroskopis
Titik leleh
: 260 - 270C
Densitas
Kelembaban
Stabilitas
: Stabil, higroskopis
Inkompatibilitas
Penyimpanan
: Penyimpanan dengan wadah tertutup baik dalam tempat sejuk pada suhu
8 - 15C, tempat kering
BM = 591,27
Pemerian
Kegunaan
: Praktis tidak larut dalam etanol, etanol (95%), eter, dan air.
Sedikit larut dalam benzen hangat dan etanol (95%) hangat.
Densitas
Sifat aliran
Polimorfisme
Titik leleh
: 88,5 C.
Stabilitas
: Stabil.
Inkompatibilitas
Penyimpanan
Starch
(C6H10O5)n dimana n = 300 - 1000
Pemerian
Kegunaan
Kelarutan
: Praktis tidak larut dalam pelarut organik, sedikit larut dalam air.
: Higroskopis
Densitas
: 1,516 g/cm3
Stabilitas
: Stabil, higroskopis
Talk
Pemerian
: Serbuk sangat halus, putih sampai putih abu-abu, tidak berbau. Langsung
melekat pada kulit, lembut disentuh.
Kegunaan
: Anticaking agent, glidan, pengisi tablet dan kapsul, lubrikan tablet dan
kapsul.
: Praktis tidak larut dalam larutan asam dan alkali, larutan organik, dan air.
pH
Kekerasan
: 1 - 1,5
Higroskopisitas
: Talk tidak mengabsorpsi sejumlah air pada suhu 25C dan kelembaban
relatif naik hingga 90%.
Stabilitas
Inkompatibilitas
X. Aspek Farmakologi
X.I. Mekanisme Obat
Chlorpheniramin maleat atau lebih dikenal dengan CTM merupakan salah satu
antihistaminika yang memiliki efek sedative (menimbulkan rasa kantuk). Namun, dalam
penggunaannya di masyarakat lebih sering sebagai obat tidur dibanding antihistamin
sendiri. Keberadaanya sebagai obat tunggal maupun campuran dalam obat sakit kepala
maupun influenza lebih ditujukan untuk rasa kantuk yang ditimbulkan sehingga
pengguna dapat beristirahat.
CTM adalah obat antihistamin yang mempunyai nama dagangnya yaitu CTM dan
mengandung Chlorpheniramini maleas 4 mg, itu artinya nama obat ini bukan merupakan
isi kandungan melainkan hanyalah sebuah nama merek obat tersebut. Histamin
merupakan zat yang diproduksi oleh tubuh yang dapat menyebabkan seseorang bersin,
mata berair, gatal-gatal dan reaksi alergi lainnya. Oleh karena itu CTM merupakan obat
yang bisa meredakan gejala-gejala alergi yang ditimbulkan oleh histamine.
CTM sebagai AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan
bermacam-macam otot polos. AH1 juga bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas dan keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebih.
Dalam Farmakologi dan Terapi edisi IV(FK-UI,1995) disebutkan bahwa histamin
endogen bersumber dari daging dan bakteri dalam lumen usus atau kolon yang
membentuk histamin dari histidin.
Menurut Dinamika Obat (ITB,1991),CTM merupakan salah satu antihistaminika H1
(AH1) yang mampu mengusir histamin secara kompetitif dari reseptornya (reseptor H1)
dan dengan demikian mampu meniadakan kerja histamin. Di dalam tubuh adanya
stimulasi reseptor H1 dapat menimbulkan vasokontriksi pembuluh-pembuluh yang lebih
besar, kontraksi otot (bronkus, usus, uterus), kontraksi sel-sel endotel dan kenaikan aliran
limfe. Jika histamine mencapai kulit misal pada gigitan serangga, maka terjadi
pemerahan disertai rasa nyeri akibat pelebaran kapiler atau terjadi pembengkakan yang
gatal akibat kenaikan tekanan pada kapiler. Histamin memegang peran utama pada proses
peradangan dan pada sistem imun. CTM sebagai AH1 menghambat efek histamine pada
pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos.
Farmakodinamik dari antagonism terhadap Histamin, AH 1 menghambat efek histamine
pada pembulih darah, bronkus, dan bermacam-macam otot polos; selain itu, AH1
bermanfaat mengibati hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai dengan
penglepasan histamine endogen berlebihan. Secara umum, AH1 efektif menghambat kerja
histamn pada otot polos usus dan bronkus. Bronkokonstriksi akibat histamine dapat
dihambat oleh AH1. Peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat histamine, dapat
dihambat dengan efektif oleh AH1.
Reaksi anafilaksis dan berbagai reaksi alergi refrakter terhadap pemberian AH1, karena
disini bukan histamine yang berperan tetapi autakoid lain yang dilepaskan. Efektivitas
AH1 melawan reaksi hipersensitivitas berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat
histamine. Efek perangsangan histamine terhadap sekresi cairan lambung tidak dapat
dihambat oleh AH1. AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek
perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah insomnia,
gelisah, dan eksitasi. Dosis AH1 umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan
gejala misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan, dan waktu reaksi yang lambat.
Beberapa obat AH1 juga efektif untuk menghambat mual dan muntah untuk akibat
peradangan labirin atau sebab lain.
Beberapa AH1 bersifat anestetik local dengan intensitas berbeda. Banyak AH 1 bersifat
mirip atropine. Efek ini tidak memadai untuk terapi, tetapi efek antikolonergik ini dapat
timbul pada beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi dan impotensi.
X.II. Efek Farmakologi
Klorfeniramin adalah derivat klor dengan daya kerja 10 kali lebih kuat dan derajat
toksisitas yang sama. Efek sampingnya sedatif ringan dan sering kali digunakan dalam
obat batuk. Klorfeniramin maleat merupakan antihistamin jenis antagonis reseptor H-1
yang bekerja dengan cara memblokir reseptor H-1 dengan menyaingi histamin pada
resptornya di otot licin didnding pembuluh darah dan dengan demikian menghindarkan
timbulnya reaksi alergi (Tjay, 2002).
CTM memiliki indeks terapetik (batas keamanan) cukup besar dengan efek samping dan
toksisitas relatif rendah. Untuk itu sangat perlu diketahui mekanisme aksi dari CTM
sehingga dapat menimbulkan efek antihistamin dalam tubuh manusia. Namun
sebagaimana sebagian besar obat yang mempunyai efek samping, obat ini juga
mempunyai efek samping mengantuk sehingga tak jarang obat ini sering dijadikan obat
tidur. Sebernarnya kurang tepat apabila obat ini di jadikan obat kantuk, karena oabat ini
mempunyai efek resintensi, artinya semakin lama kita menggunakan CTM berarti
semakin kurang efek kantuknya. Efek samping lain dari CTM adalah Sedasi, gangguan
gastro intestinal, efek muskarinik, hipotensi, kelemahan otot, tinitus, eufria, sakit kepala,
merangsang susunan saraf pusat, reaksi alergi, kelainan darah.
Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan sistem saraf pusat dengan gejala
seperti kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Efek samping
ini menguntungkan bagi pasien yang memerlukan istirahat namun dirasa menggangu bagi
mereka yang dituntut melakukan pekerjaan dengan kewaspadaan tinggi. Oleh sebab itu,
pengguna CTM atau obat yang mengandung CTM dilarang mengendarai kendaraan. Jadi
sebenarnya rasa kantuk yang ditimbulkan setelah penggunaan CTM merupakan efek
samping dari obat tersebut. Sedangkan indikasi CTM adalah sebagai antihistamin yang
menghambat pengikatan histamin pada resaptor histamin.
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsopsi dengan baik. Efeknya timbul 15-30
menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Tempat utama
biotransformasi AH1 ialah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. AH1
diekskresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
X.III. Dosis
Dosis terapi 4 mg dalam satu tablet dimana AH1 umumnya menyebabkan penghambatan
sistem saraf pusat dengan gejala seperti kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu
reaksi yang lambat. Dosis pemakaian CTM adalah sebagai berikut: untuk dewasa
dosisnya, 3 4 kali sehari 0.5 sampai 1 tablet. Untuk anak-anak 6 12 tahun, dosis
pemakaiannya, 0.5 x dosis dewasa. Sedangkan untuk anak-anak 1 6 tahun, dosisnya
adalah 0.25 x dosis dewasa. Dalam dosis terapi, AH 1 tidak memperlihatkan efek berarti
pada sistem kardiovaskular.
CTM memiliki indeks terapetik (batas keamanan) cukup besar dengan efek samping dan
toksisitas relatif rendah. Untuk itu sangat perlu diketahui mekanisme aksi dari CTM
sehingga dapat menimbulkan efek antihistamin dalam tubuh manusia. Dosis terapi AH1
umumnya menyebabkan penghambatan sistem saraf pusat dengan gejala seperti kantuk,
berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Efek samping ini
menguntungkan bagi pasien yang memerlukan istirahat namun dirasa menggangu bagi
mereka yang dituntut melakukan pekerjaan dengan kewaspadaan tinggi. Oleh sebab itu,
pengguna CTM atau obat yang mengandung CTM dilarang mengendarai kendaraan. Jadi
sebenarnya rasa kantuk yang ditimbulkan setelah penggunaan CTM merupakan efek
samping dari obat tersebut. Sedangkan indikasi CTM adalah sebagai antihistamin yang
menghambat pengikatan histamin pada resaptor histamin. Efek samping : Sedasi,
gangguan saluran cerna, efek anti muskarinik, hipotensi, kelemahan otot, tinitus,
euphoria, nyeri kepala, stimulasi SSP, reaksi alergi dan kelainan darah. Jadi aturan
pakainya yang harus diperhatikan. Begitu juga dengan dosisnya, karena sebenarnya satu
butir CTM saja sudah cukup. Dosis yang diperlukan untuk menimbulkan efek kantuk
adalah seperempat tablet CTM. Sehingga perlu diingatkan pada masyarakat bahwa
penambahan dosis yang tidak terbatas maah akan menimbulkan efek toksik (racun).
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. (1994). Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ansel, H.C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi IV. Jakarta: UI Press.
Azwar, Bahar. 2011.Bijak Mengonsumsi Obat Flu.Penerbit Kawan Pustaka : Jakarta.
Banker,G.S dan N.R Anderson.1986. The Theory and Practice of Industrial Pharmacy, Lea and
Febinger. Philadelphia.
Behin, J., Mikaniki, F., dan Fadaei, Z. (2008). Dissolving Pulp (alpha-cellulose) from Corn Stalk
by Kraft Process. Iranian Journal of Chemical Engineering. 5: hal. 14
Bhimte, N.A., dan Tayade, P.T. (2007). Evaluation of Microcrystalline Cellulose Prepared From
Sisal Fibers as aTablet Excipient: A Technical Note. AAPS PharmSciTech. 8 (1) : hal. 1
Chawla, P.R., Bajaj, I.B., Survase, S.A., dan Singhal, R.S. (2008). Microbial Cellulose:
Fermentative Production and Applications.Food Technol. Biotechnol. 47 (2): hal. 108
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Ditjen POM. (1979). Famakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Ejikeme, P.M. (2008). Investigation of the Physicochemical Properties of Microcrystalline
Cellulose from Agricultural Wastes I: Orange Mesocarp. Cellulose. 15: hal. 141-142
Lachman L., Lieberman H.A., Kanig J.L. (1994). Teori dan Praktek Farmasi Industri.
Penterjemah: Suyatni S. Edisi II. Jakarta: UI Press.
Mohrle,R. 1989. Effervescent Tablet in Pharmaceutical Dosage Form Table. New York: Marcel
Dekker Inc.
Ohwoavworhua, F.O., dan Adelakun, T.A. (2005). Some Physical Characteristics of
Microcrystalline Cellulose Obtained from Raw Cotton of Cochlospermum planchonii. Tropical
Journal of Pharmaceutical Research. 4 (2): hal. 501-507
Parrot,E.L.,1971. Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics, 3rd Ed.
Minneapolis: Burger Publishing Company.
Rowe, C., Sheskey, P.J., dan Quinn, M.E. (2009). Handbook of Pharmaceutical Exipients. Sixth
Edition. Chicago: Pharmaceutical Press. hal.131
Siregar, C.J.P., dan Wikarsa, S.(2010). Teknologi Farmasi Sediaan Tablet. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Tjay,T.H., dan Rahardja, K. (2002). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan Dan Efek-Efek
Sampingnya. Edisi Kelima. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Voigt, R. (1994). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Penerjemah : Soendani Noerono
.Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Yanuar, A., Rosmalasari, E., dan Effionora, A. (2003). Preparasi dan Karakterisasi Selulosa
Mikrokristal dari Nata de coco untuk Bahan Pembantu Pembawa Tablet. ISTECS JOURNAL.
Volum IV : hal. 71-78