Вы находитесь на странице: 1из 9

KOMUNIKASI POLITIK

KEPENTINGAN POLITIK BEBAS MANUVER DI RUANG PUBLIK


a. Pengantar
Media massa konvensional dan media baru menjadi alat untuk menyampaikan pesan pesan
politik kepada publik untuk menarik simpati rakyat bahkan menggalang massa sebanyak
banyaknya. Ketika media media tersebut sarat dengan konten berbau tujuan politik tertentu
dan berbagai kepentingan di dalamnya sulit bagi publik untuk memilih dan mendapatkan
informasi yang benar benar netral tanpa merasa diarahkan ke tujuan politik tertentu. Selain
itu, media baru tak luput dimanfaatkan oleh para calon,simpatisan, maupun pendukung salah
satu calon untuk meraup dukungan. Terlalu bebasnya media baru dan terlalu banyak
kepemilikan media oleh para politisi membuat semuanya terasa keruh dan berjalan kurang
harmonis karena nilai nilai keluhuran sudah tidak lagi menjadi pedoman berinteraksi.
b. Pencitraan dan Kepentingan Politik di Media Massa
Momentum Pemilu legislatif maupun presiden menjadi ajang bagi setiap politisi untuk
berebut jabatan. Menurut Nimmo (1993) demi mendapatkan jabatan tersebut banyak
pencitraan yang mereka lakukan, setidaknya ada empat macam pencitraan politik, yaitu pure
publicity(publisitas melalui aktivitas masyarakat dengan setting sosial apa adanya) , free ride
publicity (memanfaatkan akses untuk publisitas) yang banyak terlihat pada kampanye dalam
mensponsori kegiatan sosial di masyarakat, tie-in publicity (memanfaatkan kegiatan luar biasa
untuk publisitas), dan paid publicity (publisitas berbayar lewat pembelian rubrik di media
massa) yang terpampang pada advertorial di berbagai media massa dan spanduk-spanduknya.
Pencitraan free ride publicity kini menjadi pencitraan paling populer di kalangan politisi
dengan semakin seringnya pemberitaan mengenai mereka di media massa maupun media baru
diyakini mampu meraup simpati dari publiknya.
Segala media menjadi alat para politisi untuk memasarkan dirinya hingga tak jarang
beberapa politisi yang memiliki bisnis di bidang media begitu memanfaatkan jaringannya
untuk mempromosikan citra diri maupun partai. Kepemilikan media secara horizontal dan
konvergensi media semakin membuat akses informasi saling terintegrasi. Ruang publik disini
menurut Habermas (1962) (dalam Barker,2004) adalah satu wilayah yang muncul pada ruang
spesifik dalam masyarakat borjuis. Dalam ruang ini setiap orang bisa mengeluarkan opini
tanpa tekanan dari pihak manapun mengenai tujuan dan arah masyarakat atau negara. Namun,

ketika media massa dan media baru yang seharusnya menjadi ruang publik justru dimonopoli
oleh para politisi maka akan semakin besar perubahan pendapat yang akan ditimbulkan pada
arah yang dikehendaki yakni kepentingan politik (Aryanti,2014 dalam Pratomo 2014).
Berbagai strategi kampanye melalui media massa dan internet dilakukan untuk menarik
simpati dan dukungan tak hanya itu bagi politisi media massa bisa jadi alat untuk saling
menyerang dan mempengaruhi opini publik. Fenomena ini membuat suara publik tidak lagi
dihargai dan cenderung digiring untuk kepentingan politik semata serta mendegradasi nilainilai demokrasi. Media memilih dan menyesuaikan apa yang ingin disampaikan sesuai dengan
tujuan politik. Contohnya saja hasil survei opini publik mengenai kinerja pemerintah dengan
hasil yang beragam namun yang muncul di media hanyalah siapa yang menang dan yang
kalah bukan fokus pada kinerja atau kebijakan tersebut dan dikemas secara dramatis
(Ambardi,2014). Tak hanya media massa dan media baru yang dijadikan alat untuk
memasarkan diri namun juga survey yang harusnya bisa meng-cover opini publik justru hanya
berbalik arah menjadi alat pendukung pencitraan. Padahal kebutuhan kognitif paling
dibutuhkan publik pada saat pemilu dan informasi dari lembaga survey menjadi yang paling
diandalkan.
Sikap publik yang cukup pragmatis yakni akan memilih jika ada uang yang diberikan oleh
politisi maupun partai (Norhabiba,2014). Solusi mencegah sikap pragmatis ini adalah
merombak tayangan media agar lebih mendidik dan jika dibiarkan dimonopoli maka sikap
tersebut akan menjadi karakter yang mengakar di masyarakat. Media menjadi sangat krusial
perannya karena secara mikro mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dan secara makro
akan menimbulkan ketergantungan khalayak,sistem media dan sistem sosial yang luas. Jadi,
apa yang dikonsumsi akan mempengaruhi perilaku publik karena kekuatan media massa
sebagai saluran untuk mempengaruhi khalayak telah banyak memberikan andil dalam
pembentukan opini publik (Hasrullah, 2001). Menurut Nurrudin (2009), ada ikatan erat
antara opini publik dan media massa, menurutnya opini publik dibentuk, disusun dan
dikurangi oleh peran media massa
Jika media dimonopoli secara horizontal misalkan saja MNC Grup memiliki Koran
Sindo,MNC Tv, RCTI, Trijaya FM hingga merambah ke dunia maya yakni Okezone.com
dengan pemiliknya yaitu Hary Tanoe yang awalnya bernaung di Partai Hanura maka setiap
konten akan menyampaikan satu suara namun dalam bentuk yang berbeda sehingga tak ada

pilihan bagi publik untuk media apa yang dikonsumsinya sebagai acuan dalam menentukan
keputusan pemilu.
Pada kasus Hary Tanoe awalnya ia berdiri di kubu Partai Hanura bersama Wiranto yang
mendukung penuh Jokowi Jusuf Kalla. Namun tepat pada 20 Mei 2014 Hary Tanoe
bermanuver mendukung Prabowo Hatta. Manuver tersebut menyebabkan pemberitaan di
setiap media yang dimiliki Hary Tanoe memberitakan hal yang sama hanya saja terkadang
dengan angle yang berbeda. Setali tiga uang dengan Surya Paloh pemilik Metro TV dan
Media Indonesia serta Abu Rizal Bakrie yang memiliki Tv One, mereka jelas-jelas berdiri di
salah satu pihak dan mendukung koalisi tersebut secara terang-terangan. Dukungan tersebut
terlihat dari pemberitaan mengenai calon presiden tertentu dengan porsi yang lebih banyak
dibandingkan dengan pemberitaan yang lain khususnya pemberitaan kubu lawan.
Manuver yang dilakukan secara ekstrim oleh Hary Tanoe menyebabkan kegalauan informasi
bagi publiknya. Pada dua minggu pertama bulan Mei pemberitaan di Koran Sindo cenderung
membentuk citra Partai Hanura dan ingin menggerakkan arah pemberitaan pada dukungan
untuk kubu Jokowi. Namun, tepat pada tanggal 20 Mei 2014 Hary Tanoe memutuskan untuk
bermanuver mendukung Prabowo-Hatta sehingga pemberitaan mengenai Prabowo Hatta
sangat mendominasi media miliknya tersebut.
Ketika media massa sudah dipenuhi dengan muatan kepentingan politik ruang publik sudah
tidak lagi menjadi area bebas, publik dipaksa menonton,mendengarkan,dan membaca konten
yang sudah dibentuk sedemikian rupa yang akan mengarahkan publik kepada tujuan politik
sang pemilik media.
c. Pencitraan dan Kepentingan di Media Baru
Kehadiran teknologi Internet pada tahun 80-an juga telah mempengaruhi perkembangan
media massa. Penggunaan teknologi internet sebagai alat komunikasi melahirkan istilah
Media baru. Pavlik dalam bukunya Journalism and New Media mengatakan bahwa. Media
baru tidak hanya mencakup semua kemampuan media konvensional (teks, gambar, grafis,
animasi, audio, video, penyampaian real time) tetapi juga menawarkan kemampuan lainnya,
yaitu interaktivitas, akses

on-demand, kontrol pengguna dan kustomisasi (2001, h.3).

Menjamurnya media sosial mulai dari Facebook, Twitter, Path, dan lain sebagainya memberi
banyak fasilitas berbeda dalam ruang publik. Salah satunya ialah muncul grup diskusi

maupun pendukung dari berbagai kubu dan membentuk demokrasi ala netizen. Demokrasi ala
netizen ini berupa opini yang kemudian diyakini menjadi sebuah informasi.

Segmentasi media sosial ini cenderung pada kaum muda yang aktif berdiskusi di berbagai
forum dunia maya. Pada sebuah studi kasus yang dilakukan oleh Lestari (2014) dilansir
terdapat perang pendapat dan terhitung sebanyak 200 juta interaksi. Ternyata dibalik
fenomena tersebut terdapat kegalauan para pemilih muda yakni pemilih berusia di bawah 30
tahun yang paling banyak menggunakan media sosial khususnya facebook. Berawal dari
demokrasi ala netizen yang saling beropini di media sosial dan pada akhirnya dijadikan
sebuah informasi, opini dari masing masing netizen tentunya berbeda sehingga
menimbulkan kegalauan para pemilih muda. Terjadi disonansi kognitif karena kesimpang
siuran informasi di media sosial, banyak netizen yang menggunakan media sosial untuk
mempengaruhi netizen lainnya sehingga informasi yang didapat terkadang kurang seimbang
dan menyebabkan pemilih muda berlaku tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya.

Yang membuat miris adalah ketika para netizen yang menjadi simpatisan maupun pendukung
salah satu calon memberikan komentar yang kurang sopan,saling memojokkan hingga saling
serang. Cara mereka berkomunikasi di media sosial tak ubahnya untuk menunjukkan
dukungan,menggalang massa, merusak opini, dan membangun opini Interaksi yang cukup
konfrontatif tersebut menunjukkan kearifan lokal yang terus terdegradasi oleh kemudahan
teknologi yang membuat mereka dapat berkomunikasi secara langsung, bebas berekspresi dan
bahkan anonim sehingga banyak nilai-nilai komunikasi yang beradab (Sujoko,2014).
Pada salah satu studi kasus lainnya yang dilakukan oleh Pratomo (2014) berjudul Pemasaran
Politik Digital: Konstruksi Pesan Politik di Media Sosial pada Pemilihan RI 2014
menyatakan bahwa terdapat 79,72 % masyarakat Indonesia mengakses media sosial. Dengan
presentase tersebut sangat potensial untuk melakukan kampanye via media sosial karena sifat
media sosial yang masif dan memungkinkan berbagai jenis konten dapat diakses dengan
mudah di dalamnya. Di satu sisi media sosial menimbulkan kegalauan pemilih muda namun
di sisi lainnya media sosial bisa dijadikan solusi untuk meminimalisasi ketidakadilan
(Pratomo,2014) karena memungkinkan kita untuk bebas beropini dan mencaritahu seluk beluk
kebijakan dan profil para calon pemimpin.

d. Kearifan Lokal Kunci Komunikasi Politik yang Beradab

Menurut Putu Oka Ngakan dalam Andi M. Akhmar dan Syarifudin (2007) kearifan lokal
merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan
lingkungan tempatnya hidup secara arif. Komunikasi politik juga dibangun atas interaksi
interaksi masyarakat baik secara langsung maupun melalui media yang berbasis nilai nilai
sosial. Komunikasi politik berwarna kearifan lokal itu tidaklah asing dan aneh, karena bangsa
Indonesia terbiasa hidup dengan budaya kolektif, gotong royong, dan toleran. Selain itu,
karena kebudayaan merupakan usaha manusia,perjuangan setiap orang atau kelompok dalam
menentukan hari depannya (Radmila, 2007:7).

Kepentingan dan pencitraan politik tidak akan ada artinya jika dibangun tanpa didasari oleh
kearifan lokal karena kearifan lokal bisa membuat segala kebijakan politik lebih
mengutamakan kepentingan rakyat dan segala interaksinya akan berjalan dengan harmonis.
Setiap nilai nilai lokal bangsa Indonesia telah menjelaskan bagaimana menjadi seorang
pemimpin hingga mencerminkan pendidikan politik seperti dalam sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Firmantoro (2014) mengenai Serat Laksitaraja yang menjelaskan nilai nilai
luhur bangsa mengenai pendidikan politik atas transfer informasi,ilmu, dan nilai di
masyarakat sehingga membekali kepribadian dan pemikiran bangsa Indonesia.

Sistem komunikasi politik di Indonesia sudah seharusnya memiliki perspektif sendiri yakni
perspektif lokal sehingga sedikit demi sedikit mengikis ketergantungan bangsa Indonesia
dengan pihak asing dalam berbagai bidang khususnya bidang politik dan mencegah
memudarnya karakter dan keilmuan nusantara beserta nilai nilai lokalnya.

Dengan didasari oleh kearifan lokal diharapkan nantinya tercipta citra postif dari politik itu
sendiri. Seandainya budaya politik adiluhung dianut oleh banyak pihak,terutama para politisi,
tentu suasana politik yang kondusif bisa terpelihara. Warisan budaya leluhur yang
mengutamakan kebersamaan, gotong royong, dan kekeluargaan menjadi barang langka ketika
pengaruh budaya asing menembus budaya lokal. Budaya asing, khususnya Barat yang
menerapkan demokrasi liberal,membumbui demokrasi di Indonesia, sehingga tidak heran
apabila peran para politisi di Indonesia atau siapa saja yang terlibat berperilaku seperti gaya
Barat yang ternyata tidak cocok dan kebablasan, karena keliru menafsirkan. Kebebasan di
Indonesia beda dengan kebebasan di Barat (Hirzi,2012).

Menurut Sujoko (2014) tujuan akhir komunikasi adalah membangun suatu keseimbangan dan
kerukunan yang sesuai dengan konteks nilai- nilai yang melekat dalam kehidupan sehari
hari. Perspektif timur khususnya Indonesia perlu digali lagi untuk menemukan inti serta
bentuk ideal disetiap aktivitas komunikasi.
e. Tantangan Komunikasi Politik Saat Ini
Sulitnya menemukan ruang publik yang benar benar bebas dari kepentingan politik
membuat kualitas pemerintahan di Indonesia semakin turun. Komunikasi Politik akan terasa
semakin penting apabila kita menyimak dan menelusur fungsi komunikasi politik seperti yang
dikemukakan Mc.Nair dan Hedebro dalam Hirzi (2012) yakni :

1. Memberikan informasi kepada masyarakat terhadap usaha - usaha yang dilakukan


lembaga politik maupun dalam hubungannya dengan pemerintah dan masyarakat
2. Melakukan sosialisasi tentang kebijakan, program, dan tujuan lembaga politik
3. Memberi motivasi kepada politisi, fungsionaris, dan para pendukung partai
4. Menjadi platform yang bisa menampung ide ide masyarakat, sehingga menjadi
bahan pembicaraan dalam bentuk opini publik
5. Mendidik masyarakat dengan pemberian informasi, sosialisasi tentang cara - cara
pemilihan umum dan penggunaan hak mereka sebagai pemberi suara
6. Menjadi hiburan masyarakat sebagai pesta demokrasi dengan menampilkan para
juru kampanye, artis, dan para komentator atau pengamat politik
7. Memupuk integrasi dengan mempertinggi rasa kebangsaan guna menghindari konflik
dan ancaman berupa tindakan separatis yang mengancam persatuan nasional.
8. Menciptakan iklim perubahan dengan mengubah struktur kekuasaan melalui informasi
untuk mencari dukungan masyarakat luas terhadap gerakan reformasi dan
demokratisasi
9. Meningkatkan aktivitas politik masyarakat melalui siaran berita, agenda setting,
maupun komentar - komentar politik
10. Menjadi watchdog atau anjing penjaga dalam membantu terciptanya good governance
yang transparansi dan akuntabilitas.

Jika menilik fungsi komunikasi politik tersebut maka sudah jelas akan banyak sekali
tantangan kompleks untuk mewujudkan komunikasi politik beradab dengan menggunakan

komunikasi sesuai fungsinya. Tantangan yang paling besar adalah bagaimana komunikasi
politik bisa menampung aspirasi masyarakat dan menciptakan iklim komunikasi politik yang
harmonis. Selain itu, menjadikan kearifan lokal dasar serta pedoman dalam segala aktivitas
komunikasi politik.

f. Kesimpulan
Komunikasi politik memerlukan pedoman yang sesuai dengan kepribadian bangsa yakni nilai
nilai luhur atau kearifan lokal. Kearifan lokal bisa menjadi dasar dalam segala aktivitas
komunikasi politik baik secara langsung maupun bermedia sehingga nantinya dapat mengcover segala aspirasi dan opini publik dengan cara yang beradab agar bisa berpengaruh lebih
baik pada setiap kepentingan maupun kebijakan politik.

DAFTAR PUSTAKA
McNair, Brain, 2003. An Introduction to Political Communication. New York-London :
Routledge Taylor & Francis Group
Radmilla, Samita, 2011. Kearifan lokal : Benteng Kerukunan, Jakarta : Gading Inti
Prima
Dan Nimmo. 1993. Komunikasi Politik (Komunikator, Pesan, dan Media). Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya
Barker, Chris, Cultural Sudies, Teori dan Praktek, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004
Hirzi,Taufik Aziz,(2012).Komunikasi Politik Berbasis Kearifan Lokal. Paper dipresentasikan
di Universitas Islam Bandung,Bandung.
Sujoko,Anang,(2014,Oktober),Tahun Politik 2014:Runtuhnya Local Wisdom
Bangsa.Paper dipresentasikan di Konferensi Nasional Komunikasi Politik
Universitas Brawijaya, Malang.
Firmantoro,Verdy,(2014,Oktober),Mengembalikan Kemuliaan Peradaban Nuswantara
(Naskah Serat Laksitaraja). dipresentasikan di Konferensi Nasional Komunikasi
Politik Universitas Brawijaya, Malang.
Pratomo,Dhinar Aji,(2014,Oktober),Pemasaran Politik Digital : Konstruksi Pesan
Politik di Media Sosial pada Pemilihan Presiden 2014. dipresentasikan di
Konferensi Nasional Komunikasi Politik Universitas Brawijaya, Malang.
Lestari,Ratri K,(2014,Oktober).Demokrasi ala Netizen: Fenomena Ruang Publik
Pemicu Kegalauan Pemilih Media. dipresentasikan di Konferensi Nasional
Komunikasi Politik Universitas Brawijaya, Malang.
Norhabibah,Fitri,(2014,Oktober),Konsumen Media Mengenai Polling Politik & Praktik
Demokrasi di Indonesia. dipresentasikan di Konferensi Nasional Komunikasi
Politik Universitas Brawijaya, Malang.
Ambardi,Kuskridho,(2014,Oktober),Survei Politik dan Politik Survei di Indonesia.
dipresentasikan di Konferensi Nasional Komunikasi Politik Universitas
Brawijaya, Malang.
Hasrullah, M.A, Drs. (2001). Megawati dalam tangkapan pers.Yogyakarta: LkiS
Pavlik, John V. (200I). Journalism and New Media. New York: Columbia University
Press
Nurudin. (2009). Pengantar komunikasi massa. Jakarta: Rajawali Press

KOMUNIKASI POLITIK
Kepentingan Politik Bebas Manuver di Ruang Publik
(Tugas untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester)

NILA DRISANTI
125120201111033

ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2014

Вам также может понравиться