Вы находитесь на странице: 1из 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infertilitas pada Pria


2.1.1 Definisi Infertilitas
Menurut the Practice Committee of the American Society for Reproductive
Medicine (ASRM), infertilitas didefinisikan sebagai suatu kegagalan untuk
mencapai kehamilan setelah satu tahun melakukan hubungan seksual secara
regular tanpa menggunakan alat kontrasepsi (Wein et al., 2012). Sedangkan
menurut The International Committee for Monitoring Assisted Reproductive
Technology (ICMART) dan World Health Organization (WHO) tahun 2009
menyebutkan definisi infertilitas secara klinis bahwa infertilitas merupakan suatu
penyakit sistem reproduksi yang ditetapkan dengan adanya kegagalan mencapai
kehamilan klinis setelah 12 bulan atau lebih melakukan hubungan seksual secara
regular tanpa menggunakan alat kontrasepsi (Zegers et al., 2009). Definisi klinis
ini didesain sedemikian rupa untuk dapat mendeteksi sejak dini dan melakukan
penatalaksanaan yang tepat pada kejadian infertilitas (Mascarenhas et al., 2012).
2.1.2 Tipe Infertilitas Pria
Secara garis besar infertilitas dapat dibagi dua yaitu ( Al-Haija, 2011) :
1. Infertilitas primer: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) tidak pernah
menghamili wanita (istri) meskipun telah melakukan hubungan seksual secara
teratur selama >12 bulan secara teratur tanpa kontrasepsi.
2. Infertilitas sekunder: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) pernah
menghamili wanita (istri) tetapi kemudian tidak mampu menghamili lagi wanita
(istri) meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur selama >12
bulan secara teratur tanpa kontrasepsi.
Terdapat tiga faktor yang menjadi indikator penting dalam memberikan
informasi tentang fertilitas suatu pasangan di masa yang akan datang yaitu adanya
hubungan seksual secara teratur, lamanya berusaha, tidak menggunakan
kontrasepsi. Jika durasi infertilitas kurang dari 3 tahun, maka pasangan tersebut
memiliki kesempatan yang lebih baik untuk hamil di waktu yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara

Tetapi jika durasinya sudah cukup lama artinya lebih dari 3 tahun, maka
kemungkinan terdapat masalah biologis yang berat pada pasangan tersebut ( AlHaija, 2011).
2.1.3

Faktor Penyebab Infertilitas Pria


Penyebab yang mendasari infertilitas pria dikelompokkan menjadi 3 faktor

yaitu level pre testikular, testikular, dan post testikular (Tanagho dan Jack ed.,
2008) :
1. Faktor pre testikular
Yaitu kondisi-kondisi di luar testis dan mempengaruhi proses spermatogenesis.
Kelainan endokrin (hormonal). Kurang lebih 2% dari infertilitas pria disebabkan
karena adanya kelainan endokrin antara lain berupa:
a) Kelainan hipotalamus: defisiensi gonadotropin (Sindrom Kallmann), defisiensi
LH, defisiensi FSH, sindrom hipogonadotropik kongenital. Adanya kelainan pada
hipotalamus menyebabkan tidak adanya sekresi hormonal yang berperan penting
dalam spermatogenesis sehingga menginduksi keadaan infertil.
b) Kelainan hipofisis: insufisiensi hipofisis (tumor, proses infiltrat, operasi, radiasi),
hiperprolaktinemia, hormon eksogen (kelebihan estrogen-androgen, kelebihan
glukokortikoid, hipertirod dan hipotiroid) dan defisiensi hormon pertumbuhan
(growth hormone) menyebabkan gangguan spermatogenesis.
2. Faktor testikular
1) Kelainan kromosom. Sebagai contoh pada penderita sindroma Klinefelter, terjadi
penambahan kromosom X, testis tidak berfungsi dengan baik, sehingga
spermatogenesis tidak terjadi.
2) Varikokel, yaitu terjadinya dilatasi dari pleksus pampiriformis vena skrotum yang
mengakibatkan terjadinya gangguan vaskularisasi testis yang akan mengganggu
proses spermatogenesis.
3) Gonadotoksin (radiasi, obat)
4) Adanya trauma, torsi, peradangan
5) Penyakit sistemik ( gagal ginjal, gagal hati, dan anemia sel sabit)
6) Tumor

Universitas Sumatera Utara

7) Kriptorkismus. Hampir 9% infertilitas pria disebabkan karena

kriptorkismus

(testis tidak turun pada skrotum).


8) Idiopatik. Hampir 25%-50% infertilitas pria tidak teridentifikasi penyebabnya.
3. Faktor post testikular
Merupakan kelainan pada jalur reproduksi termasuk epididimis, vas deferens,
dan duktus ejakulatorius.
1) Obstruksi traktus ejakulatorius: disebabkan karena adanya blokade kongenital,
ketiadaan vas deferens kongenital (CAVD), obstruksi epididimis idiopatik,
penyakit ginjal polikistik, blokade didapat (vasektomi, infeksi), blokade
fungsional (perlukaan saraf simpatis, farmakologi)
2) Gangguan fungsi sperma atau motilitas: sindrom immotil silia, defek maturasi,
infertilitas imunologik, infeksi).Pada reaksi imunologi, dapat ditemukan antibodi
sperma pada semen pria fertil dan infertil.Imunologi didiagnosis menyebabkan
infertilitas pria saat 50% atau lebih spermatozoa yang motil yang dilapisi oleh
antibodi sperma.Antibodi sperma ditemukan pada 3-7% pria infertil dan antibodi
ini dapat merusak fungsi sperma dan menyebabkan infertilitas pada beberapa pria
(Al-Haija, 2011).
3) Gangguan koitus: impotensi, hipospadia, waktu dan frekuensi koitus.
2.1.4 Faktor Resiko Infertilitas Pria
Berbagai hal telah diketahui menjadi faktor resiko infertilitas pria, yaitu:
1. Usia
Usia memegang peranan penting dalam fertilitas. Puncak umur kehamilan
terjadi pada usia 34 tahun untuk pria dan wanita dan kemudian setelah usia 35
tahun akan menurun secara signifikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa level
testosteron darah akan menurun seiring bertambahnya usia dan resiko pria untuk
menjadi infertil 2 kali lipat lebih besar pada usia di atas 35 tahun dibandingkan
dengan pria di bawah 25 tahun dan 5 kali lipat pada usia di atas 45 tahun.
Produksi hormon testosteron mulai menurun sekitar usia 40 tahun, perubahan
kualitas sperma seiring dengan bertambahnya usia juga menurunkan volume
semen, motilitas dan morfologi sperma normal (Al-Haija, 2011).
2. Obesitas

Universitas Sumatera Utara

Beberapa studi menyebutkan bahwa terjadi penurunan fertilitas pada pria


gemuk. Sebuah studi di Amerika Serikat menginvestigasi petani dan istri mereka
menunjukkan bahwa peningkatan 10 kg berat badan dapat menurunkan fertilitas
sekitar 10% dan efek terbesar pada pria dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih
dari 32. Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan jumlah sperma motil normal
secara signifikan pada pria tersebut (Al-Haija, 2011).
3. Alkohol
Alkohol merupakan substansi adiktif yang sangat berpengaruh pada fertilitas.
Konsumsi alkohol dengan rentang antara konsumsi alkohol yang jarang hingga
yang

berat

sangat

berdampak

pada

kesehatan

termasuk

kegagalan

fertilitas.Konsumsi alkohol dapat merusak aksi HPG dan berpengaruh pada


spermatogenesis sehingga menurunkan kualitas sperma (Carrell ed., 2013).
4.

Paparan dalam pekerjaan


Studi di Lebanon menunjukkan bahwa paparan lingkungan pekerjaan sangat
berbahaya terhadap fisik dan bahan kimianya yang dihubungkan dengan
peningkatan resiko infertilitas pria. Paparan senyawa organik saat bekerja dapat
menurunkan jumlah sperma yang motil, sejumlah senyawa yang digunakan
industri yang dapat menyebabkan efek samping pada sistem reproduksi pria yaitu
karbon disulfida yang mempengaruhi kualitas semen.Riwayat terpapar glycol
ether pada lingkungan kerja juga dapat menurunkan kualitas semen. Demikian
juga halnya pada pekerja di bidang pertanian atau pabrik pestisida yang juga
mengalami dampak negatif akibat paparan Dibromochloropropane (DBCP) dapat
menyebabkan toksisitas testikular dan menurunkan produksi sperma. Paparan
pada Ethylene Di-Bromide (EDB) juga menurunkan jumlah sperma dan
meningkatkan jumlah sperma yang abnormal.Dichloro-Diptenyl-Trichloro-ethane
(DDT) yang merupakan salah satu tipe pestisida juga dapat menurunkan fertilitas
dan mengubah jumlah sperma (Al-Haija, 2011).

5. Olahraga
Terdapat banyak keuntungan yang didapat dari berolahraga secara teratur.
Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa olahraga berat jangka panjang dapat

Universitas Sumatera Utara

mempengaruhi kualitas parameter semen dan dapat menurunkan jumlah


testosteron total (Al-Haija, 2011).
6. Merokok
Banyak penelitian yang menyelidiki pengaruh merokok terhadap infertilitas
pria. Hasil penelitiannya masih kontroversial; beberapa penelitian menunjukkan
bahwa merokok menyebabkan efek samping pada perburukan kualitas sperma
terutama pada perokok berat, perbedaan itu didasarkan pada begitu besarnya level
stress oksidatif semen pada perokok berat dibandingkan dengan perokok ringan
maupun perokok pasif (Saleh et al., 2001). Namun studi di Singapura menemukan
bahwa merokok memang meningkatkan resiko infertilitas dan tidak terdapat
perbedaan yang menonjol antara perokok berat dan ringan. Di sisi lain, hasil yang
kontras ditemukan pada penelitian lain yang menyatakan bahwa tidak terdapat
efek signifikan antara merokok dengan infertilitas pria (Al-Haija, 2011).
7. Laptop dan telepon seluler
Pemaparan jangka panjang pada laptop dapat meningkatkan suhu skrotum dan
berdampak negatif pada parameter sperma. Lebih lanjut, penggunaan telepon
seluler juga berdampak negatif pada infertilitas pria yaitu menurunkan jumlah
sperma yang hidup secara paralel pada setiap kali terpapar telepon seluler dan
juga berhubungan dengan durasi menggunakan telepon seluler tersebut (Al-Haija,
2011). Studi terbaru juga menunjukkan hal yang serupa yaitu spermatozoa
manusia bila terpapar oleh radiasi gelombang elektormagnetik dari telepon seluler
selain dapat menurunkan jumlah sperma juga dapat menurunkan motilitas sperma
dan meningkatkan stress oksidatif sperma (Vignera et al., 2012).
8.

Stres
Hubungan antara stres dengan infertilitas juga diperhitungkan. Pria di bawah
tekanan stres pada hasil pemeriksaan analisa semen menunjukkan terjadi
penurunan yang signifikan pada parameter sperma (Al-Haija, 2011). Hal ini
dikaitkan dengan penurunan level testosteron yang menyebabkan kegagalan
spermatogenesis dan akhirnya berpengaruh pada jumlah, motilitas, dan morfologi
sperma (Carrell ed., 2013).
2.1.5 Diagnosis Infertilitas Pria

Universitas Sumatera Utara

Langkah yang paling penting dalam mendiagnosis pria infertil adalah


melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik. Anamnesis mengenai
riwayat infertilitas (durasi, kehamilan sebelumnya, evaluasi dan pengobatan
fertilitas sebelumnya). Riwayat seksual juga sangat penting ditanyakan seperti
fungsi ereksi, frekuensi dan waktu melakukan hubungan seksual dengan
pasangannya. Riwayat intervensi medis sebelumnya juga tak kalah penting
ditanyakan karena hal tersebut berkontribusi dalam penegakan diagnosis dari
seperempat kasus infertilitas (Al-Haija, 2011).
Rekomendasi terbaru dalam menegakkan diagnosis infertilitas menurut
Practice Committees of the American Urological Association and the American
Society for Reproductive Medicine

menyebutkan bahwa perlu dilakukannya

evaluasi infertilitas sebelum 1 tahun jika terdapat faktor resiko infertilitas pria
seperti memiliki riwayat kriptorkrismus bilateral (Wein et al., 2012). Anamnesis
juga mengenai riwayat peradangan seperti orchitis, waktu pubertas, riwayat
keluarga yang mengalami infertilitas dan penyakit sistemik lainnya (Al-Haija,
2011).
Pemeriksaan fisik merupakan langkah yang kedua dalam mendiagnosis
abnormalitas yang menyebabkan infertilitas pada pria, terdiri dari pemeriksaan
fisik secara umum dan pemeriksaan genitalia. Pemeriksaan fisik secara umum
seperti pengukuran tinggi, berat badan, dan tekanan darah yang akan memberikan
informasi tentang penyakit sistemik. Distribusi rambut di tubuh juga memberikan
indikasi produksi androgen, ukuran payudara juga perlu diinspeksi untuk
mendeteksi

ginekomasti (Al-Haija,2011). Hepatomegali pada pemeriksaan

abdomen meningkatkan kecurigaan kejadian perubahan metabolisme hormon seks


steroid (Wein et al., 2012).
Pemeriksaan genitalia dimulai dengan pemeriksaan yang cermat, seperti
pemeriksaan isi skrotum yang merupakan bagian yang paling kritis dalam
pemeriksaan ini. Palpasi permukaan testis harus benar-benar dilakukan dengan
hati-hati untuk menilai konsistensi dan ada atau tidaknya massa dalam testis untuk
menyingkirkan diagnosis infertilitas akibat karsinoma testikular. Ukuran testis
juga merupakan hal yang potensial diperiksa dalam kasus infertilitas. Ukuran

Universitas Sumatera Utara

testis normal adalah 4 x 3 cm atau volumenya 20 mL. Palpasi epididimis, korda


spermatika penting dilakukan untuk menentukan apakah terdapat peradangan atau
kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan salah satu bagian dari
etiologi infertilitas pada pria. Pemeriksaan rektal juga sebaiknya dilakukan, untuk
mengevaluasi prostat, apakah terdapat peradangan ataupun kista yang dapat
menyumbat duktus ejakulatorius (Wein et al., 2012).
Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik maka perlu dilakukan
evaluasi lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis infertilitas pada pria melalui
pemeriksaan analisis semen. Analisis semen merupakan prediktor yang sangat
penting dalam menentukan fertilitas pria. Analisis semen berguna untuk
mengevaluasi variasi dari parameter termasuk karakteristik spermatozoa, plasma
semen dan sel non-sperma (Wein et al., 2012).
Analisa karakteristik semen dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok
yaitu (Wein et al., 2012):
1.

Pemeriksaan makroskopik:
Terdapat lima hal yang diukur pada pemeriksaan makroskopik ini, yaitu pH,
koagulasi/pengenceran, warna, viskositas dan volume semen. Semen normal
manusia berwarna agak putih hingga kuning keabu-abuan. Bila terkontaminasi
dengan urin, maka semen berwarna kuning. Semen juga dapat berwarna merah
muda pada pasien dengan perdarahan uretra dan kekuning-kuningan pada pasien
jaundice. Keadaan fisik semen yang baru diejakulasi adalah kental. Tapi sekitar
20 menit kemudian akan mengalami pengenceran, disebut likuifaksi oleh
fibrinolisin enzim proteolitik yang disekresikan oleh prostat. Jika pengenceran
tidak wajar berarti ada ketidakberesan pada kelenjar itu. Pengukuran pH
merupakan komponen standar dalam analisis semen yang ditentukan oleh sekresi
vesika seminalis dan prostat. pH normal adalah sekitar 7,2 hingga 8,0. Karena
sekresi vesika seminalis bersifat alkali, pH asam mengindikasikan terdapat
hipoplasia vesika seminalis yang biasa ditemui pada pasien azoospermia.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Gambaran Makroskopik Analisis Semen (WHO, 2010)


Parameter
Nilai
Abnormalitas
Signifikansi Klinik
Normal
7,2
Asam, <7,2
Dengan volume rendah
pH
dan non koagulasi;
adanya ketiadaan
kongenital vas deferens
bilateral, obstruksi
duktus ejakulatorius,
ejakulasi retrograde
parsial.
Koagulasi
Tidak ada koagulasi Ketiadaan vesika
Koagulasi/
dan
dan pemanjangan
seminalis kongenital.
pengenceran
pengenceran pengenceran >60
dalam 15-60 menit.
menit.
Putih keabu- Kekuning-kuningan, Jaundice, karotenemia,
Warna
abuan.
merah kecoklatan.
obat, inflamasi vesika
urinaria.
2cm
>2cm
Berhubungan dengan
Viskositas
motilitas yang rendah.
1,5 mL
0 (azoospermia)
Ejakulasi retrograde
Volume
<1,5mL
pengumpulan yang
(hypospermia)
tidak lengkap, ejakulasi
retrograde parsial,
abstinensi seksual.
2.

Pemeriksaan Mikroskopik
a. Aglutinasi sperma: Pemeriksaan ini dimulai dengan hapusan tebal dengan
meletakkan semen pada slide yang ditutup oleh cover slip dan diamati pada
pembesaran 1000x. Melalui metode ini, aglutinasi sperma, keberadaan sperma dan
motilitas subjektif sperma dapat diamati. Dalam keadaan normal tidak ditemukan
adanya aglutinasi dan jumlah leukosit 1 juta/mL serta tidak ditemukan adanya
immature

germ

cell.

Adanya

adhesi

sperma

ke

elemen

non

spema

mengindikasikan adanya infeksi kelenjar aksesoris, adanya adhesi sperma-sperma


mengindikasikan adanya antibodi antisperma sekunder .
b. Jumlah dan konsentrasi: Pemeriksaan ini dilakukan setelah terjadi
pengenceran cairan semen. Jumlah sperma normal 20 juta sperma per mL.

Bila jumlahnya < 20 juta sperma/mL maka

disebut sebagai oligospermia.

Universitas Sumatera Utara

Azoospermia (ketiadaan sperma) dapat disebabkan karena adanya gangguan saat


spermatogenesis,

disfungsi

ejakulasi

ataupun

karena

adanya

obstruksi.

Laboratorium WHO menetapkan batas toleransi jumlah sperma terendah yang


masih dikatakan normal adalah 20juta sperma/mL atau jumlah sperma total
39 juta/ejakulasi (WHO, 2010).

c. Motilitas: Motilitas dikenali sebagai prediktor yang terpenting dalam aspek


fungsional spermatozoa. Motilitas sperma merupakan refleksi perkembangan
normal dan kematangan spermatozoa dalam epididimis. Menurut WHO tahun
2010, motilitas spermatozoa dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

Progressive motility (PR): Spermatozoa bergerak bebas, baik lurus

maupun lingkaran besar, dalam kecepatan apapun.

Non-progressive motility (NP): semua jenis spermatozoa yang tidak

memiliki kriteria progresif, seperti berenang dalam lingakran kecil, ekor/ flagel
yang sulit menggerakkan kepala, atau hanya ekor saja yang bergerak.

Immotility (IM): tidak bergerak sama sekali

Yang dikatakan memiliki nilai motilitas normal yaitu Progressive motility (PR)
32% atau PR + NP 40% . Disebut asthenospermia (motilitas yang tidak sesuai
dengan kriteria WHO) dapat disebabkan oleh antibodi antisperma (15%), periode
abstinensi yang panjang, infeksi traktus genitalia obstruksi duktus parsial, dan
varikokel. Hal ini dapat menurunkan motilitas sperma dalam penetrasi ke mukosa
servikal.

Universitas Sumatera Utara

d. Morfologi

Gambar 2.1 Struktur Morfologi Sperma Normal ( Guyton dan Hall, 2007)

Morfologi sperma menunjukkan persentasi bentuk abnormal yang


ditemukan dalam semen. Terdapat dua klasifikasi yang digunakan untuk
menentukan morfologi sperma yaitu berdasarkan kriteria WHO, dan kriteria
Krugers strict. Teratozoospermia (<15% morfologi normal sperma) dapat terjadi
pada keadaan demam, varikokel, dan stres (Wein et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Klasifikasi Morfologi Sperma (Wein et al., 2012)


World Health
Organization (WHO)
Kisaran referensi nomal
Kepala
Bentuk
Akrosom
Ukuran
Vakuola
Bagian tengah
Bentuk
Ukuran

Krugers Strict Criteria

4%

> 14%

Oval
40%-70% dari permukaan
kepala
Panjang 4-5, 5 mm, lebar
2, 5-3, 5 mm, P/l 1,5-1,72
<20% area kepala

Oval, pinggiran halus


40%-70% dari permukaan kepala

Lurus regular, melengkung


aksial
<1/3 area kepala

Kurus, lurus regular, melengkung


aksial
Lebar < 1mm, panjang 1,5 x
kepala
<1/3 area kepala

<1/3 area kepala

Panjang 3-5mm
Lebar 2-3 mm
1/4 area kepala

Droplet sitoplasma
Ekor
Tampilan Lebar
Panjang

Kurus , tidak melengkung


>45 mm

Bentuk sama, tidak melengkung,


lebih kurus dari bagian tengahnya
10 x kepala

e. Viabilitas: Standar nilai viabilitas normal dalah 58%. Bila sperma yang motil
ditemukan kurang dari 58% sperma yang viabel, maka kemungkinan motilitas
sperma akan menurun karena terdapat sperma yang mati (nekrospermia). Perlu
dilakukan pemeriksaan viabilitas pada analisa sperma ini (WHO, 2010).
f. Sel non sperma: sel germinal yang immatur, sel epitel dan leukosit. Leukosit
merupakan elemen sel non sperma yang sangat signifikan dan sering dijumpai
pada pasien dengan infertilitas. WHO menyatakan bahwa bila level leukosit diatas
1 x 106 WBC/mL maka disebut dengan leukositospermia. Nilai normalnya adalah
1juta/mL (Wein et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara

2.2. Spermatogenesis, Semen dan Kelainan pada Sperma


2.2.1 Spermatogenesis

Gambar 2.2 Spermatogenesis (Guyton dan Hall, 2007)

Spermatogenesis

merupakan

proses

pembentukan

spermatozoa.

Spermatozoa merupakan sel yang dihasilkan oleh fungsi reproduksi pria


(Junqueira dan Jose, 2007). Spermatozoa merupakan sel hasil maturasi dari sel
germinal primordial yang disebut dengan spermatogonia. Spermatogonia berada
pada dua atau tiga lapisan permukaan dalam tubulus seminiferus. Spermatogonia

Universitas Sumatera Utara

mulai mengalami pembelahan mitosis, yang dimulai saat pubertas, dan terus
berproliferasi dan berdiferensiasi melalui berbagai tahap perkembangan untuk
membentuk sperma (Guyton dan Hall, 2007).
Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus selama masa seksual aktif
akibat stimulasi oleh hormon gonadotropin yang dihasilkan di hipofisis anterior,
yang dimulai rata-rata pada umur 13 tahun dan terus berlanjut hampir di seluruh
sisa kehidupan, namun sangat menurun pada usia tua (Guyton dan Hall, 2007).
Pada tahap pertama spermatogenesis, spermatogonia bermigrasi di antara
sel- sel sertoli menuju lumen sentral tubulus seminiferus. Sel-sel sertoli ini sangat
besar, dengan pembungkus sitoplasma yang berlebihan yang mengelilingi
spermatogonia yang sedang berkembang sampai menuju bagian tengah lumen
tubulus (Guyton dan Hall, 2007).
Proses berikutnya adalah pembelahan secara meiosis. Pada tahap ini
spermatogonia yang melewati lapisan pertahanan masuk ke dalam lapisan sel
Sertoli akan dimodifikasi secara berangsur-angsur dan membesar untuk
membentuk spermatosit primer yang besar. Setiap spermatosit tersebut,
selanjutnya mengalami pembelahan mitosis untuk membentuk dua spermatosit
sekunder. Setelah beberapa hari, spermatosit sekunder ini juga membelah menjadi
spermatid yang akhirnya dimodifikasi menjadi spermatozoa (sperma) (Guyton dan
Hall, 2007).
Selama masa pergantian dari tahap spermatosit ke tahap spermatid, 46
kromosom spermatozoa (23 pasang kromosom) dibagi sehingga 23 kromosom
diberikan ke satu spermatid dan 23 lainnya ke spermatid yang kedua (Sherwood,
2012). Keadaaan ini juga membagi gen kromosom sehingga hanya setengah
karakteristik genetik bayi yang berasal dari ayah, sedangkan setengah sisanya
diturunkan dari oosit yang berasal dari ibu. Keseluruhan proses spermatogenesis,
dari spermatogonia menjadi spermatozoa, membutuhkan waktu sekitar 74 hari
(Guyton dan Hall, 2007).
Proses selanjutnya adalah pembentukan sperma. Ketika spermatid
dibentuk pertama kali, spermatid tetap memiliki sifat-sifat yang lazim dari sel-sel
epiteloid, tetapi spermatid tersebut segera berdiferensiasi dan memanjang menjadi

Universitas Sumatera Utara

spermatozoa. Masing-masing spermatozoa terdiri atas kepala dan ekor. Kepala


terdiri atas inti sel yang padat dengan hanya sedikit sitoplasma dan lapisan
membran sel di sekeliling permukaannya. Di bagian luar, dua pertiga anterior
kepala terdapat selubung tebal yang disebut akrosom yang terutama dibentuk oleh
apparatus Golgi. Selubung ini mengandung sejumlah enzim yang serupa dengan
enzim yang ditemukan pada lisosom dari sel-sel yang khas, meliputi hialuronidase
(yang dapat mencerna filamen proteoglikan jaringan) dan enzim proteolitik yang
sangat kuat (yang dapat mencerna protein). Enzim ini memainkan peranan penting
sehingga memungkinkan sperma untuk memasuki ovum dan membuahinya
(Guyton dan Hall, 2007).
Ekor sperma, yang disebut flagellum, memiliki tiga komponen utama yaitu
(1) kerangka pusat yang secara keseluruhan disebut aksonema, yang memiliki
struktur yang serupa dengan struktur silia yang terdapat pada permukaan sel tipe
lain; (2) membran sel tipis yang menutupi aksonema; dan (3) sekelompok
mitokondria yang mengelilngi aksonema di bagian proksimal ekor ( badan ekor)
(Guyton dan Hall, 2007).
Gerakan maju-mundur ekor (gerakan flagella) memberikan motilitas
sperma. Gerakan ini disebabkan oleh gerakan meluncur longitudinal secara ritmis
di antara tubulus posterior dan anterior yang membentuk aksonema. Sperma yang
normal bergerak dalam medium cair dengan kecepatan 1 sampai 4 mm/menit.
Kecepatan ini akan memungkinkan sperma untuk bergerak melalui traktus
genitalia wanita untuk mencapai ovum (Guyton dan Hall, 2007).
Proses selanjutnya setelah pembentukan sperma adalah pematangan
sperma di epididimis. Setelah terbentuk di tubulus seminiferus, sperma
membutuhkan waktu beberapa hari untuk melewati tubulus epididimis yang
panjangnya 6 meter. Sperma yang bergerak dari tubulus seminiferus dan dari
bagian awal epididimis adalah sperma yang belum motil, dan tidak dapat
membuahi ovum. Akan tetapi, setelah sperma berada dalam epididimis selama
18-24 jam, sperma akan memiliki kemampuan motilitas (Guyton dan Hall, 2007).
Kemampuan bergerak maju (motilitas progresif) yang diperoleh di
epididimis, melibatkan aktivasi suatu protein unik yang disebut CatSper, yang

Universitas Sumatera Utara

berada di bagian utama ekor sperma. Protein ini tampaknya adalah suatu kanal
Ca2+ yang memungkinkan influx Ca2+ generalisata c-AMP. Selain itu,

spermatozoa mengekspresikan reseptor olfaktorius, dan ovarium menghasilkan


molekul mirip odoran. Bukti-bukti terkini mengisyaratkan bahwa berbagai
molekul ini dan reseptornya saling berinteraksi, yang memperkuat gerakan
spermatozoa ke arah ovarium (Ganong, 2008).
2.2.2 Semen
Cairan

yang

diejakulasikan

pada

saat

orgasme,

yakni

semen

(air mani), mengandung sperma dan sekret vesikula seminalis, prostat, kelenjar
Cowper, dan mungkin kelenjar uretra (Tabel 2.3). Volume rerata per ejakulat
adalah 2,5-3,5 mL setelah beberapa hari tidak dikeluarkan. Volume semen dan
hitung sperma menurun cepat bila ejakulasi berkurang. Walaupun hanya
diperlukan satu sperma untuk membuahi ovum, setiap milliliter semen normalnya
mengandung 100 juta sperma. Lima puluh persen pria dengan hitung sperma 2040 juta/mL dan pada dasarnya, semua pria dengan nilai hitung yang kurang dari
20 juta/mL dianggap mandul. Adanya banyak spermatozoa yang immotil atau
cacat juga berkorelasi dengan infertilitas. Prostaglandin dalam semen, yang
sebenarnya berasal dari vesikula seminalis, kadarnya cukup, namun fungsi
turunan asam lemak in di dalam semen tidak diketahui (Ganong, 2008).
Sperma manusia bergerak dengan

kecepatan sekitar 3 mm/menit

melintasi saluran genitalia wanita. Sperma mencapai tuba uterina 30-60 menit
setelah kopulasi. Pada beberapa spesies, kontraksi organ wanita mempermudah
transportasi sperma ke tuba uterina, namun tidak diketahui apakah kontraksi
semacam itu penting pada manusia (Ganong, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.3 Komposisi Semen Manusia (Ganong, 2008)

Hitung sperma

Warna
: putih
Berat jenis spesifik : 1,028
pH
: 7,35-750
: Rerata sekitar 100 juta/mL, dengan bentuk abnormal kurang dari 20%
Komponen lain:
Fruktosa (1,5-6,5 mg/ml)
Dari vesikula seminalis
Fosforilkolin, ergotionein
(membentuk 60% volume total)
Asam askorbat, flavin , prostaglandin
Spermin
Asam sitrat
Kolesterol, fosfolipid
Fibrinolisin, fibrogenase
Seng
Fosfatase asam
Fosfat
Bikarbonat

Dari prostat
(membentuk 20 % volume total)

Dapar

Hialuronidase
2.2.3 Kelainan pada Sperma
Oligospermia idiopatik ditemukan bila konsentrasi sperma kurang dari 20
6

x10 /mL tetapi lebih dari 10 x106/mL. Asthenospermia idiopatik pada kasus ini
konsentrasi spermanya normal tetapi terdapat proporsi yang rendah dari
spermatozoa dengan motilitas yang cepat. Teratozoospermia idiopatik ditemukan
bila konsentrasi dan motilitas sperma normal tetapi morfologinya abnormal.
Kriptozoospermia idiopatik didiagnosis bila tidak terdapat spermatozoa dalam
sampel semen yang baru diambil, namun mulai terlihat beberapa spermatozoa
setelah disentrifugasi (Al-Haija, 2011).
Azoospermia obstruktif didiagnosa bila semen adalah azoospermia (tidak
terdapat sperma dalam semen) namun pada biopsi testis menunjukkan terdapat
banyak komplemen spermatogenik dalam tubulus seminiferus (Al-Haija, 2011).
Terdapat banyak bukti kuat penyebab yang paling berperan dalam kejadian
infertilitas pria seperti kanker testis, penurunan kualitas semen, andesensus

Universitas Sumatera Utara

testikularis, dan hipospadia akibat gangguan pemprograman embrional dan


perkembangan gonad selama kehidupan masa janin (Al-Haija, 2011).

2.3. Leukosit
Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan imun tubuh.
Imunitas adalah kemampuan tubuh menahan atau menyingkirkan benda asing
yang berpotensi merugikan atau sel yang abnormal. Leukosit dan turunanturunannya, bersama dengan berbagai protein plasma, membentuk sistem imun,
suatu sistem pertahanan internal yang mengenali dan menghancurkan atau
menetralkan benda-benda dalam tubuh yang asing bagi diri normal (Sherwood,
2012).
Leukosit ini sebagian besar diproduksi di sumsum tulang (granulosit,
monosit dan sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan selsel plasma). Setelah dibentuk, sel-sel ini diangkut dalam darah menuju berbagai
bagian tubuh untuk digunakan. Manfaat sesungguhnya dari sel darah putih ialah
sebagian besar diangkut secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami
peradangan serius. Jadi, sel-sel tersebut dapat menyediakan pertahanan yang cepat
dan kuat terhadap agen-agen infeksius (Guyton dan Hall, 2007).
Terdapat enam macam sel darah putih yang secara normal ditemukan di
dalam darah. Keenam sel tersebut adalah netrofil polimorfonuklear, basofil
polimorfonuklear, eosinofil polimorfonuklear, monosit, limfosit dan kadangkadang, sel plasma. Ketiga tipe pertama dari sel yaitu sel-sel polimorfonuklear,
seluruhnya memiliki gambaran granular, sehingga sel-sel tersebut disebut
granulosit (Guyton dan Hall, 2007).
Pada manusia dewasa, leukosit dapat dijumpai sekitar 7000 sel per
mikroliter darah. Presentasi normal dari sel darah putih kira-kira sebagai berikut
(Guyton dan Hall, 2007):

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.4 Persentase Normal Sel Darah Putih


Jenis-jenis leukosit

Persentase sel
normal
Netrofil polimorfonuklear
62,0%
Eosinofil polimorfonuklear
2,3%
Basofil polimorfonuklear
0,4%
Monosit
5,3%
Limfosit
30,0%
Pembentukan sel darah putih dimulai dari diferensiasi dini dari sel stem
hemopoietik pluripoten menjadi berbagai tipe sel stem committed. Sel-sel
committed ini selain membentuk sel darah merah, juga membentuk sel darah
putih. Dalam pembentukan leukosit terdapat dua tipe yaitu mielositik dan
limfositik. Pembentukan leukosit tipe mielositik dimulai dengan sel muda yang
berupa mieloblas sedangkan pembentukan leukosit tipe limfositik dimulai dengan
sel muda yang berupa limfoblas (Guyton dan Hall, 2007).
Granulosit dan monosit hanya dibentuk di dalam sumsum tulang. Limfosit
dan sel plasma diproduksi di berbagai jaringan limfogen, khususnya kelenjar
limfe, limpa, timus, tonsil dan berbagai kantong jaringan limfoid dalam sumsum
tulang dan plak Peyer di bawah epitel dinding usus (Guyton dan Hall, 2007).
Leukosit yang dibentuk di dalam sumsum tulang, terutama granulosit,
disimpan dalam sumsum sampai sel-sel tersebut diperlukan dalam sirkulasi.
Kemudian, bila kebutuhannya meningkat, beberapa faktor seperti sitokin-sitokin
akan dilepaskan. Dalam keadaan normal, granulosit yang bersirkulasi dalam
seluruh darah kira-kira tiga kali jumlah yang disimpan dalam sumsum. Jumlah ini
sesuai dengan persediaan granulosit selama enam hari. Sedangkan limfosit
sebagian besar akan disimpan dalam berbagai area jaringan limfoid kecuali pada
sedikit limfosit yang secara temporer diangkut dalam darah (Guyton dan Hall,
2007).
Masa hidup granulosit setelah dilepaskan dari sumsum tulang normalnya
4-8 jam dalam sirkulasi darah, dan 4-5 jam berikutnya dalam jaringan. Pada
keadaan infeksi jaringan yang berat, masa hidup keseluruhan sering kali
berkurang. Hal ini dikarenakan granulosit dengan cepat menuju jaringan yang

Universitas Sumatera Utara

terinfeksi, melakukan fungsinya, dan masuk dalam proses dimana sel-sel itu
sendiri harus dimusnahkan (Guyton dan Hall, 2007).
Monosit memiliki masa edar yang singkat, yaitu 10-20 jam, berada di
dalam darah sebelum berada dalam jaringan. Begitu masuk ke dalam jaringan, selsel ini membengkak sampai ukurannya yang sangat besar untuk menjadi makrofag
jaringan. Dalam bentuk ini, sel-sel tersebut dapat hidup hingga berbulan-bulan
atau bahkan bertahun-tahun. Makrofag jaringan ini akan menjadi dasar bagi
sistem makrofag jaringan yang merupakan sistem pertahanan lanjutan dalam
jaringan untuk melawan infeksi (Guyton dan Hall, 2007).
Limfosit memasuki sistem sirkulasi secara kontinu, bersama dengan aliran
limfe dari nodus limfe dan jaringan limfoid lainnya. Kemudian, setelah beberapa
jam, limfosit keluar dari darah dan kembali ke jaringan dengan cara diapedesis.
Dan selanjutnya memasuki limfe dan kembali ke darah lagi demikian seterusnya.
Limfosit memiliki masa hidup berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan
bertahun-tahun, tetapi hal ini tergantung pada kebutuhan tubuh akan sel-sel
tersebut (Guyton dan Hall, 2007).

2.4. Hubungan antara Leukosit dengan Motilitas Sperma


Leukosit terdapat dalam saluran reproduktif pria dan hampir selalu
ditemukan pada pemeriksaan cairan sperma. Secara fisiologis, kebanyakan dari
leukosit terebut berkumpul pada epididimis dan berfungsi untuk sistem imunitas
dan proses fagositosis dari spermatozoa abnormal. Kadar jenis leukosit yaitu
granulosit (50%-60%), makrofag (20%-30%) dan limfosit (2%-5%) (Aryoseto,
2009).
Pengamatan akurat jumlah leukosit adalah penting karena jika jumlahnya
berlebihan (leucocytospermia) merupakan indikasi adanya infeksi saluran
reproduksi, yang memerlukan terapi antibiotika. Selanjutnya, leukositospermia
mungkin berkaitan dengan kelainan profil semen termasuk berkurangnya volume
ejakulat, jumlah sperma, termasuk yang terpenting adalah menurunnya motilitas
sperma sehingga fungsi sperma terganggu akibat pengaruh oksidasi atau adanya
sitokin tertentu yang bersifat sitotoksik (Aryoseto, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Batas jumlah leukosit yang apabila dilampaui akan mengganggu fertilitas


masih sulit untuk ditentukan. Pengaruh sel-sel ini tergantung dari tempat dimana
leukosit masuk semen, tipe leukosit, dan keadaan pengaktifan leukosit tersebut
(Aryoseto, 2009).
Dikarenakan hanya jumlah sperma yang dihitung dalam pencacahan
sperma, jumlah dari leukosit dapat dihitung secara relatif dengan jumlah sperma
yang diketahui. Jika N adalah jumlah dari jenis sel yang dicacah dalam sebuah
lapangan pandang sama dengan 100 sperma dan S adalah jumlah sperma dalam
juta/mL, maka C jumlah sel yang dicacah dalam juta/mL dapat dihitung
menggunakan rumus:

C=

100

Contohnya: jika jumlah sel-sel leukosit yang dicacah adalah 10 per 100
sperma dan jumlah sperma adalah 120 x 106/mL, maka jumlah sel-sel leukosit
adalah:
10 120104
100

per milliliter = 12 104/mL

Nilai normal jumlah leukosit adalah kurang dari 1 106 /mL ( Lackner, et

al., 2010).

Pengaruh leukosit pada motilitas sperma terdapat pada adanya sitokinsitokin dan reactive oxygen species (ROS). Peningkatan konsentrasi dari leukosit
dapat meningkatkan kadar kedua senyawa tersebut (Lui dan Cheng, 2007).
Peningkatan kadar sitokin dapat mengurangi beberapa produksi protein
yang dibutuhkan untuk proses spermatogenesis. Beberapa sitokin-sitokin seperti
TNF- dan TGF-3 yang bisa mengurangi produksi Ocludin yang dapat
mengurangi pembentukan spermatozoa dan Claudin yang menyebabkan tubulus
seminiferus terisi banyak nucleated cell yang berkumpul (Lui dan Cheng, 2007).
Peningkatan jumlah leukosit dalam semen sangat erat hubungannya
dengan reactive oxygen species (ROS). ROS itu sendiri merupakan produk normal
metabolisme seluler, termasuk diantaranya adalah ion oksigen, radikal bebas dan
peroksida. Tingkat produksi ROS oleh leukosit dilaporkan mencapai 1000 kali
lebih besar dibandingkan dengan kapasitas spermatozoa yang ada (Tremellen,

Universitas Sumatera Utara

2008). Dalam kondisi fisiologis, sel spermatozoa memproduksi ROS dalam


jumlah yang kecil. Dalam jumlah yang kecil, ROS dibutuhkan untuk regulasi
fungsi sperma, kapasitasi sperma dan reaksi akrosom. Sedangkan dalam jumlah
yang besar ROS toksik terhadap sel normal dan menurunkan potensi fertilitas dari
sperma (Nallella, et al., 2005).
ROS dapat menyebabkan infertilitas melalui dua mekanisme yaitu
pertama, ROS merusak membran sperma yang dapat menurunkan motilitas
sperma dan menurunkan kemampuan untuk bergabung dengan oosit. Kemudian
yang kedua, ROS secara langsung merusak DNA sperma, yang dapat
menyebabkan gangguan perkembangan embrio karena kerusakan DNA paternal
dari sperma (Tremellen, 2008).
Hubungan leukosit dan ROS adalah pada neutrofil polimorfonuklear dan
makrofag yang merupakan sebagian besar leukosit, berperan menyerang bakteri
patogen dan benda-benda asing, keduanya berkemampuan membangkitkan ROS.
Senyawa ini dapat menginduksi lipid peroksidase di dalam membran sel, jika lipid
peroksidase dalam jumlah yang banyak ditambahkan ke dalam suspensi sperma
akan mempengaruhi motilitas sperma dan menyebabkan agregasi sperma
(Aryosetto, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Вам также может понравиться