Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TINJAUAN PUSTAKA
Tetapi jika durasinya sudah cukup lama artinya lebih dari 3 tahun, maka
kemungkinan terdapat masalah biologis yang berat pada pasangan tersebut ( AlHaija, 2011).
2.1.3
yaitu level pre testikular, testikular, dan post testikular (Tanagho dan Jack ed.,
2008) :
1. Faktor pre testikular
Yaitu kondisi-kondisi di luar testis dan mempengaruhi proses spermatogenesis.
Kelainan endokrin (hormonal). Kurang lebih 2% dari infertilitas pria disebabkan
karena adanya kelainan endokrin antara lain berupa:
a) Kelainan hipotalamus: defisiensi gonadotropin (Sindrom Kallmann), defisiensi
LH, defisiensi FSH, sindrom hipogonadotropik kongenital. Adanya kelainan pada
hipotalamus menyebabkan tidak adanya sekresi hormonal yang berperan penting
dalam spermatogenesis sehingga menginduksi keadaan infertil.
b) Kelainan hipofisis: insufisiensi hipofisis (tumor, proses infiltrat, operasi, radiasi),
hiperprolaktinemia, hormon eksogen (kelebihan estrogen-androgen, kelebihan
glukokortikoid, hipertirod dan hipotiroid) dan defisiensi hormon pertumbuhan
(growth hormone) menyebabkan gangguan spermatogenesis.
2. Faktor testikular
1) Kelainan kromosom. Sebagai contoh pada penderita sindroma Klinefelter, terjadi
penambahan kromosom X, testis tidak berfungsi dengan baik, sehingga
spermatogenesis tidak terjadi.
2) Varikokel, yaitu terjadinya dilatasi dari pleksus pampiriformis vena skrotum yang
mengakibatkan terjadinya gangguan vaskularisasi testis yang akan mengganggu
proses spermatogenesis.
3) Gonadotoksin (radiasi, obat)
4) Adanya trauma, torsi, peradangan
5) Penyakit sistemik ( gagal ginjal, gagal hati, dan anemia sel sabit)
6) Tumor
kriptorkismus
berat
sangat
berdampak
pada
kesehatan
termasuk
kegagalan
5. Olahraga
Terdapat banyak keuntungan yang didapat dari berolahraga secara teratur.
Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa olahraga berat jangka panjang dapat
Stres
Hubungan antara stres dengan infertilitas juga diperhitungkan. Pria di bawah
tekanan stres pada hasil pemeriksaan analisa semen menunjukkan terjadi
penurunan yang signifikan pada parameter sperma (Al-Haija, 2011). Hal ini
dikaitkan dengan penurunan level testosteron yang menyebabkan kegagalan
spermatogenesis dan akhirnya berpengaruh pada jumlah, motilitas, dan morfologi
sperma (Carrell ed., 2013).
2.1.5 Diagnosis Infertilitas Pria
evaluasi infertilitas sebelum 1 tahun jika terdapat faktor resiko infertilitas pria
seperti memiliki riwayat kriptorkrismus bilateral (Wein et al., 2012). Anamnesis
juga mengenai riwayat peradangan seperti orchitis, waktu pubertas, riwayat
keluarga yang mengalami infertilitas dan penyakit sistemik lainnya (Al-Haija,
2011).
Pemeriksaan fisik merupakan langkah yang kedua dalam mendiagnosis
abnormalitas yang menyebabkan infertilitas pada pria, terdiri dari pemeriksaan
fisik secara umum dan pemeriksaan genitalia. Pemeriksaan fisik secara umum
seperti pengukuran tinggi, berat badan, dan tekanan darah yang akan memberikan
informasi tentang penyakit sistemik. Distribusi rambut di tubuh juga memberikan
indikasi produksi androgen, ukuran payudara juga perlu diinspeksi untuk
mendeteksi
Pemeriksaan makroskopik:
Terdapat lima hal yang diukur pada pemeriksaan makroskopik ini, yaitu pH,
koagulasi/pengenceran, warna, viskositas dan volume semen. Semen normal
manusia berwarna agak putih hingga kuning keabu-abuan. Bila terkontaminasi
dengan urin, maka semen berwarna kuning. Semen juga dapat berwarna merah
muda pada pasien dengan perdarahan uretra dan kekuning-kuningan pada pasien
jaundice. Keadaan fisik semen yang baru diejakulasi adalah kental. Tapi sekitar
20 menit kemudian akan mengalami pengenceran, disebut likuifaksi oleh
fibrinolisin enzim proteolitik yang disekresikan oleh prostat. Jika pengenceran
tidak wajar berarti ada ketidakberesan pada kelenjar itu. Pengukuran pH
merupakan komponen standar dalam analisis semen yang ditentukan oleh sekresi
vesika seminalis dan prostat. pH normal adalah sekitar 7,2 hingga 8,0. Karena
sekresi vesika seminalis bersifat alkali, pH asam mengindikasikan terdapat
hipoplasia vesika seminalis yang biasa ditemui pada pasien azoospermia.
Pemeriksaan Mikroskopik
a. Aglutinasi sperma: Pemeriksaan ini dimulai dengan hapusan tebal dengan
meletakkan semen pada slide yang ditutup oleh cover slip dan diamati pada
pembesaran 1000x. Melalui metode ini, aglutinasi sperma, keberadaan sperma dan
motilitas subjektif sperma dapat diamati. Dalam keadaan normal tidak ditemukan
adanya aglutinasi dan jumlah leukosit 1 juta/mL serta tidak ditemukan adanya
immature
germ
cell.
Adanya
adhesi
sperma
ke
elemen
non
spema
disfungsi
ejakulasi
ataupun
karena
adanya
obstruksi.
memiliki kriteria progresif, seperti berenang dalam lingakran kecil, ekor/ flagel
yang sulit menggerakkan kepala, atau hanya ekor saja yang bergerak.
Yang dikatakan memiliki nilai motilitas normal yaitu Progressive motility (PR)
32% atau PR + NP 40% . Disebut asthenospermia (motilitas yang tidak sesuai
dengan kriteria WHO) dapat disebabkan oleh antibodi antisperma (15%), periode
abstinensi yang panjang, infeksi traktus genitalia obstruksi duktus parsial, dan
varikokel. Hal ini dapat menurunkan motilitas sperma dalam penetrasi ke mukosa
servikal.
d. Morfologi
Gambar 2.1 Struktur Morfologi Sperma Normal ( Guyton dan Hall, 2007)
4%
> 14%
Oval
40%-70% dari permukaan
kepala
Panjang 4-5, 5 mm, lebar
2, 5-3, 5 mm, P/l 1,5-1,72
<20% area kepala
Panjang 3-5mm
Lebar 2-3 mm
1/4 area kepala
Droplet sitoplasma
Ekor
Tampilan Lebar
Panjang
e. Viabilitas: Standar nilai viabilitas normal dalah 58%. Bila sperma yang motil
ditemukan kurang dari 58% sperma yang viabel, maka kemungkinan motilitas
sperma akan menurun karena terdapat sperma yang mati (nekrospermia). Perlu
dilakukan pemeriksaan viabilitas pada analisa sperma ini (WHO, 2010).
f. Sel non sperma: sel germinal yang immatur, sel epitel dan leukosit. Leukosit
merupakan elemen sel non sperma yang sangat signifikan dan sering dijumpai
pada pasien dengan infertilitas. WHO menyatakan bahwa bila level leukosit diatas
1 x 106 WBC/mL maka disebut dengan leukositospermia. Nilai normalnya adalah
1juta/mL (Wein et al., 2012).
Spermatogenesis
merupakan
proses
pembentukan
spermatozoa.
mulai mengalami pembelahan mitosis, yang dimulai saat pubertas, dan terus
berproliferasi dan berdiferensiasi melalui berbagai tahap perkembangan untuk
membentuk sperma (Guyton dan Hall, 2007).
Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus selama masa seksual aktif
akibat stimulasi oleh hormon gonadotropin yang dihasilkan di hipofisis anterior,
yang dimulai rata-rata pada umur 13 tahun dan terus berlanjut hampir di seluruh
sisa kehidupan, namun sangat menurun pada usia tua (Guyton dan Hall, 2007).
Pada tahap pertama spermatogenesis, spermatogonia bermigrasi di antara
sel- sel sertoli menuju lumen sentral tubulus seminiferus. Sel-sel sertoli ini sangat
besar, dengan pembungkus sitoplasma yang berlebihan yang mengelilingi
spermatogonia yang sedang berkembang sampai menuju bagian tengah lumen
tubulus (Guyton dan Hall, 2007).
Proses berikutnya adalah pembelahan secara meiosis. Pada tahap ini
spermatogonia yang melewati lapisan pertahanan masuk ke dalam lapisan sel
Sertoli akan dimodifikasi secara berangsur-angsur dan membesar untuk
membentuk spermatosit primer yang besar. Setiap spermatosit tersebut,
selanjutnya mengalami pembelahan mitosis untuk membentuk dua spermatosit
sekunder. Setelah beberapa hari, spermatosit sekunder ini juga membelah menjadi
spermatid yang akhirnya dimodifikasi menjadi spermatozoa (sperma) (Guyton dan
Hall, 2007).
Selama masa pergantian dari tahap spermatosit ke tahap spermatid, 46
kromosom spermatozoa (23 pasang kromosom) dibagi sehingga 23 kromosom
diberikan ke satu spermatid dan 23 lainnya ke spermatid yang kedua (Sherwood,
2012). Keadaaan ini juga membagi gen kromosom sehingga hanya setengah
karakteristik genetik bayi yang berasal dari ayah, sedangkan setengah sisanya
diturunkan dari oosit yang berasal dari ibu. Keseluruhan proses spermatogenesis,
dari spermatogonia menjadi spermatozoa, membutuhkan waktu sekitar 74 hari
(Guyton dan Hall, 2007).
Proses selanjutnya adalah pembentukan sperma. Ketika spermatid
dibentuk pertama kali, spermatid tetap memiliki sifat-sifat yang lazim dari sel-sel
epiteloid, tetapi spermatid tersebut segera berdiferensiasi dan memanjang menjadi
berada di bagian utama ekor sperma. Protein ini tampaknya adalah suatu kanal
Ca2+ yang memungkinkan influx Ca2+ generalisata c-AMP. Selain itu,
yang
diejakulasikan
pada
saat
orgasme,
yakni
semen
(air mani), mengandung sperma dan sekret vesikula seminalis, prostat, kelenjar
Cowper, dan mungkin kelenjar uretra (Tabel 2.3). Volume rerata per ejakulat
adalah 2,5-3,5 mL setelah beberapa hari tidak dikeluarkan. Volume semen dan
hitung sperma menurun cepat bila ejakulasi berkurang. Walaupun hanya
diperlukan satu sperma untuk membuahi ovum, setiap milliliter semen normalnya
mengandung 100 juta sperma. Lima puluh persen pria dengan hitung sperma 2040 juta/mL dan pada dasarnya, semua pria dengan nilai hitung yang kurang dari
20 juta/mL dianggap mandul. Adanya banyak spermatozoa yang immotil atau
cacat juga berkorelasi dengan infertilitas. Prostaglandin dalam semen, yang
sebenarnya berasal dari vesikula seminalis, kadarnya cukup, namun fungsi
turunan asam lemak in di dalam semen tidak diketahui (Ganong, 2008).
Sperma manusia bergerak dengan
melintasi saluran genitalia wanita. Sperma mencapai tuba uterina 30-60 menit
setelah kopulasi. Pada beberapa spesies, kontraksi organ wanita mempermudah
transportasi sperma ke tuba uterina, namun tidak diketahui apakah kontraksi
semacam itu penting pada manusia (Ganong, 2008).
Hitung sperma
Warna
: putih
Berat jenis spesifik : 1,028
pH
: 7,35-750
: Rerata sekitar 100 juta/mL, dengan bentuk abnormal kurang dari 20%
Komponen lain:
Fruktosa (1,5-6,5 mg/ml)
Dari vesikula seminalis
Fosforilkolin, ergotionein
(membentuk 60% volume total)
Asam askorbat, flavin , prostaglandin
Spermin
Asam sitrat
Kolesterol, fosfolipid
Fibrinolisin, fibrogenase
Seng
Fosfatase asam
Fosfat
Bikarbonat
Dari prostat
(membentuk 20 % volume total)
Dapar
Hialuronidase
2.2.3 Kelainan pada Sperma
Oligospermia idiopatik ditemukan bila konsentrasi sperma kurang dari 20
6
x10 /mL tetapi lebih dari 10 x106/mL. Asthenospermia idiopatik pada kasus ini
konsentrasi spermanya normal tetapi terdapat proporsi yang rendah dari
spermatozoa dengan motilitas yang cepat. Teratozoospermia idiopatik ditemukan
bila konsentrasi dan motilitas sperma normal tetapi morfologinya abnormal.
Kriptozoospermia idiopatik didiagnosis bila tidak terdapat spermatozoa dalam
sampel semen yang baru diambil, namun mulai terlihat beberapa spermatozoa
setelah disentrifugasi (Al-Haija, 2011).
Azoospermia obstruktif didiagnosa bila semen adalah azoospermia (tidak
terdapat sperma dalam semen) namun pada biopsi testis menunjukkan terdapat
banyak komplemen spermatogenik dalam tubulus seminiferus (Al-Haija, 2011).
Terdapat banyak bukti kuat penyebab yang paling berperan dalam kejadian
infertilitas pria seperti kanker testis, penurunan kualitas semen, andesensus
2.3. Leukosit
Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan imun tubuh.
Imunitas adalah kemampuan tubuh menahan atau menyingkirkan benda asing
yang berpotensi merugikan atau sel yang abnormal. Leukosit dan turunanturunannya, bersama dengan berbagai protein plasma, membentuk sistem imun,
suatu sistem pertahanan internal yang mengenali dan menghancurkan atau
menetralkan benda-benda dalam tubuh yang asing bagi diri normal (Sherwood,
2012).
Leukosit ini sebagian besar diproduksi di sumsum tulang (granulosit,
monosit dan sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan selsel plasma). Setelah dibentuk, sel-sel ini diangkut dalam darah menuju berbagai
bagian tubuh untuk digunakan. Manfaat sesungguhnya dari sel darah putih ialah
sebagian besar diangkut secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami
peradangan serius. Jadi, sel-sel tersebut dapat menyediakan pertahanan yang cepat
dan kuat terhadap agen-agen infeksius (Guyton dan Hall, 2007).
Terdapat enam macam sel darah putih yang secara normal ditemukan di
dalam darah. Keenam sel tersebut adalah netrofil polimorfonuklear, basofil
polimorfonuklear, eosinofil polimorfonuklear, monosit, limfosit dan kadangkadang, sel plasma. Ketiga tipe pertama dari sel yaitu sel-sel polimorfonuklear,
seluruhnya memiliki gambaran granular, sehingga sel-sel tersebut disebut
granulosit (Guyton dan Hall, 2007).
Pada manusia dewasa, leukosit dapat dijumpai sekitar 7000 sel per
mikroliter darah. Presentasi normal dari sel darah putih kira-kira sebagai berikut
(Guyton dan Hall, 2007):
Persentase sel
normal
Netrofil polimorfonuklear
62,0%
Eosinofil polimorfonuklear
2,3%
Basofil polimorfonuklear
0,4%
Monosit
5,3%
Limfosit
30,0%
Pembentukan sel darah putih dimulai dari diferensiasi dini dari sel stem
hemopoietik pluripoten menjadi berbagai tipe sel stem committed. Sel-sel
committed ini selain membentuk sel darah merah, juga membentuk sel darah
putih. Dalam pembentukan leukosit terdapat dua tipe yaitu mielositik dan
limfositik. Pembentukan leukosit tipe mielositik dimulai dengan sel muda yang
berupa mieloblas sedangkan pembentukan leukosit tipe limfositik dimulai dengan
sel muda yang berupa limfoblas (Guyton dan Hall, 2007).
Granulosit dan monosit hanya dibentuk di dalam sumsum tulang. Limfosit
dan sel plasma diproduksi di berbagai jaringan limfogen, khususnya kelenjar
limfe, limpa, timus, tonsil dan berbagai kantong jaringan limfoid dalam sumsum
tulang dan plak Peyer di bawah epitel dinding usus (Guyton dan Hall, 2007).
Leukosit yang dibentuk di dalam sumsum tulang, terutama granulosit,
disimpan dalam sumsum sampai sel-sel tersebut diperlukan dalam sirkulasi.
Kemudian, bila kebutuhannya meningkat, beberapa faktor seperti sitokin-sitokin
akan dilepaskan. Dalam keadaan normal, granulosit yang bersirkulasi dalam
seluruh darah kira-kira tiga kali jumlah yang disimpan dalam sumsum. Jumlah ini
sesuai dengan persediaan granulosit selama enam hari. Sedangkan limfosit
sebagian besar akan disimpan dalam berbagai area jaringan limfoid kecuali pada
sedikit limfosit yang secara temporer diangkut dalam darah (Guyton dan Hall,
2007).
Masa hidup granulosit setelah dilepaskan dari sumsum tulang normalnya
4-8 jam dalam sirkulasi darah, dan 4-5 jam berikutnya dalam jaringan. Pada
keadaan infeksi jaringan yang berat, masa hidup keseluruhan sering kali
berkurang. Hal ini dikarenakan granulosit dengan cepat menuju jaringan yang
terinfeksi, melakukan fungsinya, dan masuk dalam proses dimana sel-sel itu
sendiri harus dimusnahkan (Guyton dan Hall, 2007).
Monosit memiliki masa edar yang singkat, yaitu 10-20 jam, berada di
dalam darah sebelum berada dalam jaringan. Begitu masuk ke dalam jaringan, selsel ini membengkak sampai ukurannya yang sangat besar untuk menjadi makrofag
jaringan. Dalam bentuk ini, sel-sel tersebut dapat hidup hingga berbulan-bulan
atau bahkan bertahun-tahun. Makrofag jaringan ini akan menjadi dasar bagi
sistem makrofag jaringan yang merupakan sistem pertahanan lanjutan dalam
jaringan untuk melawan infeksi (Guyton dan Hall, 2007).
Limfosit memasuki sistem sirkulasi secara kontinu, bersama dengan aliran
limfe dari nodus limfe dan jaringan limfoid lainnya. Kemudian, setelah beberapa
jam, limfosit keluar dari darah dan kembali ke jaringan dengan cara diapedesis.
Dan selanjutnya memasuki limfe dan kembali ke darah lagi demikian seterusnya.
Limfosit memiliki masa hidup berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan
bertahun-tahun, tetapi hal ini tergantung pada kebutuhan tubuh akan sel-sel
tersebut (Guyton dan Hall, 2007).
C=
100
Contohnya: jika jumlah sel-sel leukosit yang dicacah adalah 10 per 100
sperma dan jumlah sperma adalah 120 x 106/mL, maka jumlah sel-sel leukosit
adalah:
10 120104
100
Nilai normal jumlah leukosit adalah kurang dari 1 106 /mL ( Lackner, et
al., 2010).
Pengaruh leukosit pada motilitas sperma terdapat pada adanya sitokinsitokin dan reactive oxygen species (ROS). Peningkatan konsentrasi dari leukosit
dapat meningkatkan kadar kedua senyawa tersebut (Lui dan Cheng, 2007).
Peningkatan kadar sitokin dapat mengurangi beberapa produksi protein
yang dibutuhkan untuk proses spermatogenesis. Beberapa sitokin-sitokin seperti
TNF- dan TGF-3 yang bisa mengurangi produksi Ocludin yang dapat
mengurangi pembentukan spermatozoa dan Claudin yang menyebabkan tubulus
seminiferus terisi banyak nucleated cell yang berkumpul (Lui dan Cheng, 2007).
Peningkatan jumlah leukosit dalam semen sangat erat hubungannya
dengan reactive oxygen species (ROS). ROS itu sendiri merupakan produk normal
metabolisme seluler, termasuk diantaranya adalah ion oksigen, radikal bebas dan
peroksida. Tingkat produksi ROS oleh leukosit dilaporkan mencapai 1000 kali
lebih besar dibandingkan dengan kapasitas spermatozoa yang ada (Tremellen,